Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

SUSILA DALAM AGAMA HINDU

Oleh :
I KADEK DWI SUKADANA MAHENDRA PUTRA
( 2113071006 / 03 )

FAKULTAS DHARMA DUTA


PROGRAM STUDI S1 HUKUM HINDU
TAHUN AJARAN 2021/2022
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 1
• LATAR BELAKANG……………..…………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………. 2
• 2.1 PEMBAHASAN…………………………………………………………………… 2
• 2.2 Hubungan Susila Dan Sad Atatayi……………..………………………………… 2
• 2.3 Susila……………………………………………………………………………….. 4
• 2.4 Hubungan Etika, Moral dan Susila Dengan Ahklak……………………………. 6
• 2.5 Tri Guna dan Dasa Mala………………………………………………………… 15
• 2.6 Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
• 2.7 Pengertian dan Bagian – bagian Catur Warna , Catur Asrama dan Catur
Purusaartha…………………………………………………………………………… 17
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………… 26
• 3.1 KESIMPULAN…………………………………………………………………… 26
• 3.2 SARAN …………………………………………………………………………… 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………… 27

iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi
pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan
bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka
internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh
melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, di lembaga pendidikan formal
maupun nonformal serta masyarakat.
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan
potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari
pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya
bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Ajaran agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka
dasar, di mana bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang bulat,
sehingga dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang disebut Moksa. Tiga kerangka
dasarnya, yaitu:
(1) tattwa,
(2) susila, dan
(3) upacara.
Ketiganya secara sistematik merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi atas sistem
agama Hindu secara keseluruhan. Dalam paper ini akan menjelaskan tentang susila.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PEMBAHASAN
Susila dalam Agama Hindu merupakan kerangka dasar yg kedua . susiala adalah istilah lain dari
etika dan moral . etika dan moral merupakan dua kata yang di pergunakan silih berganti untuk maksud yg
sama . berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa etika merupakan ajaran prilaku atau perbuatan
yang bersifat sitematis tentang prilaku (karma). Apa yang di anggap sebagai perbuatan baik (subha karma
/ daiwi sampad ) dan perbuatan yang tidak baik ( asubha karma/Asuri sampad).
Pengertian susila dapat di jelaskan sebagai berikut :

A. Susila atau etika adalah upaya mencari kebenran . sebagai filsafat ia mencari informasi yang
sedalam-dalamnya secara sitematis tentang kebenran yang bersifat absolut maupun relative .
B. Susila atau etika adalah upaya untuk megadakan penyelidikan atau megkaji kebaikan manusia
, sebagai bagaimana seharunya hidupdan bertindak di dunia ini agar hidup menjadi bermakana.
C. Susila atau etika merupakan upaya (karma) manusia mempergunakan keterampilan fisiknya
(angga/raga)dan cerdas rohani (suksma sarira) manusia terdiri atas pikiran (manas), kecerdasan
(buddhi) .dan kesadaran murni (atman) yang dapat berfungsi sebagai saranauntuk memecahkan
berbagai masalah tentang bagaimana manusia hidup dan berbbuat baik (saputra).
Kitab sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
manusah sarvabhutesu varttate vaiu saubhasuhe,asubhasue samasvitam subhesveva
vakyaret. Ri sakiwang srwa bhuta,ikingjanma wwang juga wenang gumayana kening subha –
subhakarma iking janma, kuneng akena ring subhakarna juga ikang asubha karma
phalaning dadi wwang (sarasamuscaya, 2)
Artinya :
Dari sedemikian banyaknya semua mahkluk yang hidup , yang di lahirkan sebagai manusia
itu saja yang dapat berbuat perbuatan yang baik –buruk itu adapun untuk peleburan perbuatan
buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya menjadi manusia .
Demikianlah manfaat hidup menjadi manusia sebagai di sebutkan dalam kitab suci Weda.
manusia hendaknya selalu mengupayakan prilaku yang baik dengan sesamanya memperlakukan
orang dengan baik sesungguhnaya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri dengan baik
juga (tatwam asi) prilaku seperti itu patut di upayakan harus di lestarikan dalam setiap tindakan
kita sebagai manusia setiap induvidu hendaknya berfikir dan bersifat professional menurut guna
dan karma . inilah cermin dari sosok orang yg telah mengamalkan ajaran catur warna .

2
2.2 .Hubungan Susila Dan Sad Atatayi
Pada adasarnya setiap kelahiran manusia kea lam ini adalah baik . hal ini terbukti dengan
di berikan nya berbagai macam predikat kepada manusia . sebagai manusia sebagai mahkluk
inidividu, manusia sebagai mahkluk berfikir . sebagai manusia mahkluk relegius , dan manusia
sebagai mahkluk sosial , serta masih bnyk lagi sebutan yang lainya .
Sebagai akibat dari kemampuan pikirnya , manusia dapat meninggkatkan hidup dari
kehidupan nya yang kurang baik menjadi lebih baik . meskipun demikian , bukan berarti manusia
akan terleppas dari perbuatan –perbuatan yang tidak baik .dalam hindup dan kehidupan ini
manusia di hadapkan pada factor kemungkinan untuk memilih yang kurang baik agar manusia tak
terjerumus dan hanyut derita akibat dari tak terkendali kama (keinginan) untuk merugikan orang
lain , maka ia harus belajar dan di ajarkan kebijaksanaan ,tuntunan berfikir , ketetapan hati dan
sikap sikap baik (Dharma) .dengan demikian manusia akan terhindar untuk melakukan sad atatayi
yang memang harus di hindari .
A. Pengertian sad atatayi
Sad berarti enam dan atatyi bererti pembunuhan jadi sad atatayi adalah berarti enam macam
pembunuhan yang amat kejam/keji yang patut di hindari dan tidak boleh dilakukan terhadapp
siapa pun. Keenam pembunuhan yang di maksud , yaitu pembunuhan secara sadis . perbuatan
semacam ini termasuk Himsa Karma . karena itu tergolong dosa memang betul-betul di larang
oleh sastra agama .

B. Bagian – bagian sad atatayi


• Agenda artinya membakar
• Wisada artinya meracun
• Attharwa artinya ilmu hitam
• Sastraghana artinya mengamuk
• Drathi artinya memperkosa
• Raja pisuna artinya memfitnah

C. Uraian Dari Sad Atatayi


➢ Aginda, yaitu membakar milik orang lain /memusnahkan milik orang lain dan juga
dapat di artikan mengadu domba oranglain shingga timbul perselisihan yang
mengakibatkan orang menjadi menderita , ini perilaku atau perbuatan yang terlarang

➢ Wisada ,yaitu meracuni /menyakiti orang lain. perbuatan meracun baik niskala
maupun sekala . perbuatan ini merupakan perbuatan dosa . hal ini mengingkari hakikat
hidup dan kehidupan dan kehidupan di dalam bermasyarakat di dunia fana ini bagi
orang yg melakukan /melaksanakan perbuatan seperti ini sudah di sediakan tempat,
yaitu neraka oleh Sang Hyang Widhi Wasa.

3
➢ Atharawa, yaitu melakukan/menjalankan ilmu hitam (black magic ) atau guna –guna.
perbuatan ini merupakan perbuatan dosa serta di jauhi orang yang suka yang terlarang
.menjalankan ilmu hitam atau guna-guna hanya bersifat senang semantara semasa
hidup ini dapat membuat orang lain menjadi mendertia dan sesungghunya pula dirinya
akan mendertita pula seperti yang di deritakan orang lain.

➢ Sastraghana , yaitu mengamuk atau merampok sehingga menimbulkan kerugian bagi


orang lain . mengamuk yg di maksudkan adalah bias-bilangkan nyawa orang lain dan
merampok menimbulkan penderitaan karena kerugian yang di deritanya . perbuatan
semacam ini amat bertentangan dengan sastra agama , untuk mencapai ketenangan
maupun kedamaian , maka perbuatan sastraghana amat di larang dan berdosa besar
serta terkutuk .

➢ Drathi Karma, yaitu memperkosa kehormatan wanita . perbuatan drathi karma sangt
bertentangan dengan konsep ajaran agama hindu . di ajaran agama hindu memiliki
konsep tat twam asi. Karena itu ,perbuatan drathi karma mengingkari kemerdekaan
orang lain.

➢ Raja pisuna , yaitu memfitnah atau menghasut dan mengadu domb a seseorang dengan
orang lain. Perbuatan memfitnah sangt lah keji karena membuat orang lain mederita.
mungkin orang yang memfitnah tidak tw sebab apa dirinya di perlakukan kurang baik.
memfitnah hendaknya di buang dari alam pikiran kita. maka di katakana memfitnah
lebih kejam dari pembunuhan.

2.3 Susila
Susila berasal dari bahasa Sansakerta, su dan sila. Su; baik dan bagus, sedangkan sila;
dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Dengan demikian, susila mengacu pada upaya
membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan masyarakat hidup yang sesuai dengan
norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di
dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia
yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan
oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya.
Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada
orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau
kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal
balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang
berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
4
keikhlasan dan kasih sayang. Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan
menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan
ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2.4 Hubungan Etika, Moral dan Susila Dengan Ahklak
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio
dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi
kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yaitu ketentuan yang
berdasarkan petunjuk Weda dan hadits. Dengan kata lain etika, moral dan susila berasa dari
manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
➢ Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dalam
arti yang khusus mencakup empat hal sebagai berikut;
a. Pertama,dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang
dilakukan oleh manusia.
b. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
c. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan itu dinilai baik atau buruk.
d. Keempat, dilihat dari segi sifatnya etika bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai dengan
tuntutan zaman.
➢ Moral
Moral berasal dari bahasa Latin; mores, yang berarti kebiasaan. Dalam makna istiah adalah
suatu yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
➢ Susila
Aspek-aspek inti agama hindu terdiri dari tiga bagian yang di sebut tri kerangka agama hindu
yaitu tatwa (filsafat), susila (etika) ,upacara (ritual) . ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang
sangat erat hubungannya satu dengan yang lain saling mengisi . jika diibiratkan seperti sebutir
telur upacara adalah kulit telor susila adalah sebutir telor , dan tattwa adalah kuning telur . bagi
salah satu bagian ini tidak ada maka telur tersebut akan rusak.
➢ Akhlak
Dalam kehidupan, akhlak memegang peranan yang sangat besar. Akhlak berhubungan erat
dengan setiap perbuatan manusia yang diukur dengan wahyu apakah suatu perbuatan dapat
dikatakan baik atau buruk. Dalam akhlak ada nilai dasar apakah perbuatan itu baik atau buruk.
5
Akhlak mengandung pengertian perbuatan yang timbul melalui sebuah ikhtiar dan
kesengajaan. Perbuatan itu meski diketahui waktu ia melakukan apa yang ia perbuat. Akhlak pada
dasarnya menjelaskan kata antara baik dan buruk. Dalam akhlak juga menerangkan tujuan yang
hendak dicapai dari perbuatan manusia. Selanjutnya akhlak juga membicarakan tentang jalan
ataupun proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuannya.
Dalam kehidupan yang serba modern sekarang tentu banyak kepentingan yang ada dalam
anggota masyarakat. Mewujudkan masyarakat yang harmonis memerlukan aturan-aturan yang
bersifat universal yang dapat dipertanggungjawabkan secara Ilahi dan kemanusiaan. Dengan kata
lain, aturan tersebut haruslah sesuai dengan tuntutan zaman yang ada dan sesuai dengan akidah
agama. Di sinilah letak urgensi pendidikan akhlak yaitu dalam merumuskan pendidikan agar selalu
berada dalam jalur yang benar dan selalu dalam orientasi yang lebih baik. Selanjutnya dalam masa
yang serba modern ini maka urgensi pendidikan akhlak yang terpenting adalah bagaimana
mewujudkan masyarakat yang madani.
Masyarakat modern tentunya mempunyai tantangan yang lebih kompleks, untuk itulah
pendidikan akhlak sangat penting dan diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan kepribadian
manusia. Dengan demikian urgensi pertama dan utama pendidikan akhlak adalah membentuk
pribadi yang berakhlak. Pembentukan pribadi yang berakhlak tidaklah terlepas dari tujuan
pendidikan Islam. Pendidikan Islam itu sendiri bertujuan membentuk insan kamil yang tentunya
sifat dan sikapnya selalu mencerminkan pribadi muslim. Pembentukan pribadi muslim yang
berakhlak mencakup aspek jasmaniah dan ruhaniah. Keduanya merupakan target pembentukan
pribadi yang berakhlak.
Pengaruh modernisasi dan industrialisasi sebagai dampak dari era globalisasi diharapkan dapat
dinetralisasi dengan tetap mempertahankan akhlakul karimah dalam kehidupan keluarga dan
lingkungan masyarakat. Pendidikan akhlak dalam era globalisasi sangatlah menentukan. Di saat
pendidikan sekarang ini yang semakin sekuler dan materialis sehingga nilai-nilai akhlak dan
moralitas bermasyarakat dalam erosi yang sangat besar. Manusia cenderung hanya mengejar
tuntutan materi saja dan hal ini membawa manusia pada situasi yang dilematis, manusia telah
kehilangan nilai kemanusiaan. Manusia telah menjadi mesin kehidupan yang harganya bisa diukur
dengan uang atau benda lainnya. Di sini terlihat urgensi pendidikan akhlak agar manusia tidak
kehilangan kemanusiaannya dan selanjutnya terwujud sebuah masyarakat yang madani.
2.5 TRI GUNA DAN DASA MALA
Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat komprehensif, dalam arti tidak saja
mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan
segala aspek kehidupan manusia. Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri
Kerangka agama Hindu.Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa (filsafat), susila
(etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya
dan satu dengan yang lain saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah
kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah kuning telur.
6
Bila salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak. Begitu juga
pengetahuan/tatwa yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak
akan harmonis. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu
ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama ini diperlukan adanya suatu
peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku
yang baik disebut tata susila. Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su”
artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam
kitab Wraspati tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila ngaranya
angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang
baik.
Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat bangunan jika landasan atau
pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut akan mudah roboh. Jika tata susila sudah
dibangun atas dasar agama sebagai landasannya yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu akan
mendalam dan meresap dalam pribadi seseorang. Ajaran tata susila yang berdasarkan ajaran
agama, seperti tertera dalam kitab-kitab Upanisad atau Tattwa, menyatakan suatu dalil yang
mengakui tunggalnya Jiwatman (roh) semua makhul dengan Tuhan (Paramatma). Dengan adanya
ini maka kita akan merasakan suatu renungan kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita
sebenarnya adalah satu dan sama dengan makhluk lainnya.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di mana-mana yang menjadi dasar
hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam
semua makhluk terpisah satu dengan yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang
pada dasarnya dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya antara Jiwatman
seseorang dengan Jiwatman orang lain.
Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu Atman yang meresapi segalanya.
Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu
merugikan tetanggamu sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan
makhluk hidup lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam tiada
lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang merupakan dasar kebenaran methapisik
yang mendasari segala kode etik Hindu. Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar
dalam semua makhluk.
Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena di antara makhluk hidup,
manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki
Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik.

7
Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk
berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya,
sloka 160 disebutkan sebagai berikut :
“Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam
kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang
dussila, aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika
kabeh, yan tan hana silayukti”.
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku
titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya,
dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada
kesusilaan.
Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia
inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping
pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik
ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebijakan
agar tidak jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan
sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya.
Tata susila membina watak manusia agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota
masyarakat yang baik, anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia
sehingga mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat
dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi,
karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat
memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan
istilah anandha, suka tanpa wali duka.
Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat
baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi
kecenderungan budhi manusia menjadi dua bagian, yaitu :
➢ Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
➢ Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama
manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3
dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas
tapa arjawam”.

8
Artinya :
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga,
berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat
berpantang dan jujur.

“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya


bharata”.
Artinya :
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan,
ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.

“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si
pandawa.
Artinya :
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang
bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau
dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita
hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan
asur. (Bhawadgita, XVI.4)
Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah
tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.

“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena


widhipurvakam.” (Bhawadgita, XVI.17)

Artinya :

9
Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan
kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.

“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad
etat trayam trajett.” (Bhawadgita, XVI.21)
Artinya :
Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan
loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.
Oleh karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul
suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuan), semua
makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua
makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan
Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah
Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di dalam kitab
Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan
kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.
Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh setiap manusia.
Demikian harus kita sadari, betapa pentingnya ajaran tata susila itu kita terapkan. Tata
susila pada dasarnya bertujuan untuk membina hubungan yang selaras / rukun antara seseorang
(Jiwatman) dengan mahluk lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara satu bangsa
dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad dan Asuri sampad pada diri manusia disebabkan oleh
beberapa faktor, bisa faktor intern, bisa dari faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut.
Berkaitan dengan keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan kita untuk selalu menumbuh
kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.

• TRI GUNA
A. Pengertian tri guna
Triguna terdiri dari 2 kata yakni“Tri” yang artinya tiga (3)“Guna” yang artinya sifat Jadi,
Triguna artinya : tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dengan
yang lainnya saling mempengaruhi dan membentuk watak seseorang. Apalagi diantara ketiga sifat-
sifat tersebut terjalin dengan harmonis, maka seseorang akan dapat mengendalikan pikirannya
dengan baik. Akan tetapi, hubungan antara ketiga sifat itu akan terus bergerak bagaikan roda kereta
yang sedang berputar silih berganti, saling ingin menguasai sifat yang lain, selama manusia hidup.
10
B. BAGIAN- BAGIAN TRIGUNA
• Sifat Sattwa atau Sattwam

Sifat sattwa atau sattwam yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang,
tentram, waspada, disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya.

• Sifat Rajah atau Rajas

Sifat rajah atau rajas yakni sifat lincah, gesit, goncang, tergesa-gesa bimbang,
dinamis, irihati, congkak, kasar, bengis, panas hati, cepat tersinggung, angkuh dan
bernafsu.

• Sifat Tamah atau Tamas

Sifat tamah atau tamas yakni sifat paling tidak sadar, bodoh, gelap, sifat pengantuk,
gugup, malas, kumal dan kadang-kadang suka berbohong.

Pengaruh Triguna pada Kehidupan Pribadi Seseorang


Orang yang dikuasai oleh sifat sattwam biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati
yang damai serta welas asih. Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu
secara matang, kemudian barulah dilaksanakannya. Segala pikiran, perkataan, dan
perilakunya mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan. Seperti tindakan Sang Yudistira
dan Sang Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan Sang Rama dan Wibhisana
dalam cerita Ramayana.

Orang yang dikuasai oleh sifat rajah biasanya selalu gelisah, keinginannya bergerak cepat,
mudah marah dan keras hati. Orangnya suka pamer, senang terhadap yang memujinya dan
benci terhadap yang merendahkannya. Yang baik pada sifat rajah itu adalah sifat giat
bekerja dan disiplin.

Orang yang dikuasai sifat tamah biasanya berpikir, berkata, dan berbuat sangat lamban.
Kadang-kadang enggan, malas, suka tidur, rakus, dan dungu. Besar birahinya, keras
keinginannya, serta suka tidur campur dengan anak dan istrinya.

• DASA MALA
Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan budhi
manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri Sampad.
11
Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat tidak baik (Asubha
Karma). BanyaK perilaku yang tidak baik yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama
Hindu perbuatan-perbuatan yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam
diri manusia. Ada beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri Mala, Sad Ripu,
Sad Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh macam sifat-sifat yang
kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena tergolong Asubha Karma.
Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan
dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan
susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian
dari Dasa Mala tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan
kejahatan sikap malas adalah sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
sikap ini merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke
dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau
melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa mencapai
Kesempurnaan hidup. Hilangkan sifat bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat
dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma
dengan Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan
kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maskud orang lain.
Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh
sifat-sifat tamas. Orang yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat
tamas akan menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih unggul
dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk maju/untuk mencapai
Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya. Jangan cepat terputus asa
dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nuda waktu untuk melakukan tugas dna
kewajiban karena hidup kita hanya sebentar.

3. Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan. Pikrian
paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah
yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak
baik maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Oleh karena
itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan menjadi gelap. Pikiran
gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa nafsu sangat merugikan diri kita maupun
orang lmain. Upayakan untuk menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa
nafsu. Ada tiga cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :

12
• Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
• Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak membenci semua mahluk.
• Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran
hukum karmaphala.
1. Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru
Menyakiti dan membunuh mahluk lain, lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka
pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-
hal yang bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam
pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun pada kehidupan
yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma menjadi ahimsa karma. Ahimsa
(tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan mahluk lain menderita, agar
kehidupan kita menjadi tenang, tentram dan bahagia.
Kubaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan
keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini
memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga kita akan menjadi sakot.
Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan
mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat
mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita
dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang
lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang lain bahkan bisa
menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati
kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan
mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri
(Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
1. Tidak suka mencaci maki
2. Tidak berkata kasar pada orang lain
3. Tidak memfitnah
4. Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
Megara artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih Perbuatan jahat tergolong asubha
karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan rohani.
Ada tiga macam pengendalian perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :
1. Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
2. Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain (tidak mencari)
3. Tidak berzina

13
Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa. Ragasti merupakan sifat-sifat yang
bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri sempat/sifat-sifat
keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat
suka memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika
ragastri dibiarkan maka akan menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan
sifat-sifat itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya, serta mengisi
diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bisa menuntut jiwa bersatu dengan Ida snag Hyang
Widhi Wasa.
Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.
Berpoya-poya berarti mempergunakan harta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan
melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa
kekayaan yang berlimpah jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru
menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur dan
sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup sederhana akan bisa juga meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.
Kimharu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan
irihari. Sifat dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (Asubha Karma).
Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan saking kuatnya sifat dengki dan iri hati
bercokol pada diri seseorang, diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena
itu dia katakana sebagai salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang
enam jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama, Loba Krodha, Mada,
moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat
kurang simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga termasuk
salah satu sifat yang kotor dari sepuluh macam sifat kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita
kendalikan agar tercapai kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Demikianlah sepuluh yang menyebabkan manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah
hal tersebut dan dihindari Dasa Mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham
jagadhita yang ca iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan
berbuat baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa kasih sayang
kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa Mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal
ini bisa kita lihat dalam masyarakat begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak
kejahatan terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda
duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan orang lain. Orang banyak
mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, seperti kasus
pengeboman di beberapa daerah di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga
dapat melakukan perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa penyesalan atas
peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa.
14
Belum genap setahun tragedy bom bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan
terjadi bom di Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa
orang seperti itu sudah diliputi oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar dan
gembira melakukan kejahatan).
Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering berkata sembarangan, saling
mencari maki, memfitnah yang dapat menimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan
terbunuhnya orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit
empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang diucapkan hanyalah sebagai alat
untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap
benda-benda duniawi, banyak orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri
,seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang
dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian melakukan
pemerkosaan.
Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi, orang tidak lagi menghormati orang lain,
banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru, dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang
tuanya. Pelecehan seksual sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya sendiri.
Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat tindak criminal, seperti
perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan
seperti patah satu tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi
pemandangan yang biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak
manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman kali yuga ini artha
di agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan segala-galanya,
seperti disebutkan did alam kitab Nitisastra IV.7 sebagai berikut :
Singih yan tekaning yuganta kali tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu
pandita widagha pada mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu
ratu pada hna kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”
Artinya :
Sesungguhnya bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai.
Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi
kepada orang yang kaya. Semua pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang,
keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu
dan mengumpat orang tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan
kepandaian.
2.6. Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
Tri Guna ini merupakan tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat kita
lihat di dunia ini ada bermacam-macam. Kecenderungan sifat manusia.
15
Ada orang yang berpenampilan lemah lembut selalu ramah, dan menyenangkan bagi yang
melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal
tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang penampilannya awut-awuran, tidak
terururs serta pemalas. Semua penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-
bagian Tri Guna yang tidak seimbang.
Beberapa sloka dalam kitab suci yang memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap
kepribadian manusia adalah sebagai berikut :
“Yan satwawika ikang citta, ya hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala,
dumeh ya gumawayaken rasaning agama lawan wekas ning guru
(Wrghaspati tattwa, 20)
Artinya :
Apabila sattwa citta itu, Itulah Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena
itu ia suci, menyebabkan ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.
Yapwan pada gong nikang sattwa lawan rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama
denya, kedadi pwakang dharma denyu kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan
ikang sattwa mahyun ing gawe hayu, ikang rajah manglakwaken”
(Wgraspati tatwa, 20)
Artinya :
Apabila sama besarnya anatara sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin
mengamalkan dharma olehnya, berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah
menyebabkan pulang ke sorga, sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang
melaksanakan.
Yan pada gingnta katelum ikang sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma
manusia, apaan pada wineh kahyunya”
(Wraspati tatwa, 22)
Artinya :
Apabila sama besarnya ketiga Guna, Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang
menyebabkan penjelmaan manusia karena sama memberikan kehendaknya /
keinginannya.
“Yapwan citta si rajah magong, kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma
tibeng naraka”
(Wrhspati tattwa, 23)

16
Artinya :
Apabila citta si rajah besar, hanya marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang
menyebabkan jatuh ke neraca.
Berdasarkan sloka tersebut di atas maka jelaskah yang menyebabkan adanya perbedaan
kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam, rajah, dan tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma
muncul suka duka.
Demikianlah penjelasan beberapa sloka kita Wrhaspati tattwa, yang pada dasarnya
menyatakan bahwa Tri Guna ada pada setiap prnag hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda.
Orang yang lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana,
berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga merupakan sifat
sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang tersebut menjadi
tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat congkak dan iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah.
Namun bila guna tamaha lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut
menjadi lamba, malas dan bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk
sifat-sifat tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna tersebut
merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan
diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak
apapun pada manusia. Dan pengaruh Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang
digolongkan sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Tri Guna pada hakekatnya merupakan bagian dari
prakerti/predhana, sebagai asas kebedaan. Bila Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna
mulai aktif dan ingin saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan tamah,
maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama kuatnya, maka Atma
mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma
sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang,
maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan
Tamah, menyebabkan Atma jatuh ke alam neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari
Sattwam dan rajah , maka Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dari penjelasan tersebut, kita mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna sangat
berpengagruh terhadap baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia hendaknya mampu
mengendalikan Tri Guna ini dengan baik, menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri
Guna akan memebirkan manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah ke arah
Sattwam, karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana menyebabkan Atma mengalami
kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh hal yang kita hindari.

2.7. PENGERTIAN DAN BAGIAN-BAGIAN CATUR WARNA , CATUR ASRAMA DAN


CATUR PURUSARTHA.
17
A. Catur Warna
Kata Catur Warna berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata Vr yang berarti pilihan.
Catur warna berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadinya
masing-masing. Sistem kemasyarakatan Agama Hindu “Catur Warna” yang di dalam sejarah
perkembangannya mengalami bintik-bintik hitam. Bintik-bintik hitam itu dapat meracuni tata
kemasyarakatan Hindu “Catur Warna”, dimana asal-usulnya bukanlah dimaksudkan demikian.
Hal ini merupakan persoalan yang mesti dihadapi oleh masyarakat Hindu secara umum sebagai
suatu struktur tetap dari masyarakat Hindu. Dalam kehidupan individu “Warna” adalah amat
penting karena dapat pula merangsang hidup manusia untuk berbuat baik atau jahat. Prilaku jahat
sebagai akibat tidak langsung yang dapat ditimbulkan setiap saat. Warna “Catur Warna” memiliki
manfaat sangat strategis dalam upaya meningkatkan professional umat Hindu.
Kata “Catur Warna” dalam ajaran Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata
“Catur dan Warna”. Catur berarti empat dan Warna berarti tutup, penutup, warna, bagian luar,
jenis, watak, bentuk, kasta. Catur Warna berarti empat pengelompokkan masyarakat dalam tata
kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya. Pemahaman tentang
“Catur Warna” dapat dirumuskan berdasarkan sastra drstha.
Yang dimaksud pemahaman “Catur Warna” berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman
yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang catur warna menurut rumusan kitab suci,
seperti :
“Caturvarnyammaya srstam, gunakarma vibhagasab, tasya kartaram apimam, viddhy
akartaram avyayam” (Bhagawan Gita IV.13)
Artinya :
“Catur Warna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan
pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan
perubahan.
Demikianlah kitab suci menyebutkan bahwa konsepsi tentang “Catur warna” diciptakan
oleh Sang Hyang Paramakawi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap orang yang lahir ke
dunia ini sudah barang tentu memiliki dan membawa keahliannya masing-masing. Oleh karena itu
diantara kita hendaknya mau dan mampu belajar untuk mengakui kemampuan dan professional
ciptaan beliau secara jujur dan bertanggung jawab. Hindarkanlah diri kita masing-masing untuk
mendiskriditkan sesame kita. Mengapa demikian dan yang manakah bagian-bagian dari “Catur
Warna” itu?
B. Bagian-bagian Catur Warna
Untuk dapat menjadi manusia yang baik, manusia hendaknya selalu mengadakan
kerjasama yang harmonis dengan sesame mahluk ciptaan-Nya.
18
Manusia itu hendaknya selalu merealisasikan ajaran Tat Twam Asi, Maha Kekal, tanpa
awal dan akhir yang sering disebut “Wiyapi-wiyapaka nirwikara”. Wiyapa-wiyapaka berarti
meresap, mengatasi, berada disegala tempat (semua mahluk) terutama pada manusia. Kriya (karya)
saktinya Tuhan, yang paling utama adalah mencipta, memelihara dan melebur alam semesta ini
beserta segala isinya termasuk manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Percikan Tuhan yang ada
dalam tubuh manusia disebut atman atau jiwatman. Didalam kitab upanisad disebutkan “Brahman
atman aikyam” yang artinya Brahman (Tuhan) dengan atman adalah tunggal adanya.
Kitab Candogya Upanisad menyebutkan “Tat Twam Asi”. Kata tak berarti itu atau dia,
Twam berarti engkau, dan Asi berari adalah/juga. Jadi Tat Twam Asi berarti dia atau itu adalah
engkau juga. Didalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesuilaan
yang tanpa batas, yang identik dengan “prikemanusiaan” dalam Pancasila. Konsepsi sila
prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh adalah merupakan
realisasi ajaran tattwamasi yang terdapat dalam kitab suci Weda. Dengan demikian dapat dikatakan
mengerti dan memahami, serta mengamalkan, melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan
ajaran Weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tattwamasi ini “ia adalah kamu,
saya adalah kamu, dan semua mahkluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain
berarti juga menolong diri kita sendiri. Disini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta
dan keihklasan sesuai dengan ajaran agama Hindu.
“Brahmanaksatriyavisam, sudranam ca paramtapa, karmani pravibhaktani, svabhava
prabhavair gunaih (Bhagawad Gita XVIII.41)
Artinya :
“Oh, Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai
halnya Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan juga Sudra.
Pengelompokkan masyarakat menjadi empat kelas ini sebenarnya bukan saja hanya
terdapat pada Hindu saja, tetapi bersifat universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam, bakat
kelahiran manusia. Setiap kelompok dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak
selalu ditentukan oleh keturunan, sebagai mana dijelaskan dalam kitab Bhagawad Gita. Teori
warna adalah sangat luas dan mendalam. Tiap-tiap individu adalah fokus dari yang maha tinggi.
Selama manusia melakukan pekerjaan sesuai dengan alam kelahirannya, itu adalah baik dan benar.
Dan bila mereka hanya mengabdikan diri kepada Tuhan, pekerjaannya adalah menjadi alat
penyempurna dari jiwanya.
Problem dari kehidupan manusia pada dasarnya adalah menemui kebenaran dari jiwa kita
dan lalu hidup menurut kebenaran itu. Ada empat tipe pada garis besarnya kehidupan manusia itu,
yakni dengan mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak ditentukan
oleh kelahiran akan tetapi karakteristik psykhologis. Yang manakah bagian-bagian dari catur
warna tersebut?
Untuk lebih memudahkan kita memahami tentang keberadaan “Catur Warna” ke empat bagian
yang dimaksud adalah :
19
1. Brahmana Warna
2. Ksatrya Warna
3. Wesya Warna
4. Sudra Warna

Masing-masing bagian dari Catur Warna tersebut diatas dapat dijelaskan secara singkat seperti di
bawah ini :
Brahmana Warna adalah individu atau golongan masyarakat yang berkecimbung dalam
bidang kerohanian. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena
ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang
disebut Brahmana karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kerohanian.
Kesatrya Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang
memimpin bangsa dan Negara. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan,
melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan
tugas itu. Seseorang disebut kesatrya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kepemimpinan.
Wesya Warna adalah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang
pertanian dan perdagangan. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan
karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seseorang disebut wesya karena ia memiliki
kelebihan dalam bidang pertanian dan perdagangan.
Sudra Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang
pelayanan atau membantu. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan
karena ia memiliki kemampuan tenaga yang kuat dan mendapatkan kepercayaan untuk
menjalankan tugas-tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seseorang disebut
sudra karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pelayanan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut dapat dinyatakan bahwa yang disebut Catur Warna
adalah mengelompokkan masyarakat guna dan bakat. Penggolongan masyarakat ini didasarkan
atas fungsional, oleh karena pembagian golongan ini didasarkan atas tugas, kewajiban, dan
fungsinya di dalam masyarakat. Penggolongan ini bukan bersifat turun-temurun. Adanya
penggolongan ini merupakan suatu kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat.
Sistem warna tidak sama dengankasta, sebab agama Hindu mengutamakan ajaran Tat
Twam Asi dalam memupuk pergaulan dan kerjasama dalam masyarakat. Jadi semuanya itu
berdasarkan sifat dan sikap saling hormat-menghormati untuk meningkatkan sikap kemanusiaan
yang agamis.
20
Siapa saja diantara umat kebanyakan akan dapat menjadi “Brahmana, Kesatrya, Wesya,
dan Sudra” bila memiliki kemauan dan kemampuan untuk itu. Tinggi rendahnya kedudukan
seseorang di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh keturunannya, melainkan oleh
kemampuannya untuk menjalankan suatu tugas.
C. Catur Asrama
Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur
yang berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan “Kerohanian”. Kata “Asrama”
sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan
rohani, waktu, umur, dan sifat prilaku manusia.
Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan
rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi
rohani yang mantap mengalami ketenangan dan berkeseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti
empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.
Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas bahwa hidup itu
di program menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup
diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan
menunjukkan hasil yang sempurna. Dalam fase pertama, kedua, ketiga dan ke empat rumusan
tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada
dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang
kedua, ketiga ataupun ke empat. Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan
berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan tidak
sulit tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mendapatkan pengalaman
sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan
mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing-masing jenjang itu, memiliki warna
tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu
diharapkan Atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.
D. Bagian-bagian Catur Asrama
Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian
Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut :
“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang Catur
Asrama ngaranya”. (Silakrama hal 8).
Artinya :
Yang bernama Catur Asrama ialah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.
Berdasarkan uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur
Asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasraman berdasarkan petunjuk kerohanian.
21
Dari ke empat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia
secara berjenjang. Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju
ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa sebagai akhir
pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat. Adapun pembagian dari Catur
Asrama itu terdiri dari unsur –unsur sebagai berikut :
• Brahmacari Asrama
• Grhastha Asrama.
• Wanaprastha Asrama.
• Bhiksuka “Sanyasin” Asrama.
Masing-masing jenjang dari memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya.
Pelaksanaan jenjang perjenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban
moral dalam hidup dan dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan
yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan oleh
pelakunya. Idialnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan” yang patut kita
keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah
membantu secara ikhlas untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita
hanya mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama
telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak hanya biasa dan kaya mengeluh. Renungkanlah
sloka suci berikut ini :
“Niyatam kuru karma tvam, karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi cha ten a prasidheyed
akarmanah (Bhagawadgita III.8.42).
Artinya :
Lakukan pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik
sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu
tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.

“Yajnarthat karmamo nyatra, loko yam karma bandhanah, tadartham karma kaunteya,
muktasangah samachara (Bhagawadgita III.9.43).
Artinya :
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh
Hukum Karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai Yadnya,
bebaskan dari semua ikatan.
Demikainlah Sri Bhagawan Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah
diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya.
22
Tujuannya tiada lain adalah agar semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah
menjadi yoga, sehingga kegiatan itu dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Bila seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka
menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi
Karma Yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri,
dengan rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan
mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut :
“Na buddhi bhedam janayed, ajananam karmasanginam, joshayet sarva karmani, vidvam
yuktah samacharan” (Bhagawadgit III.26.50)
Artinya :
Orang yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang
terikat pada pekerjaanya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa
yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja.
Bekerjalah “Karma” untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini
sebagai mana dijelaskan dalam ajaran Catur Purusa Artha. Hanya dengan melakukan kewajiban
Karma seseorang akan terbebas dari semua masalah yang dihadapinya. Apakah Catur Purusa Artha
itu?
E. Catur Purusa Artha
Di dalam ajaran agama Hindu terdapat suatu prinsip ajaran yang berbunyi “Moksa artham
jagadhita yaca iti dharma” yang berarti tujuan umat manusia beragama adalah untuk mencapai
“Jagadhita” atau sejaktera dan “Moksa” atau kebahagiaan. Jagadhita adalah tercapainya
kesejahteraan jasmani, sedangkan Moksa adalah terwujudnya ketentraman bathin, kehidupan
abadi yakni manunggalnya Sang Hyang Atma (roh) dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kitab
Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
“Yatnah kamarthamoksanam krtopi hi wipadyate, dharmamaya punararambhah sankalpopi
na nisphalah. Ikang kayatnan ri kagawayaning kama, artha, mwang moksa, dadi ika tanpa
phala, kunang ikang kayatnan ring dharmasadhana, niyata maphala ika, yadya pin
angenangen juga, maphala atika” (sarasamuscaya, 15).
Artinya :
Supaya diperhatikan dengan diingat-ingat dalam mengusahakan Kama, Artha dan Moksa,
sebab tidak ada pahalanya. Adapun yang harus diusahakan dengan jalan dharma, tujuan
itu pasti tercapai, walaupun hanya dalam angan-angan saja akhirnya akan berhasil.
Memperhatikan sloka di atas, jelaslah bahwa “Moksa Artha jagadhita ya ca iti dharma”
adalah merupakan ajaran tentang tujuan hidup umat manusia. Ajaran tersebut selanjutnya
dijabarkan dalam konsepsi “Catur Purusa Artha” atau sering juga disebut dengan istilah “Catur
Warga”. Jadi kata “Catur Purusa Artha” atau “Catur Warga” dapat diartikan;
23
Catur berarti empat, Purusa berarti jiwa atau manusia, dan Artha berarti tujuan hidup. Catur
Purusa Artha berarti empat tujuan hidup manusia yang utama. Sedangkan Catur Warga, yang
terdiri dari kata Catur berarti empat dan Warga berarti jalinan erat atau golongan. Catur Warga
berarti empat tujuan hidup umat manusia yang utama yang terjalin erat antara yang satu dengan
yang lainnya.
Demikianlah ajaran ini sudah sepatutnya untuk selalu dipedomani dalam pengabdian hidup
ini. Bila kita tidak ingin mendapatkan tantangan yang lebih berat lagi, kenapa harus menunggu
lebih lama lagi. Tidak ada waktu terlambat untuk belajar memulai membiasakan diri berbuat baik.
Bukanlah beliau bersifat maha pemaaf, maha pemurah, maha pelindung dan maha kasih? Pahami,
pedomani dan wujudkanlah dalam setiap langkah hidup kita ini dengan bagian-bagian dari ajaran
Catur Purusa Artha sebagai satu kesatuan yang utuh. Yang manakah bagian-bagiannya?
F. Bagian-bagian Catur Purusa Artha
Ajaran Catur Purusa Artha merupakan modal dasar umat Hindu berupaya untuk
mewujudkan tujuannya beragama. Tujuan dari pada umat beragama patut dipedomani dengan
ajaran “Catur Purusa Artha”. Dengan demikian maka cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan
hidup jasmani dan kebahagiaan hidup rohaninya dengan sendirinya akan tercapai. Mencapai
kebahagiaan jasmani atau kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (kebahagiaan yang
kekal) hendaknya dijadikan komitmen dalam hidup ini. Tujuan ini disebut dengan “Moksa Artha
jagadhita ya ca iti dharma”. Ajaran tentang Catur Purusa Artha adalah merupakan ajaran yang
bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Banyak inteprestasi tentang ajaran tersebut akan
ditemukan namun hakekat ajarannya akan tetap sama. Apakah yang dimaksud dengan Catur
Purusa Artha?
Di dalam Kitab Brahma Purana mengenai Catur Purusa Artha ada disebutkan sebagai
berikut :
“Dharmartha kama moksaran sariram-sadhanam” (Brahman Purana 228,45).
Artinya :
Tubuh adalah alat (untuk mendapat) Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Selanjutnya dalam kitab Astha Dasa Parwa pada bagian Udyoga Parwa kita temukan ajaran
yang berkaitan dengan hakekat dharma, sebagai berikut :
“Ikang dharma ngaranya, hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu, an hetuning
banyaga nertasing tasik (Udyoga Parwa).
Artinya :
Yang disebut Dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke surge, sebagai halnya
perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi pedagang dalam mengarungi lautan.

24
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa manusia harus menyadari apa yang
menjadi tujuan hidupnya. Apa yang harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya. Semuanya
itu tak lain adalah sebagai pengalaman dari ajaran dharma sebagai salah satu bagian dari ajaran
Catur Purusa Artha. Yang manakah bagian-bagian dari ajaran catur Purusa Artha itu?
Sesuai dengan beberapa penjelasan tersebut diatas yang termasuk bagian-bagian dari Catur
Purusa Artha antara lain :
• Dharma
• Artha.
• Kama.
• Moksa
Penjelasan lebih lanjut tentang bagian-bagian ajaran catur Purusa Artha, secara singkat dapat
diikuti pada uraian hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusa Artha sebagaimana terurai
berikutnya setelah uraian singkat darihubungan catur Warna dengan Catur Asrama.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik,
mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan. Susila adalah tingkah
laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
Beberapa ajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan susila adalah . Susila Sad Atatayi,
Etika, Triguna dan dasa mala ,Catur Warna , Catur Asrama Dan Catur Purusartha.
Contoh-contoh beberapa perbuatan susila adalah memberikan sedekah, memberi pelajaran
dan nasihat-nasihat kepada orang-orang miskin, memberikan pertolongan kepada orang lain,
melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha.

3.2 Saran-saran
Saran yang dapat kami berikan adalah dalam kehidupan sehari-hari kita sangat perlu
melaksanakan susila itu, dengan melaksanakan ajaran susila akan dapat memberikan
manfaat yang bagus dikehidupan kita. Pahami dan laksanakan ajaran susila tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA
Ayounajuz.Blogspot.Com/2009/06/Susila.Html
Belajaragamahindu.Wordpress.Com/…/Akibat-Tri–Guna-Dan-Dasa-Mala/
https://aryakus.wordpress.com/2012/04/16/makalah-tentang-susila-3/

27

Anda mungkin juga menyukai