PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta merupakan gerbang
udara wisata terpenting bagi kawasan segitiga JOGLOSEMAR (YogyaSolo-Semarang). Dengan daerah pelayanan yang mencakup wilayah
Yogyakarta, Jawa Tengah bagian Selatan, dan Jawa Timur bagian Barat.
Yogyakarta telah menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke 3 di
Pulau Jawa, setelah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Bandara Juanda
Surabaya.
Melesatnya pertumbuhan jasa transportasi udara dan semakin luasnya
rute-rute penerbangan domestik maupun internasional membawa dampak
terhadap Bandara Adisucipto. Pesatnya pertumbuhan jumlah penumpang
merupakan salah satu imbas dari berkembangnya sektor pariwisata di
Yogyakarta dengan diimbangi adanya persaingan harga tiket pesawat yang
semakin kompetitif antar maskapai dan beberapa sektor transportasi
lainnya. Oleh karena itu, lonjakan penumpang yang terjadi pada awal
tahun 2011 hingga sekarang menjadi salah satu pertimbangan yang harus
diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Tahun 2011 tercatat bahwa
aktivitas penumpang pada mulanya berkisar 4.661.957 dengan jumlah
kargo sebanyak 9.983 kg, secara signifikan kini melonjak menjadi
5.198.082 penumpang dengan jumlah kargo 10.951 kg. Diperkirakan
jumlah penumpang dan kargo pada tahun 2035 akan meningkat tajam
menjadi 19.504.876 penumpang dengan jumlah kargo mencapai 42.700
kg (adisucipto-airport.co.id).
Disisi lain, timbul masalah yang cukup serius. Semakin tingginya trafik
pengoperasian Bandara Adisucipto berbarengan dengan padatnya jadwal
latihan penerbangan Akademi TNI AU. Sehingga bentrokkan-bentrokkan
jadwal penerbangan sudah tidak terelakkan lagi. Tempat parkir pesawat
yang ada sudah tidak mampu lagi menampung. Semakin beragamnya
1
wisata seperti pantai glagah yang nantinya akan hilang dan di gantikan
dengan berdirinya bandara. Saat ini proses pembangunan bandara telah
mencapai tahap pembebasan lahan, hal ini di perkuat dengan telah
diturunkannya IPL (Izin Penetapan Lokasi) dari Gubernur DIY.
Dalam pembanguanan bandara di Kulon Progo inilah banyak muncul
tanggapan yang beragam dari masyarakat Kulonprogo. Sebuah proyek
pasti akan memiliki tanggapan positif maupun negatif di masyarakat. Baik
kalangan masyarakat luas dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir
Kulonprogo atau terdampak pembangunan bandara. Tanggapan dan respon
dari masyarakat mengenai pembangunan bandara telah mulai di rasakan
dan muncul sejak awal perencanaan pembangunan bandara di Kulonprogo
mulai berhembus di kalangan masyarakat, tepatnya sejak awal tahun 2011an. Sebagian Masyarakat Kulonprogo memandang bahwa pembangunan
Bandara Kulonprogo berdampak positif karena pembangunan bandara ini
dirasa akan membawa perubahan dan dapat menjadi salah satu sarana
pengembangan masyarakat.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang tersebut peneliti menemukan beberapa permasalahan yang
muncul dalam penelitian ini, antara lain.
1. Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah tidak memenuhi standar dalam
pengoperasiannya.
2. Harus adanya relokasi bandara untuk memenuhi kebutuhan penerbangan
dan pelayanan bandara.
3. Belum adanya persetujuan dari seluruh warga dalam proses pembebasan
lahan untuk bandara.
4. Muncul kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai reaksi atas
pembengunan bandara baru di Kulonprogo.
5. Pembangunan Bandara di Kulonprogo berpotensi menghilangkan beberapa
objek Pariwisata seperti Pantai Glagah dan hilangnya mata pencaharian
masyarakat lokal.
6. Adanya pihak yang Pro dan Kontra menimbulkan munculnya gesekangesekan antar warga yang dapat memicu timbulnya konflik antar warga.
7. Telah berlakunya sanksi-sanksi sosial antar masyarakat Kecamatan Temon
yang
memiliki
perbedaan
pendapat
atau
pandangan
terhadap
akan berfokus pada rekonsiliasi antara warga pro dan kontra sebagai akibat
dari rencana pembangunan bandara Kulonprogo.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana rekonsiliasi yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik
sosial yang terjadi antara masyarakat pro dan kontra pembangunan
bandara ?
2. Apakah hambatan dan pendorong dalam pelaksanaan rekonsiliasi yang
telah dilaksanakan ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui rekonsiliasi yang telah dilakukan untuk menangani
konflik sosial yang terjadi antara masyarakat pro dan kontra
pembangunan bandara.
2. Untuk mengetahui hambatan dan pendorong dalam pelaksanaan
rekonsiliasi yang telah dilaksanakan.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, peneltian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
administrasi negara, khususnya pada bidang pembanguanan regional,
kebijakan publik, dan implementasi dan evaluasi kebijakan publik.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat
sebagai berikut :
a. Bagi Penulis
Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya
ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh
selama masa perkuliahan di Ilmu Administrasi Negara, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
b. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik sosial dalam masyarakat sebagai reaksi dari adanya
pembangunan, juga sebagai masukan dalam proses pelaksanaan
dan perencanaan pembanguanan pada suatu wilayah.
c. Bagi Polres
Sebagai
bahan
pelaksanaan
dan
masukan
bagi
penciptaan
Polres
keamanan
Kulonprogo
dalam
dalam
lingkungan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Teori Konflik
a. Pengertian
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan
perkembangan manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam.
Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata social dan ekonomi,
sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan
tujuan hidup yang berbeda, perbedaan inilah yang melatarbelakangi
terjadinya konflik. Konflik adalah sebagai perbedaan persepsi
mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif.
Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari
dan selalu akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah
pihak (Wirawan 2010: 1-2).
Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit
didapat. Seperti konflik yang terjadi pada masyarakat paliyan yang
berawal dari adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan
pemerintah yang berencana membangun bandara, menyebabkan
terbelahnya warga masyarakat menjadi dua belah pihak yaitu pro dan
kontra. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin
mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku
dan menetap (Dean G. Pruit 2004: 27).
Masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai
oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur- unsurnya.
Setiap elemen- elemen yang ada dalam masyarakat memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Sehingga selalu terdapat
8
dalam
suatu
masyarakat
proses
konsiliasi
perlu
di
bertentangan
karena
adanya
perbedaan
kepentingan.
Wiese
dan
Becker
dalam
Soekamto
(2006:91)
untuk
menghadapi
lawannya.
Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola
perilaku orang orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai
gaya manajemen konflik, bentuknya antara lain:
13
makna dari konflik secara positif. CRS (Catholic Relief Services) dalam
Lederach (1999:29) misalnya , mengartikan rekonsiliasi adalah sebagai
berikut: Refers to restoring right relationships between people who have
been alienated and separated from each other during conflict.
Reconciliation occurs not only in relationships, but also at the spiritual,
personal, social, structural and ecological levels. (Mengacu kepada
membangun kembali hubungan antar manusia yang teralienasikan dan
terpisah antaranya selama konflik berlangsung. Rekonsiliasi terjadi tidak
hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat spiritual, sosial,
struktural, dan ekologikal).
Jika melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa rekonsiliasi sesungguhnya difokuskan kepada
bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari
konflik.
Dimensi relasional akan menghubungkan aspek emosional dan
psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain
itu ia akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan
atas apa yang telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa
lampau dan meminta pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat.
Namun rekonsiliasi juga bagaimana dapat mengeksplorasi masa depan
bersama yang lebih baik. Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang
menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang
berbeda, mempertemukan segala energi yang ada, dan semua paradox
dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian akan bertemu.
Menurut Lederach dalam Simon Fisher (2000) rekonsiliasi relasional
antar pihak berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks
masyarakat yang sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian
(divided society) adalah suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan
ketika suatu masyarakat ingin meninggalkan masa lampaunya, menuju
15
rekonsiliasi
haruslah
dapat
menemukan
ruang
untuk
mengagendakan masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada
masa lampau itu sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan,
kebencian, dan kekerasan. Artinya bahwa memahami masa lampau adalah
suatu proses yang cukup penting dalam mengetahui dan memahami apa
yang sebenarnya telah terjadi. Dan yang ketiga adalah rekonsiliasi selalu
membutuhkan suatu cara pandang yang dapat melihat permasalahan
utama dari sisi luar tradisi politik internasional yang ada, wacana yang
berkembang, dan operasional atau usaha-usaha yang telah ada, agar dapat
menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi.
Perdamaian selalu membutuhkan upaya-upaya kreatif yang inovatif
dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, seiring dengan
berkembangnya jenis dan isu konflik yang ada dalam pusaran global,
regional, dan berimbas pada lokalitasnya. Demikian pula dengan upaya
rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu upaya-upaya baru yang inovatif dalam
memulihkan dan mengembangkan relasional antar pihak yang bertikai
sesuai dengn konteksnya. Kita tidak dapat menyamakan suatu upaya
16
rekonsiliasi yang berhasil dalam satu daerah ke daerah yang lain, tanpa
memperhatikan konteksnya secara jelas.
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya
mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut
Lederach (1999,29) adalah suatu tempat yang didalamnya kebenaran
(truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai
(peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.
Lebih lanjut menurut Lederach (1999:29), sebuah rekonsiliasi yang
sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan :
1. kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan,
transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;
2. adanya sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat
unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan
penyembuhan;
3. perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan,
kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir
adalah adanya syarat
4. keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan,
pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang,
memulihan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan
kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak
masing-masing individu.
Karena keterbatasan peneiti dalam hal referensi teori tentang
rekonsiliasi konflik, dalam penelitian
akan
menjelaskan
masyarakat
di
lebih
Kecamatan
mendalam
Temon
tentang
yang
penanganan
terdapak
dari
konflik
rencana
Rekonsiliasi
sendiri
menurut
Lederach
(1999,29)
18
Perencanaan
Pembangunan
Bandara
Timbul Konflik
Sosial antar
masyarakat
1. Kebenaran (Truth)
2. Sifat Welas Asih
(Mercy)
3. Perdamaian
4. Keadilan
Faktor
Penghambat
Persetujuan
konflik
terselesaikan
19
C. Pertanyaan peneliti :
1. Bagaimana kondisi lingkungan Kecamatan Temon dengan terjadinya
konflik sosial dalam masyarakatnya ?
2. Siapa saja pihak-pihak yang berkonflik dalam konflik sosial di Kecamatan
Temon ?
3. Siapa saja pihak-pihak penyelenggara rekonsiliasi ?
4. Bagaimana tahapan dalam pelaksanaan rekonsiliasi dalam mengatasi
konflik sosial di Kecamatan Temon ?
5. Apa saja unsur yang perlu di penuhi dalam pelaksanaan rekonsiliasi ?
6. Apakah unsur-unsur dalam rekonsiliasi telah terpenuhi dalam pelaksanaan
rekonsiliasi ?
7. Apa fakor pendukung dan penghambat dalam rekonsiliasi ?
8. Bagaimana hasil dari rekonsiliasi yang telah di lakukan ?
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
kualitatif
adalah
penelitian
yang bermaksud
untuk
Peneliti
C. Subjek Penelitian
Moleong
(2010:132)
mendiskripsikan
subjek
penelitian
seagai
22
D. Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung
dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat
berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil
observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan
hasil pengujian. Adapun data primer yang didapatkan dalam
penelitian ini adalah hasil pengamatan yang dilakukan di desa
Palihan, Kecamatan Temon. Hasil wawancara dengan Bpk. Hajirin
Sat.Intelkam Polres Kulonprogo. Hasil wawancara dengan Bu Elda
bagian pemerintahan Pemkab Kulonprogo, serta hasil wawancara
dengan Masyarakat terdampak dari pihak WTT ( Wahana Tri
Tunggal ) oleh Bpk. Kelik Martono serta pihak KSD ( Kespedulian
Sosial Desa ).
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang didapt dari sumber bacaan
dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat
pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai dokumendokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah. Data sekunder
juga dapat berupa majalah, buletin, publikasi dari berbagai
organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi seperti
kementrian-keentrian, hasil-hasil studi, dan sebagainya. Dalam
penelitian ini data sekunder yang diperoleh adalah Bukti surat IPL
( Ijin Penetapan Lokasi ) dari pihak Pemkab Kulonprogo Bagian
Pemerintah, Notulensi Rekonsiliasi dan Rencana Kontijensi
Menghadapi Kontijensi Konflik Sosial pada Pembangunan
Bandara Kulonprogo dari pihak Polres Kulonprogo, serta Rumusan
Draf Rekonsiliasi Via KSD Mitra dari pihak KSD sebagai
masyarakat terdampak.
23
karena
itu
seorang
peneliti
harus
terampil
dalam
Observasi
Menurut Soeharto (1995:69) observasi atau pengamatan
diartikan sebagai pengamatan dengan menggunakan indera
penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaanpertanyaan. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan
mengamati kehidupan sosial masyarakat di Desa Palihan,
Kecamatan Temon. Mengamati bentuk aspirasi masyarakat
melalui tulisan-tulisan dan himbauan di sepanjang jalan
Deandles di Desa Palihan Kecamatan Temon.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap
muka antara si penanya dengan si penjawab dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan
wawancara ). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik wawancara semi terbuka yaitu peneliti dapat menggali
informasi secara luas dan mendalam kepada narasumber tetapi
tetap
fokus
pada
judul
penelitian
tersebut.
Peneliti
bagian
Pemerintahan
Pemkab
Kulonprogo,
serta
penelitian
kualitatif.
Melalui
keabsaan
data
kredibilitas
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
yakni
Kulonprogo serta
Reduksi
c. Penyajian Data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat
berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan. Penyajian data ini
merupakan hasil dari reduksi yang dilakukan sebelumnya, sehingga
27
sudah
diperoleh.
pemaknaan
atau
untuk
menjawab
pertanyaan
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Deskripsi Umum
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
1) Kondisi geografis
Kecamatan Temon terletak di bagian paling barat dari wilayah
Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas
wilayah : 3.629,09 Ha, dengan jumlah penduduk menurut jiwa
sebanyak 33.387 jiwa.
Kecamatan Temon terdiri dari 15 Desa, yaitu Jangkaran, Sindutan,
Palihan, Glagah, Kalidengen, Plumbon, Kedundang, Demen, Kulur,
Kaligintung, Temon Wetan, Temon Kulon, Kebonrejo, Janten dan
Karangwuluh.
Sebelah Utara
Kecamatan Kokap,
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia,
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bagelen
Purworejo,
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tawangsari
Kecamatan Pengasih dan Desa Karangwuni
Kecamatan
Wates.
Adapun untuk jumlah penduduk Kecamatan Temon ada 32.726
orang yang terdiri dari laki-laki 16.016 orang/jiwa dan perempuan
16.710 orang/jiwa dengan jumlah kepala keluarga 9.299 KK.
29
2) Situasi Demografis
Secara demografis Kecamatan Temon mempunyai situasi
kependudukan sebagai berikut :
1.
2.
Kepadatan Penduduk
: 9.299 KK
: 4,67 jiwa/km2
TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
N
O
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
DESA
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
Jangkaran
1.029
1.037
2.066
Sindutan
1.115
1.183
2.298
Palihan
1.293
1.327
2.620
Glagah
1.557
1.585
3.142
Kalidengen
825
797
1.622
Plumbon
1.305
1.329
2.634
Kedundang
1.172
1.306
2.478
Demen
1.380
1.483
2.863
Kulur
1.544
1.612
3.156
Kaligintung
966
988
1.954
Temon Wetan
887
935
1.822
Temon Kulon
965
1.042
2.007
Kebonrejo
791
827
1.618
Janten
638
667
1.305
Karangwuluh
549
592
1.141
JUMLAH
16.016
16.710
32.726
Tabel 1 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut jenis kelamin
tahun 2014
30
TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT UMUR
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
N
O
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
UMUR
2
0-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
15-19 tahun
20-24 tahun
25-29 tahun
30-34 tahun
35-39 tahun
40-44 tahun
45-49 tahun
50-54 tahun
55-59 tahun
60-64 tahun
65-69 tahun
70-74 tahun
>75 tahun
Jumlah
JUMLAH
3
2.006 Orang
2.072 Orang
2.275 Orang
2.250 Orang
2.063 Orang
2.528 Orang
2.817 Orang
2.677 Orang
2.948 Orang
2.542 Orang
2.183 Orang
1.576 Orang
1.113 Orang
1.020 Orang
781 Orang
605 Orang
31.456 Orang
NO
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT PENDIDIKAN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
PENDIDIKAN
JUMLAH
2
3
Buta Huruf/ Tidak/Belum Sekolah
0/ 4.651
Tidak /belum Tamat SD
2.813
Tamat SD
6.788
SLTP
5.065
SLTA Umum/SLTA Kejuruan
11.113
D-I/II
233
Sarjana Muda/D-III Akademi
420
D-IV / Strata-I
1.573
Strata II dan III
37
Jumlah
32.693
Tabel 3 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut pendidikan
31
TABEL
JUMLAH PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN
KECAMATAN TEMON
Tahun 2014
NO
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
MATA PENCAHARIAN
JUMLAH
2
3
Petani
7.277
Nelayan
23
Penambangan
Peternak
10
Pedagang
497
Menyewakan rumah
PNS
787
TNI / POLRI
340
Buruh pabrik / industry
1.751
Buruh tani
90
Buruh bangunan
815
Pengusaha / pemilik industry
5.554
Lain-lain
Tabel 3 : Jumlah penduduk kecamatan Temon menurut mata
pencaharian
2. Deskripsi Kebijakan
a) Izin Penetapan Lokasi
Izin Penetapan Lokasi (IPL) merupakan dasar hukum yang
digunakan PT Angkasa Pura sebagai acuan dalam pembebasan
Lahan.
dari
pembangunan
bandara
(Lampiran
3).
Tahap
adanya
pembangunan
bandara
dan
mengambilalihan
lahan
35
tercipta karena situasi. Dalam audiensi ini harapan dari Kaplores sebagai pihak
penengah konflik yang terjadi di Temon tidak ditunggangi dari pihak luar
karena akan menambah permasalahan. Adapun poin-poin yang dapat
disimpulkan adalah sebagai berikut :
1. Bahwa memang telah terjadi konflik antara masyarakat Temon karena
adanya perbedaan pendapat. Fakta ini didukung dengan pemaparan kedua
belah pihak yang tertuang dalam notulen audiensi. Menurut Bapak
Kamardi (KSD)
Berbeda pemahaman merupakan dinamika demokrasi yang harus
kita hormati bersama sama, selanjutnya berbeda pemahaman di
lapangan bisa menjadi konflik kecil bila dibiarkan menjadi konflik
yang besar
Pendapat tersebut juga didukung pendapat dari saudara David (WTT),
Sesama masyarakat yang pro dan kontra tidak perlu saling
mempengaruhi
Pertentangan pendapat dalam sebuah agenda pembangunan wajar adanya,
jika tidak sampai pada tahap konflik.
2. Adanya konflik ini sepakat untuk diselasaikan dengan mengesampingkan
adanaya pro kontra tetapi tetap berpijak pada pemulihan kondisi sosial.
Kesepakatan penyelesaian koflik sosial ini didukung oleh pendapat dari
Bapak Kelik Martono (WTT),
Apabila aparat ingin menjembatani adanya perdamaian pada
prinsipnya tidak ada yang tidak bersedia damai, namun dari pihak
kelompok kami mohon waktu untuk dapat menyampaikan kepada
warga
WTT sebagai pihak kontra juga tidak ingin terus terjadi konflik seperti
yang dituturkan pak Kelik, namun pak kelik hanya meminta ruang agar
dapat memberikan penjelasan kepada anggotanya.
3. Tahapan selanjutnya adalah merumuskan pemecahan masalah, dengan
menghardikan pihak-pihak yang berkepentingan maka diharapkan masing38
masing pihak sudah memiliki daraf masukan untuk dipecahkan bersamasama. Perumusan pemecahan masalah tersebut menjadi langkah yang
dianjurkan oleh polres kepada pihak yang berkonflik ketika pemanggilan
kembali ke Mapolres.
4. Proses penghilangan sanksi sosial dilaksnakan secara natural dari
kelompok masyarakat di tingkat
Merencanakan
terdapat gap yang sangat jelas dimasyarakat, pihak kontra sudah tidak mau lagi
berbaur dengan pihak yang dianggap pro oleh mereka, bahkan terjadi beberapa
tindakan intimidasi seperti pencegatan salah satu pihak kepada pihak lain, dan
pelarangan salah satu pihak untuk menggarap lahan oleh pihak lain. Selain itu
adalah diterapkannya sanksi sosial, seperti saat dilakukannya suatu kegiatan
kerja bakti, keduabelah pihak akan memisahkan diri dan tidak terjadi gotong
royong antara keduanya, serta ketidakhadiran terhadap suatu hajatan dan
layatan yang diselenggarakan oleh salah satu pihak. Sampai saat ini sanksi
sosial dimasyarakat masih berlaku seperti anti menghadiri hajatan, terpisah
dalam kerjabakti dan gotong royong, tetapi juga terjadi beberapa penurunan
tingkat dan intensitas konflik pada masyarakat, pihak pro maupun kontra sudah
mau saling melayat apabila ada layatan dan sudah tidak ada lagi tindakan
intimidasi antara keduanya. Penuturan tersebut juga telah didukung oleh
penuturan Bapak Kamardi yang tergolong manjadi pihak Pro dan penuturan
Bapak Kelik Martono sebagai pihak Kontra. Penurunan tingkat intensitas
konflik dan sanki sosial yang masih berlaku tersebut dipengaruhi oleh faktor
pendung dan penghambat.
4. Faktor yang berpengaruh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekonsiliasi yang dilakukan terdapat
faktor pendukung dan faktor penghambat terwujudnya tujuan atau esensi dari
rekonsiliasi, yaitu:
a. Faktor pendukung
Kemampuan berkomunikasi aparatur kepada masyarakat dengan tata
cara dan kalimat yang dapat diterima dan dimengerti oleh masyarakat.
Dengan
demikian
aparatur
dapat
menjalankan
tugasnya
untuk
43
nek konflik sosial memang susah untuk di kembalikan, tapi kalau selama
pemerintah tidak bernafsu atau ngoyo dalam membantai warga sebenarnya
bisa kondusif.
Tidak ada tim khusus yang benar-benar menangani permasalahan sosial.
Tindakan yang dilakukan sejauh ini terlihat hanya sebagai tindakan yang
reaktif terhadap permasalahan yang muncul serta kurangnya perencanaan
akan hal ini. Data ini diperkuat dengan tidak adanya tim khusus yang
menangani sosial dari berbagai tim yang tercantum dalam dokumen P2B2.
Terdapat aksi profokatif yang saling mempengaruhi antar pihak
dimasyarakat, sehingga tambah memperkeruh keadaan dan memperlihatkan
ketegasan
pendirian
masing-masing
dalam
menyikapi
rencana
masyarakat
dalam
menyikapi
masalah
tersebut,
sehingga
berujung
yang
berkonflik
tergabung
dalam
kelompok-kelompok
45
tentang
dan sebaliknya.
ketidak hadiran terhadap suatu hajatan dan layatan yang diselenggarakan oleh
salah satu pihak. Sampai saat ini sanksi sosial dimasyarakat masih berlaku
seperti anti menghadiri hajatan.Dengan adanya hal tersebut, maka aktor-aktor
yang berperan dalam proses rekonsiliasi sangat dibutuhkan agar kehidupan
masyarakat Temon kembali seperti semula. Dalam hal ini aktor yang terlibat
adalah pemkab Kulonprogo, Polres Kulonprogo serta TNI .
Penyelesaian konflik dengan rekonsiliasi ini membutuhkan proses yang
panjang serta komitmen jangka panjang dalam cara pandang yang
berkesinambungan. Dari konflik sosial di masyarakat Temon dapat di pahami
bahwa Rekonsiliasi adalah proses memulihkan keadaan hubungan masyarakat
karena terjadinya suatu konflik dengan mengembalikan solusi tersebut ke
masyarakat, namun proses rekonsiliasi ini membutuhkan pihak ketiga sebagai
pihak netral yaitu Polres Kulonprogo. Tujuan rekonsiliasi sendiri adalah agar
terciptanya kehidupan sosial yang dulu pernah tercipta sebelum ada rencana
pembangunan bandara baru ini.
Adapun Tindakan rekonsiliasi sudah dilakukan oleh pihak Kepolisian
Kulonprogo sebagai fasilitator dalam proses rekonsiliasi yaitu tindakan deteksi
tujuannya untuk cipta kondisi, menciptakan kondisi kamtibmas yang kondusif
dengan membaca keadaan dan kondisi saat itu yang kemudian dapat digunakan
untuk meminimalisir tindakan pelanggaran hukum. Agenda yang dilakukan
dalam tahapan ini melakukan pemetaan terhadap objek pengamanan, seperti
pengenalan aktor dan tokoh yang terlibat, bagaimana kondisi dan keadaan
mereka, dimana objek pengamanan dan keadaannya, serta melakukan deteksi
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dan berimplikasi pada keadaan
keamanan. Selain itu pihak Polres Kulonprogo juga sudah melakukan mediasi
dengan mengundang tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam masyrakat
Kecamatan Temon.
Untuk mengkaji proses rekonsiliasi yang dilakukan oleh POLRES
Kulonprogo peneliti melandasi penelitian ini dengan teori dari Ledrach
47
terdampak
pembangunan
bandara
adalah
kebenaran
yang
48
akan
49
konteks
ini
adalah
penerimaan
akan
adanya
kebutuhan
tidak
bersatunya
masyarakat
yang
berseberangan
ketika
53
54
Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian saat ini masih pada tahap ke 3
yaitu merencanakan
56
Masyarakat yang kooperatif, hal ini dapat dilihat dari kehadiran tokoh
dari masing-masing pihak untuk berkumpul dalam agenda audiensi yang
diselenggarakan oleh Polres Kulonprogo. Dengan hadirnya masing-masing
tokoh ini menandakan bahwa kedua belah pihak mau diajak berdialog dalam
forum yang sama untuk menemukan titik temu antara keduanya.
Pendekatan keagamaan yang cukup efektif dan dapat diterima oleh
masyarakat karena kebudayaan keagamaan mereka yang melekat pada
kehidupan bermasyarakat. Tindakan pendekatan keagamaan yang dilakukan
pemda antara lain pengajian, berbuka bersama saat ramadhan, ibadah
bersama, dan pengajian keliling dengan disisipkan konten perdamaian,
kehidupan bermasyarakat yang baik, dan pencegahan terjadinya konflik.
Masih adanya toleransi antar pihak dimasyarakat yang mendorong
terjadinya hubungan yang baik, misalnya pihak pro sebagai pemilik lahan
tetap mepersilahkan petani penggarap sebagai pihak yang kontra untuk tetap
menggarap lahannya, dan sebaliknya. Hal ini juga berpengaruh pada
perbaikan hubungan antar masyarakat yang dapat mempersatuan keduabelah
pihak dalan hal kerjasama pekerjaan.
Faktor penghambat dari upaya rekonsiliasi pihak pro dan kontra seperti
kurangnya jumlah personil aparat kemanan, yang berpengaruh pada ketidak
seimbangan kemampuan aparat untuk melakukan pengamanan dan
pengawalan terhadap kegiatan yang diselenggarakan. Dari kurangnya
personil ini berakibat pada kurangnya efektifitas kinerja aparat karena beban
pekerjaan yang terlalu berat dengan jumlah masyarakat yang sangat banyak.
Belum ditemukannya titik tengah antar pihak masyarakat, yang
disebabkan oleh pendirian masing-masing pihak dalam menyikapi rencana
pembangunan bandara yang kemudian terbawa dalam kehidupan keseharian
dan bermasyarakat. Karena pendirian yang memposisikan sebahai pihak
yang setuju dan tidak tersebut mengakibatkan terpisahnya kepentingan
masing-masing pihak.
57
pendirian
masing-masing
dalam
menyikapi
rencana
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Pembangunan bandara baru di Kulonprogo mengakibatkan munculnya
konflik sosial dalam lingkungan msayarakat terdampak pembangunan.
Konflik ini telah berlangsung cukup lama dengan penerapan sanksi-sanksi
sosial antar warga yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai
pembangunan bandara, sehingga perlu adanya rekonsiliasi sebelum konflik
sosial yang terjadi di masyarakat semakin meluas.
Rekonsiliasi antara pihak pro dan kontra pembangunan bandara untuk
mengatasi konflik sosial masyarakat di pesisir wilayah Kecamatan Temon
telah di lakukan pada tanggal 17 Januari 2015. Pelaksanaan rekonsiliasi
ini di lakukan dalam empat tahapan kegiatan, yakni ; pertama, audiensi
Kapolres Kulonprogo dangan tokoh masyarakat Kecamatan Temon
membahas adanya sanksi sosial. Kedua, Mengupas Konflik Sosial di
Masyarakat. Ketiga, Merencanakan
apabila
ada
empat
unsur
yang
telah
tercapai
dalam
titik
tengah
antar
pihak
masyarakat,
Belum
kurang
di
2. Saran
a. Diadakanya forum diskusi informal yang khusus hanya membahas
tentang konflik sosial masyarakat yang melibatkan pihak pro dan
kontra, kepada desa dan camat sebagai kepala pemerintahan level
terbawah, POLRES sebagai penengah. Forum internal tersebut
lebih mendukung jika semua undangan dalam forum diskusi
tersebut menanggalkan posisi sejenak mempunyai rasa sama
sebagai warga negara.
b. Penyesuaikan kembali jumlah aparat dengan menyesuaikan beban
kerja dan kemampuan dengan jumlah masyarakat yang ditangani.
Sehingga dengan jumlah yang aparat telah sesuai diharapkan
mampu bekerja dengan efektif dan efisien.
c. Perlu adanya transaparansi pihak pemerintah dalam pembangunan
bandara baru sehingga tidak terjadi ketidakpastian didalam
masyarakat terdampak
d. Pembanguanan komunikasi yang lebih baik antar pihak sehingga
tidak terjadi miss komunikasi antar pihak
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Lexy J. Moeleong. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Karya
Winardi. 2007. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).
Bandung : Mandar Maju.
Internet
Anugraheni , Ekasanti.(2015). .Pihak Pro dan Kontra Bandara Bakal
Direkonsoliasi. http://jogja.tribunnews.com/2015/01/09/pihak-pro-dankontra-bandara-bakal-direkonsoliasi.Diunduh pada tanggal 21 april 2015.
Dyah Natalia, Mediani. (2015). Konflik Sosial Meruncing, Rekonsiliasi Mulai
Dilakukan. http://jogja.solopos.com/baca/2015/01/09/bandarakulonprogo-konflik-sosial-meruncing-rekonsiliasi-mulai-dilakukan566430. Di unduh 10 juni 2015.
Aditya, Ivan. (2015). Kapolres Fasilitasi Rekonsiliasi Semua Kelompok.
http://krjogja.com/read/243651/kapolres-fasilitasi-rekonsiliasi-semuakelompok.kr. Diunduh 3 Mei 2015.
http://kuatemon.blogspot.com/p/gambaran-wilayah.html
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t23862.pdf
61