Oleh
JURUSAN MUAMALAH
2018-2019
ANALISIS KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN KERJASAMA BELT AND
ROAD INITIATIVE (OBOR/BRI) UNTUK INDONESIA
Sabtu, 27 April 2019, menjadi hari yang cukup bersejarah bagi Cina dan Indonesia.
Kedua negara telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek
di bawah panji kebijakan luar negeri pemerintah Cina yang dikenal sebagai One Belt One
Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI). Sejumlah Memorandum of Understanding
(MoU) yang ditandatangani itu dilakukan dengan skema business to business (B-to-B)
oleh para pebisnis dari kedua negara. Seperti dilaporkan harian Bisnis dan Kompas,
penandatanganan MoU dilakukan dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kedua
BRI yang dilangsungkan pada 25-27 April di Beijing, Cina. Wakil Presiden Jusuf Kalla
yang menyaksikan penandatanganan sejumlah MoU tersebut menyampaikan harapannya
kepada sekitar 400 pengusaha Cina dan Indonesia agar pelaksanaan proyek-proyek dapat
berjalan dengan baik dan konsisten dengan skema B-to-B yang telah disepakati. Menurut
Bisnis, lima dari 23 proyek yang ada total nilainya mencapai sekitar $14,21 miliar. Lima
proyek tersebut adalah proyek PLTA Kayan ($1,5 miliar), investasi pengolahan limbah
($3 miliar), PLTA Salo Pebatua ($560 juta), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) seluas 31.000 Ha ($9 miliar), dan proyek industri perikanan terintegrasi di Pulau
Seram, Maluku ($150 juta). Mengutip Antaranews, Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah Indonesia telah
mengalokasikan empat koridor untuk proyek-proyek BRI tersebut.
“Itu di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali yang
terkenal. Jumlah populasi keempat provinsi ini di atas 30 juta orang. Kecuali untuk Bali,
ketiga provinsi tersebut memiliki angka kemiskinan sekitar tujuh hingga sembilan persen,”
sebut Luhut yang turut hadir dalam KTT tersebut, sembari menambahkan bahwa setiap
proyek BRI diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan, salah satunya melalui
terbukanya peluang kerja lokal. Pemerintah Indonesia sendiri memproyeksikan 30 proyek
di keempat koridor tersebut, dilansir Antaranews. Nilai investasi diperkirakan mencapai
91,1 miliar dolar AS. Ini berarti masih terdapat tujuh proyek yang belum disepakati. Salah
satunya adalah kerja sama peremajaan kembali (replanting) tanaman kelapa sawit.
2
“Karena prinsip kehati-hatian, ada beberapa poin yang kita belum sepakat, sehingga
pemerintah masih belum berencana untuk menandatangani MoU kerja sama penanaman
kembali kelapa sawit dengan pemerintah Cina,” sebut Deputi Bidang Koordinasi
Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin. Masih dari Bisnis, Luhut
berjanji untuk mempermudah proses perizinan bagi para pengusaha Cina yang ingin turut
berpartisipasi dalam proyek-proyek BRI di Indonesia. 1
Dalam hal ini Indonesia mendapatkan pendanaan dari China untuk membangun
proyek-proyek baik itu infrastruktur laut maupun darat, dan lain sebagainya yang diklaim
dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Dari aspek ekonomi
keuntungannya adalah apabila seluruh proyek kerjasama antara China dan Indonesia
berjalan dengan mulus maka keuntungan yang didapat Indonesia tidaklah sedikit. Bahkan
Lima dari 23 proyek yang ada total nilainya mencapai sekitar $14,21 miliar. Lima proyek
tersebut adalah proyek PLTA Kayan ($1,5 miliar), investasi pengolahan limbah ($3
miliar), PLTA Salo Pebatua ($560 juta), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) seluas 31.000 Ha ($9 miliar), dan proyek industri perikanan terintegrasi di Pulau
Seram, Maluku ($150 juta). Nilai Investasi diperkirakan mencapai 91,1 Miliar AS yang
1
Ign. L. Adhi Bhaskara, "Ekspansi Proyek OBOR Cina, Indonesia Diminta Waspadai Jebakan
Utang", (Diakses pada 15 Juli 2019. Tersedia di: https://tirto.id/dnpo)
2
Rehia Sebayang (CNBC Indonesia), Apa itu OBOR?, (Diakses pada 15 Juli 2019. Tersedia
di: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190513181838-4-72178/apa-itu-obor-jalur-sutra-modern-
china-yang-jadi-polemik-ri)
3
tentu jumlah ini tidaklah sedikit. Selain itu dengan dipermudahnya izin bagi para
pengusaha Cina yang ingin berpartisipasi dalam proyek-proyek BRI di Indonesia, artinya
Indonesia mendapatkan keuntungan karena negara ini Mendapatkan Banyak Modal Baru,
Membuka Lapangan Pekerjaan, Kemajuan Bidang Tertentu, dan Meningkatkan
Pemasukan Negara. Dampak Kebijakan OBOR terhadap ekonomi Indonesia adalah
peningkatan frekuensi kerjasama dagang yang terjadi antara dua negara. Kerjasama
dagang tersebut meliputi eksporimpor, investasi, bantuan dana, pelaksanaan proyek
bilateral yang meningkat merupakan indikasi-indikasi terjadinya Economic Diplomacy.
Namun sebaiknya harus dipastikan apakah mereka (para penanam modal asing) yang ikut
berpartisipasi dalam kerjasama ini memenuhi ketentuan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Sedangkan kerugian dari adanya kerjasama one belt one road ini kenyataannya
meski sudah disepakatinya kerjasama ini yang diklaim bahwa membuka lapangan kerja
untuk warga Indonesia tidak seperti kenyataan dilapangan. Tidak sedikit warga Indonesia
yang mendapat PHK di pekerjaan tetapnya, konon yang belum memiliki pekerjaan akan
mendapatkan pekerjaan dengan adanya kerjasama ini. Padahal pada pasal 10 ayat 1 UU
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sudah jelas bahwa “Perusahaan
penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga
kerja warga negara Indonesia.” . Sedangkan kenyataan sering sekali pekerja asing lebih
dominan dan lebih banyak. Semakin adanya kerjasama jalur sutra ini cukup membuat
banyak tenaga asing besar-besaran datang ke Indonesia namun pemerintah tidak terbuka
akan hal ini dan beberapa justru memanfaatkan pasal 23 UU Nomor 25 Tahun 2007 dalam
hal mendatangkan pekerja asin sehingga pribumi semakin kesulitan mendapat pekerjaan.
Lalu bagaimana mengembalikan uang yang sudah ‘terpakai’ dari kerjasama ini?
Seharusnya pemerintah tidak hanya memikirkan keuntungan semata dengan melihat
bagaimana negara-negara yang proyek-proyeknya ada campur tangan cina berakibat
kerugian. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Agustus lalu mengatakan
negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China, termasuk
jalur kereta senilai US$20 miliar. Sementara itu, pemimpin Maladewa yang diasingkan
Mohamed Nasheed mengatakan kegiatan China di kepualauan Lautan Hindia serupa
dengan "perebutan tanah" dan "penjajahan", karena 80 persen utang negara-negara itu
berasal dari China. Sri Lanka menyerahkan pelabuhan Hambantota ke perusahaan China.
4
Dengan kehilangan pelabuhan tersebut, maka akan melancarkan program China yang
bernama ‘Belt and Road Initiative’ Sri Lanka secara resmi menyerahkan kegiatan
komersial utamanya di pelabuhan bagian selatan ke sebuah perusahaan China pada hari
Sabtu dan menerima US $ 292 juta dari kesepakatan senilai 1,12 miliar dolar AS, kata
Menteri Keuangan Mangala Samaraweera3. Kesepakatan tersebut, yang ditandatangani
pada bulan Juli 2017, oleh China Merchants Port Holdings, yang menangani pelabuhan
Hambantota yang dibangun di China dengan masa sewa 99 tahun. Pelabuhan tersebut
berada di dekat rute pelayaran utama dari Asia ke Eropa dan kemungkinan memainkan
peran utama dalam "Belt and Road Initiative" China.4
3
Belajar dari Sri Langka yang Jadi Korban Geostrategi China, (Diakses pada 15 Juli 2019.
Tersedia di: https://www.law-justice.co/artikel/38343/belajar-dari-sri-langka-yang-jadi-korban-
geostrategi-china/)
4
Ibid,.