Anda di halaman 1dari 6

Solusi Kemacetan di Kota Jakarta

Alif Dwiandra Alfadil

Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan


terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan
melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar,
terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik atau system' lalu lintas
yang tidak baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan
dengan kepadatan penduduk, misalnya Jakarta. Kota Jakarta merupakan kota
perantauan bagi banyak orang hal itu meyebabkan banyaknya kendaraan pribadi
yang menambah jumlah volume kendaraan. Karakteristik Kota memiliki ruas
jalan yang panjang dan besar tetapi tetap tidk sebnding dengan jumlah volume
kendaraan yang ada, adanya kendaraan umum juga sangan membantu dalam
mengatasi kemacetan tetapi kurangnya kesadaran untuk menggunakan kendaraan
umum. Jumlah volume kendaraan yang bertambah tiap tahunnya, tidak
memungkiri menambah kemacetan di Kota Jakarta. Banyaknya Mall, pedagang
kaki lima dan fasilitas-fasilitas umum yang tersebar diseluruh sisi Kota Jakarta,
dan Kota Jakarta tergolong memiliki Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta
yang tidak sedikit jumlahnya merupakan faktor tertinggi dalam sektor pendatang
yang bertahan hidup di kota ini menjadikan kawasan Kota Jakarta memiliki
jumlah penduduk yang bertambah setiap tahunnya.

Memiliki banyak Perguruan Tinggi dan menjadi ibu kota tentu


menguntungkan bagi Kota Jakarta, Dengan banyaknya jumlah Perguruan Tinggi
yang terdapat di Kota Jakarta, tentu berdampak pada populasi penduduk. Banyak
orang dari luar Kota Jakarta akan datang ke Kota Jakarta untuk menempuh
pendidikan di banyak Perguruan Tinggi tersebut, dari pulau jawa bahkan luar
Jawa. Hal tersebut membuat populasi penduduk di Kota Jakarta meningkat,
jumlah kendaraan juga meningkat yang merupakan efek dari jumlah populasi
yang meningkat tadi. Kenaikan jumlah kendaraan tersebut tentu salah satunya
berasal dari kendaraan milik mahasiswa yang menempuh pendidikan di Perguruan
Tinggi yang ada di Kota Jakarta.

Selama hari aktif Kerja, bisa dipastikan tempat parkir kendaraan terutama
sepeda motor pasti akan penuh. Hal tersebut membuktikan bahwa kendaraan
pribadi masih menjadi alat transportasi pilihan favorit. Ketika jumlah kendaraan
di suatu daerah meningkat, akan berdampak pada kepadatan lalu lintas. Hal
tersebut bisa dilihat dari ketika pada jam-jam sibuk yaitu pada pagi hari yang
merupakan jam berangkat bekerja/sekolah dan pada sore hari yang merupakan
jam pulang bekerja/sekolah. Pada waktu-waktu tersebut, bisa dilihat terjadinya
kepadatanlalu-lintas yang diakibatkan banyaknya kendaraan yang melintas di
jalanan Kota Jakarta. Kepadatan tersebut terutama terjadi di titik/jalan yang
terdapat Perguruan Tinggi, pusat perkantoran, dan jalan utama.

Ruas jalan yang menyempit dan permukaan tak rata menambah hambatan lalu
lintas. Belum lagi, di sejumlah ruas jalan lain, terdapat galian proyek-proyek
perbaikan sehingga semakin mempersempit ruang bagi pengendara. Di sore,
terutama di jam-jam pulang kerja lazim, yaitu pukul 17.00-19.00 WIB, tingkat
kemacetan di jalanan Jakarta terpantau semakin menjadi. kemacetan parang di
Jakarta akibat belum memadainya transportasi. Padahal, saat ini moda transportasi
publik tersedia di Jakarta sudah semakin beragam. Mulai dari Transjakarta, KRL
Commuter, hingga MRT.

Kemacetan di Jakarta sudah menjadi momok, bukan hanya bagi


masyarakat Ibu Kota namun juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dibandingkan dengan kota-kota besar di negara maju, sistem pelayanan
transportasi umum di Tanah Air masih sangat tertinggal dan cukup
memprihatinkan. Di negara maju, masyarakatnya cenderung menggunakan
transportasi umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Akan tetapi, di
Jakarta, umumnya masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kendaraan
pribadi dibandingkan transportasi umum. Hal itu sejatinya bukan tanpa alasan.
Berdasarkan jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik (JMBTL) pada
tahun 2018, masyarakat cenderung tidak menggunakan transportasi umum karena
berbagai alasan, seperti tidak nyaman, waktu tempuh perjalanan lebih lama,
hingga kapasitas angkutan umum yang tidak dioperasikan sebagaimana mestinya
sehingga keamanan tidak bisa diperoleh.

Selain itu, Jakarta juga banyak melakukan pembangunan infrastruktur


untuk fasilitas jalan, yang sedianya untuk memperlancar perjalanan arus lalu
lintas, namun karena pembangunan dilaksanakan dengan kondisi Jakarta yang
macet sehingga menjadikan kemacetan semakin parah. Jumlah pengguna
kendaraan pribadi yang cenderung terus mengalami peningkatan dan tidak
didukung oleh pembangunan infrastruktur yang memadai juga mengakibatkan
timbulnya kemacetan lalu lintas. Sebenarnya, pemicu utama kemacetan adalah
populasi kendaraan yang tidak terkontrol, sementara pertumbuhan ruas jalan
terbatas sehingga tidak mampu menampung kendaraan. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) Jakarta pada tahun 2016, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota
tercatat lebih dari 18 juta unit. Jika ditempatkan secara berjejer di seluruh jalan
raya di Jakarta, maka jalanan akan berubah menjadi area parkir. Hal itu
membuktikan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta jauh lebih banyak dari ruas
dan panjang jalan yang tersedia, sehingga membuat jalanan Jakarta ‘melebihi
kapasitas’. Akibatnya, kemacetan parah terjadi di hampir seluruh ruas jalan.

Setidaknya ada beberapa penyebab kemacetan di Jakarta lainnya, seperti


ruas jalan jauh di bawah kebutuhan normal dari total luas kota, transportasi umum
yang belum sesuai dengan kebutuhan di kota besar, minimnya jembatan
penyeberangan orang atau terowongan penyeberangan orang, banyaknya
persimpangan jalan yang belum memiliki bangunan fly over maupun underpass,
angka urbanisasi dan pertumbuhan penduduk di Jakarta yang tinggi, serta
kurangnya angkutan massal seperti bus dan kereta. Selain itu, kurangnya fasilitas
pendukung jalan seperti trotoar dan kesadaran tertib berlalu lintas yang sangat
rendah menyebabkan kemacetan di Jakarta tidak terkendali. Meskipun tingkat
kemacetan di Jakarta berkurang signifikan selama pandemi COVID-19, secara
historis, Jakarta Open Data menyebutkan bahwa tingkat kemacetan di Jakarta
tercatat cukup tinggi sebelum pandemi berlangsung. Pada Januari dan Februari
2020, tingkat kemacetan di Jakarta sebesar 55 persen dan 61 persen.
Tingkat kemacetan di Jakarta itu pun baru mulai menurun pada Maret 2020
menjadi 44 persen. Ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan
pada April 2020, tingkat kemacetan di Jakarta mencapai titik terendahnya, yakni
11 persen dan mulai mengalami peningkatan kembali sejak Mei 2020. Namun,
pada September 2020, tingkat kemacetan kembali turun seiring penerapan PSBB
lanjutan. Pada Oktober 2020, tingkat kemacetan di Jakarta tercatat sebesar 28
persen. Sedangkan, tingkat kemacetan di Jakarta dalam dua bulan terakhir di
tahun 2020 mencapai 34 persen.

Sudah ada beberapa solusi yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi


kemacetan di kota Jakarta antaara lain:

1. Kebijakan Ganjil Genap

Kebijakan Ganjil-Genap merupakan kebijakan baru pengganti 3 in


1 yang setelah dilakukan evaluasi ternyata memiliki dampak negatif di
bidang sosial dan ekonomi. Kebijakan Ganjil-Genap yaitu pembatasan
kendaraan bermotor berdasarkan pelat nomor ganjil-genap.
Uji coba kebijakan ini sudah berjalan sejak tanggal 27 Juli sampai dengan
26 Agustus 2016, dan rencananya akan diberlakukan tanggal 30 Agustus
2016. Kebijakan diterapkan Senin sampai Jumat, pukul 07.00 – 10.00 dan
pukul 16.00 – 20.00, dan tidak berlaku pada Sabtu-Minggu dan libur
nasional.
Mekanisme kebijakan ini yaitu kendaraan dengan pelat nomor belakang
ganjil beroperasi di tanggal ganjil, dan nomor genap beroperasi di tanggal
genap. Kebijakan tidak berlaku bagi sepeda motor, mobil aparatur
pemerintahan, mobil angkutan umum, pemadam kebakaran, kendaraan
dinas (termasuk plat CD) dan angkutan barang dengan dispensasi khusus.
Titik lokasi penerapan kebijakan ganjil-genap adalah di Jalan MH
Thamrin, Jenderal Sudirman, dan Gatot Subroto, yang merupakan ruas
jalan yang dulunya menjadi lokasi penerapan 3 in 1.

2. Pembangunan MRT

Salah satu cara untuk mengurai kemacetan adalah dengan


menambah moda transportasi umum. Hal ini yang dilakukan Pemprov
DKI Jakarta dengan membangun proyek MRT sebagai alternatif moda
transportasi umum. MRT Jakarta yang berbasis rel rencananya akan
membentang kurang lebih ±110.8km, yang terdiri dari Koridor Selatan-
Utara (Koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih
±23.8km dan Koridor Timur-Barat sepanjang kurang lebih ±87km.
Mega proyek MRT Jakarta ini selesai di tahun 2018. Nantinya, MRT
dilengkapi dengan CCTV yang akan terintegrasi langsung dengan portal
Jakarta Smart City. Harapannya, dengan adanya MRT, kota Jakarta
berhasil mencapai indikator smart mobility.

3. Penambahan Armada Transjakarta

Selain menambah alternatif moda transportasi umum, Pemerintah


Provinsi DKI Jakarta juga menambah armada moda transportasi umum
yang ada saat ini, yaitu Bus Transjakarta. Penambahan armada ini salah
satunya dialokasikan untuk membuka rute di daerah penyangga seperti
Depok, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. Saat ini, total jumlah armada bus
Transjakarta yang beroperasi sebanyak 1.233 armada. Jumlah tersebut
sudah termasuk milik PT Transjakarta dan 8 operator yang bermitra
dengan PT Transjakarta. Tercatat jumlah armada milik PT Transjakarta itu
sebanyak 244 armada. Terdiri dari 172 bus gandeng, 66 bus single dan 6
unit bus tingkat. Selain itu, Kementerian Perhubungan juga memberikan
bantuan Bus Rapid Transit single sebanyak 600 armada.

4. Pembangunan Jalan Layang

Langkah lain yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah


dengan membangun Jalan Layang. Saat ini pembangunan Jalan Layang
yang sedang berlangsung adalah Jalan Layang Tendean – Ciledug, yang
pembangunannya terbagi menjadi beberapa paket di antaranya Paket
Tendean, Paket Santa, Paket Trunojoyo, Paket Taman Puring, Paket Adam
Malik, Paket Kostrad, Paket Seskoal, dan Paket Kebayoran Lama. Jalan
Layang ini nantinya akan dikhususkan untuk bus Transjakarta koridor 13
(Tendean – Ciledug) yang terdiri dari 12 halte.

Anda mungkin juga menyukai