Anda di halaman 1dari 16

Lembar Kerja Mahasiswa II Metode Penelitian Administrasi

Kelas : Metode Penelitian Administrasi (B)


Nama Kelompok :
● Zafiratul ‘Izzah (20041010041)
● Reza Fahrur Marfiati (20041010064)
● Shofwatun Nailul Isti’anah (20041010077)
● Shafiyah Audy Nazihah (20041010080)

Topik Penelitian : Disfungsi Trotoar Oleh Pedagang Kaki Lima

Judul Artikel dari Jurnal Sinta 1 atau Sinta 2 yang di ATM : Eksistensi Pedagang Kaki Lima
Di JalanArteri Primer Kota Singaraja.
Nama Jurnal, Volume dan Nomor : Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 8, Nomor 3.

Empirical Gap:

Kondisi Ideal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Salah
satu bentuk pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah yakni
penyediaan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan berupa
penyediaan trotoar bagi pejalan kaki.

Kondisi Faktual Berdasarkan kondisi lapangan, trotoar disepanjang jalan pacuan kuda
kota surabaya digunakan oleh sebagian besar pedagang kaki lima untuk
berjualan.

Kesenjangan Penyalahgunaan trotoar yang dilakukan oleh pedagang kaki lima


yang menimbulkan kepadatan lalu lintas sehingga menyebakan kemacetan.
menimbulkan Hal tersebut juga termasuk tindak pelanggaran terhadap UU yang
masalah berlaku tentang fungsi trotoar bagi pejalan kaki.
Teoritical Gap:

Teori X Widyaningrum (2009), PKL merupakan unit usaha informal yang


dilakukan di pinggir jalan, dan merupakan perpanjangan dari usaha
formal.

Teori Y Haris, & Suwena (2015), dengan hasil salah satu faktor yang
mempengaruhi pemilihan lokasi PKL dalam melakukan usaha berupa
faktor aksesibilitas yang baik bagi PKL tersebut.

Kesenjangan Akibat dari pemilihan lokasi oleh PKL yang memilih berjualan di
yang pinggir jalan (trotoar), mengakibatkan pengguna jalan melakukan
menimbulkan transaksi jual beli sehingga menyebabkan kerumunan di jalan.
masalah
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Pemerintahan merupakan segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Sedangkan
kewajiban pemerintah adalah untuk menjamin kesejahteraan sosial kepada setiap warga
negaranya, bukan hanya pada pembangunan nasional saja, tetapi juga pada aspek
perekonomian, pekerjaan, memberikan jaminan sosial dan kesehatan, dan pendidikan.
Pembangunan merupakan suatu perana yang besar dalam petumbuhan perekonomian.
Pergerakan perekonomian di perkotaan dan aktivitas pergerakan barang dan manusia
diukur melalui sistem transportasi. Transportasi yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu
kaki.
Berjalan merupakan kegiatan dasar manusia yang sering diabaikan ketika
merencanakan untuk transportasi dan telah dipandang sebagai perjalanan bentuk kelas
kedua (Lumsden dan Tolley, 1999). Berjalan kaki merupakan salah satu modal
transportasi yang ideal dan ramah lingkungan. Menurut (Rahardini, 2019) berjalan kaki
adalah kegiatan olahraga yang murah, aman dan dapat menyehatkan karena berjalan kaki
merupakan aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan dapat dilakukan kapan
pun. Berjalan kaki merupakan media transportasi bebas polusi dan terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat. Keberadaan pejalan kaki pada tingkat tertentu akan mengakibatkan
konflik yang tajam dengan arus kendaraan yang pada gilirannya berakibat permasalaahn
lalu lintas dan tingginya tingkat kecelakaan. Kurangnya fasilitas pejalan kaki yang
memadai, terutama fasilitas berjalan dan penyebrangan, sangat berdampak pada
keselamatan jiwa pejalan kaki. Menurut penelitian (Althoff et al., 2017) rata-rata warga
Indonesia berjalan kaki yaitu sebesar 3.513 langkah per hari. Angka tersebut jauh
dibawah rata rata para pejalan kaki di dunia, yaitu 5.000 langkah per hari (Anggraini &
Tjahjani, 2021).
Kota Surabaya yang merupakan kota metropolitan yang tentunya tidak akan
lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan tata kelola ruang untuk bisa
memenuhi serta menunjang berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakatnya. Sejak
zaman
pemerintahan Hindia belanda, Kota Surabaya merupakan salah satu kota perdaganga yang
menjadi andalan. Surabaya merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, dimana dalam
perkembanganya kota Surabaya dari tahun ke tahun mengalami banyak perubahan baik
itu pola hidup maupaun kebutuhan masyarakatnya. Hal ini menyebabkan masyarakat
berlomba-lomba melakukan berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka. Peningkatan pelaku usaha dan keterbatasan tempat untuk berusaha, membuat
para pelaku usaha membangun dan menjual hasil dagang mereka di atas trotoar.
Sedangkan trotoar sendiri merupakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk
masyarakat yang ingin berjalan kaki. Hal tersebut merupakan hak dasar sebagai warga
negara dalam negara, yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 2 yaitu: Hak
untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung jalan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa fasilitas pendukung
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi trotoar, lajur sepeda, tempat
penyeberangan pejalan kaki, halte, dan fasilitas khusus bagi penyandang cacat, dan
manusia dengan usia lanjut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Pasal
114 menyebutkan trotoar adalah jalur pejalan kaki yang bisa digunakan untuk pesepeda
bila tidak tersedia jalur sepeda. Namun, pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
3 Tahun 2014 dikatakan definisi trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar
dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin
keselamatan pejalan kaki yang bersangkutan, penyediaan fasilitas parkir disediakan untuk
menhidari kemacetan dan kecelakaan oleh pejalan kaki dan dan juga pengendara baik itu
roda 2 (dua) maupun roda 4 (empat).
Trotoar merupakan jalur pejalan kaki yang terletak pada Daerah Milik Jalan
(DAMAJA) yang diberi lapisan permukaaan dengan posisi yang lebih tinggi dari
permukaan jalan, dan umumnya permukaan jalan sejajar dengan jalur lalu lintas
kendaraan. Fungsi utama trotoar dalam Perencanaan Trotoar, Departemen Pekerjaan
Umum (1990) yaitu :
- untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada perjalan kaki baik dari segi
keamanan maupun kenyamanan
- Untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas baik kendaraan maupun pejalan
kaki, karena tidak terganggu atau terpengaruh oleh lalulintas pejalan kaki.
- Untuk memberikan ruang di bawah trotoar sebagai tempat utilitas kelengkapan
jalan seperti saluran air buangan muka jalan, penempatan rambu lalu lintas, dan
lain-lain (Limpong, Royke; Sendow, Theo K.; Jansen, 2015).
Jadi bisa dikatakan bahwa trotoar merupakan suatu sarana transportasi yang
diperuntukkan bagi pejalan kaki untuk mobilitasnya dan prasarana jalan yang merupakan
pendukung transportasi kendaraan. Sesuai DAMAJA syarat trotoar yang baik bagi pejalan
kaki adalah 1,8 meter sampai 2 meter di luar tempat parkir dan tempat berjualan
pedagang serta fasilitas publik lainnya yang tidak seharusnya berada di trotoar (I. Bakri,
B.Asyik, 2013). Namun, pada kenyataanya trotoar saat ini tidak dengan kriteria yang baik
karena trotoar sudah beralih fungsi dari yang seharusnya bagi pejalan kaki. Seperti yang
terjadi di Surabaya, di Surabaya sendiri trotoar tidak dipergunakan dengan sebagaimana
mestinya. Sepertihalnya yang terjadi di Pasar Pacuan Kuda dimana Pasar Pacuan Kuda
merupakan salah satu pasar di Surabaya yang terbentuk dari adanya ratusan PKL yang
memutuskan berjualan pada satu lokasi yang sama di Kecamatan Sawahan Kota Surabaya
yang beroperasi sejak pagi hingga siang hari, bahkan ada juga yang buka sampai malam
hari.
Jalan pacuan kuda merupakan lokasi yang strategis, sehingga menarik minat PKL
untuk berjualan di sepanjang jalan ini hingga menjadi sebuah pasar ini dan tentunya
menarik minat pembeli untuk turut bertransaksi disini. Keberadaan PKL yang merubah
sepanjang jalan pacuan kuda menjadi pasar ini memanfaatkan bahu jalan dan sepanjang
jalan Pacuan Kuda sebagai lokasi untuk melakukan transaksi jual beli barang maupun jasa
guna memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat. Karena menggunakan bahu jalan
sebagai lokasi berjualan maka setiap hari tentunya pasar ini dianggap menjadi penyebab
atas timbulnya kemacetan di sepanjang Jalan Pacuan Kuda hingga ke Jalan Tidar karena
padatnya aktivitas dan lalu lintas.
Pelanggaran terhadap penyalahgunaan trotoar menjadi masalah yang masih sering
terjadi. Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ) Pasal 45 ayat 5 yang berisi bahwa trotoar merupakan salah satu fasilitas
pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di antara fasilitas-fasilitas
lainnya seperti: lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas
khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Dr M. Aslan menyatakan, bahwa
trotoar (Widodo, 2013) adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
kendaraan, yang khusus dipergunakan oleh pejalan kaki (pedestrian). Nilai persepsi dan
harapan pengguna terhadap kualitas trotoar, dapat dijabarkan melalui beberapa indikator
dari elemen pembentuk trotoar, diantarnya kondisi fisik, material, utilitas, estetika,
keamanan, landscape, kenyamanan, nilai estetis, ruang sosial, kualitas lingkungan dan
Path Facilities/Amenities (Rohmawati & Natalia, 2018).
Fungsi trotoar sendiri secara khusus diatur dalam pasal 10 ayat 3 yang menerangkan
bahwa fasilitas tersebut diperuntukkan bagi pejalan kaki. Maka tampak dengan jelas
bahwa keberadaan trotoar memang seharusnya dan seyogyanya dipergunakan bagi
pejalan kaki. Meskipun peraturan tersebut sudah terpampang secara jelas, namun masih
banyak masyarakat yang melakukan tindak pelanggaran terhadap penyalahgunaan trotoar.
Banyak trotoar yang digunakan sebagai lapak berdagang pedagang kaki lima dan
digunakan sebagai tempat parkir liar oleh masyarakat setempat. Hal ini memberikan
kerugian kepada pejalan kaki, yang seharusnya menjadi sarana yang aman dan nyaman,
malah terganggu oleh kendaraan bermotor milik pribadi.
Maraknya pedagang kaki lima di Kota Surabaya, tepatnya di Pacuan Kuda sudah
menjadi kebiasaan masyarakat setempat untuk digunakan sebagai kepentingan pribadi
karena tempat yang digunakan bersifat strategis untuk berjualan. Hal ini dikarenakan
jalan tersebut banyak dilewati oleh orang-oraang dan mudah dijangkau oleh masyarakat
sekitar. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang kaki lima tersebut dapat
diberikan sanksi. Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku dapat diberikan sanksi pidana,
jika terjadi gangguan fungsi jalan dan fasilitas pejalan kaki yang berada dalam UU LLAJ
yaitu :
1. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan
dan/atau gangguan fungsi jalan. Setipa orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/ atau gangguan fungsi jalan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 24 juta.
2. Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan kaki.Seiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
perlengkapan jalan, dalam konteks ini yang dimaksud adalah trotoar sebagai
fasilitas untuk pejala kaki yang terganggu fungsinya menjaadi tempaat bedagang.
Setiap orang yang melakukan perbuaatan yang mengakibatkaan gangguan pada
fungsi fasilitas Pejalan kaki dipidana dengan pidanaa kurungan paling lama 1
(satu) bulaan atau denda paling banyak Rp. 250 ribu.
Selain itu ada dasar hukum lain yang mengatur mengenai penggunaan jalan untuk
kegiatan di luar fungsi dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 diatur beberapa
sanksi pidana seubungan dengan melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan sebagai berikut :
1. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang manfaat jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar. Ruang manfaat jalan
meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
2. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang milik jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp 500 juta. Ruang milik jalan
meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat
jalan.

3. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi


jalan di dalam ruang pengawasan jalan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 200 juta. Ruang pengawasan
jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah
pengawasan penyelenggara jalan. Maka dari ketentuan di atas, jika ada kegiatan
yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan maka orang yang melakukan
kegiatan tersebut dapat dipidana.

Tempat yang digunakan pedagang kaki untuk berjualan tidak hanya mengambil hak
pejalan kaki melainkan juga menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan Pacuan Kuda.
Hal ini menyebabkan ketidaknyaman pula bagi pengguna jalan. Selain itu banyak
pedagang kaki lima yang kurang bertanggungjawab dalam menjaga kebersihan
lingkungan, seperti membuang sampah dan air bekas cucian di sungai . Sampah dan air
cucian tersebut dapat merusak ekosistem dan memberikan aroma yang tidak sedap dari
sungai tersebut. Dampak yang lebih bahaya dapat berakibat pada penumpukan sampah
akibat tersumbatnya saluran air akibat sampah yang sengaja dibuang di saluran air
sehingga terjadinya banjir yang sewaktu waktu dapat terjadi.

Ketidak teraturan pedagang kaki lima dalam menjajakan barang dagangannya


biasanya berasal dari lingkungan masayarakat ekomoni rendah yang sebenarnya
melanggar ketentuan hukum namun tidak menghiraukan peraturan hukum yang berlaku.
Masalah ini menjadi tidak terkendali jika terus menerus dibiarkan. Terganggunya
kegiatan kota akibat berkembangya kegiatan Pedagang kaki lima yang tidak tertata
dengan baik menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan kota. Adanya PKL ini
mengakibatkan terjadinya pengaaihan fungsi ruang karena PKL hampir menggunakan
seluruh ruang trotoar sebagai aktivitasnya.

Terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota menimbulkan


suatu permasalahan di perkotaan, yaitu banyaknya penduduk yang datang dari berbagai
daerah. Salah satu akibat dari adanya urbanisasi yaitu meningkatnya jumlah tenaga kerja
yang menyebabkan banyak dari kelompok masyarakat tersebut yang mengalami suatu
kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Sehingga hal ini menyebabkan
mereka harus bekerja pada sektor informal yaitu seperti Pedagang Kaki Lima (PKL)
khususnya di kota-kota besar di Indonesia hal ini mengingat pada kota-kota besar
lapangan pekerjaan didominasi oleh sektor formal, yaitu bidang yang menuntut seseorang
untuk memiliki bekal keterampilan dan juga pendidikan yang tinggi. Orang-orang yang
tidak tertampung di sektor formal selanjutnya akan masuk ke dalam sektor informal.
Umumnya PKL merupakan self-employed, yaitu mayoritas para pedagang kaki lima
terdiri dari satu tenaga kerja.
Permasalahan mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak kunjung menemukan
solusi yang efektif di setiap daerah di Indonesia. Masalah ini muncul setiap tahun dan
juga terus saja berlangsung tanpa adanya suatu penyelesaian yang tepat di dalam
pelaksanaannya. PKL disini keberadaannya juga seringkali dianggap illegal dikarenakan
berada di tempat umum atau ruang publik, sehingga tidak sesuai dengan visi kota yang
sebagian besar menekankan kepada aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu usaha di dalam perdagangan dan salah
satu wujud sektor informal. Sektor informal di kota-kota besar seringkali merujuk pada
aktivitas perekonomian yang kecil (Kurniawan Putra, 2017). Menurut Nazara (2010) PKL
merupakan salah satu bagian dari sektor informal, yang berdasarkan status kerjanya
termasuk dalam pekerja yang berusaha sendiri, berusaha sendiri dengan bantuan keluarga
atau anggota keluarga dengan tidak dibayar (Ikram, 2020). Aktivitas informal pada
dasarnya harus memiliki lokasi atau tempat yang tepat agar bisa mendapatkan
keuntungan-keuntungan yang lebih besar dibanding dengan tempat yang lain, serta agar
meraih keuntungan secara maksimal, dan juga kegiatan yang seefisien mungkin
(Wafirotin & Marsiwi, 2016). Keberadaan pedagang kaki lima menjadi suatu hal yang
penting untuk pemerintah agar secepat mungkin dicari solusinya (Lutfiana & Rahaju,
2022).
PKL sendiri juga merupakan orang-orang yang memiliki modal yang relatif sedikit
serta berusaha pada bidang produksi dengan melakukan penjualan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan dalam kelompok tertentu di masyarakat. Terdapat PKL yang
menetap di dalam suatu lokasi tertentu serta terdapat pula PKL yang bergerak dari suatu
lokasi ke lokasi yang lainnya menggunakan gerobak dorong, pikulan, atau juga kendaraan
bermotor yang telah dimodifikasi sedemikian rupa seiring dengan zaman yang terus
berkembang. Suatu kegiatan usaha tersebut dilaksanakan di daerah atau tempat-tempat
yang diangggap lokasinya strategis dalam suasana lingkungan informal. Di dalam hal ini,
trotoar mempunyai standar bangun yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah yaitu (1,5
meter). Namun, maraknya PKL yang ingin mendapatkan lahan untuk berjualan
mengakibatkan para PKL menggunakan adanya trotoar tersebut untuk kegiatan
berdagang. Sehingga, hal ini tidak sesuai dengan fungsi dan kegunaan trotoar yang
sebenarnya.
Melihat hal tersebut, maka juga berhubungan dengan proses perencanaan tata ruang
yang kerap kali belum mempertimbangkan adanya keberadaan PKL dan kebutuhan ruang
untuk PKL pada produk perencanaannya. Ruang-ruang kota yang ada hanya difokuskan
untuk kepentingan kegiatan serta fungsi formal saja. Dari hal tersebut, maka hal ini
mengakibatkan para pedagang kaki lima menempati lokasi-lokasi yang tidak terencana
serta tidak difungsikan untuk mereka di dalam menjalankan usahanya, contohnya seperti
trotoar yang termasuk ruang publik. Akibat berkembangnya kegiatan PKL yang tidak
tertata dengan baik tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan kota menurun. PKL yang
menempati ruang publik juga mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi ruang. Hal
tersebut mengakibatkan kota besar menghadapi berbagai macam problem sosial yang
rumit (Wibisono & Tukiman, 2017). Selain itu, PKL pun sering dipandang mempunyai
berbagai dampak yang negatif bagi kebersihan lingkungan sekitar dan kesehatan
masyarakat, contohnya yaitu meningkatnya limbah cair serta padat akibat dari para PKL
yang menjual makanan dan minuman yang seringkali limbahnya dibuang di tempat
umum.
PKL merupakan ciri-ciri dari kota-kota yang terdapat pada negara berkembang. PKL
muncul dikarenakan keadaan ekonomi di negara berkembang itu sendiri. Maka, adanya
kegiatan yang bersifat informal seperti PKL tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja
dengan tanpa merusak suatu sistem ekonomi di negara berkembang secara menyeluruh.
Pengaturan PKL pada trotoar yang tidak mempertimbangkan dimensi trotoar untuk
menampung aktivitas PKL dan pejalan, akibatnya trotoar sebagai jalur pejalan tidak dapat
berfungsi, karena ruang trotoar seluruhnya digunakan untuk tempat berdagang PKL
(Widjajanti, 2009). Secara umum, terdapat beberapa ciri yang dapat dilekatkan pada PKL,
sekalipun di beberapa tempat ciri-ciri ini mungkin tidak berlaku. Ciri-ciri tersebut yaitu
berusaha dalam lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tidak dibekali adanya
izin usaha yang resmi dari instansi yang memiliki wewenang, memiliki mobilitas yang
tinggi, melayani secara langsung konsumen akhir, tingkat kedisiplinan hukum rendah,
serta cenderung sangat pragmatis dalam memandang hukum.
Permasalahan lain yang seringkali muncul akibat dari adanya keberadaan PKL
tersebut adalah keberadaan mereka terkadang dapat menyebabkan kemacetan hal ini
dikarenakan masih banyak pedagang kaki lima yang tidak tertib pada saat membuka lapak
dagangannya sehingga mereka menggunakan trotoar dan bahu jalan yang dapat
menghambat arus lalu lintas. Dengan demikian, yang sangat dirugikan dari keberadaan
PKL yang berdagang di bahu jalan dan juga trotoar tersebut tentu para pengendara
kendaraan pribadi yang terpaksa menghadapi kemacetan parah dan juga para pejalan kaki
yang mana trotoar yang seharusnya menjadi jalur untuk para pejalan kaki, akan tetapi
diisi oleh PKL. Padahal, hal tersebut sudah dijelaskan dalam Pasal 4 Huruf (a) Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pengaturan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima
menjelaskan setiap orang ataupun badan yaitu seperti pedagang kaki lima dilarang
menggunakan jalan atau trotoar tidak sesuai fungsinya seperti berjualan sembarangan di
area yang dilarang. PKL juga seringkali dituding mengganggu ketertiban, sehingga
keberadaannya mengekibatkan munculnya stigma negatif di tengah masyarakat. Di dalam
hal ini, terdapat pula kasus penjualan dan penyewaan lapak PKL dengan harga bervariasi.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa dengan ini tidak hanya para PKL saja yang melakukan
pelanggaran aturan yang telah dibuat oleh pemerintah tetapi masih ada juga beberapa
oknum penegak hukum yang membantu para PKL tersebut untuk tidak mematuhi adanya
peraturan yang telah ditetapkan.
PKL selalu menjadi sebuah konflik dalam berbagai kalangan, baik kalangan
masyarakat ataupun dari kalangan pemerintah. Keberadaan PKL juga seringkali
terhubung dengan masalah mengenai penertiban serta penggusuran. Adanya usaha
penertiban yang dilakukan oleh aparat pemerintah seringkali terjadi bentrokan pada
akhirnya sehingga sangat sulit untuk mewujudkan ketertiban. Penertiban atau di dalam
hal ini penataan para PKL memang sangat penting untuk dilakukan jika melihat pada
kasus disfungsi trotoar yang menjadi tempat berdagang para PKL tersebut. Hal ini tentu
saja dengan memperhatikan adanya kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan,
ekonomi, keamanan, ketertiban, dan juga kebersihan lingkungan, dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Kota Surabaya yaitu suatu kota metropolitan yang berkembang seiring berjalannya
waktu berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang semakin banyak pula
sehingga kota ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk berbondong-
bondong pergi ke Surabaya untuk dapat memperbaiki ekonomi mereka dengan bekerja
disana. Hal ini juga berdampak pada konsumsi barang dan jasa masyarakat yang
meningkat selaras dengan permintaan pemenuhan barang kebutuhan masyarakat yang
terus meningkat juga (Restianto & Rahaju, 2020). Melihat hal tersebut, tidak heran jika
PKL di Surabaya jumlahnya cukup banyak mendorong untuk dilakukan kegiatan
penertiban. Melalui laman berita idn times, ditemukan pemberitaan mengenai penertiban
PKL di Surabaya yaitu
“… Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya merilis kinerja
mereka pada tahun 2017. Perilisan tersebut memberikan hasil bahwa PKL
(Pedagang Kaki Lima) menempati urutan pertama sebagai kelompok yang paling
sering untuk ditertibkan. Sepanjang tahun 2017, Satpol PP Kota Surabaya telah
berhasil menertibkan 14.883 PKL dari jumlah PKL yang ditargetkan sebesar
10.000 PKL. Penertiban terbesar terjadi pada saat bulan Mei 2017”. (Sumber:
Bastam, Rudy. IDN Times, 3 Januari 2018)
(https://www.idntimes.com/news/indonesia/rudy-bastam/sepanjang-2017-lebih-
dari-14-ribu-pkl-ditertibkan-satpol-pp-surabaya-1)
Keberadaan para PKL seringkali berkumpul serta berkelompok dapat membentuk
pasar. Hal ini seperti yang terjadi di pasar pacuan kuda Kota Surabaya yang merupakan
lokasi trotoar atau jalan raya yang kemudian digunakan oleh PKL untuk menjual
dagangan mereka sehingga membentuk adanya kegiatan jual-beli seperti umumnya pasar
yang kita semua sering temui.
Jalan Pacuan Kuda yang berada di Kota Surabaya merupakan salah satu bukti nyata
disfungsi trotoar oleh PKL. Sesuai namanya, Jalan Pacuan Kuda merupakan arena
pacuan kuda di daerah Sawahan yang beroperasi pada zaman Hindia Belanda. Kondisi
fisik Jalan Pacuan Kuda tentunya telah mengalami perubahan yang semula berupa tanah
lapang yang melingkar menjadi jalanan yang lurus dan menyempit, bahkan Jalan Pacuan
Kuda yang sekarang tidak terlihat seperti bekas arena pacuan kuda. Arena pacuan kuda
pada zaman dahulu dijadikan sebagai ajang perlombaan berkuda yang mayoritas
pesertanya adalah oranag-orang Eropa. Demikian karena sebelum memasuki abad ke-20,
kuda menjadi transportasi darat andalan sebelum masuknya kendaraan seperti mobil dan
kendaraan bermotor masuk ke Indonesia. Selain arena pacuan kuda yang berada di Jalan
Pacuan Kuda, arena pacuan kuda lainnya yang berada di kawasan Kota Surabaya terletak
di Bendul Merisi.
Ratusan PKL yang berada di sepanjang Jalan Pacuan Kuda dan terlibat dalam
penyalahgunaan fungsi trotoar memiliki alasan tersendiri dalam memilih lokasi tersebut
sebagai tempat berjualan. Salah satu alasan kuat yang menjadikan para PKL tetap
berjualan di Jalan Pacuan Kuda ialah karena lokasinya yang strategis. Banyaknya PKL di
sepanjang Jalan Pacuan Kuda membuat lokasi tersebut seringkali disebut sebagai pasar
Pacuan Kuda. Aktivitas berjualan yang terjadi setiap hari dari pagi hingga siang hari
menimbulkan kemacetan dan mengganggu kebersihan kota. Demikian karena setelah
kegiatan jual beli di pasar tersebut berakhir akan terlihat banyaknya sampah yang
berserakan di sepanjang jalan. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan PKL di Jalan
Pacuan Kuda selain melanggar peraturan yang ada, juga menimbulkan permasalahan
baru yang menjadi tantangan baru bagi Pemerintah Kota Surabaya.
Disfungsi trotoar sebagai lahan berjualan oleh PKL pun telah mengganggu tata
ruang kota. Dimana tata ruang kota ini memiliki tujuan untuk meningkatkan sistem
penyusunan tata kelola ruang yang ada, mengoptimalkan pengelolaan serta pengendalian
pemanfaatan ruang guna mempertahankan pemanfaatan lahan untuk irigasi dan kawasan-
kawasan lindung, serta meningkatkan fungsi kelembagaan serta organisasi penataan
ruang yang berada di lingkup daerah. Sedangkan dengan adanya penyalahgunaan fungsi
trotoar telah menyimpang dari perwujudan tata ruang kota yang baik. Sebagai salah satu
kota metropolitan dengan perkembangan yang pesat, tantangan untuk mewujudkan tata
kelola yang baik tidak mudah. Tata ruang kota yang baik merupakan penataan ruang
yang efektif dan efisien dalam mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan.
Penyelesaian permasalahan tersebut sangat bergantung pada upaya maupun strategi
yang dilakukan pemerintah dalam mengembalikan fungsi trotoar yang sebenarnya.
Adapun rencana yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menertibkan trotoar
meliputi empat tahapan, yaitu pencegahan/pembatasan, pembinaan, pemberian sanksi,
dan relokasi. Tahap pertama yaitu pencegahan/pembatasan, hal tersebut menjadi poin
penting dalam upaya penertiban trotoar. Demikian karena berkurangnya jumlah
pembangunan ataupun jumlah PKL yang berada di trotoar akan sedikit mempermudah
upaya penertiban trotoar. Tahap kedua yaitu pembinaan, pentingnya dilakukan pembinaan
bagi PKL untuk mensosialisasikan terkait fungsi trotoar sesuai dengan Undang-Undang
dan peraturan yang berlaku.
Sebagai salah satu kota besar yang secara terus menerus melakukan pembangunan
yang juga berdampak pada psikologis manusia mauapun lingkungan sekitar.
Perkembangan yang terjadi di perkotaan mampu menarik perhatian masyarakat terutama
di pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota. Asumsi tersebut menjadi salah satu faktor
terjadinya peningkatan jumlah penduduk di kota. Mayoritas masyarakat desa yang
memutuskan untuk merantau ke kota dengan tujuan memperoleh pekerjaan tidak sedikit
yang beralih niatan untuk membuka usaha, mulai dari usaha kecil-kecilan maupun usaha
yang besar. Masyarakat yang memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan tidak jarang
memilih untuk berjualan di pinggir jalan atau yang sering disebut dengan PKL.
Terkadang masyarakat kurang menyadari akan lingkungan sekitar, sehingga mereka
memilih berjualan di tempat manapun yang menurutnya memiliki peluang yang besar.
Kesalahan tersebut termasuk salah satu permasalahan yang menjadi awal mula
penyalahgunaan trotoar oleh para PKL.
Tahap ketiga yaitu pemberian sanksi, bagi para PKL yang telah diperingatkan untuk
tidak menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan dan masih saja tidak dapat
memahaminya maka akan dikenakan sanksi. Tahap terakhir yaitu relokasi, menjadi
tahapan yang paling sulit untuk dilakukan. Pasalnya dalam tahap relokasi, pemerintah
harus menyediakan lahan bagi para PKL agar PKL tersebut dapat melanjutkan
pekerjaannya. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah tentunya tidak mudah,
dan relokasi menjadi tahapan yang paling sulit untuk diterapkan. Mayoritas PKL tidak
sepakat dengan adanya rencana relokasi dengan alasan ekonomi, karena para PKL takut
akan kehilangan pelanggan setianya.
Sumber : https://radarsurabaya.jawapos.com/surabaya/13/12/2021/asal-usul-jalan-pacuan-
kuda-sejak-zaman-hindia-belanda/
Alasan kami memilih lokasi di jalan Pacuan Kuda kota Surabaya tersebut karena di
daerah tersebut terdapat cukup banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yg berjualan di atas
trotoar bahkan sampai ada yg dipinggir jalan, dan dengan adanya keadaan tersebut
membuat jalanan di lokasi tersebut menjadi padat bahkan sampai menyebabkan
kemacetan. Selain itu beberapa kali terdapat adanya wacana mengenai penertiban PKL
hingga rencana adanya proses pengadaan lahan bagi PKL agar mereka dapat berjualan
tanpa menggangu aktivitas pejalan kaki dan kendaraan bermotor yang melalui jalan
tersebut. Namun samai saat ini masih belum ada kelanjutan dari realisasi atau solusi yang
tepat dari adanya PKL di daerah tersebut dan bahkan sampai sekarang kemacetan pun
masih terjadi di jalan Pacuan Kuda. Adapun alasan kami melakukan penelitian di daerah
tersebut Seperti yang ada dalam berita antara jatim dimana dalam berita itu
menyebutkan:
“….Surabaya (Antara Jatim) - Kalangan DPRD Surabaya menyoroti rencana
penggusuan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Pacuan Kuda di ibu kota
Provinsi Jawa Timur itu karena tidak dibarengi dengan solusi relokasi yang tepat.
Sekretaris Komisi B DPRD Surabaya Edi Rahmat, di Surabaya, Rabu,
mengatakan pemerintah kota hendaknya merencanakan penertiban PKL dengan
matang sebelum melakukan penggususran PKL terutama terkait relokasi.
Menurut Edi, seharusnya sebelum dilakukan penggusuran dan relokasi, harus ada
lokasi sentra PKL baru yang secara ekonomis mampu memberi ganti atas
penggusuran yang dilakukan. Menurutnya, akan labih baik jika lokasi yang
disediakan tidak jauh dari lokasi awal sehingga PKL tidak kehilangan pelanggan.
"Pelanggan PKL kan masyarakat sekitar saja, mereka butuh dan PKL juga butuh.
Kalau relokasinya jauh ya siapa yang mau mencari kopi saja jalan berkilo
meter." 
Sumber(https://jatim.antaranews.com/berita/199091/dprd-surabaya-soroti-
rencana-penggusuran-pkl-pacuan-kuda)
Dalam pemberitaan tersebut dijelaskan bahwa semapt ada wacana akan adanya relokasi
tentang PKL yang ada di jalan Pacuan Kuda tersebut tetapi rencana tersebut harus
ditunda karena masih belum menemukan solusi yang tepat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Langkah yang diambil penulis dalam penelitian ini agar memiliki arah yang jelas
dalam memaparkan fakta dan data ke dalam penulisan, maka terlebih dahulu kami
rumuskan permasalahan yang akan diangkat. Adapun permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini adalah Bagaimana Dampak Dari Penyalahgunaan Trotoar Yang
Dilakukan Oleh Pedagang Kaki Lima Di Jalan Pacuan Kuda Kot Surabaya ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dampak dari
penyalahgunaan trotoar yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di jalan Pacuan Kuda
Kota Surabaya.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya yaitu:
1.4.1 Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
tentang dampak dari penyalahgunaan trotoar yang dilakukan oleh pedagang
kaki lima di jalan Pacuan Kuda Kota Surabaya.
b. Bagi Masyarakat.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemahaman bagi masyarakat agar
dapat menggunakan trotoar sesuai dengan fungsinya.
c. Bagi Pemerintah Kota Surabaya.
Penelitian ini diharapkan apat menjadi bahan masukan atau
evaluasi bagi pemerintah Kota Surabaya dalam melakukan penataan
terhadap berbagai PKL yang ada khususya PKL di pasar pacuan kuda kota
Surabaya. Selain itu juga dapat menjadi bahan evaluasi sehingga dapat
menciptakan lingkungan yang tertib, bersih, dan nyaman.

1.4.2 Manfaat Teoritis


Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:
1. Memberikan solusi bagi masyarakat akibat dampak dari penyalahgunaan
trotoar yang menyebabkan kemacetan jalan.
2. Sebagai dasar dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan penyalahgunaan trotor, dan juga menjadi bahan untuk
dikaji lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, L., & Tjahjani, A. R. I. (2021). PENGARUH ALIH FUNGSI TROTOAR


TERHADAP TINGKAT KENYAMANAN PEJALAN KAKI JALAN RS FATMAWATI
RAYA JAKARTA. 2(9), 6.
I. Bakri, B.Asyik, R. K. S. U. (2013). Alih Fungsi Trotoar Menjadi Tempat Pedagang Kaki
Lima Jalan Z.a. Pagar Alam Bandar Lampung. Jurnal Peneltian Geografi, 1–12.
Ikram, A. (2020). Eksistensi Pedagang Kaki Lima(Pkl) Di Jalan Arteri Primer, Kota
Singaraja. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 22(2), 294.
https://doi.org/10.26623/jdsb.v22i2.2564
Limpong, Royke; Sendow, Theo K.; Jansen, F. (2015). Permodelan Fasilitas Arus Pejalan
Kaki Jalan Sam Ratulangi Manado. Jurnal Sipil, 3(3), 212–220.
Lutfiana, A. N., & Rahaju, T. (2022). Dampak Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kawasan
Gembong Kota Surabaya. Publika, 9, 381–390.
https://doi.org/10.26740/publika.v10n2.p381-390
Restianto, R. D., & Rahaju, T. (2020). Implementasi Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki
Lima Ke Sentra Pkl Gajah Mada Kabupaten Sidoarjo. Publika, Vol 8 No 2 (2020).
Rohmawati, T., & Natalia, T. W. (2018). Tingkat Kepuasan Pejalan Kaki Terhadap Trotoar
Di Kota Bandung. Jurnal Ilmu Politik Dan Komunikasi, 8(2).
https://doi.org/10.34010/jipsi.v8i2.1332
Widjajanti, R. (2009). Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima Pada Kawasan Komersial
Di Pusat Kota. Teknik, 30(3), 162–171.
Widodo, A. (2013). Studi Tentang Kenyamanan Pejalan Kaki Terhadap Pemanfataan Trotoar
Di Jalan Protokol Kota Semarang (Studi Kasus Jalan Pandanaran Semarang). Studi
Tentang Kenyamanan Pejalan Kaki Terhadap Pemanfataan Trotoar Di Jalan Protokol
Kota Semarang (Studi Kasus Jalan Pandanaran Semarang), 15(1), 1–12.

Hanifah, A. . (2019). Perpustakaan Universitas Airlangga. Toleransi Masyarakat Beda


Agama, 30(28), 5053156.

Anda mungkin juga menyukai