Anda di halaman 1dari 3

3.

Berdasarkan peristiwa yang diceritakan dalam artiker jurnal, Bagaimana dampak peristiwa
tersebut terhadap keadaan psikologis masyarakat Indonesia ?
Jawaban:
Peran sejarah dalam ingatan sosial bangsa perlu disadari pengaruhnya bagi kehidupan
bangsa. Hingga tahun 1998 bangsa Indonesia telah melalui berbagai konflik kekerasan, baik pada
tingkat lokal maupun nasional. Sekalipun penyelesaiannya telah dilakukan dampaknya
memengaruhi persatuan dan
kesatuan nasional. Jika dicermati kilas balik psiko sosial historis bangsa Indonesia menunjukkan
adanya benang merah kekerasan yang melahirkan manusia-manusia lebih dari satu generasi
dengan simtom-simtom trauma. Ingatan sosial yang sifatnya traumatik akibat dari kekerasan ini
seringkali tertanam dalam berbagai konflik sosial yang kemudian muncul. Hal ini disebabkan
karena ingatan sosial membentuk Batasan tentang kelompok-kelompok yang berlawanan.
Identitas suatu kelompok ditandai oleh sikap dan rasa ‘kekitaan’ terhadap ingatan kolektif
tersebut. Diletakkan dalam konteks hubungan antar kelompok, kelompok kita adalah yang
‘paling benar’, sedangkan kelompok ‘mereka’ yang liyan adalah salah. Bila kondisi ini dibiarkan
tanpa suatu bentuk penyelesaian dapat mempunyai pengaruh yang besar untuk terjadinya siklus
kekerasan. Berbagai riset sosial psikologis tentang konflik sosial maupun kekerasan
menunjukkan adanya hubungan antara ingatan (traumatik) sosial dengan kehidupan kebangsaan
(Pennebaker, 1997).
Dalam konteks sejarah, ingatan sosial tentang masa lalu dan kehidupan kebangsaan
dengan demikian tidak dapat dipisahkan. Bila ingatan sosial yang sifatnya traumatik dibiarkan
sebagai sesuatu
yang dengan berlalunya waktu akan memudar dan menghilang, maka ia sebenarnya tertekan,
terpendam ke dalam alam bawah sadar sebagai suatu kenangan yang menyakitkan, suatu
‘memoria passionis’. Suatu saat ia bisa timbul sebagai simtom-simtom perilaku kekerasan dalam
perilaku sosial masyarakatnya. Bila simtom-simtom ini berakumulasi tidak terhindarkan
kemungkinan untuk terjadi konflik kembali. Titik temu atau bahkan persilangan antara ingatan
yang bersifat individual dengan peristiwa sejarah Tragedi 1965 dapat diberikan melalui contoh
yang dirasakan oleh penulis sendiri :
“Sungguh tidak mudah untuk mengungkapkan apa yang telah kami lalui selama lima hari
pertama di bulan Oktober (1965) itu...secara tiba-tiba kehidupan kami berbenturan dan berbaur
dengan kehidupan
bangsa. Kamipun menyejarah ke dalam sejarah bangsa. Kami sulit memisahkannya secara
murni”. (Sutojo, N.N., 2013 : 66-67). Jika pengalaman individual ini dikenakan pada jumlah
penyintas yang masih dapat menjalani kehidupannya dapat dipahami bagaimana ingatan sosial
yang terbentuk dan berkembang memengaruhi kehidupan dan ingatan sosial masyarakat
mengenai tragedi tersebut. Mengenang Tragedi 1965 selalu membawa dilema tersendiri. Ingatan
sosial yang ada senantiasa dihadapkan pada kontestasi interpretasi yang muncul namun tidak
pernah jelas dan tuntas. Di lain pihak sejalan dengan perkembangan kehidupan yang terjadi pada
diri penyintas serta perubahan sosial kemasyarakatan yang terjadi kenangan terhadap tragedi
tersebut seakan kian memudar. Penyintas seakan berdiri di titik silang antara ‘ a personal
memory of history, a personal history of memory’: ingatan personal (terkait tragedi) tentang
sejarah dan sejarah personal tentang ingatan (terkait tragedi). Ingatan sosial itu sendiri
merupakan fondasi dari berkembang serta berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat. Tanpa
ingatan tidak ada identitas.
4. Bagaimana cara yang direkomendasikan penulis artikel untuk menghilangkan gejala
psikologis terebut ?
Jawaban:
Ingatan dan emosi akan mudah muncul kembali setiap kali ada peristiwa serupa yang
muncul
dan terasosiasikan dengan masa lalu tersebut. Disebut trauma sosial karena secara sosial
psikologis
mengakibatkan penderitaan pada banyak orang yang mengalami satu peristiwa traumatik yang
sama secara bersama penting mengintegrasikan ingatan dan emosi korban, penyintas dalam
ingatan sosial bangsa sebagai upaya pencegahan atas terulangnya kembali kejadian serupa di
masa
depan. Berbagai ingatan sosial yang traumatis dari berbagai pihak yang berkonflik memiliki
peluang untuk diungkapkan, diakui dan disandingkan sebagai wujud ‘monumen’ peringatan
Bersama agar konflik serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Melalui bentuk yang demikian
artikulasi yang diungkapkan serta narasi yang terbentuk mendapatkan pengakuan secara publik.
Dan juga didengarkan. Hal ini memungkinkan semua yang terlibat dalam peristiwa masa lalu
tersebut untuk melangkah lebih maju dalam menghadapi serta menerima masa lalu. Secara tidak
langsung hal inipun dapat membantu melepaskan beban masa lalu.
Sebagaimana di katakan oleh Waterson (2012 : 10) : “...public acknowledgment of
personal pain serves the purpose oftransforming it into ‘social suffering’, enabling sufferers to
‘stake their historical claims and thereby restore their dignity’ “. Kebenaran dalam
konteksdemikian adalah sebagaimana dialami oleh berbagai pihak yang terlibat. Tidak ada
kebenaran mutlak. Tidak juga ada kebenaran suatu pihak yang berpretensi menjadi kebenaran
tunggal. Dengan terbukanya ruang publik bagi pengungkapan pengalaman dan ingatan akan
penderitaan ini maka menurut apa yang dikatakan (Supelli) “....terbuka pula corak realitas
kekerasan politik, yang di satu pihak bersifat impersonal karena siapapun dapat menjadi korban
sejauh itu diperlukan demi kepentingan politik; dan di lain pihak bersifat amat personal karena
korban dari pihak manapun juga apapun statusnya- adalah manusia denganrasa perasaan yang
amat pribadi dan menderita secara mendalam akibat kekerasan itu”.
5. Ceritakan pengetahuan mu masing – masing tentang tragedi 1965 ! jika belum pernah
mendengar (dari saat membaca jurnal, tuliskan apa adanya).
Jawaban :
Saya belum pernah mendengar tragedi 1965 lebih dalam, saya hanya mengetahui bahwa
Peristiwa 1965 menjadi salah satu catatan hitam Indonesia. Di tahun tersebut, banyak warga
mengalami kekerasan, baik dari militer maupun unsur sipil yang disponsori oleh militer.
Peristiwa ini diawali dengan penculikan dan pembunuhan para Jendral pada 30 September 1965
(G30S). Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding keras menjadi pelaku penculikan dan
pembunuhan dalam peristiwa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai