Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara multikultural yang memiliki keragaman

budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama dan bahasa yang terbentang dari

Sabang sampai Merauke dan disetiap wilayah tersebut d ihuni oleh suku bangsa

yang berbeda-beda. Suku bangsa merupakan sekelompok masyarakat yang

memiliki kesamaan fisik, bahasa serta adat istiadat, dari beragamnya suku bangsa

yang ada di Indonesia maka setiap suku bangsa memiliki budaya sebagai ciri

khasnya.

Suku Batak merupakan salah satu etnis terbesar di Indonesia yang

memiliki 6 sub-etnis terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,

Batak Pak-Pak, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Batak dalam persepsi

kebudayaan dapat diartikan sebagai salah satu suku yang mendiami wilayah

geografis Sumatera Utara dan dapat dikatakan Batak dengan syarat mutlak

memiliki garis keturunan dari bapak atau yang sering disebut patrilineal.

Masyarakat Batak mengasosiasikan kata Batak dalam sehari-hari dengan sebutan

“orang Batak Toba” begitupun dengan sub-etnis Batak yang lain memilih

menggunakan nama bagian sub-etnisnya seperti Karo, Simalungun, Pak-Pak,

Angkola dan Mandailing.

Batak Mandailing adalah salah satu sub-etnis dari Suku Batak yang

mendiami wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas

dan Kota Padang Sidempuan. Dari kepadatan penduduk etnis Batak Mandailing

1
2

tersebut, terdapat sesepuh Batak Mandailing yang bertransmigrasi dari tanah

Mandailing Sumatera Utara ke provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu sesepuh

yang bernama Tuan Syeh Muhammad Basyir Nst yang diawalin dengan yang

membuka lahan permukiman di Gampong Alue Merbau Kota Langsa. Hal ini

menyebabkan berbondong-bondongnya masyarakat Batak Mandailing yang

berasal dari kampung luhur untuk bermukim di Gampong Alue Merbau Kota

Langsa.

Gampong Alue Merbau merupakan salah satu Gampong yang terdapat di

Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Gampong ini dihuni oleh etnis Batak Mandailing pada tahun 1828 dan dapat

dikatakan bahwa penduduk asli Gampong Alue Merbau Kota Langsa adalah etnis

Batak Mandailing. Sebagai ciri khas budaya Batak Mandailing dan sub-etnis

Batak lainnya memiliki budaya yaitu tidak boleh melakukan perkawinan satu

marga yang sudah diterapkan secara turun-temurun dari nenek moyang dan

apabila perkawinan ini dilanggar maka pasangan yang melakukan perkawinan

satu marga akan mendapakan hukuman dan sanksi adat dari masyarakat daerah

setempat. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang bukan hanya mengenai

perikatan perdata melainkan juga perikatan adat. Hukum adat perkawinan

merupakan hukum masyarakat yang tidak tertulis dalam bentuk per Undang-

Undangan Negara yang mengatur tata tertib perkawinan.

Hukum dan sanksi adat merupakan hukum asli yang dibuat dan disepakai

bersama oleh masyarakat adat Batak Mandailing yang dimana pada masa dahulu

hukum dan sanksi adat dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh aspek kehidupan
3

masyarakat adat. Hukum dan sanksi adat Batak Mandailing memiliki karakteristik

berbeda dengan hukum pidana yang merupakan warisan dari penjajah di wilayah

Indonesia dengan adanya perbedaan karakteristik maka diperlukannya

pemahaman yang mendalam ketika akan memberikan hukum dan sanksi adat.

Berkaitan dengan itu, ada tiga macam sistem perkawinan dalam adat Batak

Mandailing. Pertama, eksogami yaitu seorang laki-laki dilarang mengawini

perempuan yang memiliki marga yang sama dengan dirinya. Kedua, endogami

yaitu seorang laki-laki diharuskan mengawini perempuan dari lingkungan kerabat,

suku, klan dan family. Ketiga, eleuthrogami yaitu perkawinan yang tidak

mengenal larangan atau keharusan. Dalam adat Batak Mandailing menganut

sistem perkawinan eksogami yaitu seorang laki-laki dilarang mengawini

perempuan yang memiliki marga yang sama dengan dirinya. Masyarakat Batak

Mandailing melarang perkawinan satu marga terjadi dikarenakan dalam adat

perkawinan satu marga akan berdampak terhadap keturunannya dan perkawinan

satu marga merupakan perkawinan yang sangat ditentang untuk dilakukan

dikarenakan satu marga dapat dikatakan termasuk kedalam ikatan satu darah atau

bermakna saudara dan kerabat dekat (Yenti, 2019 : 4).

Sehubungan dengan itu, perkawinan satu marga dilarang karena

dikhawatirkan akan merusak silaturahmi dan hubungan kekeluargaan antara

kahanggi, anak boru, dan mora sehingga tujuan Dalihan Na Tolu tidak dapat

dicapai oleh keturunan serta akan merusak persaudaraan yang apabila di antara

laki-laki dan perempuan yang menikah semarga bercerai maka akan rusak

partuturannya. Karena disetiap hal apa yang dilakukan masyarakat adat Batak
4

Mandailing baik itu perkawinan, kematian, kelahiran selalu di ikat dengan

Dalihan Na Tolu (Tanjung, 2018 : 62).

Dalihan Na Tolu yaitu Kahanggi (teman semarga), anak boru


(pihak pengambil isteri) dan mora (pihak pemberi isteri). Dalihana na
tolu dianalogikan dengan tiga tungku yang biasanya batu yang dipakai
untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Jarak
ketiga tunggu adalah sama, sehingga ketiga nya dapat menyangga
dengan kokoh alat memasak di atasnya. Titik tumpu periuk atau kuali
berada pada ketiga tungku berada bersama-sama dan mendapat
tekanan berat yang sama. Periuk dapat diartikan sebagai beban
kewajiban bersama atau sebagai kerja bersama atau lazim yang di
sebut horja. Seluruh tatanan dalihan na tolu mendapat bagian dalam
horja. Karena hal itu, dalihan na tolu diartikan dengan tiga tungku,
menunjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga unsur
dalam dalihan na tolu (Hilda, 2016: 177).

Zainal dan Alam menyatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan basic

structure dalam adat Batak Mandailing yang sangat berdominan dalam

pelaksanaan prosesi adat. Nenek moyang di zaman dahulu selalu belajar

mengambil hikmah filosofis dari alam lingkungan mereka sendiri. Benda-benda

serta tumbuh- tumbuhan yang ada di sekeliling menjadi guru yang sangat

berharga dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu dan

kenyataannya dalam banyak hal masih dipakai dan dilestarikan sampai saat ini

(Hilda, 2016: 177).

Namun pada masa ini ada beberapa ditemukan pasangan yang melakukan

perkawinan satu marga yang berasal dari etnis Batak Mandailing, perkawinan ini

dilakukan karena adanya perbedaan boleh atau tidaknya perkawinan satu marga

dilakukan. Pada kesempatan kali ini, peneliti memfokuskan pada salah satu

Gampong yang terdapat di Kota Langsa, yaitu Gampong Alue Merbau Kota

Langsa.
5

1.2. Rumusan Masalah

Hal yang menarik untuk diteliti dan dikaji karena hukum adat menjadi

hakikat yang kuat bagi masyarakat Batak Mandailing. Dari ini dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang sejarah munculnya perkawinan satu marga etnis

Batak Mandailing pada masyarakat Gampong Alue Merbau Kota Langsa?

2. Bagaimana hukum dan sanksi adat perkawinan satu marga etnis Batak

Mandailing di Gampong Alue Merbau Kota Langsa?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah munculnya perkawinan satu marga

etnis Batak Mandailing pada masyarakat Gampong Alue Merbau Kota

Langsa.

2. Untuk mengetahui hukum dan sanksi adat terhadap perkawinan satu marga

etnis Batak Mandailing di Gampong Alue Merbau Kota Langsa.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan bagi peneliti lain

untuk dapat dikembangkan dikemudian hari serta dapat memberikan masukan

bagi perkembangan penelitian-penelitian sejenis tentang perkawinan satu

marga etnis Batak Mandailing.


6

2. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan

memberikan informasi tentang perkawinan satu marga etnis Batak

Mandailing.

b. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat

Gampong Alue Merbau agar lebih memperhatikan terhadap kelestarian

budaya yang ada di Gampong Alue Merbau Kota Langsa sebagai warisan

salah satu ciri khas dari etnis Batak Mandiling.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terkhususnya bagi

perpustakaan Kota Langsa dalam memberikan referensi mengenai perkawinan

satu marga etnis Batak Mandailing sehingga hasil penelitian ini dapat

diketahui oleh masyarakat luas dari berbagai etnis.

Anda mungkin juga menyukai