Anda di halaman 1dari 9

DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ( JALAN TOL) TERHADAP

PEREKONOMIAN MASYARAKAT INDONESIA

Disusun oleh:

1. Davena Achadya Safitri (D0318018)


2. Hana Nur Azizah (D0318024)
3. Namira Aisyiah Putri (D0318044)
4. Nilna Arfina (D0318046)
5. Risqi Melinia (D0318056)
6. Shintia Nur Kartini (D0318064)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2018
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol di Indonesia


Jalan tol merupakan salah satu sarana vital yang diperlukan untuk meningkatkan
efisiensi perindustrian suatu perekonomian. Ketika ekonomi suatu negara bertumpu pada
perhubungan darat maka tentunya sarana transportasi berupa jalan khususnya jalan tol akan
mendorong terciptanya efisiensi ekonomi di dalamnya. Sekedar untuk diketahui, ada seluas
1,8 juta km2 wilayah daratan di Indonesia (Kadin Batam dalam Basuki dkk, 2009). Dengan
tercapainya efisien ekonomi maka produk dari industri yang bersangkutan bisa diproduksi
dengan biaya rendah untuk menciptakan keunggulan kompetitif dari produk yang dihasilkan.
Sebagai salah satu jaringan jalan yang sangat berguna dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, tanpa adanya jalan tol, tipikal kondisi geografi Indonesia yang mempunyai daratan
yang panjang maka biaya dari pengangkutan barang baik itu barang input maupun barang
jadi akan meningkat. Dengan demikian tidak dapat dielakkan untuk mencapai tujuan
pembangunan ekonomi diperlukan ketersediaan sarana jalan tol ini.
Dalam pasal 43 Undang‐Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 38 tahun 2004
tentang jalan disebutkan bahwa Jalan Tol diselenggarakan untuk:
1. Memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang
Daerah berkembang merupakan salah satu akses yang mendukung sebagai
terwujudnya lalu lintas yang sehat terutama dalam hal memperlancar transportasi
yaitu jalan tol. Daerah berkembang akan menjadi daerah maju apabila aksesnya lancar
apalagi lalu lintas nya lancar dengan dibukanya akses jalan tol.
2. Meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa umtuk
menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi
Dengan dibukanya akses jalan tol akan meningkatkan akses distribusi dan
pemerataan serta kesejahteraan warga di daerahnya. Karena secara tidak langsung
apabila terwujud pemerataan terutama di bidang ekonomi maka pertumbuhn ekonomi
pun juga akan meningkat.
3. Meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan
Dengan dibukanya akses jalan tol maka secara langsung para pengguna jalan
tol membayar uang masuk jalan tol. Jadi, secara langsung pemerintah mendapatkan
pemasukan atau pendapatan dari jalan tol tersebut. Apabila jumlah pengguna jalan tol
banyak maka, pendapatan yang diterima pemerintah juga banyak. Begitu pula
sebaliknya.
4. Meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
Pembangunan dan keadilan akan merata apabila akses dan sarana untuk
mewujudkannya juga mendukung. Jalan tol merupakan salah satu sarana yang
mendukung hal tersebut.
Indonesia sebagaimana halnya negara berkembang lainnya, selain menyediakan jalan
tol tetapi juga sebaiknya mengelola dan menjaganya dengan baik. Namun kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan di negara berkembang seperti di Indonesia
kebijakan penjagaan dan perawatan secara rutin dan periodic tidak dilakukan dengan baik
akibatnya terjadi kerusakan terhadap proyek jalan tol yang berakibat menimbulkannya
ongkos rehabilitasi dan rekonstruksi yang jauh lebih mahal (Quarty Jr. dalam Tanaka et al,
2005:3898) (Suprayitno, 2012).

2. Penyelewengan Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol

A. Penyelewengan tentang kebijakan pembayaran di Tol Jagorawi

Dua catatan tentang jalan tol ini bersumber pada lebaran tahun sebelumnya, saat
terjadi tragedi di pintu keluar tol Brebes Timur (Brebes Exit/Brexit) yang
menewaskan 17 orang dan 11 di antaranya diakui Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Jawa Tengah sebagai “akibat macet berjam-jam”. Maraknya
spanduk-spanduk yang mengaitkan jalan tol dengan prestasi sebuah rezim
pemerintahan lah, yang membuat tulisan ini muncul lagi –disertai beberapa tambahan.

Sekitar 30 juta jiwa penduduk Jabodetabek tampaknya memang menjadi prioritas


dalam urusan pembangunan infrastruktur mudik lebaran. Namun infrastruktur yang
disiapkan adalah jalan tol. Jalan berbayar. Kita tak dapat serta merta menganggapnya
sebagai fasilitas publik yang dibiayai dari pajak, meski dari sektor otomotif, APBN
dan APBD mendapat setidaknya 100 triliun rupiah per tahun.

Kendati dibangun oleh BUMN seperti Waskita Karya, pada akhirnya jalan ini
akan dijual ke investor swasta (privat) seperti rencana penjualan ruas Kanci-Penjagan,
Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, atau ruas Pasuruan-Probolinggo. Total ada 300
kilometer ruas tol milik Waskita Karya yang sedang dijajakan kepada investor dengan
nilai 30 triliun rupiah. Salah satu yang berminat dengan infrastruktur jalan tol adalah
investor-investor dari Malaysia. Investor ini juga pemain jalan tol, yang mungkin saja
pernah kalah tender di ruas lain, seperti Batang – Semarang.

Sulit membayangkan jalan-jalan tol ini kelak berubah menjadi jalan umum setelah
periode tertentu, misalnya, 30 tahun. Jalan tol Jagorawi yang mulai dibangun 1973
dan diresmikan 1978 saja hingga kini tak kunjung menjadi jalan umum. Meski hampir
40 tahun, jalan tol pertama di Indonesia itu masih menjadi jalan berbayar. Idealnya,
ada mekanisme “Build – Operate – Transfer” (BOT) seperti kerap kita dengar pada
proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan pendanaan besar. Karena butuh
investor, negara menggandeng swasta untuk membangun proyek tertentu seperti jalan
tol berbayar. Setelah kembali modal dan keuntungan pada periode tertentu,
infrastruktur itu akan dikembalikan kepada negara dan menjadi fasilitas publik. Biaya
pemeliharaannya diongkosi dari pajak kendaraan. Sebab penduduk bertambah. Apa
yang tadinya jalan alternatif (tol), kini sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Tapi
nalar di Indonesia tidak begitu. Tol-tol lama seperti Jagorawi, tol Bandara, Cikampek,
atau Jakarta Tangerang yang dikelola Jasa Marga, Tbk tak kunjung digratiskan meski
menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seharusnya masa konsesinya sudah
habis.

Menurut dokumen BPK, konsumen seharusnya sudah bisa menjadi warga negara


dengan mengakses ruas tol Bandara sejak 1995. Ruas Jakarta – Tangerang seharusnya
sudah menjadi jalanan umum sejak 2011. Cikampek seharusnya sudah gratis sejak
2015, dan Jagorawi sejak 2016. Ini terjadi karena pada tahun 2006, pemerintah
mengubah skema masa konsesi setiap ruas tol menjadi paket konsesi tunggal selama
40 tahun! Paket itu berlaku secara gelondongan pada 13 ruas tol yang dikuasa Jasa
Marga, meski sebagian ruas tol telah balik modal, bahkan untung. Ini dilakukan
setahun sebelum pemerintah menjual saham Jasa Marga ke Bursa Efek Indonesia
dengan kode perdagangan JSMR. Agar seksi dan menarik investor swasta, hak publik
untuk menikmati akses jalan yang seharusnya sudah mejadi jalan umum,
dikesampingkan dahulu.

BUMN memang digunakan hanya sebagai kendaraan (vehicle) untuk


mempercepat berbagai proses, biasanya terkait pengadaan tanah, studi kelayakan, atau
business plan yang jika proyek ini dikerjakan swasta, membutuhkan perhitungan yang
kerap lebih lama. Sementara rata-rata infrastruktur ini ditargetkan operasional pada
tahun politik 2018-2019. Seperti halnya Jasa Marga yang menjual obligasinya hingga
ke bursa London, saham BUMN seperti Waskita Karya juga tidak 100 persen murni
milik pemerintah (negara). 34 persennya dikuasai swasta. Di dalam saham swasta itu
juga ada 23,7 juta unit saham milik Direktur Utama, misalnya. Tentu saja tak ada
hukum yang dilanggar dengan kepemilikan saham pribadi direksi ini. Bahkan bagi
dunia korporasi, tak ada etik yang dilanggar. Ini sekadar menunjukkan betapa
privatnya kepemilikan infrastruktur. Seperti halnya Waskita Karya, Direktur Utama
Jasa Marga juga punya saham.

Sulit membayangkan seberapa besar kemungkinan terjadinya konflik kepentingan


ketika jajaran direksi mempresentasikan gagasan penaikan tarif atau perpanjangan
konsesi kepada pemerintah, tanpa sedikit pun mengaitkannya dengan isi depositonya
sendiri.

Apalagi pembebasan tanah proyek-proyek yang dimiliki privat ini menggunakan UU


Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, seperti yang dialami
petani Rohmad, 84 tahun, warga Desa Sawahan, Boyolali yang tanahnya terkena
proyek jalan tol ruas Solo-Ngawi.

Dari petani dengan 3.200 meter persegi tanah, kini Rohmad menjadi pengurus tempat
pemakaman umum, setelah uangnya habis dibagi-bagi kepada anak-cucunya. Atau
kasus yang menimpa 140 keluarga petani di Kendal, Jawa Tengah yang digusur
proyek jalan tol ruas Batang – Semarang.

Tentu saja ada sisi mata uang lain di mana kehadiran jalan tol disebut-sebut dapat
merangsang investasi manufaktur seperti di Kendal. Jika ada pabrik, maka ada buruh
yang bisa bekerja, meski sebelumnya mungkin juga bukan pengangguran karena
sebagian mereka bisa jadi adalah petani atau keturunannya yang menjadi bagian dari
1.000 hektar sawah produktif yang tergusur untuk pembangunan tol di Jawa Tengah.

Di sisi lain, belum tentu ini investasi baru. Jalan baru itu hanya menggeser lokasi
investasi dari daerah yang upahnya tinggi seperti Karawang atau Surabaya yang sudah
mencapai 3,5 juta rupiah per bulan, ke daerah seperti Kendal yang UMK-nya masih
1,7 juta rupiah. Jika Anda melintasi tol menuju Juanda, sebuah papan reklame besar
dipasang di pinggir jalan dalam bahasa Inggris: “Pindahkan Bisnis Anda ke Kendal”.
April 2018 lalu, guna mengejar target penyelesaian ruas tol ini (untuk mudik lebaran),
keluar surat Pengadilan Negeri Kendal perihal eksekusi pengosongan tanah, meski
warga dan investor belum sepakat tentang luas yang akan digusur dan jumlah ganti
rugi. Bagi saya

Tapi UU Pengadaan Tanah untuk (whatsocalled) kepentingan umum ini memudahkan


negara dan korporasi untuk mengambil begitu saja tanah rakyat dan menitipkan uang
ganti rugi di pengadilan.

Jika pun boleh ada kepemilikan saham pribadi dalam bisnis jalan tol, jauh lebih
masuk akal para pemilik tanah inilah yang seharusya tercatat sebagai pemegang
saham melalui mekanisme “asset swap” alias tanah ditukar saham. Sehingga semakin
tinggi valuasi tanahnya dalam 20-30 tahun lagi, semakin untung perusahaan
infrastrukturnya, semakin sejahtera juga petani atau pemilik tanahnya. Meski ruang
untuk memberi pilihan bebas tetap bertani, harus terbuka.

Kita belum lagi membicarakan dampak sosial, ekonomi, sosiologi, dan kultural dari
pembukaan sebuah jalan bagi warga sekitar. Melenyapkan denyut ekonomi dari jalur
regularPantura akibat munculnya tol Trans Jawa hanya dalam tempo 3-4 tahun adalah
bencana bagi ekonomi kecil dan menengah seperti pemilik rumah makan, warung,
pom bensin, kios kelontong, hingga jasa tambal ban. Tidak cukup waktu untuk
ekonomi rakyat Pantura berevolusi menghadapi revolusi infrastruktur demi tahun
politik.

Lagipula apakah benar jalan (darat) adalah solusi mengatasi kemacetan atau distribusi
logistik? Sebenarnya tak akan ada isu kemacetan dan distribusi jika sistem
produksinya tidak terkonsentasi, bukan?

Dan sistem produksi yang terkonsentrasi adalah cermin konsep pembangunan yang
memenangkan modal-modal besar, yang berarti ekonomi di negara ini dikendalikan
oleh kapitalis-kapitalis. Yang sejatinya ekonomi kerakyatan, yang memihak semua
rakyat, tapi hanya orang-orang bermodal besarlah yang 'bermain'. Konsekuensi dari
terjadinya konsentrasi ini menggiring penduduk semakin deras membanjiri pusat-
pusat urbanisasi. Tanpa keahlian hanya bermodal tekad dengan harapan bakal
mendapat pekerjaan dengan mudah karena dia berpikir berada di pusat ekonomi akan
memudahkan mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya kesenjangan semakin terasa,
rakyat kecil hanya akan dihisap tenaganya dan dijadikan objek untuk mendapatkan
keuntungan.

3. Ketidakadilan terhadap Perekonomian Masyarakat Indonesia


A. Hilangnya Mata Pencaharian Petani di daerah Jalan Tol Solo-Kertosono

Dampak negative dari pembangunan jalan tol menyebabkan pendapatan petani


menurun karena lahan pertanian berkurang, tidak dapat mengurangi jumlah
pengangguran di Desa Kasreman karena tidak adanya pelibatan masyarakat dalam
pembangunan tersebut. Pembangunan jalan tol Solo-Kertosono merupakan
pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan karena pembangunan tersebut
mengakibatkan berkurangnya lahan yang masih produktif sekitar 12 Ha, menyebabkan
hilangnya saluran irigasi sawah, hilangnya akses jalan menuju sawah seberang serta
meningkatnya polusi udara karena banyaknya kendaraan besar bermuatan material.

Jalan tol memiliki beberapa tahap pembangunan. Untuk tahap pelaksanaan yang
pertama adalah prakonstruksi yaitu pembebasan lahan untuk proyek jalan tol.
Pembebasan lahan pada proyek jalan tol Solo-Kertosono ini melewati lahan yang
sebagian besar digunakan penduduk desa untuk pertanian. Untuk itu, masyarakat yang
terkena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol mendapatkan kompensasi
sebagai ganti rugi berupa uang tunai sebesar lahan yang dilewati proyek jalan tol
tersebut. Meskipun demikian dampak dari pembebasan lahan untuk pembangunan jalan
tol sangat dirasakan oleh masyarakat desa terutama petani sebab lahan pertanian yang
dijadikan sumber mata pencaharian utama semakin berkurang. Selain itu, lahan
pertanian menjadi 2 (dua) bagian karena terpisah oleh pembangunan jalan tol, hal
tersebut tentunya menjadi kendala petani mengenai irigasi atau pengairan.
Dampaknya adalah pada hak ekonomi masyarakat berkaitan dengan haknya
sebagai warga negara untuk mendapatkan kemakmuran dari negara sebagai berikut
jumlah pendapatan dari pertanian menurun sebab lahan yang digunakan untuk kegiatan
pertanian semakin berkurang hal tersebut berkaitan dengan hak masyarakat untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta ketidakpuasan masyarakat
atas nilai dan proses ganti rugi (lahan, pekarangan dan bangunan). Sedangkan Heri dan
Jumanta (2010: 65) menjelaskan bahwa hak asasi ekonomi (proverty rights), yaitu hak
untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual sesuatu serta memanfaatkannya.
Padahal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 33 ayat (3) yang menjelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan
untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian tersebut, maka tujuan
penelitan ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak perekonomian
Pembangunan Jalan Tol terhadap hak ekonomi masyarakat, untuk mengetahui solusi
yang dapat ditawarkan dalam pembangunan jalan tol untuk melindungi hak ekonomi
masyarakat (Khasanah, 2017).
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai