Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KEBUDAYAAN DAERAH YANG MENJADI IDENTITAS DAERAH


“BUDAYA BELIS MASYARAKAT SUMBA”

DISUSUN OLEH
NAMA: MARIA DELASTRADA NGONGO
NIM: 024010576

SARJANA FARMASI
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan
memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita
sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia
merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan
budaya. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata
tidak semata-mata tidak mengakibatkan permusuhan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya, melainkan dapat memberikan peluang kepada
masyarakat untuk membentuk kesatuan dalam mengembangkan kebudayaan
nasional. Mengingat sangat besarnya peranan budaya dalam mengembangkan
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bangsa Indonesia terus berusaha
untuk menggali dan mengembangkan kebudayaan yang besar diberbagai daerah,
sehingga mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional.
Disamping itu, dikembangkan pula kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada
merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.
kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang
lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar
itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap
budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber
dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan
daerah dan kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang
sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi
lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan
merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan
melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain
kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap
suku bangsa. Kebudayaan adalah harta yang sangat berharga bagi bangsa ini,
karena budaya mencerminkan jati diri dan harkat martabat bangsa sesungguhnya.
Kebudayaan Indonesia seperti tari-tarian, lagu, bahasa, kerajinan, pakaian,
dan lain-lain itu harus dijaga kelstariaanya. Sebab sebagaimana yang telah disebut
di atas, kebudayaan adalah cerminan jati diri dan harkat martabat sebuah bangsa.
Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah
buah adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah
berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat
kebudayaan menjadi tanda dan ukuran tentang rendahtingginya keadaban dari
masing-masing bangsa. Dalam pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-
puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
Kebudayaan Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Kebudayaan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan dan pembangunan suatu bangasa, sebagaimana juga bangsa indonesia
mengingat besarnya peranan budaya dalam pembangunan kehiupan berbangsa
dan bernegara maka bangsa indonesia terus menggali dan mengembangkan
kebudayaan yang tersebar diberbagai daerah yang merupakan bukti kekayaan
budaya nasional sebagai identitas bangsa didunia internasional Didalam
masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal menjadi salah
satu desain kebudayaan Indonesia. Wujud kebudayaan dalam pengertian ilmiah
sebagaimana diuraikan di bawah ini, pertama wujud kebudayaan ideal, bersifat
abstrak, tidak dapat diraba lokasinya, ada didalam memori atau terpatri dalam
pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup.
Ide dan gagasan hidup bersama suatu masyarakat yang memberi jiwa
kepada masyarakat setempat. Ide dan gagasan itu tidak saling terlepas melainkan
senantiasa berkaitan menjadi satu sistem budaya, dalam bahasa setempat dikenal
wujud ideal dari kebudayaan itu yaitu tradisi, dalam bentuk jamaknya menjadi
adat istiadat. Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku
banggai juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam
kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus
dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Suku Sumba merupakan suku yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Suku sumba adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan
daerah, diantaranya , kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta
perkawinan, kesenian ,pada upacara kematian, pada masa sebelum masuknya
agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan
mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan
kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara
menurut agama penganutnya, tetapi upacara adat tidak dihilangkan. Demikian
juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan, dan gunting rambut
bayi usia 40 hari, penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Kebudayaan dalam masyarakat berupa kepercayaan adat istiadat dan nilai nilai
sosial budaya masih senantiasa mengakar dalam masyarakat yang mencakup
nilai-nilai kepercayaan, nilai religi ataupun sifat religiomagis yang merupakan
tradisi atau warisan leluhur. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi kepercayaan
pada masyarakat suku Sumba yang masih mempertahankan tradisi kebudayaan
Belis dalam kehidupan berumah tangga.
Suku sumba memiliki kebudayaan sebagai peninggalan nenek moyang yang
sangat berbeda latar belakangnya, salah satu kebudayaan yang sampai saat ini
masih tetap dipertahankan yaitu tradisi kebudayaan Belis. Tradisi kebudayaan
Belis ini merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak keluarga pria
kepada pihak keluarga wanita sebelum melangsungkan pernikahan. Penyerahan
mas kawin tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain
itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli, kain, dan sarung (Sebagai simbol
reproduksi wanita dalam identitas kebudayaan lokal).
1.2TUJUAN
a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi kebudayaan Belis pada upacara
adat perkawinan.
b. Untuk mengetahui Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba.
c. Untuk mengetahui Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba.

1.3RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi kebudayaan Belis pada upacara adat
perkawinan.
b. Apakah Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba?
c. Apakah Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba?
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Tradisi Kebudayaan Belis Pada Upacara Adat Perkawinan.

Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
terbagi menjadi empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba
Tengah, dan Sumba Timur. Meski demikian, masyarakat Sumba memiliki beragam
tradisi yang secara turun-temurun telah diwariskan kepada generasi penerusnya.
Tradisi-tradisi inilah yang menjadi magnet tersendiri bagi Sumba sehingga
mampu mengundang turis baik lokal maupun manca negara untuk datang
berkunjung ke Sumba. Dari sekian banyak tradisi masyarat Sumba, ada satu tradisi
yang menarik bagiku untuk didiskusikan. Tradisi "Belis" namanya.
Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada
pihak wanita dalam pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin
tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu,
penyerahan belis juga dapat berupa mamuli(Sebuah simbol reproduksi wanita
dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba. 
Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial daripada
calon pengantin perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status
sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai Puluhan ekor. Untuk rakyat
biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata (golongan/lapisan terendah dalam
stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba (tuan/bangsawan).
Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak
menjadi persoalan sebab ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa belis
ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa berharganya seorang wanita , disisi lain
pemberian belis yang berupa (Hewan, Mamoli, kain atau apapun bentuknya)
adalah upaya penghormatan atau menghargai pihak keluarga wanita yang telah
membesarkan wanita tersebut, terlebih khusus kedua orang tua wanita. Karena
setelah semua proses belis selesai maka wanita yang ingin dijadikan istri atau
yang ingin dinikahi akan meninggalkan rumah orang tuanya (Keluarga Wanita)
dan pergi mengikuti pria (Keluarga Pria).
2.2 Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba

Belis merupakan tradisi yang ada dalam pernikahan adat masyarakat Sumba. Belis erat
kaitannya dengan harta kawin sehingga dalam masyarakat Sumba ini menjadi hal yang penting.
Seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang perempuan untuk menjadi istrinya
haruslah mempersiapkan belis. Belis yang diberikan laki-laki adalah benda-benda yang bersifat
maskulin seperti kerbau, kuda, parang, tombak dan perhiasan. Sedangkan balasan belis dari pihak
perempuan berupa benda-benda yang dekat dengan perempuan seperti kain tenun dan babi.
Pada dasarnya urusan belis bukan semata-mata menjadi urusan laki-laki saja melainkan juga
pihak perempuan pun harus memberikan balasan untuk belis tersebut. Pemberian belis dan
pemberian balasan belis haruslah seimbang. Pemberian banda wili (belis) berupa emas dan
hewan belis harus diimbangi dengan pemberian kamba wei (bola ngandi) berupa kain, sarung,
hiasan dan babi .
Hal ini ingin menunjukkan bahwa belis yang diberikan akan berpengaruh terhadap
penghargaan dari keluarga. Seorang perempuan yang dilepaskan oleh pihak keluarganya tanpa
adanya proses belis atau proses adat dianggap merendahkan harga dirinya sendiri serta
masyarakat akan menilai rendah harkat dan martabatnya .Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa harga diri seorang perempuan Sumba yang akan menikah dapat dilihat dari pelaksanaan
proses adat serta pembelisan yang dilakukan. Dalam pernikahan masyarakat di NTT, pemberian
belis dianggap sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada perempuan yang akan
dinikahinya. Hal ini berarti proses pemberian belis bagi seorang perempuan Sumba akan
berdampak pada harga diri yang akan melekat padanya. Harga diri merupakan evaluasi diri secara
menyeluruh yang dilakukan individu dengan cara membandingkan antara konsep diri ideal (ideal
self) dengan konsep diri (real self) sebenarnya (Santrock, dalam Hidayat dan Bashori, 2016). Lebih
lanjut Darajat (dalam Hidayat dan Bashori 2016) menyatakan proses pembentukan harga diri
seseorang ditentukan oleh perlakuan yang diterima dari lingkungannya.
Proses pembelisan yang dilakukan dalam pernikahan adat Sumba akan menentukan
tingkat harga diri yang dimiliki oleh individu dan keluarga berdasarkan jumlah besaran belis.
Penentuan besaran belis pada masyarakat NTT ditentukan oleh pendidikan dan status sosial
.Semakin tinggi status sosial seorang perempuan, maka semakin tinggi pula tuntutan belis yang
harus dipersiapkan. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial yang dimiliki keluarga pihak
perempuan akan menentukan jumlah besaran belis pada pihak laki-laki. Golongan atau status
sosial yang dimiliki keluarga perempuan menunjukkan bahwa pihak laki-laki yang ingin
meminangnya harus berasal dari status sosial yang sama sehingga tidak berdampak pada
rendahnya harga diri yang dimiliki pihak perempuan ketika ia dilamar. Salah satu faktor yang
mempengaruhi harga diri adalah keberhasilan seseorang. Keberhasilan dan kegagalan yang
dirasakan seseorang akan berkaitan erat dengan harga dirinya. Seseorang yang sering berhasil
cenderung memiliki harga diri yang tinggi demikian pun sebaliknya, seseorang yang sering gagal
cenderung akan memiliki harga diri yang rendah (Coopersmith, dalam Candra, Harini dan
Sumirta, 2017).
Pada saat proses pembelisan, pihak laki-laki dituntut untuk melunasi sejumlah belis yang
telah diminta oleh pihak perempuan. Pelunasan belis ini akan menentukan kehidupan pihak laki-
laki dalam meminang seorang perempuan. Bagi pihak laki-laki yang dapat membayar lunas
belisnya maka ia dapat dengan mudah membawa istrinya untuk tinggal bersama keluarga laki-
laki. Sedangkan apabila belis tidak dapat dibayar lunas oleh pihak laki-laki maka sang suami tidak
dapat membawa isterinya untuk tinggal bersama keluarganya melainkan dirinyalah yang harus
ikut dan tinggal bersama keluarga perempuan. Hal ini akan berdampak pada harga diri yang
dimiliki pihak laki-laki dimana kedudukannya dalam keluarga perempuan bukan sebagai kepala
keluarga yang sah. Proses pembelisan dalam masyarakat di Sumba juga berkaitan erat dengan
seberapa sanggup seorang laki-laki Sumba melunasi jumlah belis tersebut. Sanggup atau tidaknya
pelunasan dalam membayar belis ditentukan oleh sebuah keyakinan dalam diri seorang laki-laki
pada saat memutuskan untuk meminang seorang perempuan Sumba menjadi isterinya.
Keyakinan dalam diri tersebut disebut sebagai efikasi diri.
Efikasi diri berkaitan dengan keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan dalam
melakukan tindakan yang diharapkan (Bandura, dalam Alwisol, 2009). Hal ini berarti bahwa
seorang laki-laki Sumba akan melakukan proses membayar belis terhadap pihak keluarga
perempuan demi seorang perempuan yang ingin dinikahinya. Semakin tinggi tingkat keyakinan
diri yang dimiliki laki-laki Sumba, maka akan semakin sanggup dirinya untuk melunasi proses
pembelisan tersebut. Sedangkan laki-laki yang memiliki keyakinan diri yang rendah akan menjadi
tidak berdaya dan cenderung mundur dari proses peminangan tersebut. Hal ini berarti bahwa
proses pelunasan belis akan berdampak pada keyakinan diri laki-laki ketika ia hendak melamar
seorang perempuan.
2.3 Belis Dan Harga Seorang Perempuan Sumba

Untuk memahami dan mengerti bagaimana kehidupan dan budaya


masyarakat Sumba pada umumnya dan Sumba Barat Daya pada khususnya, perlu
diketahui dulu kepercayaan (agama) mereka yang sampai sekarang masih kuat
dipertahankan. Memahami konteks kehidupan orang Sumba, hanya bisa ditelusuri
melalui sistem kepercayaan mereka. Sistem kepercayaan ini juga yang
membentuk cara hidup mereka. Dengan kata lain, segi-segi kehidupan lain bisa
diatur berdasarkan amanah atau sistem yang terdapat dalam agama Marapu itu
sendiri. Karena itu orang sering mengatakan bahwa; mengenal Sumba berarti
mengenal Marapu; Sumba berarti Marapu dan Marapu berarti Sumba. Jalan masuk
mengenal Sumba hanya melalui Marapu. Ada keterkaitan antara hidup sosial dan
sistem kepercayaan .
Agama Marapu merupakan sebuah kepercayaan lokal, baik di Sumba Timur
maupun di Sumba Barat. Mereka percaya akan kekuatan yang ada di luar dunia
manusia yang masih mempengaruhi dan bahkan menentukan hidup mereka.
Kekuatan itu adalah kekuatan dari para leluhur atau nenek moyang mereka. Oleh
karena itu kepercayaan Marapu ini merupakan penyembahan kepada leluhur atau
nenek moyang. Munculnya keyakinan akan adanya kekuatankekuatan gaib
merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia yang mencari keamanan,
perlindungan dan ketenteraman .Dalam ritual agama Marapu ini, mereka
mempersembahkan korban, seperti ayam, babi dan hasil panen lainnya untuk
"yang tertinggi" dan juga untuk leluhur mereka, karena mereka percaya bahwa,
leluhur mereka tetap ada bersama mereka, menjaga dan melindungi mereka. Oleh
karena itu upacara sesaji adalah saat mereka bisa berkomunikasi dengan leluhur.
Kepercayaan Marapu muncul dari konsep bahwa orang yang masih hidup harus
senantiasa menjaga keharmonisan dengan roh nenek moyangnya. Dalam
kaitannya dengan resiprositas, ada keyakinan dalam diri mereka bahwa apa yang
dibuat juga merupakan kehendak dari Marapu (para leluhur mereka).
Perkawinan bagi orang Sumba, khususnya di Suku Wewewa Sumba Barat
Daya, dalam arti tertentu bisa saya katakan sebagai suatu upaya resiprositas antar
suku, antara si pemberi perempuan dan si penerima atau “pembeli” perempuan.
Kebiasaan yang semacam ini agak umum di banyak tempat yang berbudaya
pariakal/patriarkal. Dalam konteks Orang Sumba Suku Wewewa, dikenal
beberapa macam jenis perkawinan yang perlu diketahui sebelum saya membuat
analisis kritis dengan teori resiprositas. Perkawinan „normal‟ dalam arti ini
disepakati secara baik-baik antara pemberi perempuan dan penerima perempuan
dan kedua calon mempelai itu ada rasa saling mencintai satu sama lain.
Perkawinan jenis ini bisanya melewati beberapa tahapan: Tahap pertama disebut
“Tahap ketuk pintu (tunda binna)”. Tahap ini merupakan tahap awal pihak laki-
laki bertemu dengan orang tua dari pihak perempuan dengan membawa sebuah
parang dan seekor kuda sebagai tanda akan adanya perkawinan antara laki-laki
dan perempuan, dan pihak perempuan akan membalasnya dengan sepasang kain
dan sarung.
Pada Tahap ini keluarga laki-laki dan keluarga perempuan bermusyawarah
menentukan tanggal yang disepakati untuk melakukan tahap berikutnya serta
jumlah belis yang akan dibawa. Tahap ini mempunyai arti atau makna perkenalan
antara kedua keluarga pria dan wanita. Tahap kedua adalah Tahap masuk minta
(kette katonga). Setelah perkenalan, tahap selanjutnya adalah masuk minta/ikat
adat (kettena katonga), yang berarti mengikat atau meresmikan hubungan antara
pria dan wanita serta bermakna mengikat dan melarang, karena telah terjadi
kesepakatan dari kedua keluarga calon pengantin laki-laki dan perempuan yang
disatukan melalui pengikatan janji. Hal ini bermakna bahwa gadis telah dipinang
(diikat) dan melarang orang lain melamarnya/meminangnya lagi. Baik laki- laki
maupun perempuan diikat dan dilarang untuk memilih orang lain lagi sebagai
calon suami atau calon istri. Dan yang harus dipersiapkan adalah: dari keluarga
wanita, menyiapkan kain sarung dan babi. Dari Keluarga pria, menyiapkan hewan,
parang dan mamoli untuk dibawa ke rumah wanita.
Mamoli adalah perhiasan khas wanita yang berbentuk seperti vagina
perempuan, sebagai lambang kesuburan. Sebagai balasannya keluarga wanita
akan memberikan beberapa pasang kain sarung dan seekor babi, sebagai tanda
kesepakatan jumlah belis. Tahap terakhir disebut dengan tahap pindah (dikki).
Jika tahap masuk minta (kettena katonga) telah selesai, maka tahap selanjutnya
adalah pindah (dikki), yakni wanita pindah ke suku atau keluarga pria. Pihak pria
akan membawa hewan yang telah disepakati, parang, tombak dan mamoli,
sedangkan Pihak keluarga perempuan akan membalasnya dengan memberikan
beberapa pasang kain sarung dan seekor babi. Pihak perempuan akan
memberikan barang bawaan berupa peralatan rumah tangga, tempat tidur, lemari,
kursi, meja, piring, sendok, gelas dan lain-lain serta dibekali dengan seekor babi
besar yang masih hidup (wawi moripa) dan seekor babi yang sudah mati (wawi
mate), kuda tunggang (dara pakalete), dan gelang (lele). Tahap ini berarti wanita
akan pindah dari rumah orang tuanya ke rumah atau suku pria dan menjadi
bagian dari keluarga lakilaki. Dalam arti ini, secara adat hubungan kedua orang itu
sah sebagai suami istri.
Wenda Mawine merupakan satu jenis perkawinan yang terjadi tetapi tidak
atas dasar cinta, melainkan kesepakatan orang tua laki dan perempuan, tanpa
sepengetahuan perempuan. Motivasi di balik pernikahan jenis ini bermacam-
macam, misalnya karena masalah ekonomi dan pengaruh. Terkait dengan masalah
ekonomi ini biasanya kerena ada utang piutang, dan seringkali sosok perempuan
menjadi tebusan. Atau juga karena alasan kekerabatan. Supaya hubungan
kekerabatan yang sudah ada itu tidak menjadi putus, maka perlu ada perkawinan
antar dua kebisu (klan), dan masih ada motivasi lain yang melatarbelakangi
pernikahan jenis ini. Cara atau strategi yang biasa digunakan dalam perkawinan
jenis ini adalah, perempuan biasanya disuruh ke pasar atau ke tempat umum
lainnya dan di sana sudah disiapkan beberapa orang laki- laki untuk menangkap
atau „meculiknya‟ dan langsung dinaikkan di atas kuda tunggangan dan dibawa
lari ke rumah lelaki calonnya itu. Tentu perempuan tersebut kaget dan teriak
minta tolong. Tetapi karena semuanya ini adalah suatu strategi yang sudah
diketahui, maka tidak ada yang kaget dan berusaha untuk melepaskannya dari
penculikan itu. Setelah perempuan yang „diculik‟ itu sampai di rumah calonnya
yang dia sendiri belum tahu, ada proses lanjutan di mana, keluarga dari pihak laki-
laki datang dan „mencari‟ anak mereka yang baru diculik itu. Kehadiran mereka
ini pun juga adalah bagian dari startegi itu sendiri. Proses selanjutnya setelah
strategi ini berhasil adalah pembicaraan tentang kapan perkawinan secara adat
dan bagaimana pembelisannya. Perempuan dalam jenis pernikahan ini hanya
pasrah mengikuti kehendak orang tua dan keluarga besarnya.
Ailana Kalaki Lede sebenarnya suatu ritual adat untuk mensyahkan
perkawinan sedarah yang oleh masyarakat Sumba pada umumnya dan suku
Wewewa pada khususnya, merupakan perkawinan yang salah dan tidak diakui
dalam hukum adat perkawinan yang sebenarnya. Perkawinan bentuk ini
dikatakan salah, karena kedua calon mempelai sama-sama berasal dari kabissu
(klan, suku) yang sama. Hukum perkawinan pada masyarakat Wewewa tidak
mengijinkan menikahi sesama kabissu, karena hubungan darah dari kedua calon
mempelai masih sangat dekat. Hubungan darah yang dianggap paling berdekatan
dalam suku Wewewa yaitu saudara sepupu saperti anak saudara laki- laki dari
bapak atau anak saudari dari mama. Hubungan-hubungan seperti inilah yang
paling dilarang untuk tidak saling menikahi karena dianggap masih bersaudara
kandung. Dalam gereja pun hal seperti ini sangat dilarang untuk tidak saling
menikahi. Dengan demikian, ailana kalaki lede bertujuan untuk menyelamatkan
hubungan perkawinan antara dua orang yang berada dalam satu garis keturunan
suku yang sama, yaitu sama-sama berasal dari satu rahim suku dan memiliki
hukum adat yang mengikat secara menyeluruh. Jadi, jika orang yang hendak
menikah tetapi tidak pada rel perkawinan yang sebenarnya, maka pasangan
tersebut harus melakukan ritual adat ailana kalaki lede. Caranya adalah
perempuan yang bersangkutan dipindahkan ke suku pamannya (saudara dari ibu)
sendiri dan menjadi bagian dari keluarga paman, dia dijadikan berada di luar
sukunya sendiri, menjadi orang luar sehingga pernikahan yang dikatakan sedarah
itu tidak menjadi sedarah lagi. Dengan demikian hubungan di antara kedua orang
itu dapat diterima dan dianggap sah. Secara hukum adat pula perempuan itu sah
menjadi anak kandung pihak om dan dengan demikian pernikahan bisa
dilanjutkan. Hal seperti ini dalam adat sudah sangat sesuai karena telah
menghormati hukum adat yang berlaku di dalam kabissu (suku), namun tidak
untuk pandangan dan pemahaman dari agama- agama yang resmi.
Tetapi ailana kalaki lede hanya bisa dilaksanakan saat marapu
menginjinkan. Jika marapu tidak mengijinkan manusia siapa pun tidak boleh
berani membuat acara itu, sebab kalau tidak orang akan mendapat musibah. Jadi
harus dicari tahu dulu apakah ritual ailana kalaki lede itu bisa dibuat atau tidak.
Tetapi bagaimana bisa tahu itu kehendak marapu? "Yah harus dibuat dulu urata,
dan dari urata itu kita bisa diketahui kehendak marapu.”
Urata dalam arti ini diartikan sebagai sebuah ritual yang dibuat untuk
mencari tahu kehendak marapu, apakah marapu setuju atau tidak terhadap
sebuah kegiatan atau ritual adat yang hendak dilaksanakan. Mereka melihat
kehendak marapu itu di hati babi atau pada usus ayam. Dalam arti ini maka
kegiatan urata ini hanya bisa dibuat kalau ada hati babi atau usus ayam, atau bisa
juga dengan cara lain yang diterima. Dari hati babi atau usus ayam itulah mereka
bisa menemukan kehendak marapu. Jika rato adat (imam marapu) setelah
membuat urata, mengatakan marapu tidak menghendaki, maka terpaksa ailana
kalaki lede dibatalkan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hendak
menikah tadi akan dibatalkan juga. Jika kehendak marapu itu dilanggar maka
resiko besar akan melanda kehidupan orang yang melakukan perkawinan sedarah
itu.
Angu biasa diartikan dengan „kawin masuk‟. Artinya, karena laki-laki
belum sanggup membayar belis yang diminta oleh pihak perempuan, maka dia
untuk sementara harus menjadi bagian dari keluarga perempuan, dan tinggal di
rumah perempuan yang adalah istrinya itu, mengabdi pada keluarga dan orang
tua perempuan sampai ia melunasi atau mampu membayar belis yang dimintakan
oleh pihak perempuan. Ini bisa dimengerti karena konteks budaya Sumba adalah
budaya patriakal, di mana perempuan harus menjadi bagian dari keluarga laki-
laki setelah dibelis („dibeli‟). Angu ini bisa berlangsung lama, bisa juga
berlangsung singkat tergantung kemampuan laki-laki dan keluarga besarnya. Jadi
kawin masuk di sini dipahami dalam arti sementara.
Kako ndona adalah sebuah jenis pernikahan di mana perempuan yang „lari
ikut‟ atau datang sendiri ke rumah laki- laki, entah karena alasan apa, tetapi
biasanya karena orang tua perempuan tidak menyetujuinya. Rasa cinta yang
begitu mendalam antara seorang laki-laki dan perempuan, seringkali membuat
jenis pernikahan ini terjadi. Memang bisa dipahami dalam konteks orang Sumba
bahwa, perkawinan itu bukan saja urusan kedua insan yang hendak membangun
rumah tangga. Perkawinan dalam konteks orang Sumba adalah menyangkut,
melibatkan dan menjadi urusan orang tua, keluarga besar dan para leluhur.
Perkawinan jenis ini memang lebih rumit urusannya, karena di sana ada harga diri
yang dipertaruhkan. Dalam kaca mata orang Sumba, Suku Wewewa khususnya,
kalau seorang perempuan “lari ikut” laki- laki atau datang sendiri ke rumah laki-
laki dan mau menjadi istri dari laki-laki yang dicintainya, maka itu sama saja
sangat merendahkan keluarganya sendiri. Tetapi kalau proses komprominya
berjalan dengan baik, maka, proses selanjutnya menjadi seperti biasa.
BAB 3 PENUTUP

1.1 KESIMPULAN
Belis merupakan suatu kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh seorang
laki-laki Sumba, dimana dalam penentuan jumlah besaran belis harus
menitikberatkan pada pendidikan dan status sosial, serta pernikahan ibu si gadis.
Proses pembelisan ini tidak hanya melibatkan pihak laki-laki semata, pihak
perempuan pun memiliki andil untuk memberikan balasan belis sehingga terjalin
hubungan yang harmonis tanpa merasa ada pihak yang direndahkan. Proses
pemberian belis akan memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat Sumba,
dimana dampak tersebut akan berkaitan dengan keberlangsungan hidup
individunya seperti harga diri dalam keluarga serta keyakinan diri untuk melunasi
belis tersebut. Selanjutnya, bagi peneliti lain yang ingin mengetahui lebih lanjut
terkait dengan pengaruh yang timbul dari proses belis, diharapkan dapat menggali
dari sisi yang lain seperti relasi antar keluarga dan identitas sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. (2018). 5 Tradisi Ajaib Masyarakat Sumba. CNN Indonesia. Diakses Melalui
Https://Www.Cnnindonesia.Com/Gaya-Hidup/20180303194158- 269-280241/5-
Tradisi-Ajaib-Masyarakat-Sumba (Pada Tanggal 31 Oktober 2018).
Candra, I. W., Harini, I. G. A., & Sumirta, I. N. (2017). Psikologi; Landasan Keilmuwan
Praktek Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Andi. Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori
Kepribadian Buku 2, Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika. Hidayat, D. R. (2015). Teori
Dan Aplikasi Psikologi Kepribadian Dalam Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia. Hidayat,
K., & Bashori, K. (2016). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Muthmainnah, L., & Trisakti,
S. B. (2010). Ruang Privat Individu Dalam Sistem Kawin Mawin Masyarakat Sumba
Timur. Jurnal Filsafat, 20 (3). Kleden, D. (2017). Belis Dan Harga Seorang Perempuan
Sumba (Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT). Studi Budaya
Nusantara, 1 (1).
Kalembu, Hugo R. 2007. Pemekaran Sumba Barat Daya, Dari Jules Verne ke Momentum
Propinsi Pulau Bunga. Yayasan Sabana. Kapita, Oc.H. 1976. Masyarakat Sumba dan Adat
Istiadatnya. Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah sumba Dewan Penata
Layanan Gereja Kristen Sumba, Waingapu.1976. Sumba Di Dalam Jangkauan Jaman.
Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah sumba Dewan Penata Layanan
Gereja Kristen Sumba, Waingapu

Anda mungkin juga menyukai