Anda di halaman 1dari 4

Membangun Keberagaman Dalam Kebersamaan

Oleh: Maria Bonefortis Ina Peni


(171124019)

Melalui tema besar di atas, saya ingin mengkaji lebih dalam mengenai keberagaman
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang telah hidup selama berabad-abad. Keberagaman
yang mulai terbentuk dari lingkungan sekitar hingga terbentang luas di Nusantara Indonesia.
Beranjak dari pengalaman hidup sehari-hari, saya hendak mengajak pembaca untuk
mengetahui bahwa di daerah-daerah tertentu sikap saling menghargai telah dijaga,
dibangun dan dipupuk sehingga terjalin persaudaraan dan kerukunan. Seiring
perkembangan zaman manusia dihinggapi sikap egois dan mau menang sendiri tanpa
melihat sesama yang lain. Namun perlu kita ketahui bahwa sikap yang demikian justru tidak
membawa persatuan tetapi membawa perpecahan baik dalam keluarga, lingkungan sekitar
maupun dalam masyarakat luas. Pengalaman yang akan dikisahkan dalam tulisan ini
sungguh menarik untuk kita kembangkan dalam kesaharian hidup kita terutama dalam
keluarga atau daerah yang hidup dalam keberagaman. Sangat penting bagi kita untuk
membangun sikap peduli tanpa saling meghakimi, serta membangun kerjasama yang saling
mendukung.
Dalam penulisan ini, saya memaparkan 2 pengalaman mengenai hidup dalam
keberagaman yang diwarnai dengan sikap saling menghargai baik dalam kelompok besar
maupun dalam kelompok kecil, baik dalam keluarga maupun di tengah masyarakat luas.
Saya mengutip tulisan Gus Dur mengenai hidup dalam keberagaman dengan sikap saling
menghargai dan menghormati serta mengajak semua orang untuk berefleksi bersama demi
menegakkan moralitas, keadilan, dan perdamaian umat manusia. Selain itu saya mengutip
sebuah tulisan dari Kompasian mengenai pesan Paus Fransiskus ketika berada di Maroko
dan perikop Kitab Suci yang juga berbicara mengenai hidup dalam keberagaman serta sikap
saling menghargai dan melihat sesamaku sebagai aku yang lain. Diakhir penulisan ini, saya
mengajak terutama orang muda yang menjadi harapan bangsa untuk bersama-sama
bergandeng tangan menuju perdamaian dan persaudaraan dalam kebersamaan di tengah
bangsa Indonesia.

Bergandeng tangan dalam keberagaman


Lingkungan yang membentuk ku sejak lahir hingga bertumbuh menjadi dewasa
merupakan lingkungan Katolik yang sungguh-sungguh mengimani Yesus sebagai Guru dan
penyelamat. Di daerah pesisir pantai yang berjarak seratus meter dari tempat tinggalku,
terdapat 3 rumah saudara/saudari yang beragama Muslim. Persaudaraan antara kami
sungguh terjalin. Perbedaan agama tidak menjadi jurang pemisah yang menimbulkan jarak
di antara kami melainkan rasa kekeluargaan dan hidup rukun. Ketika merayakan Natal dan
Paskah mereka ikut bersama dalam kerja bakti membersihkan gereja dan bahkan menjaga
keamanan selama perayaan Ekaristi berlangsung, begitupun sebaliknya, ketika mereka
mengadakan perayaan Idul Fitri maupun Lebaran umat Katolik ikut bersama-sama dalam
rasa syukur yang mereka alami. Sebuah pengalaman mengharukan bagi saya secara pribadi
adalah ketika mengadakan perarakan Sakraman Mahakudus atau yang biasa dikatakan
Corpo Christi. Kegiatan ini dimulai dengan perayaan Ekaristi di Baopukang. Baopukang
merupakan nama sebuah Desa di pesisir pantai yang mayoritas umatnya beragama Muslim
namun ada beberapa umat Katolik yang hidup di tengah-tengah mereka. Sebuah
pengalaman luar biasa yang patut diabadikan pada saat itu, di mana para pemuda/ pemudi
maupun orang tua hingga anak-anak berkerjasama mempersiapakan Altar, peralatan liturgi,
tenda dan arca pada beberapa titik tempat, yang akan disemayamkan Sakramen
Mahakudus. Suasana persaudaraan sungguh dirasakan dan bahkan persaudaraan itu terjalin
hingga saat ini.

Perbedaan Bukanlah Pemisah


Beberapa tahun lalu ketika saya bertugas di Banyuwangi saya mengalami
pengalaman lain bersama saudara-saudari yang berbeda keyakinan. Tidak hanya Katolik dan
Muslim melainkan ada Kristen, Hindu, Budha bahkan Konghucu. Dan ini merupakan
pengalaman pertama bagi saya hidup ditengah keberagaman Agama. Rukun dan guyup, ya
itulah yang saya alami di Curahjati sebuah desa kecil di sudut kota Banyuwangi. Sebuah
pengalaman bermakna tentang arti hidup bersama. Mereka hidup berdampingan bahkan
serumah dengan sesama yang berbeda keyakinan. Suatu ketika pada perayaan Natal saya
bersama anak-anak asrama berkeliling dari rumah ke rumah untuk membagikan sukacita
Natal bersama umat, saya bingung di mana rumah umat yang harus kami datangi karena
semua pintu rumah terbuka baik yang Katolik maupun yang bukan katolik dengan
berbagaimacam jenis makanan khas Natal yang tersedia di atas meja ruang tamu. Tanpa
banyak tanya kami memasuki semua rumah tanpa memikirkan dia Katolik, Kristen, Hindu,
Budha maupun Konghucu. Sukacita itu kami bagikan ketika menikmati makanan ringan yang
harus kami nikmati. Inilah pengalaman luar biasa yang sungguh menginspirasi saya bahwa
kita adalah satu sesuai dengan semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika”.

Belajar Dari Sang Guru


 Saya mengutip sebuah tulisan dari seorang pemuka agama yang terkenal dikalangan
Muslim maupun diseluruh pelosok Indonesia, Beliau mengatakan bahwa:

“Perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerja sama
antar Islam dengan pemeluk agama lainnya, terutama dengan menyangkut berbagai
masalah kemanusiaan. Baginya, sikap saling pengertian merupakan yang mendasar
bagi umat beragama, sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi diri dan
bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan, dan perdamaian umat manusia”.
(Pluralisme dalam pandangan Gus Dur)
Sebuah seruan dan tulisan yang bagi saya sangat menarik untuk direnungkan dan terutama
dihidupi di tengah bangsa tercinta ini. Manusia begitu sibuk dengan mempertanyakan apa
agamamu dari mana asalmu dan sebagainya sehingga tidak lagi menjunjung kebhinekaan
dalam negeri tercinta ini.  Bagaimana mungkin kerukunan akan timbul jika tidak
membangun kerjasama dan saling pengertian antar umat beragama? Sebuah usaha yang
secara terus menerus diusahakan dari generasi ke generasi untuk mendidik setiap pribadi
agar sejak di tengah keluarga sikap saling pengertian telah dibangun sehingga ketika berada
di tengah masyarakat luas dapat berdinamika bersama pribadi-pribadi yang dijumpai yang
tidak hanya berbeda suku melainkan agama dan warna kulit.

Pesan Paus Fransisikus


Dalam Kunjungan Paus Fransiskus ke Maroko, beliau mengungkapkan rasa syukur
dan kebahagiaannya karena boleh mengalami persaudaraan bersama Raja dan seluruh
masyarakat Maroko yang menerimanya dengan sukacita. Dalam pidatonya Paus Fransiskus
berpesan bahwa
“Jika kita ingin, berbagi dalam membangun masyarakat yang terbuka, persaudaraan
dan menghormati perbedaan, sangat penting untuk menumbuhkan budaya dialog
dan mematuhinya tanpa gagal, untuk mengadopsi kerjasama timbal balik sebagai
kode perilaku dan pemahaman timbal balik kita. sebagai metode dan standar kami.
Kita dipanggil untuk menempuh jalan ini tanpa lelah, dalam upaya saling membantu
mengatasi ketegangan dan kesalahpahaman, klise, dan stereotip yang menimbulkan
ketakutan dan pertentangan. Dengan cara ini, kami akan mendorong tumbuhnya
semangat kerja sama yang berbuah dan penuh hormat”.
Seperti yang dikatakan Gus Dur melalui tulisannya di atas, Paus Fransiskus juga menekankan
hal yang sama mengenai sebuah metode atau dasar untuk menciptakan kerukunan dalam
keberagaman. Sikap hormat dan menghormati sesama menjadi kunci dalam sebuah
keberagaman, jika sikap ini telah dibangun maka harapan para pemimpin mengenai hidup
perdamaian akan tercipta, ketegangan-ketegangan yang sering terjadi dapat terselesaikan
lewat dialog untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

Menarik bagi saya ketika merenungkan Injil Matius, sebuah perikop yang
mengisahkan tentang Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum. Namun
yang perlu digaris bawahi dalam kisah ini adalah sikap perwira Romawi yang mengasihi
bawahannya yang berasal dari Yahudi;
“Ketika Yesus masuk ke Kapernaum, datanglah seorang perwira mendapatkan Dia
dan memohon kepada-Nya: "Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh
dan ia sangat menderita. "Yesus berkata kepadanya: "Aku akan datang
menyembuhkannya."Tetapi jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak
menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu
akan sembuh”. Matius 8 : 5 - 8
Seorang bawahan adalah budak bagi orang Romawi yang dijajah dan ditindas. Namun kisah
ini hendak menggambarkan sebuah sikap toleransi yang luar biasa tanpa memandang dan
melihat latarbelakang hidup seseorang. Sikap rendah hati dan menghargai sesama
ditampilkan oleh sang perwira dan tentu saja oleh Yesus sendiri. Yesus melihat betapa luar
biasanya perwira tersebut, semangat kerendahan hatinya menghantar ia pada sebuah sikap
di mana ia melihat sesamanya sebagai dirinya sendiri sehingga dengan penuh ketulusan
memohon belaskasih dan bantuan dari Yesus. Sikap luar biasa ditunjukan pula oleh pribadi
Yesus yang segera menanggapi dan mengabulkan permohonan sang perwira. Betapa
indahnya jika kita memiliki sikap peduli seperti yang dilakukan oleh Yesus dan perwira
Romawi dalam kisah ini.
Hidup dalam keberagaman berarti hidup bersama individu-individu dengan berbagai
karakter, suku, agama, ras, maupun warna kulit. Ini berarti bukan lagi aku yang menjadi
pertama dan utama melainkan bersama-sama dengan yang lain. Kita hidup bersama orang
lain maka dengan penuh kesadaran memberi kesempatan kepada yang lain untuk dapat
mengekspresikan dirinya dengan apa yang mereka miliki tanpa menghalang-halangi. Sebagai
contoh ketika masuk dalam hidup membiara saya menemukan bahwa tidak hanya suku
Flores yang tinggal di balik tembok biara melainkan ada suku Jawa, Sumatra, dan
Kalimantan, dan yang menarik adalah kami dapat saling memahami satu sama lain walau
terkadang ada sedikit permasalahan atau kesulitan yang dihadapi. Penyesuaian diri menjadi
sangat penting di tengah keberagaman serta membangun sikap menghargai sesama sebagai
diriku yang lain, yang hadir dalam diri mereka. Mari kita singkirkan keegoan, dengan
menggenggam erat tangan sesama dan melangkah menuju persaudaraan yang rukun dalam
semangat KEBHINEKAAN.

Anda mungkin juga menyukai