ABSTRAK
Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah pusat dan pihak yang berkompeten
berencana untuk membangun jalan tol Semarang-Solo sejauh 75,674 km, yang
menghubungkan kota Semarang dan kota Solo serta kota lain disekitarnya, dengan
tujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa antara kedua kota, akan tetapi perlu
diketahui sejauh mana masyarakat membutuhkan atau setuju dengan pembangunan
jalan tol. Kemampuan seseorang untuk membayar jasa yang diterimanya berdasarkan
penghasilan yang dianggap ideal ATP (Ability to Pay), sedangkan kesediaan seseorang
untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya WTP (Willingness to Pay)
untuk membayar tarif rencana yang ditetapkan operator sebesar Rp 60.000,-.
Dalam studi ini pembahasan difokuskan pada kemampuan dan kemauan calon
pengguna, untuk mengetahui hal tersebut ada dua pendekatan yang digunakan yaitu
kemapuan berdasarkan persepsi pengguna dan kemampuan berdasarkan alokasi budget
untuk transport dan total budget yang dianggap layak atau ideal. Dari hasil pengolahan
data survey didapatkan nilai ATP tertinggi berada pada golongan IA jenis kendaraan
pribadi (Rp 30.300), sedangkan nilai ATP terendah berada pada golongan IIB jenis
truk gandeng (Rp 12.300). Nilai WTP terbesar berada pada golongan IIB(Rp 18.300)
sedangkan nilai WTP terendah berada pada golongan IA jenis truk kecil dan IIB truk
tariler (Rp 12.300). Dari total 300 responden 64,3% menyatakan setuju dengan
pembangunan jalan tol, 20,3% menyatakan tidak setuju. Asumsi jumlah pengguna
jalan tol dihitung dari total volume lalulintas sebesar 35432 didapatkan jumlah terbesar
20314 buah moda yang masuk melalui pintu tol semarang sedangkan yang terkecil
masuk melalui pintu tol colomadu 1299 buah moda.
Kata kunci: Jalan tol, tarif, kemampuan, kemauan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya kota Semarang, Bawen, Ungaran, Salatiga, Boyolali dan Surakarta
mengakibatkan adanya kemitraan di dalam perkembangan wilayah tersebut. Terutama
perkembangan bisnis dan investasi serta peningkatan berbagai macam produksi yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada daerah tersebut ataupun
daerah lain yang mendukung. Kondisi ini pada akhirnya bermuara pada peningkatan
kualitas dan kuantitas produk, dalam menunjang hal tersebut dibutuhkan sarana dan
prasarana transportasi yang aman, nyaman, ekonomis dari segi waktu dan biaya.
Karena sektor transportasi merupakan kunci utama kelancaran arus barang dan jasa
hasil produksi maupun bahan baku produksi. Sehingga perlu dipikirkan bagaimana
membuat prasarana yang dapat menunjang kelancaran arus barang dan jasa antara
kota Semarang dan Solo. Ini dimungkinkan karena daerah Solo saat ini menjadi suatu
daerah yang cukup berpotensi menjadi daerah bangkitan dan tarikan perjalanan.
Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah pusat dan pihak yang
berkompeten berencana untuk membangun jalan tol Semarang-Solo sejauh 75,674
km, yang menghubungkan kota Semarang dan kota Solo serta kota lain disekitarnya.
Rencana Pembangunan jalan tol Semarang-Solo telah dimulai sejak bulan Agustus
1996. Jalan tol itu sendiri disebut juga sebagai jalan bebas hambatan, adalah suatu
jalan alternatif untuk mengatasi kemacetan lalu lintas ataupun untuk mempersingkat
jarak dari satu tempat ke tempat lain. Untuk menikmatinya, para pengguna jalan tol
harus membayar sesuai tarif yang berlaku. Penetapan tarif jalan tol ini didasarkan
pada golongan kendaraan (www.jasamarga.co.id).
1.2 Rumusan Masalah
Penting atau tidaknya jalan tol ini dibangun sangat ditentukan oleh seberapa besar
minat para pengguna jalan untuk menggunakan jasa jalan tol tersebut, hal ini
ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: besarnya tarif yang ditawarkan
oleh pihak PT Jasa Marga, dan benefit apa yang akan diterima oleh masyarakat
sebagai pengguna jalan tol. Tarif yang akan ditentukan haruslah sesuai dengan
kemampuan dan kemauan calon pengguna jalan tol untuk membayar. Hal ini
dilakukan agar masyarakat sebagai pengguna jalan tol mampu membayar tarif jalan
tol yang diberlakukan, dan masyarakat juga tidak terlalu diberatkan dengan tarif yang
ada, selain itu juga dilakukan agar PT. Jasa Marga tidak mengalami kerugian yang
terlalu besar untuk memenuhi biaya-biaya operasional jalan tol tersebut.
Dengan mengetahui kemampuan dan kemauan membayar dari calon pengguna jalan
tol maka kita dapat mempertimbangkan apakah tarif yang ada sudah sesuai dengan
pelayanan dan fasilitas yang ada pada jalan tol Semarang-Solo. Ini semua berfungsi
untuk menarik minat para pengguna jalan tol, karena apabila pelayanan dan fasilitas
kurang sesuai dengan tarif yang berlaku, maka dapat menjauhkan dari para pengguna
jalan tol. Hal ini sesuai dengan konsep Mannering (1990), yaitu maksimisasi utilitas
(Utility Maximisation). Pengertian yang mendasar dari konsep ini adalah masyarakat
sebagai pengguna jalan akan memilih sarana dan prasarana transportasi yang dapat
memberikan keuntungan yang maksimal. Karena adanya hal-hal tersebut, maka perlu
adanya penelitian/pengkajian yang lebih dalam tentang tarif jalan tol Semarang-Solo,
dimana tarif yang akan ditentukan haruslah sesuai dengan kemampuan dan kemauan
calon pengguna jalan tol untuk membayar, yang akan diteliti dengan menggunakan
metode perhitungan yang berdasar pada Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay
(WTP).
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui kemampuan membayar dari pengguna jasa
jalan tol yang diekspresikan dalam analisis Ability To Pay (ATP), Mengetahui
kemauan membayar dari pengguna jasa jalan tol yang diekspresikan dalam analisis
Willingness To Pay (WTP),
Manfaat dari penelitian ini adalah, sebagai salah satu masukan untuk Pemerintah dan
operator untuk menentukan tarif jalan tol yang sesuai dengan kemampuan masyarakat,
Sebagai data pembanding dengan tarif yang telah ditentukan oleh PT Jasa Marga,
1.4 Batasan Masalah Penelitian
Karena luasnya ruang lingkup penelitian, maka diberikan batasan–batasan sebagai
berikut
a) Metode/parameter yang ditinjau adalah dengan menganalisis kemampuan
masyarakat dalam membayar jasa jalan tol, yaitu dengan Ability To Pay (ATP) dan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan tol
Menurut Siregar, (1990) jalan tol adalah jalan yang bermutu tinggi dan berjalur ganda
(high standard multi lane highway). Jalan tol pertama kali dibangun di Amerika
Serikat tahun 1940-an untuk menampung lalu lintas bermotor yang terus bertambah.
Untuk mengatasi dana pembiayaan yang terbatas, maka diperkenalkan pungutan tol
yang ternyata berhasil menarik pendapatan yang cukup besar, bahkan dalam waktu
singkat dapat dibangun jalan tol sepanjang ribuan kilometer. Di Indonesia sendiri jalan
tol pertama yang dibangun adalah jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) pada
tahun 1976. Pengelolaan jalan tol dilakukan oleh PT. Jasa Marga BUMN yang
membiayai pembangunan jalan tol dari dana yang bersumber dari anggaran negara,
pinjaman bank, dan dana masyarakat melalui penjualan obligasi, selain itu juga
berasal dari dana perusahaan tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun
1990 tentang jalan tol Bab II pasal 2 ayat 2, jalan tol diselenggarakan dengan tujuan
meningkatkan efektifitas pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan
pertumbuhan ekonomi, terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat
perkembangannya. Di Indonesia, jalan bebas hambatan adalah sinonim untuk jalan tol.
Meskipun begitu, di luar negeri tidak semua jalan bebas hambatan memerlukan
bayaran. Jalan bebas hambatan seperti ini dinamakan freeway atau expressway (free
berarti "gratis") dibedakan dari jalan-jalan bebas hambatan yang memerlukan bayaran
yang dinamakan tollway atau tollroad (kata toll berarti "biaya"). Dari filosofi diatas
maka pada dasarnya pembangunan jalan bebas hambatan memerlukan biaya, sehingga
pada saat masyarakat menggunakan fasilitas tersebut akan dikenakan biaya sesuai
dengan jarak yang ditempuh. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis serta penelitian
tentang kemauan masyarakat untuk menggunakan jalan tol tersebut dan kemampuan
masyarakat untuk membayar jasa yang digunakan.
Studi yang dilakukan JICA pada tahun 1997 menunjukkan bahwa BOK terendah
tercapai pada saat kendaraan dipacu pada kecepatan 60 km per jam. Pengendara akan
mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp. 500,-/km ketika kondisi jalan tol hanya
memungkinkan kendaraan bergerak dengan kecepatan rendah (5 km/jam).
2.2 Penggolongan Jenis Kendaraan
Dalam sejarah penggunaan jalan tol di Indonesia ada beberapa jenis penggolongan
kendaraan, seperti disajikan dalam tabel dibawah ini:
3. METODOLOGI STUDI
Metodologi studi yang diuraikan sebagai berikut :
• Metode pengambilan data dilakukan dengan sistem simple random sampling yang
memakai kusioner. Jumlah sampel yang diambil didasarkan analisis kecukupan
data berdasarkan survai pendahuluan terhadap parameter jumlah pengguna jalan
Semarang-Solo
• Metode analisis nilai ATP didasarkan pada pendekatan budget perjalanan jarak
jauh dan untuk WTP menggunakan pendekatan persepsi calon pengguna jasa
jalan tol
A. Jenis kelamin
Karakteristik ini bertujuan untuk mengetahui jenis kelamin pengguna jalan Semarang–
Solo.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
60
53
50
40
30
17,67 19
20 10,33
10 0 0
0
Laki-laki Perempuan
Gol IA Gol IIA Gol IIB
15 11
10
5,67 5,33 5 6
1,67
5
0,67 2 1,67
0
17-20 20-30 30-40 >40
Gol IA Gol IIA Gol IIB
D. Jenis Pekerjaan
Karakteristik ini memiliki tujuan mengetahui Jenis pekerjaan adalah pekerjaan
responden saat ini, jenis pekerjaan disajikan pada gambar 4.
30
20,67
20
9,67 8 9
10 3,33 2,67
0 0 1,33 0 0
0
PNS/TNI/POLRI SWASTA/BUMN Pelajar/mahasisw a Sopir
30
20
20
10
10 5 5 6,67
3,67 2,67 2,67
0 0 0
0
< 1 juta 1 – 2 juta 2 – 3 juta 3 – 5 juta
Gol IA Gol IIA Gol IIB
30
18,33
20
9 9,33 8,67
10 5 6,33
1 2,33
0,33 0 0
0
100-200 200-300 300-500 >1 juta
15
9,67 8,67
10 7,33 7,33
8 8 6,67
5 2,33
1,33 1 0,67 0 0,67 0 0 0
0
<100 100-200 200-300 300-400 400-500 >500
30
20
11,67 10,67 10,67
10 9 7
4,33 3,33 3
0,67 0,67 0,67 0 0 0
0
Setiap Hari 3 Kali Seminggu 2 Kali Seminggu 1 Kali Seminggu > 1 Bulan
40
30
20
12
8,33 7,33
10 1,67
3,67 2,67 1,67 3
3 3,33 1 1,67 0,67 1,67 3 1,330,67
0
Ungaran Baw en Tingkir Boyolali Colomadu Kartosuro
15
10 7,67
6 7
4 5,67
3,33
5 1,67
0,67 0,67 0 0 0
0
20.000-30.000 30.000-40.000 40.000-50.000 50.000-60.000 >60.000
30300
30000
Nilai ATP dan WTP
25000
21500
19500 18000
20000 18300
15600
15000 17200
15800
14000
12300 12300 12300
10000
5000
0
Mobil pribadi Truk kecil Truk besar Bus Truk Gandeng Truk trailer
Je nis Moda
ATP WTP
120,00
100,00
80,00
Prosentase
60,00
40,00
20,00
0,00
0-100,00 100,01- 200,01- 300,01- 400,01- 500,01- 600,01- 700,01- 800,01- >900,01
200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00
Nilai ATP
PNS/TNI/POLRI Sw asta/BUMN Pelajar/Mahasisw a Sopir
120
100
80
Prosntase
60
40
20
0
>0 >100 >200 >300 >400 >500 >600 >700 >800 >900
Nilai ATP
PNS/TNI/POLRI Sw asta/BUMN Pelajar/Mahasisw a Sopir
Grafik 5.2 Prosentase kumulatif responden untuk ATP tertentu berdasarkan jenis
pekerjaan
60,00
50,00
40,00
Prosentase
30,00
20,00
10,00
0,00
0-100,00 100,01- 200,01- 300,01- 400,01- 500,01- 600,01- 700,01- 800,01- >900,01
200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00
Nilai ATP
PNS/TNI/POLRI Sw asta/BUMN Pelajar/Mahasisw a Sopir
setuju (6%), tidak tahu (11,33%). Golongan IIA setuju (6,00%), tidak setuju
(8,33%), tidak tahu (3,33%). Golongan IIB setuju (3,6%), tidak setuju (6,00%),
dan tidak tahu (0,67%),
5.2 Saran
1. Dari kesimpulan nilai Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) diatas
masih di bawah tarif rencana sebesar (Rp 60.000,-) sehingga untuk masing-
masing golongan diperlukan subsidi. Besarnya subsidi diambil dengan cara nilai
tarif rencana dikurangi ATP masing-masing. Golongan IA jenis kendaraan pribadi
(Rp 29.700), truk kecil (44.400), truk besar (Rp 40.500), bus (Rp 38.500), truk
gandeng (Rp 47.700), dan truk trailler (Rp 42.800), nilai subsidi ini sangat besar
sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai nilai tarif yang sesuai.
Bagi pihak pengelola, dalam menentukan besarnya tarif sebaiknya memperhatikan
tingkat kemampuan dari pengguna, apabila ternyata kemampuan dari pengguna
masih dibawah dari tarif rencana sebaiknya pembangunan ditangguhkan dan
dilakukan studi tentang tarif.
2. Untuk membangun jalan tol Semarang-Solo yang memerlukan investasi sangat
besar, perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai tarif dan kemampuan
serta kemauan masyarakat untuk menggunakan. Agar nantinya ketika jalan tol
tersebut direlisasikan akan benar-benar bermanfaat baik untuk mengurangi tingkat
kepadatan lalu lintas jalan arteri Semarang-Solo, sehingga investasi yang
ditanamkan tidak sia-sia, selain untuk mengurangi kemacetan, adanya jalan tol
diharapkan meningkatkan laju perekonomian di Jawa Tengah,
3. Mengurangi faktor-faktor yang dianggap sebagai penghambat keakuratan data.
Misalnya waktu wawancara yang lama dan lemahnya daya ingat responden.
Referensi yang tidak sama, bahkan data pendapatan yang diperoleh seringkali
tidak logis disebabkan daya ingat atau keengganan responden mengungkapkannya.
Oleh karena itu bagi para responden, hal yang mungkin bisa dilakukan adalah
membuat catatan tersendiri mengenai pengeluaran kebutuhannya, baik itu berupa
kebutuhan pokok maupun kebutuhan untuk transportasi tiap bulannya, sehingga
waktu wawancara yang dilakukan dapat lebih singkat dan data pendapatan yang
didapatkan lebih terperinci dan lebih logis, Diperlukan suatu metodologi, operasi
lapangan, cakupan informasinya yang lebih luas, bahkan meningkatkan kualitas
surveyor agar mutu data yang diperoleh semakin baik.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Abid D. Moch dan Roly Andrianto, Perbandingan Tingkat Efektivitas dan
evisiensi Pembangunan Jalan Tol dengan Peningkatan kualitas dan kuantitas
pelayanan KA Jalur Semarang-Solo, Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik
Soegijapranata, Semarang.
2. Arikunto, S. (2000), Manajemen Penelitian, PT. Rebeka Cipta, Jakarta.
3. Aspiani (2003), ”Analisis Nilai Abilityto pay dan Willingness To Pay (WTP)
Angkutan Ojek pada Komplek Perumahan di Kota Makasar”, Simposium FSTPT
VI, Universitas Hasanudin, Makasar
4. Bina Marga (2004), ”Laporan Amdal Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo,
Semarang