Memanusia memang bertahan hidup karena praktek bertolong-tolongan. Si A ada untuk
melengkapi kekurangan si B. Tidak ada satu pun manusia yang bisa memenuhi sendiri kebutuhannya. Contoh nyata dari praktek bertolong-tolongan yang merawat kehidupan kita temui di dalam keluarga. Suami dan istri saling melengkapi. Jadi amatlah penting praktek bertolong-tolongan itu kita rawat dan lestarikan. Galatia 6:1-10 juga berisi nasehat hidup bertolong-tolongan. Nama keren untuk praktek bertolong-tolongan adalah solidaritas, hidup satu rasa, setia kawan dan bersama menanggung beban. Orang Maluku namakan solidaritas dengan istilah: ale rasa beta rasa, sakit di kuku rasa di daging. Mengamati praktek bertolong-tolongan dalam masarakat, para ahli ilmu sosial mendeteksi dua solidaritas. Emile Durkheim membedakan antara solidaritas organis dan solidaritas mekanis. Yang pertama, solidaritas mekanis ditemukan dalam masyarakat desa dan kelompok agraris. Dasar solidaritas ini adalah homogenitas hubungan biologis, kepercayaan, nilai dan profesi. Relasi bertolong-tolongan ini berjalan apa adanya, tidak ada perhitungan untung rugi, apa yang saya dapat waktu menolong sesama, tetapi semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Yang kedua adalah solidaritas organis berlaku di kalangan masyarakat kota dan kelompok industri yang telah mengenal adanya pembagian kerja secara luas. Tiap orang menekuni bidang pekerjaan yang khusus dan spesifik. Ada yang bekerja sebagai pegawai, lainnya sebagai dokter, ahli hukum, penjual saur, tukang bangunan, sopir, dll. Heterogenitas bidang pekerjaan tidak menghancurkan kesetiakawanan atau solidaritas, tapi justru membuat masyarakat menjadi makin membutuhkan satu sama lain. Tukang bangunan membutuhkan sopir, dokter tidak bisa hidup tanpa penjual sayur. Dalam relasi bertolong-tolongan terjadi proses memberi dan menarima dalam bentuk uang. Dalam solidaritas organik tidak ada pertolongan yang gratis. Kalau ada uang abangku sayang. Begitu uang habis, abangku melayang. Model bertolong-tolongan masyarakat agraris (solidaritas mekanik) memperkuat gemeinschaaft, persaudaraan mendasar dan hangat. Sedangkan bertolong-tolongan gaya orang kota (solidaritas organik) melahirkan pola hidup gezelschaaft, pertemanan karena kepentingan bersama. Selama tidak ada kepentingan bersama, orang yang satu tidak terlalu peduli dengan kehidupan tetangga atau orang yang ditemuinya. Dalam bacaan tadi Paulus menyerukan kepada orang percaya di Galatia untuk hidup bertolong-tolongan, membangun pola hidup sepenanggungan, satu rasa, satu hati, setia kawan dan berbagi beban untuk dipikul. “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai” (Gal. 6:9). Ada kesan kuat bahwa hidup sepenangungan yang Paulus minta di sini adalah solidaritas mekanik. Tidak perlu lihat siapa orang yang mau kita tolong dan bantu, tidak usah hitung keuntungan atau pahala yang kita dapat. Pokoknya saling membantulah karena itu merupakan pemenuhan hukum Kristus (Gal.6:2). Hidup sepenanggungan memang bukan nilai eksklusif, hanya milik orang kristen. Orang- orang bukan kristen pun saling mengasihi. Tapi dalam seruan Paulus ini jelas sekali ada nilai tambah pada kasih yang Injili. Paulus mengajak warga jemaat Galatia untuk masuk dalam pengalaman solidaritas dengan umat manusia, tidak berpihak dan tidak eksklusif, tidak juga bergantung pada tukar-menukar. Albert Nolan, seorang pastor menyebut sikap solidaritas yang bergantung pada urusan tukar-menukar sebagai sikap setia kawan di antara pencuri. 1 Pencuri saling membantu karena mau dapat untung, untuk cari selamat. Orang Kristen saling membantu bukan untuk dapat untung dan cari selamat, tetapi karena mereka sudah diselamatkan. Itu sebabnya Paulus katakan dalam ayat 2: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Isi dari hukum bertolong-tolongan dari Kristus paling kentara dalam perumpamaan Yesus Orang Samaria Yang Murah Hati. Si Samaria menolong orang Yahudi yang jadi korban perampokan, padahal beda suku, beda agama dan terlebih lagi si Yahudi suka menghina si Samaria. Inilah solidaritas kasih yang Injil beritakan, kasih yang melampaui batas-batas, menerobos hambatan-hambatan dan meruntuhkan tembok-tembok pemisah. Saya suka dengan model solidaritas ini karena memberi perspektif baru sekaligus membuka jalan bagi perubahan sikap dalam masyarakat. Berikut ini sebuah cerita tentang solidaritas yang sering kita lakukan. Seorang bapak, tua renta tak tamat SD dan bekerja serabutan, membawa beberapa butir telur ayam untuk dijual di pasar. Harga per butir Rp. 2.500. Seorang nyonya besar menghampiri bapak tadi. Dengan setengah memaksa nyonya itu berkata: “Saya mau membeli 6 butir tetapi kalau harga per butir Rp. 2.000. Khan telurnya kecil dan bisa saja ada yang sudah busuk. Kalau harganya tidak turun, saya ngak jadi beli.” Kata si nyonya dengan ketus. Penjual telur yang tua dan kurus itu mengangguk perlahan sambil menjawab: “Baiklah nyonya, mungkin ini awal yang baik sebagai pelaris karena dari pagi belum ada satu pun telur saya yang terjual.” Penjual telur beberapa kali mengucapkan terima kasih kepada si nyonya, ketika menyodorkan telur pesanannya. Nyonya itu pergi, berjalan dengan wajah puas dan perasaan bangga karena merasa diri menang. Si Nyonya masuk ke dalam mobil mewah miliknya, menuju sebuah restoran luks untuk bertemu dua teman sesama nyonya gaul. Mereka janjian untuk sarapan pagi sambil ngerumpi. Tentu saja menu berkelaslah yang dipesan, untuk menjaga gengsi. Jumlahnya pun melampaui kapasitas perut supaya nampak dermawan. Ternyata makanan yang dipesan banyak sisanya, karena nyonya-nyonya takut bobot badan naik. Nyonya ini lalu pergi ke kasir untuk membayar. Pesanan sarapan pagi mereka seharga Rp. 250.000. Tiga lembar uang merah dia keluarkan dari tas bermerek. Ketika pemilik restoran di balik meja kasir hendak mengembalikan Rp. 50.000 si nyonya berkata: “Uang kembalinya simpan saja. Hitung-hitung sebagai tips untuk pelayananmu.” Pemilik restoran menerima tips itu tanpa sedikit pun melirik apa lagi mengucapkan terima kasih kepada si nyonya. Ini hal biasa dalam hidup sehari-hari. Si nyonya merampok uang Rp. 500 yang seharusnya menjadi keuntungan bagi si penjual telur, tetapi bermurah hati memberi tips Rp. 50.000 bagi si pemilik restoran yang sudah untung berlipat ganda untuk sarapan pagi yang harganya meroket. Sudahkah kalian melihat pelajaran iman dari cerita tadi? Sikap kedermawan kita sering kali muncul terbalik. Kita menolong si kaya dan merasa puas ketika berhasil menekan pedagang kecil. Tetapi lihatlah, pedangan kecil menerima penindasan dengan mengucap syukur, sementara si kaya tidak melirik sedikitpun karena tips yang dia terima. Ini realita kehidupan yang miris. Paulus meminta jemaat kristen di Galatia untuk hidup bertolong-tolongan memenuhi hukum Kristus, bukan untuk menjaga gensi atau mengejar popularitas. Kopi hitam di Sturbuck 1 Albert Nolan. Yesus Bukan Orang Kristen? (Yogyakarta: Kanisius. 2005). 118. memang nikmat dan menaikan gengsi, tetapi apalah untungnya memesan kopi itu kalau hanya memberi keuntungan bagi kelas ekonomi menengah ke atas? Ada seorang teman kontraktor yang memutuskan untuk membuat bak penampungan air untuk proyek yang dia kerjakan, ketimbang membeli bak air fiber. Dia katakan bahwa kalau membeli fiber dia untung, karena nanti di proyek lain uang untuk beli fiber baru bisa masuk kantong karena fiber lama dia pakai. Tetapi itu tidak banyak membantu sesama para tukang yang upahnya pas-pasan, karena mereka tidak dapat apa-apa dari pembelian fiber. Jadi dia membuat bak penampungan air dari semen supaya tukang mendapat uang yang berguna bagi keluarga. Kontraktor ini tidak hanya dengar firman, mempidatokan Injil. Dia menerapkan kasih kepada sesama saat mengerjakan proyek. Si kontraktor hidup dalam ruh pengosongan diri, seperti yang dibuat Orang Samaria dalam perumpamaan Yesus. Inilah solidaritas kristen yang utuh karena bukan untuk dikhotbahkan, dijadikan tema diskusi dan seminar, juga sebagai bahan pesan atau suara gembala, tetapi dijadikan panduan kehidupan. Ada banyak bentuk solidaritas yang bernilai membebaskan kita dari sikap egosime kalau kita sungguh-sungguh menjalani hidup dalam semangat menolong sesama bukan supaya selamat, tetapi karena sudah diselamatkan.