Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

KONSEKUENSI PERNIKAHAN SEMARGA DALAM HUKUM ADAT


BATAK TOBA

Dosen pengampu:

Surahmad, SH., MH

Disusun oleh:
Ruth Yohana Gebiola Manik (1910611248)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2020
Latar Belakang

Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman bagi sebagian
besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di
kota maupun di desa. Hukum Adat tumbuh dan berkembang nyata dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, baik dalam cara hidup maupun sudut pandang secara keseluruhan
masyarakat sesuai dengan tempat dan yang kepercayaan yang mereka percayai. Tidak
hanya mengatur tentang sanksi, Hukum Adat juga mengatur tentang kebiasaan atau tata cara
hidup masyarakat adatnya seperti tentang atutan moral kesusilaan, hak waris, hingga pada
perkawinan.
Indonesia adalah Negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku dan budaya dari
ujung Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua. Suku Batak yang terdapat di bagian utara
pulau Sumatera adalah salah satu suku dari Indonesia yang cukup terkenal karena berbagai
keunikan yang dimilikinya, antara lain tarian, lagu daerah, makanan daerah, dan acara-acara
adat seperti pernikahan adat. Suku Batak terdiri dari 6 sub-suku, antara lain : Batak Toba
berada di sekitar Danau Toba, Batak Karo di sekitar Kabanjahe (kabupaten karo), Batak
Simalungun disekitar Simalungun (kabupaten simalungun) atau Pematang Siantar, Batak
Pak-Pak di sekitar Sidikalang, Batak Angkola di sekitar daerah Angkola dan Batak Mandailing
yang tinggal di sekitar Tapanuli Selatan.
Menurut KBBI, pernikahan adalah hal (perbuatan) bernikah, atau upacara bernikah.
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba merupakan perkawinan antar Marga. Proses
perkawinan Eksogami (perkawinan di luar kelompok Marga) menjadi ciri khas proses
perkawinan masyarakat Batak Toba sehingga masyarakat Batak Toba sangat melarang keras
adanya pernikahan semarga sebab pernikahan semarga (Namariboto) dianggap sebagai
pernikahan sedarah (Incest).1
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan perkawinan dalam
hukum adat Batak Toba serta konsekuensi dari pelanggaran aturan tersebut (pernikahan
semarga yang dianggap incest). Berdasarkan indikasi dan latar belakang yang telah diuraikan
maka mendorong penulis untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana pandangan hukum adat
Batak Toba dalam mengatur soal pernikahan/perkawinan masyarakat adat di daerah tersebut,
terkhusus mengenai pernikahan semarga, dengan judul “KONSEKUENSI PERNIKAHAN
SEMARGA DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA”.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, adalah:
1. Bagaimana pengaturan perkawinan dalam hukum Adat Batak Toba?
2. Bagaimana konsekuensi dari pernikahan semarga dalam Hukum Adat Batak Toba?

Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dalam penulisan ini, adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan perkawinan dalam Hukum Adat Batak Toba
2. Untuk konsekuensi dari pernikahan semarga dalam Hukum Adat Batak Toba

1
David Adrian H Siahaan, “Akibat Perkawinan Semarga dalam Hukum Adat Batak Toba”.
Novum: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 3, Juli 2016, hal. 2.
Pembahasan

1. Pengaturan Perkawinan dalam Hukum Adat Batak Toba

Pada hakikatnya pernikahan Batak Toba bersifat patrilineal. Tujuannya ialah


melestarikan marga suami di dalam garis keturunan. Menurut peraturan hukum keluarga,
seorang laki-laki yang akan membawa garis keturunan dalam silsilah Batak Toba.2
Perkawinan semarga adalah perkawinan yang dilakukan dengan kelompok marga yang
sama. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah atau bersifat patrilineal, maka
perkawinan semarga sangat dilarang keras oleh masyarakat Batak Toba.3.
Hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba mengatur tentang peranan Dalihan
Natolu. Peranan Dalihan Natolu ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat adat Batak Toba. Dalam suatu perkawinan
yang sah, Dalihan Natolu telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci
mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan istri, antara orang tua dengan
saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak pengantin, maupun dengan boru (anak
perempuan) serta hula-hula (Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita,
kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung (kakek/nenek), dan beberapa
generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri
saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu/teman semarga) dari masing-masing
pihak.
Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu
adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam
berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar
dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama
dan harmonis. Hal ini memiliki arti filosofis bahwa ketiga hukum ini memiliki nilai yang sama
rata dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dalihan natolu seperti yang
telah disebutkan diatas adalah sebagai berikut :

1. Somba Marhulahula atau hormat akan pihak keluarga istri


2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang
tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.
3. Manat mardongan tubu/sabutuha/teman semarga, suatu sikap berhati-hati terhadap
sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–
hati dengan teman semarga.

Pada setiap acara adat istiadat masyarakat Batak toba memiliki peran masing-masing
sesuai dengan posisinya dalam Dalihan Na Tolu, sebagai Hula-Hula, Dongan Tubu dan Boru.
Di dalam struktur sosial Dalihan Na Tolu mengatur tata cara dalam berperilaku masyarakat
Batak Toba, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai acara-acara adat seperti acara kematian,
acara kelahiran, memasuki rumah baru, acara perkawinan, dan sebagainya. Keberadaan tiap
peran dalam Dalihan Na Tolu akan menjadi tumpang tindih bila pihak perempuan dan pihak
laki-laki bermarga sama sehingga tidak bisa menentukan mana pihak Parboru (pihak

2
Yuditha Sari Aritonang, tesis: “KESADARAN HUKUM WARGA NEGARA (STUDI KASUS
PERKAWINAN SEMARGA SUKU BATAK TOBA DI DESA SIMATUPANG KECAMATAN MUARA
KABUPATEN TAPANULI UTARA)” (Bandung : UPI, 2019), Hal. Vi.
3
Fauyiani Daihanty Purba dkk, “Penyelesaian Perkawinan Semarga Menurut Hukum Adat
Batak Toba”, Pactum Law Journal, Vol 2 No. 02, Januari – Maret 2019, hal. 667.
perempuan) dan pihak Paranak (pihak laki-laki) pada setiap acara adat yang ada termasuk
acara adat perkawinan.4

Dalihan natolu merupakan fundamen norma/dasar hukum dalam masyarakat adat


suku batak yang sudah dilestarikan dari generasi ke generasi hingga sekarang. Adapun dalam
sistem kekerabatan marga atau klan dalam Batak Toba juga mengenal istilah rumpun marga
dan istilah marpadan (bersumpah/mengikat janji sedarah, adalah tradisi persatuan marga
yang diwariskan leluhur. Ini merupakan ikrar atau janji bahwa mereka bersaudara dan
mengharamkan pernikahan antara keturunan kedua belah pihak). Marga yang merupakan
satu rumpun pun tidak boleh kawin/menikah. Contohnya, rumpun marga Parna yang terdiri
dari 83 marga Batak. Berikut adalah marga-marga tersbut :
1. Bancin
2. Banuarea/Banurea
1. Berampu/Brampu
2. Barasa/Brasa
3. Baringin/Bringin
4. Beruh (Kutacane)
5. Biru
6. Boangmanalu
7. Capah
8. Dajawak
9. Dalimunthe
10. Damunthe
11. Dasalak
12. Gajah
13. Ginting Beras
14. Ginting Bukit
15. Ginting Capa
16. Ginting Garamata
17. Ginting Ajar Tambun
18. Ginting Baho
19. Ginting Guru Patih
20. Ginting Jadi Bata
21. Ginting Jawak
22. Ginting Manik
23. Ginting Munthe
24. Ginting Pase
25. Ginting Sugihen
26. Ginting Sinisuka
27. Ginting Tumangger
28. Garingging
29. Haro
30. Hubu
31. Hobun 34. Manihuruk
32. Kombih (Singkil) 35. Manik Kacupak
33. Maharaja 36. Munthe

4
David Adrian H Siahaan, “Akibat Perkawinan Semarga dalam Hukum Adat Batak Toba”.
Novum: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 3, Juli 2016, hal. 4.
37. Nadeak 78. Tinambunan/Tinambunen
38. Nahampun/Anak Ampun 79. Tumanggor/Tumangger
39. Napitu 80. Turnip
40. Pinayungan/Pinayungen 81. Turutan/Turuten.5
41. Pasi
42. Rumahorbo
43. Saing
44. Sampun
45. Saraan
46. Saragi
47. Saragih Dajawak
48. Saragih Damunthe
49. Siadari
50. Siallagan
51. Siambaton
52. Sidabalok
53. Sidabungke
54. Sidabutar
55. Sidauruk
56. Sigalingging
57. Sijabat
58. Sikedang (Kutacane)
59. Simalango
60. Simarmata
61. Simbolon Altong Nabegu
62. Simbolon Hapotan
63. Simbolon Juara Bulan
64. Simbolon Pande Sahata
65. Simbolon Panihai
66. Simbolon Suhut Nihuta
67. Simbolon Tuan
68. Simbolon Sirimbang
69. Sitanggang Bau
70. Sitanggang Gusar
71. Sitanggang Lipan
72. Sitanggang Silo
73. Sitanggang Upar Parangin Nawalu
74. Sitio
75. Sumbayak
76. Tamba
77. Tendang

5
Kardoman Tumangger. “Inilah ke 83 ngger/550ff12ca333117c39ba7e25/inilah-ke-
Marga Parna (Pomparanni Ni Raja Nai 83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-
Ambaton), ambaton?page=2, diakses pada 1 November
(https://www.kompasiana.com/kardoman.tuma 2020, 22:00)
Maka dari semua marga yang ada dalam rumpun marga Parna tersebut tidak boleh
melakukan perkawinan. Begitu pula dengan marga-marga yang melakukan perjanjian atau
padan pada zaman dahulu, seperti:

1. Hutabarat - Silaban Sitio


2. Manullang - Panjaitan
3. Sinambela – Panjaitan
4. Sibuea – Panjaitan
5. Sitorus – Hutajulu
6. Sitorus Pane – Nababan
7. Naibaho – Lumbantoruan
8. Silalahi – Tampubolon
9. Sihotang - Toga Marbun
10. Manalu – Banjarnahor
11. Simanungkalit – Banjarnahor
12. Simamora Debataraja – Manurung
13. Simamora Debataraja – Lumbangaol
14. Nainggolan – Siregar
15. Tampubolon – Sitompul
16. Pangaribuan – Hutapea
17. Purba – Lumbanbatu
18. Pasaribu – Damanik
19. Sinaga Bonor Suhutnihuta - Situmorang Suhutnihuta
20. Sinaga Bonor Suhutnihuta - Pandeangan Suhutnihuta6

Larangan perkawinan semarga sudah turun temurun di taati sebelum datangnya Islam
ke tanah Batak, dan sampai saat ini masyarakat Batak masih mempertahankan warisan dari
nenek moyang terdahulu.7 Dalam perkawinan adat Batak Toba, aturan mengenai larangan
perkawinan semarga harus ditaati, dan apabila aturan tersebut dilanggar/diabaikan maka
akan muncul konsekuensi hukum adat yang harus diterima bagi siapa saja yang melanggar
peraturan tersebut.

1. Konsekuensi Dari Perkawinan Semarga dalam Hukum Adat Batak Toba

Seiring berkembangnya zaman yang mengubah banyak pola pikir manusia, juga
menyebabkan tradisi adat semakin terkikis, Contohnya terhadap larangan pernikahan
semarga dalam suku adat Batak Toba. Dewasa ini, tidak sedikit masyarakat yang
mengabaikan aturan adat tersebut dan berpatokan pada hukum nasional yaitu undang-
undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang tidak mengatur tentang pernikahan
semarga ini. Namun, kedudukan hukum adat di Indonesia tetap berlaku sesuai dengan pasal
18B ayat (2) UUD NRI tahun 1945, yang mana hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
hukum adatlah yang didahulukan sebelum undang-undang No.1 tahun 1974 ini.

6
Toba Lover, “Ini Marga-marga Batak yang Marpadan, Dilarang Saling Menikahi”
(https://sopo-toba.blogspot.com/2017/04/ini-marga-marga-batak-yang-marpadan.html, diakses pada 1
November 2020, 22:15)
7
Muslim Pohan , ‘’Perkawinan Semarga Masyarakat Batak Mandailing-Migran di Yogyakarta’’
(Jurnal Al-Ahwal, Vol. 10 No. 2, 2017), Hal 135.
Dalam hukum Adat Batak Toba, apabila pernikahan semarga terjadi, maka pihak yang
bersangkutan akan mendapat konsekuensi atau sanksi. Di zaman dahulu menurut patik dohot
uhum (peraturan dan hukum), seseorang yang kawin dengan putri atau putra semarganya
hukumannya dibakar hidup-hidup atau ditenggelamkan ke dalam air. Hal ini dikarenakan
masyarakat adat Batak Toba memiliki kepercayaan bahwasanya jika terjadi perkawinan
semarga akan mengakibatkan malapetaka dari para leluhur pada desa atau kampung
mereka. 8

Selain itu, ada juga yang berupaya melakukan cerai paksa. Ketika kedua pasangan
yang melakukan perkawinan semarga itu akan diparsirang atau akan dicerai paksa, maka
proses yang akan dilakukan adalah secara kekeluargaan dengan mengumpulkan seluruh
keluarga besar dari kedua belah pihak yang semarga beserta tokoh Adatnya untuk melakukan
proses tersebut. Lalu diasingkan, dulu ada hukuman atau sanksi ini bagi mereka yang
melakukan perkawinan semarga yaitu diasingkan dari kampung mereka atau juga diusir dari
tempat tinggalnya. Ketika mereka sudah diasingkan atau diusir dari kampungnya, maka
dirumah adat diberi gambar pahabang manuk na botar (ayam putih). Maksud dari gambar
tersebut adalah walaupun mereka diasingkan atau diusir dari kampungnya, mereka akan
tetap diberikan bekal dan diberi nasehat agar suatu saat mereka bisa menyadari
kesalahannya dan ini hanya merupakan hukuman atau sanksi adat. Dan juga maksud dari
mengapa ayam putih menjadi simbolnya, karena walaupun mereka diasingkan ditempat gelap
sekalipun mereka akan tetap kelihatan.9

2. Contoh Kasus dan Penyelesaiannya

Apabila terjadi pernikahan semarga yang dikarenakan adanya cerita asal-usul marga-
marga tersebut dilarang melakukan perkawinan. Seperti asal-usul Nainggolan dan Siregar
dianggap Semarga karena dulunya marga Nainggolan memiliki keturunan yaitu hanya anak
laki-laki berlainan dengan siregar hanya memiliki anak perempuan saja sehingga kedua
nenek moyang Nainggolan dan Siregar melakukan pertukaran anak untuk melengkapi anak
mereka masing-masing dan berjanji mulai dari saat itu dan seterusnya mereka adalah saudara
dan dilarang melakukan perkawinan diantara kedua marga tersebut. Larangan diatas
merupakan bentuk perkawinan marpadan yaitu perkawinan yang terjadi anatara marga-marga
yang telah mengikat janji untuk tidak saling menikah.10 Maka penyelesaian yang dilakukan
adalah Mencabut larangan perkawinan.

Penyelesaian yang dilakukan adalah dengan semacam upacara, dimana para kepala
adat dan tetua marga atau puak marga yang bersangkutan terlebih dahulu diundang makan
oleh kerabat pihak laki-laki dan pihak perempuan, dan untuk itu acara seperti itu paling tidak
harus menyembelih seekor kerbau. Setelah acara makan selesai, kemudian dibuka
pembicaraan untuk menentukan hukuman (parpauli ni sala). Para kepala adat dan tetua
marga harus menentukan, apakah ikatan itu dianggap sah menurut hukum adat atau tidak,

8
Debora Maria Paramita Pasaribu, “Perkembangan Sistem Perkawinan Adat Batak Toba di
Kota Medan”. Diponegoro Law Journal, Vo;. 6 No. 2, 2017, Hal. 6.
9
David Adrian H Siahaan, “Akibat Perkawinan Semarga dalam Hukum Adat Batak Toba”.
Novum: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 3, Juli 2016, hal. 7.
10
Fauyiani Daihanty Purba dkk, “Penyelesaian Perkawinan Semarga Menurut Hukum Adat
Batak Toba”, Pactum Law Journal, Vol 2 No. 02, Januari – Maret 2019, hal. 670.
dan apakah itu akan dianggap sebagai langkah pertama untuk mencabut larangan (disetujui
oleh para kepala adat pada suatu jamuan makan).

Jika memang diperlukan maka akan diambil keputusan apakah pelaku yang
melakukan perkawinan Semarga tersebut dianggap sebagai marga terpisah. Dalam
persoalan seperti ini, hubungan dan pendapat para tetua adat akan menentukan kelompok
mana yang berhak ikut didalam pembicaraan, apakah pembicaraan itu akan terbatas hanya
untuk marga atau cabang marga yang bersangkutan, atau marga lain dari kelompok yang
tinggal berdekatan atau juga yang ditempat-tempat lain juga diperbolehkan ikut dalam
pembicaraan itu. Dalam pertemuan tersebut para kepala adat dan tetua marga membuat
suatu kesepakatan, antara lain yaitu :

a) Pengumuman. Setelah kepala adat dan tetua marga membuat suatu kesepakatan,
apabila larangan tersebut dicabut maka yang pertama yang harus dilakukan keluarga
terdekat dari pasangan perkawinan Semarga ialah mengumumkan hubungan
kekeluargaan yang baru yaitu hubungan yang tadinya sebagai dongan sekarang
sudah menjadi Tondong. Tanda persetujuan baru itu akan berbentuk ulos yang
diserahkan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dan kerabatnya, dan
kemudian pihak laki-laki akan memberikan piso pertama.
b) Melaksanakan Adat Na Gok/Mangadati. Setelah proses pemberian diatas dilakukan,
maka selanjutmya kedua pihak akan mendiskusikan terkait pelaksaan adat na gok
atau Mangadati. Dimana nanti dengan acara Mangadati ini, pelaku perkawinan
Semarga akan memberikan makan semua masyarakat kampung dan diharuskan
menyembelih seekor kerbau, karena hal tersebut adalah peristiwa besar. Apabila
Mangadati sudah dilakukan maka hak dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat
adat akan diberikan dan mereka dapat bergabung dengan kelompok marga baik
marga laki-laki dan marga perempuan.11

Menurut apa yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diketahui bagaimana peraturan/hukum
yang berlaku dalam lingkup suku adat Batak Toba, akibat hukumnya dan bagaimana cara
penyelesaian pernikahan semarga.

Secara hukum, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan oleh sepasang laki-laki
dan perempuan yang didampingi wali dan adanya saksi ketika melakukan janji
perkawinan/akad nikah. Setiap perkawinan umumnya harus didaftarkan dan dicatat dalam
lembaga negara sehingga perkawinan tersebut sah secara hukum tanpa mengkaitkan dengan
acara adat yang dianut oleh pasangan perkawinan tersebut. Sama halnya dengan perkawinan
Semarga, hal ini tetap dianggap sah karena sebelum melakukan acara adat mereka sudah
terlebih dahulu melakukan pemberkatan ataupun akad nikah.

Meskipun perkawinan Semarga sah secara hukum, namun dalam masyarakat adat
Batak Toba suatu perkawinan dianggap sah apabila diikuti dengan pelaksanaan acara adat
atau Mangadati sebagai syarat sah perkawinan. Perkawinan Semarga adalah suatu
pelanggaran atas nilai-nilai adat sehingga perkawinan Semarga sangat ditentang dalam
masyarakat adat Batak Toba, dan juga terdapat sanksi yang berlaku apabila peraturan adat
ini dilanggar oleh lingkup masyarakat adat Batak Toba.

11
Fauyiani Daihanty Purba dkk, “Penyelesaian Perkawinan Semarga Menurut Hukum Adat
Batak Toba”, Pactum Law Journal, Vol 2 No. 02, Januari – Maret 2019, hal. 673.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah mengenai perkawinan semarga dalam Suku Adat
Batak Toba, maka penulis menarik kesimpulan bahwa perkawinan/pernikahan dalam Suku
Adat Batak Toba harus memperhatikan silsilah/tarombo marga dari kedua belah pihak terlebih
dahulu agar masing-masing pihak mengetahui tata cara berperilaku di masyarakat Batak
Toba. Apabila perkawinan/pernikahan semarga ini terjadi, perkawinan/pernikahan tetap sah
di mata hukum nasional (berdasarkan undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan) namun tidak sah dalam mata Hukum Adat Suku Batak Toba dan mengakibatkan
pihak yang terkait tidak ada hak untuk bergabung dalam upacara adat apapun

DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Yuditha Sari. 2019. tesis: “Kesadaran Hukum Warga Negara (Studi Kasus
Perkawinan Semarga Suku Batak Toba di Desa Simatupang Kecamatan Muara Kabupaten
Tapanuli Utara)”. Departemen Pendidikan Kewarganegaraan. Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung.

Kompasiana. (18 April 2012). Inilah ke 83 Marga Parna (Pomparanni Ni Raja Nai Ambaton).
Diakses pada 1 November 2020, dari
https://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/550ff12ca333117c39ba7e25/inilah-ke-
83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton?page=2.

Pasaribu, Debora Maria Paramita. 2017. “Perkembangan Sistem Perkawinan Adat Batak
Toba di Kota Medan”. Diponegoro Law Journal, Vo;. 6 No. 2. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Purba, Fauyiani Daihanty, dkk. 2019. “Penyelesaian Perkawinan Semarga Menurut Hukum
Adat Batak Toba”, Pactum Law Journal, Vol 2 No. 02. Medan: Pactum Law Journal.

Siahaan, David Adrian H. 2016. “Akibat Perkawinan Semarga dalam Hukum Adat Batak
Toba”. Novum: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 3. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Pohan, Muslim, ‘’Perkawinan Semarga Masyarakat Batak Mandailing-Migran di Yogyakarta’’


Jurnal Al-Ahwal, Vol. 10 No. 2, Yogyakarta, Hal 135.

Sopo toba. (2016). Ini Marga-marga Batak yang Marpadan, Dilarang Saling Menikahi.
Diakses pada 1 November 2020, dari https://sopo-toba.blogspot.com/2017/04/ini-marga-
marga-batak-yang-marpadan.html.

Anda mungkin juga menyukai