Anda di halaman 1dari 17

PERJUMPAAN DIALOGIS BUDAYA LOKAL BATAK TOBA DAN AGAMA

KRISTEN: FALSAFAH DALIHAN NA TOLU DAN EFESUS 6;1-3; 1 PETRUS 3:8-11


DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT YANG HARMONIS

Silvana Natalia Nainggolan


Indra Sanjaya Tanureja, Pr
Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Indonesia
PENGANTAR
 Asia => sangat kaya akan keberagaman budaya dan tradisi. Setiap negara di wilayah Asia memiliki warisan budaya
yang unik, terdiri dari bahasa, adat istiadat, seni, musik, tarian, dan berbagai bentuk ekspresi budaya lainnya.

 Di tengah keberagaman budaya ini, terdapat pula komunitas Kristen Asia yang telah memeluk iman Kristen. Dengan
demikian orang Kristen Asia menjalani kehidupan ganda. Disatu sisi, sebagai anggota masyarakat Asia mereka
terlibat dengan budaya lokal yang kaya akan teks-teks sakral dan tradisi yang telah mewarnai kehidupan mereka
sejak lama. Di sisi lain mereka menjalankan agama Kristen dengan mengikuti ajaran Alkitab.

 Salah satu contoh orang Kristen Asia yang menjalani dua kehidupan yang berbeda adalah masyarakat Batak Toba
yang mendiami daerah Sumatera Utara, Indonesia.

 Masyarakat Batak Toba memiliki budaya yang kaya, termasuk dalam hal bahasa, adat istiadat, seni, musik, tarian,
dan filosofi hidup mereka. Salah satu tradisi penting dalam budaya Batak Toba adalah Dalihan Na Tolu, yang
merupakan sebuah sistem sosial untuk mengatur tata hidup bersama masyarakat Batak Toba yang sudah ada sejak
dahulu kala bahkan sebelum agama Kristen datang ke tanah Batak.
 Dalihan Na Tolu mengacu pada tiga posisi penting dalam masyarakat Batak Toba, yaitu hula-hula (pihak
pemberi istri), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak penerima istri). Setiap posisi ini memiliki peran
dan tanggung jawab yang diatur oleh adat istiadat dan norma-norma sosial. Seperti sikap hormat (somba)
kepada hula-hula, sikap hati-hati (manat) kepada dongan tubu, dan sikap mengasihi (elek) kepada boru.

 Dalam konteks ini, terdapat juga orang Kristen Batak Toba yang memegang teguh ajaran Alkitab seperti
merujuk pada teks 1 Efesus 6:1-3; 1 Petrus 3:8-11 yang memberikan pedoman moral dan etika dalam kehidupan
Kristen sambil mempertahankan tradisi budaya mereka, termasuk Dalihan Na Tolu. Mereka menggabungkan
nilai-nilai iman Kristen dengan praktik-praktik budaya mereka. Dalam ajaran Kristen,

 Dengan menggunakan metode pembacaan lintas tekstual ini, saya akan menganalisis nilai-nilai, dan pesan yang
terkandung dalam kedua teks tersebut (Falsafah Dalihan Natolu dan Efesus 6:1-3; 1 Petrus 3:8-11.. Mencari
persamaan dan perbedaan, antara nilai-nilai yang dijelaskan dalam Falsafah Dalihan Na Tolu dan ajaran Alkitab.
PEMBAHASAN
Falsafah Dalihan Na Tolu
 Falsafah Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem sosial suku Batak Toba untuk mengatur tata hidup bersama masyarakat Batak
Toba yang sudah ada sejak dahulu kala dan bahkan sebelum agama Kristes masuh ke tanah Batak.
 Dalihan Na Tolu didasarkan pada tiga posisi penting dalam masyarakat Batak Toba yang saling terkait, yaitu hula-hula (pihak
pemberi istri), dongan sabutuha (saudara semarga), dan boru (pihak penerima istri).
 Ketiga posisi ini diikuti dengan tiga sikap yang harus dimiliki oleh masyarakat Batak Toba, yaitu somba (hormat) kepada hula-hula,
manat (hati-hati) kepada dongan tubu dan elek (membujuk/mengasihi) kepada boru.
 Setiap orang dalam masyarakat Batak Toba akan menduduki ketiga posisi ini dalam konteks yang sesuai.
 Pengertian Dalihan Na Tolu secara harfiah merujuk pada tungku yang terdiri dari tiga kaki penyangga, di mana kaki penyangga ini
biasanya terbuat dari batu. Kata “ Dalihan” memiliki arti “tungku”, "na" berarti "yang", dan "tolu" berarti "tiga".
 Dahulu kala orang Batak Toba memiliki kebiasaan memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Dalihan Na
Tolu mengadopsi fungsi tiga tungku yang dibentuk sejajar (tingginya) untuk menopang alat memasak atau kuali sehingga masakan
yang dihasilkan matang dengan sempurna.
 Analogi Dalihan Na Tolu dengan tiga tungku yang sejajar ini mencerminkan pentingnya keseimbangan dan
keselarasan dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba.
 Seperti tiga tungku yang saling menopang, ketiga posisi dalam Dalihan Na Tolu, yaitu dongan sabutuha, hula-hula,
dan boru, juga saling terkait dan saling mendukung dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis
 Selain hula-hula, dongan sabutuha, dan boru dalam Dalihan Na Tolu, terdapat juga satu elemen "pembantu" dalam
sistem ini. Dasar pemikirannya adalah adanya situasi dimana saat memasak diatas Dalihan Na Tolu terkadang terjadi
ketimpangan dalihan dengan ukuran alat masak yang digunakan. Oleh karena itu, diperlukan batu kecil sebagai
penopang Dalihan Na Tolu. Batu kecil itu disebut sebagai sihal-sihal.
 Kelompok sihal-sihal terdiri dari kenalan, teman sekampung, marga lain, dan bahkan suku bangsa lain yang tidak
termasuk dalam ketiga golongan fungsional Dalihan Na Tolu. Istilah "falsafah dalihan na tolu paopat sihal-sihal".
 Dalam kehidupan sehari-hari, sihal-sihal membantu dalam menjaga keseimbangan dan keterhubungan antara
golongan-golongan fungsional Dalihan Na Tolu. Mereka memberikan dukungan, bantuan, dan kerjasama dalam
menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
Unsur-unsur Dalihan Na Tolu

 Hula-hula

 Hula-hula merupakan pihak pemberi anak gadis atau pihak istri. Dalam arti sempit, hula-hula itu adalah orang tua dari istri. Pihak hula-hula
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat, sehingga harus dihormati sekali oleh pihak boru yang kemudian diistilahkan Somba
Marhula-hula. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada
keturunan. Untuk itu Boru (pihak penerima istri) harus hormat kepada hula-hulanya. Penghormatan tersebut ditunjukkan dalam sikap,
perkataan dan perbuatan. \

 Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Untuk itu pihak keluarga perempuan pantas dihormati
karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada suatu marga. Hula-hula diibaratkan sebagai sumber air
kehidupan, karena dianggap merupakan pangalapan pasu-pasu dohot pangalapan tua, yakni merupakan sumber berkat dan kebahagiaan,
terutama berkat dalam berupa keturunan putra dan putri. Pihak boru tidak akan berani melawan hula-hulanya karena diyakini perbuatan itu
akan dikutuk oleh sahala hula-hula, sehingga dia tidak akan memperoleh keturunan, mengalami kemalangan, dan sebagainya

 Orang Batak Toba harus somba mar hula-hula, yang berarti harus bersikap hormat, tunduk serta patuh terhadap hula-hula.
 Dongan Tubu
 Dongan tubu adalah kelompok kerabat yang semarga berdasarkan garis keturunan Ayah.
 Dongan tubu dapat dimaknai dari makna harafiahnya, yaitu teman satu perut atau berasal dari perut yang
sama. Dongan tubu tidak hanya berlaku kepada orang-orang yang lahir dari ibu yang sama tetapi juga
dengan setiap orang dengan marga yang sama.
 Dongan tubu dalam pergaulan sehari-hari adalah teman sependeritaan dan seperasaan di dalam suka
maupun duka. Di dalam hal adat, pihak dongan tubu ini adalah teman saparadatan (satu adat), sehingga
sewaktu menerima dan membayar adat, mereka secara bersama-sama menghadapi serta menanggung
segala resiko.
 Penting bagi dongan tubu untuk saling (manat) atau berhati-hati, saling menjaga agar tidak saling
menyakiti dan merusak kekerabatan. Konsep manat mardongan tubu mengacu pada sikap berhati-hati
terhadap sesama anggota marga guna mencegah terjadinya kesalahpahaman.
 Ada ungkapan dalam bahasa Batak Toba: "hau na jonok do na boi marsiogoson," yang berarti kayu yang
berdekatanlah yang dapat bergesekan. Hal ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya
hubungan terjadi, memungkinkan terjadinya konflik di antara sesama marga, baik konflik kepentingan,
kedudukan, warisan dan lainnya.
 Dongan tubu dapat diibaratkan sebagai hubungan antara abang dan adik. Hubungan antara abang dan
adik sangat erat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terkadang ada sebab-sebab tertentu yang dapat
menyebabkan hubungan tersebut menjadi renggang. Oleh karena itu, orang Batak diperintahkan untuk
manat mardongan tubu, yang berarti menunjukkan hormat, bijaksana dan bersikap hati-hati terhadap
saudara semarga agar tidak melukai hati mereka.

 manat mardongan tubu menjadi penting sebagai landasan dalam menjaga keharmonisan dan keutuhan
hubungan antaranggota marga. Dengan bersikap hati-hati dan penuh pengertian, dongan tubu dapat
menghindari konflik yang dapat merusak ikatan kekerabatan. Prinsip ini mengajarkan pentingnya
menjaga hubungan dengan saudara semarga serta mengutamakan rasa hormat, saling pengertian, dan
bersikap hati-hati dalam berinteraksi satu sama lain.
 Boru
 Boru merupakan kelompok marga yang menikahi anak perempuan kita (pihak penerima istri). Boru
memegang peran yang penting dalam masyarakat Batak Toba. Tanpa peranan boru, mengadakan
suatu acara atau pesta tidak mungkin berjalan dengan baik, karena boru-lah yang dapat diandalkan
untuk membantu dalam setiap acara atau pesta yang akan diadakan.
 Setiap pihak boru memiliki kewajiban untuk menghormati hula-hula mereka. Dalam struktur sosial,
boru berada pada posisi yang paling rendah, sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam interaksi
sehari-hari maupun dalam setiap upacara adat.
 Meskipun berperan sebagai pelayan, hal ini tidak berarti bahwa boru bisa diperlakukan secara
semena-mena. Sebaliknya, pihak boru harus dihargai, dibujuk dengan lemah lebut dan penuh kasih
sayang, atau dengan kata lain, harus bersifat "Elek Marboru". Elek Marboru, atau sikap lemah lembut
terhadap boru menggambarkan rasa sayang yang tulus dan ikhlas tanpa ada maksud tersembunyi atau
pamrih.
 Sikap elek marboru menunjukkan perlunya membangun hubungan yang saling menghargai dan
memperhatikan antara pihak hula-hula dan boru. Meskipun boru memiliki peran sebagai pelayan,
tetapi perlakuan terhadap mereka harus didasarkan pada rasa empati, pengertian, dan kelembutan.
 Elek marboru mengajarkan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan atau perlakuan yang tidak
pantas terhadap boru, melainkan harus selalu memperhatikan hati mereka dan mendekati mereka
dengan lembut. Sikap elek marboru menekankan pentingnya menciptakan hubungan yang harmonis
dan saling menghormati antara hula-hula dan boru.
 Oleh karena itu, melalui sikap elek marboru, diharapkan tercipta lingkungan sosial yang menjunjung
tinggi nilai-nilai seperti kelembutan, pelayanan dengan hati, dan keadilan dalam hubungan antara
pihak hula-hula dan boru.
Efesus 6:1-3
 Efesus 6:1-3 merupakan sebuah perikop dalam Alkitab yang mengandung ajaran moral dan etika dalam hubungan antara anak-anak
dan orang tua. Perikop ini memberikan intruksi khusus kepada anak-anak untuk taat kepada orang tua mereka dan menghormati
mereka. Konsep utama dalam Efesus 6:1-3 adalah ketaatan anak terhadap orang tua dan penghormatan terhadap mereka.

 Ayat 1 mengingatkan anak-anak untuk taat kepada orang tua dalam Tuhan, yang berarti mereka harus mengikuti petunjuk dan
otoritas orang tua mereka sejauh itu sesuai dengan kehendak Allah. Ini mencakup pendengaran, menghormati, dan mematuhi nasihat
orang tua mereka.

 Ayat 2 menekankan pentingnya menghormati ayah dan ibu. Menghormati ayah dan ibu melibatkan penghargaan, rasa hormat, dan
pengakuan terhadap peran penting mereka dalam kehidupan anak-anak. Ini mencakup tindakan penghormatan dan sikap yang patuh
terhadap orang tua.

 Ayat 3 menyatakan bahwa dengan melaksanakan ketaatan dan menghormati orang tua, anak-anak akan mendapatkan berkat dalam
bentuk kebahagiaan dan kehidupan yang panjang di bumi. Ini menggambarkan bahwa hubungan yang baik antara anak dan orang
tua, didasarkan pada ketaatan dan penghormatan, membawa kehidupan yang lebih baik dan berkat yang diberikan oleh Tuhan.
1 Petrus 3:8-11
 1 Petrus 3:8-11 adalah sebuah perikop dalam Alkitab yang memberikan petunjuk dan nasihat
mengenai bagaimana umat Kristen seharusnya hidup dan berinteraksi dengan sesama.
 Ayat 8 "Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara,
penyayang dan rendah hati" (ayat 8).
 “Seia sekata” "homophronēs" (ὁμόφρονες)=> menggambarkan keseragaman pikiran, perasaan, atau kehendak
dalam suatu kelompok atau komunitas. Ini menunjukkan bahwa umat Kristen harus hidup dengan pikiran yang
serupa dan satu hati. Mereka harus memiliki kesatuan pikiran dan kehendak yang sama.
 “Seperasaan” "sumpatheis" (συμπαθεῖς) => mengacu pada rasa simpati atau kepedulian terhadap
orang lain. Hal ini menggambarkan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang
lain dengan belas kasihan. Umat Kristen diajak untuk hidup dengan hati yang peka terhadap
perasaan sesama. Ini menunjukkan pentingnya membangun hubungan yang penuh belas kasihan
dan saling mendukung dalam komunitas Kristen.
 “Mengasihi saudar-saudara” “philadelphoi”(φιλαδελφοι) => mengacu pada sifat persaudaraan
atau kasih sayang terhadap sesama yang mencerminkan hubungan yang hangat, erat, dan penuh
kasih di antara anggota komunitas Kristen. Dalam konteks 1 Petrus 3:8, umat Kristen diapnggil
untuk hidup sebagai saudara-saudara yang saling mencintai. Ini menekankan pentingnya
persatuan dan kasih sayang peduli, dan mendukung satu sama lain dalam persekutuan mereka.
 Penyayang “eusplagchnoi” (εὔσπλαγχνοι). Kata eusplagchnoi merupakan kata sifat dalam bentuk nominatif
jamak maskulin. Kata ini terdiri dari dua elemen yaitu "εὖ" (eu) yang berarti "baik" dan "σπλάγχνον"
(splagchnon) yang secara harfiah berarti "perut" tetapi digunakan secara kiasan untuk menyiratkan belas
kasihan yang mendalam atau empati. Eusplagchnoi mengacu pada sifat yang penuh belas kasihan, empati,
atau kemurahan hati. Ini menunjukkan kasih yang tulus, yang muncul dari kedalaman hati dan menginspirasi
tindakan nyata untuk membantu dan memperhatikan kebutuhan orang lain.
 Rendah hati Yunani => "ταπεινοφρονής" (tapeinophronēs) mengacu pada sikap seseorang yang rendah hati
atau memiliki sikap batin yang rendah hati. Rendah hati bukanlah menganggap diri sendiri rendah, tetapi
mengambil tempat yang lebih rendah, melayani dengan rendah hati, dan memprioritaskan kepentingan orang
lain. Sikap rendah hati ini mencerminkan pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan diri sendiri, serta
penghargaan terhadap martabat dan kepentingan orang lain.
 Ayat 9 => orang Kristen diharapkan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan atau hinaan dengan
hinaan. Sebaliknya, dia mengajak orang Kristen untuk memberkati orang yang melakukan kejahatan. Ini
adalah ajaran Yesus yang mengajarkan untuk mengasihi musuh dan memberkati mereka. Memberkati orang
lain yang bersalah dan berbuat baik kepada mereka adalah cara konkret untuk mengampuni dan
menunjukkan kasih seperti yang Yesus lakukan kepada kita.
 Ayat 10-12, Petrus mengutip dari Mazmur 34:13-17a. Dia menekankan pentingnya menahan lidah dari
kejahatan dan berbuat baik, yang juga mencerminkan hidup dalam damai. Petrus mengingatkan umat Kristen
bahwa hidup yang baik dan bahagia didasarkan pada berbicara yang baik dan jujur, menjauhi kejahatan,
berbuat yang baik, serta mencari dan mempertahankan damai.
Perjumpaan Dialogis Budaya Batak Toba dan Ajaran Alkitab

 Falsafah Dalihan Na Tolu dan Efesus 6:1-3 memiliki persamaan dalam hal kewajiban anak kepada orang tua. Kedua
konsep ini menekankan pentingnya taat kepada otoritas yang lebih tua. Dalam Falsafah Dalihan Na Tolu mengajarkan
somba marhula-hula, yaitu hormat kepada pihak pemberi istri atau orang tua. Konsep ini menunjukkan nilai pentingnya
menghormati dan menghargai peran serta otoritas orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
 Somba mencerminkan sikap yang harus dimiliki oleh pihak boru (penerima istri) karena telah memberikan putrinya
untuk melanjutkan garis keturunan marganya. Apabila pihak boru tidak menghormati hula-hula mereka diyakini
akan mendapat kutukan seperti tidaka mempunyai keturunan, ataupun mendapatkan kemalangan dalam hidup.
 Sementara itu, Efesus 6:1-3 dalam Alkitab menegaskan bahwa anak-anak harus taat kepada orang tua dalam Tuhan.
Ini menunjukkan bahwa ketaatan anak kepada orang tua bukan hanya sekadar kewajiban sosial, tetapi juga
memiliki dimensi rohani yang melibatkan hubungan mereka dengan Tuhan. Anak-anak dipanggil untuk taat
dengan niat yang tulus dan dilakukan sebagai bagian dari ketaatan mereka kepada Tuhan.
 Manat mardongan tubu dalam Dalihan Na Tolu yang mengajarkan hati-hati dalam berinteraksi dengan saudara
semarga memiliki keterkaitan dengan 1 Petrus 3:8-11. Dalam pasal tersebut, kita diajarkan untuk bersikap untuk
saling mengasihi, rendah hati, dan mencari perdamaian. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk sikap hati-hati dalam
hubungan dengan sesama, seperti yang diajarkan dalam Dalihan Na Tolu. Prinsip-prinsip ini mengajarkan
pentingnya untuk menjaga hubungan yang baik dan membangun keharmonisan antara individu-individu dalam
masyarakat.

 "Elek marboru” dalam Dalihan Na Tolu merupakan suatu konsep yang mengajarkan mengasihi atau membujuk,
atau memperlakukan pihak boru (penerima istri) dengan lemah lembut. Dalam 1 Petrus 3:8-11, kita diajarkan untuk
memiliki sikap rendah hati, saling mengasihi, dan mencari perdamaian. Konsep "elek" dalam Dalihan Na Tolu
sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam pasal tersebut. Dalam kedua konsep ini, terdapat penekanan pada
pentingnya memperlakukan orang lain dengan sikap penyayang, lemah lembut, dan rendah hati.

 Baik dalam Dalihan Na Tolu maupun dalam ajaran Alkitab, kita diajarkan untuk memperlakukan sesama manusia dengan
kasih, mengasihi, dan rendah hati. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki sikap yang penyayang dan menghargai
keberadaan orang lain, serta menjaga keharmonisan hubungan dalam masyarakat.
 Walaupun demikian terdapat perbedaan antara Falsafah Dalihan Natolu dan Ajaran Alkitab
diantaranya
 1). Sumber Otoritas: Dalihan Na Tolu adalah tradisi budaya yang berkembang di masyarakat
Batak Toba, didasarkan pada adat istiadat nenek moyang, Sedangkan ajaran Alkitab adalah
firman Tuhan yang didasarkan pada wahyu Allah.
 2). Dalihan Na Tolu memiliki fokus yang lebih kuat pada tatanan sosial dan hubungan antar
individu dalam masyarakat Batak Toba, sementara ajaran Alkitab lebih fokus pada hubungan
manusia dengan Allah dan keselamatan pribadi melalui Yesus Kristus.
 3). Dalihan Na Tolu merupakan ekspresi budaya masyarakat Batak Toba yang khusus,
sementara ajaran Alkitab bersifat universal dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks
budaya. Ajaran Alkitab tidak terikat pada satu budaya tertentu, sehingga dapat dihayati dan
diaplikasikan oleh orang Kristen dari berbagai latar belakang budaya.
PENUTUP

 Dengan menggunakan metode pembacaan lintas tekstual untuk menganalisis nilai-nilai dalam Dalihan Na Tolu
dengan Efesus 6:1-3 dan 1 Petrus 3:8-11 ditemukan bahwa terdapat hubungan nilai antara Dalihan Na Tolu dan
Efesus 6:1-3; 1 Petrus 3:8-11.
 Dalihan Na Tolu didasarkan pada tiga posisi penting dalam masyarakat Batak Toba yaitu hula-hula (pihak
pemberi istri), dongan tubu (saudara semarga) dan boru (pihak penerima istri). Ketiga posisi ini diikuti dengan
tiga sikap yang harus dimiliki oleh masyarakat Batak Toba, yaitu somba (hormat) kepada hula-hula, manat (hati-
hati) kepada dongan tubu dan elek (membujuk/mengasihi) kepada boru. Hal ini berperan dalam
mempromosikan keharmonisan dan kohesi sosial dengan penekanan pada saling menghormati, saling
mengasihi, kerjaasana dan keadilan sosial, yang juga ditemukan dalam ajaran Alkitab. Efesus 6:1-3 menekankan
kewajiban anak untuk taat kepada orang tua, sementara 1 Petrus 3:8-11 mengajarkan kasih, perdamaian, dan
kerendahan hati dalam hubungan sesama manusia.
 Meskipun terdapat perbedaan dan potensi ketegangan antara nilai-nilai Dalihan Na Tolu dan ajaran Alkitab,
pembacaan lintas tekstual membantu memahami kedua sumber teks ini secara kontekstual, mengintegrasikan
nilai-nilai yang sejalan, dan mengelola perbedaan yang mungkin timbul.

Anda mungkin juga menyukai