Anda di halaman 1dari 3

ONE BELT ONE ROAD (OBOR)

SEBAGAI POROS KEBIJAKAN MARITIM DUNIA

OBOR adalah salah satu bentuk dari fenomena globalisasi yang menciptakan
efek borderless bagi setiap negara yang dilaluinya. OBOR merupakan proyek
konektivitas ambisius Tiongkok melalui pembangunan infrastruktur dan jalur transportasi darat
dan laut yang menghubungkan negaranya dengan kawasan Asia, Eropa, dan Afrika.
Konektivitas global sebagai tujuan OBOR telah menciptakan potensi dan tantangan tersendiri
bagi Indonesia karena bersinggungan dengan kepentingan nasional. Untuk menganalisis
potensi dan tantangan OBOR bagi Indonesia, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan
konsep kepentingan nasional dan keamanan maritim. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
potensi OBOR bagi Indonesia yaitu OBOR dapat sejalan dengan kebijakan Poros Maritim
Dunia terkait dengan konektivitas dan pembangunan infrastruktur maritim. Namun, di sisi lain,
OBOR juga menjadi tantangan bagi Indonesia antara lain; di bidang ekonomi yakni persaingan
produk lokal dengan produk asal Tiongkok dan tenaga kerja domestik dengan tenaga kerja asal
Tiongkok; di bidang pertahanan maritim yaitu di Selat Malaka, Kepulauan Natuna, Laut
Tiongkok Selatan, ancaman transnasional crimebagi keamanan maritim.
Beberapa tahun belakangan konsep “One Belt One Road” (OBOR) ramai menjadi
perbincangan. Bukan karena gagasannya yang kontradiktif akan tetapi karena hiruk pikuk
pemberitaannya di beberapa media tanah air. Lalu sebenarnya apa dan bagaimana konsep
OBOR yang digaungkan oleh Presiden Cina, Xi Jin Ping sejak 2013 lalu, yang “magnitude”-
nya sampai hingga ke banyak negara termasuk Indonesia?

Konsep OBOR yakni suatu strategi pembangunan dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) yang berfokus pada konektivitas dan kerja sama antarnegara terutama antara Cina dan
seluruh negara Eurasia yang terdiri atas dua komponen utama jalur ekonomi baik jalur sutra
darat dan jalur sutra maritime

Sasaran dari proyek ini bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-
besaran untuk meningkatkan jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan
sekitarnya. Mega proyek Belt and Road telah menghubungkan 70 negara Asia, Eropa, dan
Afrika. Kelebihan program ini adalah alokasi dana “segar” yang besar bagi anggotanya.

Kekuatan OBOR Cina jelas telah membawa pengaruh terhadap lanskap ekonomi dunia. Proyek
infrastruktur yang dirancang Tiongkok tidak lagi untuk meningkatkan kualitas infrastruktur
lokal akan tetapi memperluasnya dengan konektivitas di tingkat global atau jalur sutera era baru.
OBOR yang kini lebih mafhum dikenal dengan Belt and Road Initiative ini mulai menjadi
jembatan penghubung antara Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Samudera
Hindia.

Cina saat ini telah menjelma jadi negara investor terbesar di dunia. Keberadaan proyek OBOR
jelas dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai peluang untuk mendapatkan kucuran investasi asing
yang dapat mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Mega proyek ini sudah membantu pembangunan sejumlah proyek di tanah air. Di antaranya di
Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Jawa, Sulawesi Utara dan Bali. Proyek yang digarap
beragam mulai dari pembangunan infrastruktur, kawasan industri hingga pengembangan
pariwisata. Keberhasilan Cina dalam “menekuk” berbagai kawasan di Asia menunjukkan
konsep besar dan hegemoninya yang semakin kuat.

Pengamat kebijakan publik Wibisono berpandangan prestasi Cina dalam kurun waktu 25 tahun
terakhir telah melampaui 2 abad prestasi Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Pendapat itu telah
banyak dikemukakan para pakar termasuk dosen dari Pennsylvania State University, AS,
Jeff Wilerstein.

Ribuan proyek ambisius telah lahir dari gagasan Xi Jinping yang diikuti dengan
kemajuan teknologi yang pesat. “Kita semua tahu bahwa Cina memiliki impian jadi negara
besar dan untuk menjadi negara besar, mereka memiliki target untuk meruntuhkan hegemoni
AS

Melalui proyek OBOR, Cina berupaya mengintegrasikan Eropa, Asia dan Afrika. Disusul
komitmen perdagangan bebasnya dengan Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Philipina. “Semua
langkah ini telah berhasil mengisolasi AS secara ekonomi akibatnya AS makin defensif dengan
proteksionismenya Trump,” katanya.

Rekor baru yang terlihat dari geliat infrastruktur Cina seperti kemunculan Kereta Api (KA)
super cepat. Kecanggihan KA Cina melibatkan teknologi baja, material komposit, metalurgi,
lokomotif, listrik, sasis, rem, kestabilan sumber daya listrik, sensor, komunikasi, telekomu-
nikasi, kontrol otomatis, integritas sinyal transmisi, kontrol keamanan, kontrol teknik, yang
melibatkan puluhan departemen penelitian, rekayasa dan manufaktur mesin, integrasi
sistem, jaminan mutu dan perlindungan keamanan pemantauan berbagai area lain dan ratusan
manufaktur.

Cina diketahui juga berhasil membangun KA super cepat untuk berbagai daerah dengan iklim
dan kondisi alam berbeda. KA itu beroperasi melewati suhu minus 40 derajat di jalur Harbin-
Dalian, melewati daerah angin topan di seputar Pulau Hainan, dan daerah dengan badai gurun
dengan panas yang ekstrim di Gurun Gobi alur Lan Zhou – Xin Jiang. “Ada yang panjang
terowongan di bawah tanah melebihi separuh total panjang keseluruhan di jalur Gue Zhou –
Guang Zhou, yang terkenal dengan sebutan Super Subway,” katanya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi keberhasilan Tiongkok menyalip rival-
rivalnya. Selain teknologi 5 G, Cina juga memiliki keunggulan yang merata hampir di semua
sektor. “Di bidang energi, kedokteran, fisika, otomotif, bioteknologi, dan aerospace, Cina telah
jauh meninggalkan negara-negara maju. Cina telah menjadi simbol efisiensi yang tinggi dan
keberanian dlm menciptakan inovasi baru”.

Wibi mengatakan Indonesia tidak cukup merasa takjub dengan kemajuan negara tirai bambu
tersebut. Indonesia menurutnya dapat menjadikan Cina sebagai contoh terdekat negara
yang berhasil menunjukkan kemajuan yang signifikan. Namun ia mengingatkan pemerintah
agar jeli melihat renc“Indonesia di era Presiden Jokowi-JK (Kabinet Kerja 2014-2019) ingin
mengejar
ketinggalan, terutama di bidang infrastruktur, segala daya upaya dikerahkan untuk mengesekusi
beberapa infrastruktur yang mangkrak,” terang Wibi.

Hambatan dari persoalan infrastruktur tidak semata sisi teknis tetapi juga pendanaan.
“Infrastruktur yang mangkrak itu seperti: pembangunan jalan tol Trans Jawa, Trans Sumatera
dan tol Becakayu (Bekasi-Kampung Melayu), meneruskan pembangunan MRT dan
pembangunan LRT. Namun, semua percepatan pembangunan ini masih menyisakan banyak
masalah dan ganjalan terutama pendanaan. Rata rata pembangunan itu memakai dana APBN
dan berhutang pada bank Dunia dan lembaga keuangan asing lainnya,” katanya.

Padahal menurutnya ada cara yang bisa meringankan keuangan negara yaitu dengan skema
KPBU- AP atas prakarsa swasta. “Seharusnya skema KPBU-AP ini bisa diterapkan pada proyek
proyek infrastruktur yang lain agar anggaran negara tidak terkuras habis. Dan saat ini Indonesia
sudah terlanjur menyepakati dengan menandatangani MoU 23 proyek bersama Cina, kerja sama
ini pasti nanti lewat skema G to G dan yang eksekusinya dengan BUMN, sehingga mereka akan
berhutang kepada Cina”.

Dirinya berharap pemerintah Indonesia ke depan lebih cermat dan teliti untuk
membangun infrastruktur terutama dalam hal pendanaan sehingga tidak membebani APBN.
Dengan itu angka pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa bertahan di angka minimal 5%, meski
ekspektasi itu sangat berat.

“Tapi kita tetap mengapresiasi setinggi-tingginya kepada pemerintahan Jokowi yang telah
mewujudkan tol Trans Jawa dan Sumatera serta membangun pelabuhan pelabuhan laut dan
udara. Selama 5 tahun ini pembangunannya sangat terasa,” pungkasnya.

ana dan realisasi, serta skema pendanaan infrastruktur yang tidak memberatkan
APBN.

Anda mungkin juga menyukai