Anda di halaman 1dari 29

EVALUASI TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA

BUS TERHADAP TARIF TOL BANDUNG-


JAKARTA

SEMINAR KARYA ILMIAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Program Studi Sarjana Teknik Sipil
BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Transportasi merupakan sebuah sarana manusia untuk berpindah tempat
dengan sangat mudah dengan menggunakan sebuah kendaraan, bukan hanya
manusia tetapi transportasi pun berperan penting sebagai sarana untuk
memindahkan suatu jenis barang. Transportasi ini juga merupakan salah satu
pemegang peranan penting dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan.
Sehingga transportasi berkaitan langsung dalam kegiatan-kegiatan produksi,
distribusi dan konsumsi. Dimana hal tersebut menunjukkan bahwa transportasi
dapat memudahkan kegiatan perekonomian suatu daerah (Suprayitno, 2012).
Seiring dengan perkembangan transportasi mengakibatkan tingkat arus lalu lintas
yang semakin tinggi dan terjadi kemacetan karena infrastruktur yang belum
memadai dibandingkan dengan peningkatan volume kendaraan yang berkembang
pesat. Salah satu penyelesaian permasalahan tersebut yaitu dengan pembangunan
jalan bebas hambatan dan sebagai bukti bahwa sebuah negara siap dalam
menyongsong masa depan dengan mudah dan serba cepat dalam setiap kegiatan
perekonomian (Sumaryoto, 2010).
Pembangunan infrastruktur jalan tol yang dilakukan dimasa pemerintahan
Presiden Jokowi terlihat begitu signifikan, walaupun pembangunan tol di
beberapa daerah belum mampu mengatasi kemacetan secara keseluruhan namun
jalan tol yang sudah beroperasi diharapkan dapat mengurangi kemacetan.
Tujuan dari pembangunan jalan menurut Badan Pengelola Jalan Tol atau
yang
disebut BPJT antara lain memperlancar lalu lintas di daerah yang telah
berkembang,
meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan, dan
meringan kan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan.
Badan usaha yang diberikan tanggung jawab untuk mengelola jalan tol
oleh Pemerintah adalah Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut PT Jasa
Marga Tbk. Dalam hal ini PT Jasa Marga Tbk berfungsi sebagai fasilitator
penyedia pelayanan jalan tol dan bertujuan untuk mengatur serta mengeluarkan
kebijakan kepada masyarakat luas agar dapat memperoleh jasa yang efisien, cepat,
tepat, dan aman.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Jalan
selanjutnya disebut sebagai UU Jalan, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa
jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan yang dibutuhkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau, serta diatas permukaan air, kecuali kereta api, jalan
lori, dan jalan kabel. Sementara Pengertian jalan tol berdasarkan UU Jalan Pasal 1
angka (7) juncto Pasal 1 angka (2) PP No. 15 tahun 2005 yang selanjutnya disebut
PPJT tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah: “Jalan tol adalah jalan umum yang
merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang
penggunanya diwajibkan untuk membayar tol.”
Jalan tol Bandung-Jakarta telah ditetapkan tarifnya, namun perlu adanya
evaluasi terkait tarif tol tersebut dengan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 tentang Jalan Tol, penentuan tarif tol
selain berdasarkan besar keuntungan biaya operasi kendaraan, kelayakan investasi
juga harus didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan tol.
Menurut Tamin (2000), kesediaan bayar pengguna jalan tol dapat
dipengaruhi oleh faktor utilitas pengguna dalam menentukan pilihan alternatifnya.
Manfaat dari pelayanan yang diterima oleh pengguna jalan tol tinggi, maka akan
mempengaruhi besaran tarif yang akan dibayarkan oleh pengguna, demikian juga
sebaliknya apabila pelayanan yang diterima oleh pengguna jalan tol rendah, maka
akan mempengaruhi tarif yang akan dibayarkan oleh pengguna. Dalam
mengevaluasi tingkat kepuasan pengguna bus mengenai faktor pelayanan yang
ada pada jalan tol Bandung-Jakarta ini menggunakan metode Importance
Performance Analysis (IPA). Sehingga tingkat pelayanan yang diberikan kepada
pengguna jalan tol sangat penting. Apabila ada upaya perbaikan pelayanan jalan
tol Bandung-Jakarta maka akan peka terhadap tarif. Hal tersebut dapat
ditunjukkan melalui pemodelan fungsi penawaran dan fungsi permintaan.
Oleh karenanya, perlu adanya sebuah kajian mengenai evaluasi tarif jalan
tol berdasarkan tingkat kepuasan pengguna bus dengan menggunakan pendekatan
Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) agar menghindari adanya
peninjauan kembali tarif jalan tol karena tidak sesuai dengan kemampuan dan
kesediaan bayar pengguna seperti halnya peninjauan kembali pada tarif jalan tol di
Trans Jawa yang dianggap mahal oleh pengguna jalan tol (Golongan 2)
dikarenakan tidak mempertimbangkan kemampuan bayar dan kesediaan bayar
pengguna (Liputan6, 2019).
Adapun tarif jalan tol Bandung-Jakarta saat ini pada Golongan I dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. 1 Tarif Jalan Tol Bandung-Jakarta pada Golongan I

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang diambil yaitu:
1. Berapa tarif tol ideal untuk golongan I pada jalan tol Bandung-Jakarta?
2. Apakah tarif tol Bandung-Jakarta pada golongan I saat ini sudah sesuai
dengan kemampuan dan keinginan masyarakat untuk membayar tarif tol?
3. Bagaimana perbandingan tarif menuju Jakarta dengan menggunakan Bus
dan dengan menggunakan Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC)?
4. Bagaimana tingkat kepuasan penguna bus terhadap tarif dan pelayanan
jalan tol Bandung-Jakarta?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Menentukan tarif tol ideal pada golongan I untuk jalan tol Bandung-
Jakarta.
2. Mengetahui besar nilai kemampuan membayar dan keingininan
masyarakat membayar biaya tol saat ini.
3. Mengetahui perbandingan tarif menuju Jakarta dengan menggunakan Bus
dan Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC).
4. Mengetahui tingkat kepuasan pengguna bus terhadap tarif dan pelayanan
tol yang ada pada jalan tol Bandung-Jakarta.

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah


Adapun ruang lingkup dan batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Objek kajian studi adalah jalan tol Bandung-Jakarta dari gerbang tol
Pasirkoja sampai dengan gerbang tol Halim 2;
2. Tarif tol yang disajikan hanya pada golongan I;
3. Evaluasi tarif tol pada penelitian ini menggunakan Ability To Pay (ATP)
dan Willingness To Pay (WTP);
4. Dalam mengukur tingkat kepuasan pengguna bus terhadap tarif tol
digunakan metode Importance Performance Analysis (IPA);
5. Responden difokuskan pada tujuan perjalanan pengguna jalan tol
Bandung-Jakarta.

1.5 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yaitu pada Jalan Tol Bandung-Jakarta dengan rute Gerbang Tol
Pasirkoja sampai dengan Gerbang Tol Halim 2.
Gambar 1. 2 Lokasi Penelitian
Sumber : Google Maps

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Maksud dan Tujuan, Ruang Lingkup dan Batasan Masalah, Lokasi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan mengenai uraian-uraian tentang dasar-dasar
teori yang akan digunakan dalam melakukan analisis permasalahan
pada bab selanjutnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi mengenai metode pemecahan masalah dan cara
pemecahannya.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi mengenai analisis serta pembahasan dari data yang
telah diperoleh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang telah diperoleh serta
saran berdasarkan hasil dari pengelolaan data.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Jaringan Jalan


2.1.1 Definisi Jalan
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2022 tentang jalan, sistem
jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat kegiatan/pusat pertumbuhan, dan simpul transportasi dengan
wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan
hierarkis. Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun 2006 tentang jalan
menyebutkan bahwa, sistem jaringan terdiri dari sistem jaringan primer dan
sistem jaringan sekunder. Sistem jaringan jalan primer dibuat berdasarkan rencana
tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa.
Sistem ini berlaku untuk semua pengembangan wilayah tingkat nasional,
dengan menjadi penghubung antarsimpul jasa distribusi dan berwujud pusat-pusat
kegiatan seperti berikut:
a. secara terus-menerus menjadi pengubung pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, hingga pusat kegiatan
lingkungan; dan
b. penghubung antarpusat kegiatan nasional.
Penyusunan sistem jaringan jalan sekunder dibuat berdasarkan rencana tata
ruang wilayah pada kabupaten/kota. Sistem ini menyediakan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat pada kawasan perkotaan dengan menjadi
pengubung secara terus-menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, hingga ke persil.
Jalan dibagi menjadi jalan umum dan jalan khusus.

2.1.2 Klasifikasi Jalan


Berdasarkan Undang-undang nomor 2 Tahun 2022 tentang jalan, klasifikasi
jalan berdasarkan fungsinya dibedakan atas :
a. Jalan arteri, memiliki fungsi utama untu melayani angkutan utama dengan
ciri jarak perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan persimpangan
atau jumlah jalan masuk terbatas secara daya guna.
b. Jalan kolektor, merupakan jalan umum untuk melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri jarak perjalanan dan kecepatan rata-
rata sedang serta persimpangan atau jumlah jalan masuk dibatasi.
Sedangkan
c. Jalan lokal, merupakan jalan umum untuk melayani pengangkutan
setempat dengan ciri jarak perjalanan dekat, kecepatan rata-rata rendah dan
jumlah jalan masuk atau persimpangan tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah
Berdasarkan Undang-undang nomor 2 Tahun 2022 tentang jalan, klasifikasi
jalan berdasarkan status jalan dibagi menurut kewenangan pembinaannya,yaitu :
a. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan
jalan strategis nasional, serta jalan tol.
b. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis
provinsi.
c. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum
dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan
strategis kabupaten.
d. Jalan kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
2.1.3 Ruas Jalan
Beberapa ciri dari ruas jalan yang perlu diketahui antara lain panjang, jumlah
lajur, kecepatan, tipe gangguan hambatan samping, kapasitas serta hubungan
antara kecepatan dan arus pada ruas jalan tersebut. Setiap ruas jalan yang diberi
dikodefikasikan harus dilengkapi dengan beberapa atribut yang menggambarkan
perilaku, karakteristik, dan kapasitasnya untuk memfasilitasi arus lalu lintas.
Karakteristik tersebut meliputi panjang ruas, kecepatan ruas (kecepatan aliran
bebas dan kecepatan sesaat), dan kapasitas ruas yang dinyatakan dalam satuan
mobil penumpang per jam (smp/h) (Tamin, 2000).

2.1.4 Jaringan Jalan


Ada dua komponen pada sistem jaringan jalan, yaitu simpang dan ruas.
Sistem jaringan jalan merupakan abstraksi sarana transportasi yang membentuk
pola penggunaan lahan serta fungsinya sebagai sarana transportasi, yaitu untuk
memudahkan pergerakan orang dan kendaraan (Juniardi, 2006).

2.2 Tarif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tarif adalah harga satuan
jasa. Dalam bidang transportasi, tarif diartikan sebagai harga untuk penggunaan
jasa transportasi. Pertimbangan situasi keuangan dari pemerintah dengan investor
dan pengguna jalan merupakan prinsip dasar penentuan tarif tol.
Menurut Kotler dan Amstrong (2009), tarif adalah sejumlah uang yang
dibayarkan atas barang dan jasa atau jumlah nilai yang konsumen tukarkan dalam
rangka mendapatkan manfaat dari memiliki atau menggunakan barang dan jasa.
Kotler dan Amstrong (2008) juga menambahkan tarif sebagai sejumlah uang yang
ditagih atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukarkan para
pelanggan untuk memperoleh manfaat dari memiliki atau menggunakan suatu
produk atau jasa.
Lovelock et al (2012) berpendapat bahwa tarif merupakan mekanisme
financial di mana pendapatan dihasilkan untuk mengimbangi biaya yang
dikeluarkan untuk menyediakan layanan serta menciptakan surplus untuk laba.
Adapun tarif menurut Tjiptono (2006), secara sederhana istilah harga dapat
diartikan sebagai jumlah uang (satuan moneter) atau aspek lain (non moneter)
yang mengandung utilitas atau kegunaan tertentu diperlukan untuk mendapatkan
suatu jasa. Utilitas merupakan atribut atau faktor yang berpotensi memuaskan
kebutuhan dan keinginan tertentu.
Menurut Warpani (2002), tarif adalah harga jasa transportasi yang harus
dibayar oleh pelanggan jasa melalui perjanjian sewa, negosiasi, atau peraturan
pemerintah. Menurut Gani (1995), tarif adalah nilai suatu layanan yang ditentukan
oleh besarnya sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa suatu perusahaan
bersedia memberikan layanan kepada kliennya untuk nilai uang ini. Dalam
menghadapi kebijakan tarif, Saiful (2006) menjelaskan bahwa pada akhirnya akan
diambil keputusan yang mempertimbangkan dua faktor: (1) tingkat tarif, yaitu
besaran tarif yang dikenakan dan berkisar dari nol hingga tingkat tarif yang
dikenakan yang akan menghasilkan manfaat bagi layanan; dan (2) struktur tarif,
yaitu cara pembayaran tarif.

2.3 Jalan Tol


2.3.1 Definisi Jalan Tol
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), jalan tol didefinisikan
sebagai jalan untuk lalu lintas yang terus menerus dengan kontrol akses penuh,
terlepas dari apakah itu terbagi atau tidak terbagi. Jalan tol merupakan fasilitas
jalan yang memiliki dua atau lebih lajur pada masing-masing arah sehingga lalu
lintas terjadi berlangsung secara eksklusif, dengan pengendalian penuh pada
access dan egress. Pada tingkatan jalan raya, jalan tol merupakan satu-satunya
fasilitas yang dapat menyediakan arus lalu lintas bebas hambatan sempurna,
dengan tiga subkomponen yakni ruas dasar jalan tol, area percabangan, dan pintu
tol (Khisty, 2003).
Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Jalan
Tol merupakan bagian dari sistem jaringan jalan umum serta sebagai jalan
nasional di mana penggunanya diwajibkan membayar tarif atau tol.
Penyelenggaraan memiliki fungsi untuk:
a. Melancarkan lalu lintas di daerah yang sedang berkembang;
b. Meningkatkan hasil daya dan guna pelayanan distribusi barang dan jasa
sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi;
c. Membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional jangka panjang;
dan
d. Mempercepat pemerataan hasil pembangunan.
Dalam upaya percepatan perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai
bagian dari jaringan jalan nasional, maka pengusahaan jalan tol penting
diwujudkan yang meliputi; pendanaan, teknis perencanaan, konstruksi,
pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. Penyelenggara jalan tol ini dapat
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, maupun
badan usaha milik swasta (Huda, 2010).

2.3.2 Klasifikasi Jalan Tol


Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) mengklasifikasikan jalan tol ke
dalam kategori berikut:
a. Dua jalur dua jalur tak terbagi (2/2 UD)
b. Split dua arah empat jalur (4/2 D)
c. Jalan tol masing-masing memiliki lebih dari empat jalur.

2.3.3 Kelebihan Jalan Tol


Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) mencantumkan sejumlah
keunggulan jalan tol dibandingkan jalan biasa, antara lain:
a. Mengurangi waktu tempuh dibandingkan dengan jalan tol tanpa tol.
Pengguna jalan wajib berhenti dan menunggu di persimpangan. Penyakit
ini menyebabkan kerugian waktu yang signifikan.
b. Prioritas diberikan pada pertimbangan keselamatan lalu lintas. Variabel
geometri jalan mempengaruhi tingkat kecelakaan di jalan tol. Misalnya
dengan memperbesar lajur, bahu jalan, ketersediaan lajur menanjak, dan
median, angka kecelakaan lalu lintas dapat ditekan.
c. Pengurangan biaya operasional, konsumsi bahan bakar, polusi udara, dan
kebisingan. Gaya mengemudi yang lebih halus dan lebih sedikit
pemberhentian dapat meminimalkan penggunaan bahan bakar. Polusi
udara dikurangi lebih lanjut dengan mengurangi konsumsi bensin.
d. Setiap saat kendaraan dapat berjalan dengan leluasa tanpa terhalang oleh
simpang atau simpang dengan jalan tol non tol.

2.3.4 Kapasitas Jalan Tol


Kapasitas jalan bebas hambatan didefinisikan sebagai lalu lintas terbesar yang
dapat dipertahankan melalui suatu tempat di jalan bebas hambatan per jam dalam
kondisi eksisting. Kapasitas jalan raya tak terbagi adalah throughput maksimum di
kedua arah (gabungan kedua arah). Kapasitas jalan bebas hambatan didefinisikan
sebagai lalu lintas terbesar yang dapat dipertahankan melalui suatu tempat di jalan
bebas hambatan per jam dalam kondisi eksisting. Untuk jalan raya tak terbagi,
kapasitas mengacu pada arus maksimum di kedua arah (kombinasi dua arah);
untuk jalan raya terbagi, kapasitas mengacu pada aliran maksimum per lajur. Jika
memungkinkan, nilai kapasitas telah diamati dengan pengumpulan data lapangan.
Karena tidak adanya tempat dengan arus lalu lintas di dekat kapasitas segmen
jalan raya itu sendiri (berlawanan dengan kapasitas persimpangan di sepanjang
jalan tol), kapasitas juga telah didekati secara teoritis dengan mengasumsikan
hubungan matematis antara kepadatan, kecepatan, dan arus. Kapasitas dinyatakan
dalam bentuk mobil penumpang (MKJI, 1997).

2.3.5 Tujuan dan Manfaat Jalan Tol


Menurut Badan Pengatur Jalan Tol (2022), tujuan penyelenggaraan jalan tol
adalah sebagai berikut:
a. Memperlancar lalu lintas di wilayah metropolitan.
b. Meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk membantu
pertumbuhan ekonomi.
c. Meningkatkan pemerataan hasil pembangunan
d. Mengurangi beban keuangan pemerintah melalui keterlibatan pengguna
jalan
Menurut Badan Pengatur Jalan Tol (2022), berikut adalah manfaat-manfaat
dari jalan tol:
a. Pembangunan jalan tol akan berdampak pada pembangunan daerah dan
pertumbuhan ekonomi.
b. Meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas orang dan barang.
c. Pengguna jalan tol akan menghemat biaya operasional kendaraan (BOK)
dan waktu tempuh jika dibandingkan dengan pengguna jalan non tol.
d. Badan Usaha menerima pengembalian investasi dari pendapatan tol yang
bergantung pada kepastian tarif tol.

2.4 Tarif Jalan Tol


Tarif tol harus memenuhi kriteria bagi investor agar dapat mengembalikan
pinjaman/modal yang digunakan dalam pembangunan, pembiayaan operasi, dan
pemeliharaan jalan tol (Prasetyanto dan Akmalah, 2013).
Tarif tol yang dikenakan terhadap pemakaian jalan tol sesuai dengan
kendaraan dan jarak tempuh kendaraan. Tarif tol ditentukan dengan pertimbangan
yaitu sebagai berikut :
a. Penghematan biaya operasi. Biaya operasi kendaraan sangat dipengaruhi oleh
waktu perjalanan. Terjadinya kemacetan-kemacetan lalu lintas mengakibatkan
naiknya biaya operasi kendaraan, karena bahan bakar yang dipakai menjadi
tidak efisien. Unsur waktu juga menjadi bahan pertimbangan, karena setiap
pemakai jalan mengartikan secara tersendiri nilai waktu yang digunakan.
Ketidak lancaran lalu lintas akan memperpanjang waktu.
b. Pemakai jalan mempunyai keuntungan dari segi penghematan biaya operasi
perjalanan bila dibandingkan jalan lama atau keuntungan dari waktu yang
hemat. Keuntungan pemakai jalan harus terpenuhi sementara keuntungan
pemilik/pengelola juga harus terpenuhi. Tarif tol sebagai akibat pertimbangan
pemakai jalan dan pemilik berada pada keuntungan yang sama dan tidak
merugikan salah satu pihak yang berlangsung pada jalan tol.

2.4.1 Jenis Tarif Tol


Menurut Saiful (2006), jenis tarif tol yang berlaku dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a. Tarif Standar (Tarif Tetap)
Dalam struktur tarif yang seragam, tarif dikenakan tanpa memandang jarak
yang ditempuh. Banyak keuntungan dari tarif seragam yang diakui secara
umum, termasuk kemudahan pemungutan tarif jalan tol. Kelemahan utama
dari struktur tarif yang seragam adalah tidak memperhitungkan kemungkinan
memikat penumpang yang melakukan perjalanan jarak pendek melalui variasi
tarif. Tarif seragam biasanya diterapkan dengan cara yang masuk akal, yaitu
durasi perjalanan sebagian besar pengguna tol identik.
b. Tarif Kilometer
Struktur tarif ini sangat bergantung pada jarak tempuh, karena besaran tarif
ditentukan dengan menyesuaikan biaya tetap per kolom berdasarkan durasi
perjalanan masing-masing pengguna. Diasumsikan bahwa jarak minimum
(tarif minimum) adalah nilainya. Beberapa perusahaan/pemerintah
mengenakan harga berdasarkan jarak yang ditempuh, sementara yang lain
menawarkan potongan harga yang sebanding dengan lamanya perjalanan,
yaitu dengan menurunkan biaya per kilometer. Kesulitan dalam menggunakan
struktur tarif kilometer dengan tepat dapat dilihat sekilas. Meskipun tarif
kilometer diringkas menjadi beberapa kelompok untuk memberikan nilai
perkiraan, pengumpulan tarif tetap menantang karena mayoritas pengguna
jalan tol melakukan perjalanan yang sangat singkat dan membutuhkan waktu
lama untuk mengumpulkannya. Oleh karena itu, tarif kilometer hanya sesuai
untuk jalan tol perkotaan dalam kondisi tertentu, dan struktur ini jarang
digunakan saat ini.
c. Tarif Bertahap
Struktur harga ini ditentukan oleh jarak tempuh pengguna. Tahap adalah
segmen rute dengan panjang antara satu atau transportasi dipisahkan menjadi
segmen-segmen rute dengan panjang yang hampir sama. Bergantung pada
kebijakan tarif, jika sebagian besar penumpang di pusat aktivitas perkotaan
menempuh jarak pendek, jarak antar tahapan akan lebih konsisten daripada di
pinggiran kota yang kurang padat penduduknya atau area di sekitarnya.
Biasanya, jarak antara dua titik etape adalah antara 2 hingga 3 kilometer.
Transisi antar tahap harus segera dapat diidentifikasi dan didefinisikan secara
memadai.
2.4.2 Sistem Penetapan Tarif Tol
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang jalan tol,
pendanaan pengusahaan jalan tol dapat berasal dari Pemerintah bila ruas jalan tol
dianggap layak secara ekonomi, tetapi belum layak secara finansial. Sedangkan
badan usaha dapat melakukan pendanaan pada ruas jalan tol yang telah layak
secara ekonomi dan finansial. Sistem penetapan tarif jasa transportasi dapat dibuat
melalui beberapa cara di bawah ini:
1. Tarif berdasarkan produksi jasa (cost of service pricing)
Sistem ini dibuat berdasarkan biaya produksi, jasa transportasi, dan
keuntungan yang dianggap layak bagi kelangsungan suatu perusahaan. Tarif
yang dibuat berdasarkan produksi dapat ditetapkan sebagai tarif minimum di
mana perusahaan tidak akan menawarkan lagi tarif di bawah tarif terendah
tersebut.
2. Tarif berdasarkan nilai jasa (value service of pricing)
Sistem ini berdasarkan nilai yang dimiliki jasa pelayanan transportasi. Tinggi
rendahnya nilai bergantung terhadap fluktuasi permintaan jasa pelayanan
tersebut. Tarif ini biasanya ditetapkan sebagai tarif maksimum.
3. Tarif berdasarkan ‘What the traffic will bear’
Tarif ini yaitu tarif yang berada di rentang antara tarif minimum dan tarif
maksimum. Untuk itu, dasar tarif ini berusaha menutup biaya variabel dan
biaya tetap (fix cost) seoptimal mungkin.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Jalan, tarif tol dihitung menurut kemampuan membayar pengguna, besar
keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Besar tarif tol
tercantum dalam perjanjian pengusaan jalan yang pemberlakuannya ditetapkan
bersamaan dengan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol. Penentuan tarif
tol tidak hanya mempertimbangkan manfaat dari segi investasi, namun juga harus
mempertimbangkan manfaat yang diterima pengguna jalan tol sehingga tarif tol
tidak boleh melebihi atau sama dengan nilai manfaat yang diperoleh pengguna
jalan (Prasetyanto dan Akmalah, 2013).
2.4.3 Penetapan Tarif Tol di Indonesia
Penetapan tarif tol di Indonesia mengikuti Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol, dalam pasal 48 disebutkan bahwa besar tarif tol
ditentukan oleh sebagai berikut:
1. Kelayakan investasi;
2. Besaran keuntungan Biaya Operasional Kendaraan;
3. Kemampuan membayar pengguna jalan tol;
4. Besar keuntungan tarif tol berlangganan tidak lebih dari 30% (tiga puluh
persen) tarif tol yang sudah ditetapkan;
5. Penyesuaian besar tarif tol dilaksanakan setiap tiga tahun berdasarkan
pengruh laju inflasi terhadap beban usaha penyelenggaraan jalan tol dengan
maksimum kenaikan 25% (dua puluh lima persen).
Dalam Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 disebutkan
bahwa:
1. Tarif tol ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan pengguna,
keuntungan biaya operasi kendaraan, juga kelayakan investasi;
2. Perhitungan keuntungan biaya operasi kendaraan melalui selisih biaya operasi
kendaraan dengan nilai waktu ketika melintas di jalan tol dibanding dengan
jalan eksisting;
3. Perhitungan kelayakan investasi berdasarkan taksiran dari biaya-biaya selama
jangka waktu perjanjian pengusahaan dengan mempertimbangkan
keuntungan dari investasi oleh badan usaha bersangkutan;
4. Pemberlakuan tarif tol ditetapkan bertepatan dengan pengoperasian jalan tol;
5. Pengoperasian jalan tol ditetapkan oleh menteri;
6. Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilaksanakan setiap dua tahun oleh Badan
Pengatur Jalan Tol (BPJT) dengan rumus: tarif baru = tarif lama (1+inflasi);
7. BPJT merekemondasikan hasil evaluasi tarif tol kepada menteri;
8. Peraturan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh menteri.
2.4.4 Penetapan Tarif Berdasarkan Golongan Kendaraan
Di Indonesia jenis kendaraan yang beroperasi dapat dikelompokkan menjadi
dua belas (12) golongan, meliputi kendaraan tidak bermotor, sepeda motor,
kendaraan ringan, bus sedang, bus besar, truk sedang, truk berat, serta berbagai
konfigurasi sumbu as truk dan kontainer lainnya. Dalam penetapan tarif tol,
kendaraan digolongkan menurut karakteristik kendaraan dengan mengecualikan
kendaraan beroda dua, beroda tiga, maupun kendaraan tak bermotor.
Pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Bina Marga menggolongkan kendaraan
menjadi 5 (lima) golongan. Penentuan ini berdasarkan Beban Sumbu Kendaraan
(Eqivalent Standard Axle, ESA), Ekuivalensi Mobil Penumpang (EMP), beban,
kecepatan, dan efisiensi ekonomi. Komposisi tarif dapat diamati pada tabel di
bawah.
Tabel 2. 1 Jenis Kendaraan pada setiap Golongan
Golongan Jenis Kendaraan
Golongan I Sedan, Jip, Pick Up/Truck Kecil, dan Bus
Golongan II Truck dengan 2 (dua) gandar
Golongan III Truck dengan 3 (tiga) gandar
Golongan IV Truck dengan 4 (empat) gandar
Golongan V Truck dengan 5 (lima) gandar
Golongan VI Kendaraan bermotor roda 2 (dua)

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 2007

Tabel 2. 2 Bobot Tarif pada Golongan Kendaraan


Golongan Kendaraan Bobot Tarif
Golongan I 1,0
Golongan II 1,5
Golongan III 2,0
Golongan IV 2,5
Golongan V 3,0
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 2007

2.5 Tingkat Kepuasan


Tingkat kepuasan pengguna dapat dikatakan berhasil apabila tanggapan
pengguna terhadap kualitas jasa pelayanan tol sama atau lebih dari yang
diharapkannya terhadap kualitas tersebut. Indikator merupakan sebuah variabel
kendali dan biasanya digunakan dalam sebuah kegiatan untuk mengkur perubahan
yang terjadi sehingga dapat menyimpulkan suatu tingkat kepuasan. Hal ini pada
dasarnya indikator juga dapat digunakan sebagai evaluasi keadaan dalam
pengukuran terhadap perubahan yang terjadi terus-menenrus.
Berikut ada tiga indikator yang memengaruhi kepuasan pengguna yang
dikemukakan oleh Lupiyoadi.
a. Kualitas pelayanan.
Harapan pengguna terhadap pelayanan, pengguna akan merasa puas bila
mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan harapan.
b. Emosional.
Ungkapan yang dilihat dari suatu emosional dapat berpengaruh pada perasaan
seseorang. Kualitas seorang pelayan bukan menjadi kunci kepuasan
pelanggan, akan tetapi nilai sosial yang dimiliki pelayan yang menjadi patokan
pengguna merasa puas.
c. Biaya.
Pengguna bebas dilakukan pemungutan biaya apa pun dengan harapan fasilitas
yang di dapat sesuai dengan biaya yang dikeluarkan sehingga pengguna puas
terhadap suatu pelayanan yang diberikan.

2.6 Teori Sensitivitas


BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bagan Alir


3.2 Metode Pengumpulan Data
Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data dapat dikumpulkan.
Jika kuesioner atau wawancara digunakan untuk mengumpulkan data, sumber
data disebut sebagai responden, yaitu individu yang menanggapi atau menjawab
baik pertanyaan tertulis maupun lisan yang diajukan oleh peneliti.
Menurut Sugiyono (2017), data primer adalah sumber data yang menyuplai
data secara langsung kepada pengumpul data. Artinya sumber data penelitian
diperoleh langsung dari sumber aslinya berupa wawancara, jajak pendapat, dan
pengamatan terhadap suatu objek, peristiwa, atau hasil pengujian (objek). Dengan
kata lain, peneliti harus mengumpulkan informasi melalui menjawab pertanyaan
penelitian (metode survei) atau melakukan studi objek (observasi). Manfaat data
primer yaitu lebih akurat dikarenakan mencerminkan kebenaran berdasarkan apa
yang dilihat dan didengar peneliti secara langsung di lapangan, memungkinkan
untuk menghindari kebohongan dari sumber fenomenal. Kelemahan dari data
primer adalah membutuhkan waktu yang cukup lama dan mengeluarkan biaya
yang cukup besar.
Menurut Sugiyono (2017), data sekunder merupakan sumber yang tidak
menyuplai data kepada pengumpul data secara langsung. Hal ini menunjukkan
bahwa sumber data penelitian diperoleh secara tidak langsung atau melalui media
perantara berupa buku catatan, bukti-bukti yang ada, atau arsip-arsip, baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain,
para sarjana harus mengumpulkan informasi dengan mengunjungi Perpustakaan
Pusat Studi, pusat arsip, atau dengan membaca buku-buku yang relevan.
Kelebihan data sekunder adalah waktu dan biaya yang dibutuhkan penelitian
untuk mengklasifikasikan masalah dan mengevaluasi data yang relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan pengumpulan data primer, sedangkan kekurangan
data sekunder adalah jika terjadi kesalahan atau jika sumber data keluar mutakhir
atau tidak relevan, dapat berdampak pada hasil penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan survei primer.
Survei primer dilakukan dengan menggunakan teknik survei kuisioner. Menurut
Sugiyono (2017), tahapan yang paling strategis dalam penelitian adalah strategi
pengumpulan data karena tujuan utama penelitian adalah mengumpulkan data.
Untuk mengumpulkan data untuk penelitian ini, kuesioner dibagikan kepada
responden, yang mengisinya sesuai dengan preferensi mereka sendiri. Dengan
menggunakan skala Likert, peneliti akan mengevaluasi tanggapan kuesioner yang
dikumpulkan dari para responden. Skala Likert digunakan sebagai instrumen
evaluasi karena memberikan nilai pada sesuatu (Maryuliana, 2016). Alat
penelitian yang menggunakan skala Likert dapat berbentuk daftar pilihan
(Sugiyono, 2017).
1. Sangat Setuju (SS), pilihan yang menghasilkan nilai lima
2. Setuju (ST), pilihan yang menghasilkan nilai empat
3. Ragu-ragu (RG), pilihan yang menghasilkan nilai tiga
4. Tidak Setuju (TS), pilihan yang menghasilkan nilai dua
5. Sangat Tidak Setuju (STS), pilihan yang menghasilkan nilai satu.

3.2.1 Subjek Penelitian


3.2.1.1 Populasi
3.2.1.2 Sampel

3.3 Alat Ukur

3.3.1 Alat Ukur Tarif Tol

3.3.1.1 Analisis ATP


Menurut Pujianto (2002), Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang
untuk membayar jasa yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang
diinginkannya. Analisis ATP didasarkan pada proporsi pendapatan normal
pembayar (penumpang) yang dialokasikan untuk biaya transportasi. ATP juga
merupakan kapasitas individu untuk membayar perjalanan yang mereka lakukan.
Ability To Pay (ATP) merupakan kemampuan maksimum dari sebagian
penghasilan pengguna jalan tol untuk membayar biaya jasa perjalanan di jalan tol
(Rumiatim, et al., 2013). Perhitungan ATP digunakan sebagai acuan penentuan
tarif untuk melihat tolak ukur kemampuan membayar bagi pengguna jalan tol
(Armijaya & Chuadinata, 2019). Dengan Kata lain, ATP adalah kemampuan
masyarakat dalam membayar tarif perjalanan yang akan dilakukan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ATP yaitu sebagai berikut :
1. Besarnya penghasilan;
2. Kebutuhan transportasi;
3. Intensitas atau frekuensi perjalanan;
4. Biaya transportasi;
5. Persentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi.
Besaran nilai Ability To Pay dapat meggunakan metode travel cost yaitu satu
metode revealed preference untuk non use value yang didasarkan pada perilaku
seseorang misalnya pengeluaran individu untuk perjalanan.
Ic . % TC
𝑨𝑻𝑷 = …................................................(1)
d
ATP : Daya beli pengguna (Rp/kilometer)
Ic : Penghasilan (Rp/bulan)
%TC : Persentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi
d : Frekuensi perjalanan

3.3.1.2 Analisis WTP


Willingness to Pay (WTP) adalah kesediaan konsumen jasa untuk membayar
atas jasa yang diterimanya. (Tamin et al, 1999). Strategi tersebut didasarkan pada
kesan harga jasa transportasi. WTP bertujuan untuk mendapatkan tarif tol yang
paling ideal dan realistis berdasarkan keinginan atau kemauan membayar
masyarakat, dengan tetap menarik investor.
WTP didefinisikan sebagai nilai maksimum rupiah atas kesedian membayar
untuk menghemat satu satuan waktu (Mahalili, 2013). WTP direpresentasikan
sebagai nilai waktu penghematan waktu perjalanan atau nilai pertukaran (trade-
off) antara waktu perjalanan dan biaya perjalanan. Besaran nilai WTP dipengaruhi
oleh produk yang ditawarkan operator jasa transportasi, kualitas dan kuantitas
pelayanan yang diberikan, kenyamanan pengguna dan pendapatan pengguna
(Permata, 2012).
WTP adalah harga maksimum yang bersedia dibayar seseorang (konsumen)
untuk memperoleh suatu manfaat berupa produk atau jasa; itu adalah tolok ukur
untuk menentukan seberapa tinggi nilai konsumen potensial terhadap barang atau
jasa. (Amelia, 2016). WTP merupakan nilai ekonomi yang didefinisikan sebagai
jumlah maksimum yang siap diberikan seseorang untuk ditukar dengan produk
dan layanan lainnya. Istilah resmi untuk keinginan membayar barang atau jasa
yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan adalah kesediaan untuk
membayar (Kamal, 2014). WTP juga didefinisikan sebagai harga maksimum di
mana konsumen bersedia membeli suatu barang pada waktu tertentu (Zhao dan
Kling, 2005). Sebenarnya, kesediaan untuk membayar adalah harga di mana
tingkat konsumen mencerminkan nilai, khususnya nilai produk dan jasa serta
pengorbanan yang diperlukan untuk mendapatkannya (Simonson & Drolet, 2003).
Sasaran dari WTP adalah mendapatkan besaran tarif tol yang paling optimum
dan realistis sesuai dengan keinginan dan kemampuan membayar masyarakat
namun masih tetap menarik investor untuk berinvestasi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi WTP yaitu sebagai berikut: (Setijowarno & Abadi, 2005)
1. Pelayanan jalan tol;
2. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan;
3. Utilitas pengguna terhadap jasa transportasi tersebut;
4. Perilaku (karakteristik) pengguna.
Studi WTP menggunakan metodologi berdasarkan persepsi partisipan
terhadap penerima layanan. Menurut Tamin dkk. (1999), tiga elemen yang
mempengaruhi WTP:
a. Dari produsen yaitu produksi jasa yang diberikan;
b. Dari sisi konsumen yaitu kegunaan peserta pengguna atas jasa yang
ditawarkan. Pemilihan kelas, menurut tingkat iuran, sebagian besar
ditentukan oleh pendapatan peserta pengguna jasa,
c. Dari sarana dan prasarana, khususnya kualitas dan kuantitas.
WTP adalah ukuran untuk memperkirakan biaya kerugian terkait polusi,
namun tidak dapat secara langsung mengungkapkan harga pasar (Suparmoko,
2015). Selisih antara harga yang dibayar pembeli untuk suatu produk dan
kesediaan mereka untuk membayar adalah surplus konsumen. Asal mula surplus
konsumen adalah hukum utilitas marjinal yang menurun. Surplus konsumen
muncul karena konsumen membayar setiap unit berdasarkan nilai unit
sebelumnya. Surplus konsumen mencerminkan keuntungan karena dapat membeli
semua unit barang dengan harga rendah yang sama. Sederhananya, surplus
konsumen dapat dikuantifikasi sebagai area antara garis harga dan kurva
permintaan (Sari, 2011). Gambar 2.1 di bawah ini memberikan contoh surplus
konsumen:

Gambar 3. 1 Surplus Konsumen (Djijono, 2002)


Keterangan :
0REM = Total Utilitas/ kemampuan membayar konsumen
0NEM = Biaya barang bagi konsumen
NRE = Total Nilai Konsumen
Surplus Konsumen Total adalah wilayah antara kurva permintaan dan garis
harga di bawah kurva permintaan. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa kesediaan
untuk membayar berada di belakang kurva permintaan. Kurva permintaan
menunjukkan berapa banyak konsumen bersedia membayar per unit yang
dikonsumsi. Total area under the demand curve (0REM) merupakan utilitas total
yang diterima konsumen dari mengkonsumsi suatu barang atau merupakan ukuran
total kesediaan untuk membayar karena jumlah tersebut merupakan penjumlahan
dari nilai marjinal Q dari 0 sampai M dikurangi biaya barang untuk konsumen
(0NEM). Nilai surplus konsumen diwakili oleh luas segitiga EBT dan merupakan
ukuran kesediaan untuk membayar di atas pengeluaran tunai untuk konsumsi
(Djijono, 2002).
3.3.1.3 Hubungan Ability To Pay (ATP) dan Wilingness To Pay
(WTP)
Menurut (Tamin,1999) dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering
terjadi benturan antara besarnya ATP dan WTP, kondisi ini dinyatakan dalam
ilustrasi yang terdapat pada dibawah ini.

Gambar 3. 2 Perbandingan ATP-WTP


1. ATP > WTP
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan membayar lebih besar
daripada keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna
mempunyai penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa
tersebut relatif rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choice riders.
2. ATP < WTP
Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas, di mana keinginan
pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar daripada
kemampuan membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna
yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap
jasa tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk
membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada
kondisi ini pengguna disebut captive riders.
3. ATP = WTP
Kondisi ini menunjukkan bahwa antara kemampuan dan keinginan
membayar jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi
ini terjadi keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang
dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut.
Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, berarti aspek pengguna dalam
hal ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan
prinsip sebagai berikut:
1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif
yang diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok
masyarakat sasaran. Intervensi/campur tangan pemerintah dalam bentuk
subsidi langsung atau silang dibutuhkan pada kondisi di mana nilai tarif
berlaku lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya
sama dengan nilai ATP.
2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga
bila nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan
melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan.
Secara umum penentuan tarif dapat dianalisis dari tiga perspektif berikut
ini (Safitri, 2016):
a. Pemakai (users)
b. Operator
c. Tata Kelola (pengatur)
Faktor ATP dan WTP dikaji untuk menentukan tarif yang mengacu pada
aspek pengguna. Aturan berikut mengatur perhitungan nilai tarif berdasarkan
ATP dan WTP:
a. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga tarif yang
diterapkan tidak boleh melebihi nilai ATP dari kelompok masyarakat
sasaran. Dalam situasi di mana nilai tarif yang berlaku lebih besar dari
ATP, diperlukan keterlibatan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung
atau silang agar nilai tarif yang berlaku setara dengan ATP.
b. WTP merupakan fungsi dari kualitas pelayanan angkutan umum, sehingga
apabila nilai WTP dibawah ATP masih dimungkinkan untuk
meningkatkan nilai tarif dengan meningkatkan kualitas pelayanan
angkutan umum.
Gambar 3. 3 Ilustrasi Penentuan Tarif (Safitri, 2016)
Berdasarkan Gambar 3.3, penentuan tarif ditentukan dengan menggunakan
kaidah sebagai berikut:
a. Jangan melebihi nilai ATP.
b. Jika modifikasi harus dilakukan pada tingkat layanan, itu adalah antara
nilai ATP dan WTP.
c. Apabila tarif yang diusulkan lebih rendah dari perhitungan tarif tetapi
lebih tinggi dari ATP, selisihnya dapat dianggap sebagai beban subsidi
yang harus ditanggung pemerintah (regulator).
d. Jika perhitungan tarif untuk satu jenis kendaraan jauh di bawah ATP dan
WTP, maka ada fleksibilitas dalam menyesuaikan tarif baru, yang
kemudian dapat digunakan untuk membayar subsidi silang ke jenis mobil
lain yang persyaratan perhitungan tarifnya di atas ATP.

3.3.2 Alat Ukur Tingkat Kepuasan

3.3.2.1 Analisis IPA


Importance Performance Analysis (IPA) merupakan analisis yang digunakan
untuk mengetahui atribut-atribut yang memiliki kinerja baik ataupun atribut yang
memerlukan peningkatan dan penanganan atau dalam menentukan atribut prioritas
dalm penyusunan strategi pengembangan (Wong, Hideki, & George, 2011).
Menurut Amalia dan Sastika (2018), metode Importance Performance
Analysis (IPA) mencoba mengkuantifikasi hubungan antara persepsi konsumen
dengan tujuan peningkatan kualitas produk/jasa, yang dikenal juga dengan analisis
kuadran (Brandt, 2015). Menurut Syaifullah et al (2018), metode Importance
Performance Analysis (IPA) untuk menganalisis kebahagiaan pelanggan sangat
efektif dan akurat. Proses analisis pendekatan IPA sangat luas, mulai dari
mengukur kepuasan pelanggan secara keseluruhan hingga mengidentifikasi aspek
layanan yang harus ditingkatkan dan atribut yang harus dipertahankan; karenanya,
metode IPA tidak memerlukan kombinasi dengan metode lain. Menurut Rizal et al
(2014), Importance Performance Analysis (IPA) dapat digunakan untuk
memprioritaskan berbagai aspek kumpulan layanan dan menentukan tindakan
yang diperlukan. Dalam metode ini, tingkat kesesuaian harus diukur untuk
menentukan seberapa puas klien terhadap kinerja perusahaan dan seberapa baik
penyedia layanan mengetahui apa yang diinginkan konsumen atas layanan yang
diberikan.
Atribut-atribut yang digunakan yaitu ditunjukkan melalui dimensi kualitas
pelayanan sebagai tolak ukur. Berikut merupakan dimensi pelayanan :
(Parasuraman et al, 1990).
1. Tangible (Bukti fisik);
2. Reability (Keandalan);
3. Responsiveness (Ketanggapan);
4. Assurance (Jaminan);
5. Emphaty (Empati).
Atribut-atribut tersebut diukur menggunakan skala likert 1-3. Berikut
merupakan tolak ukur dalam analisis Importance Performance Analysis:
1. Tingkat Kepentingan (Importance)
1 = Tidak Penting
2 = Cukup Penting
3 = Penting
2. Tingkat Kepuasan (Performance)
1 = Tidak puas
2 = Cukup puas
3 = Puas

Gambar 3. 4 Kuadran Importance Performance Analysis (IPA)

3.4 Variabel Penelitian

3.5 Analisis Data


3.6 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif dapat digambarkan melalui statistik deskriptif (Hasan,
2004). Statistik deskriptif merupakan statistik yang berguna untuk
mengumpulkan, mengolah dan menganalisa data dan kemudian disajikan dalam
bentuk kesimpulan yang dapat menguraikan suatu masalah (Rasyad, 1998).
Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan
karakteristik pengguna jalan tol Bandung-Jakarta dan karakteristik perjalanan
pengguna bus jalan tol Bandung-Jakarta.
Menurut Ghozali (2011), statistik deskriptif memberikan gambaran atau
deskripsi data berdasarkan mean, standar deviasi, variance, maximum, minimum,
sum, range, kurtosis, dan skewness (distribusi skewed). Tujuan analisis ini bukan
untuk menguji hipotesis, karena merupakan pendekatan deskriptif yang
menawarkan informasi tentang data yang dimiliki.
3.7 Fungsi Penawaran dan Permintaan
Fungsi penawaran yaitu hubungan antara jumlah produk yang ditawarkan
oleh perusahaan atau produsen kepada konsumen dengan variabel-variabel lain
yang mempengarhui. Sedangkan fungsi permintaan adalah fungsi yang
menunjukkan hubungan antara jumlah produk/pelayanan yang diminta oleh
konsumen dengan variabel-variabel lain yang mempengaruhi. Pada penelitian ini
menggunakan persamaan linier fungsi penawaran untuk menjelaskan hubungan
antara jumlah perbaikan pelayanan yang ditawarkan oleh perusahaan atau
produsen kepada konsumen dengan tarif. Berikut merupakan persamaan linier
fungsi penawaran.
𝑸𝒙 = 𝒂 + 𝒃𝑷𝒙…………………………..……………….(2)
Keterangan:
Qx = Jumlah perbaikan pelayanan yang ditawarkan (Variabel terikat)
Px = Tarif ATP-WTP/Tarif Penawaran dan Permintaan (Variabel bebas)
a = konstanta
b = koefisien, bernilai positif. Hal tersebut dikarenakan apabila perbaikan
pelayanan besar, maka jumlah perbaikan pelayanan yang diawarkan akan
bertambah banyak. Begitu sebaliknya dengan asumsi variabel lainnya
adalah konstan.

Anda mungkin juga menyukai