Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ILMU BUDAYA DASAR


Tentang
Rumah Adat Batak dan Kebudayaan
Masyarakat Batak

Oleh
Nomi Kusuma Wardana
05111031
Aden Rizki
05111001
Luthfi Kusmanto

05111025

Naviela

05111050
Dosen
Dr.Ir.Indah Sulistyawati, MT
Ir. Yan Agustina, MT
JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN


Universitas Trisakti-Teknik Sipil

UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk
yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan.
Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat
dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri
bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang
menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan.
Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya
masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan
masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di karenakan
setiap masyarakat / suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda
dengan suku liannya.
Masyarakat Batak, adalah salah satu masyarakat Indonesia yang
berada di kawasan Sumatra. Setiap masyarakat pastilah memiliki
kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang menjadi
penanda keberadaan suatu masyarakat / suku. Begitu juga dengan
masyarakat Batak yang memiliki karekteristik kebudayaan yang
berbeda.
Keunikan
kebudayaan

kharakteristik

yang

mereka

suku

miliki

Batak

baik

dari

ini

tercermin

segi

agama,

dari
mata

pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Adat-istiadat seperti


upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian, norma, dan
kebiasaan-kebiasaan juga merupakan jati diri suku bangsa Batak, yang
membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa lain.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

Suku Batak dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu


hal yang menarik untuk dipelajari dalam bidang kajian mata kuliah
Pluralitas dan Integritas Nasional yang pada akhirnya akan menjadi
bekal ilmu pengetahuan bagi kita dalam hal kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penulisan dan pemahaman makalah
ini, maka penulis merumuskan beberapa hal yang bersangkutan
dengan kebudayaan masyarakat Batak, yaitu :
i.
ii.

Bagaimanakah keadaan kebudayaan masyarakat Batak ?


Bagaimanakah masalah sosial yang ada dalam masyarakat
Batak?

iii.

Bagaimanakah sistem interaksi dalam masyarakat Batak ?

iv.

Bagaimanakah keadaan agama dalam masyarakat Batak ?

v.

Bagaimanakah keadaan ekonomi dalam masyarakat Batak ?


C. TUJUAN MAKALAH

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :


I.

Agar pembaca dapat mengetahui kebudayaan


masyarakat Batak.

II.

Agar pembaca dapat memahami salah satu bentuk


masalah sosial yang ada dalam masyarakat Batak.

III.

Agar pembaca dapat menelaah sistem interaksi dalam


kehidupan keseharian masyarakat Batak.

IV.

Agar pembaca mengetahui bagaiman kehidupan


beragama masyarakat Batak.

V.

Agar pembaca mengetahui bagaiman kehidupan


ekonomi masyarakat Batak.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

BAB II
PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI
Suku / masyarakat Batak hidup di kawasan Sumatra Utara.
Sebagian masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah masyarakat
Batak. Suku Batak pertama sekali mendiami daerah karo dan kawasan
danau Toba.
Sebagai bagian dari sejarah bangsa, budaya Batak sudah ada
sejak

berabad-abad

tahun

yang

lalu.

Dimulai

dari

kerajaan

Sisingamangaraja yang pertama (kakek buyut Raja Sisingamangaraja


XII, pahlawan nasional Indonesia), suku Batak tetap eksis sampai saat
ini dengan tetap mempertahankan identitasnya. Pewaris kebudayaan
Batak tetap menjaga, memelihara serta melestarikan Budaya Batak
sebagai kebudayaan warisan nenek moyang. Budaya Batak yang
bersifat kekeluargaan, gotong royong dan setia kawan telah mengakar
disetiap langkah hidup orang Batak. Budaya Batak sudah menjadi
falsafah hidup bagi warganya ditengah era globalisasi dewasa ini.
Identitas kesukubangsaan merupakan internalisasi nilai yang
diwariskan oleh orang tua secara informal kepada setiap anak sejak
dari kecil untuk membangun eksistensi ke-Batakan-nya (habatahon),
yang kelak dapat merupakan jalan, wahana, dan alat memasuki tujuan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

hidup suku bangsa Batak. Dengan demikian, identitas budaya ini


disebut sebagai nilai instrumental (instrumental values). Visi suatu
suku bangsa adalah tujuan hidup suatu kolektif, dalam hal ini tujuan
suku bangsa Batak, yang merupakan tujuan akhir yang diidamidamkan masyarakat. Dengan demikian, visi tujuan hidup ini disebut
sebagai nilai terminal (terminal values). Pedoman interaksi merupakan
landasan

interaksi

kedudukan,

hak,

masyarakat,
dan

yang

kewajiban

berfungsi

masyarakat,

menentukan

mengatur

serta

mengendalikan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosial


sehari-hari, dan menjadi dasar demokrasi untuk penyelesaian masalah
terutama secara musyawarah dan mufakat dalam masyarakat Batak
Toba.

B. INTERAKSI SOSIAL DALAM MASYARAKAT BATAK


Sistem interaksi pada masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu
Tungku Nan Tiga, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga),
boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam
interaksinya, setiap orang akan memiliki sikap berperilaku yang
berbeda pada masing-masing pihak itu. Orang akan manat mardongan
tubu hati-hati pada teman semarga, elek marboru membujuk pada
pihak penerima istri , dan somba marhula-hula hormat pada pihak
pemberi istri. Jelas bahwa nilai interaksional ini hanya bisa dipahami,
bahkan dijelaskan, setelah memiliki dan memahami nilai identitas.
Visi orang Batak sangat jelas, yakni ingin memiliki HagabeonHamoraon-Hasangapon.

Istilah

hagabeon

berarti

mempunyai

keturunan terutama anak laki-laki, hamoraon berarti kekayaan atau


kesejahteraan , dan hasangapon berarti kehormatan. Hamoraon dan
hagabeon sangat jelas indikatornya, tetapi hasangapon agak abstrak:
hasangapon

adalah

hagabeon

plus

hamoraon.

Untuk

mencapai

hagabeon, orang harus menikah; untuk mencapai hamoraon, orang

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

harus mandiri, kerja keras, gotong royong, dan berpendidikan, yang


kesemuanya membuat orang dapat mencapai hasangapon. Oleh
karena hagabeon-hamoraon-hasangapon itu merupakan visi dan tujuan
kehidupan orang Batak, maka itulah yang disebut dengan nilai
terminal.
Akhirnya, nilai utama Budaya Batak, yakni identitas sebagai
instrumental values, sistem interaksi sebagai interactional values, dan
visi sebagai terminal values dapat difungsikan dan diwariskan dalam
pembentukan sumber daya manusia untuk mencapai keberhasilan
pembangunan

suku

bangsa

Batak.

Pewarisan,

internalisasi,

dan

resosialisasi nilai-nilai budaya di atas sejak dini kepada masyarakat


Batak akan menciptakan sumber daya manusia yang betul-betul
menjadi human capital terutama di daerah bonapasogit.
Manusia sebagai sosok dan tokoh selalu menarik diperbincangkan dari
aneka sudut pandang. Perbincangan akan lebih menarik bila sosok dan
ketokohan seseorang relevan dan kontributif bagi pengembangan
sumber daya generasi muda. Sosok dan tokoh yang menyejarah dapat
menjadi acuan untuk membangun sikap dan semangat patriotisme.
Manusia dalam konteks budaya adalah individu yang mampu berperan
sebagai

penggagas,

terakumulasi

dan

pelaku,

dan

termanifestasi

penghasil.
dalam

Ketiga

prestasi

peran

ini

(achievement).

Gagasan, tindakan dan kinerja manusia yang berlandaskan pada


prestasi gemilang sampai kapanpun akan menjadi idaman dan sumber
inspirasi bagi tiap-tiap individu. McClelland, (1987) berkata bahwa ada
tiga motif sosial yang dapat membuat orang berhasil, yakni motif
berprestasi (the achievement motive), motif berkuasa (the power
motive), dan motif persahabatan (the affiliation motive). Ketiga motif
sosial itu ternyata ditentukan oleh lingkungan budayanya. Tanpa
sistem marga Dalihan Na Tolu, sukubangsa Batak sudah lama lenyap
oleh kemajuan zaman.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

Suku bangsa yan terdapat dala masyarakat Batak ialah Karo, Toba, dan
simalungun. Dari suku bagsa ini terdiri dari beberapa marga dan sub
marga.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur
dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak
Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu
menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) Somba Marhula-hula Manat Mardongan
Tubu Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) Hormat Marmora Manat
Markahanggi Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) Martondong Ningon Hormat,
Sombah Marsanina Ningon Pakkei, Manat Marboru Ningon Elek,
Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) Nembah Man Kalimbubu Mehamat Man
Sembuyak Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) Sembah Merkula-kula Manat Merdengan
Tubuh Elek Marberru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini


menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan
adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada
semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula
(Somba marhula-hula).

Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah


saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut
yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling
berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat


hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air
yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu.
Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak)
dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri


dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara
adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti
bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru
harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak.


Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai
konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula,
juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga

dalam

tata

kekerabatan,

semua

orang

Batak

harus

berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti


orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai
dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam
setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no
Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

C. MATA PENCAHARIAN HIDUP


Sebagian masyarakat batak bercocok tanam di irigasi dan ladang.
Orang batak untuk sebagian besar, masih mengarap tanahnya
menurut adat kuno. Diladang atau disawa-sawah, padi hanya di tanam

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

dan di panen sekali setahun. Dalam bercocok tanam orang batak selalu
bergoto royong baik saat bertanam maupun saat panen tiba.
Di smping bercocok tanam, pertenakan juga merupakan suatu
mata pencaharian yang penting bagi orang batak umumnya. Hewan
yang biasa diternakan ialah kerbau, babi, bebek, ayam, dan kambing
Di daerah pinggiran danau toba, biasanya masyarakat Batak
menagkap ikan dengan perahu lesung. Penangkapn ikan dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu, seperti bulan Juni sampai Agustus. Hasil
tangkapan ikan di jual kepasar.
D. RELIGI
Tanah batak dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti Islam dan
Protestan. Agama ini masuk pada Abad ke-19. Masyarakat Batak pada
umumnya beragama kristen dan hanya sedikit yang memeluk agama
Islam. Walaupun demikian masyarakat perdesaan suku Batak tetap
memepertahankan agama aslinya.
Orang batak percaya bahwa, yang menciptakan alam semesta ini
adalah debata (ompung) mulajadi na bolon. Dia tinggal diatas langit
dan mempunyai nama-nama seseui tugasnya.
Suku batak memiliki tiga konsep dalam masalah roh, tondi,
sahala, dan begu. Tondi adalah jiwa orang itu sendiri dan sekaligus juga
merupakan kekeuatan. Sahala ialah jiwa kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang yang di dapati melalui pembelajaran. Begu ialah tondinya
orang yang meninggal.

E. MASALAH PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI


Hingga sekarang ditengah ditengah perubahan dimensi ruang dan
dimensi waktu, pola kebudayaan Dalihan Na Tolu masih bertahan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

mengikuti zaman. Walaupun begitu derasnya arus globalisasi namun


kebudayaan Batak Dalihan Na Tolu masih tetap dijaga secara turuntemurun dan tidak terpengaruh budaya asing.
Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya perkembangan
teknologi, globalisasi dan era informasi yang pesat membawa dampak
bagi perkembangan budaya Batak juga. Dari berbagai identitas budaya
yang telah diwariskan turun-temurun, ada yang harus disesuaikan
dengan kondisi yang terjadi sekarang. Penyesuaian tersebut dilakukan
karena tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Salah satu contohnya adalah dalam hal sistem pembagian harta
warisan. Hukum adat Batak yang patrilineal tidak mengakui adanya
pembagian harta warisan bagi anak perempuan. Semua warisan dari
orangtua diberikan pada anak laki-lakinya yang esensial sebagai
penyambung keturunan menurut garis bapak. Namun dewasa ini
sistem hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak dalam hak
warisan bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini
berkaitan dengan unifikasi hukum nasional buat seluruh warga negara
Indonesia, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama dalam pembagian warisan. Oleh sebab itu hukum adat Batak
tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki-laki dan perempuan adalah
sama dalam pembagian warisan.
Walau terjadi unifikasi hukum nasional buat seluruh masyarakat
Indonesia, namun budaya Batak tetap akan dijaga. Walau Sisinga
Mangaraja telah gugur namun falsafah hidup Dalihan Na Tolu tidak
pernah hilang. Dan pola Kebudayaan Batak sejak abad XIV hingga kini
tidak pernah dapat ditumbangkan oleh kebudayaan asing. Zaman
boleh berubah, teknologi boleh semakin maju, arus globalisasi boleh
semakin deras tapi kebudayaan Batak tetap harus dilestarikan. Budaya
Batak akan tetap bertahan dan berkembang dalam perubahan multi
dimensi.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

10

RUMAH BATAK
Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak
yaitu jabu na marampang na marjual. Ampang dan Jual adalah
tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi
Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah
Adat itu ada ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria
kriteria serta batas batas.
Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi
ada wilayah (daerah) yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Ruma
Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu:
1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari
pintu masuk rumah, daerah ini biasa di tempati oleh keluarga
tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah.
Bahagian ini di tempati oleh anak anak yang belum akil balik
(gadis)
3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu
masuk. Daerah ini di tempati oleh anak tertua yang sudah
berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di
ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki
rumah menempati jabu suhat.
4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan
dekat dengan pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk
para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring
atau jabu soding jolo-jolo.
Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah
antara Jabu Bona dan Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

11

Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu
Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding.
Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6
(enam), makanya ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat)
atau RIA di dalam rumah sering mengatakan sampai pada saat ini;
Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na
marsangap na martua on. Dan seterusnya

BAGAS RIPE RIPE


Zaman dahulu terkadang suku bangsa Batak mendirikan rumah secara
kongsi atau rumah bersama antara abang dan adik dan rumah itu di
sebut Bagas Ripe Ripe.
Sebelum mendirikannya mereka terlebih dahulu bermusyawarah dan
menentukan dan memutuskan; siapa yang menempati jabu BONA,
siapa

yang

menempati

jabu

Soding

jabu

SUHAT

dan

jabu

TAMPARPIRING. Tentunya rumah seperti ini sudah agak lebih besar, dan
sifat seperti ini adalah sisa sisa sifat masyarakat kommunal. Namun
biarpun adanya nampak sifat sifat kommunal pada keluarga seperti ini,
mereka seisi rumah saling menghormati terutama terhadap wanita.
Tidak pernah ada perkosaan ataupun perselingkuhan seperti marak
maraknya di zaman yang serba materialis ini. Nenek moyang suku
Batak pada waktu itu menghormati istri kawannya yang kebetulan
suaminya berada di luar rumah.
Disinilah keindahan bahagian dalam rumah Batak itu terutama di
bidang

moral.

Mereka

menghormati

hak

hak

orang

lain

dan

menghormati ukuran ukuran (Ampang/Jual) hukum hukum wilayah

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

12

didalam rumah yang tidak memiliki bilik (kamar) mereka sangat


mengakui bahwa rumah itu memang jabu namar Ampang Marjual.
Rumah (Ruma) mempunyai banyak cara untuk menyebutnya sesuai
dengan fungsinya. Bilamana Ruma itu tempat penyimpanan padi maka
nenek moyang Suku Batak

menyebutnya

Sopo Parpeopa Eme.

Bilamana Ruma (Sopo) itu berfungsi sebagai tempat pemujaan


DEWATA MULA JADI NA BOLON I (TUHAN ALLAH), maka tempat itu
dinamakan Joro. Dan sampai sekarangpun masih banyak orang Batak
menyebut Gereja itu dengan sebutan Bagas Joro ni Debata. Bagas Joro
yang lama bentuknya persis seperti Ruma Batak dan sisa-sisanya
masih ada pernah penulis lihat di daerah Humbang dan mereka
beribadah pada hari Sabtu.
Ada juga Ruma itu khusus tempat musyawarah para keluarga dan para
kerabat kerabat tempat membicarakan hal hal yang penting. Tempat
tersebut

di

namakan

Tari

Sopo

dan

biasanya

tari

sopo

tidak

mempunyai dinding contohnya dapat kita lihat di Lumban Bulbul


Kecamatan Balige yang pemiliknya bernama S.B Marpaung (Op.
Miduk), atau di beberapa tempat masih ada lagi sisa sisa tari sopo
yang dapat kita lihat.

Kenapa disebut BAGANDING TUA?


Kata kata yang lain untuk menyebut rumah itu ada juga mengatakan;
SIBAGANDING

TUA,

menurut

sumber

yang

layak

di

percayai

BAGANDING TUA itu adalah sebuah mahluk yang juga ciptaan Allah,
wujudnya seperti seekor ular yang panjangnya paling paling 2 jengkal
jari tangan. Bagi orang yang bernasib mujur bisa saja BAGANDING TUA
datang rumahnya dan pasti membawa rejeki yang melimpah ruah.
Pokoknya bila Ruma itu memiliki BAGANDING TUA pemiliki Ruma itu
akan kedatangan rejeki dari berbagai penjuru. Demikianlah Suku Batak
itu sering memakai kata kata penghalus dan sastra untuk menunjukkan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

13

ruma sebagai tempat tinggal manusia dengan menyebut JABU SI


BAGANDING TUA.

Dari catatan yang dihimpun, Istilah Baganding tua juga diartikan


sebagai peristilahan kepada perempuan (istri) pemilik rumah, dan
untuk laki-laki (suami) diistilahkan Simanguliman. Bila dalam petuah
upacara khusus mengartikan rumah sebagai Bagas Sibaganding tua
Simanguliman on, artinya suami dan istri masih lengkap.
Perempuan (isteri) juga diartikan pangalapan tua, sumber berkat,
sementara rumah diartikan sama dengan perhimpunan berkat harta
dan keturunan serta kehormatan.
Namarampang

Namarjual

diartikan

bagi

sebuah

rumah

yang

memiliki kehidupan, memiliki harta, aturan dan penegakan hukum


dalam keluarga serta masyarakat.
Kehilangan seorang isteri merupakan kehilangan kehormatan bagi
sebuah keluarga dan rumah itu sendiri, sehingga penempatan istilah
Sibagandingtua dan Namarampang Namarjual otomatis tidak lagi
diucapkan sampai seorang perempuan (isteri) atau menantu dari salah
seorang anak lelaki ada menempati rumah itu.
Menurut cerita rakyat, bila seorang isteri bijaksana yang menghidupi
keluarga

itu

meninggal

dunia,

maka

boraspati

(cecak)

akan

meninggalkan rumah itu. Boraspati adalah lambang kesuburan dan


selalu dibuat hiasan rumah adat batak. Kebenarannya belum pernah
diteliti.

BALE BALE:

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

14

Berbagai macam penyebutan untuk menunjukkan Ruma (tempat


tinggal manusia) di dalam bahasa Batak, kata BALE juga sering di
sebut sebut, tetapi BALE kurang biasa di pakai sebagai hunian tempat
berkeluarga. Bale artinya Balai tempat bertemu antara penjual dan
pembeli. Contoh Balairung Balige yang modelnya seperti RUMA GORGA
BATAK, akan tetapi fungsinya adalah sebagai tempat berjual beli
kebutuhan sehari-hari.
Akan tetapi biarpun BALEBALE tidak biasa seperti hunian tempat
berkeluarga dan anak beranak Orang Batak sekarang sering juga
menyebutkannya sebagai rumah biasa. Buktinya; mereka berkata
Pajong jong Bale Bale do anakta nuaeng di Medan, artinya: Anak kita
sedang membangun rumah di Medan. Padahal rumah yang dibangun
anaknya di Medan adalah rumah gedong. Disan do Bale balenta,
(Disanalah rumah kita) Nungnga adong Balebale ni lae i di Jakarta
(sudah ada rumah ipar kita itu di Jakarta).

Tangga gogop (genap)


Tadi kita sudah mengetahui bahwa Ruma Batak itu menurut tangga
dan pintunya dibagi menjadi 2 (dua) bahagian yaitu Ruma Batak si
Tolumbea dan Ruma Batak Di Baba ni Amporik. Namun kalau jumlah
anak tangganya selalu ganjil apakah itu beranak tangga 9 atau 11 atau
7 pokoknya jumlahnya selalu ganjil. Bagi masyarakat Batak Toba
jumlah anak tangga yang genap (gogop) adalah pantang, sebab jumlah
anak tangga rumah adalah menunjukkan bahwa pemilik rumah adalah
keturunan budak (Hatoban).
Hal seperti ini tidak terdapat bagi Ruma Batak sebab tidak mungkin
seorang budak dapat mendirikan Rumah Batak, atau sebagai pemilik
Ruma Batak. Kalaupun ada Rumah beranak tangga yang genap
(gogop) itu mungkin pada rumah jenis lain. Karena di tanah Batak pada

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

15

jaman dahulu dan jaman sekarang ada juga kita dapati rumah EMPER
bahkan jumlahnya jauh melebihi dari Ruma Batak.
Menurut cerita yang didapat dari hasil bincang bincang antara penulis
dengan orang yang layak dipercayai bahwa pada zaman dahulu ada
terdapat budak di Samosir. Dan kalau budak itu mau makan terlebih
dahulu bersuara ngeong (mar ngeong) seperti suara kucing barulah
tuannya meletakkan nasi di lantai rumah. Dan kalau budak sudah
merdeka di buatlah rumah pondoknya dengan tanda jumlah anak
tangga rumahnya genap seperti 2 atau 4.
Pada zaman zaman permulaan Kemerdekaan Indonesia penulis masih
sempat mendengar bahwa anak pemilik rumah yang bertangga genap
sangat sulit mendapat jodoh yang cantik. Jadi secara jelasnya bahwa
Rumah Batak itu tidak ada yang beranak tangga yang gogop.

DATU
Di dalam masyarakat Batak yang lama, Datu adalah sangat berperan
baik dalam rangka penyediaan bahan bahan bagunan dari hutan
seperti kayu, ijuk (bahan untuk atap rumah), rotan, batu pondasi dll.
Sebab bukan tidak mungkin bahan bahan bagunan itu adalah milik dari
mahluk mahluk halus di hutan. Misalnya batu itu adalah sebagai
tempat duduk duduknya (santai santai) mahluk halus di hutan dan
terambil oleh manusia untuk bahan pondasi Ruma ini akan membawa
malapetaka bagi penghuni Ruma. Begitu juga kayu itu, ada juga
miliknya

penguasa

penguasa

hutan

yang

tak

boleh

digunakan

manusia, begitu juga rotan sebagai bahan pengikat ada juga miliknya
penguasa Hutan (Begu).
Datu

itu

memiliki

pengetahuan

metafisik

yang

dapat

melihat,

mendengar dan mencium yang tak dapat dilihat dan didengar oleh
manusia biasa. Untuk memulai pembangunan ruma dan memasuki

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

16

ruma, datu harus membuka buku Porhalaan/ sejenis buku pedoman


orang Batak.
Di dalam buku Porhalaan ada ditunjukkan waktu kapan begu berdiam
diri, kapan bersantai, kapan mengganggu, makanya harus ada
masyarakat Batak pada zaman dahulu percaya akan Sumangot dan
begu, yaitu roh nenek moyang yang selalu hidup disebut tondi orang
yang sedang bermimpi dianggap rohnya sedang bepergian dan
mengembara. Apa yang dialaminya dalam pengembaraan itulah
mimpinya.
Roh berpusat dalam kepala (simanjujung). Kepala orang Batak tidak
boleh

dilangkahi,

bisa-bisa

rohnya

merasa

malu,

terkejut

atau

melompat. Itulah sebabnya orang Batak pada acara-acara tertentu


meletakkan beras sedikit di atas kepala (manjomput boras si pir ni
tondi) misalnya kalau kebakaran rumah, kedatangan menantu, anak
yang sudah lama merantau dan pulang ke rumah.
Orang Batak selalu suka menyebutkan perkataan Horas. Perkataan itu
sama dengan keras atau kokoh; kekar, di dalam Bahasa Indonesia
orang berjumpa satu sama lain mengucapkan Horas, para pemimpin
(Presiden-Menteri-Gubernur dll) yang datang berkunjung ke daerah
Toba selalu disambut dengan suara gemuruh Horashoras, ada pula
ucapan Horas Bangso Batak maksudnya supaya roh orang itu keras,
kuat, kokoh. Karena orang Batak itu selalu mengutamakan Pir ni Tondi
(kerasnya roh).
Orang Batak yang pintar dan dituakan di masyarakat juga digolongkan
Datu Perkataan Datu berasal dari kata Da+Tu. Perkataan Da sering
digunakan untuk menghormati seseorang misalnya Da inang (ibu), Da
tulang, Da ompung (nenek).

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

17

Datu,

diyakini

selalu

mengatakan

yang

benar,

mensyaratkan

kebenaran yang tidak diketahui kebanyakan orang. Mengatakan yang


benar tutu, dikuatkan dengan pernyataan nda-tutu atau da-tutu.
Sama halnya pernyataan serang ibu da-inang.
Istilah dan pemahaman arti Datu mulai bergeser saat terjadinya
pembohongan

dan

kekebasan

mengaktualisasikan

diri

dalam

masyarakat. Kesalahan yang pernah terjadi dilakukan seorang datu


akhirnya berdampak kepada merosotnya penilaian tentang Datu.
Datu, saat ini cenderung diartikan hanya sekedar ahli pengobatan dan
nujum, perdukunan diartikan pula perilaku perbuatan jelek kepada
orang lain seperti santet dan lain sebagainya.

BAGIAN-BAGIAN RUMAH BATAK


Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau
ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk
tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding
samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah
atap urur diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya
adalah ijuk (serat dari pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu
dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian
atas

adalah

tempat-tempat

penyimpanan

benda-benda

keramat

(ugasan homitan).

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

18

Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun
1920 berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam
bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas)
Selanjutnya suku Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa
ketiga dunia (banua) itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut
dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian alam
semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak
Toba pun membagi/ merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3
bagian.
Rumah tradisi mempunyai tiga tingkat sesuai dengan tingkat kosmos,
demikian tulisan Achim Sibeth. Atap rumah tradisi itu adalah ijuk (serat
batang pohon enau) yang 20 cm rapi dan berseni. Di bawah ijuk ada
disusun dengan tebal lais-lais kecil yang banyak, bahannya diambil
dari pohon enau juga dinamai hodong. Di atas ijuk tersebut ditaruh
dengan lidi tarugit itu bukan asal diletakkan semuanya, disusun
dengan seni Batak tertentu sehingga bagian atas ruma Batak itu
nampak gagah, anggun, dan berseni.

Tentang Tarugit
Tarugit adalah suatu benda untuk menciptakan suatu ungkapan yang
dapat menjadi suatu pedoman hidup orang Batak Toba. Bangsa Batak
sering berkata Ni arit tarugit Pora-pora, molo tinean uli teanon do
dohot gora, atau dengan kata lain unang hita ripe sitean uli so dohot
tumean gora.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

19

Sebagai inti sari dari ungkapan ini adalah uli dan gora, namun uli dan
gora adalah 2 kata yang sangat berlawanan tetapi sangat berguna
untuk pedoman hidup orang Batak Toba. Uli adalah menggambarkan
keberuntungan (laba), kehormatan, kejayaan, keharuman nama. Gora
adalah menggambarkan pengeluaran tenaga, modal, pengorbanan
waktu dan berbagai perjuangan. Sebagai contoh : Untuk menjadi orang
sukses terkenal/ beruntung atau sebagai orang pintar kita harus
mengeluarkan modal yang besar, waktu dan tenaga yang berlebih dan
berbagai promosi sebagai goranya.
Untuk menjadi seorang pintar dan sarjana atau jenderal, seseorang
harus kuat bekerja dan berjuang serta memakan gizi baik. Dalam
pesan para leluhur (ompung ta na parjolo) janganlah menjadi manusia
ripe. Manusia si ripe artinya orang yang hanya memikirkan dan
memperoleh keuntungan tanpa melalui pengorbanan dan perjuangan.
Makanya di zaman yang serba canggih ini banyak kita jumpai manusiamanusia yang tidak beres karena manusia itu telah meninggalkan poda
ni ompu itu; Ni arit tarugit pora-pora unang hita ripe sitean uli so dohot
tumea gora.

ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK


Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk
suatu daerah perkampungan yang cukup unik, dimana mereka
memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan rumah betina. Rumah jantan
terletak

disebelah

selatan,

fungsinya

sebagai

rumah

tinggal,

sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai


tempat menyimpan padi.
Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan
Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti
rumah Tuhan.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

20

ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau,
bentuknya yang melengkung menambah nilai keaerodinamisannya
dalam melawan angin danau yang kencang.
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah
setempat. Suku batak menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci,
sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka mereka.

BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak
disebut dunia tengah, dunia tengah melambangkan tempat aktivitas
manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian badan rumah
dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala.

PONDASI

Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin,


dimana batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri
diatasnya.

Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan


struktur yang fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

21

Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan


kekokohan

Mengapa

memakai

pondasi

umpak?,

karena

pada

waktu

tersebut masih banyaknya batu ojahan dan kayu gelonggong


dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat perekat
seperti semen
DINDING

Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah


masuk

Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat


dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti
cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang,
maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2
kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni
rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.

ORGANISASI RUANG
Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh
pola grid, hal ini dapat dilihat dari kolom-kolom yang tersusun secara
modular pada denah.

KESEIMBANGAN
Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada
denah maupun fasade bangunan, hal ini dapat dilihat jika kita menarik
garis lurus tepat pada as gambar denah dan fasade

SIRKULASI RUANG

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

22

Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus
melewati jalan lurus sebelum berbelok ke bangunan utamanya

PINTU MASUK BANGUNAN


Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5
m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala
singa pada ambang pintu.

NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK


Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat
bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata
tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan
sebagai pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung
dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan
dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan seharihari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung
didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat
menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan
kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap
budayanya.

Proses Mendirikan Rumah.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

23

Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan


bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan
mangarade. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus
(pasak),

pandingdingan,

parhongkom,

urur,

ninggor,

ture-ture,

sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap.


Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang
diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu
dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba
dikenal sebagai marsirumpa suatu bentuk gotong royong tanpa
pamrih.
Sesudah

bahan

bangunan

tersebut

telah

lengkap

maka

teknis

pengerjaannya diserahkan kepada pande (ahli di bidang tertentu,


untuk

membuat

rumah

disebut

tukang)

untuk

merancang

dan

mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan


keinginan si pemilik rumah apakah bentuk Ruma atau Sopo.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi
bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada
nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai
itu disebut mamingning.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang Jabu
bona. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang jabu
soding yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang
jabu suhat dan si tampar piring.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah marsitiktik. Yang
pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang
mengatakan Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta.
Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

24

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun


rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak
pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian
ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan hot di ojahanna dan
hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa
di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang
penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen
pembentuk terdiri dari pandingdingan yang bobotnya cukup berat
sehingga ada falsafah yang mengatakan Ndang tartea sahalak
sada pandingdingan sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan
kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan

dipersatukan

dengan

parhongkom

dengan

menggunakan hansing-hansing sebagai alat pemersatu. Dalam hal


ini ada ungkapan yang mengatakan Hot di batuna jala ransang di
ransang-ransangna dan hansing di hansing-hansingna, yang
berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya
komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk
menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan seharihari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul
merangkul

dan

mempunyai

pergaulan

yang

harmonis

dengan

tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut bungkulan
ditopang oleh tiang ninggor. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak,
ditopang oleh sitindangi, dan penopang yang letaknya berada di
depan tiang ninggor dinamai sijongjongi. Bagi orang Batak, tiang
ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang
tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam
menegakkan

kejujuran

tersebut

termasuk

dalam

menegakkan

kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi


dan sijongjongi.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

25

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut arop-arop. Ini


merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat
menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu
diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak
sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha
Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut
Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk
merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada songsong boltok.
Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang
berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu
harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang
mengatakan Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti
kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.
Ombis-ombis terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang
dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang
disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi
urur yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam
keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat
menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang
sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu
perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok
individu yang berkarakter seperti itu disebut Pangombisi do ibana
di angka ulaon ni dongan yaitu orang yang selalu peduli terhadap
apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam
sukacita.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam
pangertian Batak disebut papan. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

26

goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan
gulang-gulang. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan
rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan Hot do jabu i hot
margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni
tulang.
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang
dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan
talaga. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu
keluar

melalui

lobang

tersebut.

Karena

itu

ada

falsafah

yang

mengatakan Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan


yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela
atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat
dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip
balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai songkor. Di kala ada
pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai
tempat pargonsi (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya
dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan
cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga
ruangan

berbentuk

panggung

yang

disebut

pangabang,

dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan


dalam bahul-bahul. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut
dengan ompon. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang
tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai Parbahul-bahul na
bolon. Dan ada juga falsafah yang mengatakan Pir ma pongki
bahul-bahul

pansalongan.

Pir

ma

tondi

luju-luju

ma

pangomoan, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki


dan mata pencaharian menjadi lancar.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

27

Melintang di bagian tengah dibangun para-para sebagai tempat ijuk


yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah
para-para dibuat parlabian digunakan tempat rotan dan alat-alat
pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya.
Karena itu ada fatsafah yang mengatakan Ijuk di para-para,
hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong
be na oto tu pargadisan yang artinya kira-kira jika manusia yang
bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah
dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan
selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan tangga yang
berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom.
Untuk rumah sopo dan tangga untuk Ruma dulu kala berada di
tampunak.

Karena

itu

ada

falsafah

yang

berbunyi

bahwa

Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma


na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang
Batak. Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut
sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah
orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang
karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan
Tangga rege-rege.

Gorga
Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran
yang disebut dengan gorga dan terdiri dari beberapa jenis yaitu
gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara),
putih (nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

28

ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna


putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian.
Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah
kepemimpinan.
Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai
gorga mereka memakai batu hula untuk warna merah, untuk warna
putih digunakan tano buro (sejenis tanah liat tapi berwana putih),
dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak
yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan
air taji dari jenis beras yang bernama Beras Siputo.
Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang
dikenal sebagai singa-singa, suatu lambang yang mengartikan
bahwa penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan
identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari
gambaran sihapor (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan
ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada
dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor
gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan Metmet
pe sihapor lunjung di jujung do uluna yang artinya bahwa
meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu
beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga
integritas dan citra nama baiknya.

Perabot Penting
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara
lain adalah ampang yang berguna sebagai alat takaran (pengukur)
untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan
Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

29

pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi. Pengertian


yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim
dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh
generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa panguhatan adalah
sebagai tempat air untuk keperluan memasak.
Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas
pandingdingan dibuat pangumbari yang gunanya sebagai tempat
meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain,
tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah Ni buat
silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni
ampehon tali-tali.
Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai
harga yang mahal biasanya disimpan dalam hombung, seperti sere
(emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan
ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan,
ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan
beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa,
tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain
sebagainya.
Karena

orang

Batak

mempunyai

karakter

yang

mengagungkan

keterbukaan maka di kala penghuni rumah meninggal dunia dalam


usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat
kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan
ungkap hombung yang disaksikan oleh pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat
menyimpan

barang-barang

yang

disebut

dengan

rumbi

yang

fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja ukurannya lebih


kecil dan tidak semewah hombung.
Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu
yang disebut dalihan. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

30

tungku tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi


dan lauk pauk sekaligus.
Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah
tentang kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang
yaitu paramak so balunon yang berarti bahwa amak (tikar) yang
berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung,
karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang
lain lagi.
Partataring so ra mintop menandakan bahwa tungku tempat
menanak nasi selalu mempunyai bara api tidak pernah padam.
Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan siap sedia
dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
Parsangkalan so mahiang menandakan bahwa orang Batak akan
berupaya semaksimal mungkin untuk memikirkan dan memberikan
hidangan yang bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging
ternak.
Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan
mencukupi untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki,
mempunyai mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut
Parrambuan so ra marsik.
Tikar yang disebut amak adalah benda yang penting bagi orang
Batak. Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang
dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan
Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum
martulang gabe uhum marbere.
Jenis lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai
alas tempat duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan
menjadi pangarerean sebagai dasar dari membentuk luhutan yaitu
kumpulan padi yang baru disabit dan dibentuk bundar. Tentang hal ini

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

31

ada ungkapan yang mengatakan Sala mandasor sega luhutan di


mana pengertiannya adalah bahwa jika salah dalam perencanaan
maka akibatnya tujuan dapat menjadi terbengkalai.

Denah

Tampak

Potongan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

32

Detail Potongan

Detail Pondasi Umpak

Simetris Denah

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

33

Simetris Fasade

Boraspati

Kolong Rumah sebagai


tempat tinggal ternak

Rumah batak
Universitas Trisakti-Teknik Sipil

34

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Suku / masyarakat Batak hidup di kawasan Sumatra Utara.
Sebagian masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah masyarakat
Batak. Suku Batak pertama sekali mendiami daerah karo dan kawasan
danau Toba.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

35

Sebagian masyarakat batak bercocok tanam di irigasi dan ladang.


Di smping bercocok tanam, pertenakan juga merupakan suatu mata
pencaharian yang penting bagi orang batak umumnya. Di daerah
pinggiran danau toba, biasanya masyarakat Batak menagkap ikan
dengan perahu lesung.
Masyarakat Batak pada umumnya beragama kristen dan hanya
sedikit yang memeluk agama Islam. Walaupun demikian masyarakat
perdesaan suku Batak tetap memepertahankan agama aslinya. Orang
batak percaya bahwa, yang menciptakan alam semesta ini adalah
debata (ompung) mulajadi na bolon. Dia tinggal diatas langit dan
mempunyai nama-nama seseui tugasnya.
Walau terjadi unifikasi hukum nasional buat seluruh masyarakat
Indonesia, namun budaya Batak tetap akan dijaga. Walau Sisinga
Mangaraja telah gugur namun falsafah hidup Dalihan Na Tolu tidak
pernah hilang. Dan pola Kebudayaan Batak sejak abad XIV hingga kini
tidak pernah dapat ditumbangkan oleh kebudayaan asing. Zaman
boleh berubah, teknologi boleh semakin maju, arus globalisasi boleh
semakin deras tapi kebudayaan Batak tetap harus dilestarikan. Budaya
Batak akan tetap bertahan dan berkembang dalam perubahan multi
dimensi.
Jadi, Kesimpulan yang dapat diambil dari kekuatan, kelemahan,
peluang, serta tantangan dari peran budaya lokal dalam memperkokoh
budaya bangsa adalah bahwa Bangsa kita merupakan bangsa
majemuk yang terdiri dari berbagai suku, etnik, bahasa, agama, serta
adat istiadat. Memiliki begitu banyak kekayaan alam dan budaya yang
sepatutnya kita lestarikan dan kita jaga demi menjaga jati diri Bangsa
Indonesia. Budaya lokal yang tersebar di 33 provinsi dan 17.504 pulau
merupakan pilar-pilar yang menopang berdirinya Bangsa Indonesia,
dan apabila satu saja pilar tersebut hilang atau hancur, maka runtuh
pula Negara Kesatuan Republik Indonesia kita.

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

36

III.2Rekomendasi
Dalam menjaga agar budaya lokal tetap menjadi pilar-pilar yang kokoh
bagi ketahanan budaya bangsa sepantasnya kita jangan pernah
melupakan setiap bagian provinsi, pendapatan harus terditribusi
secara merata di setiap daerah. Jangan pernah membedakan sukusuku lain (rasisme), junjung tinggi rasa toleransi dan solidartas, serta
kerukunan antar suku dan umat beragama. Tingkatkan rasa kepedulian
serta rasa saling menolong. Peliharalah lingkungan alam kita, darat,
laut, maupun udara. Tegakkan hukum dan peraturan secara tegas dan
bertanggung jawab, adili pelanggaran-pelanggaran hak yang pernah
terjadi dari sabang sampai merauke, dengan begitu kedepannya tidak
akan ada lagi pemberontakan, terorisme dan, pastinya indonesia akan
makmur sejahtera dan dengan sendirinya kebudayaan Nasional dapat
kita jaga.

B. SARAN
Kebudayaan yang dimiliki suku Batak ini menjadi salah satu
kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga
kelestariannya. Dengan membuat makalah suku Batak ini diharapkan
dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Batak
tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada
kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

37

Daftar Pustaka :
1. Ama Morlan Simanjuntak (Panggorga),
http://tanobatak.wordpress.com
2. R B Marpaung, http://tanobatak.wordpress.com
3. Insinyur Dullah, http://insinyurdullah.blogspot.com
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak

Universitas Trisakti-Teknik Sipil

38

Anda mungkin juga menyukai