Anda di halaman 1dari 11

Nama : Didimus Jeuyanan

Nim : 045356961

Selama beberapa waktu terakhir ini, ada banyak berita tentang tingkah laku para pemimpin
politik, para penguasa ekonomi dan bahkan kaum agamawan serta warga masyarakat yang
beragama sering tidak menampilkan ciri-ciri manusia yang beriman kepada Allah. Padahal
hampir seluruh warga Negara Republik Indonesia mengaku beriman kepada Tuhan Allah.
Sangat menyakitkan bahwa kegiatan ibadah dan telaah atas isi dan makna Kitab suci
berlangsung semarak, namun di sisi lain serentak pula praktek korupsi, kekerasan dan
eksploitasi alam di seluruh nusantara. Sungguh mengagetkan di seluruh lembaga bahkan
lembaga pendidikan dan keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai luhur, praktek
ketidakjujuran bertumbuh subur.

Berhadapan dengan persoalan ini para uskup Waligereja Katolik yang bergabung dengan
SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia) dalam refleksi bersamanya menemukan
pokok-pokok keprihatinan yang saat ini sedang melanda Bangsa Indonesia. Keprihatinan itu
menuntut suatu keterlibatan nyata dari warga negara Indonesia sendiri, secara khusus umat
katolik. Menanggapi tuntutan itu para uskup dalam Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja
Indonesia (NP KWI) tahun 2004 menekankan habitus (watak) baru bangsa untuk
memperbaiki rusaknya keadaban publik.1 Dalam rangka itu umat katolik diajak untuk
mengenali panggilan dan tanggung jawabnya di dunia yakni mengusahakan kesejahteraan
umum. Konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes, Art. 1 menyatakan, “Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama orang miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid Kristus juga”.2

Dokumen Konsili ini mengingatkan Gereja akan pentingnya keterlibatan umat katolik
dalam kehidupan sosial politik untuk menciptakan, mempertahankan dan memperbaiki tata
aturan dalam suatu masyarakat demi kebaikan dan kemajuan bersama. Karena itu umat
Katolik mesti melihat politik sebagai bagian dari dimensi terdalam hidupnya demi
perwujudan kasih Allah. Di mana ia secara aktif dan bebas berpartisipasi dalam mewujudkan
secara konkret usahanya untuk memajukan kesejahteraan umum.

2
1. Keterlibatan Umat Katolik dalam Kehidupan Sosial Politik

Sejak dibaptis seorang katolik menjadi warga dua komunitas yakni komunitas insani dan
serentak komunitas gerejawi. Sebab seseorang lahir dalam dan sebagai warga masyarakat
tertentu dulu sebelum dibaptis menjadi warga Gereja. Hal ini berarti, setiap warga Gereja
adalah juga bahkan lebih dahulu menjadi warga masyarakat. Dengan demikian setiap
sakramen baptis dan krisma yang diterima setiap umat katolik mengandung tugas untuk
menyumbangkan segenap tenaga yang mereka terima sebagai berkat Sang Pencipta dan
Rahmat Sang Penebus bagi perkembangan Gereja setempat di mana mereka berada. Nabi
Yeremia menulis, “Usahakanlah Kesejahteraan kota ke mana kamu dibuang, dan berdoalah
untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29: 7).

Tugas ini mengambil bentuknya yang paling konkret dalam keterlibatan orang katolik dalam
kehidupan sosial politik. Keterlibatan orang katolik dalam kehidupan sosial politik adalah
kontribusi sekaligus tugas utama yang dapat dilaksanakan umat katolik dalam hidup
bermasyarakat dan berbangsa di tengah kecemasan dan harapan dunia. Dengan semangat
dasar ini tidak ada alasan bagi umat katolik untuk menyebut politik itu sebagai sesuatu yang
kotor, penuh dengan tantangan dan akal yang busuk tetapi sebagai usaha untuk mewujudkan
kesejahteraan umum (bonum commune). Di arena inilah tugas dan panggilan Gereja,
khususnya awam untuk menjadi garam dan terang dunia.

Panggilan untuk terlibat dalam bidang politik melekat pada sakramen inisiasi kristiani yakni
Baptis, Krisma dan Ekaristi. Berdasarkan baptisan semua orang katolik dipanggil untuk
membangun dunia yang baru. Salah satu caranya adalah dengan masuk dan terlibat dalam
politik sebagai sarana kendati bukan satu-satunya sarana pengembangan dunia baru. Dunia
politik menjadi wahana yang efektif karena bersinggungan langsung dengan keprihatinan dan
pergulatan hidup masyarakat3. Berkat sakramen krisma orang yang sudah dibaptis mendapat
kekuatan baru dari Roh Kudus untuk bertekun dalam tugas perutusan. Mereka dibimbing oleh
cahaya kasih kristiani untuk bertindak langsung agar tata dunia ini diperbaharui terus-
menerus. Kerasulan sosial ini merupakan usaha umat katolik untuk mewujudkan kebaikan
bersama dalam semangat kristiani. Di bidang sosial inilah kaum awam paling cakap untuk
membantu sesama saudara di bidang pekerjaan, kejujuran, studi, perumahan dan lain-lain
(bdk. AA artikel 13).4 Keterlibatan sosial seperti ini merupakan ekspresi atas pernyataan
3

4
orang yang sudah diperbaharui dan disemangati oleh Roh Kudus, serta mendapatkan
perutusan kembali setelah dikenyangkan berkat santapan surgawi dalam Ekaristi.

Dengan dikuatkan oleh tubuh dan darah Kristus orang katolik diutus untuk masuk dalam
kehidupan nyata di dunia dan mewarnai kehidupan dunia itu sendiri dengan semangat Yesus
Kristus sendiri.5 Suatu semangat kasih yang berjalan bersama orang-orang kecil, lemah dan
tertindas. Dengan semangat Kristus ini politik dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan hidup bersama semua orang, di mana orang kristiani dapat berkarya bagi
sesama. Karena itu, sakramen inisiasi sungguh menjadi landasan spiritual yang kuat bagi
orang kristiani untuk membangun dan mewujudkan keterlibatan nyata dalam masyarakat6.

Alasan mendasar yang membuat umat katolik terus terlibat aktif dalam urusan politik terletak
pada panggilan ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar, yaitu politik demi
keadilan, perdamaian, kesejahteraan, dan kebaikan bersama serta hormat terhadap hak asasi
dan martabat manusia.7 Hal ini sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi
Suci untuk ajaran iman pada hari raya Kristus Raja pada tanggal 24 November 2002, yang
diberi judul Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik. Bagian awal dokumen
ini mendorong komitmen umat katolik untuk terlibat dan memainkan peran yang penuh
dalam tata kelola politik yang merupakan tanggung jawabnya sebagai warga negara.8
Dokumen ini menunjuk St. Thomas More sebagai pelindung para negarawan dan politisi
karena telah memberikan kesaksian dan kemartirannya yang tidak pernah meninggalkan
kesetiaannya yang konsisten pada otoritas dan lembaga-lembaga yang sah, yang dengan
kematiannya telah mengajarkan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari Tuhan, atau para
politisi tidak dapat dipisahkan dari moralitas.9 Moralitas politik yang mengajak semua umat
beriman agar bersikap kritis terhadap setiap ideologi dan etika yang berpotensi
menghancurkan prinsip kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan
politik.

Kesadaran akan politik sebagai pelayan serta perwujudan kasih Allah menuntut keterlibatan
aktif semua umat katolik untuk terus menata kehidupan sosial politik dengan ajaran dan
semangat Injil. Sebab semua keputusan yang menyangkut nasib rakyat (termasuk umat
katolik) dalam semua bidang kehidupan diambil melalui proses-proses politik. Keputusan di

9
bidang hukum, pertanian, ekonomi, budaya dll adalah keputusan politik.10 Maka politik bukan
masalah pengaturan administrasi negara, juga tidak direduksi dalam kegiatan partai politik
tetapi kepedulian dalam perkara yang menyangkut hidup bersama. Politik adalah tindakan
manusia seperti manusia itu bekerja untuk keluarganya, berkarya untuk menghasilkan patung
atau lukisan, pada saat itu ia juga berpolitik.

Berpolitik berarti bertindak dalam polis (negara). Dalam arti ini kaum religius atau kaum
berjubah juga di sebut “aktor politik”. Maksudnya bukan untuk mencari kekuasaan dan atau
jabatan, tetapi bersama-sama dengan orang yang berkehendak baik berjuang demi
penghormatan hak-hak dasar manusiawi. Keterlibatan religius dalam politik yang demikian
tidak dipahami sebagai tindakan politik praktis. Lewat pendidikan para religius menemani
kaum muda untuk membuka matanya terhadap dunia, lewat karya-karya sosial seperti
Justice, Peace and Integrity of Creation dan dalam keterlibatan dialog antar agama kaum
religius menemukan jawaban atas masalah keterpecahan yang menantang masyarakat
plural.11

Di sini kaum religius dapat belajar dari pengalaman dan pengosongan diri Yesus ketika harus
menjalani jalan salib. Keteladanan nyata ini sungguh merupakan sebuah bentuk keikutsertaan
Allah dalam dalam memberikan contoh bahwa untuk menggapai keadilan dan kebenaran
bukan sebuah hal yang mudah.12 Sebagai kaum beriman kesadaran akan keterlibatan Allah
dalam perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian adalah hal yang penting.
Kesadaran ini harus dipegang teguh dalam situasi dan kondisi sulit apa pun, sebab dalam
melakukan gerak keadilan dan perdamaian hambatan akan selalu ada. 13 Dengan demikian
keterlibatan kaum berjubah dalam urusan sosial politik lebih dimengerti dalam arti
memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang realitas politik, ekonomi dan
budaya dalam rangka membangun suatu budaya dan struktur sosial politik yang adil dan
manusiawi.14 Tanggung jawab itu terungkap lewat usaha untuk menghimpun dan memberi
pendampingan iman dan ilmu, ilmu dan pembentukan karakter kristiani kepada awam supaya
menjadi terang dan garam dalam kegiatan sosial politik.

Sejak lama Gereja tidak mencampuri urusan politik praktis untuk merebut kekuasaan. Tetapi
memberi pendampingan kepada masyarakat terutama kepada mereka yang kecil, lemah

10

11

12

13

14
tersisih dan tak berdaya agar mampu memberi keputusan berkaitan dengan persoalan
ekonomi, politik, pendidikan dll. Dalam keterlibatannya dengan masalah sosial politik,
Gereja dalam spritualitasnya menyumbang bagi dihormatinya martabat manusia dan
pembangunan kesejahteraan umum.15 Hukum Kanonik No. 287, tidak memperbolehkan
gereja sebagai institusi dan pemimpin hierarkis maupun kaum religiusnya untuk terlibat
secara langsung dalam dunia politik demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayan
gerejawi.

Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para uskup, imam dan religius merupakan
simbol dan kekuatan yang menyatukan umat beriman.16 Tugas untuk terlibat dalam dunia
politik praktis diserahkan kepada kaum awam, sebagaimana dikatakan dalam Apostolicam
Actusitatum, dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan awam dikatakan bahwa ”Gereja
menghendaki agar orang-orang Katolik yang mahir dalam bidang politik dan sebagaimana
wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan
urusan-urusan umum” (AA. Art. 14)17. Karena itu jikalau umat katolik tidak ikut terlibat
dalam kehidupan politik atau ikut terlibat tetapi tidak menyuarakan dan menegaskan
moralitas dan spiritualitas katolik, maka Gereja harus merasa diri gagal menjalankan misinya.

2. Peran Gereja Katolik dalam Kehidupan Sosial Politik di Indonesia.

Sejak lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai relevansi sosial. Allah yang
diimani, ditanggapi dalam situasi kultural dan situasi politik yang konret. Karena itu Gereja
tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi yang sosial yang terisolir, melainkan bagian integral
dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat pada umumnya. Maka Gereja adalah
pengalaman hidup manusia dalam kegembiraan, sukacita, harapan, serta duka dan kecemasan
hidup manusia sehari-hari. Saat ini Gereja Katolik Indonesia menemukan keprihatinan sosial
yang sedang melanda kehidupan Bangsa Indonesia. Keprihatinan itu berkaitan dengan krisis
moral di ranah publik. Betapa tidak, para wakil rakyat dan para politisi tidak lagi
memperjuangkan kepentingan banyak orang tetapi sibuk memperjuangkan kepentingannya
sendiri.

Korupsi berlangsung secara sporadis di hampir seluruh level pemerintahan mulai dari
pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan Izin mengemudi, hingga pembayaran pajak.
Penegak hukum tidak berjalan adil sehingga rakyat merasakan adanya jurang ketidakadilan
15

16

17
antara penguasa dan orang kebanyakan. Prilaku korupsi dan ketidakadilan sosial seolah
menjadi warna yang wajar dalam setiap alur birokrasi di Indonesia. Dalam situasi semacam
ini banyak orang menghindari politik karena dianggap sebagai medan yang kotor, licik dan
penuh intrik dan persaingan untuk memperebut kekuasaan. Politik dilihat sebagai sarana bagi
penguasa untuk menindas rakyat. Dalam politik para penguasa mempunyai kesempatan untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat.18

Berhadapan dengan masalah sosial ini Gereja Katolik Indonesia tidak pernah mundur dari
komitmennya terhadap politik. Gereja katolik Indonesia tidak kehilangan sikap kritis-
profetisnya terutama terhadap persoalan korupsi. Sidang KWI 2016 mengambil topik”
Membedah, Mencegah Mentalitas Serta Prilaku koruptif”. Dalam sidang itu ditemukan
bahwa prilaku koruptif telah begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat dan
terjadi di mana-mana baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga negara bahkan institusi
agama termasuk Gereja.

Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis
dari pusat sampai ke daerah.19 Nota Pastoral KWI tahun 2004 sudah memandang masalah
yang semakin serius itu sebagai hancurnya keadaban publik. Nota pastoral ini menjadi titik
tolak perumusan SAGKI 2015, “Bangkitlah dan Bergeraklah Gereja Membangun Keadaban
Publik Baru Bangsa”.20 Artinya para uskup yang bergabung dengan KWI terus menerus
berupaya melakukan penginjilan secara integral dan menyeluruh berdasarkan situasi,
persoalan dan kebutuhan lokal Indonesia.21 Penemuan pokok-pokok keprihatinan itu
menuntut suatu tindakan profetis, etis dan praktis berdasarkan nilai-nilai injili seperti cinta
kasih, kedamaian, keadilan, pelayanan dan kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai dengan
semangat Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 75, “Hendaknya segenap umat
Katolik menyadari panggilan mereka yang khas dalam negara. Di situlah dipancarkan teladan
mereka yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada
kesejahteraan bersama”22. Dalam konteks Indonesia, peran umat Katolik diperlukan untuk
mengawal dihormatinya prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebab meskipun Indonesia merupakan
negara yang percaya kepada Tuhan tetapi dalam pelaksanaannya tetap tidak selaras.
Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada momen tertentu direduksi pada paham-

18

19

20

21

22
paham pembelaan agama.23 Maka Gereja katolik Indonesia harus terus menerus berdialog
dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dalam rangka
merealisir konsep Indonesia sebagai satu rumah yang adil dan sejahtera.24

Sejarah gerakan politik Gereja Katolik Indonesia pun mengalami bahwa sejak awal
perjuangan Kemerdekaan Indonesia, orang katolik juga ikut terlibat secara aktif. Keterlibatan
itu bukan hanya umat awam katolik tetapi juga religius bahkan pemimpin Gereja, seperti
Mgr. Soegijapranata, Laksamana Muda Jos Sudarso, Kolonel Ignatius Slamet Riayadi yang
terlibat secara langsung dalam dunia politik Indonesia. Salah satu dasar keterlibatan mereka
adalah keyakinan bahwa politik adalah “panggilan suci”. Prinsip ini dihayati oleh I. J.
Kasimus, seorang tokoh katolik yang meyakini politik sebagai panggilan untuk mewujudkan
kebaikan bersama.

Maka arah politik katolik mengarah dan berpegang teguh pada kepentingan umum dan
keberpihakan pada orang kecil, terlantar dan tersingkir sebagai bentuk perwujudan iman
kristiani dalam ranah politik.25 Dengan demikian terbentuklah suatu pembentukan negara
yang menghormati hak asasi manusia dalam semangat solidaritas sejati yang ditandai oleh
suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, yang bebas, dinamis dan berwawasan
kebangsaan di mana tercipta rasa aman lahir dan batin dalam hidup bersama. 26 Inilah
panggilan umat katolik untuk menjadi instrumen cinta, perdamaian dan persahabatan di
tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebab nasib dan hidup masyarakat Indonesia
ditentukan dan diukur oleh apa yang dilakukan oleh umat katolik terhadap sesama, terutama
yang kecil, lemah dan terpingirkan (bdk. Luk. 4: 18).

Untuk mewujudkan panggilan tersebut umat katolik perlu berpartisipasi secara aktif dalam
kehidupan sosial politik dengan memperluas dan memperdalam pemahaman tentang
perkembangan kehidupan politik di tanah air dalam perpaduan dengan iman kristiani dan
wawasan kebangsaan. Selain itu mendorong partisipasi yang lebih luas dan aktif dalam
kehidupan sosial politik bersama dengan golongan agama lain demi persatuan bangsa
Indonesia dan kesejahteraan umum (bonum commune).

23

24

25

26
3. Yesus: Pola Bagi Umat Katolik dalam Berpolitik

Keterlibatan umat katolik dalam bidang sosial politik secara mendasar lahir dari kenyataan
bahwa iman kiristiani pada hakikatnya menyejarah. Allah yang diimani masuk dalam sejarah
konkret umat manusia yang mewujud dalam diri Yesus Kristus dan tubuh-Nya yakni Gereja.
Maka spritualitas politik umat Katolik bukan dijalankan berdasarkan pada suatu teori tentang
politik atau masyarakat, tetapi lahir dari kesadaran akan perjumpaan dengan Allah yang
menyejarah.27 Historisitas Allah itu diwujudkan dalam kehadiran Yesus yang benar-benar ter-
libat dan masuk dalam kehidupan politik bangsa Yahudi.

Yesus menghayati tanggung jawab-Nya sebagai warga negara dengan baik. Ketika Ia ditanya
oleh orang Farisi, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”(Luk.
20: 22); Yesus memberikan jawaban yang jelas, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi
hak Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Luk. 20. 25).
Yesus membedakan antara urusan kemanusiaan yang harus dijalankan dengan kewajiban
kepada Allah yang mesti ditaati, sehingga umat katolik dapat memberikan kewajibannya den-
gan tepat.28 Keteladan ini oleh Mgr. Al. Soegijopranata dengan tajam dirumuskan bahwa se-
tiap anggota Gereja harus menjadi 100% Indonesia dan 100% Katolik. Jadi, bukan 200%
melainkan tetap 100%. ‘Matematika iman’ (100% + 1000% =100%) ini mengandung arti
bahwa identitas orang katolik harus menjadi Indonesia seutuhnya dan serentak menjadi kato-
lik seutuhnya, bukan menjadi manusia fifty-fyfty.29 Tetapi sungguh-sungguh Indonesia dan
sungguh-sungguh katolik.

Kehidupan publik termasuk sosial politik tidak mengingkari kehadiran Allah sebab Allah
menyapa manusia di dalam sejarah dan situasi yang dihadapinya. 30 Keselamatan yang dia-
jarkan dalam iman kristiani tidak hanya bersifat individual tetapi memilki dimensi sosial
karena keselamatan tidak melulu perkara dunia nanti, tetapi terhadap carut-marutnya dunia
ini, maka tanggung jawab politik menjadi suatu yang niscaya. Inilah yang menjadi dasar bagi
keterlibatan umat katolik dalam perkara-perkara publik.

Keterlibatan Yesus pada zamannya sungguh diabadikan kepada terwujudnya kesejahteraan


bersama seluruh warga masyarakat, khususnya yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir seba-

27

28

29

30
gaimana dirumuskan dalam misi yang diemban-Nya, “Aku diutus oleh Bapa untuk menyam-
paikan kabar baik kepada orang-orang miskin, membebaskan orang tawanan, penglihatan
bagi orang buta dan memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).
Dengan demikian keterlibatan orang katolik dalam kehidupan sosial politik mau meneladani
Yesus yang selalu mefokuskan diri pada cinta kasih khususnya kepada yang lemah, kecil dan
menderita. Karena itu, politik katolik bukanlah politik yang berdasarkan kesempatan untuk
berkuasa, melainkan berdasarkan hati nurani, dialog dan pelayanan demi kebaikan banyak
orang.

Keselamatan yang diajarkan dalam iman kristiani tidak hanya bersifat individu tetapi
memiliki dimensi sosial. Identifikasi Yesus dengan mereka yang miskin, terlantar, lapar,
haus, di penjara dan yang sakit perlu mendapat tindakan konkrit dari umat Katolik. Umat ka-
tolik yang terlibat dalam politik dan yang berusaha melayani kepentingan umum perlu meli-
hat secara baru kategori mereka yang terpinggirkan di zamannya. Perlu adanya keterbukaan
dan perwujdan kasih untuk mengenal realitas marginalisasi dan kemiskinan dalam wujudnya
yang baru. Sebab perwujudan kasih dalam bidang politik menjadi tolak ukur keaslian keterli-
batan umat katolik di ranah publik.31 Ketika umat katolik berpolitik mengejar”kebaikan tert-
inggi” (kebaikan umum bagi semua warganya) maka pada saat yang sama umat katolik
menghadirkan “kebaikan tertinggi” yakni Kristus dalam persekutuan dengan umat-Nya yakni
Gereja.32 Dalam semangat perjuangan ini menjadi jelas bahwa perjuangan politik para poli-
tikus katolik Indonesia pertama-tama diarahkan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat
dan demi tetap beradanya Indonesia.33 Artinya arah dan perjuangannya jelas bukan untuk ke-
pentingan eksekutif umat katolik dikancah publik atau wilayah negara di mana umat katolik
berada tetapi untuk satu bangsa.

Ketika seluruh bangsa sejahterah dan hak asasi manusia ditegakkan dan dihormati maka den-
gan sendirinya umat katolik selaku warga negara akan terlayani dan menikmati kesejahteraan
yang sama dengan warga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan identitas dan panggilan misi
Gereja, bahwa Gereja tidak hadir dalam dunia untuk melayani dirinya sendiri tetapi mengem-
ban tujuan dasar kasih yang terarah kepada manusia dan dunia di luar dirinya. Maka keterli-
batan Gereja dalam kehidupan sosial politik bukan untuk memperomosikan dirinya, merebut
kekuasaan bagi kelompoknya tetapi tertuju pada pelayanan kasih.

31

32

33
Keterlibatan Gereja dalam dunia politik berakar dalam panggilan dan tugas suci Gereja untuk
menjadi terang dan garam dunia, dengan mempromosikan moral politik yang benar yaitu
politik yang mengupayakan keadilan, kebaikan dan kesejahteraan bersama serta perjuangan
terhadap hak asasi manusia. Panggilan dasar ini menjadi tugas tak terbantahkan bagi setiap
orang yang mengakui dirinya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, semua umat
katolik dipanggil untuk mewujudkan tata dunia baru, yang ditandai dengan keterlibatan
dalam mewujudkan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan dari politik. Karena itu orang
katolik diharapkan sadar bahwa misi mereka bukan hanya untuk menciptakan tata
pemerintahan yang sekedar manusiawi, tetapi juga membantu Allah mewujudkan tata dunia
baru yang dipenuhi semangat dan keutamaan Injil.

Saat ini Gereja Katolik Indonesia ditantang untuk menumbuhkembangkan keutamaan-


keutamaan kristiani seperti solidaritas, kerja keras, murah hati, kejujuran dll. Nilai-nilai ini
penting karena iman bukan lagi urusan privat tetapi berdaya sapa dan berdaya ubah bagi
orang lain. Berhadapan tuntutan ini, Gereja berpolitik meneladani Yesus yang datang ke
dunia untuk membawa damai bagi semua umat manusia. Kedatangan-Nya tidak hanya
mendamaikan manusia dengan Allah tetapi juga mendamaikan manusia dengan yang lain.
Dalam konteks ini umat katolik dipanggil untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, dan
persatuan bangsa dengan ikut serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan.

Akhirnya keberhasilan Gereja Katolik Indonesia menjadi terang dan garam dunia diukur dari
usaha dan perjuangan memberi jaminan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap dipertahankan
sebagai dasar negara dan tetap menjadi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi para
aktivis politik katolik di negeri ini agar semakin sadar bahwa tugas mereka mulia yakni
menjadi sarana penebusan Allah sehingga sikap dan prilaku mereka juga menampakkan sikap
sebagai rekan sekerja Allah yang hadir dan bekerja dalam situasi masyarakat zaman ini.

https://www.academia.edu/search?q=keterlibatan%20umat%20katolik%20dalam%20kehidu-
pan%20berpolitik

Anda mungkin juga menyukai