Diajukan Oleh
Febri Adi Nugraha
131134008
Diajukan Oleh:
Febri Adi Nugraha 131134008
Calon Pembimbing I,
1. Latar Belakang
Kota Bandung merupakan salah satu ibukota provinsi yang ada di
Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung pada tahun
2014, Kota Bandung memiliki jumlah penduduk dengan total 2.407.802 jiwa.
Kota Bandung memiliki peran penting karena termasuk wilayah Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) yang menjadi kawasan perkotaan inti dari beberapa kawasan di
sekitarnya seperti Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang. Keberhasilan pembangunan di
Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh peran transportasi. Pembangungan sektor
transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal
dan berkemampuan tinggi serta mendukung pengembangan wilayah. Sistem
transportasi yang dominan digunakan oleh masyarakat umum Kota Bandung
adalah transportasi darat. Sistem prasarana yang menunjang transportasi darat
adalah jaringan jalan raya dan jaringan jalan rel.
Berdasarkan Dinas Bina Marga & Pengairan Kota Bandung (2014),
panjang jalan menurut wewenang jalan terdapat tiga bagian yaitu jalan nasional
dengan panjang 43,63 km, jalan propinsi dengan panjang 32,05 km dan jalan kota
dengan panjang 1.160,80 km dengan total panjang kesuluruhan yaitu 1.236,48
km. Pada prasarana jalan raya dan jalan rel dapat terjadi suatu perpotongan jalur.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2011 tentang
Perpotongan dan/atau Persinggunan antara Jalur Kereta Api dengan Bangunan
Lain, perpotongan jalur kereta api dengan jalan disebut perlintasan. Perlintasan
harus dibuat tak sebidang, namun perlintasan dapat dibuat sebidang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Berdasarkan hasil pemetaan perlintasan dengan
menggunakan Google Maps, jumlah perlintasan yang terdapat di Kota Bandung
yaitu berjumlah 22 perlintasan, terdiri dari 18 pelintasan sebidang dan 4
perlintasan tak sebidang.
Adanya pertemuan jalan raya dengan jalan rel tentunya terdapat
permasalahan, berupa antrian kendaraan diruas jalan raya lalu kondisi lingkungan
yang menurun di sekitar koridor perlintasan dan sebagainya. Permasalahan
tersebut masih terjadi hingga saat ini, karena penanganan terhadap permasalahan
tersebut masih kurang dan ketersediaan informasi yang dibutuhkan masih sangat
minim.
Maka hasil dari penyusunan tugas akhir ini, data yang telah didapatkan
akan disajikan berupa sistem informasi yang diharapkan dapat digunakan sebagai
sumber data untuk pemecahan masalah terkait jaringan jalan raya dan perlintasan
kereta api dalam ruang lingkup transportasi di Kota Bandung dalam dan/atau dari
dan ke kota sekitarnya. Tugas akhir ini merupakan bagian dari road map
penelitian KBK Transportasi Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung.
2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan tugas akhir ini adalah melakukan perancangan
awal sistem informasi jaringan jalan dan perlintasan kereta api di Kota Bandung.
3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai
berikut:
a. Standards and Codes yang digunakan pada penyusunan tugas akhir ini adalah
yang berlaku di Negara Republik Indonesia
b. Cakupan data yang disajikan meliputi:
Kinerja lingkungan (tingkat kebisingan) pada saat ini akibat lalu lintas dan
frekuensi kereta api pada koridor perlintasan
School Bus
City Transit Bus CB 3,2 2,5 12,0 2,0 2,3 12,8 7,5
Sumber: RSNI T-14-2004 tentang Geometri Jalan Perkotaan
3. Lokal
Terdapat dua fungsi jalan lokal yaitu jalan lokal primer dan jalan
lokal sekunder.
a) Lokal primer
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal primer harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Kriteria-kriteria jalan lokal primer terdiri atas:
Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan
rencana paling rendah 20 km/jam;
C. Status Jalan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang
Jalan, jalan umum menurut statusnya dikelompokkan atas:
1. Jalan nasional
Jalan nasional terdiri atas:
a. Jalan arteri primer;
b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota
provinsi;
c. Jalan tol;
d. Jalan strategis nasional.
2. Jalan provinsi
Jalan provinsi terdiri atas:
a. Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi
dengan bukota kabupaten atau kota;
5. Jalan desa
Jalan desa adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer
yang tidak termasuk jalan kabupaten di dalam kawasan
perdesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa.
D. Kelas Jalan
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, kelas jalan dikelompokkan menjadi:
a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu
terberat 10 ton;
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan
yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 ton;
c. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 ilimeter, ukuran palin tinggi 3.500 milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8 ton;
d. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melibihi 2.500
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 milimeter, ukuran
paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 ton.
4.2.3.1.2 Bagian-Bagian Jalan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Tahun
2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis
Jalan, bagian-bagian jalan terdiri atas:
a. Ukuran lebar;
b. Jenis tanah dan/atau konstruksi tempat jalan rel terletak;
c. Penggunaan balas;
d. Jenis bantalan;
e. Jenis rel;
f. Jenis alat penambat;
g. Jenis wesel;
h. Kelengkungan;
i. Kelandaian;
4.2.3.3 Perlintasan
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 36 Tahun 2011
tentang Perpotongan dan/atau Persinggunan antara Jalur Kereta Api
dengan Bangunan Lain, perlintasan adalah perpotongan antara jalur kereta
api dengan jalan. Perlintasan harus dibuat tidak sebidang, kecuali bersifat
sementara dalam hal:
a. Letak geografis yang tidak memungkinkan membangun perlintasan
tidak sebidang;
b. Tidak membahayakan dan mengganggu kelancaran operasi kereta api
dan lalu lintas di jalan;
c. Pada jalur tunggal dengan frekuensi dan kecepatan kereta api rendah.
Pada pembangunan perlintasan sebidang, persyaratan yang harus dipenuhi
adalah:
a. Permukaan jalan harus satu level dengan kepala rel dengan toleransi 0,5
cm;
b. Terdapat permukaan datar sepanjang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan
rel;
c. Maksimum gradien untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik
tertinggi di kepala rel;
d. Lebar perlintasan untuk satu jalur jalan maksimum 7 meter;
e. Sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan harus 90 dan panjang
jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari as jalan rel.
Pada perlintasan sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas.
Pada perlintasan sebidang harus dilengkapi dengan rambu, marka, alat
pemberi isyarat lalu lintas, dan petugas penjaga pintu perlintasan.
Perlintasan tidak sebidang dapat dibangun dengan jalan diatas jalur
kereta api (overpass) dan jalan dibawah jalur kereta api (underpass).
Berdasarkan Pedoman No. 08/PW/2004 tentang Perencanaan Perlintasan
Jalan dengan Jalur Kereta Api, beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam membangunan perlintasan tidak sebidang yaitu:
1. Perlintasan tidak sebidang overpass
a. ruang bebas pada overpass 6,5 meter dari kepala rel. Sedangkan
ruang bebas minimum merupakan ruangan yang dibutuhkan kereta
untuk saran dan prasaran yang dibutuhkan dalam melintas;
b. Konstruksi jalan harus mengikuti ketentuan teknis jalan;
c. Saluran air harus dibuat tertutup dan tidak boleh mengalir pada jalur
kereta api;
d. Jarak pondasi pilar dari as rel jalur tunggal minimal 10 meter dan
untuk jalur ganda 10 meter dihitung dari as rel paling luar;
e. Penggunaan utilitas minimal dengan ketinggian sebesar 2 meter dari
permukaan rel yang ada;
f. Pemasangan pilar jalan laying (overpass) mengantisipasi rencana
jalur ganda kereta api dan rencana elektrifikasi;
5. Metodologi
Penyusunan alur kerja untuk tugas akhir ini dilakukan secara sistematis
agar dapat diselesaikan dengan baik. Alur kerja penyusunan tugas akhir ini dapat
dilihat pada Gambar 14 berikut.
Jumlah perlintasan;
Tipe perlintasan;
j. Kinerja lingkungan.
D. Main Survei
Main survei bertujuan untuk pengumpulan data primer dan data
sekunder yang dibutuhkan untuk input pada perancangan sistem informasi.
Tahapan main survei dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
yang diminta oleh user. Tahapan ini merupakan tahapan secara nyata
dalam mengerjakan suatu sistem.
4. Testing
Testing bertujuan untuk menemukan kesalahan-kesalahan terhadap
sistem yang telah dibuat dan kemudian kesalahan tersebut diperbaiki.
5. Penerapan
Tahapan ini adalah final dalam pembuatan sebuah sistem. Setelah
dilakukan analisa, desain dan coding maka sistem dapat digunakan oleh
user.
6. Pemeliharaan
Perangkat lunak yang sudah disampaikan kepada pelanggan dapat
mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat mengalami kesalahan
karena perangkat lunak harus menyesuaikan dengan sistem operasi
baru, atau karena pelanggan membutuhkan perkembangan fungsional.
7.
A. Survey Lapangan
Harga Jumlah
Perkiraan
No Uraian Satuan Satuan Harga
Kuantitas
(Rupiah) (Rupiah)
a b c d e f = (d x e)
1 Konsumsi buah 50 15000 750000
2 Bahan Bakar (Pertamax) liter 5 8030 40150
3 Kertas 70 gram rim 0.1 30000 3000
4 Pita Ukur buah 2 - Pinjaman
5 Odo Meter buah 1 - Pinjaman
Harga Jumlah
Perkiraan
No Uraian Satuan Satuan Harga
Kuantitas
(Rupiah) (Rupiah)
a b c d e f = (d x e)
1 Kertas 70 gram rim 2 30000 60000
2 Kertas 80 gram rim 2 35000 70000
2 Tinta (Hitam + Berwarna) buah 4 95000 380000
Total Biaya Penyusunan Proposal dan Laporan 510000
Total Biaya A + B 1463150