Anda di halaman 1dari 6

BERIMAN DALAM MASYARAKAT

Sebagai persekutuan murid-murid Kristus, Gereja dipanggil dan diutus untuk menjadi saksi Kristus
dalam masyarakat. Iman akan Yesus Kristus menutut Gereja untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Gereja
merupakan saksi Kristus yang hidup di tengah dunia. Untuk itu, pada bagian ini akan dibahas mengenai
iman dalam keterlibatan sosial yang berlandas pada pemahaman tentang citra iman.

9.1 Empat Citra Iman


91.1 Iman adalah sebuah Praksis atau Aksi Tindak
Iman tidak hanya pengakuan dalam hati terhadap panggilan Allah tetapi harus nyata dalam
kehidupan praksis dan aksi tindakan karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Konsekuensinya ialah bahwa
orang beriman harus mengerti bahwa tak ada iman dalam ungkapan konkrit dalam kehidupan nyata sehari-
hari. Beriman berarti Iman mewajibkan orang yang beriman untuk terlibat aktif dalam tindakan dan
perjuangan mengangkat derajat manusia yang tertindas. Dalam terang pemahaman iman seperti ini setiap
orang beriman adalah subjek yang aktif dan tidak bergantung.

9.1.2 Praksis Iman itu Publik dan Politis


Iman harus berkaitan erat dengan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama (bonum
comunae). Iman tidak boleh berpijak pada ucapan atau Slogan “faith is my own business” dan tak seorang
pun boleh campur tangan dalam urusan iman orang lain. Iman tidak boleh diberi predikat untuk diri sendiri
saja atau privat tetapi memiliki dampak sosial yang besar yakni berkaitan dengan keterlibatan setiap insan
beriman untuk membangun masyarakat (polis).
Dalam konteks pemahaman iman yang bersifat publik dan politis, kata iman itu sendiri adalah
sebuah istilah “relasional” yang melukiskan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
sesamanya. Iman itu bersifat sosial. Oleh karena itu beriman juga berarti bahwa setiap orang beriman harus
mempertahankan dan menumbuhkan dimensi sosial dalam kehidupan bersama, entah dalam keluarga,
Komunitas Basis Gerejani (KBG), wilayah/stasi, paroki, keuskupan dan dalam persatuan dengan kelompok
gereja universal serta lintas agama.

9.1.3 Praksis Iman itu Kritis


Praksis iman itu kritis berarti bahwa seorang yang beriman harus mampu menghayati dimensi
profetis Gereja yang telah diperolehnya pada saat dipermandikan. Beriman dalam kehidupan bermasyarakat
adalah siap memberikan gugatan-gugatan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai alkitab. Ketika menemukan adanya krisis nilai dalam kehidupan bermasyarakat, para beriman
(gereja) mesti hadir sebagai masyarakat kontras atau masyarakat alternatif yang mengembangkan budaya
negasi ketimbang budaya afirmasi. Gereja mesti berani berkata tidak terhadap krisis/penyimpangan nilai
yang terjadi dan berani membuat perubahan yang mengarahkan manusia kepada keselamatan.
Berkaitan dengan hal ini, Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI) telah mencanangkan tujuh
kerahiman jasmani dan tujuh kerahiman rohani agar gereja Inonesia tampil sebagai masyarakat kontras.
 Tujuh kerahiman Jasmani
 Memberi makan kepada yang lapar
 Memberi minum kepada yang haus
 Memberi pakaian kepada yang telanjang
 Memberi tumpangan kepada orang asing
 Mengunjungi orang sakit
 Melawati orang yang ada dalam penjara
 Menguburkan orang mati
 Tujuh kerahiman Rohani
 Memberi pengetahuan kepada yang kurang tahu
 Memberi harapan bagi yang putus asa
 Memberi kekuatan bagi yang lemah
 Memberi pembebasan bagi yang tertindas
 Memberi kerukunan bagi mereka yang mengalami kerusuhan
 Membawa damai pada saat ada kebencian
 Mendoakan baik orang mati maupun orang hidup.

9.1.4 Praksis Iman itu Membebaskan


Praksis iman itu membebaskan berati bahwa orang beriman haruslah terlibat dalam gerakan besar
kemanusian: membebaskan manusia dari pelbagai belenggu sosial. Iman mesti membebaskan orang dari
segala persoalan yang membelenggunya. Setiap orang beriman mesti mengusung paradigma anti kekerasan.
Hal ini telah ditunjukkan oleh Yesus sendiri dan para muridNya selama hidup di Palestina. Para murid
bersama Yesus berjalan dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, dari kota ke kota dan bahkan dari
kategori ke kategori dan dampaknya ialah: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang bisu berbicara,
orang tuli mendengar, orang kusta ditahirkan, dan orang mati bangkit lagi. Para pengikut Kristus yang kini
hidup di zaman modern hendaknya mampu meneladani perjuangan Yesus dalam membebaskan orang dari
aneka persoalan dan tragedi zaman modern.

9.2 Iman dalam Keterlibatan Sosial


9.2.1 Iman dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi
Dewasa ini, manusia mengerahkan seluruh tenaga untuk berpacu mengejar kebutuhan ekonomi
dengan mengesampingkan bidang lain. Tentang hal ini, Gereja dalam konstitusi pastoral dalam dunia
modern mengisahkan bahwa “manusia seakan-akan dirasuki semacam naluri ekonomi (GS 63). Persaingan
dalam bidang ekonomi terkadang bermuara pada persaingan tidak sehat. Lebih lanjut akan mengarah
kepada semakin lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Menanggapi situasi ini, dalam
GS no 66 Gereja menegaskan beberapa poin pokok terkait persoalan ekonomi. Pertama, konsili mengajak
agar semua orang berusaha untuk meretas jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Kedua, semua
pihak juga diajak untuk memperhatikan kesulitan khusus di bidang pertanian, baik dalam bidang produksi
maupun bidang pemasaran. Para petani harus dibantu untuk menjadi orang yang profesional dalam
bidangnya. Ketiga, menghindari diskriminasi persyaratan gaji dan kerja terhadap buruh dari negara lain.
Untuk mencapai keadilan sosial, Gereja mesti hadir untuk mendukung gerakan ”Solidaritas” seperti serikat
buruh di kalangan pekerja. Paus dalam surat gembala yang berjudul ”Tentang Makna Kerja Manusia”
menegaskan Gereja melibatkan diri sekuat-kuatnya demi kepentingan ini, sebab ia memandang hal ini
sebagai perutusan yang menunjukkan pelayanannya dan bukti kesetiaanya kepada Kristus sehinga ia betul-
betul menjadi Gereja kaum miskin (LE 8). Gereja mesti mewujudkan pilihannya yang mendasar (optio
fundamentalis) sebagai yang berpihak pada yang miskin (option for the poor). Dalam menjalankan
perutusannya, Gereja mesti sadar bahwa dia hadir sebagai saksi kristus di tengah dunia. Saksi Kristus
memegang tanggung jawab membela nasib kaum lemah, menegakkan keadilan dan cinta kasih, khususnya
bagi mereka yang terpinggirkan dan miskin.

9.2.2 Iman dalam Kehidupan Sosial-Politik


Pada dasarnya politik berkaitan dengan pelbagai kegiatan untuk mengatur kehidupan bersama demi
terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan bersama. Menurut pandangan Gereja, negara menyandang tugas
memungkinkan setiap orang dan kelompok untuk mengembangkan dirinya demi kepentingan bersama.
Pemerintah harus menerapkan prinsip subsidiaritas agar semua anggota masyarakat dapat hidup dengan
layak, serta mengembangkan diri demi kepentingan umum. Hal ini ditegaskan dalam GS 73: harus dicela
tiap bentuk politik yang menghalangi kebebasan warga yang memperbanyak mangsa nafsu dan kejahatan
politik demi kepentingan partai atau pemimpin tertentu. Untuk menegakkan suatu kehidupan politik yang
benar-benar manusiawi, tidak ada hal yang lebih baik dari pada memupuk cita rasa batin: keadilan,
kebebasan jiwa dan pelayanan bagi kepentingan umum.
Dalam menjalankan kewajiban politik perlu disadari bahwa fungsi dan wewenang Gereja berlainan
dengan fungsi pemerintah. Namun gereja dan negara sama-sama melayani manusia yang sama. Gereja
sebagai sebuah lembaga hendaknya tidak mempunyai ikatan dengan sistem politik apapun (GS 76) sehingga
dapat menjadi tanda bagi transendensi pribadi manusia. Gereja harus bekerja sama dengan negara untuk
terus menyehatkan srtuktur politik. Gereja mesti tampil sebagai nabi yang menyuarakan suara profetisnya.

9.2.3 Iman dalam Kehidupan Sosial-Edukatif


Pendidikan merupakan cermin dan syarat pembangunan masyarakat. Gereja yang prihatin dengan
dan terlibat dalam pembangunan masyarakat mengajak anggota-anggotanya untuk mengamalkan iman
dalam bidang pendidikan dimaksud, baik dalam pendidikan formal, nonformal maupun informal.
 Pendidikan dalam Lingkup Keluarga
Keluarga merupakan peletak dasar pendidikan bagi anak. Orang tua merupakan pendidik utama
dan pertama. Pemerintah, masyarakat dan Gereja berperan sebagai pembantu orang tua dalam usaha
mendidik anak.
Orang tua kristen percaya bahwa mereka diundang Allah untuk saling menyempurnakan menurut
teladan Kristus dalam hidup berkeluarga. Oleh karena itu, orang tua kristen berkewajiban membantu
anak-anak mereka untuk menghayati hidup konkrit. Hal ini dapat dijalankan melalui latihan-latihan
kepada anak sejak kecil untuk senantiasa peka terhadap kehadiran Allah dalam hidup. Selain itu juga,
teladan hidup dari orang tua menjadi hal penting bagi perkembangan anak menuju ke arah yang lebih
matang dan dewasa.
 Pendidikan dalam Lingkungan Sekolah
Untuk membantu orang tua dalam mendidik dan mempersiapkan anak-anak menjadi anggota
masyarakat yang berguna, pemerintah, masyarakat dan Gereja menggalakkan pendidikan formal yang
lazim disebut sekolah.
Dewasa ini, pendidikan formal dihadang oleh aneka persoalan. Meluapnya jumlah anak didik
yang menuntut adanya penyediaan sarana pendidikan, biaya pendidikan yang makin, meningkat
masalah anak putus sekolah merupakan sederetan persoalan pendidikan yang kini menjamur di
Indonesia. Masalah-masalah tersebut sesungguhnya merupakan tantangan seluruh komponen bangsa.
Persoalan-persoalan pendidikan yang melanda bangsa Indonesia saat ini ialah juga persoalan
Gereja. Oleh karena itu, Gereja mesti turun tangan dan terlibat langsung dalam menangani persoalan-
persoalan tersebut. Gereja hadir sebagai mitra pemerintah yang mesti tanggap terhadap situasi ini.
Gereja membuka sekolah-sekolah katolik dan mendidik anak-anak sesuai dengan ciri khas
kekatolikannya. Dalam dan melalui sekolah-sekolah tersebut Gereja mendidik anak untuk menjadi
insan yang berguna bagi bangsa dan Gereja. Melaluinya Gereja mendidik anggotanya bukan hanya
untuk menjadi orang yang cerdas secara intelektual, melainkan orang beriman yang cerdas dalam
segala aspek. Tentang hal ini, konsili Vatikan II dalam pernyataan tentang pendidikan kristen
menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan untuk pendewasaan pibadi manusia, melainkan
terutama hendak mencapai kedewasaan penuh serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus (Ef 4:13). Gereja mengharapkan agar oleh pendidikan, orang beriman dapat
menghayati situasi hidupnya sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef
4:22-24) yang dituntun oleh Roh kebenaran (GE nomor 2).
Namun realita menunjukkan bahwa saat ini banyak sekolah katolik yang biaya pendidikannya
sulit dijangkau oleh golongan masyarakat kelas bawah. Sekolah katolik seakan-akan menjadi sekolah
favorit bagi kaum “berada”. Sekolah katolik menjadi milik orang kaya. Kemanakah keberpihakan
Gereja terhadap orang –orang kecil? Inilah pertanyaan yang patut direnungkan dan dipikirkan oleh
Gereja dalam melanggengkan kiprahnya di bidang pendidikan.
Sulit disangkal lagi bahwa realita ini erat kaitannya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang kini semakin maju. Sekolah katolik pun harus menyesuaikan dirinya dengan
perkembangan tersebut. Di sinilah Gereja seakan-akan dilema dengan situasi yang ada. Pada satu sisi,
Gereja berpegang teguh pada pilihan untuk berpihak kepada kaum miskin, tetapi pada sisi lain Gereja
masih membutuhkan dana untuk menyelenggarakan pendidikan yang selaras dengan perubahan global
dan perkembangan zaman.
Peran anggota Gereja yang terdidik sangatlah penting untuk membantu menyelesaikan persoalan
ini. Diharapkan para cendikiawan dan praktisi serta para pelaksana pendidikan memperhatikan secara
serius masalah ini. Semuanya mesti hadir bukan hanya mengkritisi tetapi juga merealisasikannya
dalam pratik kehidupan. Sebagai orang katolik, kita dipanggil untuk terlibat aktif dalam
menyelesaikan problema ini. Pendidikan akan berhasil bila semua stake holder di dalamnya bekerja
sama dan mampu mengatasi tantangan dunia global.
Orang kristen yang bergerak dalam lingkup pendidikan di sekolah diharapkan menjalankan
tugasnya dengan semangat Yesus Kristus yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk
melayani. Cinta, keadilan, dan pelayanan sebagai ciri hidup kristen hendaknya mewarnai situasi
pendidikan di sekolah katolik. Selain itu, penting diingat dan disadari bahwa sekolah katolik mesti
mengarahkan seluruh kebudayaan manusia kepada pewartaan keselamatan, sehingga secara
berangsur-angsur, pengetahuan yang diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia
disinari oleh terang iman (GE 8).

9.2.4 Iman dalam Kehidupan Lintas Agama


Sudah sejak dahulu kala sampai sekarang ini, di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran
dan pengakuan akan daya kekuatan gaib dan ilahi yang hadir dalam perjalanan sejarah dan peristiwa-
peristiwa hidup manusia (NA 2). Kesadaran dan pengakuan tersebut meresapi kehidupan bangsa manusia
dengan semangat religius yang mendalam dan diwujudkan dengan ungkapan-ungkapan yang beraneka
ragam. Hal inilah yang nampak dalam praktik-praktik keagamaan bangsa manusia yang selalu berbeda-
beda sesuai dengan budaya di mana agama itu diterapkan.
Gereja katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama lain benar dan suci. Dengan sikap
hormat dan tulus, gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup agama lain, kaidah-kaidah dan ajaran-
ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri. Semuanya
itu dapat memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang. Gereja memahami bahwa semua
bangsa merupakan satu mayarakat yang mempunyai satu asal dan tujuan, sebab Allah menghendaki semua
umat manusia mendiami bumi (Kis 17:26) dan mengalami kebaikanNya dan keselamatan dariNya (NA 1).
Dialah yang telah menciptakan semua manusia dan akan mempersatukan semuanya, menggiring dan
menerangi semuanya dengan cahayaNya untuk memasuki Kota Suci.
Pemahaman gereja seperti yang diuraikan di atas, pada prinsipnya mendorong Gereja untuk
senantiasa dengan bijak dan penuh kasih mengadakan dialog dan kerja sama dengan penganut-penganut
agama lain. Dialog dan kerja sama ini akan semakin subur dan berkembang bila Gereja mengembangkan
sikap saling menghormati dan menghargai serta mengakui segala bentuk perbedaan yang ada pada setiap
agama. Lebih tepatnya Gereja mesti memperhatikan dan menerapkan syarat-syarat sebuah dialog yang
meliputi sikap terbuka, setara, menghargai/menghormati dan siap membangun komitmen bersama untuk
membangun suatu relasi baru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa dialog dengan agama lain bukanlah suatu usaha yang gampang,
ibarat membalik-balikkan telapak tangan. Dialog merupakan usaha yang dihantui oleh aneka macam
ketakutan dan persoalan. Pengalaman sejarah pahit masa lalu, perkembangan-perkembangan nilai baru
zaman sekarang serta aneka pergolakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama merupakan sederet
kesulitan/faktor penghalang dialog antaragama. Namun, semuanya ini akan diatasi apabila dalam diri setiap
orang (entah kristen atau yang bukan Kristen) memiliki pemahaman yang mendalam akan persaudaraan
universal yang dihimpun sebagai satu masyarakat anak-anak Allah. Konsili suci melalui pernyataan tentnag
hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani menegaskan bahwa hendaknya semua orang dapat
melupakan trauma sejarah (sejarah pahit di masa lampau), dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling
memahami agar semuanya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial, nilai-nilai moral,
perdamaian dan kebebasan bagi semua orang (NA 3).
Dialog yang dilaksanakan dapat berupa dialog kehidupan, dialog aksi/karya, dialog spritualitas dan dialog
teologis. Keempat bentuk dialog ini dapat diterapkan dalam konteks intraagama dan juga konteks lintas
agama dan lintas situasi. Bagi orang kristen, dalam dialog tidak boleh mengesampingkan kesaksiannya
tentang Kristus. Kristuslah pusat hidup dan kepercayaannya, jalan kebenaran dan hidup, dalam Dialah
Allah mendamaikan dan mempersatukan semuanya. Dialah awal dan akhir yang akan mempersatukan
manusia dalam Kerajaaan abadi yang diwarnai oleh persaudaraan sejati.

9.3. Iman dalam konteks kehidupan bernegara (Indonesia)

Dalam menerapkan ajaran iman di Indonesia sangatlah tepat apabila didasari pada pilar kebangsaan
RI. Pilar kebangsaan: tiang penyangga yang kokoh (soko guru) agar rakyat Indonesia merasa
nyaman, aman, tenteram dan sejahtera serta terhindar dari berbagai macam gangguan dan bencana.
Terdapat 4 pilar kebangsaan yakni: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika

1. Pancasila

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Sebagai dasar NKRI, Pancasila
memiliki fungsi sangat fundamental. Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber
hukum. Sifat Pancasila yuridis formal maka mengharuskan seluruh peraturan perundang-
undangan berlandaskan pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar filosofis dan sebagai
perilaku kehidupan. Artinya, Pancasila merupakan falsafah negara dan pandangan atau
cara hidup bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara untuk mencapai cita-cita nasional. Pancasila menjadi karakter masyarakat
Indonesia sehingga menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
rujukan, acuan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter bangsa.
Dalam proses perumusan dasar negara, Presiden Soekarno menuangkan konsep
dasar negara ke dalam pengertian dasar falsafah (philosofische grondslag) dan pandangan
komprehensif dunia (weltanschauung) secara sistematik dan koheren. Pada 1 Juni 1945,
Soekarno mengemukakan pemikirannya tentang Pancasila, yaitu nama dari lima dasar
negara Indonesia, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Rumusan lima dasar negara sebagaimana tercantum dalam UUD
1945 adalah: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusaiaan yang adil dan beradab; (3)
Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia dan dasar
negara Republik Indonesia. Dasar negara ini kukuh karena digali dan dirumuskan dari nilai
kehidupan rakyat Indonesia yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa.
Karena itu Pancasila disepakati secara nasional, merupakan perjanjian luhur yang harus
dijadikan pedoman bagi bangsa, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.

2. UUD 1945
Nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Norma konstitusional UUD 1945 menjadi
acuan dalam pembangunan karakter bangsa. Keluhuran nilai dalam Pembukaan UUD 1945
menunjukkan komitmen bangsa Indonesia untuk mempertahankan pembukaan dan bahkan
tidak mengubahnya. Terdapat empat kandungan dalam Pembukaan UUD 1945 yang
menjadi alasan komitmen untuk tidak mengubahnya, yaitu: Terdapat norma dasar universal
bagi tegaknya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Terdapat empat tujuan negara
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Pembukaan UUD 1945 mengatur ketatanegaraan Indonesia khususnya tentang
bentuk negara dan sistem pemerintahan Nilainya sangat tinggi bagi bangsa dan negara
Indonesia sebab dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat rumusan dasar negara yaitu
Pancasila.

3. NKRI
Dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 disebutkan negara Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang berbentuk republik. Dalam pembangunan karakter bangsa dibutuhkan komitmen
terhadap NKRI. Karakter yang dibangun pada manusia dan bangsa Indonesia dalah
karakter yang memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap NKRI. Bukan karakter
yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI. Maka rasa cinta
terhadap tanah air perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa.
Pembangunan karakter bangsa melalui pengembangan sikap demokratis dan menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia. Pembangunan karakter harus diletakkan dalam bingkai
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, bukan memecah belah NKRI.

4. Bhineka tunggal ika


Bhinneka Tunggal Ika bertujuan menghargai perbedaan atau keragaman namun tetap
bersatu dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, Indonesia terdiri
dari beragamnya suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Keberagaman ini harus
dipandang sebagai kekayaan khasanah sosio-kultural, bersifat kodrati dan alamiah.
Keberagaman bukan untuk dipertentangkan apalagi diadu antara satu dengan yang lain
sehingga berakibat pada terpecah belah. Oleh sebab itu, Bhinneka Tunggal Ika harus dapat
menjadi penyemangat terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai