Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang
terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan
kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat menakjubakan
karena biarpun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda suku bangsanya, tetapi kita
semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Adat istiadat suatu daerah yang merupakan bagian dari suatu negara, yang harus
dicintai dan dilestarikan, karena memiliki peranan penting bagi persatuan dan kesatuan
bangsa yang akan memperkokoh kedaulatan negara ini. Dan pemudalah yang memiliki
peranan besar dalam melestarikan adat isitiadat ini agar tetap ada di masa yang akan datang,.
Adat istiadat Jambi yang memiliki pepatah “adat bersendi syarak, dan syarak bersendi
kitabullah” yang menjunjung tinggi kekeluargaan, gotong royong, persatuan dan kesatuan
juga sangat berperan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Sejak ratusan tahun lalu provinsi jambi dihuni oleh etnis melayu, seperti suku Kerinci,
Suku Batin, suku Bangsa Dua Belas, suku Penghulu, dan suku Anak dalam. Namun juga ada
etnis pendatang. Perjalanan sejarah yang dialami etnis melayu telah melatar belakangi budaya
melayu di Jambi.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan
ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, makamenjaga,
memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu,dengan kata
lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku
bangsa.

1
1.2 Tujuan
1. Dapat memahami sistem kekerabatan adat Jambi
2. Dapat memahami sistem perkawinan dan kewarisan adat Jambi
3. Dapat memahami sistem perikatan atau perjanjian adat Jambi
4. Dapat memahami sanksi adat Jambi

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana asal usul kekerabatan adat Jambi ?
2. Bagaimana memperoleh waris adat Jambi ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Kekerabatan Adat Jambi

Masyarakat adat Jambi memiliki garis keturunan yang


diperhitungkan menurut garis Parental-Matriachat atau disebut juga
sebagai Bilateral, yaitu garis keturunan menurut kedua orang tuanya,
oleh karena itu setiap individu dalam menarik garis keturunannya
selalu menghubungkan dirinya kepada pihak ayah maupun pihak
ibu. Dengan kata lain hubungan kekerabatan antara seorang anak
dengan kaum kerabat dari pihak ayah tetap sederajat dengan
perhubungannya terhadap kaum kerabat ibunya. Oleh karena ini
dikenal pepatah Jambi “Anak dipanggu kemenakan dijinjing”.

Prinsip billateral itu sesungguhnya tidak mempunyai suatu


akibat yang selektif, karena bagi setiap individu semua kaum kerabat
ibu mau pun semua kerabat kaum ayah masuk dalam hubungan
kekerabatannya. Sehingga tidak ada batas sama sekali. Dalam
prinsip kekerabatan billateral adat Jambi, garis keturunan ditarik
dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat
terkecil dan menjadi basis perhitungan batas hubungan kekerabatan
di antara satu sama lain.

3
2.2 Sistem Perkawinan dan Kewarisan

 Proses Perkawinan Adat Jambi

Sebagai gambaran di awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, diperkirakan jumlahnya
mencapai 7.500 jiwa (Melalatoa, 1995:38). Masing-masing kelompok membentuk komunitas
tersendiri. Di kawasan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) misalnya, di sana ada tiga
kelompok, yakni kelompok yang ada di bagian selatan cagar biosfer (Air Hitam), kemudian
yang ada di bagian utara dan timur (Kejagung), dan kelompok yang ada di sebelah barat
(Makekal). Sebutan mereka disesuaikan dengan daerah di mana mereka berada. Oleh karena
itu, mereka ada yang menyebut sebagai Orang atau Kelompok: “Air Hitam”, “Kejagung”,
dan “Makekal”.

Banyak versi yang berkenaan dengan asal-usul orang Kubu, antara lain mereka berasal dari:
Palembang (Sumatera Selatan), Sumatera Barat (Pagaruyung), perantau (Bujang Perantau),
dan bajak laut. Lepas dari berbagai versi yang berdasarkan ceritera rakyat itu yang jelas
bahwa kehidupan mereka tidak lepas dari hutan. Hutan bagi mereka tidak hanya berfungsi
sebagai sumber penghidupan, tempat berlindung, dan sarana integrasi sosial, tetapi juga
sebagai wahana untuk reproduksi sosial dan aktualisasi diri. Begitu pentingnya keberadaan
hutan bagi mereka sehingga memerlukan pengembangan organisasi sosial, pengetahuan, dan
pranata-pranata pengendaliannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka benar-
benar menguasai seluk beluk setiap jengkal kawasan hutannya. Mereka tahu di mana harus
berlindung dari sergapan binatang buas. Mereka tahu persis potensi hutan tempatnya
bermukim dan bagaimana mengolahnya, serta tanaman dan binatang apa yang dapat
dimanfaatkan.

Bahkan, mereka tahu bagaimana melestarikannya (mempertahankan wilayahnya yang telah


dikuasai dari generasi ke generasi, mengendalikan, menguasai, dan memanfaatkannya). Tidak
sembarang bagian hutan boleh dibuka sebagai tempat berladang, meramu, berburu atau
mendirikan perkampungan baru. Pendek kata, orang Kubu mengetahui persis luas hutan yang
boleh dibuka dari tepi sungai hingga puncak bukit. Mereka juga tahu tumbuhan apa yang
harus ditanam dan bagaimana caranya.

Tulisan ini tidak mengemukakan berbagai cara yang dilakukan oleh orang Kubu dalam
melestarikan lingkungan alamnya. Akan tetapi, akan mengemukakan mengenai

4
terintegrasinya seseorang dalam sistem sosial masyarakat Kubu melalui sebuah perkawinan,
karena dengan perkawinan berarti seseorang telah dianggap sebagai anggota masyarakat yang
penuh (mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya). Melalui perkawinan akan terbentuk sebuah keluarga yang tidak hanya berfungsi
sebagai kesatuan ekonomi, tetapi juga pendidikan dan pengembang-biakan keturunan.

sebuah keluarga di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk orang Kubu, didahului
dengan perkawinan (berdasarkan agama dan atau adat-istiadat masyarakat yang
bersangkutan). Perkawinan yang ideal di kalangan orang Kubu adalah perkawinan antara
seorang pemuda dan gadis anak saudara laki-laki dari pihak ibu (cross causin). Sungguhpun
demikian, seorang pemuda boleh memilih jodoh dengan siapa saja asal bukan seperut
(sedarah). Lalu terdapat proses pernikahan adat Jambi, yaitu:

a. Perkenalan

Sebagaimana lazimnya proses perkawinan pada masyarakat Indonesia secara umum,


perkawinan orang Kubu juga didahului oleh pertemuan antara dua remaja yang berlainan
jenis. Pertemuan yang kemudian membuat mereka saling kenal dan saling tetarik ini bisa
terjadi di ladang, sungai, hutan, atau di pesta perkawinan. Jika dalam pertemuan tersebut
keduanya bersepakat untuk hidup bersama, maka pihak orang tua akan memberitahukannya
kepada tetua tenganai (orang-orang tua yang berpengalaman). Jika mereka telah sepakat,
maka peminangan dapat dilakukan.

b. Peminangan dan Pertunangan

Peminangan pada dasarnya adalah suatu kegiatan untuk membicarakan kemungkinan adanya
suatu perkawinan. Kegiatan ini oleh orang Kubu disebut sebagai “moro”. Untuk itu, ayah
sang pemuda menemui ayah sang gadis untuk memastikan apakah anak laki-lakinya dapat
ditunangkan dengan anak gadisnya. Jika dalam pembicaraan itu keduanya sepakat, maka
mereka menemui tetua tenganai terdekat. Kemudian, mereka menentukan kapan pertunangan
dilakukan.

Ketika hari yang disepakati untuk bertunangan tiba, maka pihak keluarga laki-laki datang ke
rumah keluarga perempuan dengan membawa bawaan yang terdiri atas: pakaian perempuan
seperlunya, sirih pinang selengkapnya, dan selemak-semanis (beras dan lauk-pauk). Dengan
diterimanya bawaan tersebut berarti sepasang remaja yang berlainan jenis telah bertunangan
menurut adat mereka.

5
Lama dan singkatnya waktu pertunangan antara seorang jejaka dan seorang gadis Kubu
bergantung kesepakatan orang tua (ayah) kedua belah pihak. Melalatoa (1995:39)
menyebutkan 8--9 tahun. Malahan, terkadang sampai 10 tahun. Ada beberapa alasan yang
mendasari mengapa masa pertunangan mereka berlangsung dalam waktu yang relatif lama,
yaitu umur dan kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk memenuhi persyaratan upacara
perkawinan yaitu mas kawin yang berupa kain panjang atau sarung sejumlah 140 buah,
selemak semanis (bahan makanan yang berupa ubi dan beras), lauk-pauk yang berupa daging
binatang buruan, dan masih banyak lainnya yang mesti diserahkan kepada pihak keluarga
perempuan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.

Perlu diketahui bahwa umur ketika seorang jejaka menjadi pengantin (kawin) pada umumnya
11--14 tahun, sedangkan seorang gadis pada umunya berumur 17--21 tahun. Jadi, pada
umunya calon suami lebih muda ketimbang calon isterinya. Sehubungan dengan itu, calon
suami harus “didewasakan” dengan berbagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang
dewasa. Dalam hal ini calon pengantin laki-laki harus menunjukkan ketangkasannya (uji
tangkas). Misalnya, ia harus dapat meniti kayu yang telah dikupas kulitnya (licin) dan atau
membangun balai1) (bangsal) dalam waktu setengah hari (dikerjakan sendiri mulai dari
matahari terbit sampai dengan tengah hari). Jika ia dapat melakukannya (meniti kayu yang
licin dan atau mendirikan balai), maka dianggap lulus dan perkawinan dapat dilangsungkan.

Akan tetapi, jika tidak dapat melakukannya dengan baik alias gagal, bukan berarti bahwa
perkawinan diurungkan atau gagal, tetapi calon pengantin laki-laki masih diberi kesempatan
untuk mengulanginya pada hari berikutnya. Pendek kata, sampai calon pengantin laki-laki
dapat melakukannya dengan baik (berhasil). Biasanya ujian tersebut dilaksanakan dua hari
menjelang perkawinan (upacara perkawinan).

Sebagai catatan, meskipun jangka waktu pertunangan telah disepakati oleh kedua belah
pihak, namun percepatan bisa saja terjadi. Hal itu bergantung pada kesiapan pihak keluarga
laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Jika itu terjadi, biasanya pihak keluarga laki-laki
yang mengusulkannya. Sedangkan, pihak keluarga perempuan sifatnya hanya mengikuti saja.

6
c. Upacara Perkawinan

Sebelum upacara perkawinan (akad nikah) dilaksanakan, pihak keluarga laki-laki


menyiapkan dan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pihak keluraga
perempuan. Persyaratan itu tidak hanya mas kawin dan selemak semanis, tetapi masih banyak
lainnya, yaitu: seekor ayam berugo pikatan (ayam yang digunakan untuk memburu ayam
hutan), seekor anjing yang mau (anjing yang pandai menggiring dan atau menangkap biawak,
babi hutan, dan napo-napo (sejenis pelanduk), sebuah pesap atau ambat atau saok-saok
(jaring ikan yang berukuran kecil), seekor burung puyul (puyuh) yang pandai berkelahi
dengan sejenisnya, dan sepotong pakaian atau kain yang bagus. Jika permintaan yang
sekaligus merupakan persyaratan itu dipenuhi, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Akan
tetapi, jika tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan ditangguhkan atau bisa saja dibatalkan.

Upacara perkawinan itu sendiri biasanya bertempat di tengah-tengah pemukiman, sehingga


mempermudah bagi sanak-saudara yang akan menghadirinya. Di sana sebelumnya telah
dibangun sebuah pondok yang dilakukan secara gotong-royong. Luasnya 4 x 4 meter, atapnya
daun rumbia, dan lantainya terbuat dari batang kayu yang garis tengahnya kurang lebih 5 cm.
Lantai tersebut tingginya kurang lebih 60 cm dari permukaan tanah. Di pondok inilah kedua
mempelai duduk saling berhadapan. Sementara, keluarga kedua belah pihak beserta undangan
duduk melingkarinya. Temenggung, yang dalam hal ini bertindak sebagai “pejabat nikah”,
duduk menghadap kedua pengantin. Dan memberi nasehat tentang kehidupan dalam sebuah
rumah tangga. Kemudian, memegang tangan kedua pengantin dan mengucapkan kata-kata
sebagai berikut: “Seko si ... kembali kepada seki si ..., semalam iko si ... nikah sampai
menyeluat betongkat tebu seruas, lah lengok nyawo yang jantan maupun betino, nak sedingin
air nak sepanjang rotan”. Selanjutnya, kedua tangan pengantin ditepukkan sejumlah tujuh
kali. Setelah itu, kedua kening pengantin diadukan (dibenturkan) secara perlahan sejumlah
tujuh kali pula. Dengan selesainya benturan itu berarti sepasang remaja yang berlainan jenis
itu telah menjadi suami-isteri. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa upacara perkawinan
selesai karena di kalangan orang Kubu ada kebiasaan penyelenggaraan suatu upacara
perkawinan berlangsung kurang lebih tujuh hari. Jadi, setelah akad nikah dilaksanakan, maka
pada malam berikutnya pihak keluarga pengantin perempuan mengadakan kendurian yang
bertempat di rumah pengantin perempuan dan di balai yang dibuat oleh pengantin laki-laki
ketika uji ketangkasan.

7
Demikian juga pada malam-malam berikutnya sampai kurang lebih tujuh malam, mulai dari
pukul 20.00--24.00 WIB. Mengingat bahwa kendurian memerlukan bahan makanan yang
tidak sedikit, maka pihak keluarga pengantin laki-laki, melalui kegiatan yang disebut antaran,
menyumbang kurang lebih separuh (50%) dari perkiraan kebutuhan.

Ada kebiasaan di kalangan orang Kubu bahwa setelah akad nikah pengantin baru pergi ke
hutan selama kurang lebih tujuh hari. Di sana mereka tidak hanya berusaha untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dalam sebuah keluarga, tetapi juga memperoleh binatang buruan.
Binatang buruan, apakah itu biawak, babi hutan, atau napo-napo nantinya akan dibawa
pulang kepada orang tuanya. Di kalangan orang Kubu hasil buruan yang didapatkan oleh
pengantin baru yang pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari adalah bukan sekedar
“oleh-oleh”. Akan tetapi, itu sebagai suatu tanda bahwa kelak kehidupan rumah tangga
pengantin baru tersebut banyak rezekinya (berlimpah).

Sepulangnya dari hutan (setelah menyerahkan hasil buruannya), pasangan pengantin baru
tersebut mendirikan gubug yang letaknya berdampingan atau tidak jauh dari gubug orang tua
laki-laki. Adat menetap seperti ini dalam ilmu antropologi disebut “virilocal”, yaitu adat yang
menentukan bahwa pengantin baru menetap di sekitar tempat kediaman kerabat laki-laki
(suami).

*Catatan:

Jika pihak keluarga laki-laki tidak dapat memenuhi persyaratan suatu perkawinan yang relatif
berat itu, maka bukan bahwa berarti anaknya tidak dapat membentuk keluarga baru (kawin).
Ada cara lain yang disebut dengan kawin lari, yaitu sepasang remaja yang telah bersepakat
untuk hidup bersama bertemu pada suatu tempat di malam hari. Oleh karena perginya secara
sembunyi-sembunyi (tidak diketahui oleh siapapun), maka kedua sejoli itu dianggap hilang
atau ada seorang gadis yang dibawa lari oleh seorang pemuda. Dengan tersebarnya berita itu,
maka orang tua kedua belah pihak beserta masyarakat berusaha untuk mencarinya. Setelah
ditemukan, pemuda yang membawa lari gadis orang itu dipukuli oleh keluarganya sendiri
karena dianggap memalukan keluarga. Masyarakat pun segera menggelar sidang untuk
menghukumnya. Dan, berdasarkan ketentuan adat, maka pihak keluarga laki-laki harus
membayar denda yang berupa 200 lembar kain sarung kepada pihak keluarga perempuan.
Dengan terbayarnya denda tersebut berarti kedua sejoli tersebut dianggap sah sebagai suami-
isteri. Dan, upacara perkawinan tidak perlu diadakan, sehingga pihak keluarga laki-laki tidak

8
perlu memenuhi berbagai persyaratan perkawinan sebagaimana lazimnya sebuah perkawinan
di kalangan orang Kubu.

Rangkaian upacara ini diawali dengan adat pergaulan anatara pemuda dan perempuan yang
dikenal dengan itilah Berserambahan. &alam acara ini mereka memperlihatkan keahlian
berpantun yang disebut Seloka Muda, setelah keduanya sepakat untuk menikah, maka
berlaku tahap berikutnya:

• Berusik sirih bergurau pinang: merupakan tahap menjajaki perasaan masing-masing


pihak untuk mengetahui apakah hubungan dapat dilanjutkan dengan perkawinan.

• Duduk bertuik, tegak bertanyo: merupakan tahap untuk mengetahui keadaan gadis
yang menyangkut silslah, budi pekerti, sopan santun pergaulan, serta kemungkinan
persetujuan orangtuanya.

• Ikat buatan janji semayo: adalah musyawarah resmi keluarga kedua belah pihak
untuk membicrakan waktu pertunangan dan perkawinan.

• Ulur antarserah terimo pusako: yaitu pihak laki-laki menepati janji dengan
mengantarkan barang-barang ke rumah si gadis sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati sebagai inti dari suatu upacara pernikahan terjadi pada saat sedekah labuh, yang
mana pada saat itu perkawinan diresmikan dengan akad nikah dan akad kabul di hadapan
seorang pemuka agama.

9
 Kewarisan Adat Jambi

Dalam prinsip kekerabatan billateral Suku Melayu Jambi, garis keturunan ditarik
dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil dan
menjadi basis perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu sama lain. Suatu
kombinasi yang timbul dari dua prinsip yang berlainan nampak pada penentuan hak
waris, terutama penyelesaian masalah hak waris. Keberadaan Islam dengan Fikh-nya
yang patrilinear sebenarnya telah menggantikan keberadaan aturan adat tentang hak
waris terutama di Palembang, Jambi dan pesisir Kalimantan.
Namun kenyataannya tidak jarang di tengah masyarakat billateral masih ditemukan
hasil musyawarah adat yang menentukan pembagian harta waris orang tua dibagi
sama pada seluruh anak-anaknya. Hukum adat Jambi berdasarkan pada “Adat Lamo
Puseko Usang” yaitu “Undang” dengan “Teliti”. “Undang” yang dimaksud disini
adalah peraturan adat istiadat yang berasal dari nenek moyang dan aturan-aturan yang
tumbuh di tengah- tengah masyarakat. Sedangkan “Teliti” adalah peraturan adat
istiadat yang telah dipengaruhi dan diperkuat oleh agama Islam.
“Undang” dan “Teliti” ini disatukan menjadi satu kesatuan sehingga menjadi adat
istiadat Jambi yang berasaskan dasar : Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah. Maka kita dapat melihat bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat
Melayu Jambi adalah hukum adat terutama dalam hal kewarisan. Hal ini tidak terlepas
dari ajaran Islam karena masyarakat Melayu Jambi mayoritas beragama Islam.
Hukum adat Suku Melayu Jambi adalah jika anak yang diangkat berasal dari
lingkungan keluarga sendiri, maka akan mengakibatkan hubungan hukum anak yang
diangkat tersebut dengan orang tua kandungnya tidak terputus.
Jika anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang berlainan agama dengan orang
tua angkatnya, maka anak tersebut setelah diangkat akan masuk kedalam agama
Islam, maka secara langsung hubungan hukumnya dengan orang tua kandungnya
terputus. Sementara dalam hukum Islam pengangkatan anak merupakan tindakan
hukum yang menimbulkan akibat hukum tetapi tidak menimbulkan hubungan saling
mewaris. Dan dalam peraturan perundang-undangan pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung sehingga
tetap berstatus sebagai anak kandung dari orang tua kandungnya.

10
2.3 Sistem Perikatan Atau Perjanjian Adat Jambi

“ADAT BERSENDI SYARAK, SYARAK BERSENDI KITABULLAH”


Dasar hukum ABS-SBK ini berlaku semenjak kesepakatan adat pada Rapat Besar Adat di
Bukit Siguntang (Tebo) dideklerasikan pada tahun 1502 M.

“Pengertian Adat disini adalah aturan, dan sendi adalah landasan”


Segala kenentuan hukum Islam dilaksanakan oleh hukum adat, larang pantang dalam hukum
Islam jadi larang pantang dalam hukum adat, dijelmakan dalam adat nan lazim, syarat nan
qawi, syarak mengato adat memakai, haram kato syarak dihukum kato adat, intinya adalah
adat selalu mengiringi syarak, tidak boleh dirobah oleh siapapun juga.

1. DASAR HUKUM ADAT Pertama

“TITIAN TERAS BERTANGGA BATU”


TITIAN TERAS, adalah ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an dan disebut wahyu,
sedangkan TANGGA BATU adalah Ayat Allah yang berupa ciptaan-Nya yaitu alam semesta
ini. Karena Ayat Allah itu dua macam: Pertama ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an
yang disebut wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul untuk disampaikan kepda umatnya.
Ketua ayat Allah berupa alam hasil ciptaanNya. Keduanya wajib seimbang dilaksanakan, bila
ayat Allah berupa wahyu tidak dilaksanakan maka ayat Allah berupa alam murka, akibatnya
manusia akan menuai badai bencana alam. Jadi Titian Teras Bertangga Batu adalah Sunnah
Allah, dia adalah hukum yang tertinggi datang dari Allah, hukum dalam konteks ini adalah
aturan theorik, jalan mendapat keadilan dan kebahagiaan, dengan menemputh titian dan
tanggo untuk mencapai adil dan bahagia Hidup Jayo Mati Sempurno.

“TITIAN TERAS, adalah ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an dan disebut wahyu”
TANGGA BATU adalah Ayat Allah yang berupa ciptaan-Nya yaitu alam semesta ini
Maka titian hukum harus kokoh dan kuat berupa teras dan tanggo hukum harus kukoh buat
berupa batu itulah ayat Allah Swt, isinya tidak mungkin bisa dirobah dan tidak ada campur
tangan manusai, ia harus lebih tinggi berada dipucuk menjadi hukum dasar dan pedoman,
hukum yang datang dari Allah, pucuk dari segala aturan hukum tidak ada lagi aturan hukum

11
yang lebih tinggi dari itu, karena aturan hukum dipucuk bukan buatan manusia tetapi Sunnah
Allah. Bila tidak dilaksankan kafirlah hukumnya dan azab adalah balasannya.

2. DASAR HUKUM ADAT Kedua

“Cermin Gedang Nan Dak Kabur”


Cermin gedang nan dak kabur adalah kitab suci Al Qur’an, kitab yang tidak pernah diubah
baik kalimat, bari huruf maupun titik sejak diwahyukan hingga sekarang dan tidak ada yang
mampu merobahnya, karena dijamin oleh Allah Swt, “Sesungguhnya kami lah yang
menurunkan Al Qur’an dan kami benar-benar memeliharanya” (Al Qur’an 15:9).

“Cermin gedang nan dak kabur adalah kitab suci Al Qur’an”


Kitab itu dijadikan cermin yang tidak kabur dalam hukum adat, artinya tidak bisa berobah
oleh siapapun, wajib dilaksanakan kapan dan dimana saja, tanpa terikat dengan tempat dan
waktu, ia tidak bisa dirobah oleh siapa saja. Begitulah hukum Islam, dan begitu juga hukum
yang dibuat, jangan berobah dek saudagar lalu, jangan diasak dek dagang lewat, dirobah dek
ada kepentingan, hukum harus tegak kokoh sepanjang waktu. Jalan barambah yang harus
diturut, baju bajahit wajib dipakai, sudah bersesap berjerami, batunggul bapamaerh,
bapendam pekuburuan. Dahulu orang membunuh dijatuhi bangun, terjadi sko maka
hukumnya begitu juga, itulah cermin yang tak kabur.

3. DASAR HUKUM ADAT Ketiga

“Lantak Nan Dak Goyah”


Bahwa Lantak nan Dak Goyah kaping dak tagenou, adalah Sunnah Rasul berupa hadis Nabi,
hukum yang datang dari Nabi adalah untuk melaksanakan ayat-ayat Allah, dan sunnah Rasul
yang termuat dalam Hadis Nabi Muhammad Saw, tidak boleh diubah dan tidak mungkin
dirobah-robah atau digeser-geser lagi.

“Lantak nan Dak Goyah , adalah Sunnah Rasul berupa hadis Nabi”
Hadis-hadis Nabi itu diibaratkan dengan sebuat lantak, yang pangkal lantak diberi kaping
atau ikat atau empelang kuat, supaya tidak pecah saat dipukul, ia boleh dipukul dengan apa
saja tidak akan pecah. Maka lantak dipukul agar tacacak (tertanam) dalam-dalam sehingga
tidak goyah. Begitulah hukum adat yang yang benar, kata benar tidak boleh diubah-ubah,

12
tanpa pandang bulu tanpa tebang pilih, yang salah harus salah, yang benar harus benar, tidak
pandang siapa dia.

4. DASAR HUKUM ADAT Keempat

“Kato Mufakat”
Bahwa Kato Mufakat, adalah Ulil amri minkum, yaitu putusan Raja yang adil dibuat dengan
mupakat wajib diikuti, karena taat kepada Allah dan taat kepada Rasul dan Ulil Amri
(pemimpin) yang adil adalah wajib. Maka itu kato mupkat adalah merupakan ‘faktua sun
sevanda’ (istilah hukum), yaitu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai hukum.

“Kato Mufakat yaitu putusan Raja yang adil dibuat dengan mupakat wajib diikuti”
Kata Mufakat adalah “Kato seorang dibulatkan kato basamo dimufakati, mencari kato sebuah
dikaji sampai ke embun padu dibaco sampai ke kesik janim, dicucuk sehabis ari dikikis
sehabis besi, ditakik darah ketian dicaru kutu keijuk, dimano garis situ diukur mano dicoreng
situ dipahat. Tapaut makanan lantak takurung makan kunci, saukou maka jadi sesuai maka
dikenak, tentu ketak dengan bulaanca denga ruwas, lah dapat kato seiyo betemu kato sebuah,
pipih tidak bersudut boleh dilayangkan, bulat tidak bersanding boleh digulingkan, bulat air
dek pembuluh bulat kato dek mufakat dan tumbuh dari bumi”.

5. DASAR HUKUM ADA YANG KE – 5

“Dak Lapuk Dek Hujang dak Lekang Dek Paneh”


Bahwa kata-kata tidak lapuk karena hujan tidak lekang karena panas, mengandung arti:

Pertama, menujuk kepada yang empat di atas, yaitu titian teras batanggo batu, cermin gedang
nan tak kabur, lantak dalam nan tak goyah kaping itda tagensou, dan kata mufakat, keempat
itu tidak mungkin lekang atau lapuk (buruk) dalam hujan atau panas, dia bagaikan batang
pohon yang selalu hidup.

Kedua, adalah kebulatan tekat dan janji sumpah setio orang Jambi, untuk melaksanakan
hukum secara konsisten, dan konsekwen bertanggung jawab kepada Allah, untuk
melaskanakan hukum tanpa ragu-ragu dan semuanya sudah dicucui sehabis ari, dikikis
sehabis besi, diasak layu dianggo mati, tekat dan pengakuan yang tak lekang dan tak lapuk,
itulah pengakuan batin penegak hukum adat.

13
2.4 Sanksi Adat Jambi

Aturan-aturan hukum pidana adat tersebut sudah dikenal oleh masyarakat adat sejak
dari nenek moyang sebelum agresi Belanda masuk ke Indonesia.

Jenis-jenis aturan hukum adat, oleh masyarakt Jambi dikenal dengan undang nan dua
puluh. Akan tetapi secara sistematika dibagi menjadi dua bagian yaitu, “Pucuk undang nan
delapan,” dan “Anak undang nan duabelas”. Namun baik pucuk undang nan delapan maupun
anak undang nan duabelas, keduanya mengatur bentuk kejahatan (hukum publik) dan tata
tertib masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi (hukum privat/sipil).

Sistematika dan rumusan normalnya dari undang-undang nan duabelas tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Pucuk Undang nan Delapan terdiri dari:

1) Dago-dagi

Maksudnya adalah segala bentuk perbuatan yang melanggar kepentingan bersama/umum


sehingga menimbulkan kekacauan dalam negeri.

2) Sumbang-salah

Maksudnya adalah melakukan perbuatan yang menurut pendapat umum dipandang sebagai
perbuatan yang tercela karena tidak layak.

3) Samun-Sakai

Maksudnya adalah mengambil harta orang lain dengan paksa disertai penganiayaan dan
pngrusakan.

4) Upas-Racun

Maksudnya adalah melakukan pembunuhan dengan menggunakan ramuan yang disebut


racun, akibatnya orang yang terkena racun menderit sakit yang lama sebelum meninggal,
sedangkan yang terkena upas biasanya mati seketika.

14
5) Siur Bakar.

Maksudnya adalah perbuatan dengan sengaja membakar kampung, rumah, kebun atau ladang
pertanian.

6) Tipu-tepok

Maksudnya adalah tindakan orang yang untuk memperoleh suatu barang atau suatu keadaan
yang menguntungkan dirinya dengan cara tipu daya dan bujuk rayu atau keadaan palsu.

7) Maling-Curi

Maksudnya adalah mengambil barang kepunyaan orang lain dengan maksud hendak memiliki
tanpa setahu pemiliknya baik pada waktu malam maupun siang hari.

8) Tikam-bunuh.

Maksudnya adalah melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan menggunakan senjata
tajam atau alat lainnya sehingga berakibat kematian.

2. Anak Undang Nan Duabelas, terdiri dari:

1) Lebam-Balu diTepung Tawar.

Maksudnya adalah orang yang menyakiti fisik/badan orang lain berkewajiban mengobatinya
sampai sembuh dan baik kembali sampai hilang bekasnya.

2) Luka-lekih dipampas

Maksudnya adalah barang siapa yang melukai badan/fisik orang lain dihukum membayar
pampas yang dapat dibedakan atas 3 kategori, yaitu

a. Luka Rendah: Pampasannya seekor ayam, segantang beras dan kelapa setali ( dua buah);
b. Luka Tinggi: Pampasannya seekor kambing dan 20 gantang beras.
c. Luka Parah: pampasannya dihitung selengan separoh bangun.

15
3) Mati di Bangun

Maksudnya adalah barang siapa membunuh orang lain dihukum membayar bangun berupa 1
ekor kerbau, 100 gantang beras dan 1 kayu putih ( 30 Yard)

4) Samun

Maksudnya adalah merampas barang milik orang lain dengan paksa, dilakukan dipinggir
hutan atau tempat terkecil.

5) Salah makan diludah,Salah bawak dikembalikan, Salah pakai diluruskan

Maksudnya adalah siapa yang telah berbuat sesuatu yang akibatnya menimbulkan kerugian ia
wajib menggantikannya atau membayar senilai kerugian yanbg ditumbulkan oleh
perbuatannya.

6) Hutang kecil dilunasi, Hutang Besar diangsur.

Maksudnya adalah apabila seseorang berhutang maka ia wajib melunasinya, kalau jumlah
hutangnya kecil dilunasi sekaligus, kalau jumlahnya besar boleh diangsur.

7) Golok Gadai Timbang Lalu

Maksudnya adalah harta atau sesuatu barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai
jaminan hutang, akan pindah pemiliknya apabila sudah lewat waktu yang dijanjikan.

8) Tegak Mengintai Lenggang,Duduk menanti kelam,Tegak berdua bergandeng dua,Salah


bujang dengan gadis kawin.

Maksudnya adalah pergaulan anatar orang bujang dengan seorang gadis yang diduga kuat
telah melanggar adapt dan memberi malu kampung tanap sisik siang harus dikawinkan.

16
9) Memekik Mengentam tanah,Menggulung lengan baju,Menyingsinkan kaki celana.

Maksudnya adalah menantang orang untuk berkelahi, kalau yang ditantang itu orang biasa
hukumannya seekor ayam, 1 gantang beras dan setali kelapa (2buah). Jika yang ditantang
berkelahi itu lebih tinggi kedudukannya, maka dihukum 1 ekor kambing, 20 gantang beras
dan kelapa 20 buah.

10) Menempuh nan Bersamo, Mengungkai nan bererbo

Maksudnya adalah memasuki suatu tempat atau memanjat yang ada tanda larangannya
berupa pagar atau tanda khusus. Perbuatan ini dihukum dengan seekor ayam, 1 gantang beras
dan kelapa setali (2buah)

11) Meminang di atas Pinang, Menawar diatas tawar.

Maksudnya adalah apabila seseorang gadis sudah dipinang dan sudah jelas pinangannya itu
diterima, maka status si gadis tunangan orang itu tidak boleh dipinang lagi oleh orang lain.
pelanggaran ketentuan ini dihukum 1 ekor kambing dan 20 gantang beras.

12) Umo Bekandang Siang Ternak bekandang malam

Maksudnya adalah para petani harus menjaga umo (sawah) atau tanamannya harus
mengurungkan pada malam hari. Apabila tanaman petani dimakan atau dirusak hewan ternak
pada waktu siang hari maka pemilik ternak tidak dapat dituntut mengganti kerugian, tetapi
apabila terjadinya pada malam hari pemilik ternak harus membayar ganti rugi senilai tanaman
yang dimakan atau dirusak oleh ternaknya

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Adat istiadat Jambi yang memiliki pepatah “adat bersendi syarak, dan syarak bersendi
kitabullah” yang menjunjung tinggi kekeluargaan, gotong royong, persatuan dan kesatuan
juga sangat berperan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Masyarakat adat Jambi memiliki garis keturunan yang Bilateral (ayah-ibu). Sebagai
gambaran di awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, diperkirakan jumlahnya mencapai 7.500
jiwa (Melalatoa, 1995:38). Masing-masing kelompok membentuk komunitas tersendiri. Di
kawasan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) misalnya, di sana ada tiga kelompok,
yakni kelompok yang ada di bagian selatan cagar biosfer (Air Hitam), kemudian yang ada di
bagian utara dan timur (Kejagung), dan kelompok yang ada di sebelah barat (Makekal).
Sebutan mereka disesuaikan dengan daerah di mana mereka berada. Oleh karena itu, mereka
ada yang menyebut sebagai Orang atau Kelompok: “Air Hitam”, “Kejagung”, dan
“Makekal”. Dalam prinsip kekerabatan billateral Suku Melayu Jambi, garis keturunan ditarik
dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil dan menjadi
basis perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu sama lain. Suatu kombinasi
yang timbul dari dua prinsip yang berlainan nampak pada penentuan hak waris, terutama
penyelesaian masalah hak waris. Dasar hukum ABS-SBK ini berlaku semenjak kesepakatan
adat pada Rapat Besar Adat di Bukit Siguntang (Tebo) dideklerasikan pada tahun 1502 M.
Jenis-jenis aturan hukum adat, oleh masyarakt Jambi dikenal dengan undang nan dua puluh.
Akan tetapi secara sistematika dibagi menjadi dua bagian yaitu, “Pucuk undang nan delapan,”
dan “Anak undang nan duabelas”.

18
-Data Wawancara

19
-Dokumentasi

20

Anda mungkin juga menyukai