Anda di halaman 1dari 3

ESAI TOLERANSI BERAGAMA

Indonesia, Tanah Air kita tercinta, negara dengan luas 7,81 juta km2 dan hampir 2/3 wilayahnya
merupakan perairan luas sehingga disebut sebagai negara kepulauan. Negara kepulauan dengan
lebih dari 1.300 suku bangsa dengan berbagai keanekaragaman suku, etnis, ras, budaya dan juga
agama. Meskipun dengan beragam perbedaan, Indonesia memiliki semboyan negara yaitu,
“Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya, berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat di Indonesia, terdapat 6 agama resmi yang diakui secara nasional,
yaitu, Agama Islam, Agama Kristen, Agama Katholik, Agama Hindu, Agama Buddha, dan
Agama Konghucu. Keanekaragaman menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari, sehingga
setiap masyarakat Indonesia berkewajiban mengakui dan menghormati perbedaan latar tanpa
diskriminasi.

Meski terkotak-kotak sesuai dengan keyakinan masing-masing, yang Islam pergi ke Masjid,
yang Kristen dan Katholik pergi ke Gereja, yang Hindu pergi ke Pura, yang Buddha pergi ke
Vihara, dan yang Konghucu pergi ke Klenteng, tak jarang hal itu menimbulkan gesekan antar
agama, meskipun secara teori, seharusnya seluruh warga telah “memahami” arti semboyan
negara tercinta ini. Namun, kerap kali perbedaan-perbedaan menjadi halangan dalam kehidupan
bermasyarakat terutama bagi kita semua untuk hidup aman dan sejahtera, sikap-sikap yang
seringkali muncul dalam hidup bermasyarakat yang merasa agamanya, sukunya, golongannya,
ataupun budayanya paling benar atau paling baik dibandingkan dengan yang lain. Sikap inilah
yang menjadi penghalang bagi kita untuk dapat hidup dalam perbedaan. Benih-benih intoleransi
muncul dari sikap yang terbilang cukup sederhana “merasa terbaik”. Tak hanya “merasa
terbaik”, munculnya intoleransi juga disebabkan berbagai faktor-faktor, diantaranya pandangan
mengenai keagamaan, populisme agama, politik dan juga sosial-ekonomi.

Namun, sejak tahun 2018, Jaringan Gusdurian mencatat meningkatnya aksi intoleransi dan
kekerasan keagamaan terutama di Tanah Air kita Indonesia. Beberapa kasus intoleransi
diantaranya, Penyerangan Klenteng di Kediri, Pembubaran kebaktian di Sabuga, Larangan
ibadah biksu di Tangerang, Bom gereja di Samarinda, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain.
Kejadian-kejadian tersebut menjadi peristiwa nyata intolernasi akibat kurangnya kesadaran
masyarakat dan rendahnya tangung jawab saling menghargai dan menghormati dalam kehidupan
beragama di masyarakat.

Intoleransi dan diskriminasi keagamaan yang terjadi mungkin hanya menjadi angin lalu yang
tidak dianggap penting, namun pada kenyataannya aksi tersebut dinilai mengganggu stabilitas
sosial dalam hidup bermasyarakat. Aksi-aksi intoleransi yang terjadi juga menyebabkan
kekhawatiran bagi banyak masyarakat minoritas yang merasa terkucilkan, juga timbulnya rasa
tidak aman dan nyaman karena terdapat ancaman-ancaman disekitarnya. Tak hanya
menyebabkan kekhawatiran bagi masyarakat, namun terjadinya aksi intoleransi antarras,
antarsuku, maupun antaragama dapat mengancam persatuan, menyebabkan perpecahan serta
kemunduran bagi suatu bangsa karena pemerintah akan sulit membangun kebijakan, juga akan
menghambat usaha pembangunan dan pemerataan sarana dan prasarana dalam masyarakat.
Berkaca kepada Pancasila, menurut sila pertama Pancasila setiap Warna Negara Indonesia
berhak untuk memilih, memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, sehingga tidak ada
seorang pun termasuk kepala negara dapat menghalangi seseorang untuk hak kemerdekaan
memeluk agamanya masing-masing dan juga beribadah menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing. Namun, apakah semua masyarakat telah menggunakan kacamata yang sama
dalam implementasi kebebasan berbudaya dan beragama di Indonesia?

Kebebasan berbudaya dan beragama di Indonesia ramai dibicarakan, dengan berbagai perbedaan
setiap masyarakat dihimbau tak hanya bebas memilih agamanya masing-masing saja, namun
setiap masyarakat dituntut untuk saling Toleransi; Kata-kata yang tak jarang kita temui dan
muncul dalam kehidupan kita belakangan ini. Menurut KBBI, Toleransi berasal dari kata
“toleran” yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dengan dasar Hidup dalam perbedaan dan
bebas berbudaya dan beragama, setiap umat beragama diajak untuk bertanggung jawab dan
saling menghargai juga menghormati antar pemeluknya.

Tak hanya bebas memilih tapi sebagai makhluk sosial, diperlukan juga rasa tanggung jawab
terhadap pilihan, menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Rendahnya kesadaran
tanggung jawab dari setiap masyarakat akan kebebasan beragama dan berbudaya akan membuat
membuat masyarakat dengan mudah terprovokasi oleh isu-isu yang disebarkan oleh oknum tidak
bertanggung jawab. Sehingga, dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dan kesadaran
tanggung jawab yang tinggi, kita diharapkan dapat memilah informasi yang kita terima. Melalui
informasi/ isu-isu / hoax yang disebarkan oknum tidak bertanggung jawab itulah terkadang
menjadi percikan api kebencian dan kesalahpahaman yang terjadi dan membuat berbagai
kekacauan bahkan kekerasan terjadi.

Jika kita melihat secara garis besar, tidak ada satupun adat, budaya atau agama yang
mengajarkan hal buruk kepada para pengikutnya. Semua adat, budaya dan agama mengajarkan
dan mengarahkan pengikutnya melakukan hal-hal baik, namun dalam implementasinya kadang
oknum-oknum dengan tingkat kesadaran yang rendah lalai akan ajaran-ajaran tersebut. Langkah
sederhana yang dapat kita lakukan untuk menanamkan toleransi dalam perbedaan adalah dengan
meningkatkan kesadaran akan kebebasan beragama dan berbudaya, saling menghargai dan
menghormati tiap warganya sehingga sikap toleransi perlahan akan muncul.

Lewat upaya yang berasal dari kesadaran dan inisiatif tiap individu yang mengupayakan toleransi
ditengah kehidupaan saat ini akan menjadi tonggak bagi masyarakat untuk menghentikan
perbuatan intoleransi juga diskriminasi dalam kehidupan bersama di negeri kita tercinta ini,
tanpa melihat suku, etnis, ras, budaya dan juga agama. Toleransi antar umat beragama dan
berbudaya juga menjadi kunci bagi kemajuan bangsa Indonesia sebagai negara Multikultural
yang harus melestarikan “aset” yang dimiliki.

Banyak implementasi Bersatu dalam perbedaan yang menjadi contoh konkret dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia, contohnya ialah peristiwa pada tanggal 9 Maret 2015 dimana umat
agama Hindu di pulau Bali yang merayakan Nyepi bersama-sama dengan umat agama Islam di
Bali berkumpul bersama di satu tempat dan beribadah secara tertib, bergantian menurut adat dan
kebiasaan masing-masing agama tanpa gangguan. Bukti nyata dengan adanya kesadaran hidup
bersama di Indonesia dengan berbagai perbedaan menjadikan peristiwa ini sangat indah, menjadi
bukti konkret sekaligus contoh untuk kita semua agar dapat mengimplementasikan dalam hidup.
Seperti pelangi yang indah dengan bermacam warna, seharusnya seperti itulah indahnya kita
hidup sebagai warga negara di Indonesia yang memiliki bermacam-macam suku, etnis, ras,
budaya dan agama. Pentingnya kesadaran dan sikap Toleransi tinggi; saling menghargai dan
menghormati setiap umat beragama dan berbudaya, tidak memaksakan kehendak diri sendiri
dengan orang lain, tidak mementingkan / menonjolkan suku, agama, ras ataupun golongan
tertentu dan tidak melakukan hal yang melenceng dari norma-norma yang berlaku sehingga
melalui sikap sikap yang diterapkan kita secara tidak langsung juga menjunjung nilai persatuan
dan menciptakan suasana damai dan sejahtera. Hidup bersatu dalam perbedaan, dengan begitu,
cita-cita Negara Indonesia dalam semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” dapat terwujud dan
tercipta bangsa yang aman damai dan sejahtera dalam keanekaragaman budaya dan agama.

Anda mungkin juga menyukai