Anda di halaman 1dari 15

“Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan

pihak investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan


cara-cara persuasif. Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan
Daendles, dari Trisik sampai timur Sungai Serang, diperlakukan seperti
layaknya “Gepeng” (gelandangan dan pengemis-pen) yang harus
disingkirkan.”
(Martono, Ketua WTT)[1]

Tulisan ini akan menelisik konflik mega proyek pembangunan bandara New
Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari
ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung
dalam wahana Tri Tunggal (WTT) Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bias
dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh
merealisasikan proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat
pun bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak
dapat ditolak, konflik kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana
rakyat mengambil posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan
pengusaha berikut aktor-aktornya di tingkat basis.

Tulisan ini berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun
belakangan, upaya pemerintah yang setengah hati dalam penyelesaian konflik dan
justru semakin membuat isu ini semakin ekskalatif. Dengan mengacu pada pemetaan
konflik Paul Wehr[2], bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks situasi
yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang langsung dan
tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama
sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini. Pada bagian kedua, secara
historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini. Pada
bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi konflik. Pada
bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen memberikan beberapa catatan
kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa termutakhir seputar peta politik
paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten Kulon Progo. selain ditempuh melalui
kajian pustaka dan penelusuran pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga
dilengkapi dengan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait
dalam konflik pembangunan Bandara di Kulon Progo.

Prahara yang Berkepanjangan


Awal mula ada rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sebenarnya sudah ada
isunya ketika pemerintahan bupati periode sebelumnya yaitu pada saat Pak Hasto
menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Pada penghujung 2011 mulai muncul isu akan
dibangunya bandara baru di Kulon Progo. Pada tahun 2012 isu pembangunan bandara
di Kulon Progo semakin santer terdemgar, dan mulai menimbulkan pertentangan di
masyarakat (pro dan kontra).

Setidaknya 5 tahun belakangan ini masyarakat Kulon Progo di Kecamatan Temon


kabupaten Kulon Progo mengalami pergolakan, karena disebabkan oleh adanya
pembangunan bandara baru di Kulon Progo, yang nantinya akan menggantikan
bandara lama yaitu Bandara Adisutjipto sebagai bandara komersil. Sedikitnya ada
lima desa yang terdampak pemabangunan bandara di Kulon Progo yaitu Desa Palihan,
Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Desa Jangkaran. Dari lima desa itu ada dua desa
yang memang terkena dampak paling luas yaitu Desa Palihan dan Glagah.

Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik yang terjadi antara pemerintah dengan
masyarakat terdampak pembangunan bandara:
Kronologi Konflik Pembangunan NYIA. Sumber: Riset oleh Penulis.

Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di Kecamatan


Temon merupakan hasil pengkajian pemilihan tempat sebelumnya, yang kemudian
pilihan jatuh di Kulon Progo. Pengkajian tersebut berkaitan dengan kelayakan lokasi
penerbangan.Pemerintah berdalih kenapa perlunya pembangunan Bandara
Internasional baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (PT. Angkaa Pura I 2015), yaitu:

Pertama, Kapasitas terminal Bandara Adisutjipto tidak mampu lagi menampung


pesawat yang take off and landing. Adapun daya tampung Bandara Adisutjipto adalah
1,2 s.d 1,5 juta, sedangkan jumlah per 2014 sudah mencapai 6,2 juta penampung.
Kapasitas area parkir pesawat (apron) hanya menampung 7+1 (apron baru).

Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang dirasa perlu. Mengingat
Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik mancanegara maupun lokal,
memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi, dan nyaman. Transportasi udara
menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian antar negara dan antar kota. Selain
itu pembangunan bandara baru juga untuk memenuhi kebutuhan jasa penerbangan
baik domestik maupun non-dosmetik, mengingat akan kebutuhan konsumen yang
setiap tahun mengalami peningkatan.

Ketiga, Bandara Adisutjipto adalah milik Pangkalan TNI AU yang sebenaranya


bukan untuk komersil, sehingga tidak jarang ketika TNI AU mengadakan latihan
pesawat penerbangan domestik terganggu sehingga adanya delay atau penundaan baik
ketika pesawat mau turun maupun terbang.

Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon Progo menemui
resistensi dari masyaralat khususnya petani, sehingga yang rencananya pembangunan
bandara akan dimulai awal tahun 2016 akhirnya belum juga dapat direalisasikan.
Hambatan sosial menjadi faktor utama, yaitu adanya masyarakat yang menolak
pembangunan bandara di Kulon Progo ini.

Penolakan pembangunan bandara dilakukan oleh mereka yang benar-benar menolak


adanya bandara yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT), dan masyarakat yang
mendukung (pro) namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka
ajukan. Di antara syarat yang harus dipenuhi yaitu masalah ketenagakerjaan, ganti
rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis.
Namun dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu
yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi
gratis.

Anatomi Konflik Mega Proyek Bandara Kulon Progo


Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut akan mendiskripsikan hasil
analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya konflik. Menurut hemat
penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik yang beroperasi dalam mega
proyek pembangunan Bandara di Kulon Progo ini.

Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria.
Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi
penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi
Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam
Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah
mereka kelola selama 20 tahun, hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti
saat ini. Warga pun menuntut sertifikasi tanah lahan pesisir itu.

Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG)
memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi
dualism penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada
pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta №16/1918 dan Rijksblad
Pakualaman №18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No
5/1960.[3] Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas bertentangan dua asas hukum.
Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih
rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang datangnya lebih
dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi
priori).[4] Persoalan agraria di DIY ini semakin terasa kompleks sejak
berlangsungnya otonomi daerah, terutama saat mengemukanya kembali polemik
RUUK dalam lima tahun terakhir.
Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal
timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal
akan berakibat pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan
publik (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit
penguasa; dan kedua, hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi
penguasaan sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.

Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak ketika
hadir pihak ketiga, yaitu investor asing yang hendak menginvestasikan modalnya
secara langsung dari hulu hinga hilirnya pembangunan. Konflik yang semula berada
di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung
pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan
itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan.
Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara
yang tidak adil dan manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah
mengatakan bahwa bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan
sumber utama apa yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.[5]

Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek
penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori berikut:
pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik (yang memiliki kaitan
erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan
kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik;
dan ketiga, keterlibatan investor asing dalam pembangunan bandara tersebut
merupakan pemicu konflik.

Eskalasi Konflik
Pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
telah dimulai, ditandai dengan peletakan batu merah pertama oleh Presiden Joko
Widodo dalam satu seremoni bertajuk “Babat Alas Nawung Kridha”. Menurut
pemerintah, Pembangunan bandara di lahan seluas 587 hektare tersebut harus segera
dilaksanakan, sebab perencanaannya sudah tujuh tahun. Dengan berdalih kehadiran
bandara tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran Bandara
Adisutjipto yang yang kapasitasnya sudah tidak mampu menampung pertumbuhan
pergerakan penumpang dan pesawat lantaran keterbatasan lahan. Kapasitas maksimal
terminal penumpang di bandara Adisutjipto yang memiliki luas 15 ribu meter persegi
tersebut, hanya sekitar 1,2 juta penumpang per tahunnya. Begitupun dengan fasilitas
lainnya seperti, apron (area parkir pesawat) yang berkapasitas hanya delapan pesawat,
dan landasan pacu (runway) sepanjang 2.250 meter, dinilai sudah tidak mampu lagi
untuk menambah pergerakan pesawat dan melayani pesawat berbadan besar. Padahal
pada 2016, jumlah pergerakan penumpang di bandara Adisutjipto telah mencapai 7,2
juta penumpang.

Dalam perencanaan, Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo akan dibangun


secara bertahap. Pada tahap pertama, terminal penumpang yang akan dibangun yaitu
seluas 130.000 meter persegi yang mampu menampung hingga 15 juta penumpang
per tahunnya. Dengan landasan pacu sepanjang 3.250 meter dan area parkir pesawat
berkapasitas hingga 35 pesawat. Pembangunan tahap I ini ditargetkan selesai pada
Maret 2019. Pada tahap II dilakukan pengembangan lanjutan terminal penumpang
menjadi 195 ribu meter persegi, yang mampu menampung hingga 20 juta penumpang
per tahun. Landasan pacu pun diperpanjang menjadi 3.600 meter dan area parkir
pesawat dikembangkan menjadi berkapasitas hingga 45 pesawat, sehingga dapat
melayani pesawat berbadan besar, misalnya, Boeing 747–400. Namun, dalam proses
pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta tidak terlepas dari perlawanan dan
gugatan dari warga setempat yang merasa dirugikan. Sebelumnya masyarakat
setempat telah memenangkan gugatan di PTUN, akan tetapi kemudian pihak
pemerintah mengajukan kasasi dan memenangkan gugatan. Dengan bermodalkan hal
tersebut pemerintah terus berusaha melanjutkan pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta. Pemerintah sendiri menyiapkan tiga skema ganti untung yaitu
pembayaran tunai, relokasi dan pemberian tanah PAG ke warga terdampak.

Namun, melihat dari proses pembangunan dan pemilihan lokasi di Kecamatan


Temon,Kulonprogo ini. Kami telah menemukan beberapa permasalahan yang
dihimpun dari berbagai sumber :

1. Adanya ancaman bencana dan kerusakan lingkungan hidup menyebabkan


wilayah yang dipilih tidak tepat untuk dijadikan lokasi pembangunan Bandara
Internasional. Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali
menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai
zona rawa bencana alam geologi (pasal 46 Ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik perda
Provinsi DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai
kawasan rawan tsunami (pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo
Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail
menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya meliputi Kecamatan Temon
(Pasal 39 ayat 7 huruf a).

Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai
kawasan lindung geologi. Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan
dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia
berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam
Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah
memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi.
Kawasan tersebut antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa
bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan
dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah
pantai diselatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana
tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat
Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah
rawan gempa yang dapat memicu tsunami.

Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar.
Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika
berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara
Internasional Kulonprogo cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami
Wilayah Kulonprogo yang diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan,
LIPI dan Bakosurtanal (2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan
bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar
dan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai
6 meter dan terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33–40 setelah
gempa. Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak
mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang.
Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini
rendah (16 Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi
(16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.

2. Adanya indikasi kejanggalan dalam proses studi AMDAL dan proses


perumusan kebijakan yang menyebabkan munculnya kebijakan yang dapat dikatakan
muncul secara sepihak. Rencana studi amdal yang terlambat ini dianggap menjadikan
proses pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) ini menjadi cacat
hukum. Dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Harry Supriyono
menyatakan bahwa Studi Amdal seharusnya dilakukan sebelum penerbitan IPL (Izin
Penetapan Lahan) bandara. Harry mengatakan dasar Amdal harus ada sebelum IPL
yakni UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam aturan itu dijelaskan bahwa studi kelayakan lahan yang berwujud Amdal harus
sudah ada sebelum adanya pembebasan lahan. Proses rencana pembangunan bandara
di Kulon Progo sudah sampai pembayaran ganti rugi, tapi studi Amdal baru mau
dilakukan. Proses yang sudah dilakukan sudah cacat hukum

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera,


mengungkapkan dalam sebuah proyek pembangunan sudah semestinya ada instrumen
pencemaran lingkungan hidup. Termasuk dalam hal pencegahan pencemaran
lingkungan akibat dampak pembangunan bandara Kulon Progo. Amdal menjadi
bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika studi kelayakan lingkungan tidak ada,
izin pembangunan harusnya tidak bisa dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek
pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015, telah dikeluarkan Gubernur DIY
Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret 2015, warga Kulon Progo
menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di tingkat gugatan, warga
kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.

3. Proses kompensasi yang dijanjikan kepada warga terdampak senyatanya


justru dapat menimbulkan marginalisasi bagi warga setempat. Masih belum
jelasnya mekanisme kompensasi menimbulkan kesimpangsiuran bagi warga
terdampak, padahal kesepakatan pembangunan Bandara telah diteken. Adanya upaya
relokasi dengan ganti tanah dari PAG (Paku Alaman Ground) dengan sistem
magersari dianggap menimbulkan ketidakadilan. Penghageng Kawedanan Kaprajan
Kadipaten Paku Alaman KPH Suryo Adi Negoro mengatakan Kadipaten Paku
Alaman telah menyiapkan lahan seluas 15 hektare untuk digunakan sebagai tempat
relokasi bagi warga yang terkena dampak pembangunan bandara. Warga
diperbolehkan menempati tanah tersebut akan tetapi tidak boleh dijual. Adapun tanah
yang disiapkan untuk relokasi masih berupa tanah lapang dan ada beberapa bangunan.
Nantinya, Pemkab Kulonprogo memiliki kewajiban untuk membangun perumahan
sebagai tempat relokasi warga di lahan tersebut. Sejatinya, tanah yang disiapkan
untuk tempat relokasi adalah tanah milik kadipaten Paku Alaman yang awalnya
direncanakan untuk perumahan. Akantetapi, karena dirasa dibutuhkan oleh warga
maka pembangunan tersebut dibatalkan. Penjelasan dari Paku Alaman menyatakan
bahwa tanah relokasi bersifat status sewa, model penyewaan 20 tahun dan
diperpanjang bertujuan untuk mempermudah pengadministrasian dan inventarisasi
dari kadipaten Paku Alaman. Adapun untuk sertifikasi tanah relokasi tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada PT Angkasa Pura. Adanya model kompensasi dengan
relokasi tanpa memberikan hak milik bagi warga terdampak ini justru terkesan
memarginalkan warga terdampak dan justru terkesan “mengkomersialkan” dengan
menarik sewa tanah bagi warga yang mau tinggaal di tempat relokasi yang telah
disediakan. Padahal, lahan yang terdampak pembangunan bandara adalah mayoritas
adalah milik warga terdampak. Ancaman yang muncul dari pembangunan ini tidak
hanya hilangnya lapangan pekerjaan, namun juga indikasi marginalisasi petani.

Resolusi Konflik
Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas,
tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek
Pembangunan Bandara di Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil
konflik berdurasi 5 tahun lebih hanya dalam secarik kertas kecil ini. Sebelum
menawarkan beberapa skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan
memberikan beberapa catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut.
Beberapa catatan penting adalah sebagai berikut:

Pertama, terilustrasikan dalam paparan di atas bahwa mega proyek pembangunan


bandara di Kulon Progo merupakan grand design dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi DIY yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun,
termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek tersebut.
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak untuk
mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi kontrak”.
Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari pusat hingga daerah
tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti, setidaknya yang manifes.

Kedua, kevakuman persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya


menunjukkan gelagat serupa dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan”
dan “kekompakan” Nampak hendak lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang
berperan sebagai kekuatan oposan eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak
ditunjukkan Yogya agar tak terlihat carut-marut di mata Pemerintah Pusat? Tentu
akan menjadi perdebatan panjang nantinya

Ketiga, termarginalkanya sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai


terombang-ambingkan oleh kekuatan yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu
(pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD
Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik nampaknya tidak tengah ingin
menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah terjadi homogenisasi kekuatan
politik.

Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi
pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan
pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka
Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang
transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis dan
partisipatoris di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba
menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi dalam konflik mega proyek
pembangunan Bandara Kulon Progo. Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bangun dan buka kanal-kanal dialog seluasnya bagi warga, terutama warga
yang paling terdampak langsung oleh proyek pembangunan bandara, guna
menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki.
Dalam konteks proyek bandara tersebut, merangkul kembali warga yang terlanjur
kecewa, karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan.
Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk
menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama
ini abai pada warga.

Kedua, buka pula ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak dan stakeholder
tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah,
maupun upaya membangun system kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati
sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut
momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis dan partisipatoris.

Ketiga pemerintah perlu untuk segera merumuskan mekanisme kompensasi yang


pasti dan diharapkan benar-benar menguntungkan bagi warga terdampak apabila
memang pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta adalah kebutuhan yang
mendesak bagi pembangunan nasional.

Keempat, mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan


kepada publik tentang rancangan mitigasi bencana dan ancaman kerusakan
lingkungan hidup akibat dampak pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta
beserta penanganannya. Dengan catatan bahwa pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan nasional.

Kelima, mendorong pemerintah untuk untuk mensosialisasikan dan


mengkomunikasikan kepada publik tentang rancangan pendampingan dan
pemberdayaan warga terdampak, pembangunan daerah yang terpadu, meningat dalih
dari pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo adalah dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta
peningkatan daya saing menghadapi pasar global.
LATAR BELAKANG

Bandar Udara Internasional Kulon Progo atau yang lebih dikenal dengan YIA
digadang-gadang akan menjadi bandara termegah sekaligus paling modern yang ada
di Indonesia. Sebelumnya nama bandara ini direncanakan menggunakan New
Yogyakarta International Airport (NYIA). Namun demikian, berdasar rekomendasi
dari Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, Ketua DPRD Yogyakarta, serta
Bupati Kulonprogo, nama bandara ini akhirnya diganti menjadi Yogyakarta
International Airport (YIA).

Bandara ini dibangun di kawasan kecamatan Temon, kabupaten Kulonprogo, Daerah


Istimewa Yogyakarta. Keberadaan bandara internasional ini diharapkan mampu
membantu kinerja Bandara Internasional Adisutjipto yang sudah overload capacity
baik dari segi penumpang ataupun pesawat.

Anda mungkin juga menyukai