Anda di halaman 1dari 23

INTEGRASI TATA GUNA LAHAN DAN SISTEM TRANSPORTASI

BERKELANJUTAN
STUDI KASUS DI WILAYAH DKI JAKARTA

Oleh :
Fitria Juniarti Prihardini, S.Pi
24014014

MATA KULIAH TOPIK KHUSUS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS SAPPK
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Perkembangan wilayah dan kota ditandai dengan semakin tingginya penglaju


(commuter) yang melakukan perjalan antara kota induk dengan kota sekitarnya maupun
antar kawasan di dalam kota tersebut. Aktivitas penduduk dari dalam maupun dari luar kota
secara otomatis meningkatkan jumlah pergerakan orang maupun barang antar lokasi. Pada
daerah perkotaan, program transportasi biasanya berhubungan erat dengan rencana
pengembangan daerah, khususnya dengan penentuan letak permukiman penduduk yang
berkaitan pula dengan tempat kerja, tempat belanja, dan tempat hiburan (Morlok, 1984).
Sistem transportasi memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung
pergerakan masyarakat tersebut. Tanpa adanya sistem transportasi yang memadai dengan
baik maka pergerakan yang terjadi tidak dapat berjalan dengan lancar dan kota akan
berkembang dengan kondisi yang tidak teratur. Diperlukan suatu perencanaan secara
komprehensif dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam suatu sistem transportasi
agar sistem yang direncanakan dapat berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya.
Namun meskipun telah direncanakan dengan baik masih ada beberapa kendala yang dapat
mengganggu lancarnya sistem transportasi yang ada.
Sistem transportasi yang ada dalam perkembangan suatu kota sering kali dihadapkan
pada permasalahan yang kompleks dan adanya kebutuhan (demand) yang tidak sesuai
dengan penyediaan (supply) yang diberikan. Pertumbuhan ekonomi juga menyebabkan
mobilitas seseorang meningkat sehingga kebutuhan pergerakannya pun meningkat melebihi
kapasitas sistem prasarana transportasi yang ada.
Permasalahan sistem transportasi di Negara berkembang secara umum adalah
sumber pendanaan sulit didapat, kapasitas angkutan umum relatif kecil, integrasi jaringan
jalan masih rendah, integrasi antar moda transportasi tidak berjalan, kecepatan perjalanan
angkutan relatif rendah dan kondisi fisik badan jalan rusak (Gakenhaimers dan Zegras,
2006).
Permasalahan transportasi di DKI Jakarta adalah kemacetan lalu lintas. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang terus meningkat, jumlah
kendaraan bermotor yang bertambah melebihi kapasitas jalan, dan perilaku masyarakat yang
masih mengabaikan peraturan berlalu lintas di jalan raya. Berbagai dampak yang terjadi
akibat adanya kemacetan adalah peningkatan pencemaran udara, peningkatan kebisingan
dan peningkatan kecelakaan lalu lintas. Menurut Bridget and Linsey (2004), semakin
padatnya suatu kawasan kota, maka kecepatan semakin rendah dan konsumsi BBM semakin
tinggi. Kemacetan menyebabkan waktu perjalan semakin lama dan biaya perjalanan semakin
tinggi.
Penangan permasalahan sistem transportasi oleh Pemerintah masih bersifat sesaat
dan parsial, sehingga penanganan sistem transportasi yang sudah dilakukan hanya
membantu hanya untuk sementara dan memindahkan permasalahan ketempat lain. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu pengelolaan sistem transportasi yang teritegrasi, strategis, dan
berkelanjutan dalam memecahkan permasalahan transportasi serta memperhatikan tata
guna lahan di wilayah DKI Jakarta
1.2.

Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami interaksi tata guna lahan dengan transpotasi,
2. Mengetahui dan memahami konsep sistem transportasi berkelanjutan
3. Mengetahui penerapan sistem transportasi di DKI Jakarta .

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Interaksi Tata Guna Lahan dan Transportasi
Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya
dianggap membentuk satu land-use transport system. Agar tata guna lahan dapat terwujud
dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem
transportasi yang tidak baik tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya.
Sebaliknya, transportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia - sia,
tidak termanfaatkan.
Dengan sistem transportasi atau perhubungan yang baik akan mampu
mengendalikan pergerakan manusia dan atau barang secara lancar, aman, cepat, murah dan
nyaman. Sistem transportasi melayani berbagai aktivitas, seperti industri, pariwisata,
perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain. Aktivitas tersebut dilakukan pada
sebidang lahan (industri, sawah, tambang, perkotaan, daerah pariwisata dan lain
sebagainya). Dalam pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan perjalanan antara tata guna
tanah tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi sehingga menghasilkan
pergerakan arus lalu lintas.
Pada hakekatnya, kegiatan transportasi merupakan penghubung 2 lokasi tata guna
lahan yang mungkin berbeda tetapi mungkin pula sama. Mengangkut orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain berarti memindahkan dari satu guna lahan ke guna lahan yang
lain dan mengubah nilai ekonomi orang atau barang tersebut. Pola sebaran geografis tata
guna lahan (sistem kegiatan), kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan)
digabung untuk mendapatkan volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan
pola lalu lintas pada jaringan transportasi akan mempunyai efek timbal balik terhadap lokasi
tata guna lahan yang baru dan perlunya peningkatan prasarana. (Wibawa, 1996)

Tata Guna
Lahan

Dampak Lingkungan dan Penggunaan Energi

Sistem
Kegiatan

Sistem
Jaringan

Sistem
Pergerakan

Sistem
Kelembagaan

Gambar 1. Pendekatan transportasi dengan tata guna lahan, lingkungan dan energi
Diagram di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Perubahan/peningkatan guna lahan akan membangkitkan perjalanan;
b. Meningkatnya guna lahan akan meningkatkan tingkat permintaan pergerakan yang
akhirnya memerlukan penyediaan prasarana transportasi;
c. Pengadaan prasarana transportasi akan meningkatkan daya hubung parsial Naiknya
daya hubung akan meningkatkan harga/nilai lahan;

1. Pendekatan Sistem
Untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah transportasi yang berkaitan dengan
aspek tata guna tanah dan pembangunan berkelanjutan secara tepat dan efisien, maka
terlebih dulu harus dipahami mengenai sistem transportasi secara menyeluruh (makro),
peran tata guna lahan terhadap timbulnya permasalahan serta dampak permasalahan
terhadap lingkungan. Sistem ini mencakup beberapa sub sistem mikro yang berkaitan.
Sub sistem kegiatan merupakan sistem kegiatan tertentu yang membangkitkan
pergerakan (traffic generation) dan dapat menarik pergerakan (traffiic attraction). Sistem ini
berkaitan erat dengan pengaturan pola tata guna lahan sebagai suatu unsur penting
pembentuk pola kegiatan dalam kota atau daerah. Sistem tersebut dapat merupakan
suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use) seperti
kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini
membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap
hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan
yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan dengan jenis/tipe dan intensitas kegiatan yang
dilakukan.
Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan / atau barang
membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi
tersebut dapat bergerak. Prasarana yang diperlukan merupakan sistem mikro kedua yang
biasa dikenal sebagai sistem jaringan, meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal
bus, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut.
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu
pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau
orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan
sesuai dengan lingkungannya akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu
sistem rekayasa dan manajemen lalu-lintas yang baik.
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar biasanya ditimbulkan
karena kebutuhan transportasi lebih besar dibandingkan prasarana transportasi yang tersedia
atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan
mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada sistem
pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem
kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut.
Dari ketiga sub sistem tersebut, masih diperlukan sistem kelembagaan. Sistem ini
terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam
masing-masing sistem mikro. Di Indonesia sistem kelembagaan yang berkaitan dengan
transportasi adalah :
a. Sistem kegiatan: Bappenas, Bangdes, Pemda.
b. Sistem Jarigan : Dep. Perhubungan, Bina Marga.
c. Sistem Pergerakan : DLLAJR, Organda, Polantas.
Seluruh kebijaksanaan yang diambil oleh masing-masing kelembagaan harus terkait
dan terkoordinasi dengan baik dan tentunya dapat dilaksanaakan dengan melalui penegakan
peraturan (low inforcement) secara baik pula. Secara umum dapat Disebutkan, bahwa
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat harus ikut berperan dalam mengatasi masalah
transportasi, karena hal ini merupakan masalah bersama yang memerlukan penanganan dan
keterlibatan semua pihak.
Selain semua sistem di atas, terdapat suatu aspek yang selalu harus diperhatikan
dan dipertimbangkan dalam menentukan policy masalah transportasi. Aspek tersebut adalah
dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap lingkungan serta efisiensi dalam
penggunaan energi sebagai pendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan.

2. Pendekatan Sistem Kegiatan


Transportasi selalu dikaitan dengan tujuan dari kegiatan perpindahan tersebut,
misalnya perjalanan dari rumah ke tempat kerja, ke pasar, ke tempat rekreasi atau untuk
mengangkut barang dari lokasi industri ke pelabuhan, toko, dsb. Makin jauh lokasi satu
dengan lokasi lain, maka semakin panjang pula trasportasi yang harus dilakukan. Sebaliknya,
makin dekat lokasi satu kegiatan dengan kegiatan lain, makin pendek pula transportasi yang
harus dilakukan.
Pendekatan terhadap sistem kegiatan ini sebenarnya sangat banyak macam dan
faktornya, namun pada pembahasan ini ditekankan pada aspek pola tata guna tanah dalam
suatu kota. Dengan konsep di atas, maka transportasi penduduk dapat diperpendek melalui
suatu penataan tata guna lahan yang memungkinkan percampuran, sehingga masyarakat
tidak harus melakukan perjalanan jarak jauh untuk berbagai maksud dan tujuan seperti
bekerja, belajar, belanja, rekreasi, dan sebaginya.
Hal ini dimungkinkan dengan pembangunan unit permukiman yang tidak saja
dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial seperti pendidikan, perbelanjaan, kesehatan,
rekreasi dan sebagainya, tetapi juga berdekatan dengan lokasi tempat kerja (lokasi
perkantoran, industri, dan lain-lain). Konsep ini akan memberikan suatu bentuk unit-unit
permukiman yang mandiri.
Dalam skala kota, unit-unit mandiri tersebut akan menimbulkan kota dengan pusat
majemuk. Kota dengan pusat-pusat yang majemuk ini memungkinkan pengurangan
perjalanan jarak jauh, dimana penghuni unit mandiri telah tercukupi dengan fasilitas sosial
ekonomi dalam jarak jangkauan yang dekat. Kota-kota dengan multi pusat tersebut juga
memungkinkan pelayanan angkutan umum serta pelayanan umum lainnya lebih efisien.
Konsep-konsep ini sebenarnya telah diterapkan dalam perencanaan kota-kota di Indonesia
yang tertuang dalam bentuk RTRW, RUTRK, RDTRK, RTRK dan lain- lain, mulai dari tingkat
SWP,BWK, Blok, sub blok, sampai hirarki pelayanan yang lebih kecil. Perencanaan ini telah
memperhatikan hirarki pelayanan umum yang tentunya dengan memperhatikan faktor
kegiatan pergerakan penduduknya secara minimal pula.
Salah satu kota yang menggambarkan keadaan di atas, adalah DKI Jakarta. Peran
kota-kota di luar Jakarta (Botabek) sangat menentukan kondisi transportasi di Jakarta
karena akan adanya arus yang sangat besar dari wilayah-wilayah itu ke pusat kota Jakarta.
Pusat kota (Central Bussines District) akan menjadi tempat yang kurang tidak nyaman lagi
untuk tempat tinggal karena faktor mahal, bising dan lain-lain, sehingga banyak penduduk
yang tinggal luar kota (sub urban) dan menjadi commuter .
Banyaknya penduduk yang berperilaku seperti ini (commuter) di Jakarta,
mengakibatkan beban arus lalu-lintas jalan raya sebagai alternatif utama (disamping
kereta api yang jumlahnya relatif kecil) menjadi sangat padat dan panjang. Sebenarnya
secara teoritis hal ini bisa dikurangi bila implementation rencana-rencana kota yang
telah ada dapat dilaksanakan dengan baik, namun hal ini memang tidak bisa dipungkiri
bahwa kondisi kota yang ada memang telah rumit sehingga rencana-rencana kota
tersebut seringkali terbentur pada permasalahan sosial, budaya, low inforcement,
pendanaan dan lain-lain.
Kebijaksanaan
yang
diambil
pada
prinsipnya
harus mengacu pada
pengurangan jarak pergerakan penduduk baik ke tempat kerja maupun dalam
pemenuhuan kebutuhan hidupnya. Kebijaksanaan ini dapat berupa pengembangan
kota-kota satelit sebagai kota yang benar- benar mandiri (tidak bergantung pada
Jakarta) yang dilengkapi hunian dengan berbagai sarana dan fasilitas bagi
penduduknya serta mampu menyediakan lapangan dan tempat kerja bagi penduduknya.
Konsep ini memang telah cukup baik, namun dalam implementation masih banyak
kekurangan karena pusat-pusat pertumbuhan baru seperti ini masih terpaku penyediaan
sarana tempat tinggal serta penyediaan fasilitas yang lengkap tanpa memperhatikan
penyediaan lapangan kerja bagi para penghuninya. Hal ini tentunya menjadikan kotakota satelit ini hanya sebagai tempat tinggal para pekerja di Central Bussiness Dictrict di
Jakarta. Kondisi ini menjadikan sebagian besar kota-kota (disebut) mandiri ternyata masih
memberikan kontribusi yang besar terhadap kepadatan lalu-lintas.

Konsep lain yang cukup menarik dalam kaitan dengan sistem kegiatan ini adalah
intensification dan mix use planning dalam penggunaan lahan seperti konsep superblock,
redevelopment, urban renewal dan lain-lain. Konsep
pembangunan
yang
terpadu
antara hunian, tempat bekerja, fasilitas kebutuhan skala lokal ini bila dapat diterapkan
dengan baik juga akan mampu mengurangi jumlah pergerakan penduduk, karena untuk
kegiatan-kegiatan dalam skala kebutuhan lokal akan dapat di penuhi di lokasi setempat.
Konsep ini diarahkan untuk dapat mengurangi arus pergerakan penduduk keluar dari
blok. Namun dalam implementation banyak kendala dan fungsi yang tidak dapat bekerja
seperti yang diharapkan. Banyak superblok tersebut hanya menyediakan sarana hunian
untuk kelas atas atau (middle up) sehingga penduduk yang berpenghasilan rendah dan
bekerja di lokasi tersebut tidak mampu menjangkau. Selain itu karena konsep ini masih
bersifat partial, maka fasilitas-fasilitas yang seharusnya hanya diarahkan untuk penduduk
setempat ternyata mempunyai power attraction yang kuat bagi penduduk sekitanya. Hal ini
tentunya menjadikan pergerakan antar atau keluar masuk ke blok tersebut menjadi sangat
besar dan padat dan tidak sesuai dengan konsep awalnya.
Pengaturan tata guna lahan di Jakarta ini memang menjadi suatu permasalahan
yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang
sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula.
Sebagai contoh adalah kasus di Kuningan, pada awalnya wilayah ini diarahkan untuk
pengembangan kawasan campuran, dengan sebagiab untuk permukiman klas atas yang
disediakan untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang kawasan ini tumbuh
menjadi kawasan perkantoran kelas satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi
karena lokasi yang sangat strategis dibandingkan lokasi lain. Dari aspek accessibilty
kawasan ini mudah dicapai dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup baik.
Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam-jam sibuk. Dengan kondisi ini maka
kebijaksanaan tata guna lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep
superblock system dan high rise building. Sebagai dampaknya kebutuhan transportasi
meningkat pesat sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya kemacetan dan
kepadatan lalu lintas tidak dapat dihindarkan. Dengan luas area 325 ha dan lebih dari
setengan juta pekerja, maka kawasan ini sangat memerlukan alat dan sarana transportasi
baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan penggunaan lahan belum didukung dengan
kebijaksanaan pengembangan transportasi.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kebijaksanaan tata guna lahan yang baik
belum tentu dapat mendukung pemecahan masalah transportasi, karena masih ditentukan
oleh implementasi-nya yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dianggap lebih
penting dan mendesak dari penataan guna lahan itu sendiri. Selain itu, pemecahan tata guna
lahan ini sebenarnya bersifat preventive dalam mencegah kemacetan atau kepadatan lalu
lintas. Pemecahan masalah transportasi melalui penataan ini memerlukan jangka waktu yang
lama dan melibatkan peran serta aktif masyarakat luas, sehingga tidak dapat secara
langsung mengatasi persoalan kemacetan atau kepadatan yang telah terjadi.
Konsep dalam sistem kegiatan ini sebenarnya bukan hanya terbatas pada
konsep kedekatan pergerakan melalui pengaturan tata guna lahan saja, namun dapat
pula dikembangkan melalui penggunaan kemajuan sistem teknologi yang mampu
mengurangi kebutuhan pergerakan manusia seperti alat-alat telekomunikasi atau internet
yang memungkinkan sesorang berbelanja hanya dari rumah atau pengiriman uang atau
pelayanan banking tanpa harus datang ke kantornya. Dengan konsep ini maka kebutuhan
dari manusia juga akan berkurang, sehingga kepadatan lalu lintas juga dapat dikurangi
(Wibawa, 1996).
3. Pendekatan Sistem Jaringan
Pendekatan sistem jaringan merupakan pendekatan yang hanya berorientasi pada
pembangunan jaringan jalan (supply side) tidak mungkin memecahkan masalah transportasi
yang ada. Strategi pengembangan suatu bagian wilayah kota dengan mengadopsi
secara langsung konsep pusat pertumbuhan hampir selalu didapatkan pada dokumendokumen perencanaan kota di Indonesia, baik itu RUTR Kota RTDR suatu bagian atau

wilayah kotaserta dokumen lainnya. Untuk maksud pemerataan perkembangan perkotaan,


pengembangan sub-pusat kegiatan kota sering dilakukan dengan memberikan program
peningkatan aksesbilitas antar kawasan pusat kota dengan sub-pusatnya. Alternatif program
peningkatan yang banyak diterapkan pada kota- kota di Indonesia (termasuk Jakarta) lebih
dipilih pengembangan jaringan jalan raya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan murah
(perbatasan biaya) mudah (penguasaan teknologi konstruksi) dan cepat (penyelesaian
konstruksi) dibandingkan dengan pengembangan jalan baja atau rel. J. Michael Thompson
mengistilahkan pendekatan tersebut sebagai low cost strategy.
Di Indonesia (Jakarta) strategi seperti ini perlu dipertimbangkan lagi karena strategi
seperti ini justru sudah mulai dirasakan banyak menimbulkan sisi negatif. Jaringan jalan
merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya rangsang tertinggi terhadap
tumbuhnya kegiatan lain di sekitarnya dibandingkan jalan baja atau rel kereta api.
Peningkatan aksesbilitas yang sebelumnya dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan
di sekitar sub-pusat seringkali tidak optimal. Perkembangan yang ada justru terjadi pada
sekitar jaringan jalan tersebut, selanjutnya dapat diduga bahwa pada ruas jalan tersebut
akan muncul masalah transportasi serta masalah-masalah penggunaan lahan.
Dampak lain sebagai akibat pengembangan sub-pusat kegiatan perkotaan dengan
strategi peningkatan aksesbilitas jalan raya seringkali mengabaikan aspek jarak. Penempatan
sub-pusat kegiatan yang terlalu dekat dengan pusat utama dengan mengabaikan faktor
pertumbuhan kegiatan yang pesat, pada akhirnya justru menjadikan kawasan kota menjadi
semakin besar tanpa diimbangi oleh adanya pengembangan prasarana transportasi yang
memadai. Keadaan selanjutnya adalah inefisiensi dalam pertumbuhan kota yang
menimbulkan masalah serta dampak ikutan lainnya seperti kebisingan, kelestarian
lingkungan perkotaan, aspek estetika kota, peningkatan budaya dan masalah lainnya.
Strategi pengembangan sistem transportasi di Jakarta dengan memberikan titik berat
terhadap pengembangan transportasi jalan raya mungkin merupakan strategi yang dapat
dikatakan tergesa-gesa atau masih terlalu dini. Barangkali yang menjadi pertimbangan utama
adalah semakin mendesaknya kebutuhan layanan angkutan, mengingat captive demand
memang tinggi serta adanya gejala yang membudaya pada sebagian masyarakat yang
mengarah pada penggunaan angkutan jalan raya. Pengembangan alternaif sarana
transportasi lain khususnya jalan baja atau rel justru seolah-olah dianaktirikan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditutupnya jalan kereta api khususnya di wilayah perkotaan yang
berdasarkan sejarahnya memiliki sarana angkutan kereta api seperti Jakarta, Bandung,
Cirebon, Semarang, Surabaya dan lain-lain.
Strategi pengembangan transportasi di beberapa kota di luar negeri justru
memperlihatkan strategi yang berimbang terhadap berbagai jenis moda angkutan umum,
khususnya pengembangan angkutan jalan baja atau rel. Hal terpenting yang terjadi di
Jakarta adalah hubungan antar pusat kegiatan dan antara pusat kegiatan dengan subpusat lainnya serta kawasan pemukiman tidak dititikberatkan pada angkutan kereta api.
Hubungan antar kota-kota satelit atau mandiri dilakukan dengan jalur rel kereta api
sedangkan untuk pergerakan internal dapat menggunakan pergerakan jalan raya dengan
beberapa konsep pendukung seperti konsep terminal terpadu dimana beberapa bentuk
sistem jaringan mempunyai terminal yang terpadu dalan suatu atap, sehingga perpindangan
penumpang dapat lebih mudah dan cepat. Kunci utama dari strategi ini adalah pemanfaatan
angkutan kereta api baik jaringan bawah tanah (subway) maupun melayang diatas tanah
(elevated). Sistem bawah tanah diterapkan pada pusat- pusat kota dengan harga tanah yang
sudah sangat tinggi, biaya konstruksi untuk subway ini dapat dianggap layak bila sama
dengan harga tanah yang harus dibebaskan untuk jalur di atas tanah. Untuk daerahdaerah di luar CBD, alternatif kereta layang atau di atas permukaan tanah masih dinilai
lebih layak bila dikaitkan dengan harga lahannya.
Pertimbangan utama mengacu pada sifat dari angkutan jalan baja yang relatif tidak
merangsang pertumbuhan lain di sekitarnya. Melalui strategi ini pengembangan kota
dapat diarahkan serta pola pergerakan yang terjadi dapat dilayani angkutan kereta api.
Arahan pengembangan di Jakarta lebih ditekankan pada pembangunan jaringan jalan
raya (tol) yang sebenarnya dari analisis yang telah dilakukan di atas tidak akan mampu

mengikuti perkembangan kebutuhan sarana transportasi bila tidak didukung dengan sistem
jaringan yang lain, terutama jaringan kereta api.
4. Pendekatan Sistem Pergerakan
Pendekatan sistem pergerakan berupa peningkatan angkutan yang bersifat masal
harus lebih intensive dan nyaman. Salah satu alternatif terbaik untuk menjawab
permasalahan ini adalah dengan penggunaan jalur transportasi kereta api, karena sistem
angkutan ini dinilai mempunyai beberapa kelebihan terutama dalam jumlah pengangkutan.
Seperti dibuktikan kereta api Jabotabek, satu rangkaian dengan empat buah gerbong bisa
mengangkut sekitar 1.250 penumpang dalam waktu sekitar satu jam antara Bogor-Jakarta.
Jika jumlah penumpang ini diangkut dengan bus yang berkapasitas 75 orang (termasuk
berdiri) maka akan dibutuhkan sekitar 17 buah bus dengan waktu perjalanan dua kali lipat.
Dengan melihat ilustrasi ini maka jenis angkutan darat lainnya tak akan menandingi
keandalan kereta api.
2.2. Konsep Transportasi Berkelanjutan
Sistem transportasi berkelanjutan lebih mudah terwujud pada sistem transportasi
yang berbasis pada penggunaan angkutan umum dibandingkan dengan sistem yang
berbasis pada penggunaan kendaraan pribadi. Sistem transportasi berkelanjutan merupakan
tatanan baru sistem transportasi di era globalisasi saat ini. Persoalan transportasi menjadi
persoalan yang memerlukan perhatian dan kajian dari berbagai perespektif ilmu (Schipper,
2002:11 -25 dalam Aminah).
Pada awal penyelenggara pemerintahan mau menerapkan sistem transportasi
berkelanjutan (sustainable transportation). Sebetulnya apakah sistem transportasi yang
berkelanjutan itu? Jika kita merujuk pada beberapa literatur yang ada, sistem transportasi
yang berkelanjutan adalah suatu sistem transportasi yang dapat mengakomodasikan
aksesibilitas semaksi mal mungkin dengan dampak negatif yang seminimal mungkin.
Sistem transportasi yang berkelanjutan menyangkut tiga komponen penting, yaitu
aksesibilitas, kesetaraan dan dampak lingkungan. Aksesibilitas diupayakan dengan
perencanaaan jaringan transportasi dan keragaman alat angkutan dengan tingkat integrasi
yang tinggi antara satu sama lain. Aksesibilitas transportasi menjadi penting seiring dengan
meningkatnya peradaban umat manusia. Kesetaraan diupayakan melalui penyelenggaraan
transportasi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, menjunjung tinggi persaingan
bisnis yang sehat, dan pembagian penggunaan ruang dan pemanfaatan infrastruktur secara
adil serta transparansi dalam setiap peng ambilan kebijakan. Pengurangan dampak negatif
diupayakan melalui penggunaan energi ramah lingkungan, alat angkut yang paling sedikit
menimbulkan polusi dan perencanaan ya ng memprioritaskan keselamatan. Memperhatikan
kondisi makro yang ada terutama pengaruh iklim globalisasi menempatkan persoalan transportasi menjadi layanan kebutuhan atau aksesi -bilitas yang harus disediakan oleh Negara.
Menurut (Mineta Transportation Institute, 2003 dalam Herman, 2011), suatu sistem
transportasi berkelanjutan harus mencakup: (1) terpenuhinya kebutuhan kemudahan
mendasar setiap individu secara aman dan mendukung kesehatan manusia dan
ekosistem serta memenuhi rasa keadilan bagi generasi saat ini dan generasi berikutnya,
(2) tersedianya operasi transportasi yang efisien dan pilihan moda transportasi yang
mendukung perubahan ekonomi, dan (3) pembatasan emisi dan limbah sehingga mampu
diserap oleh alam, penggunaan minimal sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
serta penggunaan ulang dan daur-ulang komponen-komponennya, penggunaan lahan yang
efektif, serta pengurangan kebisingan.
Mengapa diperlukan suatu sistem transportasi berkelanjutan? Menurut (Mineta
Transportation Institute, 2003 dalam Herman, 2011) konsep transportasi sering hanya
diartikan sebagai infrastructure grid yang diarahkan untuk mendukung berbagai program
pengembangan dan sering dirancang secara terisolasi dari elemen-elemen kebijakan lainnya.
Padahal perencanaan transportasi ini sangat terkait dengan perencanaan-perencanaan lain,
termasuk perencanaan tata guna lahan dan permukiman. Secara detail perbedaan antara

perencanaan transportasi yang bersifat konvensional dan perencanaan transportasi yang


berkelanjutan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Perencanaan
Transportasi Berkelanjutan
No.
Aspek
1. Transportasi

2.

Tujuan

3.

Keterlibatan
Masyarakat

4.

Biaya fasilitas

5.

Biaya Pengguna

6.

Biaya Eksternal

7.

Kepemilikan

8.

Permintaan
Perjalanan

9.

Bangkitan
Lalulintas/
Bangkitan
Perjalanan

Transportasi

Konvensional

Perencanaan Konvensional
Definisi dan ukuran transportasi
terutama
dalam bentuk perjalanan
kendaraan.
Memaksimumkan
kapasitas jalan dan parkir
terhadap permintaan
lalulintas prediksi.
Rentang keterlibatan
masyarakat dari kadangkadang hingga cukup.
Masyarakat dilibatkan untuk
mengomentari pada halhal tertentu dalam proses
perencanaan.
Mempertimbangkan biaya
untuk agen atau tingkatan
pemerintah tertentu.

dan

Perencanaan

Perencanaan Berkelanjutan
Definisi dan ukuran
transportasi dalam
bentuk aksesibilitas .
Menggunakan analisis
ekonomi untuk menentukan
kebijakan dan investasi
optimal.
Rentang keterlibatan
masyarakat dari cukup
hingga tinggi.
Masyarakat terlibat pada
banyak hal dalam
proses perencanaan.

Mempertimbangkan seluruh
biaya fasilitas, meliputi biaya
untuk tingkat pemerintah
lainnya dan biaya untuk
bisnis (seperti parkir).
Mempertimbangkan waktu
Mempertimbangkan waktu
pengguna, biaya operasi
pengguna, biaya operasi
kendaraan , dan tarif atau tol
kendaraan, dan biaya
kepemilikan, tarif, atau tol
Mungkin mempertimbangkan
Mempertimbangkan biaya
biaya polusi udara lokal
polusi udara lokal dan global,
kemacetan, kerusakan
kecelakaan yang tidak
dikompensasikan, dampak
bagi pengguna jalan lainnya,
dan dampak teridentifikasi
lainnya.
Mempertimbangkan isu-isu
Mempertimbangkan isu-isu
pembatasan kepemilikan.
kepemilikan yang luas.
Ditujukan kepemilikan terutama Kebijakan transportasi yang
oleh transit bersubsidi.
memperbaiki kemudahan
untuk non-pengemudi dan
populasi yang dirugikan.
Definisi permintaan
Definisi permintaan
perjalanan berdasarkan
perjalanan sebagai fungsi,
biaya pengguna eksisting.
berdasarkan pada
bermacam-macam tingkat
biaya pengguna.
Menghindari seluruhnya atau
Melibatkan lalulintas
mungkin mengikutikan umpan bangkitan dalam
balik terbatas dalam
perhitungan pemodelan
pemodelan
dan evaluasi ekonomi

No.

Aspek

Perencanaan Konvensional

10.

Integrasi dengan
Perencanaan
Strategis

Mempertimbangkan
perencanaan tata guna lahan
sebagai suatu masukan
masyarakat terhadap
pemodelan transportasi

11.

Kebijakan Investasi

Berdasarkan mekanisme
pendanaan yang ada yang
mentargetkan uang sebagai
mode

12.

Pentarifan

Fasilitas jalan dan parkir


bebas, atau ditarifkan
untuk pengembalian biaya

13.

Manajemen
Permintaan
Transportasi

Hanya mengunakan
Manajemen Permintaan
Transportasi ketika kapasitas
jalan dan parkir meningkat
dipertimbangkan tidak layak
(contoh kota- kota besar dan
daerah pusat bisnis)

Perencanaan Berkelanjutan
dari kebijakan dan
investasi alternatif.
Keputusan transportasi
individual diseleksi untuk
mendukung visi strategis
masyarakat.
Keputusan transportasi
dikenal sebagai
dampak tata guna lahan
Perencanaan biaya
terendah mengijinkan
sumber daya digunakan
untuk solusi biaya yang
lebih efektif
Fasilitas jalan dan parkir
ditarifkan untuk
pengembalian biaya dan
berdasarkan pada biaya
marjinal untuk mendorong
efisiensi ekonomi
Penerapan Manajemen
Permintaan Transportasi
sebisa mungkin. Perluasan
kapasitas hanya terjadi ketika
Manajemen Permintaan
Transportasi tidak berbiaya
efektif. Mempertimbangkan
rentang yang lebar untuk
strategi Manajemen
Permintaan Transportasi

Sistem transportasi juga merupakan suatu kebutuhan sosial yang mendasar, karena
sistem transportasi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam berbagai cara.
Sebagai contoh, sistem transportasi yang sukses akan mampu memberikan akses kepada
masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan layanan transportasi yang diperlukan,
meningkatkan produktivitas, serta menciptakan investasi bisnis dalam masyarakat atau di
suatu wilayah. Sistem transportasi yang efisien akan meminimumkan penggunaan sumber
daya yang diperlukan untuk melakukan suatu pergerakan dan membantu memelihara
lingkungan yang sehat bagi masyarakat dan ekosistem.
Suatu sistem transportasi juga berkaitan dengan kualitas hidup. Ketika sistem
transportasi menghasilkan pertumbuhan ekonomi, standar hidup masyarakat akan
meningkat pula, walaupun kualitas hidup ini tidak mudah diukur karena sulit untuk
dikuantifikasi (Herman, 2011).
Menurut World Bank (1996) dalam Herman (2011), tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu sistem transportasi keberlanjutan dapat dikelompokkan dalam 3 bidang, yaitu bidang
ekonomi, bidang lingkungan hidup, dan bidang sosial. Dalam bidang ekonomi, tujuan yang
ingin dicapai adalah membuat transportasi lebih efektif dan responsif terus menerus terhadap
perubahan permintaan. Dengan kata lain, kemampuan responsif penyedia transportasi
terhadap kebutuhan pengguna harus selalu ditingkatkan melalui adanya kompetisi dan
partisipasi masyarakat. Di bidang lingkungan, sistem transportasi harus menjamin isu-isu
lingkungan yang diarahkan sebagai suatu bagian integral perumusan kebijakan. Strategi
dan perancangan transportasi. Sedangkan di bidang sosial sistem transportasi harus dapat

mengurangi kemiskinan, sehinggga sistem transportasi harus merupakan bagian integral


strategi transportasi baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Sistem Transportasi berkelanjutan memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan,
social dan ekonomi keberlanjutan masyarakat yang mereka layani. Sistem Transportasi juga
memiliki dampak penting terhadap lingkungan untuk konsumsi energi dunia. Emisi gas
rumah kaca dari polusi udara (CO2) yang dikeluarkan dari kendaraan meningkat lebih cepat
daripada menggunakan energy sector lain. Perencanaan Transpotasi ini bertujuan untuk
meningkatkan mobilitas terutama kendaraan dan mungkin gagal mempertimbangkan
dampak yang lebih luas memadai.(https://aktiviantiaposhi.wordpress.com,2011).
Transportasi berkelanjutan merupakan Tindak lanjut logis dari Pembangunan
berkelanjutan. Dan digunakan untuk menggambarkan jenis transportasi dan sistem
perencanaan Transportasi. Ada banyak definisi Transportasi berkelanjutan terkait dengan
Mobilitas berkelanjutan yaitu :
Memungkinkan akses dasar dan pengembangan kebutuhan individu, perusahaan dan
masyarakat harus dipenuhi dengan aman dan dengan cara yang konsisten dengan
kesehatan manusia dan ekosistem, dan mempromosikan ekuitas dalam dan di antara
generasi berturut-turut
Apakah Terjangkau, mengoperasikan adil dan efisien, menawarkan pilihan moda
transportasi, dan mendukung ekonomi yang kompetitif, serta pembangunan daerah
seimbang.
Batas emisi dan limbah dalam kemampuan bumi ini untuk menyerap polusi,
menggunakan sumber daya terbarukan di bawah tarif, dan menggunakan sumber daya
yang tidak terbarukan pada atau di bawah tingkat perkembangan pengganti terbarukan,
sambil meminimalkan dampak terhadap penggunaan tanah dan kebisingan.
Transpotasi yang berkelanjutan juga memperhatikan aksesibilitas transportasi untuk
mengurangi dampak lingkungan sosial dan mengatur kemacetan lalu lintas. Saat ini 95% dari
energi transportasi berasal dari minyak bumi. Energi dikonsumsi dalam pembuatan serta
penggunaan kendaraan, dan diwujudkan dalam infrastruktur transportasi termasuk jalan,
jembatan dan kereta api. Dampak lingkungan dari transportasi dapat dikurangi dengan
meningkatkan berjalan kaki dan bersepeda lingkungan di kota-kota, dan peningkatan peran
angkutan umum, terutama kereta api listrik.
Transportasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan atau lebih familiar kita sebut
sebagai EST (Environment Sustainable Transport), EST berkaitan dengan pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor dan sumber daya alam (bahan bakar minyak). Seperti kita
ketahui bahwa emisi dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor sangat memberikan
kontribusi pada kerusakan global dan lokal terhadap ekosistem dan kesehatan manusia.
Masalah lain yang berhubungan dengan kendaraan bermotor adalah kecelakaan lalu lintas,
tingkat kebisingan yang tinggi yang membahayakan kesehatan manusia, dan pola
pemanfaatan lahan yang mengganggu habitat, pola migrasi, dan integritas ekosistem. Untuk
itu, adanya proyek transportasi OECD (Organization for Economic co-operation and
Development) dalam EST dilakukan untuk membantu menanggapi kecenderungan ini dan
membuat transportasi yang berkelanjutan.
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yaitu sebuah
organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan dalam EST yang mendefinisikan EST
sebagai salah satu yang tidak membahayakan kesehatan masyarakat atau ekosistem dan
memenuhi kebutuhan untuk akses yang konsisten dengan penggunaan sumber daya
terbarukan dibawah tarif regenerasi dan penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan.
Adapun enam criteria yang diidentifikasi pada tahap pertama dari proyek EST
sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk mengatasi berbagai dampak kesehatan dan
lingkungan dari transportasi yaitu: CO2, NOx, VOCs, Kebisingan, Partikel, dan Guna lahan.
Menurut Widiantono dalam Umar (2009), menjelaskan bahwa gas buang sisa
pembakaran kendaraan bermotor umumnya menghasilkan beberapa senyawa gas dan
partikulat yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Senyawa gas akibat polusi dapat

dikelompokkan ke dalam: senyawa sulfur, senyawa nitrogen, senyawa karbon, oksida


karbon, dan senyawa hidrogen. Senyawa berbentuk gas yang muncul dari gas buang
kendaraan bermotor dapat berupa carbon monoxide (CO), nitrogen oxide (Nox), hydrocarbon (HC); partikulat dan timbal.
Dampak polusi udara terhadap manusia dapat berupa gangguan kesehatan dalam
jangka panjang yang dapat mengakibatkan penurunan daya refleks dan kemampuan visual;
atau jangka pendek seperti gangguan pernafasan dan sakit kepala. Polusi udara umumnya
memberikan dampak terhadap sistem pernafasan manusia seperti kesulitan bernafas, batuk,
asma, kerusakan fungsi paru, penyakit pernafasan kronis dan iritasi penglihatan. Tingkat
keseriusan gangguan tersebut tergantung dari tingkat pemaparan dan konsentrasi polutan
yang merupakan fungsi dari volume dan komposisi lalulintas, kepadatan serta kondisi cuaca.
Upaya mewujudkan transportasi yang ramah lingkungan pada dasarnya dapat
dilakukan dengan upaya mencegah terjadinya perjalanan yang tidak perlu (unnecessary
mobility) atau dengan penggunaan teknologi angkutan yang dapat mengurangi dampak
lingkungan akibat kendaraan bermotor.
Bentuk-bentuk yang terkait dengan upaya pencegahan atau pengurangan jumlah
perjalanan yang tidak perlu dapat berupa pengembangan kawasan terpadu yang masuk
kategori compact city seperti kawasan super-block, kawasan mix-used zone, maupun transitoriented development. Selain itu, pengurangan jumlah perjalanan dapat dilakukan dengan
melakukan manajemen kebutuhan transport (TDM-Transport Demand Management)

(https://aktiviantiaposhi.wordpress.com,2011).
.
2.3. Strategi Menuju Sistem Transportasi Pembangunan
Pembangunan infrastruktur transportasi berkelanjutan merupakan upaya yang
komprehensif dari berbagai dimensi sektoral, wilayah, keterlibatan para aktor, dan
substansinya. Gambar 2 memperlihatkan suatu usulan langkah- langkah strategis menuju
penataan sistem transportasi yang berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur transportasi
merupakan bagian integral dalam setiap elemen perwujudan langkah-langkah yang
diperlukan tersebut karena hal ini akan sangat menentukan efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan sistem yang ada. Penataan yang menyangkut aspek teknologi, regulasi,
dan perilaku pengguna perlu diberi prioritas. Strategi implementasi perlu dirumuskan untuk
mencapai kondisi yang lebih berkelanjutan dalam hal operasional, ketersediaan sistem
yang lebih ramah lingkungan, serta penggunaan sumber daya. Pendidikan bagi publik perlu
digalakkan untuk untuk meningkatkan partisipasi publik ke arah yang diinginkan.
Kota-kota Indonesia yang relatif berkembang cepat dibanding kota-kota di negara
maju, terutama dalam hal pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang memicu pertumbuhan
kebutuhan aktivitas sosial ekonomi, tidak mempunyai pilihan lain dalam memandang masa
depannya, kecuali segera merespons tuntutan global mengenai keberlanjutan perkotaan
yang layak hidup. Sejumlah kebijakan dasar harus dirumuskan agar arah yang diambil
dapat secara tepat dan efektif menjawab permasalahan. Beberapa hal pokok dibahas di
bawah ini.

Gambar 2. Peta Jalan Menuju Sistem Transportasi Berkelanjutan


Masalah kesiapan kelembagaan merupakan salah satu isu sentral. Bagaimana
kelembagaan terkait merespons tanggung jawab global permasalahan lingkungan yang
muncul tak mengenal batas namun secara tepat menerapkannya sesuai dengan
permasalahan lokal. Partisipasi dari semua kelompok kepentingan (stake-holders)
Pemerintah, lembaga penelitian dan akademisi, lembaga swada masyarakat, penegak
hukum, masyarakat, profesional dan praktisi perlu ditingkatkan dalam proses penentuan
kebijakan. Dalam konteks otonomi daerah, peran Pemerintah Daerah perlu diberdayakan
sehingga aspirasi daerah dapat lebih disuarakan. Peran kelembagaan ini akan memberikan
fokus pada instrumen-instrumen kebijakan yang diterapkan. Sebagai contoh, penerapan
instrumen teknologi untuk memilih teknologi dalam mengurangi dampak lingkungan,
instrumen ekonomi berupa kebijakan tarif untuk membuat masyarakat sadar akan
ongkos yang harus ditanggung (biaya langsung maupun biaya dampaknya), dan instrumen
perencanaan transportasi dan pengembangan wilayah yang mengarahkan pada
pengurangan ketergantungan pada mobil pribadi.
Berkaitan dengan aspek regulasi, yang perlu mendapat perhatian adalah baik yang
menyangkut tahap perencanan dan pembangunan infrastruktur maupun sistem operasinya.
Standar perencanaan dan desain perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan
masa depan atas green infrastructures. Misalnya, penetapan baku mutu lingkungan
perlu diikut dengan pembuatan peraturan-peraturan yang mendukung dan penegakan
hukum yang konsisten, baik pada level pusat maupun daerah.
Kesiapan sosial budaya juga memerlukan perhatian. Penyesuaian kebijakan
dan langkah-langkah pendekatan yang diambil dengan permasalahan dan kebutuhan lokal
menjadi sangat penting. Dalam konteks transportasi, permasalahannya adalah bagaimana
mengendalikan ketergantungan pada mobil pribadi dan pengendalian kebutuhan, dan ini
memerlukan perubahan sikap dan persepsi masyarakat. Peningkatan kebutuhan tidak
sepenuhnya harus diikuti oleh penyediaan, melainkan perlu dicari keseimbangan yang
harmonis antara kebutuhan dan penyediaan. Sesuai dengan prinsip dasar bahwa
transportasi adalah kebutuhan ikutan (derived demand), maka yang penting orang dan
barang, bukan kendaraan, yang berpindah dengan kualitas pelayanan yang memadai.
Keberhasilan penerapan kebijakan dan langkah-langkah yang diambil akan sangat
tergantung dari kesiapan sumber daya manusia. Aspek SDM ini terkait langsung pada
seluruh proses : penentuan kebijakan, perencanaan, dan implementasinya. Dalam hal alih
teknologi, misalnya, kesiapan SDM perlu dikembangkan secara berkesinambungan

mengingat ketergantungan negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sangat besar


terhadap negara maju. Secara bertahap peranan SDM diharapkan dalam meningkatkan
local content dari teknologi yang digunakan dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada
negara lain.
Setiap langkah yang akan dilakukan menuntut adanya suatu perencanaan terpadu.
Keterpaduan suatu sistem transportasi perkotaan paling tidak ditinjau dari sisi-sisi kebijakan,
rencana dan program, pendanaan, dan pelayanan. Keterpaduan sistem tersebut diarahkan
agar meningkatkan kemudahan penggunaan oleh masyarakat, meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya, meningkatkan interaksi antar kawasan, meningkatkan partisipasi
masyarakat, termasuk peran swasta, dan menurunkan pencemaran lingkungan dan tingkat
kecelakaan. Semua pihak terkait perlu melakukan koordinasi yang efektif untuk mencapai
hal ini. Penyusunan rencana, program, dan kegiatan dilaksanakan sesuai tanggung jawab
institusi yang bersangkutan. Dalam hal pendanaan, baik yang menyangkut sumber-sumber
pembiayaan dan alokasinya untuk setiap program disusun secara transparan dan akuntabel
pada seluruh proses.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa langkah-langkah yang dibahas di
atas perlu didukung dengan riset pada berbagai bidang yang terkait. Penerapan hasil-hasil
penelitian yang dikembangkan di negara lain dapat dilaksanakan sepanjang sesuai dengan
kondisi iklim, geografi, dan sebagainya. Berbagai disiplin ilmu terkait dituntut
untuk
memberikan kontribusi positif dalam kerangka kerja yang saling melengkapi. Dalam konteks
ini, setiap lembaga riset, perguruan tinggi, dan industri memiliki tanggung jawab
bersama untuk mampu menjawab berbagai tantangan tersebut secara sistematis dan
berkelanjutan (Sjrafuddin, 2001).
2.4. Kondisi Umum Sistem Transportasi di Wilayah DKI Jakarta

Sumber : Streetdirectory 2012


Gambar 3. Peta Jakarta dan Sekitarnya
DKI Jakarta merupakan daerah yang terletak di 5 19' 12" - 6 23' 54" LS dan 106 22'
42" - 106 58' 18" BT. Berdasarkan administrasi wilayah, Provinsi DKI Jakarta terbagi
menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu Kabupaten administratif, yakni: Kota
administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2,
Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota
administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.

Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota
Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten
Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa.

Sumber : Bappeda DKI Jakarta 2014


Gambar 4. Jumlah penduduk Jakarta
Posisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. menyebabkan
mobilitas penduduk, barang dan jasa semakin meningkat setiap harinya. Pergerakan
dilakukan untuk berbagai tujuan, kebutuhan dan arah. Sektor perdagangan dan jasa
merupakan penggerak utama perekomian di DKI Jakarta. Kedua sektor tersebut memberikan
kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang relatif besar. Peningkatan aktivitas
mengakibatkan terjadinya pergerakan dari dalam kota maupun dari luar kota Jakarta (kota
satelit) seperti Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota
Tanggerang, Kabuapaten Bekasi dan Kota Bekasi.
Pergerakan yang terjadi memerlukan sarana transportasi seperti kendaran bermotor.
Semakin tinggi pergerakan maka semakin tinggi penggunaan kendaraan bermotor baik roda
dua maupun roda empat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor telah memicu
penambahan luas dan jaringan jalan, kemacetan, pencemaran udara, kebisisngan dan
kecelakaan lalu lintas.
Kebutuhan rata-rata perjalanan DKI Jakarta 20,7 juta Perjalanan/hari. Jumlah
kendaraan di Jakarta sebesar 5,8 juta. Pertambahan kendaran sebesar 1.117
kendaraan/hari, 220 untuk mobil dan 897 motor. Untuk wilayah jadetabek jumlah kendaraan
sebesar 8,7 juta. Pertambahan kendaran sebesar 2 027 kendaraan/hari, 320 untuk mobil dan
1.707 motor. Berdasarkan ilustrasi di bawah maka jika jumlah kendaran tidak dibatasi maka
Jakarta akan macet total karena jumlah kendaraan sama dengan jumlah luas jalan (Dinas
Perhubungan).

Sumber : Dinas Perhubungan


Gambar 5. Ilustrasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu
semakin banyaknya produksi kendaraan bermotor (oleh industri kendaraan bermotor), dan
semakin tidak mencukupi, tidak nyaman dan tidak amannya angkutan bis kota. Kondisi ini
mendorong masyarakat lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi baik mobil maupun
sepeda motor (walaupun bekas, bahkan usia kendaraan yang telah cukup tua, sesuai
kemampuan dan daya beli mereka).
Beberapa faktor penyebab beralihnya pengguna angkutan umum kepada angkutan
pribadi, antara lain:
Aktivitas ekonomi belum mampu dilayani oleh angkutan umum yang memadai
Meningkatnya harga tanah di pusat kota akan menyebabkan lokasi pemukiman jauh dari
pusat kota, atau bahkan sampai ke luar kota yang tidak tercakup oleh sistem jaringan
layanan angkutan umum
Dibukanya jalan baru akan merangsang pengguna angkutan pribadi, karena biasanya di
jalan baru tersebut pada saat itu belum terdapat jaringan layanan angkutan umum .
Tidak tersedianya angkutan lingkungan atau angkutan pengumpan yang dapat
menjembatani perjalanan dari - sampai ke jalur utama layanan angkutan umum
Kurang terjaminnya kondisi rasa aman dan ketepatan waktu yang diinginkan penumpang
dalam pelayanan angkutan umum.
Jumlah kendaraan bermotor DKI Jakarta 5,8 juta unit. Kendaraan Pribadi sebesar
5,6 juta unit (98,5%) dan Angkutan Umum sebesar 87.976 unit (1,5%. Pertumbuhan rata-rata
5 tahun terakhir sebesar 9,5% per tahun. Jumlah Kendaraan Pribadi sebesar 98,5%,
melayani 44% perjalanan. Jumlah Angkutan Umum yang hanya 1,5% harus melayani 56%
perjalanan (diantaranya 3% dilayani KA/KRL Jabodetabek). Panjang jalan di DKI Jakarta
sebesar 7.650 km2 dengan uas jalan 40,1 km2 (6,2%dari Luas wilayah DKI Jakarta).
Pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01% per tahun.(Dinas Perhubungan).
Pola jaringan jalan di DKI Jakarta secara umum terdiri atas sistem jaringan jalan
lingkar yaitu inner dan outer ring road yang merupakan jaringan jalan arteri primer, jaringan
radial yang melayani kawasan di luar inner ring road menuju kawasan di dalam inner ring
road dan jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota.

Setiap hari kemacetan lalu lintas terjadi hampir di semua badan jalan baik pagi hari
maupun sore hari di jalan arteri suburban menuju ke pusat kota. Kemacetan yang terjadi di
pusat kota disebabkan oleh meningkatnya permintaan jalan, rendahnya disiplin, dominannya
penggunaan angkutan pribadi, ketidakkonsistenan pengembangan tata guna lahan dan
pemanfaatan jalan, fasilitas lalu lintas angkutan jalan di luar kepentingan lalulintas seperti
pedagang kaki lima dan dan kurangnnya badan jalan (Mardiaman, 2010).
2.5. Kebijakan Transportasi DKI Jakarta
Persoalan kemacetan lalu lintas di kota Jakarta tidak terlepas dari kondisi dan
perkembangan tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta kota ini. Transportasi dan tata ruang
merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, karena transportasi dalam
hal ini lalu lintas atau traffic merupakan fungsi dari tata guna lahan. Inventarisasi dan
harmonisasi muatan materi kebijakan/peraturan terkait aspek transportasi dan tata ruang.
Atas dasar itu perlu dilakukan inventarisasi materi kebijakan atau peraturan
perundang-undangan dari kedua aspek tersebut yang saling terkait. Perlu didiskusi tentang
arah untuk mengidentifikasi materi muatan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 sebagai revisi Perda No. 6 Tahun 1999
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta. Sehingga untuk
kebutuhan tersebut, sebelumnya juga perlu mengidentifikasi materi muatan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW DKI
Jakarta 2030.
Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa UU No. 22 Tahun 2009 mengamanatkan
perlu ada keterpaduan antara rencana jaringan lalu lintas dan angkutan jalan terhadap
rencana tata ruang wilayah. Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan tentang
keterpaduan antara kedua aspek tersebut, namun UU No. 26 Tahun 2007 mengamanatkan
muatan rencana tata ruang memuat rencana jaringan sistem prasarana termasuk sistem
jaringan transportasi.
Raperda RTRW 2030 memuat tentang sistem dan jaringan transportasi pada Pasal
17 hingga Pasal 37. Muatan materi yang perlu mendapat perhatian secara khusus adalah
sistem pusat kegiatan yang direncanakan pada Pasal 16. Perlu dipertimbangkan oleh
pemrakarsa Raperda (Bappeda Provinsi DKI Jakarta): apakah sistem dan jaringan
transportasi yang diuraikan pada Pasal 17 mampu mewadahi kebutuhan mobilitas akibat
pengembangan sistem pusat kegiatan sebagaimana dijabarkan pada Pasal 16. Di mana
arahan pengembangan sistem dan jaringan transportasi dimaksud raperda tersebut secara
garis besar telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, dan Danau. Kondisi empiris menunjukkan bahwa
bangkitan lalu lintas akibat perkembangan tata guna lahan (Tata Ruang DKI Jakarta
dipayungi Perda No. 9 Tahun 1999) tidak mampu diwadahi/dilayani oleh pertumbuhan
jaringan transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di DKI Jakarta dipayungi Perda No. 12
Tahun 2003).
Komisi Hukum dan Humas menyarankan agar materi muatan Raperda RTRW 2030
perlu ditinjau kembali terutama konsekuensi rencana sistem pusat kegiatan terhadap rencana
sistem dan jaringan transportasi. Atau masalah bangkitan lalu lintas terhadap daya dukung
sarana dan prasarana transportasi kota .
Dampak Tata Ruang DKI Jakarta terhadap kemacetan lalu lintas ber-akar dari Visi
dan Misi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Komisi berpendapat Visi dan
Misi Pembangunan DKI Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Daerah RTRW saat ini, yaitu
Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang
mengarahkan perkembangan Jakarta sebagai Big City dan Kota Jasa tidak tepat bagi Kota
Jakarta sebagai Ibukota Negara RI. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 dan Pasal 5
huruf c:

Pasal 4: Pembangunan Kota Jakarta diarahkan dengan visi mewujudkan Jakarta


sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar
negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam
lingkungan kehidupan yang berkelanjutan.
Pasal 5: Untuk mewujudkan visi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka arahan
penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan 3 (tiga) misi utama,
yaitu:
a. membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat;
b. mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan;
c. mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional.
Komisi berpendapat Visi dan Misi dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-2030 yang mengarahkan
pembangunan DKI Jakarta sebagai Kota Jasa tidak tepat bagi Kota Jakarta sebagai Ibukota
Negara RI, sebagaimana tertuang pada Pasal 2 berikut:
Pasal 2: Pembangunan Provinsi DKI Jakarta diarahkan menuju visi mewujudkan
Jakarta sebagai Kota Jasa yang Sejahtera, Nyaman, dan Berkelanjutan.
Visi pembangunan suatu kota mengandung makna yang sangat strategis karena
menyangkut masa depan kota tersebut. Demikian halnya Visi Tata Ruang DKI Jakarta
mencerminkan cita-cita Kota Jakarta. Ibarat lokomotif yang mengarahkan gerbong-gerbong
pembangunan kota Jakarta. Visi Tata Ruang DKI Jakarta merupakan cita-cita yang
mengusung dua kepentingan pemerintahan yaitu kepentingan Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta dan kepentingan Negara Kesatuan RI. Dengan predikat Daerah Khusus
Ibukota, seyogyanya visi dan misi tata ruang DKI Jakarta mengarahkan pembangunan kota
Jakarta yang memprioritaskan kepentingan dan citra Ibukota Negara RI. Sehingga tidak tepat
jika secara eksplisit Pembangunan DKI Jakarta diarahkan menjadi Kota Jasa (Service City)
yang bias sebagai kota perdagangan dan jasa (bisnis), yang lebih mengutamakan
kepentingan ekonomi (pasar).
Demikian halnya dengan rencana penataan sistem transportasi yang termuat dalam
rencana struktur dan pola ruang provinsi DKI Jakarta perlu diselaraskan (harmonisasi
peraturan perundang-undangan) terutama terhadap UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dan Kebijakan Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta.
Pembenahan sistem transportasi dan tata ruang Kota Jakarta tidak bisa dilakukan secara
parsial. Pembenahan transportasi DKI Jakarta perlu diawali dengan melakukan sinkronisasi
tata ruang dan transportasi. Pembenahan transportasi kota Jakarta harus diikuti pembenahan
mendasar masalah Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Penataan ruang Provinsi DKI
Jakarta harus memprioritaskan kepentingan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.
Pembiasan dan penyimpangan tata ruang yang telah terjadi dan mengganggu eksistensi
Kota Jakarta sebagai Ibukota NKRI harus dibenahi. Fungsi Kota Jakarta sebagai Pusat
Pemerintahan Negara harus diprioritaskan. Perubahan (revisi) mendasar tata ruang Ibukota
Negara harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem sebuah Ibukota
Negara sehingga diperlukan pemindahan Ibukota Negara yang tentu berimplikasi terhadap
banyak hal.
Didasari pemahaman bahwa akar masalah kemacetan lalu lintas DKI Jakarta
berpangkal dari masalah penataan ruang yang diikuti berbagai masalah lanjutan transportasi,
maka Komisi Hukum dan Humas merekomendasikan bahwa DTKJ perlu memberi masukan
baik secara lisan maupun tertulis terhadap Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
DKI Jakarta 2010-2030 (http://id.wikibooks.org).

Melihat kondisi di atas, Pemerintah DKI Jakarta sangat perlu melakukan pengelolaan
transportasi yang berkelanjutan (Mardiaman, 2010). Pada dasarnya pengelolaan transportasi
di kelompokan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Pengelolaan kapasitas jalan
Perbaikan geometric simpang
Penataan parkir di tepi jalan
Penetapan ATCS (Area Trafic Controlled System)
Pelebaran jalan
Pembangunan jalan bawah tanah (underway)
Pembangunan simpang tidak sebidang (flyover dan underpass)
b. Pengelolaan prioritas
Jalur bus khusus (busway)
Lajur khusus bus
Jalur/lajur khusus sepeda
Jalur/lajur khusus sepeda motor
Prioritas dipersimpangan
Prioritas dipersimpangan untuk angkutan umum
Prioritas bagi kendaraan umum, penumpang dan barang.
c. Pengelolaan permintaan
Penataan trayek
Penataan lintas angkutan barang dan pembatasan lokasi bongkar muat barang.
Lajur pasang surut
Sistem satu arah
Pembatasan lalu lintas yaitu 3 in 1, sistem stiker, sistem no polisi ganjul genap, area
licecing sytem, road pricing, penerapan tariff parkir yang tinggi pada daerah pusatpusat kegiatan
Penerapan pajak progresif terhadap pemilik kendaraan yang lebih dari satu.
Pembatasan kendaraan pribadi dalam tiap tahunnya dengan penggunaan licensing
system untuk tiap kendaraan.
Kontrol terhadap penggunaan tata guna lahan.
Kawasan tertib lalu lintas.
Pemilihan model lalu lintas pada dasarnya ditentukan dengan mempertimbangkan
salah satu persyaratan pokok, yaitu pemindahan barang dan manusia dilakukan dalam
jumlah yang terbesar dengan jarak yang terkecil. Angkutan massal (public MRT)
yangberorientasi pada kepentingan publik atau pelanggan (customer), dalam hal ini
merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan angkutan individual.
Di sini ada pilihan untuk angkutan (modal choice), persaingan dalam jasa pelayanan
(competitive services), dan nilai waktu (time values). Dengan mengurangi jumlah sarana
transportasi (kendaraan) sesedikit mungkin dan dalam waktutempuh yang sekecil mungkin,
akan diperoleh efisiensi yang tertinggi, sehingga pemakaian total energi per penumpang
akan sekecil mungkin dan intensitas emisi pencemar yang dikeluarkan akan berkurang.
Salah satu jenis angkutan massal adalah angkutan dengan bis yang disebut Bus Rapid
Transit (BRT). Berbeda dengan angkutan yang menggunakan jalur rel (rail transit) tersendiri,
maka angkutan dengan bis kota beroperasi pada suatu jalur terbagi dalam suatu sistem yang
terbuka dan bebas. Dalam kondisi semacam ini, bis-bis menghadapi kelambatan yang
disebabkan oleh interaksi dengan kendaraan-kendaraan lain dan adanya lampu lalu lintas
pada persimpangan. Kedua factor ini sangat berpengaruh pada operasi perjalanan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak negatif pada
perjalanan bis, antara lain dengan menggunakan lajur tersendiri untuk bis (busway). Cara ini
cukup efektif dalam mengatasi kemacetan lalu lintas, tetapi biayanya mahal, dan untuk kotakota tertentu dengan ruang yang terbatas untuk jalan, cara ini tidak mungkin dilakukan.

Pemilihan model transportasi pada dasarnya ditentukan dengan mempertimbangkan


salah satu persyaratan pokok, yaitu pemindahan barang dan manusia dilakukan dalam
jumlah yang terbesar dan jarak yang terkecil. Dalam hal ini transportasi massal merupakan
pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan transportasi individual. Beberapa usaha yang
dapat dilakukan yang merupakan kebijakan dalam rangka menurunkan tingkat kepadatan lalu
lintas di perkotaan, antara lain:
(a) Penyediaan busway yaitu lajur khusus untuk angkutan bis kota.
Busway atau lajur bis disediakan pada jalur-jalur khusus yang merupakan jalur utama
dan padat lalu lintas (contoh: jalur Blok M-Semanggi Bundaran HI - Bundaran Air
Mancur Harmoni - Setasiun Kota). Di sini diperlukan adanya jalur-jalur pengumpan atau
feeder lines, dari sentra-sentra permukiman penduduk menuju ke jalur-jalur utama yang
memakai busway. Keuntungan dari cara ini adalah waktu tempuh yang lebih singkat bagi
kendaraan angkutan bis pada busway, serta kapasitas angkut yang relatif lebih besar
daripada kendaraan-kendaraan pribadi atau kendaraan komersial yang lain (mis. taksi).
Namun, Pemisahan memakai separator mempunyai beberapa kelemahan, antara lain
berkurangnya lajur bagi kendaraan non bis, yang mengakibatkan timbulnya kepadatan
(bahkan kemacetan) lalu lintas pada lajur di luar busway. Di samping itu, dengan adanya
lajur khusus bagi bis yang lebarnya hanya muat untuk satu badan bis, akan menimbulkan
kesulitan apabila terjadi bis mogok (akibat kerusakan mesin, ban pecah, dan lain-lain).
Hal ini dapat menimbulkan kelambatan / kacaunya jadwal (schedule) angkutan bis kota.
Lajur khusus bis (busway) ini hanya dikenakan pada jalur-jalur tertentu saja, sehingga
tidak semua jalur jalan mengalami perubahan pola lalu lintas.
Cara ini memerlukan pengaturan lalu lintas yang cukup rumit, terutama di
persimpangan/perempatan jalan, di samping biaya investasi dan pengoperasian yang
sangat besar. Pengaruh busway terhadap pengurangan volume lalu lintas hanya terbatas
pada jalur-jalur jalan yang menggunakan busway, sedangkan pada jalur-jalur yang lain
praktis tidak mengalami perubahan yang berarti.
(b) Konsep pembatasan penumpang
(three in one), yang diberlakukan pada ruas-ruas jalan tertentu yang sangat padat,
terutama pada jam-jam sibuk (peak hours) masuk dan pulang kerja. Pengaturan lalu
lintas berupa pembatasan penumpang (antara lain: three in one) dapat mengurangi
jumlah lalu lintas.
Namun di sini diperlukan pengawasan yang ketat terhadap
penggunaan joki, yang dapat mengurangi efektivitas pembatasan penumpang, selain
kemungkinan terjadinya penumpukan/kemacetan lalu lintas pada jalur jalan yang lain (di
luar jalur three in one).
Dalam hal ini usaha pembatasan penumpang hanya bersifat mengalihkan sementara
kemacetan lalu lintas dari jalur utama ke jalur-jalur yang lain. Pemecahan hanya bersifat
lokal (hanya jalur tertentu saja) dan tidak menyeluruh, sehingga kepadatan lalu lintas
tetap terjadi pada jalurjalur di luar jalurthreeinone. Dengan demikian usaha
pengurangan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan cara ini kurang atau bahkan
tidak efektif. Di samping itu di luar waktu diberlakukannya three in one, lalu lintas akan
kembali berjalan sebagaimana biasanya. Dengan demikian metode pembatasan
penumpang dapat dikatakan tidak efektif mengurangi jumlah lalu lintas kendaraan
bermotor.
(c) Pembatasan kendaraan pribadi:
Pembatasan kendaraan pribadi yang umumnya dikenakan berdasarkan usia
kendaraan. Namun demikian cara ini tidak mudah dalam pelaksanaannya. Untuk
mengetahui tahun pembuatan kendaraan bermotor, perlu dilihat Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK) yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian, dan ini berarti harus
menghentikan kendaraan untuk memeriksanya.
Sudah tentu hal ini akan sulit dalam pelaksanaannya, di samping akibat yang akan
timbul berupa antrian kendaraan, yang selanjutnya berakibat dengan terjadinya
kemacetan lalu lintas, khususnya pada jalur-jalur jalan yang padat lalu lintas.
Pembatasan mobil pribadi tanpa diikuti pembenahan angkutan bis umum (kondisi fisik,
jumlah maupun trayeknya), akan menimbulkan dampak sosial yang negatif. Mengingat

(d)

(e)

(f)

(g)

jumlah mobil pribadi di Jakarta kurang dari 30% dari seluruh jumlah kendaraan bermotor
di Jakarta, maka usaha pembatasan mobil pribadi untuk tujuan menurunkan tingkat
kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor, akan kurang efektif.
Pembatasan kendaraan umum.
Cara ini justru bertolakbelakang dengan tujuan transportasi untuk umum (public
transportation), di samping jumlah kendaraan umum yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah kendaraan pribadi. Pembatasan kendaraan umum kurang
berdampak terhadap pengurangan volume lalu lintas, bahkan sebaliknya dapat
menimbulkan masalah lain dalam transportasi umum.
Usaha yang lebih berjangka panjang denganmenambah jaringan jalan dan pembuatan
jalan-jalan layang (flyovers) atau underpass untuk menghindari persimpangan
persimpangan sebidang, yang berarti mengurangi kemacetan lalu lintas. Tetapi cara ini
membutuhkan biaya yang besar, dan bila tidak dibarengi dengan pembatasan produksi
(atau impor) kendaraan bermotor, pada suatu saat akan timbul kembali masalah
kepadatan lalu lintas.
Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) dengan kereta rel (listrik atau diesel) dapat
mengurangi penggunaan angkutan umum bis, mikrolet, dan sebagainya. Namun cara ini
membutuhkan biaya yang sangat besar. Sama halnya dengan SAUM adalah sistem MRT
(Mass Rapid Transit) yang berupa subway. Membangun subway secara finansial tidak
layak, karena biaya pembangunan yang sangat tinggi, tetapi dari segi ekonomi
dapatdisebut layak, karena sistem ini akanmengurangi jumlah penggunaan kendaraan
pribadi, menghemat waktu. Sebesar 75% dari biaya pembangunan infrastruktur subway
akan hilang (sunk cost), karena itu bagian ini harus disubsidi oleh pemerintah, sedangkan
pengoperasiannya dapat dilakukan oleh pihak swasta .
Pembenahan angkutan umum (bis kota), meliputi penggantian kendaraan bis dengan
kendaraan bis baru yang lebih baik dan lebih laik jalan, disertai dengan pendidikan
disiplin bagi para pengemudi dan awak bis, pengaturan jadwal dan rute bis yang lebih
menyeluruh dan menjangkau semua wilayah dalam kota. Cara ini tidak terlalu mahal
dibandingkan dengan SAUM, MRT (subway), atau pembuatan jalan layang dan
underpass, tetapi memerlukan kesungguhan dan disiplin dari semua pihak
(pengelola,pengemudi, pengatur lalu lintas, dan masyarakat).

BAB III. PENUTUP


Pengelolaan sistem transportasi berkelanjutan di DKI Jakarta akan berjalan dengan
optimal apabila dilakukan secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistic). Untuk
membangun sistem transportasi public yang berkelanjutan perlu dilakukan revitalisasi dalam
semua aspek yang berkaitan dengan sistem transportasi. Integrasi perlu dilakukan antara
tata guna lahan dengan sistem transportasi. Sistem transportasi yang layak (feasible) harus
memenuhi beberapa kriteria, antara lain kecepatan atau waktu tempuh yang singkat dan
dapat diperhitungkan, frekuensi pengangkutan, banyaknya persinggahan dalam perjalanan,
biaya/tarif angkutan yang layak, jaminan keamanan, serta keselamatan penumpang.
Perlu pembenahan dalam sistem angkutan umum, meliputi jarak jauh, menengah,
dan pendek, sesuai hirarki transportasi. Dalam pembenahan sistem transportasi perlu
penerapan manajemen lalu lintas, dimana prinsipnya mengurangi jumlah perjalanan dan
memaksimalkan peran angkutan umum. Transportasi publik harus bisa diakses dan
memberikan kenyamanan pada semua kelompok masyarakat. Dengan demikian jelas
diperlukan adanya kebijakan pemerintah untuk membenahi sistem transportasi, khususnya di
Jakarta. Kebijakan ini lebih dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan angkutan umum yang
layak dan dikelola dengan baik.
Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam
pengelolaan sistem transportasi yang berkelanjutan dibutuhkan dukungan dan keterlibatan
dari semua pihak. Keterlibatan masyarakat merupakan aspek yang sangat penting dalam
mendukung pengelolaan sistem transportasi bekrlanjutan di DKI Jakarta. Kesadaran
masyarakat dalam mematuhi kebijakan-kebijakan Pemerintah DKI Jakarta yang telah
ditetapkan merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sistem transportasi
berkelanjutan.
Selain itu, pengelolaan sistem transportasi yang berkelanjutan juga membutuhkan
anggaran yang besar. Apabila kebutuhan anggaran tidak dapat dipenuhi maka akan
mengakibatkan ketidakseimbangan yang akan berdampak terhadap menurunnya pelayanan
sistem transportasi yang pada suatu saat permasalahan sudah sedemikian parahnya
sehingga pada gilirannya akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit dan
pemecahannya memerlukan terobosan yang memerlukan investasi yang tidak sedikit. Oleh
karena itu, Pemerintak Kota harus mengalokasikan anggaran khusus dalam bentuk Urban
Transport Fund, sebagai suatu sistem anggaran yang sedemikian sehingga sebagian besar
dari pendapatan yang diperoleh dari sektor transportasi dikembalikan ke transport misalnya
sumber pendanaan yang berasal dari retribusi yang dikumpulkan dari masyarakat pengguna
trasnportasi seperti retribusi parkir, retribusi pengendalian lalu lintas, penjualan tiket angkutan
umum (Fare-box revenue), proyek Kemitraan Pemerintah dengan Swasta dalam bidang
transportasi, pajak daerah yang dikumpulkan dari pengguna seperti sebagian dari pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan, pajak bahan bakar, pajak parkir yang
dikenakan terhadap pengelola parkir diluar jalan, sebagian dari pajak bumi dan bangunan,
dan lain-lain. Anggaran yang terkumpul ini kemudian digunakan untuk membangun sistem
transportasi berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, S. Transportasi Publik dan Aksesibilatas Masyarakat Perkotaan. Universitas


Airlangga. Surabaya.
Dinas Perhubungan dalam www.jakarta.go.id
Herman.2011. Indikator Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Transportasi Berkelanjutan.
Jurnal Transportasi Vol. 11. Institut Teknologi Nasional. Bandung
Mardiaman. 2010. Model kebijakan pengelolaan trasportasi berkelanjutan bus rapid transit
transjakarta (busway) di DKI Jakarta (Studi kasus: Koridor V dan VII). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Mineta Transportation Institute. 2003. Toward Sustainable Transportation Indicators for
California. MTI Report 02-05. San Jose, CA. dalam Herman.2011. Indikator Partisipasi
Masyarakat dalam Sistem Transportasi Berkelanjutan. Jurnal Transportasi Vol. 11.
Institut Teknologi Nasional. Bandung.
Sjafruddin, A. 2001. Pembangunan Infrastruktur Transortasi untuk Menunjang Pembangunan
Berkelanjutan Berbasis Ilmu Pengetahuan. Teknis Sipil dan Lingkungan. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Sukarto, H. 2006. Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan Analisis Kebijakan
Proses Hirarki Analitik. Jurnal Teknik Sipil Vol 3. Universitas Pelitaharapan.
Tanggerang.
The World Bank. 1996. Sustainable Transport: Priorities for Policy Reform. Washington, DC.
dalam. Herman.2011. Indikator Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Transportasi
Berkelanjutan. Jurnal Transportasi Vol. 11. Institut Teknologi Nasional. Bandung.
Wibawa, B. A. 1996. Tata Guna Lahan dan Transportasi dalam Pembangunan Berkelanjutan
di Jakarta. Tugas Mata Kuliah Manusia dan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Semarang.
www.aktiviantiaposhi.wordpress.com.2011.
http://id.wikibooks.org/wiki/Pembenahan_Transportasi_Jakarta/Penataan_Tata_Ruang.2012.

Anda mungkin juga menyukai