Anda di halaman 1dari 16

Wacana

08 Agustus 2008

Dampak Sosial Ekonomi Jalan Tol


 Oleh Akhmad Samsul Ulum
ATAS nama kepentingan umum (PLTU Sluke, Rembang), kita telah menyaksikan bagaimana
pemerintah mengusir pemilik tanah yang sah, bahkan begitu tega membuldosernya. (SM, 20/07/08).

Tahun ini, pemerintah menargetkan pembebasan lahan untuk jalan tol Semarang-Solo, Batang-
Semarang, Batang-Pemalang, dan Pemalang-Pejagan, harus sudah selesai semuanya.

Megaproyek jalan tol merupakan big program pemerintah untuk membuat Tol Trans Jawa,
melintang dari Jakarta sampai Surabaya. Persoalan besar kemudian muncul dalam tahap
pembebasan lahan.

Mengapa hal ini selalu berulang? Nampaknya investor dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
mempunyai persepsi yang kurang tepat terhadap Perpres No 36 Tahun 2005, yang kemudian
direvisi dengan Perpres No 65 Tahun 2006.

Salah satu sisi yang ditonjolkan adalah pemerintah dapat memaksa pemilik sah tanah untuk dicabut
haknya secara paksa, demi kepentingan umum. Sedangkan sisi musyawarah dan proses-proses
(logika) penetapan besarnya ganti rugi tak dikaji secara mendalam.

Dampaknya, proses pembebasan lahan memakan waktu lama, bahkan bertahun-tahun, seperti pada
kasus jalan tol Semarang-Solo. Dikhawatirkan jika ujung-ujungnya menggunakan pendekatan
kekuasaan.

Tulisan ini akan mengkaji dampak sosial ekonomi akibat pembebasan lahan untuk pembangunan
proyek jalan tol. Dampak sosial ekonomi ini justru perlu mendapat porsi yang besar, karena logika
berfikirnya akan dijadikan sebagai dasar untuk proses musyawarah dalam penetapan besaran ganti
rugi pembebasan tanah maupun benda-benda yang ada di atasnya.

Kesalahan Cara Pandang

Ketika pemerintah (dan investor) membuat blue print  jalan Tol Trans Jawa, yang merupakan
proyek infrastruktur besar, warga yang akan dilalui jalan tol tidak ikut diajak bicara. Pemerintah
selalu menganggap apa yang direncanakannya pasti benar.

Padahal, Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) disusun belakangan, ketika pematokan
lahan untuk menentukan right of way telah dilakukan. Filosofi ini terbalik, karena secara implisit
pemerintah beranggapan proyek ini pasti harus dijalankan dan benar menurut pemerintah, dengan
berlindung di balik klausul ”demi kepentingan umum”. 

Kekeliruan kedua, studi Amdal yang dilakukan itu kurang menyentuh masalah dampak sosial
ekonomi. Padahal dampak sosial ekonomi itu mestinya digunakan sebagai landasan dalam
musyawarah guna menetapkan ganti rugi. Tidak heran jika masalah pembebasan lahan menjadi
rumit dan bertahun-tahun. Padahal masalah ini (ganti rugi) adalah yang paling utama, karena paling
sensitif dan rawan.
Adapun pembangunan (material) jalan dan tenaga kerja merupakan masalah yang paling sederhana.
Pasalnya, kalau dana (uang) sudah ada, pembangunan pasti dapat diselesaikan. Sosialisasi Amdal
yang pernah penulis ikuti lebih banyak justru menyajikan visualisasi jalan tol (dengan berbagai cara
pembuatannya), serta rencana spesifikasi jalan, luas dan jenis lahan yang dibebaskan.

Kekeliruan ketiga adalah menjelaskan atau menggunakan Perpres No 36/2005 dan Perpres No
65/2006 secara parsial. Dalam sosialisasi yang dilakukan, investor atau pemerintah selalu
menjelaskan berulang-ulang hanya pada pasal 10 ayat 2, yang intinya kalau musyawarah menemui
jalan buntu, P2T menetapkan ganti rugi dan uangnya dititipkan di pengadilan. Pasal ini yang
sengaja diekspose untuk menekan moral pemilik tanah agar mau menyerahkan tanahnya dengan
harga sangat murah, dan jauh dari harapan para pemilik.

Filosofi Perpres

Karena pemerintah (dan investor) menggunakan perpres, mestinya filosofi peraturan ini juga perlu
diperhatikan, walaupun banyak pakar yang meragukan keabsahan hukum dari kedua perpres
tersebut. Ada dua hal yang menjadi inti Perpres No 36/2005 dan Perpres No 65/2006, jika kita akan
mengupas dampak sosial ekonomi dari pembangunan jalan tol.

Pertama, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Musyawarah merupakan kegiatan yang
mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta
keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atas dasar
kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah dengan pihak yang memerlukan
tanah (pasal 1 ayat 10).

Disebutkan pula, ”Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan atau
nonfisik sebagai akibat pengadaan tanahÖ.. yang dapat memberikan kelangsungan hidup lebih baik
dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah” (pasal 1 ayat 11).

Kedua, dasar penetapan perhitungan besarnya ganti rugi adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau
nilai sebenarnya / nyata dari harga pasar (pasal 15 ayat 1a).

Kedua hal tersebut akan dipakai untuk mengupas dampak sosial ekonomi pembangunan jalan tol.
Dampak sosial ekonomi merupakan segala akibat yang ditimbulkan atau kemungkinan besar akan
terjadi, yang menyangkut keadaan ekonomi dan sosial terhadap orang-orang yang akan dilewati
proyek jalan tol.

Ada beberapa kondisi yang digunakan dalam menganalisis permasalahan, yaitu: a) kondisi lahan
produktif untuk pertanian, b) lokasi perumahan atau darat, dan c) kawasan industri.

Permasalahan pada lahan pertanian (sawah maupun perkebunan) adalah mengenai akses ke lokasi
menjadi terhambat, baik akses jalan maupun akses pengairan, karena akan terbelah dan terhalang
jalan tol, yang tidak bisa dilewati seperti halnya jalan umum.

Akibatnya, hal ini akan menurunkan hasil produksi serta panen, baik kuantitas maupun nilai
jualnya, dan secara otomatis nilai jual tanah menjadi turun. Kita dapat menyaksikan selama ini,
bagaimana aliran air dari irigasi maupun air hujan begitu alamiahnya melewati sawah-sawah yang
membentang luas.

Kehadiran jalan tol, meski telah diberi saluran irigasi, akan meminimalkan saluran yang dibuat tadi
(logika bisnis), sehingga tidak ada jaminan air tercukupi untuk lokasi yang agak jauh dan
kemiringan tanahnya tidak rata. Kematian akses air irigasi akan diderita pemilik tanah yang
terbelah, juga pemilik di sekitar jalan tol, untuk selamanya. 

Begitu pun akses jalan menuju lokasi lahan pertanian. Kalau semula hanya di belakang rumah,
misalnya, kemudian harus memutar 5 km untuk menuju lokasi. Angkutan pascapanen (produksi)
menjadi lebih jauh karena terhalang dan harus memutar. Sebagian lokasi perkebunan (juga tanaman
pertanian lainnya) menjadi rawan dan sulit diawasi, karena terbelah dan terhalang jalan tol.

Wilayah perumahan atau darat yang secara ekonomis dapat dijadikan perumahan serta kawasan
industri akan mengalami dampak sosial ekonomi yang tak kalah rumit daripada sektor pertnian.
Keadaan yang tenteram, damai, ikatan emosional yang tinggi, kohesivitas antarwarga (utamanya di
pedesaan) lambat laun akan tergerus. Sebab lokasi mereka terbelah dan terhalang oleh jalan tol.

Mereka yang pindah belum tentu cocok di tempat baru secara kultural. Bahkan ikatan emosionalnya
dengan warga lama yang sama-sama pindah pun belum tentu terpelihara sama baiknya di lokasi
baru. Untuk kawasan industri, nampaknya pemerintah telah melakukan tindakan yang tepat,
mengingat social cost-nya terlalu tinggi, karena berencana mengalihkan rute tol (SM, 26/07/08).

Dampak lanjutan yang akan diderita warga atau pemilik tanah adalah belum tentu akan dapat
memperoleh lahan yang sesuai baik harga maupun lokasinya. Kondisi riil di lapangan, beberapa
orang yang akan menjual tanah disekitar lokasi dengan radius dua sampai lima kilometer telah
manaikkan harga penawaran beberapa kali lipat, setelah mendengar kabar pematokan dan rencana
pembebasan lahan untuk jalan tol.

Bagi pemilik lahan baik pertanian, perumahan (darat), maupun industri kecil (home industry),
setelah terkena pembebasan lahan belum tentu bisa mendapatkan lokasi yang strategis, aman,
nyaman, dan mudah dalam akses ekonomi, karena belum tentu ada yang mau jual (kalaupun ada
harganya mahal) dan bahkan bisa jadi akan memperoleh lokasi yang jauh dan nilai ekonomisnya
rendah.

Kondisi-kondisi ini merupakan cerminan kerugian immaterial (non fisik), yang harus ditambahkan
pada kerugian fisik (basic price) ketika pemerintah (investor) menetapkan ganti rugi tanah. Ini pula
yang dimaksud pasal 1 ayat 11 mengenai hakikat ganti rugi, yaitu kerugian fisik maupun kerugian
non fisik yang keduanya harus melekat dan tidak terpisahkan ketika menetapkan besarnya ganti rugi
sehingga dapat memberikan kelangsungan hidup lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena jalan tol.

Jadi, penetapan harga untuk ganti rugi pembebasan lahan sudah seharusnya tidak melihat NJOP atau
harga pasar semata, tetapi harus memasukkan kerugian fisik (basic price) dan kerugian immaterial 
dan menggunakan peraturan presiden nomor 36 dan 65 secara komprehensif, jangan parsial. 

Fakta di Lapangan

Fakta di lapangan tidak berusaha menjaring aspirasi warga-warga yang terkena jalan tol dengan
suatu penelitian yang cerdas, tetapi telah mengganggarkan ganti rugi tanpa mendengar aspirasi
warga. Bukankah tindakan menetapkan anggaran terlebih dahulu menyalahi peraturan presiden
pasal 1 ayat 10 mengenai perlunya musyawarah, yang mereka gunakan sebagai pedoman dalam
pembebasan lahan?

 Sebagai contoh, investor yang menangani jalan tol Semarang-Batang (Bisnis Indonesia 24/03/08)
menetapkan anggaran investasi Rp 3,6 Trilyun dan anehnya hanya mengalokasikan dana
pembebasan lahan sebesar sekitar Rp 250 miliar (sekitar 7 % dari total investasi).

Hal ini menjadi aneh, karena kita tahu bahwa tanah merupakan salah satu komponen utama
pembentuk jalan tol, selain material dan tenaga kerja.

Lebih parah lagi, ternyata rencana ganti rugi untuk wilayah Batang-Semarang untuk membebaskan
lahan seluas kurang lebih 450 hektare rata-rata Rp 50.000 per meter persegi (Rp 250 M dibagi 450
ha)  telah dilakukan jauh hari sebelum AMDAL dilakukan. Artinya, pemerintah tidak mengajak
rakyat, utamanya orang-orang yang akan terkena pembangunan jalan tol untuk didengarkan
aspirasinya.

Rebudgeting  seharusnya dilakukan oleh investor untuk dana pembebasan lahan, karena dengan
anggaran yang sekarang belum memasukkan kerugian immaterial, dan bahkan kerugian fisik pun
belum tercover untuk tanah perumahan atau darat yang masuk kelas satu.

Jangan lupa, aspirasi warga mengenai harga ganti rugi harus didengarkan dan dapat dilakukan
melalui penelitian yang elegan dan cerdas, yang melibatkan pakar dan lembaga yang teruji (seperti
quick count  pada pemilu). Paling tidak jika dana yang dialokasikan untuk pembebasan lahan
sekitar 40% dari investasi, maka hal ini akan memenuhi prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah yang dimaksud pada pasal 3 Perpres No. 36 Tahun 2005.

Tanpa perubahan mendasar ini, jangan heran kalau kemudian proses pembebasan lahan akan
memakan waktu lama sekali, seperti halnya pembebasan lahan untuk tol Semarang-Solo sudah
bertahun-tahun dan hingga sampai saat ini belum selesai.

Perubahan mind-set  (pola pikir) para pengambil kebijakan harus dirubah dari pendekatan
kekuasaan ke pendekatan humanis, yang menganggap rakyat sebagai pemilik utama tanah dan harus
dihormati, diajak bicara (musyawarah bukan memaksa), dan didengarkan aspirasinya, Pemerintah
adalah penyelaras dari berbagai kebutuhan rakyat yang heterogen  Sementara investor jangan
menganggap remeh dan bodoh pemilik tanah dengan cara-cara yang tidak elegan dan dapat
menyakiti hati rakyat.
Apakah demikian? kita tunggu saja buktinya.(32)

–– Akhmad Samsul Ulum, dosen FE Unikal, pemerhati masalah sosial ekonomi


http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/08/08/25546/Dampak-Sosial-Ekonomi-
Jalan-Tol

Jumat, 01 Desember 2006 EKONOMI


Tol Molor, Jalur KA Bisa Jadi Alternatif
DI TENGAH ketidakpastian pembangunan jalan tol Semarang-Solo terealisasi. Kini muncul
wacana, agar Direktorat Perkeretaapian Departemen Perhubungan, lewat operatornya PT
Kereta Api Indonesia mengambil langkah pro aktif dengan mmengoptimalkan Kreta Api
Semarang-Solo.

Kabarnya wacana memberdayakan jalur KA Semarang-Solo bukan sekedar isapan jempol.


Pasalnya pada koridor tersebut sudah terdapat infrastruktur perkeretaapian sepanjang 110 km
yang bisa dioptimalkan keberadaannya.

Koridor Semarang- Solo ini, bisa saja digagas sebagai segitiga pertumbuhan Jogya- Solo -
Semarang atau "Joglosemar". Apalagi koridor ini merupakan titik awal dibangunnya
perkeretaapian di Indonesia. Persisnya antara stasiun Tanggung dan Alastua (dulu namanya
Desa Kemijen). Pembangunan infrastruktur perkeretaapian relatif tidak terlalu mengusik
kepentingan masyarakat.

Sebab, lahan di kiri dan kanan jalan rel milik PT KA masih tersedia untuk membangun jalur
baru.

Misalnya dengan lebar kereta 1435 mm, standar internasional, atau jalur rel kedua, sehingga
Semarang- Solo yang sekarang ini satu jalur menjadi dua jalur.

Untuk mewujudkan segitiga pertumbuhan Jateng dengan sebutan "Joglosemar" melalui


jaringan jalan rel, Pemda Jateng tinggal mendanai rehabilitasi atau membuat jalur rel ganda
Semarang- Solo (110 km).

Sebab, jalur rel ganda Yogyakarta- Solo (60 km) sudah 99 % selesai dikerjakan, yang segera
dilanjutkan dengan penyelesaian jalur rel ganda Yogyakarta- Kutoarjo (64 km), Kutoarjo-
Kroya (76 Km) serta Kroya-Purwokerto - Cirebon (158 Km) yang juga sudah diprogramkan
pekerjaannya oleh Departemen Perhubungan.

Ada sedikit kelebihan, bila wacana KA Joglosemar ini segera direalisir. Bilamana rencana
pembangunan jalan tol Semarang-Solo, dimulai tahun 2007, -kecuali jalur Semarang- Bawen
yang pembangunannya akan segera dilakukan dalam waktu dekat- untuk keseluruhan
Semarang - Solo, baru bisa dinikmati beberapa tahun lagi.

Hemat BBM

KA Semarang-Solo, potensinya akan menyentuh pedalaman bagian Selatan Jateng,


Yogyakarta, Kutoarjo, bahkan mendekatkan jarak ke Madiun.

Dengan telah selesainya jalur rel ganda Yogyakarta- Solo, maka segitiga pertumbuhan
"Joglosemar" dengan infrastruktur berbasis jalan baja lebih cepat selesai.

Salah satu alasan, jika KA Joglosemar ini "eksis" adalah langkah ini sesuai dengan target
pemerintah yang tengah terus mengupayakan terciptanya moda transportasi hemat energi. Ini
masuk akal mengingat sekitar sekitar 11.500.000 ton setiap harinya BBM nasional disedot
sektor transportasi.

Fenomena itu wajar mengingat volume kendaraan yang melewati kawasan Jawa Tengah
semakin tinggi, bahkan kendaraan berskala mini, non massal lebih mendominasi tatanan
transportasi di seluruh jalan di provinsi ini.

Fakta ini juga terjadi karena eksistensi transportasi kereta api sedikit terabaikan, termasuk
menyangkut keberadaan infrastruktur kereta api yang ada di wilayah Jateng.

Umpamanya jaringan jalan rel yang ada semasa tahun 1938 bukannya bertambah, malah
semakin berkurang. Sementara di pihak lain jalan darat seluruh Pantura gampang rusak.

Keadaannya makin parah, makan baik di Pantura maupun lintas Selatan Tengah, kereta api
tidak mendapat peruntukan (konsesi) yang jelas terhadap mobilitas barang dengan truk, yang
terkadang melebihi muatan.

Share kereta api terhadap total mobilitas orang dan barang di jalur Pantura masih sangat
kecil, kurang dari 1 %.

Terkait dengan keunggulan pertama, hemat energi. Seandainya Mobilitas barang Jakarta-
Surabaya menggunakan KA. Satu KA Barang bisa mengangkut 2.000 Ton, sejauh 725 km
jalur KA lintas Pantura Jakarta- Surabaya.

Bayangkan, berapa liter BBM yang bisa dihemat, dibandingkan dengan pengangkutan 2.000
ton barang dengan truk. Dengan Lokomotif jenis CC 201, konsumsi BBM 3,5 Liter/Km.

Jadi, satu rangkaian KA yang ditarik dua Lokomotif, mampu memindahkan barang 2.000 ton
Jakarta- Surabaya dan sebaliknya dengan konsumsi BBM 3,5 Liter x 2 Lok x 725 Km =
5.075 Liter.

Bandingkan, bila 2.000 ton itu diangkut dengan truk seperti selama ini, berapa truk yang
harus beroperasi. Berapa liter BBM, yang dikonsumsi. Bagaimana dampaknya terhadap
kerusakan jalan, dan resiko kecelakaan lalulintas.

Coba bandingkan dengan angkutan kereta api. Contohnya angkutan penumpang yang
trayeknya paling jauh di Jawa, yaitu KA Gajayana atau KA Matarmaja Jakarta-Malang pp.
Ambil KA Matarmaja, 1 KA = 8 sampai 10 K3 x 106 seat, mampu mengangkut 1.060
Penumpang.

Dengan 1 Lokomotif Konsumsi 3,5 Liter/Lok-Km; mengangkut 1.060 penumpang sejauh


908 Km. Konsumsi BBM adalah 3,5 Liter x 1 Lokomotif x 908 km = 3.178 Liter.

Bandingkan dengan transportasi bus. Diperlukan sekitar 27 bus dengan konsumsi BBM 0,5
liter/Km, sehingga total konsumsi BBM bila diangkut dengan Bus adalah 0,5 Liter x 27 Bus
x 908 = 12.258 Liter.

Jadi, bila KA Semarang-Solo ini benar-benar direalisasikan hal ini sekaligus akan mampu
menghemat BBM dalam jumlah yang besar sekali.

Selain itu, juga dapat menghemat biaya pemeliharaan jalan seperti di Pantura, sehingga
membuka kesempatan penghematan dana pemerintah. Demikian pula dengan risiko
kecelakaan. ( Budi Nugraha-59)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/01/eko05.htm
Ekonomi & Bisnis
12 Desember 2009

Empat Bank Biayai Tol Semarang-Solo


 BNI Coordinating Arranger
JAKARTA- BNI kembali menjadi coordinating arranger sindikasi perbankan dalam memberikan
fasilitas kredit untuk membiayai pembangunan jalan tol.

 Kali ini, BNI bersama 3 bank lain, yaitu Bank Mandiri, BRI, dan Bank Jateng, memberikan
fasilitas kredit kepada PT Trans Marga Jateng untuk membiayai pembangunan jalan tol ruas
Semarang-Solo. Ruas tol sepanjang 75,67 km ini memiliki nilai proyek sebesar Rp 6,83 triliun
dengan sumber pembiayaan dari perbankan sebesar Rp 4, 698 triliun dan sisanya dari self financing.

BNI bertindak sebagai coordinating arranger sindikasi memberikan fasilitas kredit sebesar Rp 1,61
triliun, kemudian anggota sindikasi lain Bank Mandiri Rp 1,84 triliun, BRI Rp 1,15 triliun, dan
Bank Jateng Rp 100  miliar.

Pemberian fasilitas kredit ini ditandai dengan Penandatanganan Perjanjian Kredit Sindikasi antara
Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo, bersama anggota sindikasi lain, Direktur Utama Bank
Mandiri Agus Martowardoyo, Direktur Utama  BRI Sofjan Basyir, dan Direktur Bank Jateng,
Hariyono; dengan Direktur Utama PT Trans Marga Jateng Agus Suharyanto, serta disaksikan oleh
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo,  dan Frans I Sunito, Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk, di
Jakarta (11/12)

Menurut Gatot, pemberian fasilitas kredit sindikasi ini merupakan salah satu komitmen perbankan
dalam mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur di Tanah Air. ’’Jalan tol merupakan
merupakan infrastruktur strategis yang memiliki efek multiplier dalam pembangunan ekonomi,
apalagi terkait dengan rencana terwujudkan sarana transportasi Trans Jawa,’’ kata Gatot.

PT Trans Marga Jateng merupakan perusahaan pemegang konsesi jalan tol ruas Semarang-Solo,
sebagai perusahaan patungan antara PT Jasa Marga (60% saham) dan PT Sarana Pembangunan
Jawa Tengah, sebuah BUMD Pemda Jateng (sebesar 40%). (bn,dtc-59)
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/12/12/91381/Empat-Bank-Biayai-Tol-
Semarang-Solo

Selasa, 26 Desember 2006 NASIONAL


INFRASTRUKTUR JAWA TENGAH

Tol Semarang-Solo, Proyek yang (Terus) Tertunda


Jalan tol Semarang-Solo yang telah
digagas sejak lebih kurang sepuluh tahun
lalu, hingga saat ini masih belum menjadi
kenyataan. Padahal, infrastruktur ini
dirasakan sangat mendesak. Keberadaan
jalan tol itu akan dapat meningkatkan
potensi wilayah segitiga emas Joglosemar
(Jogja, Solo dan Semarang). Berikut
ulasannya.

JARAK Semarang-Solo sebenarnya


hanya sekitar 100 km. Namun jarak itu
harus ditempuh dalam waktu 2,5 jam.
Jika truk-truk besar sarat muatan, jalan beriringan, jarak tempuh 100 km itu harus ditempuh
dalam waktu lebih dari tiga jam.

Jika ada kecelakaan dan mobil melintang di jalan, kemacetan pun tak terelakkan. Semarang-
Solo bisa ditempuh lebih dari empat jam. Bagi pelaku bisnis, ini adalah pemborosan.

Ketika permintaan luar negeri atas produk mebel masih ramai, setiap harinya puluhan
kontainer barang dari Kota Solo dan daerah dikirim ke Semarang menuju Pelabuhan Tanjung
Mas. Sekarang pun kontainer masih banyak dari Karesidenan Surakarta, mengangkut aneka
produk ekspor seperti garmen, mebel, kerajinan dan lain-lain.

Sebaliknya cukup banyak kontainer dari Semarang setiap hari menuju Solo memuat bahan
baku untuk perusahaan yang produknya untuk ekspor seperti biji plastik, rotan dan
sebagainya.

Sebenarnya angkutan barang Semarang-Solo menggunakan peti kemas itu telah dilirik PT
Kereta Api. Di Solo telah disiapkan terminal khusus peti kemas. Namun karena biayanya
dirasakan lebih tinggi dari truk trailer, pengusaha lebih memilih angkutan trailer.

Kelak jika jalan tol ini benar-benar menjadi kenyataan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
dan wisata di Joglosemar akan lebih berkembang. Infrastruktur itu akan menyinergikan
bisnis di segitiga emas ini secara menyeluruh dalam segala aspek.

Secara geografis, Kota Solo merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Jateng

http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/26/nas02.htm

Jumat, 20 Mei 2005 EKONOMI


Asuransi Jalan Tol Semarang-Solo Rp 5 Triliun
SEMARANG- Nilai asuransi jalan tol Semarang-Solo diperkirakan mencapai lebih dari Rp
5 triliun, sesuai nominal proyek yang dibangun.

Angka itu akan dikelola oleh lebih dari sepuluh perusahaan pemenang tender asuransi yang
dibuka Pemprov Jateng.

Jenis asuransi yang akan ditanggung adalah all risk atau mencakup semua risiko seperti
banjir, kebakaran, hingga gempa dan tsunami.

''Nilai infrastruktur jalan tol sangat tinggi. Kalau satu proyek infrastruktur senilai Rp 10
miliar saja ditanggung satu asuransi, maka proyek bernilai triliunan rupiah idealnya akan
ditanggung oleh lebih dari 10 perusahaan asuransi,'' ujar Wismar Nainggolan, Ketua Asosiasi
Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cabang Semarang saat ditemui di kantornya, PT
Asuransi Allianz Utama Jalan Pemuda, kemarin.

Menurut Wismar, adanya ketentuan otonomi daerah memungkinkan setiap proyek besar di
daerah digarap oleh perusahaan asuransi cabang atau asuransi lokal. Itu sebabnya, peluang
perusahaan di daerah yang menggarap proyek infrastruktur dipastikan mencapai 90%.
Adapun sisanya sekitar 10%, akan dikelola perusahaan pusat.

Proyek jalan tol tersebut, lanjut dia, merupakan pembangunan besar yang jarang dilakukan
di Jawa Tengah. Secara keseluruhan, jumlah proyek infrastruktur di propinsi ini masih lebih
kecil dari Jawa Timur dan Jawa Barat.

Namun, tahun ini, sejumlah proyek infrastruktur di Jawa tengah diperkirakan akan mencapai
lebih dari Rp 7,5 triliun. Sehingga, 52 kantor cabang asuransi dan 1 kantor pusat asuransi PT
Sarana Lindung Upaya yang beroperasi di Jawa Tengah, diperkirakan akan ikut ambil bagian
dalam tender yang digelar pemprov atau pemerintah kota dan pemerintah kabupaten.

''Selama ini, pemerintah daerah sudah mulai melakukan tender secara terbuka. Setiap kali
ada tender, semua kantor asuransi diberi kesempatan untuk mengajukan penawaran. Yang
nilainya paling menguntungkan tentu saja akan diambil,'' kata dia.

Sejumlah tender asuransi yang akan mulai ditawarkan selama tahun ini meliputi
pembangunan jalan tol, jembatan, jalan umum, dan gedung-gedung pemerintah.
Dibandingkan saat krisis moneter tahun 1998 lalu, nilai dan jumlah proyek beberapa tahun
terakhir ini mulai meningkat.

Di sisi perusahaan, pasar asuransi umum atau asuransi kerugian saat ini bergeser ke
perusahaan kecil dan ritel. Sekitar 60% pemegang polis adalah UKM dan ritel, sedangkan 40
persen sisanya adalah perusahaan besar atau korporasi. Angka itu berkebalikan dengan
kondisi pasar sebelum tahun 1998. (H12-59 )

http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/20/eko01.htm

15 Desember 2010 | 22:50 wib


Berita Aktual » Daerah
Jalan Tol Sarana Kebut Pertumbuhan Ekonomi Jateng
Semarang, CyberNews. Sejak pemerintah mencanangkan dimulainya pembangunan jalan tol
Semarang-Solo beberapa tahun lalu, berbagai pengharapan muncul di benak warga masyarakat
maupun pemerintah. Cepatnya akses jalan menuju Solo maupun sebaliknya ke Semarang akan
menjadi sebuah realita tak terbantahkan.
Dengan adanya jalan tol, diprediksi perjalanan menuju kota budaya hanya ditempuh sekitar 1,5 jam,
atau sekitar setengah dari waktu tempuh biasa yang mencapai lebih dari tiga jam.
Anggota Komisi D DPRD Jateng Gatyt Sari Chotijah menjelaskan, dengan cepatnya jarak tempuh
melalui jalan darat maka secara otomatis laju pertumbuhan ekonomi Jateng pun akan semakin
cepat.
Apalagi jalan tol Semarang-Solo nantinya juga akan terhubung dengan mega proyek Tol Trans
Jawa, dimana jalan-jalan dari Jawa Timur, Jateng, hingga Jawa Barat kesemuanya akan terkoneksi
melalui jalan tol.
"Kalau tol Semarang-Solo saja sudah beroperasi, pertumbuhan ekonomi Jateng dipastikan lebih
cepat. Tentunya karena mudah dan cepatnya akses pengiriman barang," terang politikus Partai
Hanura tersebut.
Menilik pengharapan yang besar tersebut, tak mengherankan apabila masyarakat luas maupun
kalangan dewan memiliki ekspektasi agar jalan tol bisa segera beroperasi.
Setelah beberapa tahun berjalan, kenyataannya proyek fisik jalan tol Semarang-Ungaran saja belum
kunjung selesai padahal jalan tersebut hanya sepanjang sekitar 14 km. "Tentunya bila
membayangkan kapan jalan tol Semarang-Solo bisa terealisasi masih sangat panjang dan lama.
Wong yang dekat saja belum kunjung selesai kok. Padahal jalan itu benar benar ditunggu oleh
masyarakat," katanya.
Anggota Komisi D lainnya Sri Rahayu Amin Soedibyo menyatakan, pelaksana harus berusaha
semaksimal mungkin agar jalan tol Semarang-Ungaran bisa segera beroperasi.
Dikatakan, keterlambatan rencana beroperasi karena tak menentunya cuaca sepanjang tahun 2010
ini di satu sisi bisa dipahami. "Namun tentunya cuaca jangan dijadikan pembenaran untuk
keterlambatan. Harus dilakukan upaya percepatan agar proyek bisa segera rampung," jelasnya.
Agar jalan tol Semarang-Solo bisa segera terwujud, politikus Partai Golkar itu berharap pemerintah
segera mempercepat proses pembebasan lahan. Dengan lahan yang telah dibebaskan, maka
pembangunan pada Seksi berikutnya bisa dilakukan.
Menurutnya, bila perlu dilakukan pembangunan dua arah, baik dari Semarang maupun dari Solo.
"Kalau dua-duanya bisa jalan tentu akan lebih cepat penyelesaiannya. Tidak perlu menunggu seksi
lain selesai terlebih dulu," katanya.
( Saptono Joko Sulistyo / CN13 )
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/12/15/73098/Jalan-Tol-Sarana-Kebut-
Pertumbuhan-Ekonomi-Jateng

Ekonomi & Bisnis


11 Oktober 2010
Tol Semarang-Solo Tingkatkan Ekspor
SEMARANG- Akan dioperasionalkannya jalan tol Semarang-Solo diharapkan mampu
meningkatkan pengiriman perdagangan ekspor-impor melalui Terminal Peti Kemas Semarang
(TPKS).

Saat ini, masih ada pengusaha ekspor dan impor di kota-kota Jateng yang lebih memilih
menggunakan jasa pengiriman di Surabaya dan Jakarta dengan berbagai alasan.

Manager Operasional TPKS, Mursidi mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah program
sosialiasi dan pendekatan ke pengusaha, terutama yang berada di wilayah Jateng bagian selatan,
seperti Wonogiri dan Yogyakarta untuk menggunakan jasa TPKS. Diduga para pengusaha itu
memilih terminal di provinsi lain, pertimbangannya adalah pelabuhan tujuan kapal dari TPKS
terbatas hanya memiliki tujuan langsung ke Jepang, Korea Selatan dan China.

Untuk pengiriman barang menuju pelabuhan internasional lainnya, pengiriman menggunakan


layanan feeder melalui pelabuhan Singapura dan Malaysia. Faktor penyebab lain diduga karena
infrastruktur yang ada masih kurang mendukung.  

Kapal dari TPKS belum bisa mengirim langsung ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. 
‘’Dengan latar belakang itu kami perlu untuk memetakan daerah industri mana saja yang saat ini
belum mengirim barang via TPKS dan mencari penyebabnya. Bagaimana pun juga tol Semarang-
Solo sangat berpeluang untuk pengembangan TPKS,’’ katanya, kemarin.   

Mursidi menandaskan, pihaknya mempersiapkan program sosialisasi bukan hanya di wilayah


Jateng-DIY, melainkan juga merambah daerah lain, khususnya daerah perbatasan Jatim dan Jabar.
Daerah tersebut beberapa di antaranya dikenal sebagai sentra industri.

Lebih Cepat

Meski optimistis dengan dukungan tol Semarang-Solo, Mursidi belum bisa memastikan seberapa
besar potensi yang akan tergarap.
‘’Masih perlu perhitungan bisnis untuk menyebut angka potensi yang bisa tergarap TPKS saat tol
Semarang-Solo beroperasi,’’ paparnya.

Ketua Gafeksi Jateng Soejanto mengatakan, keberadaan tol Semarang-Solo positif untuk
peningkatan pemanfaatan jasa TPKS. Pengangkutan barang dari Solo dan sekitarnya yang biasa
menempuh 4-5 jam menuju Semarang bisa lebih dipercepat menjadi 2 jam. Selain itu, Pemprov
DIY yang membangun dry port di Wates diperkirakan akan cenderung menuju TPKS untuk
pengiriman barang.
‘’Kami berharap jalan tol ini bisa segera beroperasi karena sangat positif untuk kemudahan peng-
angkutan barang.’’ (H22-44 ) 
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/10/11/126339/Tol-Semarang-Solo-
Tingkatkan-Ekspor

Wacana
16 Desember 2010
Multiplier Effect Jalan Tol Ungaran
 Oleh Juli Widiyanto
IMPIAN masyarakat untuk menikmati jalan tol Semarang-Solo hampir terwujud, setelah ruas
Semarang (Tembalang)-Ungaran siap dioperasikan. Meski baru seksi 1 sepanjang 14 km  (dari
panjang keseluruhan 75,7 km), bukti itu memperkuat optimisme pemakai jalan dari penantian
panjang selama ini.

Pemangku kebijakan pun merespons, terlihat dari penyelesaian proyek yang terus dikebut sehingga
diharapkan bisa digunakan mulai 16 Desember 2010.
Tentunya ini merupakan indikator yang positif, serta progress yang melegakan mengingat
sebelumnya uji coba itu sudah beberapa kali tertunda.

Dari rencana siap dipakai untuk arus mudik lebaran tahun lalu pun, faktanya belum siap. Kita tidak
menutup mata, banyak kendala yang dihadapi di lapangan, khususnya oleh kontraktor jalan bebas
hambatan ini.

Dari masalah pembebasan tanah yang berlarut-larut, struktur tanah yang labil hingga cuaca ekstrem.
Pengeprasan bukit yang dilewati tol yakni Bukit Cemoro Sewu dan Bukit Ceper pada masa
pengerjaannya tidak kunjung usai. Pasalnya curah hujan tinggi sehingga alat-alat berat tidak bisa
secara optimal dipakai untuk memangkas bukit. Kendala ini tentunya harus disikapi secara bijak.

Sebagai warga Ungaran, kami berharap keberadaan jalan tol ini bisa mempercepat gerakan roda
perekonomian Jawa Tengah, termasuk di wilayah Kabupaten Semarang dan sekitarnya, utamanya
bagi ibu kota kabupaten ini, dan akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Terlebih kabupaten ini sudah dilirik oleh beberapa investor.

Beberapa pengusaha di Jabodetabek menyatakan siap merelokasikan unit usahanya di wilayah ini.
Tentu peluang yang baik yang harus segera ditangkap mengingat tidak mudah menarik investor.
Kesiapan insfrastruktur penunjang dan regulasi yang baik, jadi faktor pilihan utama bagi para
investor. Hadirnya investasi baru diharapkan menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat
menekan angka pengangguran.

Yang perlu dicermati setelah pengoperasian ruas jalan tol itu adalah munculnya masalah baru yang
kurang terpikirkan, yakni kemacetan lalu lintas di pintu keluar (interchange) tol. Bila problem itu
tidak ditangani dengan baik akan mengganggu pergerakan arus barang dan manusia.

Terkait dengan kemungkinan akumulasi kendaraan yang keluar masuk akses tol di wilayah
Ungaran, pimpinan instansi terkait perlu duduk bersama memformulasikan manajemen lalu
lintasnya. Hal itu penting dilakukan untuk mengantisipasi sehingga seandainya terjadi kemacetan
sudah ada beberapa opsi yang harus diambil.
Infrastruktur Penunjang Langkah itu perlu diambil mengingat hingga sekarang akses keluar tol di
Kalirejo dan Sidomulyo terlihat belum siap menampung arus kendaraan berat. Bila 16 Desember
ini  dioperasikan, perlu persiapan dari pihak terkait untuk meningkatkan infrastruktur penunjang.
Jalan keluar yang masih sempit dan jembatan perlu diperlebar serta diperkuat, rambu-rambu,
termasuk traffic light dan marka jalan juga dilengkapi.

Hal lain yang perlu terus dievaluasi adalah masalah kenyamanan dan keselamatan mengingat ruas
tol ini melewati zona untuk lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, dan pertokoan.

Faktor lain yang perlu dikaji adalah sebab-akibat yang terkait dengan alih fungsi lahan mengingat
proyek tol tersebut sudah mengurangi luasan daerah resapan air sehingga daerah yang dilewati
punya risiko lebih besar dilanda banjir. Jalan di wilayah Sidosari yang sering banjir perlu dicarikan
solusinya agar akses tol di wilayah Kalirejo tidak terganggu.

Mengingat di wilayah Ungaran Timur kini tumbuh beberapa perumahan baru, pernoperasian ruas
tol itu tentunya berimbas pada peningkatan penggunaaan jalan, ditambah rencana pengembangan
kota ke arah Ungaran Timur. Kita songsong beroperasinya ruas tol itu agar ketertinggalan dari
provinsi lain dalam hal infrastruktur dapat dikejar.

Kita perlu memberi apresiasi kepada semua pihak yang mendukung terwujudnya proyek tersebut.
Kita berharap kehadiran jalan tol itu membawa multiplier effect (efek ganda) yang positif bagi
kesejahteraan warga Ungaran dan Kabupaten Semarang. (10)

— Juli Widiyanto SAP, warga Leyangan Ungaran Timur Kabupaten Semarang


http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/16/132630/Multiplier-Effect-Jalan-Tol-
Ungaran

Kamis, 23 Februari 2006 EKONOMI


Infrastruktur dan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi
BARU-baru ini pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan infrastruktur. Dalam paket
tersebut diperkirakan kebutuhan untuk merehabilitasi dan pembangunan baru infrastruktur
mencapai nilai sekitar Rp 1.000 triliun dalam lima tahun atau rata-rata sebesar Rp 200 triliun
pertahun.

Di Jateng sendiri pemerintah pusat, bekerjasama dengan pemerintah daerah telah


merencanakan untuk membangun jalan jalur lintas selatan (JLS) (Suara Merdeka, 7 Februari
2006). Pemerintah provinsi Jateng, selain telah merencanakan pembangunan JLS tersebut
juga telah memulai persiapan pembangunan jalan tol Semarang-Solo dan perluasan Bandara
A Yani untuk menjadi bandara internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, kabarnya
pemprov telah melakukan persiapan untuk melakukan akselerasi pembangunan Jawa Tengah
dengan salah fokus utamanya pembangunan infrastruktur tadi. Konsekuensi akselerasi ini
tentunya adalah dana APBD akan lebih banyak diarahkan untuk pelaksanaan pembangunan
ketiga jenis infrastruktur tadi, walaupaun dalam hal ini juga melibatkan pemerintah pusat,
kabupaten dan swasta. Sementara itu, tahun 2005 yang lalu Gubernur Jateng telah
menetapkan strategi INTANPARI untuk pembangun Jateng. Strategi ini intinya adalah
menetapkan sektor industri, pertanian dan pariwisata sebagai sektor prioritas dalam
pembangunan Jateng. Pertanyaannya kemudian adalah apakah obsesi membangun Jalan Tol
Semarang-Solo, Bandara A Yani dan JLS tidak justru akan mengeliminasi hasil yang
diharapkan dari strategi INTANPARI, karena keduanya akan bertumpu pada arah alokasi
anggaran dalam APBD. Dengan kata lain, agar strategi tersebut tidak mutually exclusive,
maka perlu dirumuskan strategi akselerasi yang justru mampu menciptakan sinergi keduanya
yang bersifat akseleratif.

Pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah bagaimanapun diharapkan akan meningkatkan


daya saing Jawa Tengah. Studi yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia (2002) menunjukkan bahwa posisi Jawa Tengah
ada pada urutan keempat setelah DKI Jakarta , Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Posisi
Jawa Tengah relatif baik. Mungkin posisi Jawa Tengah saat ini sudah berubah, tetapi dari
sepuluh indikator yang digunakan rata-rata posisi Jawa Tengah cukup baik. Dari sepuluh
indikator tersebut, Jawa Tengah mempunyai keeunggulan dalam SDM dan Kelembagaan
yang masing-masing ada pada urutan ke-3. Kemudian perekonmian daerah dan Governance
& Kebijakan masing-masing pada peringkat ke-4. Selanjutnya, system keuangan daerah
pada peringkat ke-5, Keterbukaan peringkat ke-6, Manajemen & mikro ekonomi peringkat
ke-8, infrastruktur peringkat ke-9 dan IPTEK peringkat ke-10.

Berkaitan dengan keuangan daerah, pemda Jateng termasuk dalam provinsi yang pertama
menerapkan system keuangan daerah yang pengelolaannya mendasarkan pada UU no 17
tahun 2003 tentang keuanga Negara. Bahkan, pemda Jawa Tengah telah beberapa kali
menerima kunjungan studi banding dalam penerapan system keuang tersebut dari provinsi
atau kabupaten lain. Dengan segeranya Pemprov Jateng menerapkan system keuangan
daerah yang mendasarkan pada UU No 17 tahun 2003 tersebut, Jawa Tengah akan segera
mencapai level penerapan Good Governance Government yang semakin baik.

Dengan demikian, baik tingkat keterbukaan, akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan


keuangan daerah akan semakin tinggi dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada
pengelolaan pemerintahan provinsi Jawa Tengah semakin besar.

Berkaitan dengan keterbukaan, provinsi Jawa Tengah sejak beberapa tahun yang lalu sudah
menerapkan kebijakan pelayanan satu atap satu pintu (One Stop Service: OSS). Walaupun
belum semua kabupaten/kota menerapkan konsep dan kebijakan OSS ini, beberapa
kabupaten/kota seperti Kabupaten Sragen, kabupaten Purbalingga, kabupaten Jepara,
kabupaten Kudus dan Kota Semarang sudah mulai menerapkan, dan hasilnyapun mulai
nampak berupa peningkatan investasi yang semakin tinggi. Berkaitan dengan kebijakan
tersebut, pemprov Jateng telah mencanangkan penerapan secara penuh kebijakan OSS
tersebut pada akhir tahun 2006.

Salah satu indikator kelemahan Jawa Tengah adalah lemahnya infrastruktur. Dengan
demikian, pembangunan infrastruktur diharapkan akan mampu meningkatkan daya saing
tersebut. Perlu diketahui juga bahwa saat ini posisi Jawa Tengah dalam investasi masih
dibawah rata-rata nasional.

Dengan mendasarkan pada data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada tahun 2005
yang lalu, investasi rata-rata di Jawa Tengah masih sebesar 16,5 % sementara rata-rata secara
nasional sebesar 22,48 %. Akankah pembangunan JLS, Jalan Tol dan Bandara A Yani akan
mampu menjadi prime mover? Strategi pembangunan infrastruktur yang bagaimana yang
seharusnya ditempuh oleh pemprov Jateng?

Infrastruktur Pedesaan

Indikator bahwa strategi pembangunan infrastruktur menjadi prime mover adalah sampai
seberapa besar akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan
kerja dan tentunya seberapa besar pula akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan
mengurangi kemiskinan.

Studi yang penulis lakukan menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur khususnya jalan
memang mempunyai korelasi positif terhadap perekonomian Jawa Tengah secara
keseluruhan. Namun, dari studi tersebut ditunjukkan pula bahwa pengaruh terhadap
pendapatan masyarakat yang paling besar justru infrastruktur jalan provinsi (elastisitasnya:
0,689) dan infrastruktur jalan kabupaten (elastisitasnya 0,611), khususnya di sektor
pertanian. Sementara pada sektor industri dan perdagangan penyediaan prasarana jalan
kabupaten yang paling mempunyai pengaruh paling besar. Hal ini berarti bahwa
pembangunan infrastruktur jalan provinsi dan kabupaten justru akan menjadi pendorong
yang signifikan dalam mengikatkan aktivitas ekonomi dan pendapatan masyarakat.

Temuan demikian tidak mengherankan karena sebagian besar wilayah provinsi Jateng adalah
wilayah pedesaan. Karena itu implikasinya pemerintah Jateng mestinya lebih berkonsentrasi
pada pengembangan infrastruktur pedesaan. Kebijakan meningkatkan dan mengembangkan
penyediaan infrastruktur pedesaan mempunyai makna strategis karena akan lebih menyentuh
masalah besar yang dihadapi Jawa Tengah yakni kemiskinan. Kebijakan ini sekaligus
memperkuat pilihan strategi INTANPARI sebagai strategi prioritas yang lebih mengena
sasaran.

Studi dengan membedakan Jawa Tengah bagian selatan dan Jawa Tengah bagian utara
(pantura) menunjukkan temuan yang berbeda. Bagi Jawa Tengah selatan, penyediaan
infrastruktur jalan nasional, provinsi dan kabupaten mempunyai korelasi yang kuat terhadap
pendapatan masyarakat, walaupun jalan provinsi yang paling besar. Sementara pada jalur
pantura, korelasi antara penyediaan infrastruktur dengan pendapatan masyarakat yang paling
kuat adalah penyediaan infrastruktur jalan kabupaten. Temuan ini mengindikasikan
ketersediaan infrastruktur di pantura yang secara relatif lebih banyak dan lebih baik dari
jalur selatan. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa strategi pembangunan infrastruktur
khususnya jalan ditempuh dengan strategi yang berbeda. Pada jalur Jawa Tengah selatan,
pembangunan infrastruktur diarahkan untuk pengembangan jalan kabupaten, provinsi dan
nasional, sedang di jalur pantura agar lebih dikonsentraikan pada pengembangan
infrastruktur pedesaan.

Dengan strategi alokasi pembangunan infrastruktur yang memberi tekanan arah yang
berbeda antara jalur selatan dan jalur utara tersebut, akibat negatif yang bersifat mutually
exclusive akan lebih bisa dieliminasi. (59)

-Penulis adalah Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) FE Undip.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/23/eko09.htm

pentaing transmarga jeteng


http://www.transmargajateng.com/index.php/info-jalan-tol/data-teknis

Anda mungkin juga menyukai