Anda di halaman 1dari 7

Nama

: Ibnu Arianto
NIM
: 153141007111004
Bidang Keahlian
: PPKB
Mata Kuliah :
1. Konflik
Lebaran Kuda
Melihat nada bicara SBY saat memberi keterangan pers pagi ini, saya melihat
adanya kelicikan luar biasa. Sejauh pantauan saya, SBY ini sakit, mengalami post
power syndrome akut. Pernyataan SBY justru semakin mengkonfirmasi bahwa
kecurigaan banyak orang yang bertanya-tanya mengapa Jokowi hanya
mendatangi Prabowo dan mengundang MUI, NU serta Muhammadiyah.
Sementara SBY secara otomatis tersudutkan, seperti yang saya bahas
sebelumnya. Apa yang dilakukan Jokowi benar-benar strategi memukul semaksemak agar ularnya keluar.
Sekarang coba saya tanya, SBY berbicara soal demonstrasi 4 November
kapasitasnya sebagai apa? Sebagai mantan Presiden, ketua umum Demokrat,
apa sebagai orang tertuduh?
Sikap SBY yang baper maksimal ini memang bukan hal baru, dulu saat Jokowi
blusukan ke Hambalang, SBY mendadak sensi. Kemudian curhat macam-macam,
ngalor ngidul, seperti mantan yang tidak terima karena diputus.
Sebagian orang mungkin sedang kasihan atau prihatin dengan SBY yang kini
tersudut. Namun saya melihat dari sudut pandang yang lain. SBY telah menjadi
provokator yang sangat buruk. Keterangan pers SBY membuat kondisi yang
sudah mereda kini malah memanas lagi.
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dianggap menistakan agama. Ayo kita
kembali ke situ dulu, itu tidak boleh dan dilarang. Kita harus kembali ke sistem
hukum dan KUHP. Kalau negara kita tidak mau terbakar oleh amarah penuntut
keadilan maka pak Ahok yang harus diproses hukum. Jangan sampai beliau
(Ahok) kebal hukum sebab ini bagian dari demokrasi, kita negara demokrasi,
kata SBY.
Ya Pak Ahok harus juga diproses secara hukum, jangan sampai beliau dianggap
kebal hukum. Ingat equality before the law, itu nilai-nilai keadilan, ingat SBY.
SBY mengingatkan lagi jangan sampai ada rumor Ahok tidak bisa disentuh.
Bayangkan, do not touch Ahok. Nah setelah Pak Ahok diproses hukum semua
pihak menghormati. Ibaratnya jangan gaduh. Apakah Pak Ahok bersalah atau
tidak diserahkan ke penegak hukum, katanya lagi.
SBY bukan orang bodoh dalam komunikasi. Dia pasti menyadari betul bahwa
setiap kalimat yang diucapkannya memiliki muatan provokasi yang sangat
buruk. Sekarang coba kita perhatikan dan pertanyakan, siapa yang menganggap
Ahok kebal hukum? SBY. Lalu SBY sendiri yang menyerukan agar jangan ada ada
seperti itu. Kan kampret! Sakit! Sudahlah jangan pura-pura bodoh, kita semua
pasti menyadari ini sangat disengaja. Provokatif.

Selanjutnya SBY juga menjelaskan bahwa orang-orang yang datang dari daerah
ke Jakarta tidak hanya ingin jalan-jalan, melainkan ada sesuatu yang diprotes
dan dituntut.
Mari kita bertanya apa yang kita hadapi. Di Jakarta dan di wilayah lain ada
protes. Itu semua pasti ada sebabnya. Tidak mungkin tidak ada, ribuan rakyat
berkumpu untuk hepi-hepi, jalan-jalan sudah lama ga lihat jakarta, misalnya
seperti itu. Barang kali merasa yang diprotes itu dan tuntutannya itu tidak
didengar. Nah kalau sama sekali tidak didengar, sampai lebaran kuda masih
akan ada unjuk rasa.
Pernyataan ini sangat menarik. Apakah ini menjadi konfirmasi SBY setuju bahwa
demo akan terus berlangsung sampai Februari atau sampai Ahok ditangkap? dari
mana SBY tau? Jangan-jangan tuduhan SBY lah biang kerok semua ini, atau atas
arahan SBY, ternyata memanglah kenyataan.
Jika tuduhan-tuduhan bahwa SBY terlibat dalam aksi demo 4 November itu salah,
seharusnya SBY tidak menjadi provokator dengan mendukung demonstrasi atas
alasan demokrasi. Sebab NU sudah melarang atribut NU digunakan saat demo.
Artinya NU tidak mendukung orang untuk demo. Begitu juga Muhammadiyah,
melarang mengatasnamakan organisasi. Sampai Prabowo pun mengatakan,
kalau Fadli Zon tetap berdemo, berarti dia turun atas nama pribadi. Lihatlah
kondisinya sudah mulai mereda, kemudian SBY menyatakan mendukung demo
300% dan menganggap memang ada yang salah, ada yang dituntut, dan ada
yang harus diproses hukum.
Kalau begini kenyataannya, adakah kesimpulan yang lebih masuk akal
ketimbang SBY memang menggunakan isu SARA untuk memenangkan anaknya?
SBY mendukung demo, mendukung Ahok segera dihukum dan MENGANCAM
negeri ini akan terbakar kalau proses hukum tidak berjalan.
Padahal kenyataannya proses hukum sedang berjalan. Bohong kalau SBY tidak
tau. Tapi kalau benar-benar tidak tau, berarti dia memang tak melakukan apaapa selama 10 tahun, sebab tak tau apa-apa. Sejauh ini polisi sudah meminta
keterangan sembilan orang saksi termasuk penyebar video ke media sosial dan
staf gubernur. Polisi juga telah menyambangi Kepulauan Seribu untuk meminta
keterangan warga setempat soal video pidato Ahok. Sementara Ahok sendiri
sudah meminta pada Bareskrim agar dirinya segera diperiksa. Itulah proses
hukum.
Harusnya SBY menjelaskan itu. Bukan malah memprovokasi bahwa Ahok tidak
tersentuh hukum, do not touch dan pernyataan setan Kalau negara kita tidak
mau terbakar oleh amarah penuntut keadilan maka pak Ahok yang harus
diproses hukum. Fiuh!
Banyak yang bertanya-tanya pada saya mengapa SBY tidak besikap seperti
negarawan atau seperti mantan Presiden yang bijak? Jawaban sederhananya
karena memang memiliki sifat kekanak-kanakan. Lihat saja cara SBY menyebut
lebaran kuda, sebenarnya dia iri karena tidak diajak berkuda oleh Prabowo.
Padahal dirinya masih merasa memiliki kekuatan dan harus diperhitungkan oleh
Presiden Jokowi.

Kenapa bukan lebaran monyet atau lebaran sapi lah yang lebih masuk akal?
Sebab di alam bawah sadarnya sudah penuh dengan kuda kuda kuda. Sebab
Jokowi berkuda dengan Prabowo.
Tapi jawaban yang lebih ilmiah dan berat, karena sepertinya SBY memang ingin
agar acara demo ini terus berlangsung meriah. Jangan terlalu cepat berlalu.
Minimal sampai Pilgub selesai. Jika diakhiri 4 November, lalu bubar tanpa ada
demo lagi, artinya bencana bagi SBY.
Anda harus bisa membayangkan bagaimana rumitnya kehidupan SBY sekarang.
Antasari dibebaskan pada 10 November, 34 proyek pembangkit listrik mangkrak
mau dilaporkan ke KPK, dokumen TPF pembunnuhan Munir hilang di tangannya.
Semuanya mengarah pada SBY. Sementara anaknya belum jadi Gubernur, belum
punya kekuasaan. Kekuatan Demokrat menurun. Apa ndak stress? Bukankah
dengan begini tidak perlu menunggu SBY mati dulu untuk mengusut kasuskasusnya (seperti yang terjadi pada Supersemarnya Soeharto)? Sebab sudah tak
punya kekuasaan dan kekuatan.
Tapi ya sudahlah. Sekarang keterangan pers sudah dibuat. Satu Indonesia jadi
tau bahwa kualitas seorang SBY cukup titik-titik. Akhir kata, saya ingin
mengucapkan permintaan maaf kepada para kuda-kuda karena telah disinggungsinggung oleh SBY.
2. Fatwa MUI
Fatwa MUI, Atribut Natal, dan Soal Kerukunan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 14 Desember 2016
tentang hukum menggunakan atribut non-muslim. Fatwa itu menyatakan
bahwa menggunakan atau mengajak/memerintahkan penggunaan atribut
keagamaan non-muslim adalah haram. Fatwa itu tak menyebut Natal dan umat
kristiani secara eksplisit. Namun kentara bahwa fatwa itu merujuk kepadakita
nyatakan terus terang sajamuslim yang menggunakan atribut yang
dipersepsikan sebagai atribut Kristen, seperti pakaian Sinterklas dan
aksesorisnya.
Dengan alasan sosialiasi fatwa, FPI telah melakukan sweeping (istilah FPI: aksi
taaruf), salah satunya di beberapa pusat perbelanjaan di Surabayaaksi yang
dikawal polisi ini sebetulnya disayangkan oleh ketua MUI sendiri. Dalam hal ini,
kita mengapresiasi penuh respons Kapolri Tito Karnavian yang menegaskan
fatwa MUI bukan hukum positif dan telah mendesak kepolisian Bekasi dan
Kulonprogo agar mencabut surat edaran yang menjadikan fatwa MUI itu sebagai
rujukan. Kesigapan kapolri ini turut mengirim pesan bahwa penegakan hukum
harus tetap di tangan negara. Pembiaran terhadap aksi main hakim sendiri
(vigilantisme) berarti hilangnya salah satu fungsi dasar berdirinya negara, yakni
sebagai pemilik tunggal alat koersi dan pelindung keamanan warganya.
Atribut Kristen?
Di luar hal di atas, sejumlah catatan perlu diajukan terhadap isi fatwa MUI itu,
terutama hal-hal yang tak disertai penjelasan yang nuanced dan memadai. Salah
satunya ialah soal luasnya cakupan makna atribut keagamaan non-muslim.

Penisbahan kepemilikan terhadap suatu atribut sesungguhnya cair mengikuti


perkembangan zaman: apa yang sebelumnya merupakan tradisi agama atau
budaya tertentu, bisa diikuti atau diadopsi oleh agama atau budaya lain dan
kemudian menjadi tradisi bersama.
Salah satu contohnya adalah tasbih (dalam Kristen: rosario), yang tidak murni
berasal dari Islamdan karena itu dianggap bidah oleh satu kelompok dalam
Islam. Di Indonesia, ada kentongan untuk masjidyang pernah jadi perdebatan
di kalangan kiai NU generasi awal; satu menganggapnya bidah, yang lain
membolehkannya. Juga menarayang berasal dari kata Arab manarah
(tempat perapian)untuk masjid: satu pendapat menyatakan menara diadopsi
dari tradisi Zoroastrian; pendapat lain menyatakan ia berasal dari gereja Kristen
Suriah yang, ketika berada di bawah dinasti Umawi, diubah jadi masjid. Baju
koko, yang bermula dari tradisi Tionghoa (tampak dari namanya: dari engkohengkoh menjadi koko), juga bisa menjadi contoh.
Lebih jauh, bila menjadikan hadis tasyabbuh (siapa yang menyerupai suatu
kaum maka ia bagian dari mereka) sebagai dasar, kita tahu, banyak tradisi yang
di-share bersamadan karena itu mengandung keserupaanbukan hanya oleh
ketiga agama Abrahamik melainkan juga agama-agama di luar itu. Jubah,
sorban, kopyah, dan kerudung untuk perempuan, dengan berbagai ragam
bentuk dan namanya, adalah sedikit di antara contohnya. Bahkan hingga istilah
untuk menyebut Tuhan: kata Allah digunakan oleh orang Kristen yang
berbahasa Arab, dulu hingga kini. Lebih jauh lagi, bila atribut juga mencakup
simbol, jangan lupakan lambang nasional kita, burung Garuda, yang berasal dari
tradisi Hindu; Garuda adalah tunggangan (vahana) Wisnu.
Budaya berkembang secara cair, menyerap-mengadopsi-memodifikasi dari
budaya lain. Budaya bisa mengeras-mengkristal setelah dinyatakan sebagai
identitas dalam suatu konstruksi politis tertentu, bisa dari kalangan dalam
maupun luar.
Pakaian Sinterklas dan pohon cemara bukan pengecualian. Ikonisasi pohon
cemara sebagai pohon Natal diserap dari budaya Eropa, sementara Yesus sendiri
tidak pernah ke Eropa. Persoalannya ialah bagaimana dan siapa yang
mengidentifikasi pakaian Sinterklas dan pohon cemara sebagai mengandung
identitas Kristen. Bila melihat sejarah, ikonisasi Sinterklas justru amat sedikit
berhubungan dengan agama.
Penggambaran Sinterklas seperti dikenal secara populer saat ini jauh lebih
banyak terkait dengan industri iklan. Penggambaran Sinterklas modern baru
mulai muncul seabad lalu. Ia menjadi populer dan mendunia sejak diadopsi
menjadi iklan perusahaan asal Amerika Coca-Cola pada 1920-anwarna merah
baju Sinterklas cocok dengan brand perusahaan minuman bersoda itu. Sinterklas
modern adalah Sinterklas yang telah ter-Amerika-kan (sementara Santo Nikolas,
sebagai basis figur Sinterklas, tidak pernah ke Amerika).
Kita bisa mengatakan, penggambaran Sinterklas modern merupakan fenomena
komodifikasi atas hal yang sakral (commodification of the sacred), yang menjadi
salah satu fitur kapitalisme. Dengan dasar ini, alih-alih merupakan atribut
keagamaan, pakaian Sinterklas sebenarnya adalah atribut kapitalisme. Dalam
taraf tertentu, komodifikasi Sinterklas boleh jadi malah menentang nilai
keagamaan: kerakusan meraup materi bertentangan dengan semangat charity

dan altruisme. Fakta bahwa perhatian publik dalam budaya pop jauh lebih
banyak tearahkan kepada Sinterklas ketimbang kelahiran Yesus semakin
membuktikan hal itu.
Tentang Sinterklas dan hal-hal lain yang diduga merupakan atribut Kristen ini,
pendapat yang senada disampaikan oleh Prof. Jan Sihar Aritonang. Selain
menyatakan bahwa gereja Kristen dengan berbagai alirannya belum pernah
membuat konsensus tentang atribut/simbol/hiasan Natal, guru besar Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta itu dalam surat terbukanya untuk MUI menyatakan
produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai
hubungan langsung dengan iman Kristen dan lebih dimotivasi oleh hasrat
mendapat keuntungan material. Karena inilah, lanjut Aritonang, orang-orang
yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama.
Singkatnya, bila yang dimaksud dalam fatwa MUI dengan atribut keagamaan
non-muslim itu adalah aksesoris Sinterklas atau pernak-pernik lain yang secara
populer dikira atribut Kristen, ini adalah identifikasi yang salah sasaran.
Kristalisasi Identitas Keislaman
Hal lain yang perlu dielaborasi lebih lanjut dari fatwa MUI itu ialah tentang
kurangnya rasionalisasi terhadap satu asumsi yang mendasari argumennya:
bagaimana prosesnya dari memakai atribut agama lain lalu tiba pada
kesimpulan konfirmasi terhadap kebenaran keyakinan agama itu atau bahkan
sesuai salah satu pendapat ulama yang dikutip dalam konsideran fatwa
mengucapkan selamat atas perayaan agama lain lebih dimurkai Allah
daripada minum khamr, membunuh, dan berzina.
Mengucapkan selamat tidak serta merta berarti menyetujui keyakinan orangorang yang diselamati. Merujuk ke argumen dari beberapa ulama dunia
kontemporer yang membolehkan ucapan selamat natal, seperti Syaikh Ali
Jumah dan Habib Ali al-Jifri, mengucapkan selamat adalah bagian dari etiket
pergaulan sosial, yang sama dengan salam yang diucapkan ketika orang
bertemu. Mengutip Surah al-Mumtahanah [60]:8 (surah yang juga dikutip dalam
fatwa MUI, namun berbeda kesimpulan), Syaikh Ali Jumah mengkategorikan
ucapan selamat terhadap perayaan orang Kristen atas kelahiran Al-Masih
sebagai al-birr, perbuatan baik.
Bahkan diceritakan oleh Ibn Ishaq, penulis biografi Nabi paling awal (abad 8),
Nabi Muhammad memperbolehkan orang-orang Kristen Najran untuk salat di
Masjid Nabawi di Madinahya, dalam bahasa Arab, ibadah Kristen pun disebut
salat (shalah) dan tempat ibadah Yahudi (kanais al-yahud) dalam Surah al-Hajj
(22):40 disebut shalawat. Kisah Kristen Najran ini dinukil dalam tafsir Ibn Katsir
dan dinyatakan sahih oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyahkedua ulama ini juga
disebut dalam fatwa MUI. Poinnya: mempersilakan orang Kristen untuk
beribadah di Masjid Nabawi tentu tidak berarti bahwa Nabi membenarkan
keyakinan Kristen.
Lalu dari mana datangnya logika larangan memakai atribut agama lain? Ialah
dari tafsir atau pendapat-pendapat ulama sebagaimana dikutip dalam fatwa MUI.
Menarik untuk memperhatikan bahwa dari ketujuh ulama yang disebut dalam
konsideran fatwa itu, semuanya hidup sesudah abad 12. Yang paling tua dari

daftar ulama itu ialah Ibn Taimiyyah, yang lahir pada 1263, lima tahun setelah
jatuhnya Baghdad (1258) di tangan orang-orang Mongol.
Konteks ini penting dihadirkan untuk mengetahui semangat zaman yang
mempengaruhi diskursus keislaman saat itu. Abad 12 adalah abad ketika dunia
Islam diserang dari barat (pasukan Salib) dan timur (invasi Mongol), ditambah
rivalitas antara Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo (Fatimiyah). Suasana perang dan
kondisi dalam kepungan musuh seperti ini akan mempengaruhi psikologi massa
untuk menegaskan garis pembeda antara musuh dan lawan dan tuntutan akan
komitmen dan loyalitas. Imbasnya: identitas ditegaskan, sehingga hal-hal yang
dianggap identik dengan musuh akan dijauhi.
Yang Terbuka dan Tertutup
Dalam terang pembacaan hermeneutis, identitas yang dipahami secara eksklusif
itulah yang membentuk semangat zaman itu, dan mempengaruhi pendapatpendapat ulama yang lahir dan hidup di dalamnya. Peniruan identitas dari
musuh yang seharusnya dijauhi akan dianggap sebagai disloyalitas. Di kemudian
hari, hal ini dikonseptualisasikan dalam diskursus Salafi melalui doktrin al-wala
wal-bara; loyal (wala) pada identitas keislaman dan berlepas diri (bara) dari
atribut-atribut yang identik dengan agama lain.
Jatuhnya Baghdad sering dibaca sebagai mulai meredupnya zaman keemasan
dunia Islam, beralih dari zaman yang terbuka (ashr al-infitah), yang bergairah
untuk menyerap-mengembangkan tradisi di sekitarnya (Hellenis, Persia, India)
untuk memajukan peradaban, ke zaman yang tertutup (ashr al-inghilaq) yang
mudah curiga dengan yang datang dari luar. Di zaman yang mulai tertutup ini,
bukan hanya permusuhan dengan umat agama lain yang menguat;
persengkataan internal aliran (Sunni-Syiah) dalam Islam pun mengeras dan
perbedaan identitas antarsekte mengkristal. Perkecualian terjadi jauh di barat, di
Andalusia (kini Spanyol), yang menjadi perantara peradaban dari dunia Islam ke
Eropa, yang juga sering dicatat sebagai salah satu model toleransi dalam sejarah
Islam.
Dalam semangat identitas yang terbuka, saling mengambil-menerimamemodifikasi antartradisi yang berbeda lumrah terjadi dan, alih-alih menggerus
keyakinan, ia justru memperkaya budaya masing-masing. Ini yang terjadi di
mana-mana dalam sejarah agama dunia: agama-agama bisa besar sebab
menyerap tradisi di mana agama-agama itu dibumikan, tak terkecuali di
Nusantara. Dalam identitas yang tertutup, tiada improvisasi, sementara zaman
yang terus berkembang menuntut penyesuaian diri.
Di sini kita tinggal memilih yang hendak ditiru: mengembangkan identitas yang
inklusif, yang lebih rileks terhadap perbedaan-perbedaan minor, atau identitas
yang ditegaskan secara eksklusif, yang serba was-was terhadap yang lain,
yang berimbas pada diskursus keislaman kita hari ini yang sibuk pada persoalanpersoalan yang seharusnya sudah selesai.
Kerukunan: Menajamkan Perbedaan?
Di atas segalanya, pertanyaan terakhir yang penting ialah: apa imbas dari fatwa
MUI itu? Pemimpin MUI menyatakan bahwa fatwa itu dibuat dalam kerangka

penghormatan kepada prinsip kebhinnekaan dan kerukunan beragama di mana


kebhinnekaan dimaknai kesadaran terhadap perbedaan.
Sadar terhadap perbedaan bukan hal yang salah di dalam dirinya sendiri. Yang
bisa menjadi problem ialah bagaimana perbedaan itu dikelola: apakah dengan
menajamkannya, sehingga perbedaan-perbedaan perlu dipertegas hingga halhal minor perlu disengketakan dan dibesar-besarkan, atau menjembataninya,
sehingga saling memahami didahulukan, dialog diutamakan, dan penghakiman
bisa
ditundadan,
tentu,
tanpa
ada
maksud
menyamakan
atau
mencampuradukkan.
Bukan mengada-ada bila kita mengkhawatirkan bahwa fatwa MUI itu justru
makin memperlebar jurang komunikasi, dalam hal ini dengan saudara-saudara
dari komunitas kristiani. Fatwa MUI tidak bisa didaku hanya untuk kalangan
internal umat Islam saja. Umat kristiani yang terkena dampak juga berhak resah.
Keberatan dengan sebutan kafir, sebagaimana diajukan dalam surat terbuka
Prof. Jan Sihar Aritonang, adalah keresahan yang valid. Apalagi bila kafir
dipahami simplistis sebagai semua yang tak beragama Islam. Maka, seperti
disebut dalam surat terbuka itu, lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah
kafir.
Penyebutan kafir juga bukan simbol kerukunan; ia adalah penghakiman nasib
eskatologis, atau minimal sebentuk arogansi. Hampir mustahil terjadi dalam
tatap muka dalam pergaulan sehari-hari dengan pemeluk agama lain kata kafir
dipakai untuk memanggil lawan bicara, kecuali bila konteksnya memang sedang
bermusuhan; baik benar-benar bermusuhan, maupun permusuhan yang sengaja
ingin diciptakan.
Lebih dari itu, apakah sebenarnya umat Islam perlu mempersoalkan hal seperti
ini; mempersoalkan atribut yang bahkan tidak tepat dalam identifikasi itu?
Orang-orang Kristen abad 21 biasa masuk ke masjid atau mendatangi acara
keislaman dengan memakai peci, sarung, atau kerudung bagi perempuan,
namun kita tak menjumpai ada fatwa dari majelis pendeta atau ensiklik
kepausan yang menilainya sebagai perusak identitas kristiani.
Ucapan selamat natal dari muslim kepada kristiani diperbolehkan oleh banyak
ulama dunia saat ini. Di Indonesia, Buya Hamkayang menjadi pemimpin MUI
saat mengeluarkan fatwa keharaman perayaan natal bersama (dan bukan
ucapan selamat natal) pada 1981tidak mengharamkannya; demikian juga
dengan Din Syamsudin, ketua MUI sebelum yang saat ini. Dari sisi sebaliknya,
ucapan selamat untuk perayaan hari besar Islam diucapkan orang-orang nonmuslim, yang beragama maupun tak beragama, dan di sana wacana yang
mengemuka bukanlah pendangkalan iman, melainkan menjaga hubungan baik.

Anda mungkin juga menyukai