Anda di halaman 1dari 27

BUDAYA

Arif Kurniawan Siahaan (4193111015)


Agnes Yemima Simanjuntak (4193111046)
Agnes Yulitya (4193111079)
Marince (4193111065)
Maria Nadia Sirait (4193111078)
Reggie Angelina (4193111056)
Sartika Rismaya Manihuruk (4193111076)
Yunita Maranata Tindaon (4193111071)
BAB 1
PENDAHULUA
N
1.1
Latar
Belakang
Keanekaragaman suku dan budaya adalah salah satu karakteristik bangsa Indonesia. Indonesia
merupakan negara kepulauan (terdiri atas 1700 pulau) yang didiami oleh beragam suku, seperti suku
Sunda, Jawa, Minang, Asmat, Dayak, Bugis, dll. Suku-suku tersebut memiliki agama dan kebudayaan
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Suku Batak adalah salah satu suku bangsa Indonesia, yang
terdiri dari 6 sub suku yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Suku Batak
Toba sebagai salah satu suku di Indonesia, mengagungkan kesadaran dan kebanggaan akan budaya Batak
Toba. Maka penggalian, pemeliharaan dan pengembangan budaya Batak Toba sangat mutlak diperlukan
untuk tetap menjadi salah satu akar kuat dari pohon besar budaya nasional. Dalam budaya Batak Toba
yang dimaksud dengan kebudayaan adalah ‘Ugari’. Terdapat pepatah yang dipegang teguh masyarakat
Batak Toba, yaitu : Adat do ugari, Sinihathon ni Mulajadi. Siradotan manipat ari, Silaon di siulubalang
ari. (Maksudnya : Adat itu yang diilhamkan oleh Tuhan pencipta alam untuk dipelihara selama hidup),
sehingga masyarakat Batak Toba sangat memegang teguh adat-istiadatnya. Identitas budaya Batak Toba
yang tidak dimiliki oleh suku lain di Indonesia ialah pembagian masyarakat atas 3 golongan fungsional
yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yaitu dasar kehidupan bagi seluruh warga masyarakat Batak Toba
yang terdiri dari tiga unsur atau kerangka yang merupakan kesatuan yang tidak terpisah, yakni : hula
hula, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut somba marhula-hula yang berarti harus hormat
kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Kedua, dongan tubu, yaitu
saudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar
dari perseteruan. Ketiga, boru, yaitu saudara perempuan dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan
pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut elek marboru artinya agar selalu saling
mengasihi supaya mendapat berkat. Ketiganya bergerak dan saling berhubungan selaras, seimbang dan
teguh oleh adanya marga dan prinsip marga.
Menurut keyakinan masyarakat Batak, keberadaan Dalihan Na Tolu merupakan persatu-paduan
kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi kehidupan, keagamaan, kesusilaan, hukum,
kemasyarakatan, dan kekerabatan. Juga berfungsi sebagai hukum dasar musyawarah dan mufakat
(demokrasi) masyarakat batak serta hukum adat masyarakat Batak yang wajib dipatuhi. Masyarakat
Batak percaya bahwa tata cara hidup telah diatur sejak semula oleh leluhur dan nenek moyang yang
diilhami oleh Tuhan pencipta alam semesta (Debata Mulajadi Nabolon). Hidup dan perbuatan yang
bersumber dari adat, berdasarkan adat dan dijiwai oleh adat, akan dapat memelihara keserasian,
keselarasan serta keseimbangan kehidupan bermasyarakat dan membawa kesejahteraan bersama untuk
mendapatkan: banyak keturunan (hagabeon), kekayaan (hamoraon) dan kemuliaan (hasangapon).
Kehidupan adat dan keagamaan pada masyarakat Batak Toba saat ini sudah tidak dapat dipisahkan lagi,
karena upacara keagamaan khususnya Kristen sudah menjadi suatu bagian penting dari upacara adat. Hal
ini dikarenakan seorang missionaris asal Jerman yang bernama Pdt. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen
menjalani hidupnya di tanah Batak selama 57 tahun. Kedatangan Nommensen telah membawa perubahan
paradigma sosioreligius bagi masyarakat Batak. Habatakon (hal-hal yang sangat berkaitan dengan
kebudayaan Batak tradisional dengan melibatkan pemanggilan arwah) yang selama ini menjadi
paradigma sosioreligius bagi masyarakat Batak dengan tatanan adatnya yang kuat, mengikat, mengatur,
dan mempersatukan. Nommensen membawa Hakristenon (ajaran Kristen) sebagai paradigma baru
dengan nilai-nilai Injil yaitu cinta kasih, pendidikan, serta mengajarkan kebersihan, kesehatan dan tentu
saja kemajuan. Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok kami akan membahas mengenai hubungan
agama dengan budaya batak toba.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa maksud dan tujuan pelaksanaan adat pemakaman orang mati salam masyarakat batak?
2. Bagaimana klasifikasi tingkatan sosial dari orang yang sudah meninggal menurut dalihan na
tolu?
3. Apa tujuan dari kajian terhadap peranan adat Batak dan iman Kristen.
1.3
Tujuan
1. Mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan adat pemakaman orang mati salam masyarakat batak.
2. Mengetahui klasifikasi tingkatan sosial dari orang yang sudah meninggal menurut dalihan na tolu.
3. Untuk mengetahui tujuan dari kajian terhadap peranan adat Batak dan iman Kristen.
BAB 2
PEMBAHASA
N
2.1
Kebudayaan Sebagai Pola
Hidup
Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok yang dihayati
dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau sebuah
komunitas. Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “budaya”. Budaya
adalah bentuk jamak dari kata “budi” yang berarti ‘roh' atau ‘akal'. Kata
kebudayaan menyatakan : 'segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia'.
Jadi budaya atau kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dihasilkan atau
diciptakan oleh akal atau budi manusia (Verkuyl 1979, 13). Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan berarti: “Keseluruhan gagasan dan karya manusia,
yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu” (Koentjaraningrat 1992,9). Semua suku bangsa di dunia ini
memiliki kebudayaan yang lahir dari aktivitas pengalaman dan praktik sehari-
hari. Semakin tua umur suatu bangsa akan semakin tinggi pula nilai-nilai
kebudayaannya. Kebudayaan mencakup berbagai kehidupan, yang mengatur
semua praktik kehidupan seperti bekerja; proses kelangsungan hidup, mulai dari
kelahiran, perkawinan, sampai kepada kematian; hukum, tatanan sosial, dan
kepercayaan.
2.2
Kebudayaan Batak Toba
Batak Toba sebagai salah satu suku di Indonesia yang juga memiliki
kebudayaan atau agama yang telah diwarisi secara turun-temurun sebelum agama-
agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Tanah Batak. Kebudayaan Batak Toba juga
mencakup berbagai kehidupan. Kehidupan Batak Toba lebih dikenal dengan sebutan
adat, yang mengatur seluruh tatanan dan perilaku, paho habatahon (moral kebatakan).
Perumpamaan Batak yang mengatakan: "Adat do ugari, sinihathon ni ompunta
Mulajadi", menunjukkan bahwa adat adalah ugari atau hukum yang diilhamkan
(sinihathon) Tuhan Pencipta Alam Semesta. Dari perumpamaan ini dapat diketahui
bahwa orang Batak memahami adat Batak sebagai hukum yang bukan ciptaan manusia
melainkan berasal dari Yang llahi, sehingga adat Batak bermakna religius (D.
Lumbantobing 2007, 324). Itulah sebabnya, adat Batak tidak terpisahkan dari
kepercayaan atau agama Batak.
2.3
Kematian dan Pemakaman
Orang Mati Menurut Adat
Dalihan Na Tolu
Dalam adat atau agama Batak, sangat sulit ditentukan batas yang tegas antara
orang mati dan hidup, sehingga orang Batak yang masih teguh memegang adat selalu
mentari pengaruh atau berkat dari orang yang telah meninggal, terutama jika orang itu
mulia, kaya, atau mempunyai banyak keturunan. Orang Batak memahami bahwa
meskipun manusia sudah mati, rohnya (tondi) masih tetap hidup, sebab kematian
dipahami bukan akhir dan keberadaan dan tindakan dari roh (tondi). Roh orang mati
(begu) masih dapat berhubungan dengan orang yang masih hidup, mampu memberi
pengaruh, bahkan memberikan berkat bagi orang hidup. Orang Batak yakin bahwa
tubuh orang mati akan menjadi tanah sedangkan roh (tondi)-nya akan menjadi begu
(hantu). Dalam adat atau agama Batak, terutama mengenai kematian, terlihat adanya
pandangan dualisme tubuh dan roh. Meskipun tubuh manusia telah mati, tondi-nya
dianggap masih tetap hidup. Dualisme ini sangat mendukung keyakinan orang Batak
akan kuasa dan wibawa orang yang telah mati, terutama para leluhur. Hal ini penting
bagi orang Batak karena roh leluhur tetap hidup dan mempunyai pengaruh bagi orang
hidup, dapat memberi berkat. Persekutuan antara orang hidup dengan orang yang sudah
mati, terlebih dengan para leluhur, merupakan suatu hal yang penting bagi orang Batak.
Hal ini bersumber dari pemahaman orang Batak bahwa adat terikat kepada leluhur. Adat
mempersatukan orang yang masih hidup dengan yang telah mati. Melalui adat akan
terjalin hubungan dengan para leluhur.
Adat pemakaman orang mati dilaksanakan
dengan beberapa maksud dan tujuan yaitu :

01 02 03 04 05
Memberikan Memberikan Membebaskan Memberi makan Upacara ritual atau
perpisahan dan penghiburan bagi diri dari roh si kepada ilah-ilah supaya adat pemakaman
penghormatan anggota keluarga yang mati, sehingga tidak mengganggu orang mati ini juga
terakhir kepada yang ditinggalkan, serta yang hidup tak perjalanan roh si mati, diperuntukkan bagi
meninggal serta rasa syukur kepada diganggu lagi. atau meminta orang-orang yang
melengkapi segala Mulajadi Na Bolon pertolongan ilah-ilah hidup, dalam arti
bekal yang diperlukan atas segala berkat itu untuk menghantar menunjukkan status
dalam perjalanannya yang telah diterima roh si mati sampai ke social dan kesempatan
menuju alam yang oleh almarhum atau tempatnya. untuk melunasi
dituju. almarhumah dan Menyelesaikan segala (manggaraadat) yang
keturunannya semasa kewajiban terhadap telah diterima
hidupnya. yang mati, sehingga almarhum atau
perjalanan roh itu almarhumah dan
mencapai tujuannya. membalas sumbanan
serta bantuan terhadap
keluarga.
2.4
Sebuah Kajian Terhadap
Peranan Adat Batak Dan Iman
Kristen
Walaupun sebagian besar orang Batak beragama Kristen dan sebagian kecil
beragama Islam tetap menjalankan ritual adat kematian dan pemakaman orang
mati menurut Dalihan Na Tolu, termasuk penggalian tulang-belulang (pemakaman
kembali) dan pembangunan tugu. Kondisi dan situasi ini mengandung pertanyaan
mengapa orang Batak, khususnya Batak Toba, yang sudah menganut agama
Kristen, masih tetap menjalankan pesta kematian dan pemakaman orang mati
menurut adat Dalihan Na Tolu yang disinyalir oleh sebagian masyarakat Kristen
Batak sebagai warisan kekafiran. Harus diakui bahwa masalah ini timbul
disebabkan oleh dampak langsung dari kesalingterpengaruhan antara adat-budaya
Batak dan nilai-nilai teologis kekristenan secara timbal balik. Disamping itu,
pelaksanaan adat kematian dan pemakaman orang mati menurut Dalihan Na Tolu
sudah sangat beragam, tidak efisien, dan banyak menyita waktu, daya, dan dana.
Masalah inilah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini, untuk melihat apa
pertimbangan, makna, dan hubunganya sehingga masyarakat Kristen Batak tetap
melaksanakan upacara tersebut sampai saat ini. Demikian juga, berbagai
pelaksanaan peribadatan Kristen selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur tradisi
budaya Batak. Pada satu sisi dominasi kekristenan juga sangat kuat terhadap adat-
budaya Batak. Hal ini perlu dikaji agar kita dapat menempatkan dan
memfungsikan adat Batak dan kekristenan secara proporsional dalam kehidupan
sehari-hari.
2.5
Kontroversi Upacara Adat
dan Pemakaman Orang
Mati
Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan dialami oleh semua
orang, tanpa terkecuali. Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan
seseorang akan meninggal, dan setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi
yang berbeda-beda dalam melaksanakan ritual-ritual kematian.Untuk
menghormati seseorang yang telah meninggal tentunya ada ritual yang harus
dijalankan, biasanya ritual itu berdasarkan kepercayaan yang telah dianut oleh
masing-masing orang. Upacara kematian merupakan salah satu tardisi yang
saat ini masih sering dijalankan oleh berbagai etnis. Adanya sebuah
kontroversi timbul di tengah-tengah masyarakat Kristen Batak akibat adanya
pelaksanaan upacara kematian dan pemakaman orang mati menurut adat
Dalihan Na Tolu. Cenderung sebagian orang Kristen Batak melihat bahwa adat
batak menilai adat tersebut dengan curiga, antipasti, sikap bermusuhan,
membuat kehadiran adat Batak semakin berarti lagi.Mereka menilai bahwa
adat batak adalah sebaga alat atau pekerjaan iblis yang harus diperangi dan
harus dimusnahkan. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kejadian seperti salah
satunya dalam sebuah tindakan demonstrative membakar ulos batak dan
menghimbau orang Kristen Batak untuk tidakambil bagian dalam upacara-
upacara adat batak.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu :
1. Memberikan perpisahan dan penghormatan terakhir kepada yang meninggal serta
melengkapi segala bekal yang diperlukan dalam perjalanannya menuju alam yang
dituju, memberikan penghiburan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan, serta rasa
syukur kepada Mulajadi Na Bolon atas segala berkat yang telah diterima oleh
almarhum atau almarhumah d an keturunannya semasa hidupnya, membebaskan diri
dari roh si mati, sehingga yang hidup tak diganggu lagi, menunjukkan status sosial dan
kesempatan untuk melunasi (manggararadat) yang telah diterima almarhum atau
almarhumah dan membalas sumbangan serta bantuan terhadap keluarga.
2. Klasifikasi tingkatan sosial dari orang meninggal menurut dalihan natolu :
a. Mate tilahaon
b. Mate di paralangalangan,
c. Mate mangkar (matipul ulu, matompas tataring)
d. Mate sarimatua
e. Mate saurmatua
f. Mate maulibulung
3. Hal ini perlu dikaji agar kita dapat menempatkan dan memfungsikan adat Batak
dan kekristenan secara proporsional dalam kehidupan sehari-hari.
3.2
Saran
Saran dari kelompok kami adalah
sekiranya dengan adanya tugas ini dapat
menambah wawasan pembaca mengenai
budaya Batak serta kaitannya dengan kristen
agar tidak menjadi salah kaprah atau terhadap
budaya Batak dan kaitannya dengan Kristen

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,


including icons by Flaticon, infographics & images by Freepik
THANK
S!

Anda mungkin juga menyukai