Anda di halaman 1dari 5

KASUS PEMBANGUNAN NEW YOGYAKARTA INTERNATIONAL

AIRPORT

Proyek NYIA dicanangkan saat Presiden Susilo Bambang Yudhono


berkuasa, sebagai salah satu megaproyek infrastruktur transportasi ambisius.
Gagasan SBY, mencakup NYIA, dituangkan melalui Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jatuhnya harga komoditas
pada 2011, membuat banyak proyek MP3EI tak berlanjut. Bandara Kulonprogo
termasuk yang nasibnya sempat ikut terkatung-katung. Namun tak sekadar
memicu kemandegan proyek, MP3EI yang dibanggakan pemerintah justru
meningkatkan konflik lahan di Indonesia. Selama 10 tahun menjabat,
Pemerintahan SBY mencatatkan 1.400 konflik agraria meningkat 104 persen
dibanding dekade sebelumnya. Presiden Joko Widodo rupanya memilih
melanjutkan sebagian proyek warisan pemerintahan selanjutnya, termasuk
bandara anyar Yogyakarta. Jokowi menetapkan NYIA dalam Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di


Kecamatan Temon merupakan hasil pengkajian pemilihan tempat sebelumnya,
yang kemudian pilihan jatuh di Kulon Progo. Pengkajian tersebut berkaitan
dengan kelayakan lokasi penerbangan.Pemerintah berdalih kenapa perlunya
pembangunan Bandara Internasional baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (PT.
Angkaa Pura I 2015), yaitu:

Pertama, Kapasitas terminal Bandara Adisutjipto tidak mampu lagi


menampung pesawat yang take off and landing. Adapun daya tampung Bandara
Adisutjipto adalah 1,2 s.d 1,5 juta, sedangkan jumlah per 2014 sudah mencapai
6,2 juta penampung. Kapasitas area parkir pesawat (apron) hanya menampung
7+1 (apron baru). Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang
dirasa perlu. Mengingat Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik
mancanegara maupun lokal, memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi,
dan nyaman. Transportasi udara menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian
antar negara dan antar kota. Selain itu pembangunan bandara baru juga untuk
memenuhi kebutuhan jasa penerbangan baik domestik maupun non-dosmetik,
mengingat akan kebutuhan konsumen yang setiap tahun mengalami peningkatan.
Ketiga, Bandara Adisutjipto adalah milik Pangkalan TNI AU yang sebenaranya
bukan untuk komersil, sehingga tidak jarang ketika TNI AU mengadakan latihan
pesawat penerbangan domestik terganggu sehingga adanya delay  atau penundaan
baik ketika pesawat mau turun maupun terbang. Keempat, pengembangan di
Bandara Adisutjipto juga tidak bisa dilakukan karena terhambat keterbatasan
lahan dan kendala alam. (Permana, 2018)

Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon


Progo menemui resistensi dari masyaralat khususnya petani. Petani yang menolak
proyek ini mengemukakan alasannya bahwa lahan pertanian di desanya sangat
subur. Selain mereka sudah puluhan tahun bertani disana, mereka merasa dengan
kegiatan tersebut mampu menghidupi keluarganya dan membantu kebutuhan
suplai pangan di sekitarnya. (UGM, 2017)

Penolakan dari masyarakat tersebut tidak cukup membuat pemerintah


membatalkan rencananya untuk membuat bandara. Konflik antara masyarakat dan
pemerintah saat pembebasan lahan pun tidak terhindari. PT Angkasa Pura 1 (AP
I) memang memberi tenggat akhir pengosongan lahan dan rumah warga itu pada
Senin, 4 Desember 2017. Ratusan polisi dan Satpol PP bersama sejumlah alat
berat dikerahkan ke lokasi pemukiman warga pada hari itu. Manajer
Pembangunan Bandara Kulon Progo (NYIA) PT Angkasa Pura 1, Sujiastono
mengklaim para warga Glagah dan Palihan sudah tidak memiliki hak kepemilikan
atas lahannya. Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Wates sudah memutuskan mereka
menerima ganti rugi lewat mekanisme konsinyasi. Pernyataan Sujiastono
berkebalikan dengan pernyataan warga yang masih bersikeras mempertahankan
lahannya. Pernyataan pers Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo
(PWPP-KP), pada Minggu (3/12/2017), menyatakan langkah Angkasa Pura 1
pada hari ini melanggar hak kepemilikan sejumlah warga atas tanah dan
bangunannya. Mereka menegaskan sejak awal menolak rencana pembangunan
Bandara Kulon Progo dengan tanpa syarat. Karena itu, mereka juga menolak
negosiasi ganti rugi. Paguyuban warga juga menilai putusan pengadilan soal nilai
ganti rugi konsinyasi tidak berdasar. “Kami tidak pernah menyerahkan tanda bukti
kepemilikan tanah dan bangunan seperti SHM dan tanda bukti bayar PBB. Tanah
dan bangunan kami tidak pernah di (hitung) appraisal, diukur, dan sebagainya.
Kami juga tidak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan
tanah yang diadakan AP (Angkasa Pura) atau pemerintah. (Idhom, 2017)

Mereka menuding proses pengosongan lahan itu telah memakai cara


intimidasi dan kekerasan saat berlangsung pada 27 November 2017. “Tidak
sedikit warga kami yang disakiti fisik, rusak rumahnya, dan mati tanamannya.”
Berdasar pernyataan PWPP-KP, intimidasi itu berupa pencopotan meteran listrik
di rumah anggotanya sekaligus penyampaian ancaman ke sejumlah keluarga di
setiap rumah. "Ada sekitar 300 jiwa dan 100 KK [kepala keluarga] terancam
kehidupannya di dalamnya di dominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Sejumlah
warga yang berusaha mempertahankan tanahnya diperlakukan tidak manusiawi,
ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan
kemudian dibawa ke kantor PT. PP untuk diamankan.(Himawan, 2018)

Pembangunan NYIA ini pasti mengakibatkan sebuah perubahan sosial.


Artikel dari Vice Indonesia yang berjudul “Mereka yang Terbenam dan Tersingkir
Akibat Bandara Kulonprogo“ cukup membuka pandangan kita terhadap berbagai
perubahan sosial yang terjadi akibat pembangunan ini. Berikut ini hal yang saya
sadur dari artikel tersebut : pembangunan bandara internasional ini membuat
warga terbelah- seperti yang dikhawatirkan sejak awal. Pada awal wacana
pembangunan nyaris seluruh warga- mayoritas petani menolak proyek ini, namun
setelah warga melakukan unjuk rasa dan aparat membungkam aspirasi mereka
dengan cara kekerasan, setelah itu pada tahun 2014 adanya konsultasi dengan
pemerintah, jumlah warga yang menolak pembangunan NYIA menurun. Wijianto
(warga yang kontra terhadap pembangunan NYIA) bersama warga yang menolak
akhirnya membentuk organisasi baru, Paguyuban Warga Penolak Penggusuran
Kulon Progo (PWPP-KP). Kelompok ini dideklarasikan pada 16 April 2017.
Sampai saat ini, PWPP-KP selalu didampingi aktivis dari berbagai kalangan untuk
usaha advokasi lewat jalur hukum maupun kampanye, akibat aspirasi ini Wijianto
tak lagi akur dengan tetangganya padahal sebelumnya hubungan antar keluarga
atau masyarakat disana sangat guyub. Selain itu, masyarkat yang tanahnya akan
dijadikan NYIA ini 90 % petani, maka apabila pembangunan terjadi kemungkinan
mereka bingung akan mata pencaharian untuk kedepannya. Uang yang ditawarkan
memang besar namun bukan itu yang dituntut oleh warga yang menolak, mereka
hanya ingin tetap hidup dan bercocok di Temon, mengapa harus di Temon ?
karena masyarakat disana (termasuk Wiji) berjasa mengubah kawasan berpasir itu
menjadi subur seperti sekarang sejak dekade 80an.(AW, 2018)

IDENTIFIKASI

Salah satu penyebab perubahan sosial adalah konflik. Maka sudah sepatutnya
Pembanguan NYIA (New Yogyakarta International Airport) ini mengakibatkan
perubahan sosial. Warga enggan pindah karena merasa ingin tetap hidup dan
bercocok tanam di tanah yang ia sudah rawat sejak beberapa dekade lalu, namun
pemerintah beranggapan pembangunan NYIA ini harus dibangun karena beragam
alasan yang sudah dikemukakan diatas. Ketidakrelaan warga untuk pindah dan
kengototan pemerintah dalam pembangunan menghadirkan konflik bukan hanya
warga setempat dengan aparat yang menggusur lahan, melainkan konflik
antarwarga. Keguyuban antarwarga setempat hilang setelah pecahnya konflik dan
konsultasi dengan pemerintah. Warga menjadi terbelah dua, ada yang pro dan
kontra terhadapa pemabangunan NYIA. Namun ada kesamaan antar warga yang
pro dan kontra, yaitu nasib ke depan mereka sama-sama samar-samar . Bagi yang
pro pada pemerintah, mereka mendapat ganti rugi namun harus rela kebingunan
mencari profesi baru setelah lahan pertanian dibangun. Bagi yang kontra,
serangkaian intimidasi dilakukan, dan lahan pertanian mereka turun kesuburannya
dan tingkat produktifitasnya menuurun akibat debu yang dihasilkan
pembangunan. Hal yang menghambat pembangunan yang dapat
menyebabkan perubahan sosial dimasyarakat dalam kasus ini adalah keengganan
masyarakat yang mayoritas petani untuk meninggalkan profesi sebagai petani
yang sudah dilakoni selama puluhan tahun dan ketidakrelaannya menyerahkan
lahan yang sudah dirawat sejak lama dan menjadi subur.
DAFTAR PUSTAKA

AW, T. (2018). Mereka yang Terbenam dan Tersingkir Akibat Bandara


Kulonprogo. Retrieved March 12, 2020, from
https://www.vice.com/id_id/article/d354dx/mereka-yang-terbenam-dan-
tersingkir-akibat-bandara-kulonprogo

Himawan, F. U. (2018). Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta dituduh


ganggu lingkungan. Retrieved March 12, 1BC, from
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-44020249#orb-banner

Idhom, A. M. (2017). Dalih Angkasa Pura I dan Risiko Awetnya Konflik Bandara
Kulon Progo. Retrieved March 12, 1BC, from https://tirto.id/dalih-angkasa-
pura-i-dan-risiko-awetnya-konflik-bandara-kulon-progo-cA9U

Permana, S. I. (2018). Saat Komnas HAM Sebut Catatan Buruk di Proyek


Bandara Kulon Progo.

UGM, B. K. (2017). Prahara Mega Proyek Pembangunan Bandara Kulon Progo


(Anatomi, Eskalasi dan Resolusi). Retrieved March 12, 2020, from
http://bemkm.ugm.ac.id/opini-prahara-mega-proyek-pembangunan-bandara-
kulon-progo-anatomi-eskalasi-dan-resolusi/

Anda mungkin juga menyukai