Disusun oleh :
Alvianni Nur Mahmuda 14/365752/GE/07833
Dwiki Chandra Kurnia Sandi 14/365319/GE/07819
Fadilah Ardiyanti 14/369390/GE/07924
Ikhwan Arbi Kurniawan 14/365873/GE/07841
Vianka Restie Anjani 14/365331/GE/07829
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Suratman, M.Sc.
Peraturan yang berkaitan dengan pejalan kaki, trotoar, dan pedagang kaki
lima yang berjualan di trotoar terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Pemerintah No.
34 Tahun 2006 tentang Jalan (PP Jalan). UU LLAJ diberlakukan untuk lalu lintas
dan angkutan jalan yang merupakan bagian dari sistem trasportasi untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.
Berdasarkan UU LLAJ pasal 45 ayat 1, trotoar merupakan fasilitas
pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di antara fasilitas lainnya
seperti lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan fasilitas khusus
bagi penyandang cacat dan usia lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa di tiap jalan
terdapat fasilitas trotoar yang dipergunakan untuk pejalan kaki.
Pasal 131 ayat 1 UU LLAJ menyebutkan bahwa trotoar merupakan hak
pejalan kaki, bukan untuk pribadi. Lebih lanjut dalam pasal 25 ayat 1 huruf g UU
LLAJ menyebutkan bahwa lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan
jalan yaitu berupa fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat. Hal
ini menunjukkan bahwa trotoar termasuk bagian dari perlengkapan jalan yang
digunakan untuk pejalan kaki. Masih berkaitan dengan trotoar, pada pasal 28 ayat 2
UU LLAJ, menyebutkan bahwa dilarang untuk melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan kerusakan atau menganggu fungsi perlengkapan jalan.
Pasal 274 ayat 1 UU LLAJ mengatur mengenai sanksi bagi siapa saja yang
melakukan kerusakan atau gangguan fungsi jalan akan dipidana penjara paling lama
1 tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275 ayat 1 UU LLAJ juga mengatur mengenai sanksi bagi siapa saja yang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu
Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan
alat pengaman Pengguna Jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Berdasarkan PP No 34 tahun 2006 pasal 34 ayat 4 dipertegas bahwa trotoar
hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa
peraturan mengenai trotoar untuk pejalan kaki sangat diperhatikan. Hal ini juga
menjadi dasar bahwa trotoar tidak bias diselewengkan kegunaannya secara pribadi
dang digunakan berjualan seperti yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima.
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah jenis usaha kecil yang begerak pada
sektor perdagangan informal yang menempati kaki lima (trotoar/pedestrian) yang
keberadaannya tidak merubah atau merusak fungsi trotoar. Kelompok PKL
merupakan bagi dari aset pembangunan nasional yang bersifat kerakyatan, yang
mempunyai peranan daan potensi dalam mewujudkan pembangunan ekonomi
nasional. (Frasnsiska, 2005:2).
Pedagang Kaki Lima merupakan salahsatu alternatif penunjang kehidupan
oleh sebagian masyarakat karena untuk menjalankan usaha kaki lima tidak
memerlukan pendidikan yang tinggi. Anggapan seperti ini yang berdampak pada
bermunculannya kelompok-kelompok PKL lainnya. Kemunculan kelompok-
kelompok PKL yang marak ini memiliki potensi untuk menciptakan dan
memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang berpendidikan rendah
yang tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya pada lapangan pekerjaan
sektor formal. PKL menurut penjelasan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Kecil Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa:
Usaha kecil (termasuk PKL) merupakan usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
usaha kecil sebagaimana yang dimaksud dalam undang – undang.
Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan
demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Berdasarkan pengertian Pedagang Kaki Lima diatas, keberadaan PKL
umumnya di pinggir jalan atau trotoar. Idealnya letak warung makan dari
badan jalan adalah berjarak 15m, karena mempertimbangkan kondisi
makanan yang terkontaminasi oleh polutan dari kendaraan bermotor yang
berlalu lalang. Selain itu trotoar di pinggir jalan sebagaimana fungsinya
adalah untuk berlalu lalang pejalan kaki. Berdasarkan fungsi dan posisinya,
terdapat beberapa jenis jalur pejalan kaki, yaitu:
a. Trotoar, yaitu bagian dari jalan raya, namun terpisah dari badan jalan.
Biasanya terletak di pinggir badan jalan dan merupakan berfungsi sebagai
jalur untuk pejalan kaki berjalan.
b. Jalan Setapak merupakan jalur untuk pejalan kaki yang lebarnya hanya
muat untuk satu pejalan kaki saja.
c. Penyeberangan, digunakan untuk pejalan kaki menyeberang jalan.
d. Mall dan plaza, adalah suatu jalur yang berada di depan mall atau plaza,
biasanya berupa pedestarian yang berfungsi sebagai tempat rekreatif
selain sebagai jalur pejalan kaki.
Ruang trotoar yang sering dijadikan tempat berjualan bagi pedagang kaki
lima (PKL) tentu saja mengakibatkan terganggunya kenyamanan fasilitas
publik yang diakses oleh pejalan kaki. Sebagaimana menurut Unterman
(1984), unsur-unsur yang mempengaruhi kenyamanan (comfort) pada suatu
pedestrian salah satunya adalah Aksesibilitas berupa kemudahan yang dapat
dicapai oleh orang terhadap suatu tempat ataupun lingkungan. Namun dengan
adanya PKL di trotoar mengakibatkan para pejalan kaki harus masuk ke
badan jalan untuk berjalan kaki. Hal ini akan membahayakan pejalan kaki
dan berpotensi terjadi kecelakaan lalu lintas.
Penggunaan ruang publik oleh PKL tersebut seharusnya dapat
ditertibkan, salah satunya adalah dengan kebijakan relokasi. Dalam rangka
untuk menentukan lokasi baru bagi PKL, maka perlu dilakukan identifikasi
karakteristik PKL, karena perilaku setiap PKL berbeda-beda. Lokasi baru
yang diharapkan dari PKL itu sendiri tentunya yang bersifat menguntungkan
bagi PKL dan tidak menurunkan pendapatan mereka. PKL juga
mempertimbangkan target konsumen, sehingga lokasi berjualan seringkali
berada di pusat kota atau sekitar kampus, karena lokasi ini dianggap strategis
dan mudah dijangkau.
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis
(Kristanto, 2013). Limbah yang ditinggalkan setelah berjualan akan
mengakibatkan bau dan genangan air pada trotoar sehingga mengganggu
kenyamanan pejalan kaki pada pagi harinya. Seperti yang telah diusebutkan
oleh Unterman (1984), salah satu unsur kenyamanan penggunaan trotoar
adalah aksesibilitas. Kenyamanan yang dimaksud adalah tidak terganggunya
pejalan kaki saat melewati trotoar tersebut. Hal yang sering mengganggu
pejalan kaki adalah limbah yang bersifat bau dan limbah cair yang
menggenang sehingga mengganggu akses trotoar.
Kantor
Pusat
UGM
GSP UGM
Gambar 7 Tembok kampus UGM yang kotor akibat sisa minyak penggorengan
(Sumber: Hasil lapangan 2017)
Gambar 8 Sampah yang berserakan di atas trotoar
(Sumber: Hasil lapangan 2017)
16%
34%
50%
9%
91%
Ya Tidak
Hastono, A.D . 2014. Potensi dan Peluang Biji Jarak Pagar untuk Substitusi Bahan
Bakar Kompor Masak Skala Rumah Tangga di Pedesaan. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:50−58 ISSN: 2085-6717
Purwantoro.D, Lutjito, dan Suparman. 2012. PEMBUATAN PENGOLAH AIR KOTOR
MENJADI AIR BERSIH PADA DAERAH BANJIR DI DUSUN KALIDENGEN II
TEMON KULON PROGO. Inotek, Volume 16, Nomor 2, Agustus 2012
Kristanto, P. 2013. Ekologi Industri. Edisi Kedua.Andi.Yogyakarta.