Anda di halaman 1dari 7

KRHIDUPAN BERAGAMA dalam BERMASYARAKST

Pancasila Bersumber dari Ilmu Tuhan

Tuhan Semesta Alam Maha Berilmu menciptakan seluruh makhluk-Nya dengan

sistem hukum penciptaan sebagai prinsip ilmu-Nya. Sang Raja Alam Semesta

sebagai Pengatur segala suatu kejadian di alam raya, makrokosmos atau

mikrokosmos dan menjabarkan ilmu-Nya dalam dua dimensi, yaitu firman suci

yang terkodifikasikan dalam kitab suci (kauliyah) dan ayat-ayat (ilmu) Allah pada

alam semesta (kauniyah). Eksistensi Tuhan Semesta Alam juga diwujudkan dalam

segala perwujudan benda yang ada di universal system ini merupakan

pengejawantahan dari esensi ilmu-Nya. Kitab suci mengajarkan bahwa janganlah

kamu melakukan sesuatu tanpa dasar ilmu, sesungguhnya mata, telinga, dan

pikiran akan dimintai pertanggungjawabannya (Qs: Al Israa‟ [17]: 36). Manusia

harus menggunakan ilmu sebagai landasan jalan kebenaran yang ilmiah dan

alamiah untuk menjalankan fungsi utama manusia sebagai rahmat alam semesta

dan pemakmur bumi atau dalam bahasa lokal Nusantara Hamemangun Karyenak

Tyasing Sesami. (Mazmur 119:90, Yohanes 4:42, Qs: Al Anbiyaa [21]:107). Manusia

Hubungan Antara Agama dan Cara Pandangan Pemeluknya

Agama mengambil peran yang sangat penting dalam pembentukan cara pandang. Hal ini

pertama-tama disebabkan karena agama menyentuh hal-hal mendasar dari hidup manusia. Ajaran

agama berisi panduan yang menjadi penuntun hidup para pemeluknya. Ajaran agama menggeluti halhal
yang bermakna bagi hidup yang terungkap dalam dialektika tentang pertanyaan dan jawaban

terhadap pencarian makna hidup setiap manusia.

Cara pandang menyangkut pertanyaan-pertanyaan dasar dalam kehidupan, seperti berikut.

Siapakah saya? Siapakah manusia itu? Dari mana saya berasal? Ke mana saya akan berakhir?

Mengapa saya harus hidup? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah dunia ini diatur oleh hukum, atau
secara kebetulan, atau oleh ‘Tuhan’? Bagaimanakah cara hidup yang benar? Bagaimanakah dunia ini

dimulai? Bagaimanakah dunia ini akan berakhir? Apakah yang akan terjadi setelah kita meninggal

dunia? Apa yang terjadi dengan jiwa kita setelah kematian? Mengapa ada penderitaan dalam hidup

ini? Mengapa dunia ini fana? Mengapa ada kebaikan dan kejahatan? Apa akibat dari dosa? Bagaimana

dosa dapat diampuni? Bagaimana kita bisa selamat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikenal juga sebagai pertanyaan-pertanyaan eksistensial, yaitu

pertanyaan yang tidak dapat, tidak perlu ditanyakan. Kebanyakan orang, mulai dari lahir sampai

meninggal, menanyakan pertanyaan yang sama dan menghadapi tantangan yang sama mengenai

kebingungan dan ketidakpastian hidup. Seperti yang dituliskan oleh Osborne (1996: ix), "Semuanya

mengekspresikan kekaguman dan kerendahan hati atas misteri alam semesta.” Mulai dari kisah

penciptaan (misal: pada kitab Kejadian dalam Alkitab) sampai mengenai deskripsi lengkap mengenai

surga dan neraka, semua agama menolong manusia untuk memahami asal manusia, alasan mereka ada

di dunia, yang terjadi ketika manusia meninggal, dan alasan adanya penderitaan. Singkatnya,

agamalah yang menyediakan jawaban dari pertanyaan sulit dan universal ini.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan mutlak (ultimate questions)

yang menyangkut eksistensi hidup manusia. Oleh karena itu, pasti akan ditanyakan oleh setiap orang

dalam hidupnya teristimewa pada momen-momen spesial dalam perjalanan hidupnya. Agama

memberi pencerahan dan jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Dengan cara itu, agama

menentukan cara pandang dan perilaku hidup para pemeluknya. Peran agama dalam menjawab

pertanyaaan-pertanyaan eksitensial semacam ini sangatlah krusial. Itu karena manusia selaku makhluk

spiritual selalu terarah untuk menanyakan hal ini. Manusia selalu berpaling kepada agama untuk

menemukan jawaban dan peneguhan atas aspirasinya dalam menjawab panggilan batin dan pencarian

makna hidupnya ke arah transendensi diri

Hubungan antara Agama, cara pandang, dan perilaku pemeluk agama telah banyak digeluti

oleh para filsuf, para teolog, maupun para ahli ilmu sosial lainnya seperti yang pernah ditunjukkan
secara menonjol oleh sosiolog, Max Weber, dalam The Protestant Ethic and the Spirit of

Capitalism. Weber menunjukkan bahwa ajaran Protestantisme tentang ‘panggilan’ (the calling) yang

menekankan pada kesejahteraan hidup manusia sangat memengaruhi perkembangan kapitalisme di

Eropa pada zamannya. Agama memengaruhi kegiatan produksi, perdagangan, dan proses bisnis

lainnya. Max Weber mengungkapkan pengamatannya bahwa agama tidak terlepas dari kehidupan

sosial bahkan tidak terlepas dari peradaban modern, hal yang masih berlangsung sampai sekarang ini.

Agama terbentuk sedemikian rupa sehingga sebagai suatu institusi pranata sosial menjadi

instrumen yang cukup handal dalam melestarikan nilai-nilai, termasuk mempromosikan dan

menegakkan nilai-nilai itu dalam implementasi yang konkret. Agama sebagai suatu institusi sosial

menyediakan struktur, disiplin, dan partisipasi sosial dalam suatu komunitas. Agama memiliki klaim

supernatural atas kekuasaannya dalam memberikan pengajaran. Klaim-klaim supernatural seperti ini

pada umumnya secara efektif memampukan agama mendorong nilai-nilai untuk diyakini oleh para

pemeluknya. Makin kuat keyakinan seseorang kepada agamanya, maka makin kuat juga pengaruh

ajaran agama dalam hidup orang tersebut.

Kata ‘agama’ (religion) berasal dari terminologi bahasa Latin yang berbunyi religare yang

berarti ‘untuk mengikat’. Dari pengertian ini kita dapat merasakan pentingnya kekuatan kolektif

agama. Agama mengikat para pemeluknya satu sama lain dalam satu identitas sekaligus mengikat

mereka dengan hal-hal sakral termasuk dengan nilai-nilai yanag diajarkannya. Nilai-nilai ini menjadi

bagian dari credo kehidupan mereka yang senantiasa diperjuangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ikatan ini memperteguh kohesi sosial antarpemeluk agama tersebut sekaligus mempertegas identitas

mereka. Berbagai simbol religius membantu menegaskan identitas ini. Simbol-simbol tersebut

menyatukan sekaligus membedakan dengan yang lain, membangun kekhasan sekaligus memisahkan

dari yang lain. Dengan demikian, agama menjadi suatu kekuatan sosial yang sangat signifikan. Dalam

agama-agama besar dunia ikatan tersebut telah berlangsung lama dari zaman ke zaman melalui proses

penyesuaian di sana-sini, tetapi tetap mempertahankan kekhasan. Dalam berbagai cara agama telah
mengikat orang bersama-sama dan memelihara cara pandang mereka selama ribuan tahun. Agama

mempertegas identitas para pengikutnya dan menyatakan kesatuan institusionalnya.

Kesatuan institusional tersebut mempertegas pula kekuatan agama dalam mengajarkan nilainilai dan
membentuk cara pandang para penganutnya. Baik melalui institusi seperti gereja Katolik,

pemimpin spiritual dan sosial seperti Buddha dan Confucius, maupun melalui ajaran Alkitab, Weda,

Quran, Torah, dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat ke luar diri

mereka terhadap nilai-nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Para penganut

agama setidak-tidaknya memperoleh pegangan untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan hidupnya

berdasarkan ajaran-ajaran yang dilestarikan dan disampaikan oleh para pemimpin agamanya.

Sebagaimana yang telah disebutkan, keberadaan pertanyaan-pertanyaan kehidupan ini

mempertegas relevansi agama dalam hidup manusia. Pengaruh agama masih akan terasa relevan

karena agama berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan transenden yang dihadapi manusia, antara

lain tentang kematian, kekekalan, penderitaan, dan asal serta tujuan alam semesta. Seperti yang

dituliskan oleh Malefijt (1968: 145), “Agama menyediakan penjelasan dan menunjukkan nilai dari

fenomena yang tidak dapat dijelaskan.” Agama juga menolong pengikutnya dalam menghadapi isu-isu

yang berhubungan dengan hidup manusia. Isu tersebut teristimewa menyangkut tentang hal yang

benar dan salah, memberikan legitimasi rohaniah dan supernatural, dan memberikan jaminan

keselamatan. Hal demikian biasanya membawa dampak mengurangi stres dan frustrasi yang kadang

mengarah pada konflik sosial. Sehubungan dengan hal ini, Nanda (1994:349) menunjukkan fungsi

penting agama, yaitu agama “berhubungan dengan kehidupan dan kematian, penciptaaan alam

semesta, asal masyarakat dan kelompok dalam masyarakat, hubungan antara seorang individu dan

kelompok satu sama lainnya, dan hubungan dengan alam.”

Agama Di Negara Pancasila

Perbincangan tetang posisi dan atau peran agama di negara yang berdasarkan Pancasila seperti di
Indonesia ini sudah lama dilakukan, bahkan sejak mulai berdirinya negara ini . Agama dipandang
memiliki posisi strategis. Ialah dijadikan sebagai pedoman hidup bagi pemeluknya, sumber inspirasi,
kekuatan pemersatu, dan fungsi-fungsi penting dan mendasar lainnya. Bagi bangsa Indonesia posisi
strategis dan mendasar itu sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, lebih-lebih sila pertama dari Pancasila
sebagai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai implementasi dari pandangan tentang betapa pentingnya agama bagi bangsa dan negara,
hingga ditunjuk sebuah kementerian yang khusus mengurusi agama, ialah kementerian agama.
Ditegaskan bahwa, salah satu tugas kementerian agama adalah untuk memberikan pelayanan dan
meningkatkan kualitas keberagamaan bagi warga negaranya. Oleh karena itu, banyak hal terkait dengan
kehidupan beragama, pemerintah ikut hadir dan memberikan pelayanannya.

Sebagai contoh yang mudah dilihat, kementerian agama selama ini menyelenggarakan pendidikan
agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selain terdapat perguruan tinggi agama yang
berstatus swasta, terdapat pula perguruan tinggi agama yang berstatus negeri dari berbagai jenis
agama. Hingga saat ini, terdapat 54 perguruan tinggi agama Islam negeri, 8 perguruan tinggi agama
Kristen negeri, 3 perguruan tinggi agama Hindu negeri, dan dua perguruan tinggi agama budha negeri.
Semua pembiayaan perguruan tinggi negeri yang berbasis agama tersebut disediakan oleh pemerintah
pada setiap tahunnya melalui APBN.

Seain itu, pemerintah juga memberikan pelayanan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum,
mulai dari tingkat dasar hingga hingga perguruan tinggi. Bahkan pendidikan agama itu bersifat wajib,
dalam arti, sesuai undang-undang, harus diberikan kepada para siswa sesuai dengan agamanya dan
diberikan oleh guru sesuai dengan agama para siswa masing-masing. Pendidikan agama di negara
Pancasila ini memiliki dasar yang sangat kuat, artinya memang harus diberikan kepada seluruh warga
negaranya.

Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas keberagamaan adalah menjadi kepentingan
pemerintah dalam rangka memenuhi tuntutan konstitusi. Tanpa diminta dan didorong oleh siapapun,
pemerintah berkewajiban dan berkepentingan untuk meningkatkan kualitas keberagamaan itu.
Memang, sebagai negara yang majemuk dari aspek keberagamaannya, maka semua agama seharusnya
mendapatkan pelayanan yang sama. Dalam memberikan pelayanan, pemerintah tidak dibenarkan
bersikap diskriminatif, sebab pada hakekatnya semua memiliki hak yang sama.

Sebagai bagian dari upaya mengimplementasikan pembinaan kehidupan beragama, melalui guru agama
atau juga kepala sekolah yang bersangkutan, para siswa dibiasakan untuk membaca doa, menunaikan
kegiatan sholat berjama'ah di sekolah, membaca kitab suci dan lain-lain. Kegiatan semacam itu
seharusnya dimaknai sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas
keberagamaan itu.

Bagi sekolah-sekolah negeri, yang para siswanya menganut agama yang berbeda-beda, maka sekolah
berkewajiban memberikan pelayanan dan bimbingan yang sama. Adanya perbedaan agama tidak
seharusnya dijadikan alasan untuk tidak melakukan pembinaan. Pembinaan dalam kehidupan beragama
harus tetap dilakukan sesuai dengan agamanya masing-masing. Adanya perbedaan cara beribadah, dan
apalagi sekedar doa, maka pemerintah tidak perlu mengatur dalam arti harus mengurangi intensitas dan
kualitasnya. Lewat lembaga pendidikan, pemerintah tetap dituntut melakukan peningkatan kualitas
keberagamaan warga negaranya, tidak terkecuali terhadap para siswa di sekolah-sekolah negari.

Sebagai negara Pancasila, maka kualitas keberagamaan warga negaranya seharusnya dipelihara dan
ditingkatkan. Hal demikian itu sebenarnya selama ni sudah berjalan dan tidak ada pihak-pihak yang
merasa terganggu. Perbedaan agama di negeri ini sebenarnya sudah tidak dirasakan sebagai masalah.
Melalui kementerian agama dan juga lembaga-lembaga yang dibentuk untuk mengakomodasi berbagai
kepentingan dan kebutuhannya telah menjalankan fungsinya. Hasilnya, selama ini sangat
menggembirakan. Kerjasama antar umat beragama telah ditunjukkan dengan baik di berbagai tempat.

Sebagai contoh sederhana, pada hari-hari besar yang bersifat keagamaan, maka pemerintah meliburkan
semua warga negaranya. Pada libur hari besar agama Islam, maka semua pemeluk agama, tanpa
terkecuali juga diliburkan. Demikian pula hari besar agama Krsten, Hindu, Budha, dan lainnya, semuanya
ikut diliburkan. Kerjasama yang terasa unik pernah terjadi di kota Malang dan mungkin saja juga di
tempat lain. Ketika umat Islam di Malang menyelenggarakan kegiatan istighosah di halaman masjid
besar pada hari Ahad, padahal masjid itu bersebelahan dengan gereja, yang pada hari itu juga
seharusnya menyelenggarakan kebaktian, maka ternyata pengurus gereja menunda acara
keagamaannya agar pelaksanaan ritual umat Islam tersebut tidak terganggu. Anehnya lagi, pengurus
gereja, dengan maksud menghormati, mereka hadir dan ikut dalam kegiatan istighosah itu.

Contoh kerjasama antar umat beragama yang tidak kurang menariknya lagi ialah yang dilakukan antar
perguruan tinggi agama yang berbeda. Selama ini, pelaksanaan sertifikasi para dosen perguruan tinggi
agama Hindu dan Budha di seluruh Indonesia diserahkan kepada UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Melalui kegiatan sertifikasi itu, penilaian kinerja dan karya ilmiah para dosen perguruan tinggi dimaksud
-------Hindu dan Budha, atas dasar saling percaya, diserahkan kepada perguruan tinggi Islam. Hal
demikian ini kiranya menarik, dan sangat penting diketahui sebagai bahan untuk mengambil kebijakan
dalam meningkatkan kualitas keberagamaan bagi seluruh warga negara. Atas dasar kenyataan seperi ini,
maka seharusnya semangat untuk meningkatkan kualitas keberagamaan tidak perlu khawatir ada pihak-
pihak yang merasa terganggu. Negara yang berdasakan Pancasila, memang seharusnya memberikan
pelayanan kepada semua agama untuk tumbuh dan berkembang, hingga diraih kualitas yang
diharapkan. Bukan sebaliknya, yaitu membatasi dengan dalih agar tidak saling mengganggu.
Pembatasan yang demikian itu, ------misalnya sekedar membaca doa di sekolah, justru akan kontra
produktif dan kehadiran negara untuk meningkatkan kualitas keberagamaan akan dianggap tidak
maksimal. Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai