Anda di halaman 1dari 5

TEKNOLOGI MENJAMAH, NUKLIR BERGELORA

Di awal pembukaan cerita pembaca disuguhkan


dengan deretan kalimat yang bermajas personifikasi indah
seperti pada kutipan berikut. “Matahari terbakar, menancap
tegak lurus di atas kepala.” Ditemukan juga majas hiperbola
yang pemilihan katanya sangatlah berkolerasi, seperti pada
kutipan berikut. “Sinarnya muncrat bagai anak anak jarum dan
jatuh di gurun yang luas itu. Hari ini udara di goreng.
Hamparan pasir mendidih. Di permukaannya terlihat
fatamorgana naik meliuk-liuk dengan gairah api. Sementara di
kejauhan terdengar desau angin dengan irama timbul
tenggelam.” Sungguh pengantar yang apik.
Secara garis besar cerpen ini berkisah tentang
“Baginda” yang mewakili wujud pemimpin, serta “Sabla” yang
mewakili wujud bawahan atau anak buah sang pemimpin
sebagai tangan kanan dari tokoh “Baginda”. Permasalahan
bermula Ketika Baginda mulai berencana membangun proyek
Nuklir di sebuah lokasi yang berada di daerah bayangan hujan.
Perlu diketahui, wilayah bayangan hujan merupakan istilah
yang ada dalam hujan Orografis. Hujan Orografis adalah hujan
yang terjadi di daerah pegunungan, hujan orografis terjadi
karena adanya kenaikan udara yang di dalamnya terdapat
kandungan uap air dari daerah lembah menuju ke atas yang
dibantu oleh angin kenaikan udara yang memiliki kandungan
uap air menyebabkan terjadinya penurunan suhu di atas
gunung, sehingga terkondensasi dan akhirnya terjadilah hujan
yang disebut hujan Orografis.
Konflik lain muncul Ketika kepulan asap yang dengan
cepat bermetamorfosis menjadi api hingga mampu melahap
mentah-mentah seluruh bangunan di kampung tersebut. Alih-

Yety Lailaturohmah| 22
alih mengamankan diri, sang banginda justru mengadu domba
masyarakat setempat agar terjadi perpecahan dan dapat
melakukan negosiasi agar proyek nuklir tersebut bisa segera
terealisasikan.
Pada halaman 20, penulis mengungkapkan bahwa
proyek nuklir ini adalah proyek negara. Dan digambarkan pula
dialog tokoh Baginda yang mengungkapkan bahwa “Teknologi
itu skill dan megatechnics untuk mencapai lompatan ekonomi”.
Jika ditelisik secara realistik dalam kehidupan sebenarnya,
pada tahun 2010 sempat terjadi demo yang dilakukan oleh
mahasiswa dan masyarakat sebagai bentuk perlawanan dari
penggarapan proyek nuklir yang berkedok PLTN (Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir). Wawancara yang dilakukan oleh
detikFinance mampu menggambarkan wujud Baginda dalam
cerpen “Baginda: Itu Human Error” karya M. Shoim Anwar.
“Kalau pemerintah mau Bangun PLTN sekarang, yang
digunakan memakai teknologi generasi 3+ (tiga Plus) jadi lebih
bagus dan jauh lebih aman,” kata Direktur Jenderal Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian
ESDM, Rida Mulyana.
Pada halaman 14-15, menyulih pernyataan masyarakat
yang di tuturkan oleh Sabla bahwa masyarakat menolak proyek
tersebut dikarenakan proyek tenaga listrik memiliki banyak
dampak negativ bagi masyarakat setempat. Pemanfaatan
Nuklir untuk pembangkit listrik masih dimaknai sebagai
momok yang menakutkan, dengan punya PLTN seakan-akan
manusia melakukan perjanjian dengan iblis kita dapat sesuatu,
tapi kita mempertaruhkan sesuatu yang lebih besar lagi.
Letak calon tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) yang direncanakan berada di Jawa Tengah, Banten dan
Bangka Belitung (BATAN). Urgensi dari pembangunan PLTN

Yety Lailaturohmah| 23
di Indonesia didasari karena mulai menipisnya energi fosil
yang sampai saat ini menjadi penopang utama bagi pembangkit
listrik (Robertua, 2017). Rencana pembangunan PLTN di
Indonesia sendiri sudah dimulai pada tahun 1970-an. Namun
sampai saat ini impian tersebut harus runtuh karena penolakan
dari warga yang tidak bisa dibendung polemik mengenai isu
pembangunan PLTN di Indonesia dirasa selalu menemui
penolakan dari masyarakat.
Kecurigaan terhadap relasi kekuasaan dapat terlihat
jelas melalui diskursus pada berbagai media massa yang ingin
disampaikan media kepada khalayaknya adalah melimpahnya
persediaan batu bara untuk menopang kebutuhan energi
indonesia dalam waktu yang sangat lama sehingga PLTN
dianggap belum diperlukan oleh bangsa Indonesia. Salah
satunya di Kaltim, Kaltim memiliki sumber daya alam (SDA)
melimpah yang bisa digunakan sebagai bahan bakar
pembangkit listrik. Sehingga pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) dinilai belum saatnya dibangun di
Kaltim.
Jika ditelusuri lebih jauh, ketidakberesan sosial yang
muncul dari polemik pembangunan PLTN terletak pada sistem
politik di indonesia, karena seperti yang kita sadari bahwa
pemilik media dan konglomerat indonesia telah menduduki
kursi kekuasaan di pemerintahan, sehingga strategi jangka
panjang seperti pembangunan PLTN akan kalah menarik jika
dibandingkan dengan pembangunan PLTU yang mampu
menyedot keuntungan dari sektor batu bara jika program
PLTN ingin terus diteruskan, media memiliki tugas penting
dalam membangun citra positif mengenai pltn kepada warga
indonesia.

Yety Lailaturohmah| 24
Ketergantungan pemerintah terhadap batu bara untuk
menjalankan proyeknya patut dicurigai sebagai penyebab
mengapa diskursus mengenai penolakan nuklir turut
diproduksi pemerintah akan selalu mensponsori penggunaan
batu bara dalam berbagai diskursusnya karena industri batu
bara telah berkontribusi dalam penyelesaian program kerjanya
pada akhirnya masyarakat akan berterima kasih kepada PLTU
meskipun mereka tidak menyadari ada harga yang harus
dibayar untuk pelestarian lingkungan PLTN tidak akan
mendapatkan tempat di hati pemerintah karena industri batu
bara sudah terlalu besar untuk dikalahkan. Strategi industri batu
bara dalam relasi kekuasaan dengan pemerintah merupakan
senjata yang ampuh untuk memproduksi diskursus pada media
yang dimiliki oleh pemerintah karena sejatinya pemerintah
mempunyai kuasa untuk membentuk suatu wacana (Susanto,
2013: 482).
Cerpen Baginda: “Itu Human Error” karya M. Shoim
Anwar lagi-lagi mampu mengungkap kasus besar melalui
aksaranya. Alih-alih berkarya, cerpen yang ditulis oleh M.
Shoim Anwar juga memuat berbagai persoalan dari segala sisi
dan bidang. Sehingga pembaca dapat memperoleh informasi
dari pintu estetika. Disisi lain, M. Shoim Anwar dalam Cerpen
Baginda: “Itu Human Error” tidak menggambarkan secara
jelas mengenai ending yang di pilihnya sehingga menimbulkan
berbagai pertanyaan mengenai bagaimana nasib pemukiman
yang di dekap api tersebut, bagaimana nasib warga di
pengungsian dan kelanjutan dari proyek nuklir tersebut.
Terdapat satu kemungkinan mengapa M. Shoim
Anwar membuat ending yang menggantung dalam cerpennya
yang berjudul Baginda: “Itu Human Error” dikarenakan hingga
detik ini, pemerintah masih sibuk mempersiapakan

Yety Lailaturohmah| 25
pembangunan proyek nuklir dan mensosialisasikan kepada
khalayak umum sebagai bentuk meraup dukungan maka
dibuatlah ending yang demikian agar memiliki kesatuan dan
kepadanan kisah dengan kehidupan dan keadaan sebenarnya.

Yety Lailaturohmah| 26

Anda mungkin juga menyukai