Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

ANALISIS SUMBERDAYA MANUSIA DAN EKONOMI


(GEL 3003)
“ANALISIS FUNGSI TROTOAR BAGI PEJALAN KAKI DI JALAN
PERSATUAN, KABUPATEN SLEMAN”

Disusun oleh :
Alvianni Nur Mahmuda 14/365752/GE/07833
Dwiki Chandra Kurnia Sandi 14/365319/GE/07819
Fadilah Ardiyanti 14/369390/GE/07924
Ikhwan Arbi Kurniawan 14/365873/GE/07841
Vianka Restie Anjani 14/365331/GE/07829

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Suratman, M.Sc.

DEPARTEMEN GEOGRAFI LINGKUNGAN


FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. PERATURAN-PERATURAN YANG TERKAIT PENGELOLAAN
LINGKUNGAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Peraturan yang berkaitan dengan pejalan kaki, trotoar, dan pedagang kaki
lima yang berjualan di trotoar terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Pemerintah No.
34 Tahun 2006 tentang Jalan (PP Jalan). UU LLAJ diberlakukan untuk lalu lintas
dan angkutan jalan yang merupakan bagian dari sistem trasportasi untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.
Berdasarkan UU LLAJ pasal 45 ayat 1, trotoar merupakan fasilitas
pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di antara fasilitas lainnya
seperti lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan fasilitas khusus
bagi penyandang cacat dan usia lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa di tiap jalan
terdapat fasilitas trotoar yang dipergunakan untuk pejalan kaki.
Pasal 131 ayat 1 UU LLAJ menyebutkan bahwa trotoar merupakan hak
pejalan kaki, bukan untuk pribadi. Lebih lanjut dalam pasal 25 ayat 1 huruf g UU
LLAJ menyebutkan bahwa lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan
jalan yaitu berupa fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat. Hal
ini menunjukkan bahwa trotoar termasuk bagian dari perlengkapan jalan yang
digunakan untuk pejalan kaki. Masih berkaitan dengan trotoar, pada pasal 28 ayat 2
UU LLAJ, menyebutkan bahwa dilarang untuk melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan kerusakan atau menganggu fungsi perlengkapan jalan.
Pasal 274 ayat 1 UU LLAJ mengatur mengenai sanksi bagi siapa saja yang
melakukan kerusakan atau gangguan fungsi jalan akan dipidana penjara paling lama
1 tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275 ayat 1 UU LLAJ juga mengatur mengenai sanksi bagi siapa saja yang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu
Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan
alat pengaman Pengguna Jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Berdasarkan PP No 34 tahun 2006 pasal 34 ayat 4 dipertegas bahwa trotoar
hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa
peraturan mengenai trotoar untuk pejalan kaki sangat diperhatikan. Hal ini juga
menjadi dasar bahwa trotoar tidak bias diselewengkan kegunaannya secara pribadi
dang digunakan berjualan seperti yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima.

II. KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN PEDAGANG KAKI


LIMA (PKL)

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah jenis usaha kecil yang begerak pada
sektor perdagangan informal yang menempati kaki lima (trotoar/pedestrian) yang
keberadaannya tidak merubah atau merusak fungsi trotoar. Kelompok PKL
merupakan bagi dari aset pembangunan nasional yang bersifat kerakyatan, yang
mempunyai peranan daan potensi dalam mewujudkan pembangunan ekonomi
nasional. (Frasnsiska, 2005:2).
Pedagang Kaki Lima merupakan salahsatu alternatif penunjang kehidupan
oleh sebagian masyarakat karena untuk menjalankan usaha kaki lima tidak
memerlukan pendidikan yang tinggi. Anggapan seperti ini yang berdampak pada
bermunculannya kelompok-kelompok PKL lainnya. Kemunculan kelompok-
kelompok PKL yang marak ini memiliki potensi untuk menciptakan dan
memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang berpendidikan rendah
yang tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya pada lapangan pekerjaan
sektor formal. PKL menurut penjelasan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Kecil Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa:
Usaha kecil (termasuk PKL) merupakan usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
usaha kecil sebagaimana yang dimaksud dalam undang – undang.
Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan
demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Berdasarkan pengertian Pedagang Kaki Lima diatas, keberadaan PKL
umumnya di pinggir jalan atau trotoar. Idealnya letak warung makan dari
badan jalan adalah berjarak 15m, karena mempertimbangkan kondisi
makanan yang terkontaminasi oleh polutan dari kendaraan bermotor yang
berlalu lalang. Selain itu trotoar di pinggir jalan sebagaimana fungsinya
adalah untuk berlalu lalang pejalan kaki. Berdasarkan fungsi dan posisinya,
terdapat beberapa jenis jalur pejalan kaki, yaitu:
a. Trotoar, yaitu bagian dari jalan raya, namun terpisah dari badan jalan.
Biasanya terletak di pinggir badan jalan dan merupakan berfungsi sebagai
jalur untuk pejalan kaki berjalan.
b. Jalan Setapak merupakan jalur untuk pejalan kaki yang lebarnya hanya
muat untuk satu pejalan kaki saja.
c. Penyeberangan, digunakan untuk pejalan kaki menyeberang jalan.
d. Mall dan plaza, adalah suatu jalur yang berada di depan mall atau plaza,
biasanya berupa pedestarian yang berfungsi sebagai tempat rekreatif
selain sebagai jalur pejalan kaki.
Ruang trotoar yang sering dijadikan tempat berjualan bagi pedagang kaki
lima (PKL) tentu saja mengakibatkan terganggunya kenyamanan fasilitas
publik yang diakses oleh pejalan kaki. Sebagaimana menurut Unterman
(1984), unsur-unsur yang mempengaruhi kenyamanan (comfort) pada suatu
pedestrian salah satunya adalah Aksesibilitas berupa kemudahan yang dapat
dicapai oleh orang terhadap suatu tempat ataupun lingkungan. Namun dengan
adanya PKL di trotoar mengakibatkan para pejalan kaki harus masuk ke
badan jalan untuk berjalan kaki. Hal ini akan membahayakan pejalan kaki
dan berpotensi terjadi kecelakaan lalu lintas.
Penggunaan ruang publik oleh PKL tersebut seharusnya dapat
ditertibkan, salah satunya adalah dengan kebijakan relokasi. Dalam rangka
untuk menentukan lokasi baru bagi PKL, maka perlu dilakukan identifikasi
karakteristik PKL, karena perilaku setiap PKL berbeda-beda. Lokasi baru
yang diharapkan dari PKL itu sendiri tentunya yang bersifat menguntungkan
bagi PKL dan tidak menurunkan pendapatan mereka. PKL juga
mempertimbangkan target konsumen, sehingga lokasi berjualan seringkali
berada di pusat kota atau sekitar kampus, karena lokasi ini dianggap strategis
dan mudah dijangkau.
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis
(Kristanto, 2013). Limbah yang ditinggalkan setelah berjualan akan
mengakibatkan bau dan genangan air pada trotoar sehingga mengganggu
kenyamanan pejalan kaki pada pagi harinya. Seperti yang telah diusebutkan
oleh Unterman (1984), salah satu unsur kenyamanan penggunaan trotoar
adalah aksesibilitas. Kenyamanan yang dimaksud adalah tidak terganggunya
pejalan kaki saat melewati trotoar tersebut. Hal yang sering mengganggu
pejalan kaki adalah limbah yang bersifat bau dan limbah cair yang
menggenang sehingga mengganggu akses trotoar.

III. PERMASALAHAN KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)


Trotoar merupakan salah satu fasilitas penting bagi pejalan kaki dan
penyandang cacat. Fungsi trotoar yang diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki
tercantum dalam PP RI No. 34 Tahun 2006. Identifikasi permasalahan lingkungan
dilakukan di penggal Jalan Persatuan, Kabupaten Sleman seperti terlihat pada
Gambar 1.
Permasalahan yang timbul di penggal Jalan Persatuan, Kabupaten Sleman, yaitu
tidak berfungsinya trotoar yang berada di jalan tersebut pada sore dan malam hari
akibat adanya pedagang kaki lima (PKL) seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Adanya PKL yang berjualan makanan dan minuman membuat sebagian besar
trotoar terlihat kumuh sehingga dapat mengganggu hak pejalan kaki. Hal tersebut
dapat terjadi karena terdapat sisa minyak hasil penggorengan (Gambar 3, Gambar
4, Gambar 5), beberapa alat dan bahan untuk berjualan (Gambar 6), dan bahkan
terminal listrik yang kondisinya tidak baik (Gambar 7 dan Gambar 8). Pembiaran
terhadap adanya terminal listrik dengan kondisinya yang tidak baik di dekat trotoar
tersebut berbahaya bagi pejalan kaki. Hal tersebut karena adanyaa arus listrik yang
mengalir dan memungkinkan terjadinya korsleting listrik.
Berdasarkan hasil survei online yang dilakukan kepada 32 responden yang
pernah berjalan kaki di Jalan Persatuan menunjukkan bahwa 78% merasa tidak
nyaman dengan kondisi trotoar saat ini. Sebagian besar responden (94%)
mengetahui bahwa saat sore dan malam hari trotoar tersebut digunakan oleh PKL.
Keberadaan PKL yang berjualan di trotoar menurut para responden berdampak
pada kondisi trotoar dan jalan saat ini.
Dampak yang ditimbulkan diantaranya jalanan terhambat karena adanya parkir
kendaraan bermotor di badan jalan, trotoar kotor dan bau tidak sedap, dan adanya
limbah di selokan. Sisa minyak penggorengan juga berdampak pada kotornya
tembok kampus UGM yang menghitam seperti pada Gambar 7. Bau yang muncul
di trotoar dapat disebabkan oleh adanya limbah cair yang dibuang langsung ke
selokan di bawah trotoar. Seluruh hal tersebut akan memengaruhi kenyamanan
pejalan kaki dan mengganggu keindahan jalan secara visual. Adanya PKL juga
membuat pejalan kaki berjalan di bahu jalan bahkan harus melewati kendaraan
bermotor yang parkir di depan warung tersebut.
Kondisi lain yang berpengaruh terhadap terganggunya hak pejalan kaki di
trotoar Jalan Persatuan, yaitu terdapat lubang-lubang pada trotoar dan masih
banyaknya sampah plastik baik yang berada di atas trotoar maupun yang masuk ke
dalam selokan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.
Adanya lubang yang cukup besar pada trotoar berbahaya bagi para pejalan kaki
sehingga mengganggu kemananan pejalan kaki. Lubang tersebut juga membuat
sampah-sampah yang berada di atas trotoar terbawa angin dan aliran air hujan
sehingga masuk ke dalam selokan dan menghambat aliran air selokan. Apabila
sampah tersebut dibiarkan, hujan terus terjadi, dan aliran air selokan terhambat,
maka genangan air di trotoar dapat terjadi yang juga aka mengganggu kenyamanan
para pejalan kaki. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi trotoar bagi para
pejalan kaki.

Kantor
Pusat
UGM

GSP UGM

Gambar 1 Lokasi Jalan Persatuan, Kabupaten Sleman


(Sumber: Googlr Earth 2017)
Gambar 2 Salah satu warung makan di trotoar saat malam hari
(Sumber: Hasil lapangan 2017)

Gambar 2 Sisa minyak penggorengan Gambar 3 Sisa minyak penggorengan


(Sumber: Hasil lapangan 2017) (Sumber: Hasil lapangan 2017)
Gambar 4 Sisa minyak penggorengan Gambar 5 beberapa alat dan bahan untuk berjualan
(Sumber: Hasil lapangan 2017) (Sumber: Hasil lapangan 2017)

Gambar 6 Terminal listrik yang kondisinya tidak baik


(Sumber: Hasil lapangan 2017)
Gambar 6 Terminal listrik yang kondisinya tidak baik
(Sumber: Hasil lapangan 2017)

Gambar 7 Tembok kampus UGM yang kotor akibat sisa minyak penggorengan
(Sumber: Hasil lapangan 2017)
Gambar 8 Sampah yang berserakan di atas trotoar
(Sumber: Hasil lapangan 2017)

Gambar 9 Lubang di atas trotoar


(Sumber: Hasil lapangan 2017)
Gambar 10 Lubang yang dipenuhi sampah di atas trotoar
(Sumber: Hasil lapangan 2017)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan mengenai fungsi trotoar bagi pejalan kaki di Jalan Persatuan


menunjukkan bahwa diperlukan alternatif penyelesaian pada setiap permasalahan
yang ada. Masing-masing permasalahan tersebut dapat melibatkan instansi maupun
kelompok tertentu, sehingga penyelesaian pada tiap masalah akan berbeda.
Penyelesaian masalah yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan melakukan
pelaporan dan diskusi kepada Dinas Pekerjaan Umum terkain fisik dari trotoar,
melakukan diskusi dengan paguyuban yang menaungi pedagang kaki lima terkait
kebersihan trotoar, dan memberikan alternatif cara pengolahan limbah cair
sederhana yang dapat diterapkan pedagang laki lima.
Permasalahan mengenai kerusakan trotoar secara fisik yang dilihat dari
adanya lubang serta bentuknya yang dapat merugikan pejalan kaki, penyelesaian
masalah yang ditawarkan merupakan adanya partisipasi aktif dari pejalan kaki
maupun masyarakat lainnya yang melihat adanya kerusakan fisik trotoar untuk
mendokumentasikannya. Hasil dari dokumentasi fisik trotoar yang tidak sempurna
tersebut dapat kemudian dikukmpulkan dan dilaporkan kepada Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Sleman disertai dengan penyampaian keluhan yang ada agar
dapat dilakukan aksi berupa perbaikan trotoar. Penyelesain masalah ini tidak dapat
dilakukan oleh kelompok maupun perorangan karena terdapat instansi pemerintah
yang menaunginya.
Permasalahan trotoar lainnya yang mengganggu pejalan kaki merupakan
limbah domestik sisa-sisa dari pedagang kaki lima di malam hari dan noda di trotoar
akibat aktifitas pengolahan makanan nya. Penyelesain masalah ini tidak dapat
langsung dilakukan dengan memberi teguran langsung ke pedagang kaki lima,
karena terdapat paguyuban yang menaungi para pedagang kaki lima yang ada di
sepanjang Jalan Persatuan. Pedagang kaki lima akan mengikuti setiap peraturan
serta arahan yang diberikan oleh paguyuban tersebut, sehingga diskusi terkait
permasalahan limbah dan bekas noda perlu disampaikan lewat paguyuban terlebih
dahulu. Pengelolaan limbah fisik oleh pedagang kaki lima sudah benar dengan
dikumpulkan dan dibawa pulang untuk dibuang pada tempat pembuangan, tetapi
bagian terkecil dari limbah sisa-sisa makanan nya masih belum diperhatikan. Sisa
makanan tersebut perlu dibersihkan setiap kegiatan berjualan telah selesai, sehingga
yang perlu dibicarakan kepada paguyuban merupakan masalah kebersihan yang
kurang maksimal. Noda hasil aktifitas pengolahan makanan seperti bekas
pembakaran tungku juga perlu diperhatikan. Penyelesain dapat dilakukan dengan
adanya peraturan penggunaan tungku yang memiliki lapisan penutup agar tidak
menimbulkan noda.
Limbah cair hasil kegiatan seperti cuci dan memasak juga menimbulkan bau,
karena langsung dibuang ke saluran drainase tanpa adanya pengolahan terlebih
dahulu. Penyelesaian masalah ini dapat dilakukan dengan adanya penerapan
pengolahan limbah cair sederhana, seperti penyaringan limbah dengan arang.
Sosialisasi mengenai penerapan pengolahan limbah cair sederhana ini perlu
dilakukan agar pedagang kaki lima mengetahui bahwa terdapat metode tertentu
dalam pembuangan limbah agar tidak menimbulkan dampak terhadap penjalan kaki.
V. TEKNOLOGI UNTUK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Berdasarkan atas permasalahan yang ditemui pada kawasan trotoar di Jalan


Persatuan. Kondisi-kondisi seperti halnya terdapat limbah cair pedagang kaki lima
yang dibuang langsung ke selokan dibawah trotoar dan sisa pembakaran yang
membekas pada trotoar. Kedua masalah tersebut membuat pejalan kaki menjadi
terganggu, seperti karena bau menyengat maupun bekas gosong yang membuat jalan
trotoar menjadi terlihat kumuh dan kotor. Sementara dari pihak pedangang kaki lima
belum memiliki solusi untuk menangani permasalahan tersebut. Seperti yang
ditunjukkan gambar berikut
Gambar 1.0 Dampak Sisa Pembakaran (Memasak) Pedagang Kaki Lima Jalan Persatuan

Sumber: Dokumentasi Ardiyanti, 2017


Gambar 1.1 Dampak Pembuangan Limbah Cair Pedagang Kaki Lima Jalan Persatuan
Sumber: Dokumentasi Ardiyanti, 2017
Salah satu yang menjadi penyebab terdapat keterbatasan baik dari tenaga
maupun dana untuk menanggulanginya. Meskipun permasalahan berasal dari
pedagang kaki lima, namun hal itu disebabkan kurangnya kesadaran dari
pedagang kaki lima untuk menjaga kebersihan. . Hal tersebut didukung oleh
persepsi masyarakat yang menganggap PKL sebagai sumber pencemaran,
seperti yang ditunjukkan diagram 1.2.Salah satu yang dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan memanfaatkan teknologi-
teknologi sederhana yang rendah dari segi biaya produksinya namun memiliki
efisiensi yang lebih baik. Permasalahan limbah cair yang terdapat pada selokan
di sepanjang Jalan Persatuan, dapat diatasi dengan menggunakan alat penyaring
sederhana, yaitu Saringan pasir lambat (SPL) yang dimodifikasi agar lebih
mudah dibawa. Seperti yang ditunjukkan gambar berikut
Gambar 1.3 Gambar Saringan Pasir Lambat
Sumber : Purwantoro, Lutjito, dan Suparman, 2012
Diagram 1.2 persepsi pengguna trotoar terhadap PKL

Seberapa bau trotoar?


0%

16%
34%

50%

Sangat bau Bau Biasa saja Tidak bau

Sumber : Data diolah


Saringan pasir lambat (SPL) prinsipnya dapat menyaring kotoran limbah
cair yang terdapat di air melalui pori-pori pada tiap sekat yang terdapat di dalam
alat tersebut. Alat tersebut memiliki tiga bagian utama, yaitu bak pengendap air
kotor, bak penyaring dan bak penampung. Penyaring yang digunakan berupa
pasir dan kerikil dengan ukuran yang berbeda-beda. Hal ini untuk mendapatkan
sebuah penyaring yang komplek, yaitu dapat menyaring material pengotor
berukuran besar (dengan menggunakan pori-pori kerikil) dan material pengotor
berukuran kecil (dengan menggunakan pori-pori pasir). Seperti yang
ditunjukkan gambar 1.4. Alasan pemilihan teknik penyaringan ini karena tidak
menggunakan energi listrik, hanya memanfaatkan gaya gravitasi.
Gambar 1.4 Gambar Skema Saringan Pasir Lambat

Sumber: Purwantoro, Lutjito, dan Suparman, 2012


Selain dari sisi ramah lingkungan keberadaan material bahan baku yang
mudah didapatkan serta murah. Sementara untuk hasil yang diperoleh termasuk
cukup baik, karena pada penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian
Purwantoro, Lutjito dan Suparman yang berjudul “PEMBUATAN PENGOLAH
AIR KOTOR MENJADI AIR BERSIH PADA DAERAH BANJIR DI DUSUN
KALIDENGEN II TEMON KULON PROGO”. Mendapatkan hasil berupa
penurunan beberapa kandungan bahan kimia yang terdapat dalam tubuh air,
seperti besi, nitrat, chlorida, sulfat dan zat organik. Keterdapatan bahan kimia
tersebut dapat menimbulkan permasalahan seperti bau, perubahan warna hingga
perubahan pH. Adanya zat pencemar dapat menyebabkan kerusakan ekosistem,
dan dapat menjadi sumber pencemar bagi sungai utama dan dapat mencemari
tanah apabila debit air meluap.
Dengan menggunakan alat penjernih ini diharapkan ada pengolahan
sederhana pada limbah cair yang akan dibuang ke selokan, sehingga sedikit
mengurangi berbagai macam zat kimia yang terkandung di dalamnya.
Penggunaan teknologi penjernih ini tidak dapat menjadi solusi utama untuk
mengatasi pencemaran, karena pencemaran yang terjadi merupakan dampak dari
keberadaan pedagang kaki lima yang menempati wilayah yang tidak
diperuntukkan untuk berjualan. Oleh karena itu apabila hendak menghentikan
pencemaran yang terjadi secara permanen perlu memindahkan pedagang kaki
lima ke kawasan berjualan yang lebih baik, dengan disertai dengan fasilitas-
fasilitas seperti adanya IPAL (instalasi pembuangan air limbah).
Selanjutnya merupakan permasalahan terdapatnya noda bekas proses
memasak yang dilakukan oleh pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima
seringkali menggunakan kompor arang dengan tekanan yang cukup tinggi untuk
proses memasak. Oleh karena api yang digunakan cukup besar sehingga
menimbulkan panas pada sekitar area pedagang kaki lima berada. Hal tersebut
yang membuat area disekitar PKL berada terkena noda lebih gelap atau gosong,
menjadikan pada sudut-sudut tertentu terlihat lebih kumuh atau kotor. Selain itu
dengan adanya bekas noda tersebut membuat kawasan trotoar menjadi kurang
baik untuk dipandang atau mengganggu estetika keindahan dari trotoar.
Melihat dari kawasan trotoar di sepanjang Jalan Persatuan, masih
termasuk kedalam komplek kampus Universitas Gadjah Mada. Pengguna trotoar
akan jauh lebih banyak dari kalangan mahasiswa. Ruas jalan trotoar digunakan
mahasiswa UGM untuk mengakses fasilitas kampus dan untuk mobilitas ke
Gedung Rektorat, maupun ke berbagai fakultas yang terdapat pada sisi Timur
Jalan Persauan.
Berbagai aktivitas mahasiswa akan sedikit-banyak terganggu dengan
kondisi trotoar yang terlihat kotor dan kumuh. Seperti yang ditunjukkan diagram
lingkaran 1.5 persen pandangan pengguna trotoar terhadap PKL. Permasalahan
tersebut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi sederhana, seperti salah
satunya dengan mengganti bahan bakar yang digunakan oleh pedagang kaki lima
dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Salah satu solusi yang dapat
digunakan yaitu dengan memanfaatkan biji jarak pagar. Seperti yang
ditunjukkan gambar 1.6. Alasan pemilihan energi alternatif biji jarak pagar
karena memiliki beberapa keunggulan, seperti lebih murah, nyala api yang lebih
stabil dan panas, serta lebih ramah lingkungan dengan kandungan gas CO2 sisa
pembakaran hanya sekitar 15-30%.
Gambar 1.5 diagram persen pandangan pengguna trotoar terhadap PKL

Apakah adanya PKL (Pedagang Kaki Lima)


membuat trotoar kotor?

9%

91%

Ya Tidak

Sumber : Data diolah


Gambar 1.6 Kompor bahan bakar biji jarak pagar

Sumber: Hastono, 2014


Pemanfaatan biji jarak dipilih karena tanaman jarak pagar mudah
dibudidayakan, dan sangat berpotensi dimanfaatkan. Selain itu kompor dengan
menggunakan biji jarak pagar lebih sedikit menghasilkan sisa-sisa pembakaran.
Sementara dari segi rasa, pemanfaatan teknologi pembakaran dengan biji jarak
pagar ini tidak merubah, baik dari segi aroma maupun rasa dari bahan makanan.
Pembakaran dengan menggunakan teknologi kompor berbahan bakar biji
jarak pagar ini lebih mudah untuk dibongkar pasang dan lebih mudah dibawa.
Oleh karena itu lebih mudah untuk diatur dan digunakan untuk pembakaran
yang tertutup. Prinsip kerja kompor berbahan bakar biji jarak pagar tersebut
menggunakan prinsip gasifikasi, yaitu pembakaran biomassa pada kondisi
sedikit oksigen. Gasifikasi biomassa merupakan proses konversi termo-kimia
biomassa padat menjadi gas.
Rajvanshi & Joshi (1989) dalam Hastono, (2014) mendefinisikan
gasifikasi biomassa sebagai pembakaran biomassa tidak selesai yang
menghasilkan gas bakar yang terdiri atas karbon monoksida (CO), hidrogen
(H2), dan sedikit metana (CH4). Proses gasifikasi pada dasarnya merupakan
proses pirolisa pada suhu sekitar 150–900°C, diikuti oleh proses oksidasi gas
hasil pirolisa pada suhu 900–1400°C, serta proses reduksi pada suhu 600–900°C
(Abdullah et al. 1998 dalam Hastono, 2014). Proses gasifikasi yang terjadi
berjalan sangat cepat, sehingga diperoleh efisiensi dalam pembakaran.
Hasil yang didapatkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Hastono dengan judul “Potensi dan Peluang Biji Jarak Pagar untuk Substitusi
Bahan Bakar Kompor Masak Skala Rumah Tangga di Pedesaan”. Diperoleh
bahwa penggunaan biji jarak pagar sebagai bahan bakar masih jauh lebih efisien
dibandingkan dengan minyak tanah. Sementara terdapat selisih harga yang
cukup jauh, dimana lebih murah biji jarak pagar dibandingkan minyak tanah.
Seperti yang ditunjukkan tabel berikut
Job Description
Nama Tugas
Ikhwan Arbi Kurniawan Peraturan dan pewawancara
Alvianni Nur Mahmuda Konsep dan pewawancara
Fadilah Ardiyanti Permasalahan dan pewawancara
Vianka Restie Anjani Penyelesaian dan pewawancara
Dwiki Chandra Kurnia Sandi Teknologi dan pewawancara
DAFTAR PUSTAKA

Fransiska R. Korompis, 2005, Pemberdayaan Sektor Informal : Studi Tentang


Pengelolaan Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya Terhadap
Penerimaan PAD di Kota Manado, Manado

Hastono, A.D . 2014. Potensi dan Peluang Biji Jarak Pagar untuk Substitusi Bahan
Bakar Kompor Masak Skala Rumah Tangga di Pedesaan. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:50−58 ISSN: 2085-6717
Purwantoro.D, Lutjito, dan Suparman. 2012. PEMBUATAN PENGOLAH AIR KOTOR
MENJADI AIR BERSIH PADA DAERAH BANJIR DI DUSUN KALIDENGEN II
TEMON KULON PROGO. Inotek, Volume 16, Nomor 2, Agustus 2012
Kristanto, P. 2013. Ekologi Industri. Edisi Kedua.Andi.Yogyakarta.

UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil Pasal 1 Ayat (2)

Unterman, Richard, 1984. The Pedestrian and The Bysiclist

Anda mungkin juga menyukai