Anda di halaman 1dari 2

Multikultur pada dasarnya adalah perbedaan tingkat lanjut yang beragam dari suku, adat,

ras, kepercayaan, pandangan, pemikiran, dan sebagainya. Intinya berbeda dan beragam. Contoh
masyarakat multikultural yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak saling menyindir
dan menyinggung agama yang dianut oleh orang lain. Karena masalah kepercayaan adalah hak
asasi orang lain. Setiap umat muslim berhak menggunakan hijab, jika memang itu sesuai dengan
kemantapan diri.
Dalam lingkup gerejaku di HKBP Kernolong, belum ada kasus atau peraturan yang
diskriminatif. Semua orang memiliki hak dan kewajiban bersama. Bisa beribadah dan
berorganisasi. Kalau kita pandang dari warna kulit. Ini yang bisa kita rasakan dan menonjol
secara fisik dari jemaat. Tetapi, gerejaku tidak memandang perbedaan warna kulit sebagai acuan
jabatan atau ditinggikan dan juga direndahkan. Semua levelnya sama. Gereja mengajak kami
para jemaat untuk terus mengembangkan sikap solidaritas dari kerja sama dan melakukan bakti
sosial. Maka perbedaan akan luntur menjadi keselarasan dan keserasian. Masyarakat di sekitar
gereja dan masyarakat di tempat tinggalku juga tidak menganggap perbedaan itu menjadi
masalah dan pembatas interaksi. Kebetulan, di sebelah gerejaku adalah masjid. Saat kami ada
acara, pimpinan masjid menyediakan tempat buat kami parkir mobil/kendaraan. Sebaliknya, di
saat mereka ada acara, tempat kami ditempati mereka asalkan seizin pemimpin. Kami juga
membantu mereka memberikan sebagian rezeki kami/perpuluhan untuk pengembangan masjid.
Mama dan papa suka memberikan bingkisan atau parcel kepada rekan kantor dan tetangga yang
beragama Muslim. Sampai satpam samping indomaret (tempat parkir mobil) berkata bahwa
kedua orang tuaku hatinya sangat baik, mereka tidak memandang perbedaan. Beliau merasa
bahwa saat kami hari raya, beliau tidak tahu cara membalasnya. “Mama Papamu sangat tulus,
hatinya baik”. Di situ saya tersentuh dengan ketulusan hati mereka dalam menjaga solidaritas.
Dari sisi sikap primordialisme, suatu sikap yang harus dihindari. Bersikap meninggikan
budaya sendiri belum pernah terlihat di masyarakat lingkungan rumah dan jemaat gereja. Jemaat
gereja rata-rata memiliki adat, budaya, dan tradisi yang mirip. Sementara di lingkungan rumah,
dengan masyarakat heterogen, kami menjalankan budaya kami dengan baik. Belajar dari orang
dengan budaya berbeda membuatku mengenal lebih dekat dengan keanekaragaman. Di
lingkungan rumah, kami sudah bersatu dengan kebiasaan gotong royong, makanya jarang sekali
terlihat kegaduhan menganggap budaya sendiri lebih baik, benar, dan hebat. Semua orang tidak
mengatasnamakan suku mereka, dari mana mereka berasal, tetapi sama sama membentuk budaya
baru seiring berjalannya waktu dan adaptasi terhadap lingkungan dan massa. Selisih pendapat
pasti ada, lama - lama juga padam.
Anggapan yang sering menjadi perspektif dan kepercayaan orang - orang itulah
stereotipe. Dulu, di gereja ku sempat ada anggapan bahwa perempuan tidak boleh bekerja dan
melayani firman. Sekarang, dengan adanya biblevrouw dan pendeta perempuan membuat
pandangan itu jadi musnah. Di budaya batak, kadang ada jika marganya sedang berpesta maka
kerabat yang dekat tidak boleh “marhobas” atau beres-beres. Sebagian orang menjadikan itu
sebagai tanggung jawab jadi apa yang bisa dikerjakan ya kerjakan.
Fokus sih boleh tapi harus peduli dengan yang lain terutama sesama yang berbeda.
Terkait dengan fokus, seringkali kita diperhadapkan dengan khawatir jika kita berpaling dengan
yang lain. Itulah etnosentrisme. Sampai saat ini, di gereja fokus pada budaya dan tradisi Batak
tetapi tetap berkolaborasi dengan gereja bersuku lain. Di lingkungan rumah, saat Idul Adha,
rekan saya sibuk mempersiapkan acara tetapi tetap orang lain diberikan bagiannya.
Indahnya membangun suatu masyarakat di balik perbedaan dan gereja yang perbedaanya
berkurang karena ada 1 atau 2 persamaan. Hidup butuh perbedaan. Kalau sama, kapan ada
kemajuan?

Anda mungkin juga menyukai