BERKELANJUTAN
STUDI KASUS DI WILAYAH DKI JAKARTA
Oleh :
Fitria Juniarti Prihardini, S.Pi
24014014
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami interaksi tata guna lahan dengan transpotasi,
2. Mengetahui dan memahami konsep sistem transportasi berkelanjutan
3. Mengetahui penerapan sistem transportasi di DKI Jakarta .
Tata Guna
Lahan
Sistem
Kegiatan
Sistem
Jaringan
Sistem
Pergerakan
Sistem
Kelembagaan
Gambar 1. Pendekatan transportasi dengan tata guna lahan, lingkungan dan energi
Diagram di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Perubahan/peningkatan guna lahan akan membangkitkan perjalanan;
b. Meningkatnya guna lahan akan meningkatkan tingkat permintaan pergerakan yang
akhirnya memerlukan penyediaan prasarana transportasi;
c. Pengadaan prasarana transportasi akan meningkatkan daya hubung parsial Naiknya
daya hubung akan meningkatkan harga/nilai lahan;
1. Pendekatan Sistem
Untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah transportasi yang berkaitan dengan
aspek tata guna tanah dan pembangunan berkelanjutan secara tepat dan efisien, maka
terlebih dulu harus dipahami mengenai sistem transportasi secara menyeluruh (makro),
peran tata guna lahan terhadap timbulnya permasalahan serta dampak permasalahan
terhadap lingkungan. Sistem ini mencakup beberapa sub sistem mikro yang berkaitan.
Sub sistem kegiatan merupakan sistem kegiatan tertentu yang membangkitkan
pergerakan (traffic generation) dan dapat menarik pergerakan (traffiic attraction). Sistem ini
berkaitan erat dengan pengaturan pola tata guna lahan sebagai suatu unsur penting
pembentuk pola kegiatan dalam kota atau daerah. Sistem tersebut dapat merupakan
suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use) seperti
kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini
membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap
hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan
yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan dengan jenis/tipe dan intensitas kegiatan yang
dilakukan.
Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan / atau barang
membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi
tersebut dapat bergerak. Prasarana yang diperlukan merupakan sistem mikro kedua yang
biasa dikenal sebagai sistem jaringan, meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal
bus, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut.
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu
pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau
orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan
sesuai dengan lingkungannya akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu
sistem rekayasa dan manajemen lalu-lintas yang baik.
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar biasanya ditimbulkan
karena kebutuhan transportasi lebih besar dibandingkan prasarana transportasi yang tersedia
atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan
mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada sistem
pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem
kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut.
Dari ketiga sub sistem tersebut, masih diperlukan sistem kelembagaan. Sistem ini
terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam
masing-masing sistem mikro. Di Indonesia sistem kelembagaan yang berkaitan dengan
transportasi adalah :
a. Sistem kegiatan: Bappenas, Bangdes, Pemda.
b. Sistem Jarigan : Dep. Perhubungan, Bina Marga.
c. Sistem Pergerakan : DLLAJR, Organda, Polantas.
Seluruh kebijaksanaan yang diambil oleh masing-masing kelembagaan harus terkait
dan terkoordinasi dengan baik dan tentunya dapat dilaksanaakan dengan melalui penegakan
peraturan (low inforcement) secara baik pula. Secara umum dapat Disebutkan, bahwa
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat harus ikut berperan dalam mengatasi masalah
transportasi, karena hal ini merupakan masalah bersama yang memerlukan penanganan dan
keterlibatan semua pihak.
Selain semua sistem di atas, terdapat suatu aspek yang selalu harus diperhatikan
dan dipertimbangkan dalam menentukan policy masalah transportasi. Aspek tersebut adalah
dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap lingkungan serta efisiensi dalam
penggunaan energi sebagai pendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep lain yang cukup menarik dalam kaitan dengan sistem kegiatan ini adalah
intensification dan mix use planning dalam penggunaan lahan seperti konsep superblock,
redevelopment, urban renewal dan lain-lain. Konsep
pembangunan
yang
terpadu
antara hunian, tempat bekerja, fasilitas kebutuhan skala lokal ini bila dapat diterapkan
dengan baik juga akan mampu mengurangi jumlah pergerakan penduduk, karena untuk
kegiatan-kegiatan dalam skala kebutuhan lokal akan dapat di penuhi di lokasi setempat.
Konsep ini diarahkan untuk dapat mengurangi arus pergerakan penduduk keluar dari
blok. Namun dalam implementation banyak kendala dan fungsi yang tidak dapat bekerja
seperti yang diharapkan. Banyak superblok tersebut hanya menyediakan sarana hunian
untuk kelas atas atau (middle up) sehingga penduduk yang berpenghasilan rendah dan
bekerja di lokasi tersebut tidak mampu menjangkau. Selain itu karena konsep ini masih
bersifat partial, maka fasilitas-fasilitas yang seharusnya hanya diarahkan untuk penduduk
setempat ternyata mempunyai power attraction yang kuat bagi penduduk sekitanya. Hal ini
tentunya menjadikan pergerakan antar atau keluar masuk ke blok tersebut menjadi sangat
besar dan padat dan tidak sesuai dengan konsep awalnya.
Pengaturan tata guna lahan di Jakarta ini memang menjadi suatu permasalahan
yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang
sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula.
Sebagai contoh adalah kasus di Kuningan, pada awalnya wilayah ini diarahkan untuk
pengembangan kawasan campuran, dengan sebagiab untuk permukiman klas atas yang
disediakan untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang kawasan ini tumbuh
menjadi kawasan perkantoran kelas satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi
karena lokasi yang sangat strategis dibandingkan lokasi lain. Dari aspek accessibilty
kawasan ini mudah dicapai dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup baik.
Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam-jam sibuk. Dengan kondisi ini maka
kebijaksanaan tata guna lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep
superblock system dan high rise building. Sebagai dampaknya kebutuhan transportasi
meningkat pesat sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya kemacetan dan
kepadatan lalu lintas tidak dapat dihindarkan. Dengan luas area 325 ha dan lebih dari
setengan juta pekerja, maka kawasan ini sangat memerlukan alat dan sarana transportasi
baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan penggunaan lahan belum didukung dengan
kebijaksanaan pengembangan transportasi.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kebijaksanaan tata guna lahan yang baik
belum tentu dapat mendukung pemecahan masalah transportasi, karena masih ditentukan
oleh implementasi-nya yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dianggap lebih
penting dan mendesak dari penataan guna lahan itu sendiri. Selain itu, pemecahan tata guna
lahan ini sebenarnya bersifat preventive dalam mencegah kemacetan atau kepadatan lalu
lintas. Pemecahan masalah transportasi melalui penataan ini memerlukan jangka waktu yang
lama dan melibatkan peran serta aktif masyarakat luas, sehingga tidak dapat secara
langsung mengatasi persoalan kemacetan atau kepadatan yang telah terjadi.
Konsep dalam sistem kegiatan ini sebenarnya bukan hanya terbatas pada
konsep kedekatan pergerakan melalui pengaturan tata guna lahan saja, namun dapat
pula dikembangkan melalui penggunaan kemajuan sistem teknologi yang mampu
mengurangi kebutuhan pergerakan manusia seperti alat-alat telekomunikasi atau internet
yang memungkinkan sesorang berbelanja hanya dari rumah atau pengiriman uang atau
pelayanan banking tanpa harus datang ke kantornya. Dengan konsep ini maka kebutuhan
dari manusia juga akan berkurang, sehingga kepadatan lalu lintas juga dapat dikurangi
(Wibawa, 1996).
3. Pendekatan Sistem Jaringan
Pendekatan sistem jaringan merupakan pendekatan yang hanya berorientasi pada
pembangunan jaringan jalan (supply side) tidak mungkin memecahkan masalah transportasi
yang ada. Strategi pengembangan suatu bagian wilayah kota dengan mengadopsi
secara langsung konsep pusat pertumbuhan hampir selalu didapatkan pada dokumendokumen perencanaan kota di Indonesia, baik itu RUTR Kota RTDR suatu bagian atau
mengikuti perkembangan kebutuhan sarana transportasi bila tidak didukung dengan sistem
jaringan yang lain, terutama jaringan kereta api.
4. Pendekatan Sistem Pergerakan
Pendekatan sistem pergerakan berupa peningkatan angkutan yang bersifat masal
harus lebih intensive dan nyaman. Salah satu alternatif terbaik untuk menjawab
permasalahan ini adalah dengan penggunaan jalur transportasi kereta api, karena sistem
angkutan ini dinilai mempunyai beberapa kelebihan terutama dalam jumlah pengangkutan.
Seperti dibuktikan kereta api Jabotabek, satu rangkaian dengan empat buah gerbong bisa
mengangkut sekitar 1.250 penumpang dalam waktu sekitar satu jam antara Bogor-Jakarta.
Jika jumlah penumpang ini diangkut dengan bus yang berkapasitas 75 orang (termasuk
berdiri) maka akan dibutuhkan sekitar 17 buah bus dengan waktu perjalanan dua kali lipat.
Dengan melihat ilustrasi ini maka jenis angkutan darat lainnya tak akan menandingi
keandalan kereta api.
2.2. Konsep Transportasi Berkelanjutan
Sistem transportasi berkelanjutan lebih mudah terwujud pada sistem transportasi
yang berbasis pada penggunaan angkutan umum dibandingkan dengan sistem yang
berbasis pada penggunaan kendaraan pribadi. Sistem transportasi berkelanjutan merupakan
tatanan baru sistem transportasi di era globalisasi saat ini. Persoalan transportasi menjadi
persoalan yang memerlukan perhatian dan kajian dari berbagai perespektif ilmu (Schipper,
2002:11 -25 dalam Aminah).
Pada awal penyelenggara pemerintahan mau menerapkan sistem transportasi
berkelanjutan (sustainable transportation). Sebetulnya apakah sistem transportasi yang
berkelanjutan itu? Jika kita merujuk pada beberapa literatur yang ada, sistem transportasi
yang berkelanjutan adalah suatu sistem transportasi yang dapat mengakomodasikan
aksesibilitas semaksi mal mungkin dengan dampak negatif yang seminimal mungkin.
Sistem transportasi yang berkelanjutan menyangkut tiga komponen penting, yaitu
aksesibilitas, kesetaraan dan dampak lingkungan. Aksesibilitas diupayakan dengan
perencanaaan jaringan transportasi dan keragaman alat angkutan dengan tingkat integrasi
yang tinggi antara satu sama lain. Aksesibilitas transportasi menjadi penting seiring dengan
meningkatnya peradaban umat manusia. Kesetaraan diupayakan melalui penyelenggaraan
transportasi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, menjunjung tinggi persaingan
bisnis yang sehat, dan pembagian penggunaan ruang dan pemanfaatan infrastruktur secara
adil serta transparansi dalam setiap peng ambilan kebijakan. Pengurangan dampak negatif
diupayakan melalui penggunaan energi ramah lingkungan, alat angkut yang paling sedikit
menimbulkan polusi dan perencanaan ya ng memprioritaskan keselamatan. Memperhatikan
kondisi makro yang ada terutama pengaruh iklim globalisasi menempatkan persoalan transportasi menjadi layanan kebutuhan atau aksesi -bilitas yang harus disediakan oleh Negara.
Menurut (Mineta Transportation Institute, 2003 dalam Herman, 2011), suatu sistem
transportasi berkelanjutan harus mencakup: (1) terpenuhinya kebutuhan kemudahan
mendasar setiap individu secara aman dan mendukung kesehatan manusia dan
ekosistem serta memenuhi rasa keadilan bagi generasi saat ini dan generasi berikutnya,
(2) tersedianya operasi transportasi yang efisien dan pilihan moda transportasi yang
mendukung perubahan ekonomi, dan (3) pembatasan emisi dan limbah sehingga mampu
diserap oleh alam, penggunaan minimal sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
serta penggunaan ulang dan daur-ulang komponen-komponennya, penggunaan lahan yang
efektif, serta pengurangan kebisingan.
Mengapa diperlukan suatu sistem transportasi berkelanjutan? Menurut (Mineta
Transportation Institute, 2003 dalam Herman, 2011) konsep transportasi sering hanya
diartikan sebagai infrastructure grid yang diarahkan untuk mendukung berbagai program
pengembangan dan sering dirancang secara terisolasi dari elemen-elemen kebijakan lainnya.
Padahal perencanaan transportasi ini sangat terkait dengan perencanaan-perencanaan lain,
termasuk perencanaan tata guna lahan dan permukiman. Secara detail perbedaan antara
2.
Tujuan
3.
Keterlibatan
Masyarakat
4.
Biaya fasilitas
5.
Biaya Pengguna
6.
Biaya Eksternal
7.
Kepemilikan
8.
Permintaan
Perjalanan
9.
Bangkitan
Lalulintas/
Bangkitan
Perjalanan
Transportasi
Konvensional
Perencanaan Konvensional
Definisi dan ukuran transportasi
terutama
dalam bentuk perjalanan
kendaraan.
Memaksimumkan
kapasitas jalan dan parkir
terhadap permintaan
lalulintas prediksi.
Rentang keterlibatan
masyarakat dari kadangkadang hingga cukup.
Masyarakat dilibatkan untuk
mengomentari pada halhal tertentu dalam proses
perencanaan.
Mempertimbangkan biaya
untuk agen atau tingkatan
pemerintah tertentu.
dan
Perencanaan
Perencanaan Berkelanjutan
Definisi dan ukuran
transportasi dalam
bentuk aksesibilitas .
Menggunakan analisis
ekonomi untuk menentukan
kebijakan dan investasi
optimal.
Rentang keterlibatan
masyarakat dari cukup
hingga tinggi.
Masyarakat terlibat pada
banyak hal dalam
proses perencanaan.
Mempertimbangkan seluruh
biaya fasilitas, meliputi biaya
untuk tingkat pemerintah
lainnya dan biaya untuk
bisnis (seperti parkir).
Mempertimbangkan waktu
Mempertimbangkan waktu
pengguna, biaya operasi
pengguna, biaya operasi
kendaraan , dan tarif atau tol
kendaraan, dan biaya
kepemilikan, tarif, atau tol
Mungkin mempertimbangkan
Mempertimbangkan biaya
biaya polusi udara lokal
polusi udara lokal dan global,
kemacetan, kerusakan
kecelakaan yang tidak
dikompensasikan, dampak
bagi pengguna jalan lainnya,
dan dampak teridentifikasi
lainnya.
Mempertimbangkan isu-isu
Mempertimbangkan isu-isu
pembatasan kepemilikan.
kepemilikan yang luas.
Ditujukan kepemilikan terutama Kebijakan transportasi yang
oleh transit bersubsidi.
memperbaiki kemudahan
untuk non-pengemudi dan
populasi yang dirugikan.
Definisi permintaan
Definisi permintaan
perjalanan berdasarkan
perjalanan sebagai fungsi,
biaya pengguna eksisting.
berdasarkan pada
bermacam-macam tingkat
biaya pengguna.
Menghindari seluruhnya atau
Melibatkan lalulintas
mungkin mengikutikan umpan bangkitan dalam
balik terbatas dalam
perhitungan pemodelan
pemodelan
dan evaluasi ekonomi
No.
Aspek
Perencanaan Konvensional
10.
Integrasi dengan
Perencanaan
Strategis
Mempertimbangkan
perencanaan tata guna lahan
sebagai suatu masukan
masyarakat terhadap
pemodelan transportasi
11.
Kebijakan Investasi
Berdasarkan mekanisme
pendanaan yang ada yang
mentargetkan uang sebagai
mode
12.
Pentarifan
13.
Manajemen
Permintaan
Transportasi
Hanya mengunakan
Manajemen Permintaan
Transportasi ketika kapasitas
jalan dan parkir meningkat
dipertimbangkan tidak layak
(contoh kota- kota besar dan
daerah pusat bisnis)
Perencanaan Berkelanjutan
dari kebijakan dan
investasi alternatif.
Keputusan transportasi
individual diseleksi untuk
mendukung visi strategis
masyarakat.
Keputusan transportasi
dikenal sebagai
dampak tata guna lahan
Perencanaan biaya
terendah mengijinkan
sumber daya digunakan
untuk solusi biaya yang
lebih efektif
Fasilitas jalan dan parkir
ditarifkan untuk
pengembalian biaya dan
berdasarkan pada biaya
marjinal untuk mendorong
efisiensi ekonomi
Penerapan Manajemen
Permintaan Transportasi
sebisa mungkin. Perluasan
kapasitas hanya terjadi ketika
Manajemen Permintaan
Transportasi tidak berbiaya
efektif. Mempertimbangkan
rentang yang lebar untuk
strategi Manajemen
Permintaan Transportasi
Sistem transportasi juga merupakan suatu kebutuhan sosial yang mendasar, karena
sistem transportasi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam berbagai cara.
Sebagai contoh, sistem transportasi yang sukses akan mampu memberikan akses kepada
masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan layanan transportasi yang diperlukan,
meningkatkan produktivitas, serta menciptakan investasi bisnis dalam masyarakat atau di
suatu wilayah. Sistem transportasi yang efisien akan meminimumkan penggunaan sumber
daya yang diperlukan untuk melakukan suatu pergerakan dan membantu memelihara
lingkungan yang sehat bagi masyarakat dan ekosistem.
Suatu sistem transportasi juga berkaitan dengan kualitas hidup. Ketika sistem
transportasi menghasilkan pertumbuhan ekonomi, standar hidup masyarakat akan
meningkat pula, walaupun kualitas hidup ini tidak mudah diukur karena sulit untuk
dikuantifikasi (Herman, 2011).
Menurut World Bank (1996) dalam Herman (2011), tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu sistem transportasi keberlanjutan dapat dikelompokkan dalam 3 bidang, yaitu bidang
ekonomi, bidang lingkungan hidup, dan bidang sosial. Dalam bidang ekonomi, tujuan yang
ingin dicapai adalah membuat transportasi lebih efektif dan responsif terus menerus terhadap
perubahan permintaan. Dengan kata lain, kemampuan responsif penyedia transportasi
terhadap kebutuhan pengguna harus selalu ditingkatkan melalui adanya kompetisi dan
partisipasi masyarakat. Di bidang lingkungan, sistem transportasi harus menjamin isu-isu
lingkungan yang diarahkan sebagai suatu bagian integral perumusan kebijakan. Strategi
dan perancangan transportasi. Sedangkan di bidang sosial sistem transportasi harus dapat
(https://aktiviantiaposhi.wordpress.com,2011).
.
2.3. Strategi Menuju Sistem Transportasi Pembangunan
Pembangunan infrastruktur transportasi berkelanjutan merupakan upaya yang
komprehensif dari berbagai dimensi sektoral, wilayah, keterlibatan para aktor, dan
substansinya. Gambar 2 memperlihatkan suatu usulan langkah- langkah strategis menuju
penataan sistem transportasi yang berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur transportasi
merupakan bagian integral dalam setiap elemen perwujudan langkah-langkah yang
diperlukan tersebut karena hal ini akan sangat menentukan efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan sistem yang ada. Penataan yang menyangkut aspek teknologi, regulasi,
dan perilaku pengguna perlu diberi prioritas. Strategi implementasi perlu dirumuskan untuk
mencapai kondisi yang lebih berkelanjutan dalam hal operasional, ketersediaan sistem
yang lebih ramah lingkungan, serta penggunaan sumber daya. Pendidikan bagi publik perlu
digalakkan untuk untuk meningkatkan partisipasi publik ke arah yang diinginkan.
Kota-kota Indonesia yang relatif berkembang cepat dibanding kota-kota di negara
maju, terutama dalam hal pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang memicu pertumbuhan
kebutuhan aktivitas sosial ekonomi, tidak mempunyai pilihan lain dalam memandang masa
depannya, kecuali segera merespons tuntutan global mengenai keberlanjutan perkotaan
yang layak hidup. Sejumlah kebijakan dasar harus dirumuskan agar arah yang diambil
dapat secara tepat dan efektif menjawab permasalahan. Beberapa hal pokok dibahas di
bawah ini.
Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota
Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten
Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa.
Setiap hari kemacetan lalu lintas terjadi hampir di semua badan jalan baik pagi hari
maupun sore hari di jalan arteri suburban menuju ke pusat kota. Kemacetan yang terjadi di
pusat kota disebabkan oleh meningkatnya permintaan jalan, rendahnya disiplin, dominannya
penggunaan angkutan pribadi, ketidakkonsistenan pengembangan tata guna lahan dan
pemanfaatan jalan, fasilitas lalu lintas angkutan jalan di luar kepentingan lalulintas seperti
pedagang kaki lima dan dan kurangnnya badan jalan (Mardiaman, 2010).
2.5. Kebijakan Transportasi DKI Jakarta
Persoalan kemacetan lalu lintas di kota Jakarta tidak terlepas dari kondisi dan
perkembangan tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta kota ini. Transportasi dan tata ruang
merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, karena transportasi dalam
hal ini lalu lintas atau traffic merupakan fungsi dari tata guna lahan. Inventarisasi dan
harmonisasi muatan materi kebijakan/peraturan terkait aspek transportasi dan tata ruang.
Atas dasar itu perlu dilakukan inventarisasi materi kebijakan atau peraturan
perundang-undangan dari kedua aspek tersebut yang saling terkait. Perlu didiskusi tentang
arah untuk mengidentifikasi materi muatan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 sebagai revisi Perda No. 6 Tahun 1999
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta. Sehingga untuk
kebutuhan tersebut, sebelumnya juga perlu mengidentifikasi materi muatan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW DKI
Jakarta 2030.
Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa UU No. 22 Tahun 2009 mengamanatkan
perlu ada keterpaduan antara rencana jaringan lalu lintas dan angkutan jalan terhadap
rencana tata ruang wilayah. Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan tentang
keterpaduan antara kedua aspek tersebut, namun UU No. 26 Tahun 2007 mengamanatkan
muatan rencana tata ruang memuat rencana jaringan sistem prasarana termasuk sistem
jaringan transportasi.
Raperda RTRW 2030 memuat tentang sistem dan jaringan transportasi pada Pasal
17 hingga Pasal 37. Muatan materi yang perlu mendapat perhatian secara khusus adalah
sistem pusat kegiatan yang direncanakan pada Pasal 16. Perlu dipertimbangkan oleh
pemrakarsa Raperda (Bappeda Provinsi DKI Jakarta): apakah sistem dan jaringan
transportasi yang diuraikan pada Pasal 17 mampu mewadahi kebutuhan mobilitas akibat
pengembangan sistem pusat kegiatan sebagaimana dijabarkan pada Pasal 16. Di mana
arahan pengembangan sistem dan jaringan transportasi dimaksud raperda tersebut secara
garis besar telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, dan Danau. Kondisi empiris menunjukkan bahwa
bangkitan lalu lintas akibat perkembangan tata guna lahan (Tata Ruang DKI Jakarta
dipayungi Perda No. 9 Tahun 1999) tidak mampu diwadahi/dilayani oleh pertumbuhan
jaringan transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di DKI Jakarta dipayungi Perda No. 12
Tahun 2003).
Komisi Hukum dan Humas menyarankan agar materi muatan Raperda RTRW 2030
perlu ditinjau kembali terutama konsekuensi rencana sistem pusat kegiatan terhadap rencana
sistem dan jaringan transportasi. Atau masalah bangkitan lalu lintas terhadap daya dukung
sarana dan prasarana transportasi kota .
Dampak Tata Ruang DKI Jakarta terhadap kemacetan lalu lintas ber-akar dari Visi
dan Misi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Komisi berpendapat Visi dan
Misi Pembangunan DKI Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Daerah RTRW saat ini, yaitu
Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang
mengarahkan perkembangan Jakarta sebagai Big City dan Kota Jasa tidak tepat bagi Kota
Jakarta sebagai Ibukota Negara RI. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 dan Pasal 5
huruf c:
Melihat kondisi di atas, Pemerintah DKI Jakarta sangat perlu melakukan pengelolaan
transportasi yang berkelanjutan (Mardiaman, 2010). Pada dasarnya pengelolaan transportasi
di kelompokan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Pengelolaan kapasitas jalan
Perbaikan geometric simpang
Penataan parkir di tepi jalan
Penetapan ATCS (Area Trafic Controlled System)
Pelebaran jalan
Pembangunan jalan bawah tanah (underway)
Pembangunan simpang tidak sebidang (flyover dan underpass)
b. Pengelolaan prioritas
Jalur bus khusus (busway)
Lajur khusus bus
Jalur/lajur khusus sepeda
Jalur/lajur khusus sepeda motor
Prioritas dipersimpangan
Prioritas dipersimpangan untuk angkutan umum
Prioritas bagi kendaraan umum, penumpang dan barang.
c. Pengelolaan permintaan
Penataan trayek
Penataan lintas angkutan barang dan pembatasan lokasi bongkar muat barang.
Lajur pasang surut
Sistem satu arah
Pembatasan lalu lintas yaitu 3 in 1, sistem stiker, sistem no polisi ganjul genap, area
licecing sytem, road pricing, penerapan tariff parkir yang tinggi pada daerah pusatpusat kegiatan
Penerapan pajak progresif terhadap pemilik kendaraan yang lebih dari satu.
Pembatasan kendaraan pribadi dalam tiap tahunnya dengan penggunaan licensing
system untuk tiap kendaraan.
Kontrol terhadap penggunaan tata guna lahan.
Kawasan tertib lalu lintas.
Pemilihan model lalu lintas pada dasarnya ditentukan dengan mempertimbangkan
salah satu persyaratan pokok, yaitu pemindahan barang dan manusia dilakukan dalam
jumlah yang terbesar dengan jarak yang terkecil. Angkutan massal (public MRT)
yangberorientasi pada kepentingan publik atau pelanggan (customer), dalam hal ini
merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan angkutan individual.
Di sini ada pilihan untuk angkutan (modal choice), persaingan dalam jasa pelayanan
(competitive services), dan nilai waktu (time values). Dengan mengurangi jumlah sarana
transportasi (kendaraan) sesedikit mungkin dan dalam waktutempuh yang sekecil mungkin,
akan diperoleh efisiensi yang tertinggi, sehingga pemakaian total energi per penumpang
akan sekecil mungkin dan intensitas emisi pencemar yang dikeluarkan akan berkurang.
Salah satu jenis angkutan massal adalah angkutan dengan bis yang disebut Bus Rapid
Transit (BRT). Berbeda dengan angkutan yang menggunakan jalur rel (rail transit) tersendiri,
maka angkutan dengan bis kota beroperasi pada suatu jalur terbagi dalam suatu sistem yang
terbuka dan bebas. Dalam kondisi semacam ini, bis-bis menghadapi kelambatan yang
disebabkan oleh interaksi dengan kendaraan-kendaraan lain dan adanya lampu lalu lintas
pada persimpangan. Kedua factor ini sangat berpengaruh pada operasi perjalanan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak negatif pada
perjalanan bis, antara lain dengan menggunakan lajur tersendiri untuk bis (busway). Cara ini
cukup efektif dalam mengatasi kemacetan lalu lintas, tetapi biayanya mahal, dan untuk kotakota tertentu dengan ruang yang terbatas untuk jalan, cara ini tidak mungkin dilakukan.
(d)
(e)
(f)
(g)
jumlah mobil pribadi di Jakarta kurang dari 30% dari seluruh jumlah kendaraan bermotor
di Jakarta, maka usaha pembatasan mobil pribadi untuk tujuan menurunkan tingkat
kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor, akan kurang efektif.
Pembatasan kendaraan umum.
Cara ini justru bertolakbelakang dengan tujuan transportasi untuk umum (public
transportation), di samping jumlah kendaraan umum yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah kendaraan pribadi. Pembatasan kendaraan umum kurang
berdampak terhadap pengurangan volume lalu lintas, bahkan sebaliknya dapat
menimbulkan masalah lain dalam transportasi umum.
Usaha yang lebih berjangka panjang denganmenambah jaringan jalan dan pembuatan
jalan-jalan layang (flyovers) atau underpass untuk menghindari persimpangan
persimpangan sebidang, yang berarti mengurangi kemacetan lalu lintas. Tetapi cara ini
membutuhkan biaya yang besar, dan bila tidak dibarengi dengan pembatasan produksi
(atau impor) kendaraan bermotor, pada suatu saat akan timbul kembali masalah
kepadatan lalu lintas.
Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) dengan kereta rel (listrik atau diesel) dapat
mengurangi penggunaan angkutan umum bis, mikrolet, dan sebagainya. Namun cara ini
membutuhkan biaya yang sangat besar. Sama halnya dengan SAUM adalah sistem MRT
(Mass Rapid Transit) yang berupa subway. Membangun subway secara finansial tidak
layak, karena biaya pembangunan yang sangat tinggi, tetapi dari segi ekonomi
dapatdisebut layak, karena sistem ini akanmengurangi jumlah penggunaan kendaraan
pribadi, menghemat waktu. Sebesar 75% dari biaya pembangunan infrastruktur subway
akan hilang (sunk cost), karena itu bagian ini harus disubsidi oleh pemerintah, sedangkan
pengoperasiannya dapat dilakukan oleh pihak swasta .
Pembenahan angkutan umum (bis kota), meliputi penggantian kendaraan bis dengan
kendaraan bis baru yang lebih baik dan lebih laik jalan, disertai dengan pendidikan
disiplin bagi para pengemudi dan awak bis, pengaturan jadwal dan rute bis yang lebih
menyeluruh dan menjangkau semua wilayah dalam kota. Cara ini tidak terlalu mahal
dibandingkan dengan SAUM, MRT (subway), atau pembuatan jalan layang dan
underpass, tetapi memerlukan kesungguhan dan disiplin dari semua pihak
(pengelola,pengemudi, pengatur lalu lintas, dan masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA