Melalui tema besar di atas, saya ingin mengkaji lebih dalam mengenai keberagaman
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang telah hidup selama berabad-abad. Keberagaman
yang mulai terbentuk dari lingkungan sekitar hingga terbentang luas di Nusantara Indonesia.
Beranjak dari pengalaman hidup sehari-hari, saya hendak mengajak pembaca untuk
mengetahui bahwa di daerah-daerah tertentu sikap saling menghargai telah dijaga,
dibangun dan dipupuk sehingga terjalin persaudaraan dan kerukunan. Seiring
perkembangan zaman manusia dihinggapi sikap egois dan mau menang sendiri tanpa
melihat sesama yang lain. Namun perlu kita ketahui bahwa sikap yang demikian justru tidak
membawa persatuan tetapi membawa perpecahan baik dalam keluarga, lingkungan sekitar
maupun dalam masyarakat luas. Pengalaman yang akan dikisahkan dalam tulisan ini
sungguh menarik untuk kita kembangkan dalam kesaharian hidup kita terutama dalam
keluarga atau daerah yang hidup dalam keberagaman. Sangat penting bagi kita untuk
membangun sikap peduli tanpa saling meghakimi, serta membangun kerjasama yang saling
mendukung.
Dalam penulisan ini, saya memaparkan 2 pengalaman mengenai hidup dalam
keberagaman yang diwarnai dengan sikap saling menghargai baik dalam kelompok besar
maupun dalam kelompok kecil, baik dalam keluarga maupun di tengah masyarakat luas.
Saya mengutip tulisan Gus Dur mengenai hidup dalam keberagaman dengan sikap saling
menghargai dan menghormati serta mengajak semua orang untuk berefleksi bersama demi
menegakkan moralitas, keadilan, dan perdamaian umat manusia. Selain itu saya mengutip
sebuah tulisan dari Kompasian mengenai pesan Paus Fransiskus ketika berada di Maroko
dan perikop Kitab Suci yang juga berbicara mengenai hidup dalam keberagaman serta sikap
saling menghargai dan melihat sesamaku sebagai aku yang lain. Diakhir penulisan ini, saya
mengajak terutama orang muda yang menjadi harapan bangsa untuk bersama-sama
bergandeng tangan menuju perdamaian dan persaudaraan dalam kebersamaan di tengah
bangsa Indonesia.
“Perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerja sama
antar Islam dengan pemeluk agama lainnya, terutama dengan menyangkut berbagai
masalah kemanusiaan. Baginya, sikap saling pengertian merupakan yang mendasar
bagi umat beragama, sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi diri dan
bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan, dan perdamaian umat manusia”.
(Pluralisme dalam pandangan Gus Dur)
Sebuah seruan dan tulisan yang bagi saya sangat menarik untuk direnungkan dan terutama
dihidupi di tengah bangsa tercinta ini. Manusia begitu sibuk dengan mempertanyakan apa
agamamu dari mana asalmu dan sebagainya sehingga tidak lagi menjunjung kebhinekaan
dalam negeri tercinta ini. Bagaimana mungkin kerukunan akan timbul jika tidak
membangun kerjasama dan saling pengertian antar umat beragama? Sebuah usaha yang
secara terus menerus diusahakan dari generasi ke generasi untuk mendidik setiap pribadi
agar sejak di tengah keluarga sikap saling pengertian telah dibangun sehingga ketika berada
di tengah masyarakat luas dapat berdinamika bersama pribadi-pribadi yang dijumpai yang
tidak hanya berbeda suku melainkan agama dan warna kulit.
Menarik bagi saya ketika merenungkan Injil Matius, sebuah perikop yang
mengisahkan tentang Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum. Namun
yang perlu digaris bawahi dalam kisah ini adalah sikap perwira Romawi yang mengasihi
bawahannya yang berasal dari Yahudi;
“Ketika Yesus masuk ke Kapernaum, datanglah seorang perwira mendapatkan Dia
dan memohon kepada-Nya: "Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh
dan ia sangat menderita. "Yesus berkata kepadanya: "Aku akan datang
menyembuhkannya."Tetapi jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak
menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu
akan sembuh”. Matius 8 : 5 - 8
Seorang bawahan adalah budak bagi orang Romawi yang dijajah dan ditindas. Namun kisah
ini hendak menggambarkan sebuah sikap toleransi yang luar biasa tanpa memandang dan
melihat latarbelakang hidup seseorang. Sikap rendah hati dan menghargai sesama
ditampilkan oleh sang perwira dan tentu saja oleh Yesus sendiri. Yesus melihat betapa luar
biasanya perwira tersebut, semangat kerendahan hatinya menghantar ia pada sebuah sikap
di mana ia melihat sesamanya sebagai dirinya sendiri sehingga dengan penuh ketulusan
memohon belaskasih dan bantuan dari Yesus. Sikap luar biasa ditunjukan pula oleh pribadi
Yesus yang segera menanggapi dan mengabulkan permohonan sang perwira. Betapa
indahnya jika kita memiliki sikap peduli seperti yang dilakukan oleh Yesus dan perwira
Romawi dalam kisah ini.
Hidup dalam keberagaman berarti hidup bersama individu-individu dengan berbagai
karakter, suku, agama, ras, maupun warna kulit. Ini berarti bukan lagi aku yang menjadi
pertama dan utama melainkan bersama-sama dengan yang lain. Kita hidup bersama orang
lain maka dengan penuh kesadaran memberi kesempatan kepada yang lain untuk dapat
mengekspresikan dirinya dengan apa yang mereka miliki tanpa menghalang-halangi. Sebagai
contoh ketika masuk dalam hidup membiara saya menemukan bahwa tidak hanya suku
Flores yang tinggal di balik tembok biara melainkan ada suku Jawa, Sumatra, dan
Kalimantan, dan yang menarik adalah kami dapat saling memahami satu sama lain walau
terkadang ada sedikit permasalahan atau kesulitan yang dihadapi. Penyesuaian diri menjadi
sangat penting di tengah keberagaman serta membangun sikap menghargai sesama sebagai
diriku yang lain, yang hadir dalam diri mereka. Mari kita singkirkan keegoan, dengan
menggenggam erat tangan sesama dan melangkah menuju persaudaraan yang rukun dalam
semangat KEBHINEKAAN.