Tulisan ini akan menelisik konflik mega proyek pembangunan bandara New
Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari
ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung
dalam wahana Tri Tunggal (WTT) Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bias
dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh
merealisasikan proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat
pun bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak
dapat ditolak, konflik kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana
rakyat mengambil posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan
pengusaha berikut aktor-aktornya di tingkat basis.
Tulisan ini berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun
belakangan, upaya pemerintah yang setengah hati dalam penyelesaian konflik dan
justru semakin membuat isu ini semakin ekskalatif. Dengan mengacu pada pemetaan
konflik Paul Wehr[2], bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks situasi
yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang langsung dan
tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama
sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini. Pada bagian kedua, secara
historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini. Pada
bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi konflik. Pada
bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen memberikan beberapa catatan
kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa termutakhir seputar peta politik
paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten Kulon Progo. selain ditempuh melalui
kajian pustaka dan penelusuran pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga
dilengkapi dengan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait
dalam konflik pembangunan Bandara di Kulon Progo.
Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik yang terjadi antara pemerintah dengan
masyarakat terdampak pembangunan bandara:
Kronologi Konflik Pembangunan NYIA. Sumber: Riset oleh Penulis.
Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang dirasa perlu. Mengingat
Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik mancanegara maupun lokal,
memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi, dan nyaman. Transportasi udara
menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian antar negara dan antar kota. Selain
itu pembangunan bandara baru juga untuk memenuhi kebutuhan jasa penerbangan
baik domestik maupun non-dosmetik, mengingat akan kebutuhan konsumen yang
setiap tahun mengalami peningkatan.
Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon Progo menemui
resistensi dari masyaralat khususnya petani, sehingga yang rencananya pembangunan
bandara akan dimulai awal tahun 2016 akhirnya belum juga dapat direalisasikan.
Hambatan sosial menjadi faktor utama, yaitu adanya masyarakat yang menolak
pembangunan bandara di Kulon Progo ini.
Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria.
Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi
penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi
Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam
Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah
mereka kelola selama 20 tahun, hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti
saat ini. Warga pun menuntut sertifikasi tanah lahan pesisir itu.
Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG)
memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi
dualism penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada
pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta №16/1918 dan Rijksblad
Pakualaman №18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No
5/1960.[3] Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas bertentangan dua asas hukum.
Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih
rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang datangnya lebih
dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi
priori).[4] Persoalan agraria di DIY ini semakin terasa kompleks sejak
berlangsungnya otonomi daerah, terutama saat mengemukanya kembali polemik
RUUK dalam lima tahun terakhir.
Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal
timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal
akan berakibat pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan
publik (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit
penguasa; dan kedua, hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi
penguasaan sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.
Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak ketika
hadir pihak ketiga, yaitu investor asing yang hendak menginvestasikan modalnya
secara langsung dari hulu hinga hilirnya pembangunan. Konflik yang semula berada
di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung
pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan
itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan.
Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara
yang tidak adil dan manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah
mengatakan bahwa bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan
sumber utama apa yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.[5]
Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek
penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori berikut:
pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik (yang memiliki kaitan
erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan
kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik;
dan ketiga, keterlibatan investor asing dalam pembangunan bandara tersebut
merupakan pemicu konflik.
Eskalasi Konflik
Pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
telah dimulai, ditandai dengan peletakan batu merah pertama oleh Presiden Joko
Widodo dalam satu seremoni bertajuk “Babat Alas Nawung Kridha”. Menurut
pemerintah, Pembangunan bandara di lahan seluas 587 hektare tersebut harus segera
dilaksanakan, sebab perencanaannya sudah tujuh tahun. Dengan berdalih kehadiran
bandara tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran Bandara
Adisutjipto yang yang kapasitasnya sudah tidak mampu menampung pertumbuhan
pergerakan penumpang dan pesawat lantaran keterbatasan lahan. Kapasitas maksimal
terminal penumpang di bandara Adisutjipto yang memiliki luas 15 ribu meter persegi
tersebut, hanya sekitar 1,2 juta penumpang per tahunnya. Begitupun dengan fasilitas
lainnya seperti, apron (area parkir pesawat) yang berkapasitas hanya delapan pesawat,
dan landasan pacu (runway) sepanjang 2.250 meter, dinilai sudah tidak mampu lagi
untuk menambah pergerakan pesawat dan melayani pesawat berbadan besar. Padahal
pada 2016, jumlah pergerakan penumpang di bandara Adisutjipto telah mencapai 7,2
juta penumpang.
Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai
kawasan lindung geologi. Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan
dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia
berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam
Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah
memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi.
Kawasan tersebut antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa
bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan
dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah
pantai diselatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana
tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat
Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah
rawan gempa yang dapat memicu tsunami.
Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar.
Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika
berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara
Internasional Kulonprogo cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami
Wilayah Kulonprogo yang diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan,
LIPI dan Bakosurtanal (2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan
bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar
dan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai
6 meter dan terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33–40 setelah
gempa. Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak
mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang.
Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini
rendah (16 Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi
(16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.
Resolusi Konflik
Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas,
tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek
Pembangunan Bandara di Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil
konflik berdurasi 5 tahun lebih hanya dalam secarik kertas kecil ini. Sebelum
menawarkan beberapa skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan
memberikan beberapa catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut.
Beberapa catatan penting adalah sebagai berikut:
Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi
pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan
pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka
Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang
transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis dan
partisipatoris di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba
menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi dalam konflik mega proyek
pembangunan Bandara Kulon Progo. Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, bangun dan buka kanal-kanal dialog seluasnya bagi warga, terutama warga
yang paling terdampak langsung oleh proyek pembangunan bandara, guna
menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki.
Dalam konteks proyek bandara tersebut, merangkul kembali warga yang terlanjur
kecewa, karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan.
Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk
menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama
ini abai pada warga.
Kedua, buka pula ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak dan stakeholder
tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah,
maupun upaya membangun system kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati
sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut
momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis dan partisipatoris.
Bandar Udara Internasional Kulon Progo atau yang lebih dikenal dengan YIA
digadang-gadang akan menjadi bandara termegah sekaligus paling modern yang ada
di Indonesia. Sebelumnya nama bandara ini direncanakan menggunakan New
Yogyakarta International Airport (NYIA). Namun demikian, berdasar rekomendasi
dari Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, Ketua DPRD Yogyakarta, serta
Bupati Kulonprogo, nama bandara ini akhirnya diganti menjadi Yogyakarta
International Airport (YIA).