Anda di halaman 1dari 12

BABAT SIDUNG PARLEMEN DALAM CERPEN "DI

DEPAN GEDUNG PARLEMEN" KARYA M. SHOIM


ANWAR

Sebuah karya sastra terkadang menyiratkan suatu


kehidupan nyata tak terkecuali karya sastra yang diciptakan
oleh M. Shoim Anwar dalam kumpulan cerpen “Tikus
Parlemen”. Dalam setiap karyanya, M. Shoim Anwar mampu
memanfaatkan realita yang menjadikan kehidupan masyarakat
sebagai ide dalam menciptakan suatu karya sastra yang penuh
dengan rasa. Hal demikian dilakukan sebab sebagaimana
fungsi sejati dari karya sastra yang memang diciptakan untuk
menggambarkan sebuah realita dari kehidupan manusia.
Salah satu bentuk karya sastra yang sangat populer di
masyarakat kita hingga kini adalah cerpen. Cerpen merupakan
karya sastra berbentuk tulisan narasi yang dapat membawa
pembacanya masuk ke dalam sebuah alam imajinasi sehingga
pembaca merasa cerpen tersebut sangat realistis. Begitu
nyatanya cerita yang dinarasikan dalam sebuah cepen,
terkadang membuat para pembacanya masuk ke dalam alam
cerita dan merasa seolah-olah menjadi saksi dalam kisah yang
diceritakan dalam cerpen tersebut. Seperti halnya yang saya
alami ketika membaca dan menikmati setiap helaian kalimat
yang ditulis oleh M. Shoim. Saya selaku pembaca selalu dapat
menghadirkan visual yang sangat realistis, pembangunan
suasana yang runtut dan terperinci, perwatakan setiap tokoh
yang komplek dan kandungan amanat yang selalu membuat
jiwa pembaca luluh berterima kasih. Keadaan tersebut
membuat visualisasi pembaca dapat dilahirkan layaknya
sedang berada dalam situasi yang penulis ciptakan.

Yety Lailaturohmah| 35
Berdasarkan pengalaman demikian, dapat dikatakan
bahwa M. Shoim Anwar mampu memberikan gambaran
kehidupan manusia yang luar biasa pada setiap Cerpen yang Ia
tuliskan. Selalu berhasil memberikan visualisasi kehidupan
yang dapat dijadikan sebagai cerminan bagi pembaca dalam
mengambil pelajaran akan sikap hidup yang dikandungnya. M.
Shoim Anwar dalam karyanya juga sering memunculkan
kejadian-kejadian atau konflik yang membuat tokoh dalam
cerita bisa bersikap bijaksana atau bisa mengambil sikap yang
sesuai dalam menghadapi pertikaian yang akan merubah nasib
mereka. Konflik tersebut muncul bilamana kepentingan-
kepentingan masyarakat yang bersifat majemuk tidak
sepenuhnya dapat terpenuhi. Untuk itu, konflik dapat
difungsikan sebagai pengontrol bagi pemenuhan kebutuhan
dan kepentingan masyarakat. Namun demikian konflik akan
menjadi kian parah bilamana pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan tersebut menjadi suatu ihwal yang mustahil.
Merujuk pada pengertian Konflik, Webster
mengatakan dalam bukunya Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z.
Rubin istilah “conflict” didalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Kemudian istilah
“conflict” ini menjadi meluas dan tidak hanya terbatas pada
konfrontasi fisik tetapi menyangkut aspek psikologis, dan
konflik hampir ditemukan dalam segala aspek interaksi
kehidupan umat manusia.
Lebih lanjut Webster memberikan batasan yang lebih
luas yaitu bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak
dapat dicapai secara simultan. Kepentingan disini adalah

Yety Lailaturohmah| 36
perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan,
dan ini menjadi sentral pemikiran yang melandasi tindakan
seseorang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan
niatnya. Kepentingan dimaksud ada yang bersifat universal dan
ada yang bersifat spesifik. Kepentingan yang bersifat universal
dimaksud antara lain kebutuhan, rasa aman, kebahagiaan,
kesejahteraan. Keinginan yang bersifat spesifik seperti bangsa
Palestina ingin untuk memiliki tanah airnya. Sebelum
kepentingan satu pihak dapat bertentangan dengan kepentingan
pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus
diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi, yang didalamnya
terkandung berbagai “tujuan” dan “standar”. Tujuan adalah
akhir dari suatu perjuangan, sedangkan standard adalah tingkat
pencapaian minimal yang lebih rendah, sehingga orang
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak memadai.
Elly (dalam Sadiyah dan Faisol 2017:355 menjelaskan
bahwa faktor penyebab konflik ada empat: 1) perbedaan antar
individu, 2) benturan antar –kepentingan baik: secara ekonomi
ataaupun politik, 3) perubahan sosial, 4) perbedaan
kebudayaan. Kemudian Stanton (dalam Mahrita, 2016:94)
menyatakan bahwa konflik dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu konflik internal dan eksternal. Konflik internal atau
kejiwaan adalah konflik yang terjadi dalam hati jiwa seorang
tokoh cerita. Jadi, konflik ini adalah konflik yang dialami
manusia dengan dirinya sendiri, sedangkan konflik eksternal
adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan
sesuatu dengan di luar dirinya. Konflik eksternal ini dibedakan
dalam dua kategori lagi oleh Jones (dalam Mahrita, 2016:94),
yaitu 1) konflik fisik dan 2) konflik sosial. 1) Konflik fisik
adalah konflik yang disebabkan oleh adanya perbenturan antara
tokoh dengan lingkungan alam; dan 2) Konflik sosial adalah

Yety Lailaturohmah| 37
konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau
masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar
manusia.
Budaya buang hajat ke sungai mengakar setua
peradaban manusia yang tumbuh di bantaran sungai itu sejak
zaman pra sejarah. Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasional DKI Jakarta yang melakukan eskavasi antara tahun
1968 dan 1984 menemukan beragam artefak sepanjang sisi
Ciliwung yang diperkirakan berasal dari masa 2.000-1.500
tahun silam. Ketika Indonesia merdeka dan Jakarta tumbuh
sebagai ibu Kota Negara nan metropolis dengan gedung-
gedung pencakar langitnya, peradaban pra sejarah buang hajat
ke sungai tak hilang di sepanjang sungai itu. Menurut laporan
bersama WHO dan UNICEF Mei 2014, Indonesia menempati
peringkat ke-2 sanitasi terburuk di dunia. Menurut laporan itu,
masih ada 54 juta masyarakat Indonesia yang buang air besar
(BAB) sembarangan di sungai, laut, atau di permukaan tanah.
Dari angka itu, satu juta orang yang buang air besar
sembarangan ada di Jakarta.
Sebuah karya sastra terkadang menyiratkan suatu
kehidupan nyata tak terkecuali karya sastra yang diciptakan
oleh M. Shoim Anwar dalam buku kumpulan cerpen
“Tikus Parlemen”. Dalam setiap karyanya, M. Shoim Anwar
mampu memanfaatkan realita yang menjadikan kehidupan
masyarakat sebagai ide dalam menciptakan suatu karya sastra
yang penuh dengan rasa. Hal demikian dilakukan sebab
sebagaimana fungsi sejati dari karya sastra yang memang
diciptakan untuk menggambarkan sebuah realita dari
kehidupan manusia.
Salah satu bentuk karya sastra yang sangat populer di
masyarakat kita hingga kini adalah cerpen. Cerpen merupakan

Yety Lailaturohmah| 38
karya sastra berbentuk tulisan narasi yang dapat membawa
pembacanya masuk ke dalam sebuah alam imajinasi sehingga
pembaca merasa cerpen tersebut sangat realistis. Begitu
nyatanya cerita yang dinarasikan dalam sebuah cepen,
terkadang membuat para pembacanya masuk ke dalam alam
cerita dan merasa seolah-olah menjadi saksi dalam kisah yang
diceritakan dalam cerpen tersebut. Seperti halnya yang saya
alami ketika membaca dan menikmati setiap helaian kalimat
yang ditulis oleh M. Shoim dalam cerpennya yang berjudul "Di
Depan Gedung Parlemen". Saya selaku pembaca selalu dapat
mengahdirkan visual yang sangat realistis, pembangunan
suasana yang runtut dan terperinci, perwatakan setiap tokoh
yang komplek dan kandungan amanat yang selalu membuat
jiwa pembaca luluh merasa harus berterima kasih. Keadaan
tersebut membuat visualisasi pembaca dapat dilahirkan
layaknya sedang berada dan hadir dalam situasi atau kisah-
kisah yang penulis ciptakan.
Berdasarkan pengalaman di atas, dapat dikatakan
bahwa M. Shoim Anwar telah mampu memberikan gambaran
kehidupan manusia yang luar biasa pada setiap cerpen yang Ia
tuliskan, terkhusus dalam cerpennya yang berjudul "Di Depan
Gedung Parlemen" dalam buku kumpulan cerpen
“Tikus Parlemen”. Penulis selalu berhasil memberikan
visualisasi kehidupan yang dapat dijadikan sebagai cerminan
bagi pembaca dalam mengambil pelajaran akan sikap hidup
yang dikandungnya. M. Shoim Anwar dalam karyanya juga
sering memunculkan kejadian-kejadian atau konflik yang
membuat tokoh dalam cerita bisa bersikap bijaksana atau bisa
mengambil sikap yang sesuai dalam menghadapi pertikaian
yang akan merubah nasib mereka. Konflik tersebut muncul
bilamana kepentingan-kepentingan masyarakat yang bersifat

Yety Lailaturohmah| 39
majemuk tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Untuk itu, konflik
dapat difungsikan sebagai pengontrol bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Namun demikian
konflik akan menjadi kian parah bilamana pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan tersebut menjadi suatu ihwal yang
mustahil.
Merujuk pada laman Konflik, Webster mengatakan
dalam bukunya Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin istilah
“conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian,
peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Kemudian istilah “conflict” ini menjadi
meluas dan tidak hanya terbatas pada konfrontasi fisik tetapi
menyangkut aspek psikologis, dan konflik hampir ditemukan
dalam segala aspek interaksi kehidupan umat manusia. Lebih
lanjut Webster memberikan batasan yang lebih luas yaitu
bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak
dapat dicapai secara simultan.
Kepentingan disini adalah perasaan orang mengenai
apa yang sesungguhnya ia inginkan, dan ini menjadi sentral
pemikiran yang melandasi tindakan seseorang, yang
membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niatnya.
Kepentingan dimaksud ada yang bersifat universal dan ada
yang bersifat spesifik. Kepentingan yang bersifat universal
dimaksud antara lain kebutuhan, rasa aman, kebahagiaan,
kesejahteraan. Keinginan yang bersifat spesifik seperti bangsa
Palestina ingin untuk memiliki tanah airnya. Sebelum
kepentingan satu pihak dapat bertentangan dengan kepentingan
pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus
diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi, yang didalamnya

Yety Lailaturohmah| 40
terkandung berbagai “tujuan” dan “standar”. Tujuan adalah
akhir dari suatu perjuangan, sedangkan standard adalah tingkat
pencapaian minimal yang lebih rendah, sehingga orang
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak memadai.
Elly (dalam Sadiyah dan Faisol 2017:355)
menjelaskan bahwa faktor penyebab konflik ada empat: 1)
perbedaan antar individu, 2) benturan antar –kepentingan baik:
secara ekonomi ataaupun politik, 3) perubahan sosial, 4)
perbedaan kebudayaan. Kemudian Stanton (dalam Mahrita,
2016:94) menyatakan bahwa konflik dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu konflik internal dan eksternal. Konflik internal
atau kejiwaan adalah konflik yang terjadi dalam hati jiwa
seorang tokoh cerita. Jadi, konflik ini adalah konflik yang
dialami manusia dengan dirinya sendiri, sedangkan konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh
dengan sesuatu dengan di luar dirinya. Konflik eksternal ini
dibedakan dalam dua kategori lagi oleh Jones (dalam Mahrita,
2016:94), yaitu 1) konflik fisik dan 2) konflik sosial. 1) Konflik
fisik adalah konflik yang disebabkan oleh adanya perbenturan
antara tokoh dengan lingkungan alam; dan 2) Konflik sosial
adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau
masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar
manusia.
Sebelum melangkah ke dalam pembahasan mengenai
kajian konflik yang ditemukan dalam cerpen yang berjudul "Di
Depan Gedung Parlemen" pada buku kumpulan cerpen
“Tikus Parlemen” karya M. Shoim Anwar, terlebih dahulu
saya uraikan deretan konflik yang tersermin dalam cerpen
tersebut. Berikut penjabarannya:

Yety Lailaturohmah| 41
1. Konflik mengenai permasalahan penanaman pohon di
depan gedung parlemen. Terdapat pada halaman 44-45 yang
tergambar pada dialog berikut.

2. Konflik mengenai permasalahan orang berak di sungai yang


berada tepat di depan gedung parlemen. Terdapat pada
halaman 46-48 yang tergambar pada dialog berikut.

Yety Lailaturohmah| 42
Yety Lailaturohmah| 43
3. Konflik mengenai kasus pembebasan tanah yang dilakukan
oleh rombongan desa Tabungan. Terdapat pada halaman 50
yang tergambar pada dialog berikut.

4. Konflik mengenai perbedaan pendapat dalam pengambilan


keputusan terkait fenomena berak di sungai. Terdapat pada
halaman 55 yang tergambar pada dialog berikut.

Yety Lailaturohmah| 44
5. Konflik mengenai segerombongan orang muda
mendatangani gedung parlemen pada hari kelima. Terdapat
pada halaman 56 yang tergambar pada dialog berikut.

6. Konflik mengenai segerombolan orang memporak-


porandakan kemah di depan gedung parlemen, memukuli
warga tabuhan secara bertubi-tubi. Terdapat pada halaman
57 yang tergambar pada dialog berikut.

Yety Lailaturohmah| 45
7. Konflik akhir mengenai parade pantat dan
bergelantungannya kutang dan celana dalam yang
dilakukan oleh orang-orang dari desa Tabungan. Terdapat
pada halaman 59-60 yang tergambar pada dialog berikut.

Yety Lailaturohmah| 46

Anda mungkin juga menyukai