Anda di halaman 1dari 16

Sosial Budaya & Keragaman Beragama

Articles | Opini Written by Edy Rachmad on Monday, 04 April 2011 05:52

Secara umum Provinsi Sumatera Utara memiliki 8 etnis asli serta beberapa etnis pendatang yang berasal dari kabupaten/kota di Sumatera Utara. Delapan etnis asli tersebut yakni etnis Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Melayu, Nias, Mandailing dan Angkola. Setiap etnis memiliki bahasa daerahnya masingmasing kecuali Mandailing dan Angkola yang memiliki bahasa daerah yang sama, yakni Bahasa Mandailing. Selanjutnya ada etnis pendatang seperti Jawa, Minang, Aceh, Tionghoa dan lainnya. Etnis-etnis ini juga membawa bahasa daerahnya sendiri. Setiap etnis memiliki aneka budaya sendiri, hingga membentuk Sumut menjadi daerah yang memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Namun semuanya menyatu menjadi penduduk Sumatera Utara dan identik dengan warga Sumatera Utara. Dari segi agama, Sumut juga sangat beragam. Semua agama formal yang diakui secara nasional ada di daerah ini. Di luar itu ada juga agama non formal yang juga berkembang seperti Parmalin. Gambaran ini cukup menunjukkan betapa beragamnya kehidupan budaya dan kehidupan keberagamaan di daerah ini. Dan Medan sebagai ibukota provinsi adalah tempat berkumpulnya semua keragaman ini, baik dari sisi budaya dan keberagamaan. Sebagai kota besar di provinsi ini, Medan menjadi tujuan warga dari daerah, baik untuk bekerja mencari nafkah, menetap ataupun sekedar singgah. Keragaman yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara kemudian terefleksi dalam wujud wajah kota Medan. Oleh karenanya bisa kita bayangkan, kompleksnya kehidupan sosial dalam masyarakat yang sangat heterogen seperti ini. Tidak saja dibutuhkan saling pengertian dan saling tolerasi dalam kehidupan beragama dan berbudaya, tetapi juga dibutuhkan pemimpin yang kuat yang didukung oleh masyarakatnya. Jika tanpa itu semua, akan mustahil bisa melestarikan kestabilan kehidupan sosial kemasyarakatan dan membawa kota Medan ini maju dan berkembang menjadi kota yang moderen. Keniscayaan keragaman Keragaman sering juga disebut pluralitas. Kata ini biasa merujuk pada keragaman agama dan budaya. Pluralitas berasal dari bahasa Inggris, plural, antonym dari kata singular, secara genetika ia berarti kejamakan atau kemajemukan. Dengan kata lain, ia adalah kondisi objektif dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamnya sejumlah kelompok saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan, maupun latar belakang etnis. Pluralitas tidak sama dengan pluralisme. Kalau pluralitas adalah suatu keragaman yang merupakan sebuah keniscayaan, sedangkan pluralisme adalah idiologi tentang kebenaran agama-agama. Kalau pluralitas adalah keragaman itu sendiri, sedangkan pluralisme adalah sikap, pemahaman akan kebenaran dari tiap-tiap keragaman tersebut. Kalau keragaman memiliki konsekuensi adanya perbedaan dalam melihat suatu objek tertentu, maka faham pluralisme menyatakan bahwa

semua perbedaan pendapat itu adalah benar. Ini adalah sebuah idiologi yang ambigu. Seolah-olah menjadi jalan tengah atau seolah sedang berusaha menerima perbedaan, tapi sejatinya dengan terang-terangan sedang membenturkan perbedaan-perbedaan itu. Maka sebaiknya faham pluralisme ini sudah selayaknya dibuang jauhjauh dari benak warga kota Medan. Karena kita telah memiliki kearifan lokal yang telah terbukti ampuh dalam menjaga dan memelihara kerukunan dan saling pengertian, termasuk dalam menangkal ideologi asing seperti halnya pluralisme. Itulah toleransi dalam kehidupan beragama dan berbudaya. Dengan toleransi warga diajarkan untuk memberi ruang kepada perbedaan tanpa harus menyama-nyamakan perbedaan itu. Pluralitas adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan, secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya kondisi ini harus dimenej dengan baik dan tidak gegabah. Salah satu yang paling penting dalam ranah pluralitas adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat. Pluralitas agama sangat mewarnai sejarah kehidupan, sosial, tidak terkecuali masyarakat kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama pada negara-negara yang sangat mengedepankan relegiusitas. Keragaman agama, sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa, juga dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama, keunikan-unikan ini bukanlah ancaman terhadap pemeluk agama yang satu terhadap eksistensi agama yang lainnya, tetapi akan lebih memperjelas keunikan sendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi identitas pribadinya sekaligus cerminan kesucian agamanya. Oleh karenanya salah satu agenda besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan sosial, termasuk di dalamnya hubungan antara agama dan kerukunan hidup umat beragama. Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun keadaan yang lebih dinamis dan kondusif. Dalam pandangan saya, akselerasi faham pluralisme yang notabene adalah faham impor ini adalah salah satu wujud gangguan yang sangat halus. Peran agama dan kebudayaan Sultan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecapakan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia misalnya memjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Budaya itu adalah bagian dari

kebiasaan manusia yang dibawa secara turun menurun. Atas segala bentuk kebudayaan yang mengarah pada maslahat bagi manusia dan alam sekitar, adalah bagian dari ajaran agama. Karena agama adalah suatu kebenaran yang diturunkan oleh Tuhan yang menciptakan kebudayaan itu sendiri. Sedangkan hidup beragama tampak pada sikap dan cara perwujudan sikap hidup beragama. Seorang yang menerima sesama yang beragama apapun sebagai sesama mahluk Tuhan. Karena keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengasihi setiap manusia dan seluruh umat manusia tanpa diskriminasi berdasarkan kemahaadilan Tuhan, maka dia pun wajib dan tak punya pilihan lain, selain mengasihi sesamanya tanpa diskriminasi berdasarkan agama, budaya, etnik, profesi, atau kepentingan tertentu yang berbeda. Perbedaan ciptaan Tuhan di tengah alam semesta adalah suatu keniscayaan yang patut diterima sebagai pelajaran bagi akal manusia. Hal demikian harus menjadi lebih nyata pada hidup beragama di tengah pluralitas agama sebagai keniscayaan yang diterima dan disyukuri sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Seorang yang tulus dalam beragama akan menghormati, menghargai dan bahkan mengasihi atau merahmati sesamanya karena sesamanya adalah manusia yang dikasihi Tuhannya. Seorang yang tulus beragama mengasihi sesamanya hanya dengan berpamrih pada Tuhan sebagai sumber segalanya. Kasih atau cinta kepada sesama manusia harus dapat menembus atribut-atribut yang mengemasnya. Atribut-atribut perbedaan yang melekat pada diri seorang tak harus menjadi perisai yang menangkis atau menangkal kasih atau rahmat yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Secara hakiki, manusia adalah manusia ciptaan Tuhan sehingga saling berbeda tidak mengharuskan seorang untuk berlaku tak adil. Penutup Kata kunci dari kebersamaan hidup dalam keragaman budaya dan agama adalah toleransi. Toleransi sejatinya adalah sesuati yang telah menjaga negeri ini dari berbagai gesekan kepentingan yang berbeda. Maka sudah sepantasnya seluruh warga Negara untuk mengedepankan sikap toleransi dalam setiap perbedaan yang timbul. ***** (Rahudman Harahap : Penulis adalah Walikota Medan )

Keberagaman yang selektif


ancis melarang perempuan muslimah di negara itu menggunakan burqa. Larangan itu disikapi beragam oleh kaum muslimin sendiri, sebagian mengecamnya dan sebagian ulama al-Azhar Mesir memakluminya. Jika kasus itu kita diskusikan di Aceh, hampir pasti sebagian besar rakyat Aceh mendukung kebijakan Sarkozy. Terlepas dari perbedaan hukum fiqh atas burqa, namun titik kesamaan yang dikongsikan rakyat Aceh bersama sarkozy adalah keberagaman selektif. Keberagaman dapat diterima sejauh belum merasuki ranah keberagamaan. Terutama pada kesediaan memberikan peluang yang sama bagi semua orang menghidupkan keyakinan agamanya atau mazhab keyakinannya. Berbasis pada nilai keberagaman selektif pula sebagian rakyat Aceh melakukan aksi jalanan beberapa waktu lalu untuk menolak Peraturan Gubernur tentang pendirian rumah ibadah, karena dianggap memudahkan pendirian gereja di sini. Gubernur Irwandi kemudian berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Pergub tersebut dibuat untuk mempersulit pendirian gereja atau rumah ibadah selain Islam.

Tapi mengapa harus dipersulit? Sejauh ini semua alasan yang mengemuka hanya memperkuat bukti ketidaksiapan rakyat Aceh menerima keberagaman dalam keberagamaan. Pada saat yang sama masyarakat Aceh tidak mewajibkan diri mereka merumuskan alasan-alasan yang murni Islami. Dalam internal Islam masalah serupa masih belum terselesaikan. Keberagaman mazhab akidah dan fiqh seringkali dibumihanguskan dengan regulasi pemerintah. Seperti Qanun no.11/2002 yang membatasi aqidah masyarakat Aceh harus ahlusunnah wal jamaah. Tidak ada tempat bagi selainnya. Padahal semua mazhab relatif berusia sama, jauh pasca kenabian. Lebih ironis lagi, pemerintah nonreligius terlibat mengukuhkan satu mazhab agama dan menegasikan mazhab lainnya. Agama masih ranah paling sulit ditembus oleh pluralisme. Di tengah promosi membangun budaya bersahabat dengan keberagaman sangat kencang dilakukan para pihak, agama masih dalam banyak kesempatan- menjadi pengecualiaan. Bahkan dalam masyarakat Eropa sepluralis Francis. Di Aceh, persoalan ini belum mendapat perhatian secara memadai. Para politisi, akademisi, dan tokoh masyarakat lainnya cenderung melihat fenomena anti keberagaman dalam keberagamaan sebagai bukan masalah yang memerlukan pemecahannya. Para politisi meresponnya dengan cara khas. Memanfaatkan semaksimal mungkin kenyataan anti keberagaman beragama masyarakat dalam rangka menutupi kelemahan-kegagalan mereka dalam kebijakan pemerintahan lainnya. Kegagalan pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan dapat ditutupi dengan memberi sokongan pada sikap anti keberagaman beragama sebagian besar masyarakat kita. Apa yang dilakukan Sarkozy yang melarang burqa dan Irwandi yang mempersulit izin pendirian gereja, lebih kurang dapat dibaca dalam frame ini. Kelompok-kelompok masyarakat sipil Aceh selaku pihak paling konsisten mendorong perubahan sosial sepatutnya memperlakukan sikap anti keberagaman keberagamaan masyarakat sebagai masalah serius yang menghambat perkembangan pemikiran dan kebudayaan Aceh. Di luar dugaan, masyarakat sipil pun lebih kuat mengesankan bersikap abai pada aspek ini ketika mengimajinasikan Aceh baru atau Aceh masa depan. Aceh Baru? Skenario Aceh baru yang diinisiasi masyarakat sipil Aceh tidak memberikan perhatian secara memadai pada issu keberagaman dalam keberagamaan masyarakat. Kebaruan Aceh yang diimajinasikan terletak lebih pada kesejahteraan ekonomi dan penstabilan perdamaian. Kebaruan Aceh dengan tetap mempertahankan karakter lamanya yang tidak membuka diri pada berbagai agama dan mazhab pemikiran, dari pandangan saya, bukan lah kebaruan esensial. Melainkan kebaruan aksidental dan bungkusan. Mengingat keesensialan manusia berada pada akal budi atau pemikirannya. Aceh baru yang berpijak pada kegemilangan masa lalunya- demikian di antara poin yang termaktub pada artikel Otto Syamsudin di website Aceh Instutite- dalam kajian pemikiran dan keberagaman mazhab harus mendapat beberapa catatan kritis. Karena kegemilangan masa lalu dalam kemiliteran, politik, pendidikan, dan perdagangan tidak menjamin kegemilangan dalam budaya keberagaman agama dan mazhab pemikiran, kecuali pada abad 16 dan hingga pertengahan abad 17 Masehi. Lebih spesifik pada hubungan antaragama, masa lalu Aceh sama suramnya dengan bangsa-bangsa dunia pra perang dunia I yang menyeragamkan agama penduduknya. Suram kata yang lebih tepat ketimbang gemilang ketika membicarakan masa lalu Aceh dalam konteks ini. Sama suramnya dengan Arab Saudi dan Inggris pada masa yang sama. Hal itu berbeda dengan beberapa negara Arab seperti Libanon, Palestina, dan Suriah yang membiarkan penduduknya pada setiap zaman sejak masa kenabian Muhammad terdiri dari pemuluk agama Islam, Kristen, dan Yahudi hingga sekarang ini. Atau jika dibandingkan dengan Iran yang tidak pernah menghapus pemeluk agama Majusi, Nasrani, dan Yahudi dari bangsa mereka sepanjang sejarah. Hingga di sini, saya sedang tidak membicarakan keberagaman beragama kecuali dari filsafat praktis, bukan sisi epistemologisnya. Dengan ungkapan lain, saya tidak mempromosikan paham semua agama benar sebagaimana dipahami oleh MUI tentang konsep pluralisme agama. Pahaman yang telah mendorong MUI mengeluarkan fatwa pengharaman pluralisme agama pada Juli 2005. Sesungguhnya saya, yang secara pengetahuan sampai pada simpulan Islam satu-satunya kebenaran harus membuka diri untuk memberi pengakuan kepada masyarakat manusia lain dengan pilihan agama yang berbeda. Karena Islam sendiri yang mengharuskan pemeluknya membuka diri dan secara praktis tidak mempersulit pemeluk agama lain mendirikan rumah ibadah mereka. Apalagi menghalangi penganut agama hidup dengan aturan agamanya, seperti kelakuan Sarkozy. Alangkah indahnya Aceh baru jika kita membayangkannya penuh keterbukaan pada keberagaman agama, keyakinan, mazhab akidah dan pemikiran. Keterbukaan akan mempercepat perkembangan pemikiran, dan perkembangan pemikiran akan menyumbangkan hal substansial bagi penyempurnaan kualitas kemanusiaan kita (insan kamil).[] *Penulis adalah anggota Perkumpulan ProDeelat

Sekali Lagi, Perbincangan Mengenai Hubungan Agama dan Negara


WRITTEN BY ALKAF MUCHTAR ALI PIYEUNG
Pendahuluan: Polemik Islam-Negara, Sebuah Sketsa

ERDEBATAN posisi Islam dalam negara dapat dilacak pada masa yang lebih awal dengan memposisikan Soekarno, sebagai wakil nasionalis sekular dan Natsir, sebagai wakil nasionalis Islam, keduanya dalam posisi yang berlawanan.

Bagi Soekarno --dengan menjadikan Kemal Atartuk sebagai contoh--, negara Indonesia nantinya harus dipisahkan dengan agama. Namun memiliki pengertian bahwa ini bukan berarti penyingkiran agama dari domain negara, karena bagi Soekarno, bila nanti anggota parlemennya adalah mayoritas umat Islam, maka dapatlah disusun kebijakan atau peraturan yang bernuansa agama di dalam undang-undang. Bagi Soekarno, itulah negara Islam. Ide yang kemudian disanggah oleh Moh. Natsir. Bagi Natsir, sudah jelas dan terang benderang, bahwa Islam dan negara tidak bisa dipisahkan. Memang Islam bukanlah 100% demokrasi, bukan pula 100% Teokrasi, Islam adalah Islam, dan negara Islam, lanjut Natsir, bukan tujuan, namun alat untuk mencapai cita-cita Islam.
Natsir berpandangan bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang memiliki urusan tidak saja antara manusia dengan Tuhan, namun juga mengatur segala aspek. Natsir menafsirkan Islam dalam bingkai negara urusan demokrasi modern yang menurut Natsir lebih dekat dengan prinsip-prinsip musyawarah yang hidup dalam tradisi dan normatif Islam. Pandangan inilah yang kemudian coba ditawarkan Natsir dalam upaya konstitusional, melalui sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Sidang konstituante ini adalah upaya kedua dari kelompok Islam untuk memasukkan Islam sebagai dasar negara, sebelum usahanya selain di sidang BPUPKI. Natsir melakukan kritik terhadap Pancasila, yang baginya tidak mencukupi sebagai ideologi negara, sebab tidak berakar dari masyarakatnya. Baginya Islam lebih tepat dikarenakan telah hidup bersama masyarakat Indonesia selama berabad-abad sehingga tepatlah dijadikan sebagai dasar negara.[3]

Ketika BPU PKI, sebagai panitai persiapan kemerdekaan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang 29 April 1945, perdebatan Islam dan negara ini kemudian memasuki konstitusi. Salah klausul penting yang mendapat perhatian besar dari para anggota BPUPKI adalah Piagam Jakarta, yang sebenarnya merupakan kompromi keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun tetap dengan memasukkan prinsip-prinsip Pancasila yang telah dijelaskan pada tanggal 1 Juni 1945, [4] namun tetap saja sikap ketidak puasan dari kedua belah pihak -- kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler--, tampak begitu jelas terlihat. Kelompok nasionalis sekuler, yang diwakili oleh Latuharhary, menolak rumusan Piagama Jakarta tersebut karena mengkhawatirkan bahwa dengan adanya kalimat kewajiban untuk para pemeluk Islam untuk melaksanakan syariat Islam akan menimbulkan problematik ketika berhubungan dengan agama lain. Sedangkan di kubu nasionalis Islam, keinginan agar posisi politik Islam jelas termaktub dalam konstitusi. Wahid Hasyim misalnya, salah seorang anggota BPU-PKI, malah mengusulkan,pertama, ketentuan bahwa hanya orang-orang Islam yang bisa menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, dimasukkan secara formal dalam konstitusi penetapan bahwa Islam sebagai dasar negara.[5] Piagam Jakarta ini akhirnya ditolak oleh kelompok Islam Abangan dan non-muslim, sehingga kemudian terjadi lagi kompromi, dengan sikap berlapang dada kelompok Islam sehingga lahirlah Pancasila, yang tetap mencantumkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip kenegaraan dan kosntitusi, tanpa mencantumkan tentang kewajiban untuk melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[6] Setelah perdebatan itu berlangsung di ruang BPUPKI, maka sidang-sidang Konstituante, sebagai hasil dari Pemilu 1955, menjadi wilayah ulang dimana Islam diupayakan kembali menjadi dasar negara. Dalam sidang-sidang Konstituante, Masyumi menjadi partai yang paling terdepan untuk memformulasi ulang posisi Islam dalam konstitusi. Tentang negara Islam, Masyumi kemudian memberi pengertian bahwa negara Islam bukan formal demikian. Namun disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Bahkan rumusan itu bisa saja disepakati, bahkan bila disukai oleh rakyat, dapat juga disebut dengan Pancasila [7] Bagi Masyumi, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia dapat dirumuskan dalam dua hal mengenai asas negara, yaitu Republik Berdasarkan Islam atau Republik Islam Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini kemudian yang menempatkan Masyumi dalam perdebatan mengenai posisi Pancasila terutama pada bab Ketuhananan. Disini Masyumi mengkritik bahwa secara umum Pancasila menjadi sebuah cek kosong dimana semua bisa menafsirkan. Pendirian Masyumi menjadi jelas bahwa pasal Ketuhanan haruslah ditafsirkan sesuai dengan doktrin agama, baik Islam, Kristen maupun yang lainnya dan menolak yang lainnya, seperti penafsiran bahwa adanya rumusan bahwa penafsiran itu bersifat sekularistik, atheistik maunpun mistik..[8] Walau disayangkan kemudian, ketika Majelis Konstituante telah menyelesaikan 90 persen tugasnya --Kecuali pada klausul-klausul sensitiv yang masih membutuhkan kompromi--, yaitu mengenai dasar negara, Islam atau Pancasila, kompromi dilakukan karena tidak ada satu fraksi-pun, baik pendukung Islam maupun Pancasila, yang memenuhi dua-pertiga suara, sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Tata Tertib Konstituante

Bab IV Pasal 3 ayat 1. Soekarno menganggap bahwa sidang konstituante tidak memiliki situasi yang jelas, sehingga kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dan berakhir sudahlah upaya yang konstitusional pada demokrasi liberal untuk menyusun dasar negara yang hidup dalam suasana yang diskursif. [9] Perdebatan yang ketat mengenai dasar negara, baik disidang-sidang BPUPKI maupun di Konstituente itu adalah kelanjutan dari polemik Soekarno-Natsir yang terjadi di tahun 1939-1941.[10] Namun sebagaimana kritik Bahtiar Efendi, bahwa dalam perdebatan generasi awal mengenai relasi Islam dan negara, belum terlihat adanya ketegasan konsep. Olehnya, Natsir, sebagai wakil kelompok Islam, dianggap kurang berhasil menjelaskan gagasannya dengan baik karena masih terkesan normatif, sedangkan Soekarno, sebagai wakil kelompok nasionalis, dinilai masih kurang mampu memberikan subtansi keagamaan terhadap hubungan Islam dan negara. Ketidak-jelasan sejak awal konsepsi mengenai relasi agama dan negara kemudian membuat kedua hal tersebut terus berhadap-hadapan hingga kini. [11] Beberapa Catatan Mengenai Islam di Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, hubungan negara-Islam diawali dengan tidak harmonis. Tentara yang menguasai negara melakukan kooptasi Pancasila secara kuat, sekaligus meminggirkan kekuatan politik Islam. Diantara yang dilakukan oleh negara adalah pemberlakuan asas tunggal untuk organisasi masyarakat dan politik. Pemberlakuan asas tunggal untuk ormas dan orsospol pada tahun 1984 ini adalah wujud sebagai penguasaan negara terhadap keberlangsungan dialektika kebernegaraan dan ini tentu dilawan oleh setiap ormas Islam yang merasa adanya kooptasi tafsir terhadap negara mengenaii pancasila oleh negara. Oleh Fachry Ali, kebijakan ini bisa muncul akibat dominasi negara yang begitu kuat dalam sosial politik dan ekonomi yang hampir bersifat tunggal.[12] Kelompok mayoritas menerima sedangkan minoritas menolak. Disini ada kesamaan dalam melihat masalah ini oleh beberapa kelompok mayoritas muslim dan pemerintah untuk melihat Pancasila sebagai asas tunggal. PPP menerima dengan mudah hal tersebut dan bahkan mendukungnya dalam pembahasan untuk dijadikan sebagai legislasi. Kemudian hal serupa juga berlaku untuk NU, Muhammadiyahd an MUI. Namun kelompok yang lebih keras, seperti HMI yang kemudian pecah menjadi MPO serta PII menolak. Kemudian beberapa tokoh muslim penting seperti Sjarifuddin Prawiranegara, AM Fatwa dan Abd Qadir Jaelani menolak usulan pemerintah itu. Alasan bagi kelompok penolak adalah bahwa menjadikan bahwa unsur teologi dalam asas tunggal dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.[13] Namun bagi kelompok lain seperti NU dan tokoh generasi baru Indonesia Nurcholis Madjid melihat sebaliknya. Bagi NU Pancasila adalah hasil rumusan mereka juga jadi selain menerima Pancasila sebagai dasar negara, maka NU juga menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1983. Sedangkan Nurcholis Madjid memiliki pandangan bahwa dimensi politik dalam sejarah Islam adalah bukan esensi keimanan Islam. Dan juga yang penting,selain pemberlakuan asas tunggal, masa Orde Baru juga polemik P-4, ada penolakan yang keras dari kelompok Islam. Bila kemudian kelompok Islam melihat Pancasila sebagai dasar negara karena itu merupakan ideologi bawaan atau yang ada dan hidup, maka P-4 dianggap sebagai tandingan terhadap agama bahkan hadir sebagai alternatif agama. Sehingga PPP, sebagai reseprentatif melakukan walk out dari MPR dalam sebuah proses pengambilan keputusan pada 21 Maret 1978.[14] Setelah mengalami masa-masa yang sulit, maka Islam dan Orde Baru mulai membangun hubungan yang harmonis, yang oleh beberapa pengamat seperti William Lidle, Adam Schwarz dan Arief Budiman ditanggapi bukanlah sebagai kehadiran yang subtantif dari kelompok Islam dalam ruang Ord Baru. Bahkan dengan tegas, Liddle mengatakan bahwa adanya ICMI, yang dipresentasikan sebagai kekuatan mobilitas umat Islam, itu tidak lebih sebagai faksi baru dalam mesin birokrasi orde baru. Namun pandangan positif lain bisa juga terlihat dengan baik oleh Hefner. ICMI baginya bukan pegeseran elite dalam negara, melainkan sebuah hasil dari proses politik sosial dan ekonomi masyarakat Islam Indonesia dalam waktu yang lama. [15] Inilah mengapa Islam berhasil menerobos ke level kebijakan. Tahun 1989, pesantren dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional melalui UU No 2 Tahun 1989. Kemudian juga adanya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Yang menarik, Kompilasi Hukum Islam yang sudah digagas sejak tahun 1995, kemudian dimasukkan dalam Inpres No 1 Tahun 1991.[16] Mengikuti tesis Hefner bahwa Islam pasca Soeharto adalah tidak dilihat bahwa adanya pengelompokan Islam secara tunggal sehingga membuat pertanyaan mengenai kesepakatan kelompok muslim di Indonesia tentang peran Islam semakin jauh. Hefner memberikan polarisasi kekuatan politik Islam pasca Soeharto dengan memberikan gambaran bahwa ada partai yang memiliki hubungan dengan Muhammadiyah dan NU, serta ada pula yang berwajah pluralis. Yang menarik bahwa fargmentasi pembagian atas katagori modernism dan neo tradisinoalis akan lebh tergambar pada masa transisi politik tersebut. Bahkan menurut Hefner, situasi akan lebih rumit, karena menghadirkan kelompok Islamis Konservatif dalam peta politik tersebut.[17] Merayakan dan Merawat Kebebasan; Islam dan Negara Pasca Soeharto Ketika reformasi 1998, yang lalu kemudian menghadirkan episode politik baru, kemudian menujukkan bahwa betapa kelompok-kelompok Islam kembali berada dalam panggung politik. Namun sebetulnya tidak semua berjalan demikian. PKB misalnya, sebagai partai politik yang lahir dari rahim NU, menyatakan sebagai partai terbuka dan tidak berasaskan Islam, karena bagi partai tersebut dalam memperbaiki moralitas politik melalui pendekatan budaya.[18] Semakin banyak partai Islam yang tumbuh menandakan bahwa pada masa transisi

ini tidak memiliki agenda bersama yang kuat. Pada masa transisi ini juga tidak memiliki agenda bersama yang kokoh sehingga .berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1955, dimana partai Islam memiliki Masyumi dan partai NU memiliki agenda pengislaman negara. Pada periode 1999, tercatat bahwa partai Islam mengalami fragmentasi dalam bentuk visi. Sebut saja ada Prtai Islam yang mewarisi Masyumi yang paling sah yaitu Partai Masyumi Baru pimpinan Ridwan Saidi. Lalu juga ada Partai Politik Islam Masyumi (PPIM) dibawah komando Abdullah Hehamahua. Sedangkan partai yang paling sah dan paling orisinil adalah Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra. Selain itu juga pada pemilu ini juga memiliki partai yang berbasis massa NU, seperti PKB, PNU dan PKU. Sebagai catatan, PKB dan PAN yang lahir dari rahim NU dan Muhamdiyah telah mendeklarasikan sebagai partai terbuka dan tidak berasas Islam.[19] Hal inilah yang membedakan sikap partai-partai tersebut tentang agenda mengenai pembicaraan kembali Piagam Jakarta pada pemilu 1999, dengan usulan untuk melakukan amandemen pasal 29 UUD 1945 yang diusul oleh PPP. Pasal 29 UUD 1945yang memuat ketentuan sebagai berikut 1) Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, --tidak berhasil dilakukan amandemen karena ditolak oleh faksi-faksi nasionalis. Walau kemudian pasal 29 UUD 1945 tetap dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya, namun ketika era keterbukaan pasca jatuhnya rezim Orde Baru, kekuatan dari pasal ini mulai tercerabut akibat banyaknya pemaksaan atas nama agama dan keyakinan. Beberapa kasus penting misalnya terlihat jelas dalam kasus Ahmadiyah yang sejak fatwa MUI mengalami kekerasan. Salah satu yang dicatat adalah penyerangan oleh 1000 massa terhadap Ahmadiyah di Manislor Kabupaten Kuningan Jawa Barat 18 Februari 2007 yang mengakibatkan 3 orang mengalami luka-luka, 2 mesjid rusak dan 8 rumah jamaah Ahmadiyah rusak. Penyerangan ini ditenggrai akibat vonis MUI yang memfatwa bahwa Ahamdiyah sesat. SKB 3 Menteri juga ikut membuat eksistensi Ahmadiyah semakin terjepit..[20] Ketiadaan negara dalam melindungi warganya kemudian diperparah dengan keterlibatan TNI dalam pelanggaran terhadap Ahmadiyahh.[21] Beberapa catatan dari lembaga HAM menunukkan kekerasan, seperti yang terjadi di Ceukesik 6 Februari 2011, menunjukkan bahwa negara tidak tegas dalam menjamin kepercayaan dan keyakinan warganya. Temuan KontraS menunjukkan adanya pelanggaran HAM karena kegagalan negara melakukan mekanisme pencegahan kekerasan.[22] Laporan CRCS menunjukkan sepanjang tahun 2010 ada 20, diluar kasus Ahmadiyah, kasus tentang penyesatan yang bergerak bak bola liar nan panas langsung mempengaruhi wacana keberagamaan masyarakat yang terbilang sensitif. Dimana 17 kasus dalam umat Islam, 1 kasus Budha, 1 Kasus Hindu dan 1 kasus Kristen. Sedangkan 126 pengungsi Ahmadiyah yang berada di wilayah Mataram dilanggar hak-hak sipilnya, seperti tidak boleh membuat KTP baru. Pelarangan ini berakibat hilangnya hak politiknya sebagai warga negara dalam pemilukada. Mereka juga tidak bisa mengakses pengobatan gratis, tidak bisa memiliki SIM, tidak memiliki akta perkawinan, tidak memiliki akta kelahiran dan tidak bisa mendapatkan bantuan pendidikan.[23] Hal yang kurang lebih sama yang disimpulkan oleh Wahid Institute, bahwa persoalan kebebasan berkeyakinan masih memiliki masalah di negeri ini. Kesimpukan Wahid Institute menunjukkan di tahun 2010 telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dari pada tahun 2009. Bila tahun 2009 ditemukan 35 kasus (11 wilayah), maka di tahun 2010 ditemukan 64 kasus (13 wilayah). Selain itu, penolakan uji materil UU No 1 Tahun 1965 oleh MK telah menjadikan regulasi tersebut memiliki legitimasi legal untuk melakukan kriminalisasi terhadap keyakinan yang berbeda yang dianggap menodai agama mereka. Yang menarik adalah ternyata negara juga memiliki kontribusi melakukan tindakan-tindakan intoleransi.[24] Ini kemudian yang dipicu juga oleh UU No 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Disini ada protes yang muncul bahwa mengapa negara mencampuri urusan keyakinan dan turut campur dalam menafsirkan agama atau berhak menentukan salah satu pihak dianggap bersalah karena melakukan penodaan terhadap agama. UU ini dianggap bertentangan dengan kosntitusi, alih-alih hendak menjaga kehidupan keagamaan, pereturan tersebut malah menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan keagamaan di Indonesia.[25] Oleh karena itu kumpulan lembaga sipil, seperti Imparsial, ELSAM, Demos dan tokoh-tokoh sipil seperti Abdurrahman Wahid, Dawam Raharjo dan Musdah Mulia melakukan uji materi terhadap UU No 1 tahun 1965, dengan mengajukan argumen utama bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yang dijabarkan seperti berikut; 1) bahwa semua persamaan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan; 2) bahwa pasalpasal yang diuji, seperti pasal 1, 2, 3 , 4 dan 5 UU No 1 tahun 1965 memangkas kebebasan beragama yang resmi diakui oleh negara, serta bertentangan dengan prinsip toleransi,keragaman dan pemikiran terbuka; 3)Berpihaknya negara terhadap salah satu tafsir adalah bentuk diskriminasi negara yang bertentangan dengan konstitusi pada pasal 27 ayat (1), pasal 28E ayat (2), pasal 28I ayat (1 dan 2) dan pasal 29 ayat (1) UUD 1945.[26] Walau kemudian Mahkamah Konstitusi masih memperrtahankan UU tersebut karena dianggap argumen yang diajukan oleh penguji tidak dapat membuktikan argumennya sehingga UU tersebut bertentangan dengan konstitusi, cenderung bersifat diskriminatif, mengancam kebebasan beragama serta berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.[27]

Kesimpulan Sebagai sebuah bangsa yang memiliki mayoritas umat muslim, tidak memilih Islam sebagai dasar negara, telah menimbulkan polemik yang panjang, mulai dari ide untuk membangun sebuah negara bersama. Sampai saat ini, ppolemik ini terjadi diakibatkan oleh posisi negara yang tidak tegas dalam menyikapi agama. Disatu sisi menyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, namun memiliki agama yang diakui. Belum lagi ketika negara masih memiliki keinginan untuk memasuki wilayah tafsir yang sebenarnya harus berada dalam domain sipil. Dengan demikian, untuk memastikan agar terciptanya ruang diskursif dan deliberatif, maka negara harus bersikap netral dengan semua agama dan keyakinan. Negara kemudian harus menarik garis yang jelas dengan agama. Ini penting agar tafsir agama yang sifatnya plural tidak mengalami kooptasi kekuasaan. Sehingga bila posisi ini disikapi dengan baik dan bijak, maka menjadi kemestian peraturan dan perundangundangan yang dapat mencederai kebebasan yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi dapat dilihat kembali dalam rangka membangun sebuah hubungan yang harmonis pula. Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti pada Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam.

Islam dan Konsep Pluralisme Agama


FRIDAY, 10 JUNE 2011 10:33

WRITTEN BY NOVENDRA DJ | ANGGOTA KOMUNITAS STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (KSAF)

Bagian dari persoalan penting umat Islam adalah memahami dengan baik tentang gagasan (konsep) pluralisme yang sejalur dengan totalitas pandangan dan keyakinan agama ini. Apa makna dan bagaimana Islam mendudukkan gagasan ini secara proporsional? Sehingga menerima pluralisme tidak bertabrakan dengan aqidah yang membentuk keyakinan Islam itu sendiri. Istilah pluralisme secara umum merujuk pada suatu cara pandang yang berorientasi kemajemukan (kejamakan). Gagasan ini dicangkokan pada berbagai ranah atau berbagai subjek pengetahuan, kemudian mengkristal sebagai suatu isme tersendiri. Namun tulisan ini hanya memfokuskan pada ranah kemungkinan Islam menerima dan memposisikan konsep tersebut terkait eksistensi agama-agama lainnya.

Mengingat ada perkembangan wacana pluralisme di Indonesia akhir-akhir ini dominan dengan gagasan teologi inklusif. Hal demikian sebenarnya bagian dari merespon arus globalisasi yang memaksa para intelektual agama-agama menyelesaikan berbagai perselisihan dan konflik berbasis keyakinan agama. Ini juga sepertinya agama terlanjur ditasbihkan sebagai sumber dan pemicu konflik sosial dan negara. Walaupun fakta dominin menunjukkan faktor kesewenangan kelas sosial, kesenjangan ekonomi dan penindasan yang terajut dalam ketidakadilan sosial adalah muara konflik.
Pluralisme Atas Dasar Kesamaan Tujuan Puncak

Diatas basis pandangan pluralisme, beberapa kalangan meyakini keberagaman adalah kemestian. Hal ini tidak terkecuali terhadap kehadiran ragam agama ditengah-tengah manusia. Kehadiran berbagai agama adalah respon manusia yang beragam (saling berbeda) atas Tuhan sebagai Realitas Absolut. Keberbedaan ini muncul dikarenakan ketidaksamaan pengalaman dan rentang sejarah yang dijalani berbagai individu dan kelompok manusia. Atas dasar itu, wajar ada keberagaman perspektif ditengah-tengah manusia dalam memahami dan memberi reaksi atas Wujud Mutlak, yang sesungguhnya semua agama berorientasi kepadanya. Dengan demikian, tidak layak bagi suatu kelompok penganut agama tertentu menegasikan (menyalahkan) makna yang dikandung oleh agama-agama lain diluarnya. Ini termasuk persoalan nilai kebenaran dan keselamatan yang ada dalam seluruh ajaran agama-agama. Setiap persepsi dan penerapan dari berbagai agama tersebut memiliki nilai tersendiri yang dapat mengacu pada tujuan tunggalnya. Artinya, tidak ada monopoli, baik dalam tingkatan interpretasi maupun aplikasi praktisnya. Orientasi pluralisme agama dalam pengertian pertama ini dapat dimaknai bahwa tidak ada klaim ekslusif terhadap kebenaran yang dapat diterima. Bahwa suatu agama

memandang hanya padanyalah kebenaran dan selainnya adalah sesat dengan sendirinya tertolak. Karena masing-masing agama memiliki hakikat tertentu bersama nilai kebenarannya tersendiri. Masing-masing agama menyimpan keagungan yang layak bagi semua orang menjadikannya sebagai sandaran. Jhon Hick melihat agama-agama besar dalam jejak sejarahnya adalah pembentuk keberagaman persepsi atas berbagai cabang dari masing-masing agama tersebut. Ini timbul karena adanya pengalaman-pengalaman keagamaan berbeda dialami masingmasing agama tersebut, yang membingkai ruang budaya khasnya satu sama lain. Keberagaman persepsi tersebut sesungguhnya menunjuk pada satu puncak hakikat misterius. Karenanya menurut tokoh pluralisme agama kenamaan golongan Kristen ini pencerapan berbagai pengalaman keagamaan dari masing-masing agama besar tersebut memperlihatkan adanya hasil-hasil moral dan spiritual yang dapat dikatakan sama. (Menggugat Pluralisme Agama, AR. Gulpaigani, terj. Muhammad Musa, hal. 14-15).
Pluralisme Atas Dasar Realitas Sosial

Makna lain pluralisme agama terkait dengan orientasi kehidupan sosial, atau pada penghargaan atas berkeyakinan dan hak setiap orang dalam pengekspresian agamanya masing-masing. Realitas sosial menuntut setiap orang atau tiap-tiap agama membangun batasan-batasan ranah sosial untuk tidak berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Makna dari pluralisme ini tidak mencakup kolektifitas kebenaran dan keselamatan sebagai suatu keyakinan umum dan mendasar bagi setiap agama. Karena dua hal tersebut (kebenaran puncak dan fakta sosial) berada pada posisi yang terpilah secara proporsional. Islam sebagai agama samawi terakhir untuk manusia mesti menunjukkan ia adalah satu-satunya yang dapat diterima sebagai kebenaran. Ia juga mesti bisa memastikan keyakinan umat atas agama ini memiliki landasan kukuh sebagai jalan keselamatan. Jika tidak, bagaimana Islam bisa mendakwahkan dirinya sebagai kebenaran dan jalan keselamatan yang mesti ditempuh manusia? Padahal sudah ada agama-agama samawi lain yang hadir kedunia dengan tawaran yang sama. Apa artinya kehadiran Islam dan diperjuangkan eksistensinya dengan berbagai kemampuan yang ada, hingga mesti membayarkannya dengan nyawa dan darah? Demikian juga Kristen dan Yahudi, dengan alasan apa agama ini mesti dipertahankan? Bagaimana mereka bisa menunjukkan ia senantiasa relefan diusung sebagai kebenaran dan jalan keselamatan? Mengapa pula agama-agama ini mesti menjaga umatnya agar tidak keluar darinya?. Bahkan lebih dari itu, Kristen mesti melihat bahwa umat diluarnya adalah domba-domba tersesat. Artinya, setiap agama mesti memiliki keyakinan atas kebenaran dan keselamatan secara ekslusif adalah miliknya. Tidak hanya sebatas perasaan dan mengkondisikan suasana psikologis semata. Namun ia mesti hadir ditingkat argumen-argumen rasional-niscaya dan dapat diterima manusia.
Pluralisme dari Aspek Vertikal dan Horizontal

Sisi lain yang mesti dilihat dari makna pluralism agama adalah aspek vertikal dan horizontalnya. Ini terbatas pada agama-agama samawi belaka. Maksudnya. Seluruh bangunan teologi dan syariat yang berlaku diantara agama-agama samawi memiliki sumber yang sama dan diturunkan oleh realitas puncak yang sama pula. Tidak ada persoalan terkait dengan kebenaran dan jalan keselamatan yang dilalui para penganutnya. Karena tidak ada kontradiksi terkait bangunan teologi yang ada pada Islam, Kristen dan Yahudi, sebab bersumber pada Yang Satu. Sedangkan syariat dari masing-masing agama tersebut berbeda satu sama lain, dimana dari segi penerapannya memiliki konteks waktu yang berbeda-beda. Secara terpisah kita mesti melihat bahwa keberagaman syariat tersebut tidak dapat berlaku dalam kondisi bersamaan. Karena sumber yang menurunkan syariat, keputusannya adalah dalam posisi menggantikan antara satu dengan yang lain sesuai fase penurunannya. Keberlakuan yang satu dengan niscaya membatalkan yang lain. Namun dari sudut pandang teologis tidak ada perubahan atau pereduksian yang dapat diterima. Karena cara pandang dan kebenaranya senatiasa tunggal.
Harmoni Islam dengan Pluralisme

Dari uraian tiga bentuk gagasan pluralisme diatas, Islam secara proporsional dapat menerima bentuk kedua dan ketiga. Dasar konsepsinya adalah ketiadaan kontradiksi

antara realitas tunggal dan kebenaran absolut dengan fenomena keberagaman yang tak terhindarkan. Kaidah logis ini bersesuaian dengan ketidaknihilan peneguhan keyakinan Islam dan loyalitas total padanya. Bentuk pengertian pluralisme mengungkapkan fakta bahwa sumber pokok agamaagama (samawi) adalah Realitas Mutlak, bukan sebaliknya (ekspresi beragam terhadap Realitas Absolut). Realitas teologis adalah tunggal, artinya Islam, Kristen dan Yahudi saat diturunkan berbasis pada pandangan ketuhanan, kenabian, keadilan dan kebangkitan dalam makna yang sama. Sedangkan keberagaman syariat diantara mereka sangat terkait dengan konteks waktu dan fase umatnya. Ketaatan masing-masing umat tersebut dalam syariat sama-sama melalui jalan keselamatan. Hal ini sama seperti terungkap dalam diktum filosofis adanya keberagaman dalam ketunggalan. Jika kita dapat menerima pluralisme dalam pengertian pertama, maka mempertahankan pelembagaan masing-masing jalan kebenaran dan keselamatan yang saling berbeda tersebut hilang relefansinya. Ini hanya akan menumbuhkan sikap subjektif berlebihan atas berbagai pilihan yang tidak memiliki perbedaan esensial terhadap kebenaran dan jalan keselamatan itu sendiri. Menempatkan manusia sebagai pendasaran pokok (poros), bukan Tuhan, menunjukkan tendensi subjektif pelembagaan agama-agama dan ragam ekspresi terhadap Realitas Absolut. Intinya tidak ada sikap bijaksana (dalam pengertian sebenarnya) yang terungkap dengan pemahaman seperti itu. Sikap moderat dalam menerima makna pluralisme kedua dan ketiga sejulur dengan mizan (keseimbangan) yang dituntut Islam atas umatnya, baik dalam cara pandang maupun aplikasi praktisnya. Bukan pula semacam ruang kompromi terhadap pluralisme arus populer, tetapi keniscayaan rasional dan proporsional Islam menerima gagasan pluralisme yang demikian. Novendra Dj | Anggota Komunitas Studi Agama dan Filsafat
(KSAF).

Islam dan Modernitas: Sekitar Usaha Tariq Ramadan dalam Membangun Hubungan Islam dan Barat
SUNDAY, 29 MAY 2011 15:30

WRITTEN BY ALKAF MUCHTAR ALI PIYEUNG | PENELITI ACEH INSTITUTE DAN PEGIAT DI KELOMPOK STUDI DARUSSALAM
Hubungan Islam dan Barat seringkali bersifat unik. Islam sebagai agama yang pernah menjadi inspirasi peradaban dunia, namun kini berhadapan dengan kenyataan bahwa di zaman modern ini berada dalam kenyataan bahwa usaha-usaha peradaban yang dirintisnya dulu kini berada dalam dekapan Barat. Sedangkan Barat, sebagai jantung modernitas hari ini selalu saja berada dalam posisi yang curiga terhadap Islam. Islam sering kali diasosiasikan sebagai pihak yang anti kemoderenan. Bahkan Islam pada tahap tertentu dianggap sebagai penghalang terhadap tegaknya usaha modernisasi dunia hari ini. Cara pandang Barat ini tentunya tidak benar. Islam secara normatif dan empirik adalah agama yang selalu memandang postif setiap usaha-usaha untuk kemajuan, sehingga pada masa awal keberadaannya, Islam berhasil membumikan pandangan yang modern tentang dunia dan nilai-nilai kemanusiaan, di saat Barat tenggelam dalam alam kegelapannya dalam waktu yang lama. Salah usaha untuk terus membawa Islam tetap berada sebagai pihak yang selalu modern, dalam hal ini berdialog dengan zaman modernitas, maka salah satu pemikir kontemporer yang memilik perhatian besar untuk menjembani antara Islam dan Barat. Biografi Singkat Tariq Ramadan Tariq Ramadan dilahirkan di Jenewa, Swiss tahun 1962. Dia menamatkan Phd Kajian Arab dan Islamic Studies di Geneva University. Selain itu, Ramadan juga mengikuti kajian-kajian singkat tentang Islam klasik di Al Azhar University. Ramadan kini menjadi pengajar di Departement Teologi Oxford University dan aktif melakukan kampanye tentang perlunya dialog antar agama dan peradaban dan mengajar topik-topik penting tentang Islam, keadilan sosial, filsafat dan etika. Ramadan memiliki beberapa karya penting yang sangat mempengaruhi dunia intelektual di Barat, terutama dalam isu-isu Islam, Barat dan Modernitas. Beberapa di antaranya; The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism, What I believe, Radical Reform, Islamic Ethics and Liberation[2]

Ramadan adalah intelektual yang memiliki bobot yang tinggi. Dia adalah cucu dari Hasan al Banna, pendiri Ikhawanul Muslimin. Bapaknya, Said Ramadan, yang dijuluki a Little Al Banna, adalah salah satu tokoh Ikhwan yang sangat disegani, sehingga akhirnya harus terusir dari Mesir akibat kerasnya rezim despotik Gemal Abdel Nasser. Said Ramadan kemudian selama 41 tahun dalam pengasingan menjadi tokoh Islam penting di Eropa. Dia membangun kesadaran Islam dalam dunia barunya di Eropa, bertemu tokoh-tokoh penting Islam lainnya dan menolak Revolusi Islam kecuali untuk pembebasan Palestina.[3] Ramadan secara personal sering dicurigai karena dianggap mendukung radikalisme Islam, sehingga pernah ditolak untuk masuk ke Amerika Serikat, disebabkan karena kritik kerasnya terhadap pendudukan Israel atas Palestina.[4] Dalam sebuah artikelnya, Tariq Ramadan mengatakan ...bahwa saya percaya, penolakan visa tersebut diakibatkan oleh sikap kritis saya terhadap kebijakan Pemerintah Amerika Serikat terhadap Timur Tengah dan dukungan tidak bersyaratnya terhadap Israel, yang telah merebut wilayah Palestina.[5] Gagasan-gagasan utama Tariq Ramadan Menjadi intelektual Islam di jantung modernitas adalah ungkapan yang tepat untuk mengambarkan sosok Tariq Ramadan. Lahir di Barat dari sebuah keluarga yang telah memberikan jejak penting untuk dunia Islam dalam merespon zaman modern, telah membuat Ramadan perlu sedemikian kuat memberikan pembacaan ulang terhadap Islam. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab, bahwa Ramadan tidak mengajak kaum muslim untuk melakukan adaptasi buta dengan sistem modern yang sedang mendominasi sekarang, melainkan melakukan interprestasi ulang dari internal kaum muslim terhadap bangunan keyakinannya dalam melihat dunia dewasa ini, serta keluar dari tembok yang memisahkan muslim dari dunia luarnya. [6] Oleh karena itu, bagi Ramadan, salah satu terma penting dalam Islam, yang kemudian harus dilakukan pembacaan ulang untuk menjawab tantangan modernitas adalah Syariah. Ramadan dengan tegas mengatakan bahwa Syariah, yang berasal dari dua sumber yang absolut; Al Quran dan Sunnah, harus dibedakan dengan Fikh; yang merupakan kodifikasi hukum oleh para sarjana. Disini kemudian, Ramadan menjelaskan bahwa untuk memahami kedua sumber itu harus adanya ijtihad, yang dianggap sebagai sumber ke tiga, setelah Quran dan Sunnah. Dan baginya, memaknai syariah bukanlah sebagai kumpulan larangan, melainkan sebagai pemberi kebebasan bagi manusia, bukan malah menjadi sebaliknya.[7] Ramadan menegaskan bahwa Islam harus dipandang sebagai sebagai keyakinan yang fundamental, namun memiliki wujud yang beragam melalui ekspresinya masing-masing, yang ditentukan oleh penafsiran dan kebudayaannya. Sehingga bagi Ramadan, Islam di Barat sama saja, secara ide utamanya, dengan Islam di Arab, Afrika atau Asia. Disini kemudian Ramadan memberikan perhatian yang besar mengenai keberadaan Islam di Barat, yang baginya bukan lagi mempersoalkan tentang kesepakatan bersama atau integrasi, melainkan sudah harus berada pada titik memberikan kontribusi dan partisipasi. Bagi Ramadan, muslim yang lahir di Barat harus melihat kenyataan bahwa mereka sudah berada dalam dunia dan kebudayaan yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang pindah ke Barat atau pun kelompok muslimnya yang tinggal di jantung dunia Islam.[8] Ramadan juga percaya kepada demokrasi. Keyakinannya kepada demokrasi kemudian membuat Ramadan menyambut gembira gejolak politik untuk melakukan demokratisasi di Mesir. Baginya, gelombang revolusi yang dilakukan oleh kekuatan opisisi, yang tanpa ada satu kelompok mana pun yang bisa mengklaim bahwa itu adalah reseprentasi politiknya, telah memberikan angin baru untuk membangun demokrasi di Mesir. Namun demikian, Ramadan tetap saja kritis terhadap Barat untuk tidak bersikap standar ganda dan tidak perlu mengkhawatirkan kebangkitan kaum Islamis di dunia Arab dengan adanya revolusi tersebut. Ramadan kemudian memberi contoh bagaiman kemenangan HAMAS pada Pemilu Palestina lalu yang kemudian ditentang oleh Barat.[9] Penutup Pergulatan Islam dan modernitas, sebagai pintu masuk untuk membangun hubungan yang harmonis dengan peradaban modern yang kini dipimpin oleh Barat, tentunya akan terus mencari bentuk yang ideal. Gelombang intelektual di dunia Islam pun semakin hari semakin menunjukkan cara pandang positifnya terhadap modernitas, salah satunya adalah Tariq Ramadan. Tariq Ramadan, sebagai intelektual muslim, tentunya akan semakin penting dalam peta dialog antara Islam dan Barat. Terobosan intelektualnya, yang mengajak pertemuan antara Islam dan Barat secara seimbang dan adil, membuat dinamika tentang keduanya semakin penting untuk terus dielaborasi. Gagasannya yang mengajak muslim untuk benar-benar tinggal di Barat telah sedkit banyaknya mendekatkan jarak antara Islam dan Barat yang memang masih juga dipenuhi rasa saling curiga. Ramadan juga mengatakan dengan sangat baik bahwa muslim di Barat tidak boleh lagi berada dalam fase integrasi. Baginya kini, muslim di Barat sudah berada dalam periode post-integration yang kemudian berimplikasi positif agar muslim memberikan kontribusi dan partisipasi. Tidak hanya untuk Islam, Ramadan pun mengajak agar Barat juga bisa belajar dari Islam yang memiliki kekayaan intelektual, yang kini diakui juga oleh para sarjana-sarjana Barat, bahwa peradaban mereka kini ada karena kontribusi signifikan dari peradaban Islam.

Antropologi Agama
WEDNESDAY, 27 APRIL 2011 13:01

WRITTEN BY MUHAJIR AL FAIRUSY| MAHASISWA PASCASARJANA ANTROPOLOGI UGM


Antropologi menjadi kue rebutan dan perhatian dari berbagai kalangan ilmuwan sosial budaya sejak catatancatatan para kolonial dan penjelajah menulis tentang kehidupan manusia diluar Eropa yang mereka anggap berbeda dengan kaum Eropa. Sehingga lahirlah etnografi sebagai produk antropologi. Semua ilmuwan sosial bisa memakai antropologi secara umum karena kajiannya yang terpusat pada manusia dan perilakunya. Apalagi ruang kehidupan manusia tanpa batas waktu tetap menjadi data primer antropologi untuk menghasilkan karyanya.

Disiplin ilmu sosial dan budaya menempatkan antropologi sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat hakikat manusia sekaligus, yaitu biologis (antropologi ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya). Jadi semua sisi biologi seperti fisik manusia yang berbeda-beda menjadi objek kajiannya, serta hasil dari interaksi manusia yang menghasilkan budaya dan unsur-unsurnya juga menjadi objek antropologi, karena itu antropologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia dan kekomplekan masalahnya. Sebagian ilmuwan sosial budaya menggunakan istilah antropologi untuk melihat fenomena tertentu yang berkembang dalam masyarakat dengan mengaitkan langsung kepada antropologi fulan wa fulan. Sebenarnya antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki istilah permanen sendiri ketika dikontekskan dengan ilmu lainnya. Tidak semua fenomena kadang cocok dikaitkan dengan kata antropologi seperti aliran sesat yang sangat sensitif isunya dan dia juga bukan ilmu tetapi fenomena dalam masyarakat, jadi kurang tepat apabila disandingkan ilmu antropologi dengan kata aliran sesat kemudian membentuk antropologi aliran sesat mengingat tidak semua masyarakat kita mengerti antropologi. Dalam disiplin antropologi yang ruang lingkup kajiannya begitu luas, para ahli antropologi hanya membaginya berdasarkan pendekatan ilmu lain yang akan dikaji, seperti antropologi ekonomi, antropologi sosial dan budaya, antropologi linguistik, antropologi sejarah, antropologi hukum, antropologi pertanian, antropologi kelautan dan antropologi agama sebagai antropologi untuk melihat aliran sesat yang menjadi kegelisahan dalam masyarakat terkait dengan kepercayaannya sebagai unsur budaya. Namun untuk menjadikannya tema menarik maka sang penulis sah-sah saja memakai istilah itu. Pada ruang tulisan ini saya bukan hakim yang berhak menyalahkan pendapat orang dan tulisannya kemudian memenangkan pihak yang merasa dirugikan. Tetapi sebagai mahasiswa antropologi saya memiliki tanggung jawab untuk meluruskan hal yang saya anggap benar menurut apa yang saya pelajari meskipun kebenaran itu sangat relatif. Dan pada ruang ini saya mengajak pihak akademisi dan ilmuwan seharusnya bersikap bijak membaca sesuatu tanpa kemudian langsung mengklaim salah apalagi langsung menuduh seseorang telah provokatif dan merugikan lembaga. Tulisan saudara Sehat Insan Sadikin (SIS) merupakan sebuah analisis terhadap fenomena religi, wajar saja tema seperti itu lahir mungkin karena kedongkolan melihat kualitas agama bangsanya yang rapuh dikikis oleh pop culture. Namun saya kurang sepakat manakala menempatkan tema antropologi aliran sesat karena antropologi tidak berhak memberikan klaim kepada sebuah kepercayaan dengan kata sesat, apalagi tema tersebut bisa melahirkan multi tafsir dan alangkah lebih baik bila tema itu ditulis dengan tema antropologi agama. Pada ranah ilmu sosial budaya, antropologi mengambil jatah kajian yang ruang lingkupnya begitu luas. Sehingga dalam bukunya Teori Budayakarangan David Kaplan dan Robert A. Manners sempat tertulis antropologi merupakan ilmu paling takabur dalam artian positif diantara sekalian ilmu sosial. Betapa tidak karena antropologi mengambil budaya manusia untuk kajiannya di segala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah. Fenomena aliran sesat di Aceh menjadi objek kajian antropologi bagi ilmuwan yang mengambil antropologi agama sebagai landasan pacunya. Penulis antropologi aliran sesat SIS adalah penulis yang tepat untuk mengupas masalah tersebut, namun ada sedikit riak sepertinya ketika penulis antropologi agama tersebut menempatkan objek kajiannya di depan kata antropologi. Karena bagaimanapun aliran sesat adalah bagian dari fenomena budaya dan penafsiran yang lahir dari paradigma berpikir. Aliran sesat di Aceh memang bukan antropologi sebagaimana yang dipermasalahkan oleh pihak yang merasa dirugikan, tetapi ini merupakan objek kajian antropologi untuk mencari benang merah mengapa fenomena ini bisa lahir. Tema tulisan yang mengacu kepada isu sensitif memang bisa memberikan dampak luas bagi siapa yang menafsirkannya. Namun sebagai seorang yang bijaksana kita bisa mengetahui isi tema setelah membaca semua isi tulisan. Dalam kasus ini saya sedikit memberikan keterangan yang mungkin bisa 'mendinginkan' suasana, pertama, antropologi bukan ilmu yang dengan mudah memberikan klaim apalagi sampai menghakimi sebuah aliran

dalam nuansa religi dengan kata sesat, karena antropologi bukan ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Dia hanya ilmu yang memberikan gambaran gejala dan fenomena berdasarkan pada pertanyaan analisis mengapa itu bisa terjadi ?. Yang berhak memberikan klaim sebuah religi sesat hanyalah para ilmuwan dan cendikiawan agama tersebut apabila itu dirasa bertolak dengan keyakinannya. Kedua, antropologi menempatkan agama sebagai kajian analisisnya yang bertumpu pada fenomena religi sebagai unsur budaya dan layak untuk diteliti dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk budaya tentu akan terus berkreasi bahkan termasuk dalam ranah religi. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia memiliki sikap serba-religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Faktor ini lahir dari proses pemikiran ada apa setelah kehidupan sehingga dengan rasa takut dan keyakinannya manusia membutuhkan agama. Antropologi tidak melihat sebuah agama, kepercayaan dan keyakinan salah atau benar, tetapi semua proses beragama manusia yang berasal dari emosi menjadi perhatian antropologi. Sebagai ilmu yang menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, tekhnologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. Antropologi memiliki jutaan tema melahirkan etnografinya sesuai paradigma berpikir. Mungkin untuk kalangan akademisi tema antropologi aliran sesat bisa dipahami secara konteks, namun bagaimana apabila kue antropologi aliran sesat di hidangkan kepada masyarakat kita yang tidak semuanya berbasis akademisi. Tentu akan melahirkan pemaknaan yang beragam. Agama dalam antropologi dipahami secara mendatail, lewat kajiannya antropologi agama telah menempatkan Islam kedalam tiga dimensi,pertama, Islam tekstual, yaitu Islam yang bersarkan pada Al Qur an dan Hadits, kedua, Islam Penafsiran, yaitu Islam yang lahir dari berbagai penafsiran ulama untuk menjawab tantangan zaman manusia, ketiga,Islam Praktek, yaitu Islam yang dipraktekkan oleh semua muslim dengan variasi pemahamannya termasuk pada aliran sesat tersebut. Sebenarnya untuk melihat fenomena aliran sesat di Aceh kita harus menemukan pola tepat. Kita lupa bahwa ada hal penting yang harus dilakukan yaitu bagaimana mengislamkan orang Islam kembali ke jalan Islam yang sesuai tuntunan Rasulullah. Fenomena hari ini sebenarnya adalah karena rapuhnya akidah umat Islam dan bukan salah Islam-nya serta nilai-nilainya karena ajaran Islam tidak pernah mengalami perubahan apalagi kerapuhan. Betapa banyak umat Islam hari ini yang perilaku kamanusiaannya tidak sesuai tuntunan Islam bahkan kebanyakan melawan nilai keislaman. Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebagai pengisi nuansa ilmu antropologi di ranah Aceh. antropologi bukanlah aliran sesat tetapi dia adalah sebuah disiplin ilmu budaya, kepada SIS tulisannya patut diapresiasi karena dengan analisisnya yang kuat melihat fenomena aliran sesat telah membuka mata kita, betapa lemahnya kuda-kuda keislaman Aceh selama ini. Seharusnya Islam di Aceh harus memberikan keindahan dengan Islam yang penuh nuansa pengetahuan dan kedamaian tidak terjebak dalam materialisme dan gaya hidup sehingga aliran lain tidak akan berani memasuki pintu Serambi Mekkah. Kepada lembaga yang merasa dirugikan dan di zalimi dengan tema tersebut tidak perlu terjebak dengan kuantitas calon mahasiswa tapi bagaimana memikirkan kualitas mahasiswa yang ada untuk dijadikan teladan kepada calon mahasiswa berikutnya di jurusan antropologi. Karena sepengetahuan saya pengantar antropologi telah diajarkan di SMA-SMA diseluruh Aceh dan saya yakin mereka tahu bahwa antropologi itu bukanlah sebuah aliran apalagi sesat. Wallahualam. Muhajir Al Fairusy| Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM. Grafis repro denyendra.net

Negara Islam No, Sekularisme No!


THURSDAY, 14 APRIL 2011 00:00

WRITTEN BY ALKAF MUCHTAR ALI PIYEUNG | PENELITI ACEH INSTITUTE DAN PEGIAT DI KELOMPOK STUDI DARUSSALAM
Muhammad Riza menulis tentang betapa buruknya sekularisme (Serambi Indonesia, 4/3/2010) dari sebuah flatnya yang nyaman di negara sekuler yang bernama Jerman. Bagi negara sekular seperti Jerman, dan juga di negara-negara Barat lainnya, kecuali Holocoust, berbicara apapun adalah boleh karena hal tersebut dijamin oleh konstitusi mereka, termasuk mengkritisi sekularisme. Bagi Barat, sekularisme adalah pilihan yang tepat untuk menjawab kebuntuan kehidupan mereka akibat dari dominasi dan perselingkuhan Gereja dengan penguasa, yang dimana keduanya saling memberi dukungan dalam mempertahankan kekuasaannya untuk mengkooptasi rakyat. Sekularisme dalam pengertian ini kemudian bertindak tidak hanya melakukan pemisahan agama dan negara secara administratif, namun juga melepaskan ikatan agama sebagai sumber nilai dan etika, karena agama dianggap menyengsarakan dan memberi kegelapan. Agama pada titik kulmulasi tersebut kemudian diletakkan sebagai mitologi saja. Oleh karena sebagai mitologi, maka agama dimusuhi karena dianggap sebagai penyebab kemunduran akal bagi Barat.

Ketika Barat melakukan ekspansi kolonialisme-nya di dunia Muslim, termasuk di Nusantara, sekularisme seperti itulah yang coba diterapkan. Salah satu cara yang dilakukannya adalah melalui pelemahan kekuatan politik Islam di ruang publik, termasuk di kawasan Nusantara (Latif, 2007). Polemik Sekularisme dan Islamisme di Indonesia Di Indonesia, perjumpaan gagasan Barat yang sekuler dengan gagasan tradisional Islam pada awal abad 20, telah menciptakan perdebatan sengit antara dua pendukung kubu tersebut, yaitu mengenai dasar negara baru itu nantinya. Kubu Islamisme, yang diwakili Natsir dengan sekularisme yang diwakili oleh Soekarno. Namun sebagaimana kritik Bachtiar Efendi (1998), bahwa dalam perdebatan generasi awal mengenai relasi Islam dan negara tersebut, belum terlihat adanya ketegasan konsep. Oleh-nya, Natsir, sebagai wakil kelompok nasionalis-Islam, dianggap kurang berhasil menjelaskan gagasannya dengan baik karena masih terkesan normatif, sedangkan Soekarno, sebagai wakil kelompok nasionalis-sekular, dinilai masih kurang mampu memberikan subtansi keagamaan terhadap hubungan Islam dan negara. Ketidak-jelasan sejak awal konsepsi mengenai relasi agama dan negara kemudian inilah yang membuat ketidaan pemenang diantara dua kutub tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan adanya pengaruh agama, dalam hal ini tentu saja Islam, dalam penyusunan kebijakan negara, seperti adanya Departemen Agama, UU yang memiliki pretensi kebergamaan, seperti UU Zakat, lalu ada Bank Islam. Demikian juga Islamisme juga tidak berhasil menjadi pemenang dalam polemiknya dengan sekularisme karena tidak berhasil menjadikan Islam sebagai dasar negara (baca: negara Islam, yang sebenarnya itu adalah produk zaman modern). Keberadaan ini tentunya meyiratkan kepada kita bahwa secara sosiologis, sekularisme tidak menemukan tempatnya di Indonesia. Akibat itu menghadirkan wacana sekularisme sebagai panduan baru bagi kebangsaan sebenarnya adalah langkah yang tidak begitu baik karena akan menimbulkan langkah kontraproduktif dengan semangat kebangsaan yang memang memilik ruh agama. Oleh demikian maka pilihan kita adalah melakukan sekularisasi dalam pemaknaan desakralisasi objek-objek duniawi serta mengukhrawikan yang ukhrawi (Madjid, 1998). Sekularisasi atau desakralisasi adalah sebuah pilihan sosiologis untuk Indonesia. Karena sebagaimana tesis Yudi latif (2007), bahwa di Indonesia nantinya tidak akan pernah menjadi Islamisasi total (seperti cita-cita kaum fundamentalis radikal) juga tidak akan menjadi sekularisme total (sepertidi Turkey). Disini desakralisasi, tentu dalam makna politik, tidak hanya memiliki peran untuk melakukan usaha rasioanalisasi aspek-aspek kehidupan duniawi yang memang membutuhkan proses pengujian secara berulang-ulang, namun juga bisa menyelesaikan fragmentasi keislaman dan kebangsaan yang masih menghinggapi umat Islam di Indonesia. Akibat masih berfikir bahwa hubungan yang harus dilakukan adalah bersifat formalistik, maka masih saja kita lihat ada keinginan kuat yang belum mati untuk mendirikan negara Islam. Padahal bila kita lihat, ada keinginan dan ada proses sosial yang telah terjadi di Indonesia. Walau-pun saya yakin bahwa gagasan untuk mendirikan negara Islam oleh kelompok formalistik telah kehilangan momentnya dan hanya didukung oleh tinggal sedikit kalangan dari umat Islam di negara ini. Oleh demikian maka kita harus mampu membangun negara ini dengan semangat kemoderenan dimana ada, seperti kata Cak Nur, pembedaan, bukan pemisahan antara wilayah agama dan negara. Tidak boleh tidak, Agama harus benar-benar menjadi basis nilai bagi sendi-sendi kenegaraan. Oleh demikian maka negara harus dibangun dengan perangkat-perangkat admistrasi yang terbuka dan partisipatif, terutama untuk gagasangagasan dan nilai-nilai agama. Pun demikian, keberadaan agama tersebut kemudian tidak boleh menjadikan negara sebagai sesutau hal sakral dalam pengertian sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Penutup Terang sudah, bahwa negara tidak boleh menjadi sekular, dalam pemaknaan meminggirkan agama sebagaimana yang kini sedang terjadi secara ekstrim di Perancis atau pengalaman di Turkey dahulu. Menjadikan Indonesia sebagai negara sekular maka akan sangat kontraproduktif dengan akar budaya dan sejarah panjang bangsa ini. Demikian pula, bila cita-cita untuk mendirikan negara Islam masih belum dihapus, maka tetap saja negara ini tidak akan pernah beranjak dari titik yang sama yaitu berupa kebingungan untuk mengintegrasikan gagasan keislaman dan kebangsaan. Oleh karena itu slogan Negara Islam No, Sekularisme No! adalah tepat untuk membangun sebuah tatanan kebangsaan yanggenuine, yang sesuai dengan pengalaman yang ada, tanpa pernah harus terjebak dengan dua kutub di atas, yang memang belum pasti tepat untuk akar kebudayaan sejarah kita. Wallahualam Bishawab.Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam.

Antropologi Bukan Aliran Sesat (Sedikit Catatan Terhadap Polemik Tulisan Sehat Ihsan Sadiqin)
WEDNESDAY, 20 APRIL 2011 13:10

WRITTEN BY BULMAN SATAR | ANTROPOLOG


Tulisan Sehat Ihsan Sadikin bertajuk Antropologi Aliran Sesat (Opini Serambi Indonesia, Selasa 12/4)) tampaknya telah menimbulkan ketidaknyaman dikalangan civitas program studi Antropologi Unimal Lhokseumawe seperti terbaca dalam tanggapan keberatan mereka di ruang droe-keudroe (Kamis 14/4) ), dan tulisan Muhammad Khairullah, mahasiswa Antropologi Unimal, Membantah 'Antropologi' Ala Sehat di Aceh

Institute ( 19/4).

Keberatan jurusan Antropologi Unimal sebagai satu-satunya prodi Antropologi di perguruan tinggi yang ada di Aceh terhadap tulisan Sehat ini sendiri sangat dapat dipahami karena memang beranjak dari kondisi objektif perubahan persepsi masyarakat yang cenderung negatif setelah tulisan Sehat tersebut dipublikasi media, yang pada gilirannya dapat mengurangi minat pelajar di Aceh terhadap program studi antropologi, di tengah gencarnya upaya-upaya mereka untuk mempromosikan pentingnya studi antropologi di tengah-tengah masyarakat.

Namun problemnya kemudian adalah apakah Sehat patut dipersalahkan dan diminta permintaan maafnya seperti yang dituntut oleh mahasiswa dan ketua jurusan prodi antropologi Unimal? Karena alasan dampak negatif yang ditimbulkan oleh tulisannya, yang saya yakin tidak pernah diinginkannya? Tapi lebih karena awam dan minimnya pemahaman masyarakat terhadap antropologi sebagai sebuah bidang ilmu. Terlepas dari polemik ini, sebenarnya saya menangkap semangat Sehat untuk mencoba menjelaskan fenomena aliran sesat di Aceh dari perspektif antropologi. Cuma memang, jika dilihat dari sudut pandang awam, Sehat sedikit kurang cermat dalam memperhitungkan efek judul tulisannya terkait dengan sensitifitas topik yang ia bahas yang memang potensial menimbulkan beragam persepsi dan pemahaman di kalangan pembaca, khususnya masyarakat Aceh yang dikenal fanatik jika sudah bicara tentang agama. Sehat memulai tulisannya dengan judul yang berpotensi menimbulkan multi-tafsir, terlebih dengan sensitiftas isu aliran sesat yang ia bicarakan : Antropologi Aliran Sesat. Dalam bahasan-bahasan level akedemis, judul tulisan Sehat tersebut memang tidak menimbulkan masalah karena dengan mudah dapat dipahami sebagai sebuah penjelasan berspektif antropologis terhadap fenomena aliran sesat dimana antropologi berfungsi sebagai kerangka pandang sekaligus sistematika eksplanasi terhadap isu atau tema yang dibicarakan, seperti juga halnya paralel dengan, misal, frase anatomi kejahatan dalam kriminologi, atau psikologi kekuasan dalam kajian-kajian ilmu politik. Pada level (debat) akademis sesungguhnya tidak ada yang salah dengan tulisan Sehat karena memang penjudulan semacam ini lazim dilakukan, cuma memang ketika judul tulisan Sehat dibaca oleh khalayak pembaca umum yang tidak kritis dan relatif awam terhadap antropologi, apalagi ketika dibaca secara sepintas lalu, frase tersebut bisa menimbulkan pengertian yang sama sekali berbeda. Oleh mereka ini bisa saja dipahami sebagai bentuk penegasan bahwa antropologi itu mengajarkan aliran sesat atau adalah aliran sesat itu sendiri. Jadi judul Antropologi Aliran Sesat ini memang sedikit bermasalah dilihat dari sensitifitas isu yang dibahas, dan konteks (tingkat) intelektualitas masyarakat dalam membaca dan memahami pesan yang ingin disampaikan Sehat melalui tulisan tersebut. Saya yakin persepsi pembaca akan sangat berbeda seandainya Sehat memilih beberapa alternatif judul lain seperti Aliran Sesat : Sebuah Perspektif Antropologi, atau Aliran Sesat, atau judul yang lebih singkat dan reflektif Sesat, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasanpenjelasan historis-filosofis - seperti dilakukan Gunawan Muhamad dengan catatan pinggir-nya di Majalah Tempo. Lalu terkait dengan content tulisan, ketika membaca judulnya saya membayangkan Sehat

akan membahas topik-topik beraroma antropologi, seperti seputar masalah sentimen keagaman dan bagaimana sentimen tersebut mengkonstruksi prilaku kolektif penganutnya, bagaimana-konsepsi-konsepsi tentang yang sesat dan yang lurus bisa terbentuk secara kultural, konsepsi-konsepsi tentang yang sacreprofane, lalu bagaimana stigmatisasi dan viktimisasi terhadap kelompok-kelompok aliran sesat ini bisa timbul, dengan sedikit banyak merujuk pada fenomena penyimpangan dalam sejarah agamaagama dan kontestasi yang terjadi antara tafsir agama yang berbeda-beda, apa yang menyebabkan perbedan-perbedaan sebut tersebut lalu cenderung didudukkan sebagai oposisi terhadap tafsir agama mainstream, sehingga kemudian lebih dipandang sebagai devian (penyimpangan) dan sektarian,ketimbang varian (ragam), latar dan kondisi psikologis, ekonomi, dan sosial masyarakat yang kemudian menstimulasi bentuk-bentuk respon terhadap aliran sesat ini yang seperti kita lihat memang cenderung keras dan anarkis, posisi dan peran historis pemuka agama; juga dengan kemungkinan motif-motif politik terkait dengan otoritasi moral-keagamaan, pragmatisme elite (yang menjadikan isu ini sebagai alat kampanye), politik stabilitas, standarisasi keyakinan dan sebagainya; atau bahkan sampai pada tawaran-tawaran solusi kultural terhadap problematika aliran sesat ini.

Setelah membaca keselurahan tulisan, saya memang menemukan beberapa paparan umum Sehat yang cukup penting untuk digaris bawahi seperti penekanannya terhadap prakondisi berupa kegagalan agama-agama dalam menjalankan fungsi moral dan sosialnya, kekecewaan yang kemudian timbul diantara penganutnya, siklus kemunculan agama-agama, keniscayaan historis timbulnya perbedaan dalam pandangan beragama, serta kecenderungan alamiah manusia untuk memberontak terhadap berbagai bentuk kemapanan, termasuk agama. Tapi saya pikir tulisan ini akan lebih kental perspektif antropologisnya, sebagaimana diisyaratkan oleh judul tulisannya, jika Sehat bisa mengelaborasi secara lebih kaya dan spesifik variabel-variable antropologi sebagai kerangka dalam menjelaskan fenomena aliran sesat ini dengan segala respon kepercayaan mainstream terhadapnya. Tapi di sisi lain saya juga bisa mengerti jika upaya ini akan sangat terbatas bisa dilakukan Sehat mengingat terbatasnya space penulisan yang tersedia di ruang oponi hariasn Serambi Indonesia, kecuali hanya berupa garis-garis besarnya saja.

Dengan demikian, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan dengan segala dampak yang ditimbulkan oleh tulisannya, saya percaya bahwa Sehat tidak bermaksud mendiskreditkan antropologi sebagai sebuah kajian ilmu, karena saya tahu persis Sehat justru memiliki minat yang sangat tinggi terhadap kajian-kajian antropologi. Saya yakin yang ingin dilakukan Sehat justru adalah mempromosikan pentingnya kajian antropologi dalam memotret berbagai fenomena sosial dan dan budaya dalam masyarakat, termasuk fenemoma aliran sesat yang kini ramai menyedot perhatian masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, dengan catatan-catatan kritis tersebut di atas saya ingin mengapresiasi tulisan Sehat sebagai sebuah ikhtiar untuk membuka diskusi yang lebih luas dan intens tentang arti penting, relevansi, dan kontribusi kajian-kajian Antropologi dalam memetakan, menjelaskan, sekaligus menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan sosial yang kita hadapi baik pada level komunitas, masyarakat, maupun bangsa. Sebaliknya kepada insan antropolog, khususnya kerabat antropolog Unimal, saya ingin mengatakan atensi Sehat Ihsan Sadikin justru harus diapresiasi dan disyukuri karena telah ikut menyumbang semangat dan pemikiran dalam telaah-telaah antropologi terhadap berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa karena kelemahannya telah menimbulkan respon negatif di tengah masyarakat, justru di sinilah dituntut peran kita untuk memberikan pengertian yang lebih baik dan positif terhadap studi antropologi. Jadi tidak cukup hanya dengan bersikap reaktif ketika ada karya orang lain yang kita anggap salah atau tidak tepat, tapi juga harus pro-aktif melalui riset dan karya tulis yang dapat dipublikasi secara massif oleh berbagai media, kita membangun pengertian yang lebih baik tentang apa itu antropologi, dan apa kontribusi keilmuwannya bagi kemanusiaan, sehingga kemudian masyarakat memiliki persepsi positif dan tidak ragu menguliahkan anak-anak mereka di program studi antropologi ini. Jika kita cukup legawa, sesungguhnya tulisan Sehat adalah cubitan kecil bagi kita untuk mengoreksi diri dan mengevaluasi sejauh mana komitmen dan kontribusi intelektual kita sebagai antropolog dalam merekam, mengurai, menjelaskan, dan menawarkan solusi bagi persoalan sosial kemasyarakatan yang kita hadapi. Saya pikir kita harus terbuka terhadap kemungkinan ini : Mungkin benar Sehat, tanpa diinginkannya, telah menyumbang timbulnya persepsi negatif masyarakat terhadap studi antropologi; tapi sebaliknya bisa jadi juga ini merefleksikan bahwa citra antropolog telah gagal, atau setidaknya belum cukup berhasil membangun citra antropolologi, arti penting, relevansi, dan kontribusi ilmiahnya, hingga dapat diterima dan populer di tengah masyarakat seperti halnya ilmu ekonomi, sejarah, teknik, biologi, sosiologi, dan bidang-bidang ilmu lainya. Siapa tahu. Bulman Satar | Antropolog.

Anda mungkin juga menyukai