Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta merupakan gerbang
udara wisata terpenting bagi kawasan segitiga JOGLOSEMAR (YogyaSolo-Semarang). Dengan daerah pelayanan yang mencakup wilayah
Yogyakarta, Jawa Tengah bagian Selatan, dan Jawa Timur bagian Barat.
Yogyakarta telah menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke 3 di
Pulau Jawa, setelah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Bandara Juanda
Surabaya.
Melesatnya pertumbuhan jasa transportasi udara dan semakin luasnya
rute-rute penerbangan domestik maupun internasional membawa dampak
terhadap Bandara Adisucipto. Pesatnya pertumbuhan jumlah penumpang
merupakan salah satu imbas dari berkembangnya sektor pariwisata di
Yogyakarta dengan diimbangi adanya persaingan harga tiket pesawat yang
semakin kompetitif antar maskapai dan beberapa sektor transportasi
lainnya. Oleh karena itu, lonjakan penumpang yang terjadi pada awal
tahun 2011 hingga sekarang menjadi salah satu pertimbangan yang harus
diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Tahun 2011 tercatat bahwa
aktivitas penumpang pada mulanya berkisar 4.661.957 dengan jumlah
kargo sebanyak 9.983 kg, secara signifikan kini melonjak menjadi
5.198.082 penumpang dengan jumlah kargo 10.951 kg. Diperkirakan
jumlah penumpang dan kargo pada tahun 2035 akan meningkat tajam
menjadi 19.504.876 penumpang dengan jumlah kargo mencapai 42.700
kg (adisucipto-airport.co.id).
Disisi lain, timbul masalah yang cukup serius. Semakin tingginya trafik
pengoperasian Bandara Adisucipto berbarengan dengan padatnya jadwal
latihan penerbangan Akademi TNI AU. Sehingga bentrokkan-bentrokkan
jadwal penerbangan sudah tidak terelakkan lagi. Tempat parkir pesawat
yang ada sudah tidak mampu lagi menampung. Semakin beragamnya
1

armada dari maskapai mancanegara. Belum lagi saat harus berbagi


landasan dengan pesawat-pesawat latih milik TNI AU. Ini tentunya
merupakan masalah seruis bagi Bandara Adisucipto. Pemenuhan saranasarana pendukung menjadi berkurang, sulitnya take off dan landing
pesawat. Delay waktu penerbangan dan sebagainya.
Kebijakan relokasi Bandara Adisucipto ke Kulonprogo merupakan
salah satu solusi yang di usulkan selama ini. Relokasi tersebut tentunya di
lakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan. Seperti
halnya mengenai masalah landasan pacu (runway) yang dimiliki oleh
Bandara Adisutipto hanya memiliki panjang 2200 meter, sementara
standar umum untuk bandara kelas internasional adalah 3200 meter. Luas
terminal Bandar Udara Internasional Adisucipto saat ini adalah 9.201,00
m2 dengan kapasitas 1 juta penumpang/tahun. Ketersediaan terminal ini
jelas tidak mencukupi untuk kondisi sekarang dan masa mendatang. Pada
saat ini, Bandara Adisucipto setiap tahunnya harus menampung sekitar 3
juta penumpang sehingga Bandara Adisucipto dinyatakan overload.
Kapasitas terminal area saat ini hanyalah 3,4m/orang jauh dibawah
standar 16-17 m/orang. Disamping itu terdapat berbagai yang harus
dibenahi seperti hal-hal berikut ini yang menyangkut permasalahan
operasional udara: Keterbatasan kapasitas runway dan panjang runway,
adanya natural obstacle (gunung dan bukit), runway strip kurang dari
yang disyaratkan, taxiway kurang mendukung pergerakan pesawat dan
Penggunaan bersama kegiatan komersial dan militer.
Rencana pembangunan bandara baru telah berlangsung dari tahun 2011
dan terus berjalan hingga saat ini. Bandara baru ini akan menempati lahan
seluas 645,63 ha di kawasan Kecamatan Temon Kulonprogo.
Pembangunan ini akan menggusur rumah warga sebanyak 2.875 kepala
keluarga atau sekitar 11.501 jiwa. Tak hanya menggusur pemukiman
warga , pembangunan ini juga akan mengambil mata pencaharian warga
sekitar yang sebagian berprofesi sebagai petani dan penggarap sawah. Di
lokasi tersebut juga banyak sekolah, cagar budaya bahkan beberapa obyek
2

wisata seperti pantai glagah yang nantinya akan hilang dan di gantikan
dengan berdirinya bandara. Saat ini proses pembangunan bandara telah
mencapai tahap pembebasan lahan, hal ini di perkuat dengan telah
diturunkannya IPL (Izin Penetapan Lokasi) dari Gubernur DIY.
Dalam pembanguanan bandara di Kulon Progo inilah banyak muncul
tanggapan yang beragam dari masyarakat Kulonprogo. Sebuah proyek
pasti akan memiliki tanggapan positif maupun negatif di masyarakat. Baik
kalangan masyarakat luas dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir
Kulonprogo atau terdampak pembangunan bandara. Tanggapan dan respon
dari masyarakat mengenai pembangunan bandara telah mulai di rasakan
dan muncul sejak awal perencanaan pembangunan bandara di Kulonprogo
mulai berhembus di kalangan masyarakat, tepatnya sejak awal tahun 2011an. Sebagian Masyarakat Kulonprogo memandang bahwa pembangunan
Bandara Kulonprogo berdampak positif karena pembangunan bandara ini
dirasa akan membawa perubahan dan dapat menjadi salah satu sarana
pengembangan masyarakat.

Disisi lain ada juga masyarakat yang

memandang bahwa pembangunan ini akan berdampak negatif, terlebih


untuk lingkungan. Selain itu pembangunan ini juga akan mengambil lahan
tempat mereka bekerja, sehingga masa depan pihak-pihak terdampak tidak
jelas dan terjamin.
Kondisi ini tercipta karena adanya ketidaksiapan beberapa masyarakat
akan adanya pembangunan bandara baru di Kulonprogo. Gesekan yang
terjadi antara kelompok masyarakat yang menyetujui pembangunan
bandara (pro) dengan kelompok masyarakat yang menolak pembangunan
(kontra), telah menimbulkan adanya konflik sosial yang terjadi di
lingkungan masyarakat terdampak pembangunan. Salah satunya adalah
masyarakat Kecamatan Temon. Konflik sosial yang mulai muncul dan
terjadi adalah adanya penerapan sanksi-sanksi sosial dalam lingkungan
masyarakat. Adanya penerapan sanksi sosial ini dapat memicu terjadinya
kerusakan tatanan sosial di lingkungan Kecamatan Temon. Kerusakan
tatanan sosial masyarakat ini terbukti dari adanya sikap tidak berpartisipasi
3

dari masing masing pihak terhadap kegiatan sosial budaya yang


diadakan oleh pihak berseberangan, seperti jika salah satu pihak pro
membuat acara gendurian atau slametan maka pihak kelompok kontra
tidak akan menghadiri acara tersebut begitu juga sebaliknya. Keadaan
seperti ini dikhawatirkan akan semakin memicu timbulnya konflik sosial
yang semakin parah hingga dapat terjadi konflik fisik antar warga.
Rekonsiliasi muncul sebagai jawaban atas permasalahan konflik yang
terjadi di Masyrakat Kulonprogo. Kegiatan Rekonsiliasi warga pro dan
kontra terhadap pembangunan bandara mulai dilakukan seiring dengan
meruncingnya konflik sosial di wilayah pesisir Kulonprogo. Penyelesaian
konflik sosial di masyarakat menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkab
Kulonprogo yang memiliki tingkat urgensi serupa dengan akuisisi lahan
untuk pembangunan bandara di Kulonprogo. Pelaksanaan Rekonsiliasi di
Kulonprogo telah dilakukan dengan berkoordinasi pada unsur TNI dan
Polri untuk membantu penyelesaian persoalan yang muncul di masyarakat
pesisir sebagai dampak dari rencana pembangunan bandara. Proses
rekonsiliasi pertama kali telah di laksanakan pada tanggal 7 januari 2015
setelah di lakukannya konsultasi publik dan di lakukan dengan melibatkan
beberapa pihak yang terkait dengan masalah ini. Kapolres Kulonprogo,
AKBP Yuliyanto, Kamis (8/1), menyampaikan bahwa kondisi di lapangan
sampai saat ini masih ada perbedaan yang berpotensi memicu terjadinya
konflik. Sebab itu, pihaknya berusaha memediasi dengan melakukan
rekonsiliasi antar kelompok warga di Mapolres. (tribunjogja.com)
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai Rekonsiliasi Konflik Sosial dalam Pembangunan
Bandara Baru di Kecamatan Temon Kulonprogo.
.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang tersebut peneliti menemukan beberapa permasalahan yang
muncul dalam penelitian ini, antara lain.
1. Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah tidak memenuhi standar dalam
pengoperasiannya.
2. Harus adanya relokasi bandara untuk memenuhi kebutuhan penerbangan
dan pelayanan bandara.
3. Belum adanya persetujuan dari seluruh warga dalam proses pembebasan
lahan untuk bandara.
4. Muncul kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai reaksi atas
pembengunan bandara baru di Kulonprogo.
5. Pembangunan Bandara di Kulonprogo berpotensi menghilangkan beberapa
objek Pariwisata seperti Pantai Glagah dan hilangnya mata pencaharian
masyarakat lokal.
6. Adanya pihak yang Pro dan Kontra menimbulkan munculnya gesekangesekan antar warga yang dapat memicu timbulnya konflik antar warga.
7. Telah berlakunya sanksi-sanksi sosial antar masyarakat Kecamatan Temon
yang

memiliki

perbedaan

pendapat

atau

pandangan

terhadap

pembangunan bandara dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan


sosial budaya.
8. Rekonsiliasi Konflik Sosial dalam Pembangunan Bandara Baru di
Kecamatan Temon Kulonprogo.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang
dikaji perlu dibatasi. Pembatasan masalah ini dilakukan agar fokus
penelitian menjadi jelas dan terarah. Pembatasan masalah dalam penelitian
ini dibatasi pada rekonsiliasi dalam mengatasi konflik sosial masyarakat di
pesisir wilyah Kecamatan Temon, Kulonprogo. Pada penelitian ini peneliti
5

akan berfokus pada rekonsiliasi antara warga pro dan kontra sebagai akibat
dari rencana pembangunan bandara Kulonprogo.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana rekonsiliasi yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik
sosial yang terjadi antara masyarakat pro dan kontra pembangunan
bandara ?
2. Apakah hambatan dan pendorong dalam pelaksanaan rekonsiliasi yang
telah dilaksanakan ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui rekonsiliasi yang telah dilakukan untuk menangani
konflik sosial yang terjadi antara masyarakat pro dan kontra
pembangunan bandara.
2. Untuk mengetahui hambatan dan pendorong dalam pelaksanaan
rekonsiliasi yang telah dilaksanakan.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, peneltian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
administrasi negara, khususnya pada bidang pembanguanan regional,
kebijakan publik, dan implementasi dan evaluasi kebijakan publik.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat
sebagai berikut :
a. Bagi Penulis
Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya
ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh
selama masa perkuliahan di Ilmu Administrasi Negara, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
b. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik sosial dalam masyarakat sebagai reaksi dari adanya
pembangunan, juga sebagai masukan dalam proses pelaksanaan
dan perencanaan pembanguanan pada suatu wilayah.
c. Bagi Polres
Sebagai

bahan

pelaksanaan

dan

masukan

bagi

penciptaan

Polres

keamanan

Kulonprogo
dalam

dalam

lingkungan

masyarakat yang sedang berkonflik.


d. Bagi Masyarakat
Memberikan pemahaman yang dianggap tepat bagi masyarakat
agar memahami pentingnya peran dan keikutsertaan meraka dalam
proses rekonsiliasi untuk mengembalikan kondisi sosial dan
menghilangan konflik sosial yang terjadi dalam suatu wilayah.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Teori Konflik
a. Pengertian
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan
perkembangan manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam.
Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata social dan ekonomi,
sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan
tujuan hidup yang berbeda, perbedaan inilah yang melatarbelakangi
terjadinya konflik. Konflik adalah sebagai perbedaan persepsi
mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif.
Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari
dan selalu akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah
pihak (Wirawan 2010: 1-2).
Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit
didapat. Seperti konflik yang terjadi pada masyarakat paliyan yang
berawal dari adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan
pemerintah yang berencana membangun bandara, menyebabkan
terbelahnya warga masyarakat menjadi dua belah pihak yaitu pro dan
kontra. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin
mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku
dan menetap (Dean G. Pruit 2004: 27).
Masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai
oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur- unsurnya.
Setiap elemen- elemen yang ada dalam masyarakat memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Sehingga selalu terdapat
8

konflik dan pertikaian dalam system sosial. Ketika terjadi suatu


konflik

dalam

suatu

masyarakat

proses

konsiliasi

perlu

di

pertimbangkan jangan sampai terjadi kekerasan yang dapat merugikan


salah satu pihak yang berkonflik.
Menurut Dahrendorf dalam Novri Susan (2010: 49) masyarakat
mempunyai sisi ganda, konflik dan konsensus yang menjadi
persyaratan satu sama lain. Tidak akan ada konflik kecuali ada
konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya konsensus
sebelumnya. Konsep consensus menurut teori konflik merupakan
ketidakbebasan

yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil

sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Hal ini posisi sekelompok


orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok
lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Kepentingan dikategorikan
Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata.
Kekuasaan memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang
dikuasai, sehingga di dalam masyarakat terdapat dua pihak yang
saling

bertentangan

karena

adanya

perbedaan

kepentingan.

Dahrendrof berpendapat dalam Poloma (2007: 135-136) bahwa di


dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat
ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan
yang tunduk pada struktur itu. Kekuasaan mempunyai peran sentral
dalam mempertahankan ketertiban masyarakat. Dengan demikian
untuk mewujudkan keteraturan, pihak yang memiliki kekuasaan dapat
berperan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.
b. Jenis Konflik
Konflik banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan
berbagai kriteria. Konflik dapat dikelompokkan berdasarkan latar
terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam konflik, dan substansi
konflik diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal,
9

konflik interes (Conflict of interest), konflik realitas dan konflik non


realitas, konflik destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik
menurut bidang kehidupan (Wirawan 2010: 55).
Jenis konflik di atas yang sesuai dengan topik penelitian yang akan
diteliti ini adalah konflik menurut bidang kehidupan. Jenis konflik
menurut bidang kehidupan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan
berkaitan dengan konflik sejumlah aspek kehidupan. Sebagai contoh,
konflik sosial sering kali tidak hanya disebabkan oleh perbedaan suku,
ras, kelas, atau kelompok sosial, tetapi sering kali disebabkan oleh
kecemburuan ekonomi. Konflik ekonomi terjadi karena perbutan
sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Konflik ekonomi misalnya
terjadi dalam bentuk sengketa tanah pertanian antara anggota
masyarakat dan perusahaan perkebunan, antara anggota masyarakat
dan lembaga pemerintahan, atau antara anggota masyarakat lainnya.
Konflik ekonomi bisa terjadi antara anggota masyarakat di suatu
daerah dan anggota masyarakat di daerah lainnya mengenai hak
wilayah ekonomi (Wirawan 2010:55-69).
Selain itu, menurut Wirawan (2010: 116) konflik dapat dibedakan
berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik, yaitu sebagai berikut.
1) Konflik vertikal
Konflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang
dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun
kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertical adalah
terjadinya kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah
terhadap rakyat.
2) Konflik horizontal
Konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara
individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relative
sama. Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau
kelompok yang memiliki kedudukan relative sederajat, tidak ada
yang lebih tinggi dan rendah.
Konflik yang menjadi fukus penelitian ini termasuk dalam konflik
horizontal, konflik terjadi dikalangan rakyat sendiri, dan pihak yang
10

berkonflik berasal dari satu masyarakat. Masing-masing pihak baik


pro dan kontra memiliki kedudukan yang sama atau sederajat tidak
ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.
c. Faktor Penyebab Konflik
Menurut

Wiese

dan

Becker

dalam

Soekamto

(2006:91)

pertentangan yang ada memiliki factor penyebab yang melatar


belakangi adanya konflik, yaitu sebagai berikut:
1) Perbedaan antara individu-individu
Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan
bentrokan antara mereka.
2) Perbedaan kebudayaan
Perbedaan kepribadian dari orang Perorangan tergantung
puladari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang
pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.
3) Perbedaan kepentingan
Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok
merupakan sumber lain dari pertentangan.
4) Perubahan sosial
Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk
sementara waktu dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.
Apabila dilihat dari konflik pembangunan bandara di Kabupaten
Kulon Progo ini masuk dalam kategori konflik yang diseabkan oleh
perbedaan kepentingan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Hocker dan Wilmot dalam Wirawan (2010: 8), bahwa konflik terjadi
karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang
berbeda. Konflik bias juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat
konflik sama, tetapi cara untuk mencapainya berbeda. Hal seperti ini
banyak terjadi dalam dunia politik dan bisnis.
Menurut Wirawan (2010: 7-13), menjelaskan bahwa konflik dapat
terjadi secara alami karena adanya kondisi obyektif yang dapat
menimbulkan terjadinya konflik. Berikut ini adalah kondisi obyektif
yang bisa menimbulkan konflik:
11

a) Tujuan yang berbeda dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot,


konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik
mempunyai tujuan yang berbeda.
b) Komunikasi yang tidak baik, komuikasi yang tidak baik
seringkali menimbulkan konflik dalam organisasi. Faktor
komunikasi yang menyebabkan konflik misalnya,distorsi,
informasi yang tidak tersedia denganbebas, dan penggunaan
bahasa yang tidak dimengertioleh pihak-pihak yang
melakukan komunikasi.
c) Beragam karakteristik sosial, konflik dimasyarakat sering
terjadi karena anggotanya mempunyai karakteristik yang
beragam; suku, agama, dan ideologi. Karakteristk ini sering
diikuti dengan pola hidup yang eksklusif satu sama lain yang
sering menimbulkan konflik.
d) Pribadi orang, dalam hal ini konflik terjadi karena adanya
sikap curiga dan berpikiran negatif kepada orang lain, egois,
sombong, merasa selalu paling benar, kurang dapat
mengendalikan emosinya, dan ingin menang sendiri.
e) Kebutuhan, orang yang memiliki kebutuhan yang berbeda satu
sama lain atau mempunyai kebutuhan yang sama mengenai
sesuatu yang terbatas jumlahnya. Kebutuhan merupakan
pendorong terjadinya perilaku manusia. Jika kebutuhan orang
terhambat, maka bias memicu terjadinya konflik.
2. Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku
maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luaryang berkonflik)
sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat
tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) manajemen konflik merupakan langkah-langkah
yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan
perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau
12

tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,


atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri,
kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak
ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan
yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola
komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara
lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan, yaitu
sebagai berikut:
1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya
konflik yang keras.
2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku
kekerasan melalui persetujuan damai.
3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan
menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan
perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan
lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik
sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial
dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan
dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan
tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup
pencegahan dan penyelesaian konflik.
Soekanto (1999: 84) menerangkan bahwa ketika menghadapi situasi
konflik, orang berperilaku tertentu

untuk

menghadapi

lawannya.

Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola
perilaku orang orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai
gaya manajemen konflik, bentuknya antara lain:
13

1) Koersi, yaitu suatu bentuk akomodasi yang terjadi melalui


pemaksaan kehendak suatu pihak terhadap pihak lain yang
lebih lemah. Misalnya, sistem pemerintahan totalitarian.
2) Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak
yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar
tercapai suatu penyelesaian. Misalnya, perjanjian genjatan
senjata antara dua negara.
3) Arbitrasi, yaitu terjadi apabila pihak-pihak yang berselisih
tidak sanggup mencapai kompromi sendiri. Misalnya,
penyelesaian pertentangan antara karyawan dan pengusaha
dengan serikat buruh, serta Departemen Tenaga Kerja
sebagai pihak ketiga.
4) Mediasi, seperti arbitrasi namun pihak ketiga hanya penengah
atau juru damai. Misalnya, mediasi pemerintah RI untuk
mendamaikan fraksi-fraksi yang berselisih di Kamboja.
5) Konsiliasi, merupakan upaya mempertemukan keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya
suatu persetujuan bersama. Misalnya, panitia tetap
menyelesaikan masalah ketenagakerjaan mengundang
perusahaan dan wakil karyawan untuk menyelesaikan
pemogokan.
6) Toleransi, yaitu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang
resmi.
7) Stalemate, terjadi ketika kelompok yang terlibat pertentangan
mempunyai kekuatan seimbang. Kemudian keduanya sadar
untuk mengakhiri pertentangan. Misalnya, persaingan antara
Blok Barat dan Blok Timur.
8) Ajudikasi, yaitu penyelesaian masalah melalui pengadilan.
Misalnya, persengketaan tanah warisan keluarga yang
diselesaikan di pengadilan.
Dalam penelitian yang kami lakukan, memilih konsep untuk
menganalisis data dengan salah satu tindakan manajemen konflik yaitu
rekonsiliasi konflik atau diatas disebut sebagai konsiliasi, sehingga peneliti
dapat memfokuskan kajiannya terkait penyelesaian konflik masyarakat
temon yang terdampak rencana pembangunan bandara.
3. Rekonsiliasi Konflik
Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun
hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang
suatu konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali
14

makna dari konflik secara positif. CRS (Catholic Relief Services) dalam
Lederach (1999:29) misalnya , mengartikan rekonsiliasi adalah sebagai
berikut: Refers to restoring right relationships between people who have
been alienated and separated from each other during conflict.
Reconciliation occurs not only in relationships, but also at the spiritual,
personal, social, structural and ecological levels. (Mengacu kepada
membangun kembali hubungan antar manusia yang teralienasikan dan
terpisah antaranya selama konflik berlangsung. Rekonsiliasi terjadi tidak
hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat spiritual, sosial,
struktural, dan ekologikal).
Jika melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa rekonsiliasi sesungguhnya difokuskan kepada
bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari
konflik.
Dimensi relasional akan menghubungkan aspek emosional dan
psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain
itu ia akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan
atas apa yang telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa
lampau dan meminta pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat.
Namun rekonsiliasi juga bagaimana dapat mengeksplorasi masa depan
bersama yang lebih baik. Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang
menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang
berbeda, mempertemukan segala energi yang ada, dan semua paradox
dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian akan bertemu.
Menurut Lederach dalam Simon Fisher (2000) rekonsiliasi relasional
antar pihak berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks
masyarakat yang sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian
(divided society) adalah suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan
ketika suatu masyarakat ingin meninggalkan masa lampaunya, menuju
15

masa depan yang damai. Dengan meninggalkan sejarah masa lampau


akan kebencian, kemarahan, dan kekerasan, akan dapat memberikan
energi baru dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dan tentu
saja rekonsiliasi haruslah sesuatu yang sifatnya berkesinambungan, agar
dapat menjamin kelangsungan proses pembangunan dapat berjalan lancar
tanpa terganggu konflik-konflik yang muncul kemudian.
Menurut Lederach dalam Simon Fisher (2000) ada 3 asumsi penting
yang mendasari mengapa rekonsiliasi yang sifatnya berkesinambungan
penting untuk dilakukan. Pertama adalah hubungan antar manusia
(relationship) sesungguhnya adalah dasar dari permasalahan konflik dan
pemulihan hubungan jalinan antar manusia yang baik adalah suatu solusi
jangka panjang. Hubungan antar manusia yang baik adalah suatu focal
point dalam membangun dialog yang berkesinambungan. Yang kedua
adalah

rekonsiliasi

haruslah

dapat

menemukan

ruang

untuk

mengagendakan masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada
masa lampau itu sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan,
kebencian, dan kekerasan. Artinya bahwa memahami masa lampau adalah
suatu proses yang cukup penting dalam mengetahui dan memahami apa
yang sebenarnya telah terjadi. Dan yang ketiga adalah rekonsiliasi selalu
membutuhkan suatu cara pandang yang dapat melihat permasalahan
utama dari sisi luar tradisi politik internasional yang ada, wacana yang
berkembang, dan operasional atau usaha-usaha yang telah ada, agar dapat
menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi.
Perdamaian selalu membutuhkan upaya-upaya kreatif yang inovatif
dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, seiring dengan
berkembangnya jenis dan isu konflik yang ada dalam pusaran global,
regional, dan berimbas pada lokalitasnya. Demikian pula dengan upaya
rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu upaya-upaya baru yang inovatif dalam
memulihkan dan mengembangkan relasional antar pihak yang bertikai
sesuai dengn konteksnya. Kita tidak dapat menyamakan suatu upaya
16

rekonsiliasi yang berhasil dalam satu daerah ke daerah yang lain, tanpa
memperhatikan konteksnya secara jelas.
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya
mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut
Lederach (1999,29) adalah suatu tempat yang didalamnya kebenaran
(truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai
(peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.
Lebih lanjut menurut Lederach (1999:29), sebuah rekonsiliasi yang
sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan :
1. kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan,
transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;
2. adanya sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat
unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan
penyembuhan;
3. perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan,
kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir
adalah adanya syarat
4. keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan,
pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang,
memulihan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan
kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak
masing-masing individu.
Karena keterbatasan peneiti dalam hal referensi teori tentang
rekonsiliasi konflik, dalam penelitian

yang kami lakukan

akan

menggunakan beberapa indikator yang menjadi syarat dari keberhasilan


rekonsiliasi dari Lederach. Peneliti menganggap bahwa indikator tersebut
dapat

menjelaskan

masyarakat

di

lebih

Kecamatan

mendalam
Temon

tentang
yang

penanganan

terdapak

dari

konflik
rencana

pembangunan bandara di Kulonprogo.


B. Kerangka Pikir
Dengan adanya rencana pembangunan bandara di wilayah kecamatan
temon menuai berbagai konflik. Salah satu konflik muncul di kalangan
masyarakat adalah rusaknya tatanan sosial masyarakat akibat adanya
17

perbedaan pendapat terhadap rencana pembangunan megaproye tersebut.


Warga terpecah menjadi kubu pro dan kontra dan menjadikan konflik
sosialpun sulit untuk dihindarkan. Pemerintah Kulonprogo beserta POLRI
dan TNI menggelar rekonsiliasi antara kedua belah pihak demi tetap
terjaganya tatanan sosial masyarakat seperti sebelum muncul recana
pembangunan.

Rekonsiliasi

sendiri

menurut

Lederach

(1999,29)

mengandung empat syarat agar kondisi sosial kembali seperti semula.


Empat syarat tersebut diantaranya;(1) kebenaran (truth) yang di dalamnya
terdapat pengakuan transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu
kebenaran; (2) adanya sifat wlas asih (mercy) yang didalamnya terdapat
unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan
;(3) perdamaian dimana di dalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan,
kesejahteraan, keamanan;(4) keadilan yang dimana didalamnya terdapat
unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak hak yang dimiliki
seseorang, memulihkan segala sesuatu sesuai dengan hak 0 hak dan
kewajibanya dan adanya restitus atau pengembalian hak hak masing
masing indvidu.

18

Perencanaan
Pembangunan
Bandara

Warga pro dan kontra


terhadap rencana
pembangunan

Timbul Konflik
Sosial antar
masyarakat

Unsur rekonsiliasi yang harus


dipenuhi:
Faktor
Pendukung

1. Kebenaran (Truth)
2. Sifat Welas Asih
(Mercy)
3. Perdamaian
4. Keadilan

Faktor
Penghambat

Persetujuan
konflik
terselesaikan

Gambar 1 : Kerangka Berpikir, sumber penulis

19

C. Pertanyaan peneliti :
1. Bagaimana kondisi lingkungan Kecamatan Temon dengan terjadinya
konflik sosial dalam masyarakatnya ?
2. Siapa saja pihak-pihak yang berkonflik dalam konflik sosial di Kecamatan
Temon ?
3. Siapa saja pihak-pihak penyelenggara rekonsiliasi ?
4. Bagaimana tahapan dalam pelaksanaan rekonsiliasi dalam mengatasi
konflik sosial di Kecamatan Temon ?
5. Apa saja unsur yang perlu di penuhi dalam pelaksanaan rekonsiliasi ?
6. Apakah unsur-unsur dalam rekonsiliasi telah terpenuhi dalam pelaksanaan
rekonsiliasi ?
7. Apa fakor pendukung dan penghambat dalam rekonsiliasi ?
8. Bagaimana hasil dari rekonsiliasi yang telah di lakukan ?

20

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan


kualitatif. Metode deskriptif yaitu data yang dikumpulkan adalah berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti Moleong
(2005: 11).
Penelitian

kualitatif

adalah

penelitian

yang bermaksud

untuk

memahami fenomena apa yang yang dialami oleh subjek penelitian


misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara
holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah Moleong (2006:6). Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, tehnik
pengumpulan data secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif karena metode ini
sangat cocok dengan permasalahan yang diangkat peneliti dan nantinya
data yang diperlukan hanya berupa

kata-kata bukan angka.

Peneliti

berhubungan secara langsung dengan narasumber melalui wawancara


dengan aktor-aktor rekonsiliasi yaitu Pemkab Kulonprogo, Polres
Kulonprogo dan data penunjang lainnya seperti notulensi rekonsiliasi,
sehingga data yang diperoleh jelas, rinci dan mendalam. Instrumen
penelitiannya adalah peneliti sendiri sehingga peneliti dapat menggali
21

informasi yang sebanyak-banyaknya namun tetap fokus dengan judul


penelitian.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pemerintahan Daerah Kulonprogo bagian
pemerintahan yang berada dijalan Perwakilan No.1 Wates, Kulonprogo.
Polres Kulonprogo bagian Sat.Intelkam di jalan Jogja-Wates, Ngramang
Wates. Selain itu penelitian juga dilakukan di Desa Palihan, Kecamatan
Temon yakni di rumah ketua WTT ( Wahana Tri Tunggal ) dan KSD (
Kepedulian Sosial Desa ) yang berada di jalan Daendles. Penelitian ini
berlangsung dari tanggal 17 April-17 Juni 2015.

C. Subjek Penelitian
Moleong

(2010:132)

mendiskripsikan

subjek

penelitian

seagai

Informan, yang artinya orang pada latar penelitian yang dimanfaatkan


untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Sejalan dengan definisi tersebut, Moeliono ( 1993: 862 ) mendiskripsikan
Subjek Penelitian sebagai orang yang diamati sebagai sasaran penelitian.
Berdasarkan pengertian tersebut peneliti menentukan subjek penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Polres Kulonprogo bagian Sat.Intelkam oleh Bpk Hajirin.
2. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo bagian pemerintahan oleh
Bu Elda.
3. Kelompok pro pembangunan yaitu KSD ( Kepedulian Sosial
Desa ) oleh Bpk Kamardi.
4. Kelompok kontra pembangunan yaitu WTT ( Wahana Tri
Tunggal ) oleh Bpk Kelik Martono.

22

D. Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung
dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat
berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil
observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan
hasil pengujian. Adapun data primer yang didapatkan dalam
penelitian ini adalah hasil pengamatan yang dilakukan di desa
Palihan, Kecamatan Temon. Hasil wawancara dengan Bpk. Hajirin
Sat.Intelkam Polres Kulonprogo. Hasil wawancara dengan Bu Elda
bagian pemerintahan Pemkab Kulonprogo, serta hasil wawancara
dengan Masyarakat terdampak dari pihak WTT ( Wahana Tri
Tunggal ) oleh Bpk. Kelik Martono serta pihak KSD ( Kespedulian
Sosial Desa ).
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang didapt dari sumber bacaan
dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat
pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai dokumendokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah. Data sekunder
juga dapat berupa majalah, buletin, publikasi dari berbagai
organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi seperti
kementrian-keentrian, hasil-hasil studi, dan sebagainya. Dalam
penelitian ini data sekunder yang diperoleh adalah Bukti surat IPL
( Ijin Penetapan Lokasi ) dari pihak Pemkab Kulonprogo Bagian
Pemerintah, Notulensi Rekonsiliasi dan Rencana Kontijensi
Menghadapi Kontijensi Konflik Sosial pada Pembangunan
Bandara Kulonprogo dari pihak Polres Kulonprogo, serta Rumusan
Draf Rekonsiliasi Via KSD Mitra dari pihak KSD sebagai
masyarakat terdampak.

23

E. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam
penelitian,

karena

itu

seorang

peneliti

harus

terampil

dalam

mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data


adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan. Dalam penelitian ini pengumpulan data penelitian dilakukan
dengan cara :
a.

Observasi
Menurut Soeharto (1995:69) observasi atau pengamatan
diartikan sebagai pengamatan dengan menggunakan indera
penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaanpertanyaan. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan
mengamati kehidupan sosial masyarakat di Desa Palihan,
Kecamatan Temon. Mengamati bentuk aspirasi masyarakat
melalui tulisan-tulisan dan himbauan di sepanjang jalan
Deandles di Desa Palihan Kecamatan Temon.

b. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap
muka antara si penanya dengan si penjawab dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan
wawancara ). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik wawancara semi terbuka yaitu peneliti dapat menggali
informasi secara luas dan mendalam kepada narasumber tetapi
tetap

fokus

pada

judul

penelitian

tersebut.

Peneliti

menggunakan wawancara ini, untuk memperoleh data secara


jelas dan kongkret tentang pelaksanaan rekonsiliasi oleh
Pemkab Kulonprogo dalam penyelesaian antar masyarakat.
Dalam penelitian ini, peneliti sudah mengadakan wawancara
24

dengan Bpk. Hajirin Sat.Intelkam POLRES Kulonprogo. Bu


Elda

bagian

Pemerintahan

Pemkab

Kulonprogo,

serta

Masyarakat Temon yakni Bpk.Kelik Martono dari pihak WTT


( Wahana Tri Tunggal ) dan Bpk.Kamardi dari pihak KSD (
Kepedulian Sosial Desa ).
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis baik berupa
karangan, memo, pengumuman, instruksi, majalah, buletin,
pernyataan, aturan suatu lembaga masyarakat, dan berita yang
disiarkan kepada media massa. Dalam penelitian ini data
sekunder yang diperoleh adalah Bukti surat IPL ( Ijin
Penetapan Lokasi ) dari pihak Pemkab Kulonprogo Bagian
Pemerintah, Notulensi Rekonsiliasi dan Rencana Kontijensi
Menghadapi Kontijensi Konflik Sosial pada Pembangunan
Bandara Kulonprogo dari pihak Polres Kulonprogo, serta
Rumusan Draf Rekonsiliasi Via KSD Mitra dari pihak KSD
sebagai masyarakat terdampak.

F. Teknik Keabsahan Data


Peneliti dalam mengecek keabsaan data perlu menggunkan tehnik
pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap kebasaan data pada dasarnya selain
digunakan untuk menyanggah baik apa yang dituduhkan bahwa penelitian
kualitatif tidak ilmiah, juga merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari
tubuh

penelitian

kualitatif.

Melalui

keabsaan

data

kredibilitas

(kepercayaan) penelitian kualitatif dapat tercapai. Dalam penelitian ini


untuk mendapatkan keabsaan data dilakukan dengan triangulasi.
Triangulasi

adalah

teknik

pemeriksaan

keabsahan

data

yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan


pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu dalam Moleong
25

(2007:330). Menurut Patton dalam Moleong ( 2007:29 ) triangulasi dengan


sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif. Dalam memenuhi keabsaan data penelitian ini
dilakukan triangulasi dengan sumber. Triangulasi tersebut

yakni

membandingkan hasil wawancara yang diperoleh dari pihak PemKab


Kulonprogo bagian Pemerintahan dan Polres Kulonprogo bagian
Sat.Intelkam dengan hasil di lapangan yakni masyarakat terdampak
Kelompok WTT dan KSD.

G. Tehnik Analisis Data


Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat diperoleh
suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Data
yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam
bentuk deskriptif. Menurut Patton dalam Moloeng ( 2001: 103 ) analisis
data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam
suatu pola, kategori dan uraian dasar. Definisi tersebut memberikan
gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari
segi tujuan penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang


dikemukakan oleh Burhan Bungin ( 2003:70 ), yaitu sebagai berikut :
a. Pengumpulan Data ( Data Collection )
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan
analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
Wawancara yang sudah dilakukan adalalah wawancara dengan
Bpk. Hajirin Sat.Intelkam Polres Kulonprogo, wawancara dengan
Bu Elda bagian Pemerintahan Pemkab

Kulonprogo serta

wawancara dengan masyarakat terdampak yakni Kelompok


masyrakat WTT diwakili oleh tokoh masyarakat WTT Bpk.Kelik
26

Martono, serta Kelompok masyarakat KSD di wakili oleh tokoh


masyarakat KSD Bpk. Kamardi. Selain hasil wawancara studi
dokumentasi juga dilakukan dengan mengumpulkan dokumendokumen berupa foto-foto serta surat IPL ( Ijin Penetapan Lokasi )
dari pihak Pemkab Kulonprogo Bagian Pemerintah, Notulensi
Rekonsiliasi dan Rencana Kontijensi Menghadapi Kontijensi
Konflik Sosial pada Pembangunan Bandara Kulonprogo dari pihak
Polres Kulonprogo, serta Rumusan Draf Rekonsiliasi Via KSD
Mitra dari pihak KSD sebagai masyarakat terdampak.
b. Reduksi Data ( Data Reduction )
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyerdehanaan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Reduksi

dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat


ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus, menulis
memo dan sebgainya dengan maksud menyisihkan data/informasi
yang tidak relevan.

Seperti aktor aktor yang terlibat dalam

rekonsiliasi konflik sosial di Kecamatan Temon hanya pada bagian


Pemerintahan Pemkab Kulonprogo, Polres Kulonprogo, TNI
kulonprogo. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan berfokus
pada proses rekonsiliasi dan hal-hal yang berhubungan dengan
rekonsiliasi.

c. Penyajian Data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat
berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan. Penyajian data ini
merupakan hasil dari reduksi yang dilakukan sebelumnya, sehingga

27

peneliti hanya akan memaparkan data rekonsiliasi yang

sudah

diperoleh.

d. Verifikasi & Penegasan Kesimpulan ( Conclution Drawing &


Verification )
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan
kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna
data yang telah disajikan. Antara tampilan data dan penarikan
kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam
pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut
dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan
secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait.
Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai
dalam bentuk kata-kata untuk mendiskrisikan fakta yang ada
dilapangan,

pemaknaan

atau

untuk

menjawab

pertanyaan

penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja. Berdasarkan


keterangan diatas, maka setiap tahap dalam proses tersebut
dilakukan untuk mendapatkan keabsaan data dengan menelaah
seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari
lapangan yakni data wawancara dengan pihak sat.intelkam Polres
Kulonprogo, Bagian Pemerintahan Pemkab Kulonprogo, serta
pihak Masyarakat Desa Palihan, Kecamatan Temon. Dokumen
resmi seperti IPL, Rencana Kontijensi Konflik Sosial pada
Pembangunan Bandara Kulonprogo, Notulensi Rekonsiliasi, serta
Rumusan Draf Rekonsiliasi Via KSD Mitra.

28

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Deskripsi Umum
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
1) Kondisi geografis
Kecamatan Temon terletak di bagian paling barat dari wilayah
Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas
wilayah : 3.629,09 Ha, dengan jumlah penduduk menurut jiwa
sebanyak 33.387 jiwa.
Kecamatan Temon terdiri dari 15 Desa, yaitu Jangkaran, Sindutan,
Palihan, Glagah, Kalidengen, Plumbon, Kedundang, Demen, Kulur,
Kaligintung, Temon Wetan, Temon Kulon, Kebonrejo, Janten dan
Karangwuluh.

terletak pada 0-65 meter dari permukaan laut..

Wilayahnya 98% lebih merupakan dataran selebihnya perbukitan.


Secara geografis wilayah Kecamatan Temon berbatasan dengan
wilayah :
1.

Sebelah Utara

berbatasan dengan Desa Hargomulyo

Kecamatan Kokap,
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia,
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bagelen
Purworejo,
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tawangsari
Kecamatan Pengasih dan Desa Karangwuni

Kecamatan

Wates.
Adapun untuk jumlah penduduk Kecamatan Temon ada 32.726
orang yang terdiri dari laki-laki 16.016 orang/jiwa dan perempuan
16.710 orang/jiwa dengan jumlah kepala keluarga 9.299 KK.
29

2) Situasi Demografis
Secara demografis Kecamatan Temon mempunyai situasi
kependudukan sebagai berikut :
1.

Jumlah Kepala Keluarga

2.

Kepadatan Penduduk

: 9.299 KK
: 4,67 jiwa/km2

TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
N
O
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

DESA

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

JUMLAH

Jangkaran
1.029
1.037
2.066
Sindutan
1.115
1.183
2.298
Palihan
1.293
1.327
2.620
Glagah
1.557
1.585
3.142
Kalidengen
825
797
1.622
Plumbon
1.305
1.329
2.634
Kedundang
1.172
1.306
2.478
Demen
1.380
1.483
2.863
Kulur
1.544
1.612
3.156
Kaligintung
966
988
1.954
Temon Wetan
887
935
1.822
Temon Kulon
965
1.042
2.007
Kebonrejo
791
827
1.618
Janten
638
667
1.305
Karangwuluh
549
592
1.141
JUMLAH
16.016
16.710
32.726
Tabel 1 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut jenis kelamin
tahun 2014

30

TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT UMUR
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
N
O
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

UMUR
2
0-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
15-19 tahun
20-24 tahun
25-29 tahun
30-34 tahun
35-39 tahun
40-44 tahun
45-49 tahun
50-54 tahun
55-59 tahun
60-64 tahun
65-69 tahun
70-74 tahun
>75 tahun
Jumlah

JUMLAH
3
2.006 Orang
2.072 Orang
2.275 Orang
2.250 Orang
2.063 Orang
2.528 Orang
2.817 Orang
2.677 Orang
2.948 Orang
2.542 Orang
2.183 Orang
1.576 Orang
1.113 Orang
1.020 Orang
781 Orang
605 Orang
31.456 Orang

Tabel 2 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut Umur

NO
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9

TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT PENDIDIKAN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
PENDIDIKAN
JUMLAH
2
3
Buta Huruf/ Tidak/Belum Sekolah
0/ 4.651
Tidak /belum Tamat SD
2.813
Tamat SD
6.788
SLTP
5.065
SLTA Umum/SLTA Kejuruan
11.113
D-I/II
233
Sarjana Muda/D-III Akademi
420
D-IV / Strata-I
1.573
Strata II dan III
37
Jumlah
32.693
Tabel 3 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut pendidikan
31

TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
NO
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

MATA PENCAHARIAN
JUMLAH
2
3
Petani
7.277
Nelayan
23
Penambangan
Peternak
10
Pedagang
497
Menyewakan rumah
PNS
787
TNI / POLRI
340
Buruh pabrik / industry
1.751
Buruh tani
90
Buruh bangunan
815
Pengusaha / pemilik industry
5.554
Lain-lain
Tabel 3 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut mata
pencaharian

2. Deskripsi Kebijakan
a) Izin Penetapan Lokasi
Izin Penetapan Lokasi (IPL) merupakan dasar hukum yang
digunakan PT Angkasa Pura sebagai acuan dalam pembebasan
Lahan.

IPL menjadi tahap kedua dalam rangka proses

pembangunan bandara. IPL berisi tentang lokasi beserta luas


pembangunan, jangka waktu pembangunan, serta maksud dan
tujuan

dari

pembangunan

bandara

(Lampiran

3).

Tahap

pembangunan sampai saat ini masih masih pada pengeluaran IPL,


meskipun IPL sudah keluar namun tidak dapat digunakan. IPL
tidak dapat digunakan pada saat ini karena masih digugat oleh
pihak yang kontra terhadap rencana pembangunan bandara.
b) Rencana Kontijensi Menghadapi Kontijensi Konflik Sosial pada
Pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo
32

Rencana Kontijensi merupakan dasar kebijakan yang digunakan


Polres Kulonprogo dalam melaksanakan proses rekonsiliasi konflik
sosial masyarakat wilayah pesisir pantai kecamatan Temon.
Rencana Kontijensi berisi latar belakang perkiraan ancaman
konflik sosial sampai arahan arahan langkah kerja Polres dalam
menanggulangi konflik. Rencana Kontijensi dijadikan sumber data
sekunder oleh peneliti guna mendukung informasi yang telah
disampaikan oleh Kasat Intelkam Bapak Hajirin.(Lampiran 4 )
B. Deskripsi Data
Rekonsiliasi merupakan upaya mempertemukan kembali keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan
bersama. Rekonsiliasi menjadi salah satu upaya yang dapat di lakukan oleh
suatu lembaga maupun perorangan dalam mengatasi suatu konflik hingga
terciptanya kesepakatan antara kedua pihak yang sedang berkonflik.
Kesepakatan ini terjadi apabila kedua pihak telah menetapkan dan menyetujui
satu hal yang sama yang

dapat di jadikan sebagai penyelesaian konflik

tersebut. Rekonsiliasi dilakukan karena kondisi sosial masyarakat wilayah


kecamatan Temon yang sudah tidak lagi kondusif sehingga memunculkan
ancaman gangguan kamtibmas. Rekonsisliasi yang ada ditujukan untuk
mendamaikan pihak pihak yang terlibat konflik di masyarakat temon. Pihak
yang terlibat konflik di masyarakat wilayah kecamatan Temon adalah Pihak
pertama(Pihak Pro) terdiri dari masyarakat yang setuju dengan adanya
rembangunan pembangunan Bandara dengan Pihak kedua(Pihak Kontra) terdiri
dari masyarakat yang menolak dengan adanya rencana pembangunan bandara
baru. Guna memperjelas pembahasan maka akan dijabarkan pihak yang
berkonflik , yakni ;
1. Pihak pihak yang berkonflik
Pertama, Pihak Pro terdiri dari masyarakat yang setuju dengan adanya
pembangunan bandara. Masyarakat tersebut kemudian membentuk kelompok
33

kelompok organisasi masyarakat sebagai wadah memeperkuat pendirian


mereka. beberapa kelompok yang setuju dengan adanya pembangunan bandara
baru di Kulonprogo, antara lain KSD (Kepedulian Sosial Desa), Forum
Rembug Warga Transparansi (FRWT), Masyrarakat Peduli Kulonprogo
(MPK), Ikatan Keluarga Besar-Petani Penggarap Lahan Pasir (IKB-PPLP).
Kelompok-kelompok ini setuju dengan adanya pembangunan dengan syarat
bahwa pembangunan bandara harus menjadikan kehidupan masyarakat atau
keadaan di daerah tersebut menjadi lebih sejahtera. Seperti yang telah di
kemukakan oleh salah satu tokoh KSD, Bapak Kamardi selaku ketua KSD,
kami memang mendukung adanya pembangunan bandara di sini selama
nantinya itu bisa membuat kesejahteraan masyarakat disini membaik, saya
juga warga terdampak kok mas, mbak. Saya juga akan digusur nantinya,
tapi saya ya terima-terima saja toh nanti juga kita akan mendapatkan
tempat penggantinya dengan catatan memang akan ada perbaikan
kesejahteraan dan pengembangan masyarakat sekitar sini.
Kelompok masyarakat pihak pro telah mempersiapkan kehidupan mereka
pasca dibangunya Bandara Baru. Persiapan tersebut terbukti lewat adanya
pembentukan koprasi sebagai wadah pelatihan peningkatan ketrampilan atau
skill bagi masyarakat yang nantinya telah kehilangan lahan pertanian. Bapak
Kamardi selaku pendiri dari koperasi dengan aktif mendata setiap masyarakat
tidak terkecuali anggota dari pihak kontra yang masih berpotensi untuk bekerja
, pencatatan tersebut telah disesuaikan dengan usia dan pendidikan terakhir
warga.
Kedua, Pihak Kontra merupakan masyaakat menolak adanya perencanaan
maupun pembangunan bandara. Seperti pihak pro , pihak kontra ini tergabung
ke dalam kelompok organisasi masyarakat yang kemudian dinamakan WTT
(Wahan Tri Tunggal). Kelompok ini marupakan representasi dari warga yang
menolak

adanya

pembangunan

bandara

dan

mengambilalihan

lahan

masyarakat menjadi lahan pembangunan bandara. WTT adalah wadah yang


dibentuk warga untuk menampung aspirasi dam memperjuangkan apa yang
memang menurut mereka benar.
34

Masyarakat wilayah kecamatan Temon yang terbagi menjadi dua pihak


tersebut yang menjadi sebab memunculnya konflik sosial. Adanya konflik
sosial ini diakui oleh kedua pihak , pengakuan tersebut sesuai dengan hasil
wawancara yang di lakukan kepada Bapak Kamardi (Ketua KSD),
Memang terjadi sanksi sosial dalam kehidupan masyarakat disini mbak,
mas. Kalau ada warga yang memiliki hajatan, kenduren maupun slametan
misalnya dia itu warga yang menerima pembangunan maka warga yang
menolak tidak akan menghadiri acara tersebut begitujuga sebaliknya.
Bahkan saya adalah salah satu orang yang juga terkena sanksi sosial disini
mas,mbak. Kemarin waktu saya sakit pihak-pihak yang menolak
pembangunan bandara itu juga tidak menjenguk, saya juga terima-terima
saja mbak,mas.
Pernyataan adanya konflik tersebut juga didukung oleh informasi yang
didapatan dari pihak kontra, Bapak Kelik Maryono (Ketua WTT),
nek konflik sosial memang susah untuk di kembalikan, tapi kalau selama
pemerintah tidak bernafsu atau ngoyo dalam membantai warga sebenarnya
bisa kondusif.
Bapak Kelik juga menambahi bahwa konflik sosial juga dapat diperparah
oleh pengaruh pemerintah lewat adanya desakan atau paksaan. Meskipun
kondisi sosial dalam masyarakat memang masih dalam taraf yang cukup wajar
dan belum terjadi konflik yang benar-benar dapat memicu adanya tindakan
kontak langsung, kondisi di atas dirasa telah cukup di jadikan alasan bagi
pemerintah melaksanakan upaya rekonsiliasi di Kecamatan Temon.
2. Aktor Penyelenggara Rekonsiliasi
Pihak yang dipilih menjadi penengah (konsiliator) dalam konflik,
merupakan pihak yang netral, memiliki otoritas yang lebih, serta dapat
berkomunikasi dengan kedua pihak yang berkonflik. Dalam konflik sosial yang
terjadi di masyarakat pesisir kecamatan Kulonprogo ini, pihak yang menjadi
konsiliator adalah Pemerintah Daerah (PEMDA) dan Kepolisian Resort
(POLRES) Kulonprogo.

35

Bagian dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Kulonprogo yang memiliki


peran besar dalam pembangunan bandara baru adalah Bidang Pemerintahan
umum. Bidang Pemerintahan Umum meurpakan bagian dari PEMDA yang
tergabung dalam tim besar bentukan dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (PEMPROV DIY) dalam pelaksanaan pembangunan bandara baru.
Pada proses rekonsiliasi Bagian Pemeirntahan berperan sebagai mediator atau
orang yang malakukan pendekatan-pendekatan secara personal kepada pihakpihak terkait untuk dapat mencairkan kondisi menjadi normal seperti semula.
Pemerintah daerah juga membentuk sebuah tim yang berasal dari tokoh-tokoh
masyarakat di daerah Temon yang berjumlah 10 s/d 11 orang. Tim ini adalah
tim bentukan bupati Kulonprogo yang bertugas sebagai orang-orang yang
melakukan pendekatan secara personal kepada masyarakat secara langsung
untuk mengetahui alasan atau aspirasi dari masyarakat. Meskipun memiliki
kewenangan yang besar dalam menata kelola warga dan daerahnya PEMDA
membutuhkan koordinasi dengan pihak lain yang memiliki kewenanagan
dalam hal keamanan, dalam ini pihak tersebut adalah POLRES Kulonprogo.
Berawal dari instruksi inisiatif Kapolres Resort Kulonprogo AKBP Yulianto
menyikapi keadaan konflik yang terjadi, POLRES Kulonprogo justru telah
lebih dahulu melaksanakan proses rekonsiliasi.
Polres Kulonprogo disini menjalankan fungsi pengamanan yang dirasa
perlu di lakukan menginggat telah terjadinya konflik-konflik sosial dalam
kehidupan bermasyarakat di Kecamatan Temon. Dalam menciptakan kondisi
keamanan di daerah konflik polres Kulonprogo membentuk sebuah tim yang
bernama Tim Cipkon (Cipta Kondisi) yang bertugas turun langsung pada
daerah konflik untuk dapat mencairkan suasana dan menciptakan situasi yang
kondusif. Selain itu Polres juga bertindak sebagai fasilitator dalam upaya
penyelenggaran rekonsiliasi. Rekonsiliasi dilakukan di Markas Polisi Resort
Kulonprogo dengan mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai kesepakatan damai dan dapat mulai mengembalikan
serta menciptakan kondisi sosial saperti semula. Adanya kegiatan Rekonsiliasi
36

yang dilakukan oleh POLRES Kulonprogo didukung dengan penuturan


Kapolres Kulonprogo AKBP Yulianto kepada media (Solopos;2015)
Kapolres Kulonprogo AKBP Yulianto mengungkapkan, diminta atau tidak
oleh Bupati, Polres Kulonprogo tetap akan membantu menyelesaikan
konflik sosial di masyarakat. Kami tidak menghilangkan kelompok pro
dan kontra pembangunan bandara, namun yang ingin kami hilangkan
konflik sosial beserta sanksi sosial yang ada di masyarakat, paparnya.
3. Tahap Rekonsiliasi :
Jajaran Pemerintah mulai dari Kepala Desa hingga Bupati pada dasarnya
saling berupaya untuk meredakan konlfik yang terjadi. Namun, pembahasan
penelitian ini lebih memfokuskan kepada proses rekonsiliasi yang dilakukan
oleh POLRES Kulonprogo. Pemilihan fokus pembahasan dalam penelitian ini
dikarenakan data dilapangan menunjukan bahwa konflik yang terjadi di
wilayah pesisir kecamatan Temon tidak hanya pada konflik sosial Horizontal,
melainkan terdapat konflik Vertikal antara kelompok WTT dengan PEMDA
Kulonprogo yang justru menyebabkan keadaan semakin memanas. Dengan
demikian jajaran PEMDA tidak memenuhi syarat menjadi pihak penengah
dalam upaya rekonsiliasi, karena PEMDA tidak dapat dengan mudah bertemu
dengan kedua belah pihak masyarakat. Data dilapangan menunjukan POLRES
yang secara kedudukan dan diakui oleh kedua belah pihak bersifat netral
sehingga menjadi pihak penengah tepat.
Upaya Rekonsiliasi yang dilakukan oleh polres terbagi menjadi empat
tahapan kegiatan, empat tahapan tersebut yakni;
Tahap 1 : Audiensi Kapolres Kulonprogo dengan Tokoh Masyarakat
Kecamatan Temon membahas adanya sanksi sosial. Dalam rekonsiliasi ini
pemerintah memberikan fasilitas untuk memepertemukan tokoh-tokoh yang
menyetujui dan menolak pembangunan bandara. Audiensi dilakukan pada
tanggal 7 januari 2015 sampai pukul 15.40 WIB bertempat di Mapolres
Kulonprogo. Dari hasil audiensi dapat disimpulkan bahwa upaya rekonsiliasi
perlu diadakan untuk meneyelesaikan konflik. Konflik sosial yang terjadi ini
37

tercipta karena situasi. Dalam audiensi ini harapan dari Kaplores sebagai pihak
penengah konflik yang terjadi di Temon tidak ditunggangi dari pihak luar
karena akan menambah permasalahan. Adapun poin-poin yang dapat
disimpulkan adalah sebagai berikut :
1. Bahwa memang telah terjadi konflik antara masyarakat Temon karena
adanya perbedaan pendapat. Fakta ini didukung dengan pemaparan kedua
belah pihak yang tertuang dalam notulen audiensi. Menurut Bapak
Kamardi (KSD)
Berbeda pemahaman merupakan dinamika demokrasi yang harus
kita hormati bersama sama, selanjutnya berbeda pemahaman di
lapangan bisa menjadi konflik kecil bila dibiarkan menjadi konflik
yang besar
Pendapat tersebut juga didukung pendapat dari saudara David (WTT),
Sesama masyarakat yang pro dan kontra tidak perlu saling
mempengaruhi
Pertentangan pendapat dalam sebuah agenda pembangunan wajar adanya,
jika tidak sampai pada tahap konflik.
2. Adanya konflik ini sepakat untuk diselasaikan dengan mengesampingkan
adanaya pro kontra tetapi tetap berpijak pada pemulihan kondisi sosial.
Kesepakatan penyelesaian koflik sosial ini didukung oleh pendapat dari
Bapak Kelik Martono (WTT),
Apabila aparat ingin menjembatani adanya perdamaian pada
prinsipnya tidak ada yang tidak bersedia damai, namun dari pihak
kelompok kami mohon waktu untuk dapat menyampaikan kepada
warga
WTT sebagai pihak kontra juga tidak ingin terus terjadi konflik seperti
yang dituturkan pak Kelik, namun pak kelik hanya meminta ruang agar
dapat memberikan penjelasan kepada anggotanya.
3. Tahapan selanjutnya adalah merumuskan pemecahan masalah, dengan
menghardikan pihak-pihak yang berkepentingan maka diharapkan masing38

masing pihak sudah memiliki daraf masukan untuk dipecahkan bersamasama. Perumusan pemecahan masalah tersebut menjadi langkah yang
dianjurkan oleh polres kepada pihak yang berkonflik ketika pemanggilan
kembali ke Mapolres.
4. Proses penghilangan sanksi sosial dilaksnakan secara natural dari
kelompok masyarakat di tingkat

terbawah yaitu lingkunagn masing-

masing kemudian bertahap pada lingkunagn pedusunan hingga desa.


Tahap 2 :

Mengupas Konflik Sosial di Masyarakat, Dalam tahap ini

pengupasan konflik dilakukan setelah terjadi pertemuan antara kedua belah


pihak yang berbeda pendapat. Pengupasan konflik ini didukung dengan
pembentukan tim melalui Tim Cipta Kondisi. Adapun cara yang dilakukan
oleh Tim Cipkon adalah dengan melakukan pendekatan dan koordinasi serta
mengajak kelompok, organisasi /LSM dan tokoh masyarakat setempat . Selain
itu dengan melakukan negosiasi dengan menginformasikan untung dan ruginya
bagi massa kedua belah pihak apabila terjadi bentrok serta menghimbau untuk
menyelasikan permasalahan tersebut. Dukungan ini diperkuat dari pernyataan
Bapak. Hajirin Kanit Ekonomi, Sat Intel Kam.Polres Kulonprogo,
polres mengamankan program pemerintah sekaligus mengamankan
situasi disana dengan membentuk tim cipta kondisi ,tim cipkon
dibentuk menyesuaikan tahapan-tahapan tim P2B2,tim cipkon ini
terdiri dari intel ,bimas dan polsek
Pengupasan konflik ini dilakukan dengan penyampaian permasalahan oleh
masyarakat pendukung dan penolak. Bapak hajirin mengungkapkan bahwa
pengupasan konflik ini sudah dilakukan, didukung dengan kutipan sebagai
berikut,
mengupas, ada konfilk sosial terjadi di masyarkaat sana sebabnya
apa to, kemudian di wacanakan agar konflik sosial bisa di netralisir
,dan tokoh-tokoh ini bisa mengkodisikan warganya agar kondusif
Tahap 3 :

Merencanakan

penyelesaian Konflik Sosial di Masyarakat,

Perencanaan ini dilakukan dengan membuat konsep rekonsiliasi dari tokohtokoh

masyarakat Temon. Setiap kelompok masyarakat diharuskan untuk


39

membuat konsep rekonsiliasi, seperti yang dituturkan oleh Bapak Kamardi


(KSD) Adanya perumusan pemecahan masalah (rekonsiliasi sendiri ) benar
diakui adanya, didukung oleh pendapat dari Bapak Kamardi (KSD),
...Semua kelompok itu diminta untuk membuat rumusan (rumusan
pemecahan masalah...
akan tetapi draf rekonsiliasi yang masuk baru berasal dari kelompok KSD
sebagai kelompok pendukung, sedangkan kelompok yang menolak belum
memberikan draf rekonsiliasi karena terjadi hambatan yakni terpecahnya
konsentrasi. Pecahnya konsentrasi ini bermula saat terjadi penangkapan
masyarakat penolak karena pengerusakan kantor balai desa. Data ini didukung
oleh kutipan wawancara Bapak Kelik Martono ( WTT ),
ya anda tau karena ada 4 warga WTT di tahan, dipenjara tidak
melakukan apa-apa, dan yang melaporkan adalah pihak pemerintah
des dapat dikatakan pro gitulah, dan untuk damai itu susah, dipenjara
karena hal sepele padahal cukup mediasi saja sudah cukup
Tahap 4 : Mempertemukan masyrakat Pro dan Kontra secara skala besar untuk
membuat nota rekonsiliasi, Belum terjadi nota rekonsiliasi antara masyarakat
yang mendukung dan menolak pembangunan Bandara Kulonprogo. Data ini
didukung dengan pernyataan dari Bapak. Hajirin Kanit Ekonomi, Sat Intel
Kam.Polres Kulonprogo,
dan tahap ini berprosese mas, untuk saat ini itu (pembuatan nota
rekonsiliasi) belum
Respon masyarakat dengan diadakannya mediasi dan audiensi oleh
kepolisian sudah cukup baik. Hal itu dapat dibuktikan dengan hadirnya semua
perwakilan pihak yang diundang oleh pihak kepolisian. Tetapi pada mediasi
dan audiensi yang dilakukan kurang menghasilkan suatu pemecahan masalah,
karena belum ditemukannya titik temu dan kesepakatan antara keduabelah
pihak.
Menurut pihak kepolisian, konflik yang ada di masyarakat sudah turun
intensitasnya. Dulu, waktu awal pencetusan rencana pembangunan bandara
40

terdapat gap yang sangat jelas dimasyarakat, pihak kontra sudah tidak mau lagi
berbaur dengan pihak yang dianggap pro oleh mereka, bahkan terjadi beberapa
tindakan intimidasi seperti pencegatan salah satu pihak kepada pihak lain, dan
pelarangan salah satu pihak untuk menggarap lahan oleh pihak lain. Selain itu
adalah diterapkannya sanksi sosial, seperti saat dilakukannya suatu kegiatan
kerja bakti, keduabelah pihak akan memisahkan diri dan tidak terjadi gotong
royong antara keduanya, serta ketidakhadiran terhadap suatu hajatan dan
layatan yang diselenggarakan oleh salah satu pihak. Sampai saat ini sanksi
sosial dimasyarakat masih berlaku seperti anti menghadiri hajatan, terpisah
dalam kerjabakti dan gotong royong, tetapi juga terjadi beberapa penurunan
tingkat dan intensitas konflik pada masyarakat, pihak pro maupun kontra sudah
mau saling melayat apabila ada layatan dan sudah tidak ada lagi tindakan
intimidasi antara keduanya. Penuturan tersebut juga telah didukung oleh
penuturan Bapak Kamardi yang tergolong manjadi pihak Pro dan penuturan
Bapak Kelik Martono sebagai pihak Kontra. Penurunan tingkat intensitas
konflik dan sanki sosial yang masih berlaku tersebut dipengaruhi oleh faktor
pendung dan penghambat.
4. Faktor yang berpengaruh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekonsiliasi yang dilakukan terdapat
faktor pendukung dan faktor penghambat terwujudnya tujuan atau esensi dari
rekonsiliasi, yaitu:
a. Faktor pendukung
Kemampuan berkomunikasi aparatur kepada masyarakat dengan tata
cara dan kalimat yang dapat diterima dan dimengerti oleh masyarakat.
Dengan

demikian

aparatur

dapat

menjalankan

tugasnya

untuk

mengkondisikan masyarakat karena masyarakat dapat mengerti dan


menerima apa yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
hubungan yang baik anatara aparat dan masyarakat, serta terbukanya akses
informasi baik masyarakat kepada aparat atapun sebaiknya.
41

Masyarakat sekarang lebih terbuka, terutama pihak WTT yang


dahulunya sangat tertutup sekarang menjadi lebih terbuka dan dapat diajak
berdialog. Selain itu di mata masyarakat dalam arti luas, WTT sekarang
terlihat lebih bersahabat dengan pihak lain yang mau membagi keluh
kesahnya dan kemudian dapat memicu simpati dan empati masyarakat luas
terhadap permasalahan ini. Data ini didukung dengan pernyataan Bapak
Kelik Ketua WTT,
dulu mahasiawa tidak bisa sembarangan kluar masuk sini mas,
kalau mau pulang pun harus ada penanggung jawab (dosen
pembimbing) yang menjemput. Orang yang lewat pun kami curigai
dan kami intrograsi
Masyarakat yang kooperatif, hal ini dapat dilihat dari kehadiran tokoh
dari masing-masing pihak untuk berkumpul dalam agenda audiensi yang
diselenggarakan oleh Polres Kulonprogo. Dengan hadirnya masing-masing
tokoh ini menandakan bahwa kedua belah pihak mau diajak berdialog
dalam forum yang sama untuk menemukan titik temu antara keduanya. Data
ini didukung dengan adanya hasil notulensi yang menggambarkan diskusi
antara keduabelah pihak.
Pendekatan keagamaan yang cukup efektif dan dapat diterima oleh
masyarakat karena kebudayaan keagamaan mereka yang melekat pada
kehidupan bermasyarakat. Tindakan pendekatan keagamaan yang dilakukan
pemda antara lain pengajian, berbuka bersama saat ramadhan, ibadah
bersama, dan pengajian keliling dengan disisipkan konten perdamaian,
kehidupan bermasyarakat yang baik, dan pencegahan terjadinya konflik.
Toleransi antar pihak masyarakat yang mendorong terjadinya hubungan
yang baik, contohnya pihak pro sebagai pemilik lahan tetap mepersilahkan
petani penggarap sebagai pihak yang kontra untuk tetap menggarap
lahannya, dan sebaliknya. Hal ini juga berpengaruh pada perbaikan
hubungan antar masyarakat yang dapat mempersatuan keduabelah pihak
dalan hal kerjasama pekerjaan. Dengan kata lain bahwa yang menjadi factor
42

pendukung adalah sikap masyarakat sendiri. Data ini didukung dengan


pernyataan dari bpk. Hajirin Kanit Ekonomi, Sat Intel Kam.Polres
Kulonprogo
Yang mendukung adalah masyarakat sendiri, yang kita harapkan
masyarakat memiliki kesadaran masing2 yang timbul dari hati nurani itu
kemudian keluar menjadi suatu pemahaman secara kelompok dan
mengglobal sehingga dapat mengembalikan keadaan tatanan sosial seperti
semula
b. Faktor penghambat rekonsiliasi
Kurangnya jumlah personil aparat kemanan, yang berpengaruh pada
ketidak seimbangan kemampuan aparat untuk melakukan pengamanan dan
pengawalan terhadap kegiatan yang diselenggarakan. Dari kurangnya
personil ini berakibat pada kurangnya efektifitas kinerja aparat karena beban
pekerjaan yang terlalu berat dengan jumlah masyarakat yang sangat banyak.
Data ini didukung dengan pernyataan dari bpk. Hajirin Kanit Ekonomi, Sat
Intel Kam.Polres Kulonprogo
Standar prosentase, apa ya istilahnya, perbandingan idealnya satu polisi
mengampu 200 warga, tetapi sekarang inikan masuk angka yang sangat
besar yang hrs kita ampu, saat ini pada angka 300-500 warga
Belum ditemukannya titik tengah antar pihak masyarakat, yang
disebabkan oleh pendirian masing-masing pihak dalam menyikapi rencana
pembangunan bandara yang kemudian terbawa dalam kehidupan keseharian
dan bermasyarakat. Data ini didukung dengan pernyataan dari bpk. Hajirin
Kanit Ekonomi, Sat Intel Kam.Polres Kulonprogo, dan Bapak Kelik Ketua
WTT
Hambatannya timbul dari keduabelah pihak sendiri, pihak yang pro
punya pemahan bahwa konflik sosial ditimbulkan dari pihak yang kontra.
pihak kontra memiliki prinsip, apa yang dilakukan masyarakat sehingga
terjadi konflik itu karena isu pembangunan bandara, kalau isu bandara
hilang atau pembangunan bandara itu batal maka konflik itu akan hilang,

43

nek konflik sosial memang susah untuk di kembalikan, tapi kalau selama
pemerintah tidak bernafsu atau ngoyo dalam membantai warga sebenarnya
bisa kondusif.
Tidak ada tim khusus yang benar-benar menangani permasalahan sosial.
Tindakan yang dilakukan sejauh ini terlihat hanya sebagai tindakan yang
reaktif terhadap permasalahan yang muncul serta kurangnya perencanaan
akan hal ini. Data ini diperkuat dengan tidak adanya tim khusus yang
menangani sosial dari berbagai tim yang tercantum dalam dokumen P2B2.
Terdapat aksi profokatif yang saling mempengaruhi antar pihak
dimasyarakat, sehingga tambah memperkeruh keadaan dan memperlihatkan
ketegasan

pendirian

masing-masing

dalam

menyikapi

rencana

pembangunan. Data ini diperoleh dari hasil observasi lingkungan dan


kegiatan di sana yang menunjukkan adanya rontek-rontek tulisan yang
dipasang oleh masing-masing pihak baik pro dan kontra.
C. PEMBAHASAN
Setiap pembangunan akan membawa dampak dan reaksi yang terjadi di
lingkungan terdampak pembangunan tersebut. Salah satunya adalah rencana
pembangunan Bandara Baru di daerah Kulonprogo. Pembangunan Bandara
Baru ini merupakan Megaproyek yang dilakukan Pemerintah bersama
PT.Angkasa Pura dan GVK India. Alasan pembangunan bandara ini di
Yogyakarta adalah karena bandara Adi Sucipto Yogyakarta sudah tidak
memenuhi syarat-syarat standar bandara internasional. Terlebih over kapasitas
dimana pertumbuhan pesawat semakin banyak tetapi bandara udara tetap dan
tidak dapat di perbesar/diperluas. Karena alasan tersebut Pemerintah bersama
aktor-aktor terkait berencana untuk membangun bandara di kawasan dekat
pantai, yaitu daerah kecamatan Temon Kulonprogo. Terlebih pemerintah
Kulonprogo sudah mengkantongi IPL ( Ijin Penetapan Lokasi ).
Rencana Pembangunan Bandara di Kecamatan Temon ini disikapi dengan
berbagai reaksi oleh masyarakat. Akibat perbedaan pendapat dikalangan
44

masyarakat

dalam

menyikapi

masalah

tersebut,

sehingga

berujung

memunculkan konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi disebabkan karena


adanya masyarakat yang mendukung pembangunan Bandara Baru Kulonprogo
dan adanya masyarakat yang menolak pembangunan Bandara Baru
KulonProgo. Pihak pendukung berpendapat bahwa rencana pembangunan ini
bermanfaat baik bagi kehidupan masyarakat temon kedepannya. Terlebih
kawasan Kulonprogo nantinya, akan berubah menjadi kawasan megapolitan di
Yogyakarta dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di daerah Kulonprogo.
Namun, dari pihak penolak menyatakan bahwa, masyarakat nantinya akan
tergusur karena mata pencaharian mereka sebagai petani dan pekerja lain di
sekitar Kecamatan Temon juga akan hilang. Bahkan lahan-lahan produktif
yang seharusnya dapat dikembangkan untuk masyarakat luas menjadi
terancam. Bidang pertanian yang merupakan Budaya masyarakat sekitar
Kecamatan Temon akan berubah menjadi bidang industri kapitalis.
Masyarakat

yang

berkonflik

tergabung

dalam

kelompok-kelompok

masyarakat. Masyarakat pendukung ( pro ) yang mendukung pembangunan


Bandara baru di Kulonprogo, antara lain KSD (Kepedulian Sosial Desa),
Forum Rembug Warga Transparasi (FRWT), Masyarakat Peduli Kulonprogo
(MPK), dan Ikatan Keluarga Besar-Petani Penggarap Lahan Pasir (IKB-PPLP).
Sedangkan pihak masyarakat penolak ( kontra ) yang menolak pembangunan
bandara tergabung dalam sebuah kelompok yang bernama Wahana Tri Tunggal
( WTT ). Perbedaan antar masyarakat ini akhirnya menyebabkan sebuah
Potensi konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Kabupaten
Kulon Progo yang terdampak rencana pembangunan mayoritas adalah petani,
ada yang berprofesi sebagai penggarap lahan yaitu seorang petani yang bekerja
menggarap lahan bukan tanah mereka, bisa jadi tanah dari kepemilikan
individu lainnya ataupun lahan dari tanah kepemilikan kraton (Sultan Ground),
dan petani dengan lahan sendiri ataupun seorang pemilik lahan. Kekhawatiran
pihak penolak ( kontra ) yaitu apabila pembangunan bandara itu benar

45

terlaksana mereka akan kehilangan tanah garapan dan tidak dapat


menyesuaikan diri dalam bekerja setelah direlokasi.
Konflik sosial yang terjadi belum sampai pada tahap terjadinya kontak fisik,
namun mengakibatkan rusaknya tatanan sosial masyarakat yang telah ada. Hal
tersebut dapat terlihat dari kehidupan masyarakat Temon yang terkotak-kotak
dan saling acuh tak acuh terhadap masyarakat lain. Dengan adanya konflik
sosial ini kehidupan masyarakat kecamatan Temon menjadi berubah terutama
pada tatanan sosial. Oleh karena itu rekonsiliasi muncul untuk menyelesaikan
permasalahan konflik sosial yang telah terjadi. Sangat disesalkan apabila pada
suatu rancangan pembangunan pada akhirnya akan mengorbankan masyarakat
yang terdampak pembangunan, sehingga selain focus pada jalannya proses
untuk mendorong terlaksanakannya pembangunan, juga harus diimbangi
dengan pembangunan pada masyarakat yang terdampak dan memikirkan masa
depan mereka.
Rekonsiliasi muncul sebagai jawaban atas konflik sosial dan sanksi sosial
yang terjadi di masyarakat Temon. Permasalahan-permasalahan

tentang

konflik sosial yang terjadi di masyarakat Temon menyebabkan struktur tatanan


kehidupan bermasyarakat menjadi berubah. Perubahan yang terjadi yaitu
kurang pedulinya warga dengan warga lain. Semisal dalam proses kerjabakti
desa, warga pendukung tidak membantu warga penolak

dan sebaliknya.

Meraka saling acuh tak acuh terhadap kehidupan sosial.


Rekonsiliasi pada masyarakat sangat diperlukan karena sudah begitu jauh
perubahan tatanan sosial yang terjadi ke arah yang tidak baik. Perubahan yang
terjadi yaitu pihak penolak sudah tidak mau lagi berbaur dengan pihak yang
dianggap pro oleh mereka, bahkan terjadi beberapa tindakan intimidasi seperti
pencegatan salah satu pihak kepada pihak lain, dan pelarangan salah satu pihak
untuk menggarap lahan oleh pihak lain. Selain itu adalah diterapkannya sanksi
sosial, seperti saat dilakukannya suatu kegiatan kerja bakti, keduabelah pihak
akan memisahkan diri dan tidak terjadi gotong royong antara keduanya, serta
46

ketidak hadiran terhadap suatu hajatan dan layatan yang diselenggarakan oleh
salah satu pihak. Sampai saat ini sanksi sosial dimasyarakat masih berlaku
seperti anti menghadiri hajatan.Dengan adanya hal tersebut, maka aktor-aktor
yang berperan dalam proses rekonsiliasi sangat dibutuhkan agar kehidupan
masyarakat Temon kembali seperti semula. Dalam hal ini aktor yang terlibat
adalah pemkab Kulonprogo, Polres Kulonprogo serta TNI .
Penyelesaian konflik dengan rekonsiliasi ini membutuhkan proses yang
panjang serta komitmen jangka panjang dalam cara pandang yang
berkesinambungan. Dari konflik sosial di masyarakat Temon dapat di pahami
bahwa Rekonsiliasi adalah proses memulihkan keadaan hubungan masyarakat
karena terjadinya suatu konflik dengan mengembalikan solusi tersebut ke
masyarakat, namun proses rekonsiliasi ini membutuhkan pihak ketiga sebagai
pihak netral yaitu Polres Kulonprogo. Tujuan rekonsiliasi sendiri adalah agar
terciptanya kehidupan sosial yang dulu pernah tercipta sebelum ada rencana
pembangunan bandara baru ini.
Adapun Tindakan rekonsiliasi sudah dilakukan oleh pihak Kepolisian
Kulonprogo sebagai fasilitator dalam proses rekonsiliasi yaitu tindakan deteksi
tujuannya untuk cipta kondisi, menciptakan kondisi kamtibmas yang kondusif
dengan membaca keadaan dan kondisi saat itu yang kemudian dapat digunakan
untuk meminimalisir tindakan pelanggaran hukum. Agenda yang dilakukan
dalam tahapan ini melakukan pemetaan terhadap objek pengamanan, seperti
pengenalan aktor dan tokoh yang terlibat, bagaimana kondisi dan keadaan
mereka, dimana objek pengamanan dan keadaannya, serta melakukan deteksi
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dan berimplikasi pada keadaan
keamanan. Selain itu pihak Polres Kulonprogo juga sudah melakukan mediasi
dengan mengundang tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam masyrakat
Kecamatan Temon.
Untuk mengkaji proses rekonsiliasi yang dilakukan oleh POLRES
Kulonprogo peneliti melandasi penelitian ini dengan teori dari Ledrach
47

Lederah mengungkapkan bahwa dalam teorinya proses rekonsiliasi memiliki


beberapa unsur. Unsur unsur tersebut yang dapat dijadikan tolak ukur dari
keberhasilan proses rekonsiliasi. Peneliti akan memaparkan unsur unsur dari
rekonsiliasi yang dilakukan POLRES Kulonprogo.
a. Unsur dalam Rekonsiliasi konflik sosial masyarakat oleh POLRES
1. Kebenaran (truth)
Kebenaran dalam proses rekonsiliasi yang telah di laksanakan antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik dalam lingkungan
desa

terdampak

pembangunan

bandara

adalah

kebenaran

yang

mengahruskan adanya upaya perdamaian antara keduanya. Kebenaran


tersebut berupa nilai-nilai kemasyarakatan yang harus terus dijaga dan
dilestarikan dalam lingkungan masyarakat. Selama ini konflik sosial yang
muncul, memicu terjadinya kerusakan dalam tatanan sosial masyarakat
kecamatan temon. Dalam satu desa bisa terdapat dua kubu kelompok yang
memisahkan kegiatan-kegiatan bermasyarakat antar keduanya baik dalam
kegiatan sosial keagamaan, sosial budaya maupun kegiatan sosial
kemasyarakatan dan ini hampir terjadi merata pada seluruh warga desa
terdampak pembangunan bandara.
Unsur keamanan juga menjadi salah satu unsur yang masuk dalam
indikator kebenaran, keamanan merupakan unsur penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini tentu terkait pada terciptanya kondisi yang
kondusif dalam masyarakat. Kondisi inilah yang berusaha di capai dengan
pelaksannaan rekonsiliasi. Rekonsiliasi di lakukan untuk kembali
menciptakan kondisi sosial

dan kondisi lain dalam masyarakat agar

kembali kondusif dan menciptakan masyarakat yang aman dan hidup


tentram.

48

Selain kedua unsur tersebut, dalam menetukan kebenaran yang di


gunakan dalam proses rekonsiliasi juga menyangkut adanya pengakuan
dan pengungkapan, transparansi, dan klarifikasi kebenaran tersebut.
Pengakuan dan pengungkapan yang telah terjadi dalam proses
rekonsiliasi adalah mengenai kebenaran adanya konflik sosial yang terjadi
dalam masyarakat seperti ketidakhadiran masing-masing pihak dalam
acara yang dilaksanakan oleh pihak yang berlainan dengan mereka dan
perlu adanya upaya yang dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pengakuan ini berasal dari
semua pihak yang berkonflik pada proses rekonsiliasi yang telah
berlangsung 17 januari silam, dalam hal ini adalah masyarakat yang pro
pembangunan dan kontra dengan pembangunan. Hal ini serupa dengan
catatan yang tertera dalam notulensi yang di berikan dari pihak Polres
(lampiran 5 ). Penungkapan, sama halnya dengan pengakuan

akan

kebenaran yang diinginkan oleh pihak-pihak yang berkonflik sehingga


memicu timbulnya konflik sosial juga telah dijabarkan dan diungkapkan
dalam rokonsiliasi pertama yang telah di lakukan 17 januari silam. Setiap
pengakuan dari pihak yang berkonflik di tampung dan akan di analisis
pada tahap ke dua dalam pelaksanaan rekonsiliasi. Setiap pihak memiliki
asumsi dan pendapat masing-masing mengenai pembangunan bandara, dan
asumsi tersebut yang perlu di satukan agar menjadi datu visi dan
pandangan. Melalui pengakuan ini di harapkan terciptanya satu
kesepakatan antar kedua pihak yang berkonflik, tetapi sampai saat ini
kesepakatan tersebut belum dapat di buat dan pengakuan akan adanya
pendapat atau pendangan yang sama juga belum terlaksana.
Transparansi, pada aspek transparansi belum terdapat kejelasan dan
ketransparansian pemerintah dalam pembangunan bandara baru ini.
Sehingga menjadikan adanya miss komunikasi antar warga terdampak
pembangunan. Ketidaktransparansian pemerintah terlihat dalam upaya-

49

upaya sosialisasi pembangunan bandara yang masih rancu di lingkungan


masyarakat.
Klarifikasi kebenaran yang selama ini telah terjadi adalah kebenaramn
mengenai adanya konflik sosial dalam masyarakat dan adanya kebutuhan
untuk menyelesaikan konflik sosial tersebut dari kedua belah pihak yang
berkonflik. Seperti yang telah di ungkapkan di atas, klarifikasi akan
adanya konflik mamang telah di laksanakan tetapi akan adanya suatu
keputusan akan sebuah kebenaran bulat yang akan di gunakan sebagai
penyelesaian konflik belum dapat tercapai dan di capai.
2. Sifat welah asih (mercy)
Sifat welas asih (mercy) adalah sifat bebelas kasih, sependeritaan, dan
sepenanggungan pada semua makhluk tanpa harus adanya hubungan
darah. Sifat ini juga digunakan dalam proses rekonsiliasi untuk
meminimalisir dan menghilangkan konflik di Kulonprogo. Sifat welas asih
ini di tunjukan dengan penggunaan pendekatan persuasif oleh pemerintah
ataupun lembaga lain yang terkait dalam proses rekonsiliasi ini.
Pendekatan persuasif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
menggugah perasaan, pikiran, atau dengan kata lain melakukan ajakan
atau bujukan secra halus atau tanpa paksaan. Pendekatan persuasif ini
dilakukan baik dari aktor rekonsiliasi yang berasal dari Pemerintah
ataupun Polres. Dari sisi Pemerintah, di bentuk sebuah tim yang
beranggotakan 10 s/d 11 orang yang berasal dari tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam masyarkat untuk membujuk dan mencairkan konflik
sosial dalam desa. Tokoh-tokoh inilah yang akan melakukan pendekatan
persuasif secara personal kepada masyarakat yang berkonflik untuk dapat
segera mengakhiri konflik dan berdamai sehingga dapat mengembalikan
kondisi sosial seperti keadaan semula. Dari sisi Polres, di bentuk tim
cipkon dan kamtipmas yang bersiaga serta siap sedia untuk menjaga
keamanan. Selain itu tim ini juga melakukan pendekatan secara persuasif
50

dan personal pada saat-saat tertentu seperti saat melaksanakan patroli


keliling. Polres dalam tahap ini berusaha untuk tidak melakukan tahap
represif yang cederung sudah memasukkan unsur hukum dan penindakan.
Polres cenderung menggunakan tahan persuasif dan preemtif dalam upaya
rekonsiliasi yang telah di laksanakan.
Dalam pelaksanaan rekonsiliasi ini, semua pihak yang berkonflik
mendapatkan sikap, hak dan perlakuan yang sama. Dalam melakukan
pendekatan persuasif pun juga begitu. Semua pihak mendapatkan
kesampatan yang sama dan diberikan penjelasan yang sama. Pihak
minoritas dalam hal ini adalah

pihak kontra juga mendapatkan

perlindungan yang sama.


Selain kedua unsur tersebut adanya sifat welas asih dalam
pelaksanaan proses rekonsiliasi, terdapat unsur penerimaan. Penerimaan
dalam rekonsiliasi yang telah di lakasanakan telah tercapai. Penerimaan
dalam

konteks

ini

adalah

penerimaan

akan

adanya

kebutuhan

pengembalian kondisi masyarakat seperti semula. Kondisi yang saat ini


terjadi di rasakan oleh kedua belah pihak sudah tidak nyaman dalam
kehidupan bermasyarakat. Adanya rekonsiliasi diterima dan dijalankan
oleh kedua belah pihak yang di buktikan dengan kedatangan pihak-pihak
terkait dalam rekonsiliasi pertama yang telah di laksanakan pada 17
januari 2015 silam.
Sifat welas asih juga dapat di lihat dari cara Polres dalam
menanggapi kasus yang sempat menjadikan konflik sosial di Kecamatan
Temon menegang. Kasus tersebut adalah penengkapan empat anggota
WTT yang di klaim telah melakukan pengerusakan di Balai Desa Glagah.
Selama proses peradilan POLRES memberikan waktu kepada empat
terlapor agar dapat berkomunikasi kepada pelapor agar mencabut
laporanya. Waktu artinya ketika proses kasus sampai tahap penyidikan
terlapor yang harusnya ditahan di MAPOLRES diberi kelonggaran untuk
51

pulang dengan tujuan dapat berkomunikasi dengan pelapor. Namun,


selama kurun proses penyidikan tetap tidak tercapai titik temu sehingga
kasus berjalan ke tahap selanjutnya dan terlapor dinyatakan bersalah.
3. Perdamaian
Perdamaian yang seperti dicita citakan oleh banyak pihak sampai
saat penelitian ini masih belum tercipta. Kehidupan masyarakat desa yang
guyub rukun seperti kebanyakan desa desa lain kini perlahan mulai
tergerus. Susana perselisihan masih hangat tergambar di aktivitas
keseharian masyarakat, masih banyak sanksi sosial yang berlaku diantara
kedua belah pihak. Keadaan tersebut juga dapat disaksikan oleh
masyarakat awam yang melintas, dimana masyarakat dapat membaca
ancaman, himbauan, dan keinginan masyarakat yang tertulis di sepanjang
jalan Deandles yang membelah kecamatan.
Hasil telaah secara lebih dalam masih memuncul adanya sanksi
sosial di acara sosial budaya masyarakat. Meski aksi tidak berpartisipasi
dalam acara sosial budaya menurun namun masih ada sensitivitas pada
acara tertentu. Hajatan menjadi salah satu acara yang tidak mau dihadiri
oleh pihak bersebrangan, mereka menafsirkan bahwa tidak pada tempatnya
jika berpesta dalam keadaan yang terancam. Tafsiran tersebut menunjukan
konflik ini bahkan sudah tertanam kedalam pemikiran masyarakat
sehingga sangat mempengaruhi tindakan yang diambil.
Selain munculnya sanksi sosial perdamaian belum dapat terwujud
jika dilihat dari keadaan masyarakat yang masih terkotak-kotak.
Masyarakat yang dulunya rukun bersatu padu kini secara tidak langsung
terpisah ke dalam golongan golongan yang muncul akibat adanya
rencana pembangunan bandara baru ini. Keadaan tersbeut terbukti dari
situasi

tidak

bersatunya

masyarakat

yang

berseberangan

ketika

menjalankan kerjabakti membersihkan makam. Keadaan yang ada ini


membutikan bahwa msyarakat tidak baik baik saja, salah sekiranya
52

pemerintah tidak memperhatikan keadaan ini dalam pelaksanaan


pembangunan bandara.
4. Keadilan
Perlakuan yang diberikan POLRES pada upaya rekonsiliasi ini
tergolong adil. Pendapat tersebut disetujui pula oleh kedua pihak bahwa
dalam upaya rekonsiliasi POLRES bertindak dengan adil dan tidak
memihak. Keadilan ini memang tidak dapat dengan mudah dipahami
masyarakat awam yang tidak mengetahui proses munculnya konflik
sampai sekarang. Kesulitan masyarakat untuk menganggap bahwa
POLRES berlaku adil kepada salah satu pihak didukung dengan adanya
kasus penyegelan balai desa Glagah.
Penyegelan yang dilakukan oleh empat warga anggota WTT tersebut
membuat keempatnya akhirnya mendapatkan hukuman penjara empat
bulan. Penyegelan tersebut dilakukan sebagai wujud dari kekesalan warga
WTT, aksi tersebut diketahui oleh pelapor kemudian dilaporkan ke
POLRES. POLRES sebagai lembaga penegak hukum wajib menaati
prosedur yang telah ada, akhirnya kasus tersebut diproses yang kemudian
menghasilkan keputusan bahwa terlapor bersalah. Hasil pendalaman
penelitian ini menggambarkan bahwa munculnya pelaporan tersebut
menjadi kekecewaan dari POLRES sendiri, kekecewaan ini didasarkan
pada kasus yang tergolong ringan tersebut seharusnya dapat diselesaikan
secara musyawarah tanpa lewat jalur hukum. Akibatnya kasus tersebut
diproses lewat jalur hukum justru akan memperkeruh suasana konflik
sosial masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Temon. Selama proses
hukum berlangsung, Polres tetap mengizinkan para terlapor untuk dapat
berkomunikasi dan berkumpul dengan keluarganya sebelum akhirnya
benar-benar di tahan di Polres.

53

Kedua belah pihak mengapresiasi baik dengan tindakan yang dilakukan


polres selama adanya konflik ini. Yang menjadi permasalahkan dalam
konflik ini adalah adanya pembangunan bandara, keadaan tersebut
menyebabkan PEMDA Kulonprogo yang dimusuhi oleh salah satu pihak.
Keadaan ini dapat dimaknai bahwa yang paling dapat menjadi pihak
penengah konflik ini adalah POLRES.
b. Perkembangan konflik
Perkembangan keadaan masyarakat atau objek sasaran dari upaya
rekonsiliasi tidak bisa dilepaskan dari ketercapaian agenda rekonsiliasi.
Agenda dan tindakan rekonsiliasi sampai saat ini masih berlangsung,
dengan kata lain konflik yang terdapat pada masyarakat juga belum
terselesaikan. Tindakan pemerintah daerah sampai saat ini masih berjalan
terutama pengkondisian masyarakat melalui tim yang dibentuk oleh bupati.
Selain itu juga dalam agenda rapat atau pertemuan yang dilakukan bersama
masyarakat selalu disisipkan upaya rekonsiliasi dengan pengemasan sesuai
acara rapat atau pertemuan, dalam melakukan hal tersebut seluruh perangkat
desa dilibatkan oleh pemerintah.
Setelah banyaknya agenda yang dilakukan oleh pemerintah seperti
pendekatan agama melalui kegiatan pengajian, beribadah bersama, buka
bersama saat bulan ramadhan, dan pengajian keliling dirasa masih kurang
menghasilkan perkembangan yang signifikan terhadap perbaikan kondisi
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pemerintah belum bisa mengambl hati
dan menjawab keinginkan pihak kontra yaitu kejelasan masa depan mereka,
bagaimana relokasi lahan, ganti rugi yang diberikan, dan jawaban terhadap
kecemasan mereka. Tetapi untuk pengkondisian masyarakat, tim yang
dibentuk oleh bupati sudah cukup efektif karena tokoh yang tugaskan
merupakan warga yang memiliki pengaruh, sehingga masyarakat sampai
saat ini dapat dikondisikan untuk menghindari tindakan yang anarkis.

54

Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian saat ini masih pada tahap ke 3
yaitu merencanakan

penyelesaian konflik sosial di masyarakat dengan

membuat konsep rekonsiliasi dari tokoh-tokoh masyarakat Temon. Tahap


selanjutnya belum dapat dilakukan karena dari beberapa perwakilan baru
satu yang mengajuan konsep rekonsiliasinya kepada pihak kepolisian,
dengan demikian belum dapat disusun konsep keseluruhan karena dari
konsep yang masuk belum dapat dianggap merepresentatifkan masyarakat
secara keseluruhan.
Kemudian untuk tindakan pengamanan sejauh ini sudah efektif untuk
mencegah terjadinya benturan fisik. Salah satu kegiatannya adalah patroli,
controlling yang dilakukan kepolisian sudah cukup baik karena dapat
menghasilkan informasi kondisi terbaru masyarakat, dapat mengawasi dan
mengkondisikan masyarakat secara langsung. Ketercapaian tindakan yang
dilakukan kepolisian didukung oleh komunikasi yang baik terhadap
masyarakat, patroli yang dilakukan tidak hanya sekedar keliling, tetapi juga
secara langsung mendatangi kerumunan warga dengan tujuan berdialog
untuk mengetahui keinginan dan apa yang akan mereka lakukan, sehingga
kepolisian dapat mengetahui tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan.
Rekonsiliasi tidak hanya berbicara bagai menyelesaikan konflik tetapi
juga dalam hal membangun kembali kondisi tatanan sosial masyarakat.
Upaya rekonsiliasi yang sudah dilakukan belum dapat mencapai tujuan
menyelesaikan konflik dan juga belum bisa membangun kembali tatanan
sosial masyarakat. Belum tercapainya perdamaian dapat dilihat dari masih
terdapatnya jurang pemisah antara kedua belah pihak dan belum
terbentuknya nota rekonsiliasi/ nota perdamaian.
Dari upaya yang sudah dilakukan belum dapat mengembalikan kondisi
tatanan sosial masyarakat secara utuh, tetapi sudah ada beberapa perbaikan.
Perbaikan dan perkembangan yang terjadi antara lain adalah:1) masingmasing pihak sudah mau saling menghadiri layatan apabila ada warga yang
55

meninggal; 2)Pihak WTT sudah bersifat terbuka kepada masyarakat luas;


3)toleransi yang membaik dalam menyikapi kegiatan pihak lain. Perbaikan
lainnya berkaitan dengan cipta kondisi masyarakat yang tertib dan aman,
antara lain: 1)tidak ada lagi tindakan intimidasi antar warga; 2)pihak kontra
sudah melakukan tindakannya sesuai prosedur dan aturan; 3)tidak ada upaya
pemblokiran jalan dan tindakan mengganggu kepentingan umum lainnya;
4)komunikasi yang baik antara pihak masyarakat dengan aparatur; 5)tidak
ada tindakan masyarakat yang berindikasi kepada tindakan kekerasan dan
konflik fisik. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam upaya
rekonsiliasi yang dilakukan terdapat faktor pendukung dan faktor
penghambat terwujudnya tujuan atau esensi dari rekonsiliasi.
c. Faktor Pendukung dan Penghambat Rekonsiliasi
Dari aspek komunikasi, yang menjadi faktor pendukung adalah
kemampuan aparatur dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat
dengan tata cara dan kalimat yang dapat diterima dan dimengerti oleh
masyarakat. Dengan demikian, aparatur dapat menjalankan tugasnya untuk
mengkondisikan masyarakat karena masyarakat dapat mengerti dan
menerima apa yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
hubungan yang baik anatara aparat dan masyarakat, serta terbukanya akses
informasi baik masyarakat kepada aparat atapun sebaiknya.
Masyarakat sekarang lebih terbuka, terutama pihak WTT yang dahulunya
sangat tertutup sekarang menjadi lebih terbuka dan dapat diajak berdialog.
Hal ini sangat membantuk pihak-pihak yang berkepentingan menyelesaikan
konflik untuk mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya mereka
inginkan untuk mencari pemecahan masalah. Selain itu di mata masyarakat
dalam arti luas, WTT sekarang terlihat lebih bersahabat dengan pihak lain
yang mau membagi keluh kesahnya dan kemudian dapat memicu simpati
dan empati masyarakat luas terhadap permasalahan ini.

56

Masyarakat yang kooperatif, hal ini dapat dilihat dari kehadiran tokoh
dari masing-masing pihak untuk berkumpul dalam agenda audiensi yang
diselenggarakan oleh Polres Kulonprogo. Dengan hadirnya masing-masing
tokoh ini menandakan bahwa kedua belah pihak mau diajak berdialog dalam
forum yang sama untuk menemukan titik temu antara keduanya.
Pendekatan keagamaan yang cukup efektif dan dapat diterima oleh
masyarakat karena kebudayaan keagamaan mereka yang melekat pada
kehidupan bermasyarakat. Tindakan pendekatan keagamaan yang dilakukan
pemda antara lain pengajian, berbuka bersama saat ramadhan, ibadah
bersama, dan pengajian keliling dengan disisipkan konten perdamaian,
kehidupan bermasyarakat yang baik, dan pencegahan terjadinya konflik.
Masih adanya toleransi antar pihak dimasyarakat yang mendorong
terjadinya hubungan yang baik, misalnya pihak pro sebagai pemilik lahan
tetap mepersilahkan petani penggarap sebagai pihak yang kontra untuk tetap
menggarap lahannya, dan sebaliknya. Hal ini juga berpengaruh pada
perbaikan hubungan antar masyarakat yang dapat mempersatuan keduabelah
pihak dalan hal kerjasama pekerjaan.
Faktor penghambat dari upaya rekonsiliasi pihak pro dan kontra seperti
kurangnya jumlah personil aparat kemanan, yang berpengaruh pada ketidak
seimbangan kemampuan aparat untuk melakukan pengamanan dan
pengawalan terhadap kegiatan yang diselenggarakan. Dari kurangnya
personil ini berakibat pada kurangnya efektifitas kinerja aparat karena beban
pekerjaan yang terlalu berat dengan jumlah masyarakat yang sangat banyak.
Belum ditemukannya titik tengah antar pihak masyarakat, yang
disebabkan oleh pendirian masing-masing pihak dalam menyikapi rencana
pembangunan bandara yang kemudian terbawa dalam kehidupan keseharian
dan bermasyarakat. Karena pendirian yang memposisikan sebahai pihak
yang setuju dan tidak tersebut mengakibatkan terpisahnya kepentingan
masing-masing pihak.
57

Pemerintah kurang memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat yang


terdampak rencana pembangunan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya tim
khusus yang benar-benar menangani permasalahan sosial. Tindakan yang
dilakukan sejauh ini terlihat hanya sebagai tindakan yang reaktif terhadap
permasalahan yang muncul serta kurangnya perencanaan akan hal ini.
Adanya aksi profokatif dan yang saling mempengaruhi antar pihak
dimasyarakat, sehingga tambah memperkeruh keadaan dan memperlihatkan
ketegasan

pendirian

masing-masing

dalam

menyikapi

rencana

pembangunan. Misalnya dibuatnya rontek-rontek tulisan yang dipasang oleh


masing-masing pihak baik pro dan kontra.

58

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Pembangunan bandara baru di Kulonprogo mengakibatkan munculnya
konflik sosial dalam lingkungan msayarakat terdampak pembangunan.
Konflik ini telah berlangsung cukup lama dengan penerapan sanksi-sanksi
sosial antar warga yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai
pembangunan bandara, sehingga perlu adanya rekonsiliasi sebelum konflik
sosial yang terjadi di masyarakat semakin meluas.
Rekonsiliasi antara pihak pro dan kontra pembangunan bandara untuk
mengatasi konflik sosial masyarakat di pesisir wilayah Kecamatan Temon
telah di lakukan pada tanggal 17 Januari 2015. Pelaksanaan rekonsiliasi
ini di lakukan dalam empat tahapan kegiatan, yakni ; pertama, audiensi
Kapolres Kulonprogo dangan tokoh masyarakat Kecamatan Temon
membahas adanya sanksi sosial. Kedua, Mengupas Konflik Sosial di
Masyarakat. Ketiga, Merencanakan

penyelesaian Konflik Sosial di

Masyarakat. Keempat, Mempertemukan masyrakat Pro dan Kontra secara


skala besar untuk membuat nota rekonsiliasi.

Namun hingga saat ini

tahapan dalam pelaksanaan rekonsiliasi baru berproses hingga pada tahap


kegiatan ketiga yaitu merencanakan penyelesaian konflik sosial dalam
masyarakat. Hal ini di karenakan adanya beberapa unsur dalam
rekonsiliasi yang belum dapat tercapai. Rekonsiliasi dapat di katakan
berhasil

apabila

ada

empat

unsur

yang

telah

tercapai

dalam

pelaksanaannya yakni ; kebenaran, sifat welas asih, perdamaian, dan


keadilan. Dalam rekonsiliasi yang di lakukan di Kulon Progo unsur
kebenaran dan perdamaian belum dapat tercapai sehingga tahapan
rekonsiliasi juga belum dapat dijalankan sampai tahapan kegiatan terahir.
Selain itu, rekonsiliasi pihak pro dan kontra pembangunan bandara
untuk mengatasi konflik sosial masyarakat di pesisiri wilayah Kecamatan
Temon juga dipengaruhi oleh adanya faktor penghambat dan pendorong
59

dalam pelaksanaannya. Faktor-faktor tersebut yakni; faktor penghambat


antara lain kurangnya
ditemukannya

titik

jumlah personil aparat kemanan,

tengah

antar

pihak

masyarakat,

Belum

kurang

di

perhatikannya aspek sosial pada masyarakat terdampak, serta adanya aksi


profokatif. Sedangkan faktor pendukungnya antara lain aspek kominikasi,
masyarakat yang sekarang menjadi lebih terbuka, masyarakat yang
kooperatif, pendekatan keagamaan yang efekitf, serta masih adanya
toleransi antar pihak yang berkonflik. Sedangkan.

2. Saran
a. Diadakanya forum diskusi informal yang khusus hanya membahas
tentang konflik sosial masyarakat yang melibatkan pihak pro dan
kontra, kepada desa dan camat sebagai kepala pemerintahan level
terbawah, POLRES sebagai penengah. Forum internal tersebut
lebih mendukung jika semua undangan dalam forum diskusi
tersebut menanggalkan posisi sejenak mempunyai rasa sama
sebagai warga negara.
b. Penyesuaikan kembali jumlah aparat dengan menyesuaikan beban
kerja dan kemampuan dengan jumlah masyarakat yang ditangani.
Sehingga dengan jumlah yang aparat telah sesuai diharapkan
mampu bekerja dengan efektif dan efisien.
c. Perlu adanya transaparansi pihak pemerintah dalam pembangunan
bandara baru sehingga tidak terjadi ketidakpastian didalam
masyarakat terdampak
d. Pembanguanan komunikasi yang lebih baik antar pihak sehingga
tidak terjadi miss komunikasi antar pihak

60

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Lexy J. Moeleong. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Karya
Winardi. 2007. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).
Bandung : Mandar Maju.

Internet
Anugraheni , Ekasanti.(2015). .Pihak Pro dan Kontra Bandara Bakal
Direkonsoliasi. http://jogja.tribunnews.com/2015/01/09/pihak-pro-dankontra-bandara-bakal-direkonsoliasi.Diunduh pada tanggal 21 april 2015.
Dyah Natalia, Mediani. (2015). Konflik Sosial Meruncing, Rekonsiliasi Mulai
Dilakukan. http://jogja.solopos.com/baca/2015/01/09/bandarakulonprogo-konflik-sosial-meruncing-rekonsiliasi-mulai-dilakukan566430. Di unduh 10 juni 2015.
Aditya, Ivan. (2015). Kapolres Fasilitasi Rekonsiliasi Semua Kelompok.
http://krjogja.com/read/243651/kapolres-fasilitasi-rekonsiliasi-semuakelompok.kr. Diunduh 3 Mei 2015.
http://kuatemon.blogspot.com/p/gambaran-wilayah.html
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t23862.pdf

61

Anda mungkin juga menyukai