Anda di halaman 1dari 25

No 1.

Dalihan Na Tolu (sistem Kekerabatan suku Batak)


Dalihan Natolu (DNT)
SECARA umum kita mengetahui bahwa Dalihan Natolu adalah struktur tata hubungan sosial
masyarakat Batak yang didasarkan pada hubungan daerah atau keturunan (genealogis).

Masyarakat Batak yang patrilineal, membagi dua hubungan itu menjadi hubungan keturunan
laki-laki (kinship relations) dan hubungan keturunan perempuan (affinity relations).

Kelompok laki-laki dari satu garis keturunan disebut Dongan Sabutuha dan kelompok
perempuan dari garis keturunan yang sama (kawin dengan laki-laki dari marga lain-exogam)
disebut boru. Bagi kelompok boru sebagai pihak penerima istri, seluruh keluarga marga istrinya
adalah hulahula, sehingga mardongan sabutuha adalah kinship relation sedangkan marhulahula
serta marboru adalah affinity relation (BH Harahap, 1987:106).

Dalam affinity relations atau hubungan affinal antara kelompok hulahula dan kelompok boru
secara timbal balik itulah sebenarnya merupakan tatanan inti kekerabatan adat batak yaitu
Dalihan Natolu. Tata tertib atau tatakarama saling hubungan di antar keduanya juga diatur
dengan elek marboru bagi kelompok boru terhadap hulahula-nya.

Secara tradisional masyarakat Batak menghubungkan sikap somba marhulahula dengan


pandangan yang menganggap:

1. hulahula mata ni ari binsar, bagaikan matahari terbit yang menyinari dan memberi kehangatan
bagi alam raya.
2. Hulahula do Debata na niida, bagaikan Tuhan yang terlihat di dunia ini.

Dalam hubungan affinal itu, hulahula dianggap sebagai pemberi doa restu bagi boru-nya, yaitu
doa yang dialamatkan kepada Allah di surga, memohon agar Tuhan (Debata) mencurahkan
anugerah dan berkat yang berkelimpahan, memberikan kehidupan yang tenteram dan sejahtera
kepada seluruh keluarga boru-nya. Hal itu tergambar dengan jelas dalam ungkapan pantun yang
berbunyi,

“Obuk dojambulan na nidandan bahen samara; tangiang ni hulahula marsundut-sundut soada


mara”

Artinya, doa hulahula terhadap boru-nya


akan selalu melindungi mereka dari malapetaka. (M Sihombing, 1985:76).

Dasar kekerabatan inilah yang menampakkan dengan jelas hingga sekarang dalam hidup orang
batak dimanapun mereka berada—Pergaulan hidup sehari-hari menunjukkan secara nyata bahwa
kelompok boru selalu bersikap hormat terhadap hulahula. Dan sebaliknya, kelompok hulahula
selalu bersikap persuasif terhadap boru-nya. Dengan pengertian lain, saling hubungan di antara
mereka selalu berlangsung dalam sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dan sikap-
sikap terhormat dalam tingkat sopan-santun yang tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang
penuh penghormatan dalam tutur kata yang baik.
“Apa marganya (boru apa ito)?”. Pertanyaan itu menjadi pembicaraan penting bagi setiap orang
batak ketika bertemu sesamanya. Ini semua mau menyatakan dengan jelas bahwa orang batak
memiliki inters dan habit bersaudara atau membangun semangat kekluargaan. Mungkin ini bias
dikatakan cukup subjektif. Namun inilah yang kerap kita jumpai dan alami serta lakukan sebagai
orang yang lahir dan besar dalam budaya batak.

Singkatnya apa yang diatur dalam DNT diwujudnyatakan dalam hubungan kekerabatan yang
lebih konkrit dalam tutur panggilan. Itulah yang nampak tergambar dari system kekerabatan
(partuturan) suku batak.

Berikut saya mencoba paparkan ragam hubungan kekerabatan yang tampak dalam panggilan
kepada pihak lain menurut adat dan kebiasaan batak (partuturan):

Amang mangulahi : oppung dari bapak


Inang mangulahi : oppung boru dari bapak

Ompung : ayah dari bapak


Ompung boru : ibu dari bapak

Ompung bao : ayah dari mamak


Ompung boru : ibu dari mamak

Amang/among : bapak / orang tua laki-laki


Inang/inong : ibu / orang tua perempuan

Amang simatua (amang) : bapak / orang tua laki-laki dari isteri


Inang simatua (inang) : ibu / orang tua perempuan dari isteri

Akkang : abang, kakak (untuk perempun ke perempuan),


isteri abang
Anggi : adik laki-laki, adik (untuk perempuan ke perempuan)
Ito/iboto/pinaribot : panggilan untuk saudara laki-laki dari saudarinya dan
Sebaliknya dari saudara laki-laki ke saudarinya

Amang tua/bapa tua : abang dari bapak, suaminya kakak (untuk adik perempuan
kepada suami kakaknya)
inang tua : isteri dari abangnya bapak, kakak dari ibu
amanguda : adik dari bapak, suami dari adiknya (perempuan) ibu
inanguda : isteri adiknya bapak
inang baju : tante, adiknya (perempuan) mamak
amang boru : suami dari saudarinya bapak
namboru : saudarinya bapak

Tulang : saudara dari ibu


Nantulang : isteri dari saudara ibu
Pariban : anak perempuan dari tulang (untuk yang laki-laki), anak
laki-laki amangboru (untuk yang perempuan)
lae : suaminya saudari (ito)

tunggane : itonya isteri, anak laki-laki tulang


Eda : isteri memanggil ito dari suami, atau sebaliknya ito pihak
laki-laki (suami) kepada isteri
amang bao : suami dari eda, suami dari anak perempuan amangboru
inang bao : isteri dari anak laki-laki tulang

SUMBER : http://sarmanpsagala.wordpress.com/2009/03/31/dalihan-na-tolu-sistem-kekerabatan-suku-
batak/

No 2.Jaga Budaya Pela Gandong, Kristen Maluku


Sukseskan
Total View : 550 times
Budaya semangat persaudaraan masyarakat Maluku yang dikenal luas dengan nama pela
gandong hingga saat ini masih terus terjaga di bumi rempah-rempah tersebut. Salah satunya
adalah keikutsertaan kampung, suku, atau juga agama lain jika salah satunya menyelenggarakan
acara yang dianggap sangat penting.

Seperti yang dilakukan oleh umat Kristen di Kepulauan Aru yang turut menyukseskan
pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat provinsi Maluku ke-24 yang
penyelengaraannya dijadwalkan di Dobo, ibu kota kabupaten setempat pada 21 - 28 Mei 2011.
Kehadiran umat Kristen selama tiga hari di daerah tersebut guna  memotivasi Ketua Klasis
Kepulauan Aru dan warga Kristen setempat agar menyukseskan pelaksanaan MTQ tersebut.

Dirilis Antara Senin (28/3) Ketua Badan Pekerja Harian (BPH) Sinode Gereja Protestan Maluku
(GPM), Pdt Dr John Ruhulesin mengungkapkan hal itu. "Umat Kristen harus berperanserta
menyukseskan MTQ tingkat Provinsi Maluku tersebut karena ini berkaitan dengan jalinan 
keharmonisan antarumat yang merupakan warisan leluhur dan bagian dari tanggung jawab warga
masyarakat Kepulauan Aru," ujarnya.

Sukses penyelenggaraan MTQ tersebut perlu ditunjukkan semua umat beragama di Kepulauan
Aru agar tercermin hidup orang basudara (saudara) yang dibingkai budaya pela dan
gandong."Umat Kristen harus berperan, baik sebagai panitia penyelenggara, mengisi acara
memeriahkan MTQ dan terpenting memelihara suasana jalinan keharmonisan antarumat agar
pesta iman basudara Muslim berlangsung aman, lancar dan sukses," kata John.

Kepala Kementerian Agama Kepulauan Aru, Moh. Dahlan Ohoirenan mengatakan, pihaknya
bersama Ketua Klasis Kepulauan Aru, Wakil Uskup setempat, para imam dan pendeta di Dobo
telah menyepakati untuk menyukseskan MTQ nanti."Kami akan menandatangani kesepakatan
menyukseskan pelaksanaan MTQ, selanjutnya masing - masing pimpinan agama
mensosialisasikan kepada umatnya," ujarnya.

SUMBER :
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/110329101006/limit/0/Jaga-Budaya-
Pela-Gandong-Kristen-Maluku-Sukseskan-MTQ.html

Pela Gandong sebagai Katup Pengaman di Maluku


Pela Gandong sebagai Katup Pengaman di MalukuSecara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah
berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, yang kemudian bermigrasi ke pulau-
pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku,
Pulau Saparua, Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon.
Migrasi ini memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang
diintrodusir oleh kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan
Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu kebudayaan Melanesia
(tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore.

Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan penduduk dari
pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau
Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh kolonial.
Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga
timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon
Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos
yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik.
Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan
pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan
kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur
pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi
”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat
dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi
untuk seluruh klen dalam komunitas negeri.
Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri
Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan
perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli
Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang.

Dengan demikian di masyarakat Maluku Tengah ini dikenal dua kelompok atau kategori sosial, yaitu
Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam
sebuah negeri (Desa Adat).
Anak Negeri ini, terdiri atas dua kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani untuk yang
beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam untuk yang
beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat)
Salam. Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah,
kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike dan Tial diPulau Ambon.Yang disebut Orang Dagang ialah
para pendatang, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas
pelayanan masyarakat(guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas
ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah
Negeri, dapat berasal dari orang Maluku asli yang berasal dari Negeri lain,ataupun pendatang dari luar
Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab.

Gotong Royong

Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang
Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik
secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri,
lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina,
datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa
kepala keluarga. Mereka ini hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari
Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri.Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau
lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk
Pela dan Gandong, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau
acara-acarakeagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan.Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri
dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi,
sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi
semata.Secara antropologis dan sosiologis tersebut, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama
pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri
Sarani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok
lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Sarani dan Anak
Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya Pela atau Gandong yang diyakini
mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok
masyarakat ini.

Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri
yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini dalam realitasnya memasuki
area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal
pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Sarani merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan
(biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian
sebaliknya, Negeri Salam merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama
membangun gereja.
Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral dan ritual, sama sekali tidak ada nuansa ekonomi
di dalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi ataupun
mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut
oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai
perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut. Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang,
dipererat oleh kepentingan ekonomi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat
hubungan sosial antarkedua kelompok masyarakat ini bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini
terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan
menggarap lahan milik petuanan Negeri Sarani. Sedangkan Orang Dagang asal Negeri lain, pada
umumnya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkatkan oleh kekerabatan karena perkawinan atau
pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri
lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat
sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat
sebagai pendatang dan orang di luar kesatuan budaya. Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak
Negeri terhadap Orang Dagang yang

berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Namun ada perlakuan yang sama
kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini, ialah

keduanya tidak diberi hak dalam penguasaan Tanah Dati atau Tanah Negeri.

Pola hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah sudah mengandung
potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam konteks Salam-Sarani, Anak Negeri-
Orang Dagang, maupun secara kesatuan budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini tereliminasi
dengan kearifan budaya lokal maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan
kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest.

Dengan kata lain, potensi tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur
kepribadian masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik sebagai katup
pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang bernuansa primordial. (SH/izaac tulalessy)

Klan-klan (Vam) di Maluku Tengah Menurut Negeri-Negeri


Daftar klan-klan (marga) di Maluku Tengah ini adalah hasil dari riset di Maluku Tengah pada tahun
1974-75. Daftar ini belum lengkap dan dimohon agar orang-orang yang berasal dari negeri-negeri dan
ahli-ahli adat negeri dapat membantu memperbaiki daftar ini dengan koreksi-koreksi dan tambahan-
tambahan agar daftar dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus dari Maluku Tengah yang bermukim di
Tanah Air, Negeri Belanda, Amerika Serikat atau dimana-mana saja. Daftar ini sangat penting untuk
melestarikan Kebudayaan dan Adat Maluku yang sudah mulai menghilang disebabkan oleh integrasi,
perkawinan antar suku dan ketidakperdulian.
(Sumber:http://www.nunusaku.com/05_adat/01_clans/download.html)

No 4. Nagari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini mengenai pembagian administratif di Sumatera Barat. Untuk jenis aksara lihat Aksara
Dewanagari

Pembagian administratif Indonesia

Tingkat provinsi
Provinsi
Daerah khusus • Daerah istimewa
Tingkat kabupaten/kota

Kabupaten • Kota
Kabupaten administrasi
Kota administrasi
Tingkat kecamatan

Kecamatan • Distrik
Tingkat kemukiman

Mukim (khusus Aceh)


Tingkat kelurahan/desa

Kelurahan • Desa • Nagari


Kampung (Lampung)
Kampung (Papua)
Gampong • Pekon
Dusun (Bungo)
Lembang (Toraja)
Lihat pula

Banjar • Dusun
Lingkungan • Pedukuhan
Rukun Kampung
Rukun Warga
Rukun Tetangga

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) di tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) di tahun 1877-1879

Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat,
Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya digunakan di seluruh provinsi-
provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia

Struktur Pemerintahan
Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya
wali nagari dibantu oleh beberapa orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris
nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan
kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari)
secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk masa jabatan 6 tahun dan kemudian dapat
dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali
nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam
budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang
dihadapi anak nagari.
Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan bagian
dari perangkat daerah kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan bagian dari perangkat
daerah jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari
memiliki hak mengatur wilayahnya yang lebih luas. Nagari merupakan bentuk dari republik
mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN), yakni lembaga yang
beranggotakan tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak
nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual) dan niniak mamak
(pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu
dimusyawarahkan antara wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung sari
nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN memuat unsur pada KAN dan dilengkapi
dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan nagari, yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
dengan masa jabatan selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa
jabatan berikutnya. Jumlah anggota BMN ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5
orang dan paling banyak 11 orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan
kemampuan keuangan nagari, serta ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal
ini berdampak terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga
terhadap tanah-tanah adat baik yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara
sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari memiliki wewenang yang cukup besar. Misalnya di
Kabupaten Solok, nagari memiliki 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di
antaranya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah
Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada
dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan
besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua aliran besar dalam sistim pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang
dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada
masa Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau
juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat
pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua
pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].
Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari
memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri,
selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi
nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada
pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun
manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi
pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian
berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk
setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak
pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan
tersebut, kemudian Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik,
yang kemudian dikenal dengan adanya jabatan kepala laras atau tuanku laras, dimana daerah
kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah ada sebelumnya. Dan
selanjutnya satuan pemerintahan lebih rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu
sebelumnya tanpa mengalami perubahan sampai pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya
pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk
mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya
memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara
mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi
tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang
sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, dimana jabatan ini juga
akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya[7]. Namun
sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan
kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara
demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai
dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatra
Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang
dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada
kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang
merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang
kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri
dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka
sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan kemudian ditambah sewaktu
Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi
Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan
Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi
tidak jelas juga. Kemudian pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir
keseluruhan aparat nagari diganti oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan
nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai
pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif
terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong
digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi
pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah
No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari
yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat
Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya
otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti
istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten,
sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu
bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,
kemudian Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama,
disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk
mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini
diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran
pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan
dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati
sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem
nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Referensi
1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan
tanah dan kekayaan alam di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung:
Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of
California Press. hlm. 25-86.
3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: proses
nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-
1695-0.
4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT
Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya,
Jakarta: Balai Pustaka.
6. ^ Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No.
41.
7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an,
Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka
 Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia
1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6.

SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Nagari

HUBUNGAN PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN


ADAT MINANGKABAU
Oleh amperasalim

Oleh Ampera Salim

Pendahuluan

Perahu yang mengantarkan rombongan Sultan Suri (Sri) Maharajo Dirajo, akhirnya
mendarat di pulau Perca, tepatnya di puncak Gunung Merapi. Kapal ini bermuatan enam belas
lelaki dan perempuan, ditambah empat orang lainnya yang masing-masing bernama Kho Cin
(Kucing Siam), Can Pa (Harimau Campo), Khan Bin (Kambing Hutan), dan Ahan Jin (Anjiang
Mualim). Kemudian Sri Maharajo Dirajo dan rombongan turun ke darat. Sementara itu air
lautpun beranjak surut.
Selang berapa lama kemudian rombongan Maharajo Dirajo turun ke sebuah tempat yang disebut
Labuhan si Tambago, sekitar dua kilo meter dari Nagari Pariangan ke arah puncak Merapi. Di
tempat inilah untuk pertama kalinya rombongan itu meneruka sawah yang disebut sawah
satampang baniah. Padi inilah yang kemudian menyebar ke seluruh Minangkabau.

Seperti disebutkan Soeardi Idris dalam buku Nagari Sungai Tarab – Salapan Batua, di
perkampungan Labuhan si Tambago itu tumbuh pula sepohon galundi. Uratnya tidak mencekam
tanah, melainkan memeluk sebuah batu besar seakan-akan orang bersila. Gelundi itulah yang
kemudian disebut galundi nan baselo.

Lambat laun penduduk makin bertambah juga, maka sebagian di antaranya pindah
membuat perkampungan di daerah baru yang bernama Guguak Ampang. Perkembangan
selanjutnya mereka memperluas daerah permukiman.

Di Pariangan pula pertama kali dibangun Rumah Gadang dan Balai Adat. Nagari ini
dilengkapi pula dengan gelanggang, labuah nan panjang, sawah dan ladang, pandan pekuburan
serta tepian mandi. Pada masa itu pula lahirnya penghulu pertama yang diambak gadang dan
dianjung tinggi (diagungkan dan dimuliakan) oleh anak kemenakannya. Penyelenggaraan
pemerintahan nagari berpedoman kepada, kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja
kepada penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur dan patut. Raja
yang dimaksudkan di sini adalah buah budi yang dihasilkan oleh mamak, penghulu dan mufakat
itu sendiri.

Syarat berdirinya sebuah nagari di Minangkabau

Sejak mulai berdirinya Nagari Pariangan sebagai nagari pertama di Minangkabau,


keberadaan nagari telah dianggap oleh nenek moyang orang Minang sebagai sebuah wilayah
kesatuan hukum adat.

Terbentuknya sebuah nagari, bermula dari sebuah taratak (suatu perkampungan kecil
yang dihuni beberapa keluarga). Taratak ini kemudian berkembang menjadi dusun ( unit-unit
keluarga yang sudah menjalin hubugan dalam aturan-aturan yang disepakati bersama). Dusun
kemudian berkembang lagi menjadi sebuah koto ( koto sebuah perkampungan yang telah
menjadi tempat berkumpulnya beberapa marga / suku). Koto inilah yang akhirnya menjadi
sebuah nagari (suatu wilayah kesatuan hukum adat, yang sudah punya pimpinan dan aturan
sendiri).

Berdirinya sebuah nagari di Minangkabau, harus memenuhi syarat sebagai berikut:


memiliki balai-balai adat (aula tempat berkumpulnya para pangulu mengadakan rapat),
memiliki tempat beribadah (Masjid setelah Islam masuk) , memliki labuah (jalan raya dalam
kampung) dan memiliki tapian (tempat pemandian) serta harus ada 4 (empat) buah suku
( kelompok keluarga seketurunan dari garis ibu) di dalam nagari itu.

Setiap suku dipimpin seorang panghulu pucuk. Pangulu pucuk memiliki beberapa
penghulu pendukung (penungkat) yang mengepalai kehidupan di Rumah Gadang , sebagai
tempat berhimpunnya beberapa keluarga batih.

Secara historikal empirik, nagari di dalam realitas keseharian orang Minangkabau telah
mampu berperan sebagai satu-satunya institusi yang representatif dan akomodatif terhadap
kepentingan dan preferensi rakyatnya.

Seperti diceritakan penulis-penulis Barat, sebagaimana dikutip Rusli Amran dalam Plakat
Panjang, nagari adalah kesatuan teritorial dan pemerintahan, yang menjadi dasar Kerajaan
Minangkabau dahulunya. Tiap nagari mempunyai pemerintahan sendiri dan Pemerintah Nagari
ini dulunya berjalan sangat baik, demokratis dan tidak dapat disalahgunakan oleh pejabat nagari.
Kesempatan untuk menyeleweng sedikit sekali. Ini disebabkan kontrol langsung oleh rakyat
melalui Pangulu-Pangulu mereka.

Pemerintahan adat di nagari

Sebelum Belanda menjajah negeri ini, seperti disebutkan Budayawan Anas Navis dalam
sebuah artikelnya di Tabloid Tuah Sakato, orang Minangkabau tidak mengenal pangkat-pangkat
seperti Penghulu Kepala, Kepala Negeri (Gemeentehoofd), Tuanku Laras, Engku Demang,
Asisten Demang, Engku Pakuih (Pakhuis) dan juga pangkat-pangkat lain yang hanya dijabat
orang-orang Belanda seperti Tuanku Mandor (Kontrolir), Tuan Luhak (Asisten Residen) dan
sebagainya.
Seperti disebutkan, orang Minangkabau dahulu mengenal dua pangkat saja, yaitu
Penghulu dan Raja sesuai ungkapan Luhak berpenghulu, rantau beraja. Penghululah yang
memerintah atau memimpin anak buah di nagari masing-masing.

Pada dasarnya ada dua macam pemerintahan adat di nagari masa lampau, yaitu: Pertama,
berdasarkan Asas Parpatiah (Bodi Caniago), yang mengatakan Pemerintahan Minangkabau, dari
bersama, oleh bersama dan untuk bersama. Duduk sama rendah, tegak sama tinggi,. Asas
Parpatiah ini lebih di kenal dengan sebutan Laras Bodi Caniago.

Dasar pikirannya, konon, pada zaman itu Penghulu di dalam nagari-nagari adalah segala-
galanya. Dia raja, dia panglima, dia ayah, dia mamak dan dia tuan dari anak kemenakan yang
berada di bawah payungnya. Parpatiah melihat dan merasa, bahwa kekuasaan yang tak terbatas
itu dapat mengundang ke sewenang-wenangan, kebengisan, kecongkakan, kekerdilan dan
ketidak-adilan.

Untuk menjinakan penghulu ini, di bentuklah dewan nagari yang di sebut, Tungku Tigo
Sajarangan. Tungku Tigo Sajarangan ini terdiri dari Penghulu, Cerdik pandai dan Pandito. Di
atas tungku Tigo Sajarangan inilah dimasak segala macam bentuk makanan yang akan di
suguhkan kepada anak kemenakan, berupa adat istiadat dengan segala undang dan peraturannya.

Di tingkat Luhak, didirikan pula Dewan Luhak yang anggota-anggotanya di pilih dari dan
oleh Dewan Nagari di masing-masing Luhak.

Dan setiap nagari hanya di izinkan mengirimkan perwakilannya ke Dewan Luhak sebanyak
tiga orang pada setiap kali persidangan. Di tingkat paling atas berdiri Laras Kerapatan Adat
Bodi Caniago yang anggotanya berasal dari seluruh anggota Dewan Luhak di tambah dengan
utusan daerah-daerah di luar Luhak nan Tigo. Anggota perwakilan ini tetap berada dalam
kerangka yang berintikan penghulu, cerdik pandai dan pandito.

Tungku Tigo Sajarangan, baik di Nagari, Luhak dan Laras bukanlah penguasa, tetapi
merupakan Kerapatan Adat yang bertugas memberikan petunjuk, pedoman, nasehat dan
pertimbangan kepada para penghulu berkaitan dengan penyelenggaraan bimbingan terhadap
anak kemenakan dalam mencapai kesejahteraan, ketertiban dan keadilan mardesa. Atau dengan
kata lain, membangun keseimbangan dan keselarasan alam Minangkabau dan isinya.

Penghulu tetap sebagai penguasa anak kemenakan, tapi penguasa yang berjalan di dalam
garis alur dan patut. Penghulu yang keluar dari garis alur dan patut akan menerima hukuman
berbentuk tidak di bawa sehilir-semudik, masuk tak genap, keluar tak ganjil. Bagi penghulu dan
juga bagi anggota masyarakat Minangkabau, hukuman tersebut amatlah ditakuti. Bahkan lebih di
takuti dari hukum buang atau gantung sekalipun.

Mengambil keputusan pada setiap sidang Dewan Nagari, Dewan Luhak dan Dewan Laras
selalu berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana di sebut dalam kata adat :

Bulat air karena pembuluh

Bulat kata karena mufakat

Pipih dapat di layangkan

Bulat dapat di gelindingkan

Seciok bak ayam

Sedencing bak besi.

Kedua, berdasarkan azas Koto Piliang yang merupakan buah budi Datuak Katumangguangan,
mempunyai isi yang mirip dengan asas Laras Bodi-Caniago, tapi tak serupa makna dan
pelaksanaanya. Dewan Tungku Tigo Sajarangan Nagari, Luhak dan Laras tetap di anut dan
dipakai oleh Katumanggungan. Tapi Dewan tersebut bukanlah hanya Dewan Kerapatan Adat
saja, melainkan juga penyelenggaraan pemerintahan.

Ia mempunyai seorang ketua, di mana kekuasaan tertinggi atau kata-putus berada di tangannya.
Pimpinan tertinggi setiap tingkatan kekuasaan, mulai dari Nagari, Luhak dan Laras haruslah
seorang penghulu yang di pilih oleh anggata Dewan. Tapi dalam keadaan tertentu, pimpinan
Dewan dapat pula diangkat atau di tunjuk oleh pimpinan Dewan yang lebih tinggi tingkatnya.
Sebagai contoh, pimpinan Dewan Nagari dapat di angkat atau di tunjuk oleh pimpinan Dewan
Luhak dan seterusnya.

Sebagaimana di ungkapkan fatwa adatnya :

Berjenjang naik

Bertangga turun

Naik dari jenjang paling bawah

Turun dari tangga paling atas

Katumanggungan berpendapat, setiap kebebasan dan kesamarataan yang menjadi hak


manusia harus di barengi oleh pembatasan atau pengendalian yang di ciptakan melalui kekuatan
atau kekuasaan yang berwibawa.

Namun demikian, Pemerintahan Nagari, yang tadinya seperti republik kecil, berubah
menjadi unit pemerintahan terendah sejak campur tangan Belanda. Sejak itu pula Lembaga
Pemerintahan Nagari mengalami pergeseran dalam fungsinya dari masa ke masa sesuai
kehendak politik pemerintah yang berkuasa. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi dalam kehidupan masyarakat adat dan permasalahan sosial, hukum dan budaya.

Nagari dari masa ke masa

Setelah Minangkabau dikuasai Belanda, begitu berakhirnya Perang Padri pada tahun
1837, dicobalah mengatur pemerintahan seperti model yang telah berlaku di Pulau Jawa, yaitu
regen-regen yang disebut juga Regentstelsel. Ketika itu di kawasan pesisir seperti Padang dan
Indrapura sudah ada regennya.

Maka diangkatlah regen-regen baru untuk walayah Tanah Datar, Batipuh, Agam,
Halaban, Sulit Air dan lain-lain. Namun kemudian jatuh pamor regen-regen itu, seperti yang
terjadi di Tanah Datar. Sultan Bagagarsyah Alam yang menjabat Hoofdregent (Regen Kepala)
Tanah Datar ditangkap pada tahun 1833, lalu dibuang ke Batavia karena dituduh bersekongkol
dengan Sentot Ali Basyah. Demikian pula Regen Batipuh pada tahun 1841 mengangkat senjata
yang dikenal dengan nama Perang Batipuh. Setelah ditangkap, regen ini dibuang ke Cianjur.

Maka diganti pulalah Regentstelsel ini dengan Laras-stelsel dan Penghulu Kepala-stelsel.
Semenjak pertengahan abad ke sembilan belas itu Minangkabau punya Tuanku Laras (Tuanku
Lareh) dan Penghulu Kepala (Panghulu Kapalo), walau sebelum kedatangan orang Belanda
kedua pangkat tersebut tidak dikenal.

Pada zaman pendudukan militer Jepang, boleh dikatakan tidak ada perubahan dalam
bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari. Dengan kata lain Pemerintah Militer Jepang
tampaknya membiarkan orang Minangkabau dengan susunan Pemerintahan Nagarinya atau
barangkali Pemerintah Jepang tidak mau direpotkan dengan bentuk atau susunan pemerintahan
yang ada, karena waktu itu mereka lebih mengutamakan perang menghadapi sekutu dari pada
urusan lainnya.

Pada awal Proklamasi, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari masih seperti
sebelumnya juga, yaitu dengan Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari yang terdiri dari Penghulu-
Penghulu.

Pada awal Proklamasi, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari masih seperti
sebelumnya juga, yaitu dengan Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari yang terdiri dari Penghulu-
Penghulu.

Perubahan baru terjadi sejak Pemerintahan Republik Indonesia mulai diatur, yakni tidak
lama setelah Proklamasi 1945.

Semenjak berdirinya KNI (Komite Nasional Indonesia) di awal proklamasi, para pejuang
atau organisasi perjuangan yang ada di setiap nagari, berhimpun ke dalam KNI di nagari mereka
masing-masing.

Jadi, selain susunan Pemerintahan Nagari (model lama), sudah ada pula badan lain seperti
berbagai organisasi perjuangan sebagai produk revolusi.
Ketika maklumat No. 20/46 ditanda-tangani oleh Residen Sumatera Barat Dr. M. Djamil
pada tanggal 21 Mei 1946. Maklumat itu sendiri, ialah mengenai susunan baru Pemerintahan
Nagari, seperti cara-cara baru memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari (DPN) serta Wali
Nagari yang di jaman sebelumnya tidak dikenal dalam Demokrasi ala Minangkabau.

Para Ninik Mamak amat menyadari, Maklumat No. 20/46 itu akan meluluh-lantakkan
sistem Pemerintahan Nagari yang telah mereka anut sejak lama secara turun temurun. Kalau
sebelumnya seperti di zaman penjajahan Belanda dulu, anggota Kerapatan Nagari terdiri hanya
dari para Penghulu, Orang Tua-Tua dan Cerdik Pandai. Lalu setelah Maklumat itu dicanangkan,
susunan anggota Kerapatan Nagari tidaklah seperti zaman lama itu lagi, mereka dipilih langsung
dari masyarakat melalui pemilihan, demikian pula jabatan Kepala Nagari yang diubah dengan
sebutan Wali Nagari.

Habis Nagari Terbitlah Desa

Bagai petir menyambar di siang bolong, masyarakat Sumatera Barat dikejutkan lagi oleh
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 162/GSB/1983 yang
menetapkan berlakunya sistem Pemerintahan Desa terhitung tanggal 1 Agustus 1983 di
sepenjuru Sumatera Barat.

Dengan berlakunya Surat Keputusan tersebut, maka jebollah benteng terakhir adat
Minangkabau yang bernama nagari berikut sistem pemerintahannya yang unik yaitu
Pemerintahan Nagari yang telah dianut masyarakatnya sejak lama secara turun-temurun.

Ungkapan yang mengatakan: Urang Minang babenteang adat (Orang Minangkabau


berbenteng adat), sirna sudah. Nagari yang merupakan benteng terakhir pertahanan adat
kebanggaan orang Minangkabau diluluh-lantakkan oleh Surat Keputusan Gubernur No.
162/GSB/1983 tersebut.

Perombakan nagari-nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat ini, adalah wujud


pelaksanaan Undang-Undang R.I. No. 5 tahun 1979 dengan menjadikan wilayah jorong dalam
Pemerintahan Nagari model lama menjadi Pemerintahan Desa.
Sedangkan sembilan tahun sebelumnya, bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari telah
diatur kembali dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 155/GSB/1974, yaitu
mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat.

Apa sebenarnya yang mendorong Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat merubah
543 nagari menjadi 3.544 desa tersebut?

Sepintas lalu tampaknya selain penyeragaman pemerintahan terendah di seluruh wilayah


Negara Republik Indonesia, juga keinginan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat
mendapatkan dana Bantuan Desa atau Bandes dalam jumlah yang jauh lebih besar. Jika
sebelumnya wilayah pemerintahan terendah adalah Pemerintahan Nagari, berarti Sumatera Barat
hanya akan mendapat uang Bandes sebesar 543 nagari x sekian rupiah. Akan tetapi jika
pemerintahan terendah Sumatera Barat dijadikan desa, berarti bantuan desa atau bandes yang
diperoleh akan jauh lebih besar, yaitu 3.544 desa x sekian rupiah. Tak ayal lagi, jumlah uang
inilah yang dikejar Pemerintah Daerah dengan mengorbankan kebanggaan masyarakatnya
sendiri, yakni nagari dan adatnya.

Kemudian ternyata memecah sebuah nagari menjadi beberapa desa tidak semulus seperti
yang diharapkan Gubernur dengan Surat Kepurusannya No. 162/GSB/1983. Dengan dihapusnya
nagari-nagari dan dijadikan desa-desa telah menimbulkan berbagai masalah. Dahulu rata-rata
setiap nagari mempunyai sebuah mesjid, sekolah, pasar, kantor untuk Wali Nagari. Lalu setelah
dipecah, masing-masing desa baru itu berusaha atau menuntut mendapatkan mesjid, sekolah,
pasar dan kantor desa pula seperti ketika masih dalam sebuah nagari. Harta kaum warga dapat
saja bertebaran di beberapa desa, padahal kaum yang menjadi pemiliknya berdiam di desa lain.
Demikian pula urusan “batagak penghulu nagari”, adat tidak mengenal apa yang dinamakan
“batagak penghulu desa”. Belum lagi mengenai “ulayat nagari atau pun kaum”.

Habis Desa Ke Nagari Lagi

Setelah hampir tujuh belas tahun dalam bentuk Pemerintahan Desa dengan berbagai
masalah melandanya, Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat ditetapkan kembali ke bentuk
sistem Pemerintahan Nagari.
Bagaimana bentuk Pemerintahan Nagari dimaksud, dituangkan dalam Perda (Peraturan
Daerah) No. 9 Tahun 2000.

Jika sebelumnya propinsi ini bernama “Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat”,
setelah Perda di atas namanya diganti dengan “Daerah Propinsi Sumatera Barat”. Demikian pula
sebutan untuk “Daerah Tingkat II Kabupaten”, misalnya “Daerah Tingkat II Kabupaten Agam”
kini disebut “Daerah Kabupaten Agam”, sedangkan untuk kota disebut “Daerah Kota”.

Jadi setelah Rancangan Peraturan Daerah atau Rapenda Tentang Ketentuan Pokok
Pemerintahan Nagari disetujui atau oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera
Barat pada tanggal 7 Desember 2000 dan ditanda tangani oleh Gubernur Daerah Propinsi
Sumatera Barat tanggal 16 Desember 2000 menjadi Perda, maka semenjak itu resmilah Sumatera
Barat kembali ke bentuk Pemerintah Nagari, kecuali Kepulauan Mentawai yang kini sudah
dijadikan Daerah Kabupaten.

Jika di zaman penjajahan dulu, berbagai masalah adat dan nagari dibicarakan para Ninik
Mamak dalam “gedung” yang bernama Balai Kerapatan Nagari, kini lembaga adat yang disebut
Lembaga Adat Nagari (LAN) atau nama lainnya yaitu KAN (Kerapatan Adat Nagari) berada di
luar Kerapatan Nagari yang kini disebut Dewan Perwakilan Anak Nagari atau DPAN.

Kesimpulan

Jika kita benar-benar ingin merekonstruksi Sistem Pemerinatahan Nagari, maka keberadaan
Ninik Mamak Urang Ampek Jinih (Pangulu, Manti, Mualim dan Dubalang) yang ada di nagari,
harus dipandang sebagai mitra kerja oleh Lembaga Pemerinatahan Nagari. Meskipun selama ini,
keberadaan Ninik Mak\mak Urang A,pek Jinih (UAJ) dalam lembaga pemerintahan desa tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, namun mereka tetap hidup dalam masyarakatnya (sukunya)
masing-masing.

Dengan masih hidupnya peran Ninik Mamak UAJ di dalam suku mereka masing-masing,
maka tidaklah mungkin kiranya Pemerintahan Nagari dapat berjalan dengan baik dan efektif,
tanpa mengikutsertakan unsur Ninik Mamak UAJ dalam pemerintahan nagari sebagai sosok
mewakili anak kemanakan mereka.
Apalagi selama ini telah terbukti di Sumatera Barat, berbagai komplik yang muncul
dalam kehidupan masyarakat adat dan permaslahan sosial, hukum dan budaya, ternyata sulit
mencari penyelesaiannya tanpa melibatkan Ninik Mamak UAJ yang betul-betul mempunyai
kewenangan secara adat serta dipatuhi masyarakat di nagari-nagari.

Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman dan terjadinya pergeseran nilai dari
Urang Ampek Jinih tersebut, maka kita semua, perlu mencarikan solusi baru untuk
mengembalikan semangat kehidupan bernagari, yang sempat meluntur akibat tidak berfungsinya
Urang Ampek Jinih dengan optimal dalam pemerintahan nagari pasca berlakunya Pemerintahan
Desa di Sumatera Barat.

Daftar Pustaka

Alismarajo dkk, Tantangan Sumatera Barat Mengembalikan Pendidikan Berbudaya Minang,


Citra Pendidikan, Jakarta, 2001.

Agustar, Idris, Cindurmato dari Minangkabau, PT.Pertja, Jakarta 1995

Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981.

Anwar,Chairul, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Minangkabau), PT.Rineka


Cipta,Jakarta,1997.

Anas, Navis, Nagari-nagari di Minangkabau Tempo Doeloe, Artikel di Harian Singgalang, 2000.

SUMBER: http://amperasalim.wordpress.com/2009/03/28/hubungan-pemerintahan-nagari-dengan-adat-
minangkabau/

28 April 2008
Tentang Ninik Mamak
Oleh : Muhammad Nasir, SS
Mahasiswa PPs IAIN “IB” Padang

Kaluak paku kacang balimbiang


Tampuruang lenggang lenggokkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan

Secara fungsional ninik mamak merupakan salah satu unsur dari tungku tigo sajarangan. Keberadaannya
sangat mempengaruhi pelaksanaan kontrol sosial terhadap masyarakat. Tidak salah kalau ketimpangan
dan langkah sumbang anak kemenakan dialamatkan pada “ketidakawasan” (awareless) ninik mamak.

Meskipun pernyataan ini belum mewakili pendapat masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini
telanjur menjadi opini yang berkembang di tengah masyarakat. Setidaknya untuk menambah kenyataan
empirik, dalam bahasa pergaulan sehari-hari muncul istilah “ninik mamak” dan “ninik ngangak”.
Beberapa pameo di atas memunculkan asumsi bahwa pertama; ada pergeseran peran ninik mamak
dalam mengatur anak kemenakannya (masyarakat), kedua; ada pemerosotan (penurunan) peran ninik
mamak dalam hubungan antar status di komunitasnya.

Untuk menyingkap judul tulisan ini, setidaknya ada seuntai pengertian yang harus dikemukakan. (1)
Respon adalah tanggapan terhadap hal-hal yang ditangkap panca indra. (Albert;1997). Respon disini
adalah segala sesuatu yang diketahui masyarakat melelui panca indra, kemudian di nilai, diberi makna
dan memutuskan untuk bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna tersebut. (2) Masyarakat
adalah sistem yang merupakan hubungan antar status dalam masyarakat yang saling mempengaruhi
dalam pembentukan prilaku individu dalam satu komunitas (Mac Iver;1972). Definisi ini lebih dekat
dengan pola hubungan antar individu pada masyarakat Minangkabau. Sementara, (3) Peran merupakan
aspek dinamis dari kedudukan dan status. Setiap individu yang hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya berarti mejalankan suatu peran (Soekamto,1987). Dalam konteks ini adalah gambaran
hak dan kewajiban individu yang berperan sebagai ninik mamak.
(4) Ninik Mamak versi Abdul Kadir Usman dalam Kamus Umum Bahasa Minangkabau Indonesia (Pustaka
Anggrek;2002) menyebutkan ninik mamak adalah pemuka adat Minangkabau dalam pengertian umum.

Apa Masalahnya ?

Ninik Mamak adalah salah satu unsur tepenting dalam pengambilan kebijakan pembangunan
masyarakat Minangkabau. Dengan demikian segala perubahan yang terjadi berada di bawah kendali
ninik mamak. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis ini ninik mamak bisa menjadi pilar yang
kokoh dalam membangun masyarakat Minangkabau.

Namun saat ini posisi dan peran ini terlemahkan dengan beberapa kasus seperti, pemerkosaan terhadap
dokter gigi di Solok (2002), dan wacana pembubaran LKAAM yang notabene limbago-nya ninik mamak
yang terkesan tidak punya pengaruh penting dalam pelestarian adat dan kebudayaan Minangkabau.
Termasuk tidak bagusnya pola hubungan (koordinasi) Tungku Tigo Sajarangan saat ini. Bahkan contok
teranyar, munculnya organisasi MTKAAM yang dinakhodai “Sang Datuk” Irfianda Abidin pantas dijadikan
contoh sekaligus menjadi pertanyaan besar; ada apa dengan ninik mamak?

Berangkat dari persoalan kekinian (current issues) di atas muncul pertanyaan sebagai berikut: Apa peran
ninik mamak selaku pemuka adat di tengah anak kemenakannya (baca; masyarakat), bagaimana respon
masyarakat terhadap peran ninik mamak saat ini?, dan apa faktor yang mempengaruhi pergeseran dan
penurunan peran ninik mamak di tengah anak kemenakannya ?

Persoalan di atas layak ditemukan jawabannya sesegera mungkin agar dapat menjadi obat mujarab
sekaligus menjadi program untuk mengisi niat babaliak ka nagari disamping itu kajian-kajian yang
komprehensif berikut hasilnya diharapkan bermanfaat bagi ninik mamak agar dapat menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya terhadap anak kemenakannya. Kemudian bagipembuatan kebijakan
(pemerintah) dalam program baliak ka nagari bukan hanya kembali ke bentuk pemerintahan nagari saja
tetapi kembali kepada terwujudnya nilai-nilai dasar penyelenggaraan pembangunan masyarakat nagari
dengan ninik mamak sebagai salah satu ujung tombak pembangunan.

Perlu kajian kritis

Ada semacam pesisimisme dari kaum intelek yang membahas fenomena ninik mamak ini. Bahwa sudah
menjadi kelaziman bila seminar, penelitian lokakarya dan semacamnya tidak menghasilkan apa-apa,
kecuali orasi dan onani pembicara seminar, atau forum maajan-ajan tuah para pembentang makalah.
Padahal kebutuhan sekarang adalah program mewujudkan peran ideal ninik mamak setelah didahului
kajian kritis.,yang didasarkan pada pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Maksudnya untuk
melakukan pengukuran yang cermat dan akurat terhadap fenomena sosial seputar ninik mamak
(merujuk pada Singarimbun;1987). Harapannya sejumlah data dan fakta yang terkumpul dapat
memberikan informasi umum tentang aktifitas sosial ninik mamak.

Jadi, sebagai sumbang saran, program ba baliak ka nagari diharapkan tidak hanya mejadi program
(baca;proyek) besar otonomi daerah, tetapi lebih jauh dapat menjadi gerakan sosial dan kultural
(social/cultural movement). (16/8/2007)
Wallahu A’lam

Sumber : http://nasirsalo.blogspot.com/2008/04/tentang-ninik-mamak_28.html

Anda mungkin juga menyukai