KARYA DANARTO
Oleh:
Sosiologi Sastra
Konflik Sosial
Konflik disbut sebagai unsur interaksi yang penting dan sama sekali
tidak benar bahwa konflik identik dengan sesatu yang tidak baik, memecah belah
atau bahkan merusak. Justru sebuah konflik dapat menyumbang banyak
hal positif bagi keselarasan kelompok dan mempererat hubungan anggotanya,
Veeger (1998:47). Masyarakat menjadikan sebuah tempat dimana konflik itu
hadir dan berkembang. Oleh karena itu, konflik merupakan sebuah gejala
masyarakat yang selalu ada di setiap kehidupan sosial
Hal-hal yang menjadi faktor hadirnya konflik adalah adanya persamaan dan
perbedaan kepentingan sosial.
Setiap pihak yang berkonflik dapat berupa perorangan, keluarga,
kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau satu lapisan kelas sosial pendukung
ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk
agama tertentu. Secara umum para ilmuwan sosiologi konflik lahir dari konteks
masyarakat yang mengalami pergeseran nilai dan struktural dan dinamika
kekuasaan dalam negara.
Menurut Susan (2014 :19) masyarakat selalu mengalami perubahan
sosial baik pada nilai maupun strukturnya, baik secara revolusioner maupun
evolusioner. Perubahan ini dipengaruhi oleh gerakan sosial dari individu dan
kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. gerakan sosial dalam
suatu kelompok masyarakat dapat muncul dalam berbagai macam bentuk
kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah
pandangan hidup, dan kepentingan merebut peran politik (kekuasaan).
Issues (Isu-Isu)
Isu dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak
teridentifikasi tentang sumber-sumber konflik. Hal ini juga bisa dikatan sebagai
prasangka sosial. Setiap manusia akan selalu melakukan interaksi satu sama
lain atau hubungan timbal balik antara satu dengan yng lainnya dalam sebuah
masyarakat. Akan tetapi dalam setiap interaksi yang dilakukan akan menuai
sebuah argumen atau sebuah keputusan yang mungkin akan menjadi sebuah
prasangka yang negatif bagi salah satu pihak, baik dari kedua belah pihak yang
menjadi pihak utama dan kedua dalam interaksi atau bahkan pihak ketiga
yang tidak secara langsung dalam komunikasi yang terjadi namun masih
memiliki relasi dalam interaksi tersebut. Prasangka sosial ini menjadi salah satu
faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik. Terlebih dengan sumber
yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggug jawabkan kebenarnya.
Tindakan evaluasi dilakukan untuk mengetahui dan menilai pihak
lain demi kepentingan yang lain pula. Berprasanka terhadap orang lain dengan
tujuan diskriminasi dan berbagai hal negatif tanpa didasari dengan penjelasan
yang kuat dan rasional. Adanya prasangaka akan cenderung membawa dampak
negatif terhadap perkembangan kehidupan dalam masyarakat, untuk itu
dibutuhkan cara- cara yang efektif agar prasangka sosial dapat tetap
dikendalikan sebagai mana mestinya.
Parties (Pihak)
Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik.
Terbagi atas beberapa pihak yang ada dalam konflik, yaitu : pelaku utama
konflik dengan segala permasalah yang muncul dari perselisishan diantara
mereka. Pihak kedua yang berarti keluarga terdekat dari pelaku utama
konflik. Selanjutnnya adalah pihak ketiga adalah lingkungan masyarakat yang
mengenal pelaku utama maupun lembaga yang bersangkutan dengan konflik
yang terjadi.
Setiap pihak memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing dalam
konflik yang terjadi. Memiliki keputusan untuk menghentikan atau menjadikan
konflik yang telah terjadi menjadi berlarut-larut atau bahkan membesar. Pihak
berkonflik ditentukan dari bagaimana konflik yang terjadi tumbuh dan
berkembang.
Perbedaan Kepentingan
Manusia memiliki pendirian, ideologi maupun latar belakang yang
berbeda. Karena itu dalam waktu yang sama masing-masing individu atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda. Meski terkadang melakukan
hal yang sama tetapi masih ada kemungkinan memiliki tujuan yang berbeda.
Perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok merupakan faktor lain
penyebab konflik atau pertentangan. Setiap individu tentu memiliki
kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan
sesuatu. Kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan politik, ekonomi,
sosisal, dan budaya. Keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih
baik juga merupakan sebuah kepentingan yang harus dipenuhi oleh setiap
individu maupun sekelompok masyarakat. Perbedaan kepentingan ini akan
mendorong setiap anggota masyarakat untuk melakukan tindakan yang mungkin
akan bertentangan dengan masyarakat yang lain yang memiliki kepentingan
yang berbeda. Sehingga dapat berujung pada sebuah konflik yang diakibatkan
karena perbedaan kepentingan.
Kesulitan dalam menjalani kehidupan suatu masyarakat juga
ditentukan oleh kondisi alam dan geografis dimana masyarakat itu berada. Pada
kondisi yang segalanya serba ada dan dapat memenuhi setiap kepentingan
yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat yang ada, maka perbedaan
kepentingan ini tidak akan terlalu menjadi masalah besar. Namun pada suatu
wilayah yang cukup sulit, hal ini akan sangat berpotensi timbulnya konflik bagi
masyarakat dengan segala kepentingan yang berbeda-beda.
Perbedaan Kebudayaan
Secara sadar atau tidak, kepribadian seseorang sedikit banyak
dibentuk oleh kelompoknya. Mulai dari pola pemikiran, pendirian dan ideologi
yang selalu berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu berdasarkan perubahan
yang terjadi pada kelompok yang ada disekitarnya. Perbedaan kebudayaan
yang sering dialami dikarenakan munculnya kebudayaan baru dalam suatu
kelompok masyarakat. Hal ini mengaibatkan adanya perasaan in group dan
out group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu
sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah
paling baik, ideal, beradab diantara kelompok lain. Jika masing-masing kelompok
yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian maka
sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar kebudayaan.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan
(Rustanto, 2015 :27). Budaya yang ada bisa saja memang lahir dari lingkungan
masyarakat itu sendiri secara turun menurun ataupun dibawa oleh penduduk
asing yang datang dan menetap pada suatu tempat yang baru. Selain itu,
bertambahnya jumlah penduduk pada suatu wilayah tersebut juga sangat
berpengaruh munculnya perbedaan budaya. Dikarenakan berubahnya
keseimbangan antara jumlah kebutuhan baik barang maupun jasa untuk
memenuhi kehidupan masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat harus
berlomba lomba untuk mendapatkan kebutuhan yang diperlukan namun tidak
meninggalkan ideologi budaya yang dimilikinya.
karya sastra itu sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok
Djoko Damono menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang sebagai
penghasil karya sastra. Sejalan dengan hal itu, Watt (dalam Semi, 1968:54)
mengatakan bahwa konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial
Danarto tidak dibesarkan dari kultur pesantren atau keluarga yang islami.
Ayahnya adalah seorang mandor pabrik tebu di Sragen dan ibunya berjualan batik.
mengenal apa yang namanya ritual shalat, apalagi mengaji kitab suci Islam, al-
hamparan sawah di Garut, ia mulai terilhami. Padi-padi yang bersemi dan air yang
mengalir, menumbuhkan kesadaran baru pada dirinya. Jika padi tersebut diguyur
air satu tong maka akan hanyut dan mati, oleh sebab itu harus disiram secara
dirinya. Sejak saat itu, orang yang sering berkemeja putih dalam kesehariannya ini,
cerpen Asmaradana. Cerpen ini mengisahkan seorang gadis bernama Salome yang
spiritual yang pernah dialaminya, mungkin menjadi sebuah pijakan tersendiri untuk
mendalam pada lawan jenis. Dalam cerpen Asmaradana karya Danarto ini, rasa
kepercayaan. Bahwa tidaklah benar melakukan hal-hal konyol, licik, dan keji agar
disampaikan oleh pengarang. Selain itu karya sastra juga disebut sebagai ungkapan
keindahan sastrawan mengenai suatu objek. Sebagai sarana mencari uang, dimana
karya sastra dapat digunakan semata-mata sebagai sarana mencari uang atau untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu pengarang dengan menjual hasil karya sastra
yang mereka buat kepada para pembaca. Karya sastra dapat digunakan sebagai
maksud atau pesan yang ditujukan kepada khlayak umum/pembaca agar para
pembaca melakukan pesan atau maksud yang ada pada karya sastra tersebut,
terlepas dari baik atau buruknya pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
cerpen Asmaradana tidak hanya mengajak kita untuk melihat manusia, dunia dan
isinya, namun memaksa kita memasuki dunia religiusitas. Cerpen dengan latar
ditekankan dalam hal bentuk-gaya dan mulai sedikit meninggalkan isi. Salome
merupakan tokoh sentral dalam cerpen ini. Ia merupakan putri kerajaan yang cantik,
molek, dan baru berusia tujuh belas tahun. Di usia yang masih tergolong muda itu,
Salome menjadi wanita muda yang pintar, petualang dan berpendirian keras. Ia
akan melakukan segalanya sesuai dengan apa yang diinginkan. Masa muda Salome
imajinasi yang sulit diterjemahkan oleh orang lain, apalagi untuk membantu
mewujudkan mimpinya tersebut. Dalam tekanan batin yang terus bergelora dan
segala keinginan yang tidak segera dapat direalisasikan, Salome tumbuh menjadi
Salome hidup di kelilingi oleh harta dan kekayaan. Ayahnya (ayah tiri)
adalah seorang Raja, bernama Herodes, dan Ibunya bernama Herodiah. Keduanya
tumbuh dewasa, Salome dibujuk oleh kedua orang tuanya agar segera mencari
jodoh agar mereka segera mempunyai cucu yang akan meneruskan kekuasaan
menjaga agar anak satu-satunya tersebut tetap aman dan baik, dengan cara
keselamatan Salome.
….
“Baiklah, Ayah. Bahkan apa yang aku pikirkan sebenarnya sederhana sekali,”
balas Salome.
keinginannya sendiri. Kekecewaan atas keinginan yang tidak kunjung dapat diraih,
memperhatikan kesehatan dan kebersihan diri, dan membiarkan rasa lapar dan
kantuk yang menggelanyuti dirinya. Ia menjadi makhluk yang tidak peduli pada
sosok Tuhan. Ia ingin melihat sosok Tuhan dengan cara melakukan apapun, baik
yang disukai-Nya maupun yang tidak. Kesenangan duniawi bukan merupakan hal
yang menarik, namun kenikmatan akan didapatkan dengan cara melihat wajah
Tuhan. Salome menjadi pribadi yang liar, spontan, dan licik, sebatas kemampuan
Sang Pembaptis (sebagai wakil Tuhan di bumi), serta perbuatan brutal dan tidak
terkendali lainnya. Tuhan menjadi sosok yang mistrius bagi Salome. Mistri
mempunyai kehendak sendiri yang tidak mau dikendalikan manusia. Ia tidak mau
memenuhi panggilan Salome dan bahkan hingga Salome mati pun Tuhan tidak akan
pernah mau menemui Salome. Pada batas ini, manusia masih berada di belakang
kendali Tuhan. Perlawanan atas kodrat hanya akan membawa kepada penderitaan
bersembunyi.
tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya (
Wellek dan Werren, 1990: 111 ). Beberapa pengertian dan pendapat di atas
belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra. Karya sastra kita kenal
sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga atas
sendiri.
ataupun segi keilmuan. Tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya
dalam karya. Jadi karya tanpa ada pembaca tidak lebih dari sekedar kumpulan
naskah. Dewasa ini, kemunculan karya sastra semakin banyak. Beberapa media
cetak, seperti koran, setiap minggu ada yang memuat karya sastra. Lahirnya
terlepas dari keberadaan penerbit atau media. Tujuan akhir dari penerbitan adalah
mampu menjadikan karya sastra dapat dimiliki oleh pembaca yaitu masyarakat
atau publik. Pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan produksi sastra.
dalam keberadaan karya. Karya inilah yang akan diterima oleh pembaca
Keberadaan pengarang dan karya sastra tentunya tidak pernah lepas dari
pembaca, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa tanpa pembaca, fungi sastra
tidak memiliki perannya dalam karya. Hal itu karna antara ketiganya memiliki
hubungan yang tak dapat dipisahkan, hususnya hubungan antara pengarang dan
pembaca dengan menjadikan karya sastra sebagai sarananya penghubungnya.
Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Pada awal
praanggapan yang sama. Dalam dunua sastra, praanggapan ini dinamakan konvensi
sastra (Wahyudi Siswanto, 2008: 94). Sastrawan yang mengetahui konvensi yang
sudah ada dibenak pembaca bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan
konvensi itu. Sastrawan yang mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat
dari praanggapan yang sama dengan pembaca dan tetap setia untuk menghasilkan
sedangkan Tuhan adalah sang Pencipta. Ia yang mengendalikan semua dan menjadi
super power yang tidak pernah bisa tertandingi. Tidak ada satupun yang mampu
“Jangan salah lihat, Tuhan. Inilah utusan-Mu, Yahya pembaptis. Jikalau manusia
yang paling Engkau kasih sayangi sudah bertekuk lutut di bawah telapak kakiku,
lantas apa daya-Mu? Inilah panahku yng terkhir bagi-Mu. Inilah senjataku yang
Kirim banjir besar kepadaku! Kirim gempa bumi untuk kamarku. Ayo Tuhan!”
terus, mengelilingi kepla Yahya terus, hingga tanpa terasa ia telah melakukannya
dramatis. Bagaimana seorang Salome yang telah melakukan berbagai cara, mulai
dari cara biasa sampai cara yang tidak masuk akal dan keji, agar Tuhan mau untuk
Tuhan memiliki derajat yang tinggi dan tidak ada yang sanggup menandinginya.
Meskipun kita sebagai manusia biasa tidak mampu melihat wujud Tuhan, namun
Manusia dengan keputusan yang selalu baik dan bermanfaat bagi manusia lainnya
dikatakan sebagai manusia bermoral karena berpegang teguh pada sistim nilai
budaya. Sebaliknya manusia amoral adalah perwujudan dari manusia yang
memiliki perilaku tidak baik, tidak benar dan tidak adil. Manusia amoral
dengan segala perilaku negatif yang dimilikinya menjadi pemicu kebencian bagi
individu maupun kelompok masyarakat yang ada disekitarnya.
Munculnya sikap amoral bisa dikarenakan oleh sifat manusia itu sendiri maupun
diakibatkan oleh sebuah pengalaman pribadi yang membuatnya harus bersikap negatif
untuk melampiaskan dendam maupun kekecewaan kepada orang lain. Hal ini yang
akan menjadikan nilai, etika dan norma pada seorang individu maupun kelompok