DISUSUN OLEH
NAMA: MARIA DELASTRADA NGONGO
NIM: 024010576
SARJANA FARMASI
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan
memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita
sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia
merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan
budaya. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata
tidak semata-mata tidak mengakibatkan permusuhan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya, melainkan dapat memberikan peluang kepada
masyarakat untuk membentuk kesatuan dalam mengembangkan kebudayaan
nasional. Mengingat sangat besarnya peranan budaya dalam mengembangkan
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bangsa Indonesia terus berusaha
untuk menggali dan mengembangkan kebudayaan yang besar diberbagai daerah,
sehingga mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional.
Disamping itu, dikembangkan pula kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada
merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.
kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang
lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar
itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap
budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber
dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan
daerah dan kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang
sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi
lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan
merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan
melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain
kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap
suku bangsa. Kebudayaan adalah harta yang sangat berharga bagi bangsa ini,
karena budaya mencerminkan jati diri dan harkat martabat bangsa sesungguhnya.
Kebudayaan Indonesia seperti tari-tarian, lagu, bahasa, kerajinan, pakaian,
dan lain-lain itu harus dijaga kelstariaanya. Sebab sebagaimana yang telah disebut
di atas, kebudayaan adalah cerminan jati diri dan harkat martabat sebuah bangsa.
Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah
buah adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah
berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat
kebudayaan menjadi tanda dan ukuran tentang rendahtingginya keadaban dari
masing-masing bangsa. Dalam pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-
puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
Kebudayaan Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Kebudayaan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan dan pembangunan suatu bangasa, sebagaimana juga bangsa indonesia
mengingat besarnya peranan budaya dalam pembangunan kehiupan berbangsa
dan bernegara maka bangsa indonesia terus menggali dan mengembangkan
kebudayaan yang tersebar diberbagai daerah yang merupakan bukti kekayaan
budaya nasional sebagai identitas bangsa didunia internasional Didalam
masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal menjadi salah
satu desain kebudayaan Indonesia. Wujud kebudayaan dalam pengertian ilmiah
sebagaimana diuraikan di bawah ini, pertama wujud kebudayaan ideal, bersifat
abstrak, tidak dapat diraba lokasinya, ada didalam memori atau terpatri dalam
pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup.
Ide dan gagasan hidup bersama suatu masyarakat yang memberi jiwa
kepada masyarakat setempat. Ide dan gagasan itu tidak saling terlepas melainkan
senantiasa berkaitan menjadi satu sistem budaya, dalam bahasa setempat dikenal
wujud ideal dari kebudayaan itu yaitu tradisi, dalam bentuk jamaknya menjadi
adat istiadat. Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku
banggai juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam
kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus
dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Suku Sumba merupakan suku yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Suku sumba adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan
daerah, diantaranya , kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta
perkawinan, kesenian ,pada upacara kematian, pada masa sebelum masuknya
agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan
mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan
kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara
menurut agama penganutnya, tetapi upacara adat tidak dihilangkan. Demikian
juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan, dan gunting rambut
bayi usia 40 hari, penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Kebudayaan dalam masyarakat berupa kepercayaan adat istiadat dan nilai nilai
sosial budaya masih senantiasa mengakar dalam masyarakat yang mencakup
nilai-nilai kepercayaan, nilai religi ataupun sifat religiomagis yang merupakan
tradisi atau warisan leluhur. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi kepercayaan
pada masyarakat suku Sumba yang masih mempertahankan tradisi kebudayaan
Belis dalam kehidupan berumah tangga.
Suku sumba memiliki kebudayaan sebagai peninggalan nenek moyang yang
sangat berbeda latar belakangnya, salah satu kebudayaan yang sampai saat ini
masih tetap dipertahankan yaitu tradisi kebudayaan Belis. Tradisi kebudayaan
Belis ini merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak keluarga pria
kepada pihak keluarga wanita sebelum melangsungkan pernikahan. Penyerahan
mas kawin tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain
itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli, kain, dan sarung (Sebagai simbol
reproduksi wanita dalam identitas kebudayaan lokal).
1.2TUJUAN
a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi kebudayaan Belis pada upacara
adat perkawinan.
b. Untuk mengetahui Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba.
c. Untuk mengetahui Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba.
1.3RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi kebudayaan Belis pada upacara adat
perkawinan.
b. Apakah Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba?
c. Apakah Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba?
BAB 2 PEMBAHASAN
Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
terbagi menjadi empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba
Tengah, dan Sumba Timur. Meski demikian, masyarakat Sumba memiliki beragam
tradisi yang secara turun-temurun telah diwariskan kepada generasi penerusnya.
Tradisi-tradisi inilah yang menjadi magnet tersendiri bagi Sumba sehingga
mampu mengundang turis baik lokal maupun manca negara untuk datang
berkunjung ke Sumba. Dari sekian banyak tradisi masyarat Sumba, ada satu tradisi
yang menarik bagiku untuk didiskusikan. Tradisi "Belis" namanya.
Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada
pihak wanita dalam pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin
tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu,
penyerahan belis juga dapat berupa mamuli(Sebuah simbol reproduksi wanita
dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba.
Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial daripada
calon pengantin perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status
sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai Puluhan ekor. Untuk rakyat
biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata (golongan/lapisan terendah dalam
stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba (tuan/bangsawan).
Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak
menjadi persoalan sebab ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa belis
ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa berharganya seorang wanita , disisi lain
pemberian belis yang berupa (Hewan, Mamoli, kain atau apapun bentuknya)
adalah upaya penghormatan atau menghargai pihak keluarga wanita yang telah
membesarkan wanita tersebut, terlebih khusus kedua orang tua wanita. Karena
setelah semua proses belis selesai maka wanita yang ingin dijadikan istri atau
yang ingin dinikahi akan meninggalkan rumah orang tuanya (Keluarga Wanita)
dan pergi mengikuti pria (Keluarga Pria).
2.2 Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba
Belis merupakan tradisi yang ada dalam pernikahan adat masyarakat Sumba. Belis erat
kaitannya dengan harta kawin sehingga dalam masyarakat Sumba ini menjadi hal yang penting.
Seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang perempuan untuk menjadi istrinya
haruslah mempersiapkan belis. Belis yang diberikan laki-laki adalah benda-benda yang bersifat
maskulin seperti kerbau, kuda, parang, tombak dan perhiasan. Sedangkan balasan belis dari pihak
perempuan berupa benda-benda yang dekat dengan perempuan seperti kain tenun dan babi.
Pada dasarnya urusan belis bukan semata-mata menjadi urusan laki-laki saja melainkan juga
pihak perempuan pun harus memberikan balasan untuk belis tersebut. Pemberian belis dan
pemberian balasan belis haruslah seimbang. Pemberian banda wili (belis) berupa emas dan
hewan belis harus diimbangi dengan pemberian kamba wei (bola ngandi) berupa kain, sarung,
hiasan dan babi .
Hal ini ingin menunjukkan bahwa belis yang diberikan akan berpengaruh terhadap
penghargaan dari keluarga. Seorang perempuan yang dilepaskan oleh pihak keluarganya tanpa
adanya proses belis atau proses adat dianggap merendahkan harga dirinya sendiri serta
masyarakat akan menilai rendah harkat dan martabatnya .Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa harga diri seorang perempuan Sumba yang akan menikah dapat dilihat dari pelaksanaan
proses adat serta pembelisan yang dilakukan. Dalam pernikahan masyarakat di NTT, pemberian
belis dianggap sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada perempuan yang akan
dinikahinya. Hal ini berarti proses pemberian belis bagi seorang perempuan Sumba akan
berdampak pada harga diri yang akan melekat padanya. Harga diri merupakan evaluasi diri secara
menyeluruh yang dilakukan individu dengan cara membandingkan antara konsep diri ideal (ideal
self) dengan konsep diri (real self) sebenarnya (Santrock, dalam Hidayat dan Bashori, 2016). Lebih
lanjut Darajat (dalam Hidayat dan Bashori 2016) menyatakan proses pembentukan harga diri
seseorang ditentukan oleh perlakuan yang diterima dari lingkungannya.
Proses pembelisan yang dilakukan dalam pernikahan adat Sumba akan menentukan
tingkat harga diri yang dimiliki oleh individu dan keluarga berdasarkan jumlah besaran belis.
Penentuan besaran belis pada masyarakat NTT ditentukan oleh pendidikan dan status sosial
.Semakin tinggi status sosial seorang perempuan, maka semakin tinggi pula tuntutan belis yang
harus dipersiapkan. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial yang dimiliki keluarga pihak
perempuan akan menentukan jumlah besaran belis pada pihak laki-laki. Golongan atau status
sosial yang dimiliki keluarga perempuan menunjukkan bahwa pihak laki-laki yang ingin
meminangnya harus berasal dari status sosial yang sama sehingga tidak berdampak pada
rendahnya harga diri yang dimiliki pihak perempuan ketika ia dilamar. Salah satu faktor yang
mempengaruhi harga diri adalah keberhasilan seseorang. Keberhasilan dan kegagalan yang
dirasakan seseorang akan berkaitan erat dengan harga dirinya. Seseorang yang sering berhasil
cenderung memiliki harga diri yang tinggi demikian pun sebaliknya, seseorang yang sering gagal
cenderung akan memiliki harga diri yang rendah (Coopersmith, dalam Candra, Harini dan
Sumirta, 2017).
Pada saat proses pembelisan, pihak laki-laki dituntut untuk melunasi sejumlah belis yang
telah diminta oleh pihak perempuan. Pelunasan belis ini akan menentukan kehidupan pihak laki-
laki dalam meminang seorang perempuan. Bagi pihak laki-laki yang dapat membayar lunas
belisnya maka ia dapat dengan mudah membawa istrinya untuk tinggal bersama keluarga laki-
laki. Sedangkan apabila belis tidak dapat dibayar lunas oleh pihak laki-laki maka sang suami tidak
dapat membawa isterinya untuk tinggal bersama keluarganya melainkan dirinyalah yang harus
ikut dan tinggal bersama keluarga perempuan. Hal ini akan berdampak pada harga diri yang
dimiliki pihak laki-laki dimana kedudukannya dalam keluarga perempuan bukan sebagai kepala
keluarga yang sah. Proses pembelisan dalam masyarakat di Sumba juga berkaitan erat dengan
seberapa sanggup seorang laki-laki Sumba melunasi jumlah belis tersebut. Sanggup atau tidaknya
pelunasan dalam membayar belis ditentukan oleh sebuah keyakinan dalam diri seorang laki-laki
pada saat memutuskan untuk meminang seorang perempuan Sumba menjadi isterinya.
Keyakinan dalam diri tersebut disebut sebagai efikasi diri.
Efikasi diri berkaitan dengan keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan dalam
melakukan tindakan yang diharapkan (Bandura, dalam Alwisol, 2009). Hal ini berarti bahwa
seorang laki-laki Sumba akan melakukan proses membayar belis terhadap pihak keluarga
perempuan demi seorang perempuan yang ingin dinikahinya. Semakin tinggi tingkat keyakinan
diri yang dimiliki laki-laki Sumba, maka akan semakin sanggup dirinya untuk melunasi proses
pembelisan tersebut. Sedangkan laki-laki yang memiliki keyakinan diri yang rendah akan menjadi
tidak berdaya dan cenderung mundur dari proses peminangan tersebut. Hal ini berarti bahwa
proses pelunasan belis akan berdampak pada keyakinan diri laki-laki ketika ia hendak melamar
seorang perempuan.
2.3 Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba
1.1 KESIMPULAN
Belis merupakan suatu kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh seorang
laki-laki Sumba, dimana dalam penentuan jumlah besaran belis harus
menitikberatkan pada pendidikan dan status sosial, serta pernikahan ibu si gadis.
Proses pembelisan ini tidak hanya melibatkan pihak laki-laki semata, pihak
perempuan pun memiliki andil untuk memberikan balasan belis sehingga terjalin
hubungan yang harmonis tanpa merasa ada pihak yang direndahkan. Proses
pemberian belis akan memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat Sumba,
dimana dampak tersebut akan berkaitan dengan keberlangsungan hidup
individunya seperti harga diri dalam keluarga serta keyakinan diri untuk melunasi
belis tersebut. Selanjutnya, bagi peneliti lain yang ingin mengetahui lebih lanjut
terkait dengan pengaruh yang timbul dari proses belis, diharapkan dapat menggali
dari sisi yang lain seperti relasi antar keluarga dan identitas sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. (2018). 5 Tradisi Ajaib Masyarakat Sumba. CNN Indonesia. Diakses Melalui
Https://Www.Cnnindonesia.Com/Gaya-Hidup/20180303194158- 269-280241/5-
Tradisi-Ajaib-Masyarakat-Sumba (Pada Tanggal 31 Oktober 2018).
Candra, I. W., Harini, I. G. A., & Sumirta, I. N. (2017). Psikologi; Landasan Keilmuwan
Praktek Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Andi. Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori
Kepribadian Buku 2, Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika. Hidayat, D. R. (2015). Teori
Dan Aplikasi Psikologi Kepribadian Dalam Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia. Hidayat,
K., & Bashori, K. (2016). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Muthmainnah, L., & Trisakti,
S. B. (2010). Ruang Privat Individu Dalam Sistem Kawin Mawin Masyarakat Sumba
Timur. Jurnal Filsafat, 20 (3). Kleden, D. (2017). Belis Dan Harga Seorang Perempuan
Sumba (Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT). Studi Budaya
Nusantara, 1 (1).
Kalembu, Hugo R. 2007. Pemekaran Sumba Barat Daya, Dari Jules Verne ke Momentum
Propinsi Pulau Bunga. Yayasan Sabana. Kapita, Oc.H. 1976. Masyarakat Sumba dan Adat
Istiadatnya. Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah sumba Dewan Penata
Layanan Gereja Kristen Sumba, Waingapu.1976. Sumba Di Dalam Jangkauan Jaman.
Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah sumba Dewan Penata Layanan
Gereja Kristen Sumba, Waingapu