Anda di halaman 1dari 12

Analisis Kasus Sengketa Agraria dalam Pembangunan Bandara New

Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo


Berdasarkan Pendekatan Antropologi Hukum

Disusun Oleh:

KELOMPOK 5

1. Kristian Veri Tanjung 165010101111235


2. Muchamad Rizky Ceasar 165010101111231
3. Ulfifah Dzarotul Hikmah 165010107111088
4. Surya Wardhana 165010107111072
5. Wulansari 165010107111050
6. Wahyu Rekso Sayoko 165010107111083
7. Ibnu Arianto 185010109111016

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG
2019

A. Latar Belakang

Tingginya kebutuhan lahan untuk kepentingan pembangunan harus


berhadapan dengan eksistensi lingkungan. Eksistensi lingkungan khususnya
sumber daya agraria menjadi objek utama terjadinya konflik. Berdasarkan data
nasional4 jumlah konflik agraria terus meningkat, hal ini karena tingginya
kompetisi perebutan tanah yang didasari ketersediaan tanah terbatas. Salah satu
kasusnya adalah pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport
(NYIA) di Kabupaten Kulon Progo DIY sebagai proyek strategis nasional.
Proses pembangunan menemui penolakan dan perlawanan masif dari
masyarakat.
Tren perlawanan cenderung berubah pasca reformasi, masyarakat lokal
kini semakin sadar akan haknya dan berani menuntut serta mengekspresikan
dalam bentuk perlawanan terbuka. Gerakan masif pendukung warga yang
menolak diantaranya; Wahana Tri Tunggal (WTT), Paguyuban Warga Penolak
Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP), Jogja Darurat Agraria (JDA), dan
sebagainya. Gerakan tersebut juga mengadopsi media sosial sebagai sarana
untuk memperkenalkan, menyebarkan, serta menginformasikan gerakan
komunal mereka kepada masyarakat luas. Gerakan tersebut lahir dari
ketidakpuasan serta kritik terhadap kebijakan pemerintah yakni pembangunan
bandara NYIA yang merugikan rakyat dan hanya mementingkan profit pihak
tertentu.
Setidaknya 6 (enam) tahun belakangan, masyarakat mengalami
pergolakan sosial. Latar belakang terjadinya konflik ialah perebutan sumber
daya agraria (lahan/tanah) demi kepentingan yang berbeda. Hal ini tergambar
dari upaya litigasi yang ditempuh maupun proses komunikasi yang saling
memaksakan kehendak setiap pihak. Kasus konflik ini menunjukkan adanya
kesenjangan antara kebijakan publik dengan opini publik. Kebijakan
pembangunan bandara yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas, harus berbenturan dengan kondisi ketergantungan warga
terdampak terhadap tanahnya.
Pembangunan bandara yang di dalamnya ternyata masyarakat tidak
dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Hal ini justru berseberangan
dengan harapan masyarakat terdampak. Masyarakat berharap paling tidak
pemerintah duduk bersama dengan masyarakat untuk membahas mengenai
bandara. Kebijakan yang dianggap mengabaikan hak-hak warga terdampak dan
memaksakan hak atas negara, pada akhirnya menimbulkan konflik vertikal.

Bandara NYIA terletak pada 19 dusun meliputi 5 (lima) desa di


Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo, yang sebagian besar merupakan
kawasan pesisir. Sektor pertanian masih menjadi tumpuan perekonomian,
meskipun kecenderungannya semakin menurun dari tahun ke tahun. Luas lahan
tersebut setara lima hingga enam kali luas Bandara Adisudjipto, hampir
setengahnya merupakan lahan pertanian produktif dengan warga terdampak
kurang lebih 2.700 KK.

Pemerintah menggunakan overcapacity bandara Adi Sucipto untuk


melegitimasi kebijakan pembangunan bandara baru. Namun hal ini
disanggah oleh LBH sebagai pihak pertama yang mendampingi warga kontra.
Bandara Adi Sucipto masih dapat dikembangkan lagi di samping program
kerjasama yang telah berjalan untuk mengintegrasikan dengan bandara Adi
Sumarmo (Solo) yang berjarak 50 km, juga menjadi alasan tidak perlunya
membangun bandara baru
Permasalahan pokok studi ini adalah tentang konflik agraria yang terjadi
antara masyarakat di Kecamatan Temon dengan PT Angkasa Pura I yang
melibatkan Pemerintah. Pembahasan ini difokuskan pada pengaturan
pembangunan Bandara NYIA di Kulon Progo dengan memperhatikan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat tersebut.
B. Permasalahan Hukum

Pembuatan Bandara NYIA (New Yogyakarta International Airport), dari tahap


awal yaitu perencanaan, eksekusi lahan, dan sampai saat ini pada tahap pembangunan
menimbulkan berbagai masalah dan gejolak dalam masyarakat Kulon Progo.
Pembangunan bandara yang berdiri diatas lahan seluas 636 hektare dan diatas tanah
milik 419 Kepala Keluarga tersebut menyingkirkan sekitar 11 ribu orang dan
menggusur mata pencaharian masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

Pembangunan bandara ini dianggap terlalu dipaksakan oleh penguasa dan


menyalahi sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mulai
dari maladministrasi sampai pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah hal yang disorot
dari adanya pembangunan mega proyek ini. Jika dirinci lebih lanjut, permasalahan
hukum yang timbul dari pembangunan Bandara NYIA ini adalah sebagai berikut:

1. Kecacatan Formil: AMDAL baru di terbitkan setelah adanya IPL

Tonggak awal pembangunan Bandara NYIA adalah diterbitkannya Surat


Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi
Pembangunan Bandara Baru di DIY atau dapat disebut Izin Penetapan Lokasi (IPL).
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur DIY, yaitu Sri Sultan
Hamengkubuwono X tersebut menjadi salah satu syarat pembangunan mega proyek
bandara baru Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembangunan selalu diupayakan untuk
dikebut oleh pemerintah karena pembangunan bandara baru ini termasuk dalam Proyek
Strategis Nasional (PSN).

Namun dari syarat pembangunan diatas ternyata ada suatu kecacatan hukum dari
proses perizinan pembangunan Bandara NYIA ini, yaitu adanya kecacatan hukum
formil. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup seharusnya Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
dilakukan sebelum IPL dikeluarkan. Namun pada kenyataannya Pemerintah Provinsi
DIY mengeluarkan IPL lebih dulu untuk melegitimasi jalannya pembangunan bandara
baru menerbitkan AMDAL beberapa saat setelahnya.

Dalam Pasal 22 ayat (1) tercantum bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Hal ini juga
menandakan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat penting diadakannya suatu
kegiatan atau pembangunan karena hal tersebut adalah analisis penting atas kegiatan
atau pembangunan yang akan diadakan di tempat tersebut dan efeknya terhadap
lingkungan dan sosial-budaya sekitar.

Jika pembangunan dilakukan tanpa AMDAL, pembangunan tersebut berpotensi


merusak lingkungan sekitar setelah atau saat terjadinya karena tidak pada awalnya tidak
dilakukan analisis yang menyeluruh dan komprehensif terhadap lingkungan tempat
pembangunan tersebut dilakukan. Selain itu, kecacatan formil dalam pembangunan
NYIA ini dapat menjadi preseden buruk bagi hukum dan pembangunan Indonesia
kedepannya. Dengan dalih “kepentingan umum” dan “kepentingan pembangunan”
pemerintah menyalahi aturan dan melangkahi prosedur. Hal ini harus segera diakhiri
agar hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan tujuan hukum dapat tercapai.
2. Tindakan Represif Aparat Penegak Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia terhadap Masyarakat

Selama proses pembangunan Bandara NYIA, Pemerintah melalui Aparat


Penegak Hukum melakukan pembebasan lahan dengan mengeksekusi rumah-rumah dan
lahan milik warga secara paksa dengan melakukan berbagai macam tindakan represif.
Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan upaya paksa melalui mobilisasi aparat
negara, menggunakan alat berat, dan disertai pemutusan akses aliran listrik tersebut
dinilai sebagai tindakan represif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dari berbagai macam tindakan tersebut, negara telah melanggar ketentuan


ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang dilanggar adalah sebagai berikut:

a. UUD NRI 1945:

 Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain.

 Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. UU No. 39 Tahun 1999:

 Pasal 3
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan
hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
depan hukum.

 Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
kemanusiaannya di depan hukum.

Dari berbagai ketentuan diatas dan berkaca dari kasus represifnya pemerintah
lewat aparat penegak hukum kepada masyarakat Kulon Progo menggambarkan bahwa
negara tidak hadir dalam menjaga hak asasi manusia warga negaranya dan negara tidak
sesuai dengan Pasal 2 UU HAM bahwa negara menjunjung tinggi dan menghargai Hak
Asasi Manusia.

3. Aktor dalam Sengketa Agraria Pembangunan Bandara New Yogyakarta


International Airport (NYIA)
Setidaknya terdapat 42 aktor yang terlibat dalam konflik pembangunan
bandara NYIA ini. Terdiri dari lima aktor utama konflik, 23 aktor yang terlibat
langsung, dan terdapat sebanyak 19 aktor pihak ketiga atau eksternal yang turut
menambah kompleksitas dan kerumitan konflik. Di samping 4 (empat) aktor
merupakan pihak yang mengupayakan terjadinya perdamaian. Aktor
provokator pada konflik ini dapat dianalisa dari dua sisi masing-masing pihak.
Kemunculan dan keberadaannya turut menambah kompleksitas konflik. Sebab
logika abnormal yang dimiliki oleh aktor ini biasanya disebarkan dalam bentuk
distorsi informasi dan ditelan bulat-bulat oleh kelompok rentan. Mahasiswa
serta aktivis menurut Pemerintah maupun PT AP I merupakan provokator,
karena telah membangun persepsi baru bagi masyarakat. Sebaliknya,
keikutsertaan mahasiswa dan aktivis dalam kasus ini dengan persepsi bahwa
pembangunan bandara NYIA telah menyematkan kata “kepentingan umum”,
sehingga masyarakat bukan terdampak memiliki hak untuk berpartisipasi
dengan berbagai cara (kritik, saran maupun solidaritas).
Kelompok rentan yakni masyarakat terdampak, mengalami ketimpangan
ekonomi akibat pengangguran dan kemiskinan. Lebih jauh masyarakat ini
sangat rentan terhadap tindak kekerasan sebagai penyalur rasa frustasi mereka
karena tidak berdaya dalam mengakses sumber daya agraria maupun ekonomi.
Pemerintah bersama aparat yang merupakan kelompok fungsional, aktif
mengupayakan penghentian hingga transformasi konflik. Yakni dengan
membentuk dua tim pelaksana (tim persiapan dan tim keberatan) guna
mempercepat proses pembangunan bandara. Aktor media pro dan kontra turut
serta mempengaruhi persepsi masyarakat luas sebagai pihak ketiga dalam
merespon konflik bandara. Respon ini kemudian menjadi dasar setiap tindakan
mereka dalam keterlibatannya dalam konflik ini. Sebut saja aksi-aksi solidaritas
yang dilakukan berbagai aktivis dalam dan luar negeri kepada masyarakat
kontra, yang nantinya menjadi dukungan moril hingga semakin kuatnya
penolakan yang dilakukan. Peran media juga turut mewarnai dinamika konflik
yang terjadi, maka langkah selanjutnya untuk melibatkan media dalam upaya
perdamaian menjadi penting. Bagi pihak pemerintah dan angkasa pura, hal ini
termasuk siasat untuk menghadang eksekusi yang dilakukan.
4. Alasan dan Reaksi Warga Setempat yang Kontra dengan Pembangunan
Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA)
Tingkat eskalasi dan deeskalasi akan turut memberikan kontribusi bagi
konflik dan perdamaian. Eskalasi yang terus meningkat akan memberikan
pengaruh terhadap terjadinya pembangunan konflik. Sedangkan kondisi de-
eskalasi konflik akan mendorong terjadinya pembangunan perdamaian. Seiring
dengan sosialisasi yang dilakukan pemerintah pada rentang tahun 2012 hingga
2013, konflik mengalami stagnasi. Namun masyarakat mulai mengalami
konflik horizontal, akibat dari terpolarisasinya suara masyarakat yang menolak
dan mendukung pembangunan bandara. Tahun 2015 hingga 2016 merupakan
rentang waktu masyarakat memperjuangkan haknya melalui jalur hukum.
Konflik serta pergolakan yang terjadi menimbulkan rasa ketidakamanan bagi
masyarakat. Karena aman bagi negara belum tentu aman bagi warga negara di
dalamnnya. Kerap kali negara mengatasnamakan keamanan dan stabilitas
nasional, melakukan tindakan represif sehingga menimbulkan rasa tidak aman
(human insecurity) termasuk penggusuran terhadap rumah warga. Selanjutnya
konflik mengalami deeskalasi setelah dilakukannya penggusuran besar-
besaran. Namun kemudian muncul resistensi beberapa warga kontra untuk
tetap bertahan meskipun rumah dan tanah pertanian sudah diratakan.
Menanggapi hal ini Pemerintah dan PT. Angkasa Pura I melakukan berbagai
upaya resolusi konflik dalam bentuk pendekatan serta negosiasi. Upaya
tersebut menghasilkan suatu kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Kondisi
warga yang bertahan mulai menunjukkan sikap pasrah dan menerima
kenyataan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber dapat dilihat
bahwa alasan yang mendominasi warga terdampak ialah merasa lelah dan
masih memikirkan masa depan anak-cucu mereka. Alasan berat warga dan
keputusan yang diambil hasil pergulatan pemikiran yang sangat panjang.
Perasaan lelah dan pasrah tersebut merupakan hal yang dirasakan warga atas
proses perjalanan konflik. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikategorikan
beberapa faktor yang menjadi pendorong terjadinya deeskalasi konflik.
Pertama faktor sosial, dimana masyarakat jawa secara kultur memiliki sistem
buttom up terkait merespon konflik. Kedua faktor ekonomi, semakin
memburuknya kondisi warga kontra yang bertahan akibat hilangnya tanah
sebagai mata pencaharian, telah memaksa mereka untuk mencari alternatif
penghasilan. Ketiga faktor kehadiran mediator, baik Ombudsman RI maupun
Komnas HAM, telah menjadi penengah yang baik bagi kedua pihak untuk
saling menahan diri supaya konflik tidak bereskalasi.
KESIMPULAN

Pembangunan bandara NYIA sebagai proyek strategis nasional merupakan upaya


meningkatkan pelayanan transportasi udara dalam memenuhi permintaan pasar.
Pembangunan ini senada dengan visi strategis nasional maupun daerah, yaitu
konektivitas serta mendukung peningkatan sektor pariwisata DIY. Maka dari itu proses
pembangunan menemui penolakan dan perlawanan masif dari masyarakat. Konflik juga
terkait erat dengan persoalan tanah di DIY yang menjadi faktor struktural. Adapun juga
terdapat perbedaan kepentingan dan kebutuhan yang sama-sama penting menjadikan
konflik vertikal ini sulit ditemukan solusi permasalahannya. Kompleksitas konflik tidak
terlepas dari peran yang dimainkan oleh masing-masing aktor. Dengan adanya peran
aktor tersebut memberikan pandangan terhadap masyarakat lokal kini semakin sadar
akan haknya dan berani menuntut serta mengekspresikan dalam bentuk perlawanan
terbuka. Adanya gerakan dari aktor-aktor tersebut juga mengadopsi media sosial
sebagai sarana untuk memperkenalkan, menyebarkan, serta menginformasikan gerakan
komunal mereka kepada masyarakat luas. Dengan adanya berbagai gerakan tersebut
artinya banyak masyarakat yang mengalami ketikpuasan terhadap pembangunan
Bandara NYIA tentunya menyebabkan kerugian terhadap rakyat dan hanya
mendapatkan provit untuk golongan tertentu yang terlibat didalam pembangunan
bandara NYIA tersebut. Terdapat point penting adanya perlawanan tersebut karena
pembangunan bandara NYIA merugikan 19 dusun meliputi 5 (lima) desa di Kecamatan
Temon Kabupaten Kulon Progo, yang sebagian besar merupakan kawasan pesisir.
Sektor pertanian masih menjadi tumpuan perekonomian, meskipun kecenderungannya
semakin menurun dari tahun ke tahun. Luas lahan tersebut setara lima hingga enam kali
luas Bandara Adisudjipto.

Oleh karena itu pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport)


menimbulkan banyak kontra dari masyarakat karena adanya penggusuran terhadap 11
ribu orang dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat yang mayoritas sebagai
petani, karena itu pembangunan menimbulkan maladministrasi hingga pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Pembangunan bandara ini mempunyai kecacatan formil karena
AMDAL baru dikeluarkan setelah Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh Gubernur D.I
Yogyakarta, tetapi seharusnya AMDAL dikeluarkan sebelum Izin Penetapan Lokasi
diterbitkan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena AMDAL adalah salah satu syarat penting
diadakannya suatu kegiatan atau pembangunan karena hal tersebut adalah analisis
penting atas kegiatan atau pembangunan yang akan diadakan di tempat tersebut dan
efeknya terhadap lingkungan dan sosial-budaya sekitar. Jika pembangunan dilakukan
tanpa AMDAL, pembangunan tersebut berpotensi merusak lingkungan sekitar

Anda mungkin juga menyukai