Anda di halaman 1dari 8

ONE BELT ONE ROAD (OBOR)

A. Sejarah One Belt One Road.


Secara umum Jalur Sutra dimulai dari Luoyang dan Chang’an dari Tiongkok kuno,
melewati koridor Hexi, ke Terminal Dunhiang, sebelum dibagi kedalam tiga rute atau
trifurcating. Rute Utara ke Pegunungan Tianshan dan Urumqi, rute tengah dari Turpan ke Barat,
melalui Selatan Xinjiang, Hotan, ke Asia Tengah, kemudian dari Asia Tengah ke Persia atau
yang sekarang lebih dikenal dengan nama Iran, dan akhirnya ke Eropa, dan rute Selatan
sepanjang dataran Palmir ke Pakistan dan India. (Liu, 2018)
Dari sejarah terbentuknya Jalur Sutera, jalur ini dibentuk oleh beberapa orang dari berbagai
bangsa. Tercatat oleh National and Development and Reform Commission, Kementrian Luar
Negeri, dan Kementrian Perdagangan Republik Rakyat China, lebih dari 2000 tahun yang lalu,
bangsa Eurasia menjelajah dan membuka beberapa rute perdagangan dan pertukaran budaya
yang menghubungkan peradaban besar Asia, Eropa, dan Afrika yang secara kolektif disebut
sebagai Jalur Sutera oleh generasi berikutnya. kontribusi sangat besar dalam perkembangan
kemakmuran Negara-negara di sepanjang Jalur Sutera.
Jalur ini didirikan secara resmi sejak masa dinasti Han di China dan membuka perdagangan
dengan Barat pada masa 130 SM. Rute Jalur Sutra tetap ini digunakan sampai 1453 M, Meskipun
rute ini sudah 600 tahun sejak jalur sutra digunakan untuk perdagangan internasional, rute-rute
tersebut memiliki dampak yang berkelanjutan pada perdagangan, budaya, dan sejarah, yang
bergaung hingga hari ini. (History, 2017)

Gambar A1.1 The Silk Road.


Sebagaimana yang telah kita pelajari bahwa manusia selalu berpindah dari satu tempat
ketempat yang lain guna menjamin kelangsungan hidupnya dengan berdagang, bertukar barang,
ataupun gagasan dengan manusia lainnya. Sepanjang sejarah, wilayah Eurasia disilangi oleh
sebuah rute atau jalur perdagangan dan komunikasi yang dihubungkan secara bertahap dan
hingga akhirnya membentuk sebuah jalur yang dikenal hingga saat ini sebagai Jalur Sutera. Rute
dari Jalur Sutera inipun melintasi jalur darat dan laut, dimana sutera dan barang komoditas
lainnya banyak dipertukarkan antara orang-orang dari seluruh dunia. Rute maritim merupakan
sebuah rute yang penting didalam jaringan ini, menghubungkan Timur dan Barat melalui laut,
dan khususnya digunakan sebagai rute rempah-rempah dan kini banyak dikenal sebagai Rute
Rempah.
Para pedagang atau pelancong yang melalui Jalur Sutera ini tidak hanya tertarik dengan
aktivitas pertukaran atau perdagangan barang yang terjadi di sekitar kota-kota di Jalur Sutera ini,
tetapi mereka juga tertarik dalam pertukaran intelektual dan budaya uang terjadi di kota-kota
sepanjang Jalur Sutera. Berbagai macam aspek seperti ilmu, seni, dan sastra, serta kerajinan dan
teknologi dengan demikian disebarluaskan ke masyarakat di sepanjanng rute ini dan dengan cara
inilah bahasa, agama, dan budaya dikembangkan dan saling mempengaruhi.
Perkembangan eksistensi Jalur Sutera kuno memiliki peranan yang berbeda seiring dengan
pergantian dinasti pada masa kekaisaran China. Dari abad kedua SM hingga abad keempat belas
M, rute perdagangan besar berasal dari Chang’an yang sekarang dikenal sebagai Xi’an, di Timur,
dan berakhir di Mediterania di sebelah Barat, menghubungkan Tiongkok dengan kekaisaran
Romawi.

B. Jalur Sutera Era Modern dan Pengaruhnya Terhadap Negara-Negara di Wilayahnya.


Presiden China Xi Jin Ping membangkitkan jalur sutera kuno untuk melebarkan sayap
pemasaran perekonomian mereka yang diperkenalkan pada tahun 2013. Koridor perdagangan
ganda baru yang dibuka kembali antara China dengan Negara-negara tetangganya di Barat dan
yang paling terkenal yakni Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa. Menurut Belt And Road
Action Plan yang dirilis pada tahun 2015, rute ini mencakup rute darat dan laut dengan tujuan
meningkatkan perdagangan dikawasan ini terutama melalui investasi infrastruktur. Jalur darat
yakni dari China melewati Eropa Timur hingga berakhir di Eropa Barat, sedangkan jalur laut
akan melewati Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan India.
Dari Asia jalur sutera akan melalui Afrika Timur yang diantaranya yakni Kenya, Somalia,
dan melewati Teluk Aden dan Laut Merah. Setelah dari Afrika Utara melewati Terusan Suez dan
menuju ke Italia. Presiden Xi Jin Ping menyebutnya sebagai “Projek abad ini”, yang merupakan
sebuah dorongan ambisius yang sangat kuat untuk melumasi roda perdagangan dengan projek-
projek pembangunan infrastruktur besar yang baru. Morgan Stanley, mencatat bahwa
pengeluaran biaya untuk projek besar ini pada tahun 2027 yakni diperkirakan mencapai $ 1,3
triliun. (Bloomberg, 2019)
Presiden Xi Jin Ping tentu memiliki dasar yang kuat atas pembangunan dan
pengembangan projek Belt and Road ini. Projek ini ditegaskan guna memperkuat kerjasama
keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur, dengan membentuk sebuah jalur
transportasi yang kuat dengan negara lain. Hal ini menurutnya akan sangat membantu Negara-
negara berkembang yang ada disekitar Jalur Sutera untuk menumbuhkan perekonomiannya
melalui kerjasama pembangunan infrastruktur yang dapat merangsang roda perekonomian
Negara berkembang tersebut. Belt Road Initiative ini juga bermaksud untuk memperkuat fasilitas
perdagangan, dengan berfokus pada penghapusan penghambatan dagang atau yang biasa disebut
dengan trade barriers dan mengambil kebijakan guna mengurangi biaya perdagangan dan juga
investasi. (Tirto.id, 2017)
Projek Jalur Sutera ini juga dipandang Xi Jin Ping dapat menjadikan China sebagai
sebuah Negara super power yang baru. Jika dilihat dari situasi perkembangannya, China saat ini
telah bekerjasama dengan lebih dari 60 Negara di sepanjang Jalur Sutera untuk melakukan
kerjasama ekonomi dan infrastruktur demi menjalankan program One Belt One Road ini yang
menandakan bahwa China akan mendominasi wilayah Eurasia. Yang artinya hal tersebut akan
sangat berpengaruh pada menurunnya dominasi pengaruh Amerika Serikat dikawasan itu, dan
hal tersebut dapat berpengaruh pula terhadap meningkatnya nilai mata uang China dan
melemahnya dollar Amerika.
Beberapa berpendapat bahwa China mengerahkan kekuatan ekonominya guna mengejar
tujuan geopolitiknya. Ada pula yang lain membandingkan One Belt One Road dengan Marshall
Plan yang pernah dicetuskan setelah perang dunia ke II untuk memulihkan kondisi Eropa, tetapi
penjelasan yang lebih sederhana yakni bahwa projek ini merupakan murni dengan tujuan
ekonomi. Ini juga merupakan cara China dalam menyelesaikan permasalahan “over
capacity”nya. (Bloomberg, 2019)
Dilihat daripada kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh dari ekspansi militer,
China memandang lebih banyak keuntungan yang akan dicapai dari kerjasama ekonomi baik
untuk keuntungan dalam negeri maupun luar negeri. Yang paling jelas dalam hal ini yakni
perdagangan dengan pasar baru dapat sangat menguntungkan dan membantu menjaga
perekonomian nasional
China tetap kuat. Diantara pasar domestik yang akan mendapatkan keuntungan dari
perdagangan dengan pasar baru yakni perusahaan-perusahaan domestik China yang
bergerak dibidang transportasi dan telekomunikasi yang saat ini terlihat sangat siap untuk
menjadi brand global.

C. Kepentingan Indonesia dalam Potensi Mega Proyek OBOR 21st Century Maritime Silk
Road
Tiongkok memberikan penawaran yang sangat menggiurkan untuk mendanai
sejumlah proyek infrastruktur hingga sekitar 90% dari kebutuhan biayanya. Besarnya
investasi yang datang dari OBOR tentunya akan membantu visi Presiden Jokowi dalam
mewujudkan Poros Maritim Dunia. Pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan
konektivitas laut dapat dilakukan dengan membangun pelabuhan pelabuhan dan tol laut.
Pelabuhan utama di sepanjang 21st Century Maritime Silk Road akan berperan sebagai sea
post yang menangani kargo dan kapal, serta memasok kebutuhan sumber daya manusia.
Salah satu proyek pembangunan infrastruktur yang ditawarkan oleh jalur sutra maritim untuk
Indonesia yaitu pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Pelabuhan
Bitung di Sulawesi Utara. Pembangunan kedua pelabuhan tersebut bertujuan untuk
menciptakan pemerataan ekonomi antar daerah, khususnya di luar Pulau Jawa. Selain
pembangunan pelabuhan, proyek investasi lainnya yang dapat di galang melalui OBOR yaitu
pembangunan tol laut. Gagasan tol laut diharapkan dapat memangkas biaya logistik
perdagangan domestik ke seluruh pelosok nusantara, sehingga kebutuhan pokok di seluruh
negeri juga dapat terpenuhi secara merata. Pada saat yang sama, perekonomian di luar pulau
Jawa ini akan terus tumbuh dan berkembang, sehingga kesenjangan antarwilayah dapat terus
ditekan. Jadi, dengan adanya infrastruktur yang memadai, hal tersebut dapat mempermudah
pemasaran dan perdagangan produk ekspor Indonesia di sepanjang jalur OBOR, serta
mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar daerah.
Selain itu, kerjasama dengan Tiongkok untuk pembangunan infrastruktur maritim di
Indonesia dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengembangkan dan me-majukan
sektor pariwisata bahari Indonesia. Sektor pariwisata bahari khususnya di wilayah Indonesia
timur membutuhkan ketersediaan prasarana dan sarana akomodasi, konsumsi, transportasi,
sanitasi, kesehatan, pusat informasi, keamanan, jasa pemandu, fasilitas perdagangan. Dengan
adanya pembangunan infrastruktur yang memadai, maka hal tersebut dapat menarik
wisatawan lokal dan mancanegara sehingga dapat meningkatkan devisa negara,
memberdayakan masyarakat lokal sehingga dapat mengurangi kesenjangan pendapatan
daerah di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dianalisis bahwa potensi OBOR dapat
digunakan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia karena OBOR sejalan dengan visi
Poros Maritim Dunia. Hal ini berkaitan dengan tiga dari lima pilar yang terdapat pada visi
Poros Maritim Dunia, yaitu konektivitas maritim, ekonomi maritim, dan budaya maritim.
Pembangunan infrastruktur maritim tersebut diharapkan dapat meningkatkan konektivitas
jalur-jal-ur maritim di seluruh pelosok nusantara, yang kemudian berdampak terhadap kegia-
tan ekonomi maritim Indonesia. Jalur inilah yang kelak digunakan untuk lebih memper-cepat
proses pembangunan, sekaligus memeratakan hasil pembangunan. Sehingga, hal ini dapat
mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kemudian, pemanfaatan ekonomi berbasis
maritim melalui sektor pariwisata bahari dapat mewujudkan budaya maritim bagi masyarakat
Indonesia.

Pada peta jalur sutra maritim yang sudah digambarkan pada bagian pembahasan,
dapat dilihat bahwa terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang dilewati oleh titik-titik
OBOR, hal ini berarti akan ada beberapa titik krusial yang besar kemungkinan berdampak
langsung pada aspek pertahanan dan keamanan maritim Indonesia yaitu; kedaulatan Wilayah
Kepulauan Natuna, alur pelayaran kepulauan Indonesia khususnya Selat Malaka dan
dinamika keamanan di Laut Tiongkok Selatan. Daratan dan perairan dari Kepulauan Natuna
diketahui mengandung sumber daya alam yang melimpah berupa barang tambang seperti
pasir kuarsa, gas alam dan minyak bumi. Sumber daya menjadi andalan ialah perikanan laut
yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36%, yang
hanya sekitar 4,3% oleh Kabupaten Natuna dan keberadaan ladang gas yang terletak 225 km
di sebelah utara Pulau Natuna dengan total cadangan 222 Trillion Cubic Feet (TCF) dan gas
hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCF merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.
Letak Kepulauan Natuna juga sangat strategis di dekat Laut Tiongkok Selatan menjadikan
kawasan Kepulauan Natuna selain menjadi pintu terluar NKRI juga menjadi salah satu
bumper zone bagi Indonesia dengan negara sekitar seperti Tiongkok, Vietnam, Malaysia,
Filipina, dan Brunei. Kondisi geografis tersebut berdekatan dengan sengketa wilayah Laut
Tiongkok Selatan yang hingga saat ini masih menjadi kendala utama dalam upaya
pemeliharaan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Indonesia dengan Tiongkok pada
dasarnya tidak berbenturan atas Kepulauan Natuna karena kepemilikan Indonesia atas
Kepulauan Natuna sudah sangat jelas diatur dalam United Nations Convention on the Law of
Sea (UNCLOS) 1982. Namun pengakuan hukum internasional atas kepemilikan Indonesia
terhadap Kepulauan Natuna termasuk dengan wilayah perairan Natuna, belum juga mampu
menutup kegiatan illegal yang dilakukan oleh negara lain, contohnya yang baru ini terjadi
ialah Tiongkok yang menghalangi petugas Indonesia untuk mengamankan kapal Kway Fee
10078 asal Tiongkok yang diduga melakukan illegal fishing di Perairan Natuna.
Berdasar pada kejadian itu Menteri Luar Negeri Indonesia melayangkan nota protes
kepada pemerintah Tiongkok yang kemudian menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak.
Permasalahan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing menjadi masalah yang sering
dihadapi oleh Indonesia di Perairan Natuna, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia
menyatakan bahwa, walaupun KKP mengklaim telah berhasil menurunkan aktivitas IUU
fishing di Laut Natuna, pada kenyataannya sepanjang 2017 terdapat setidaknya 94
pelanggaran pidana perikanan oleh kapal ikan asing. Jumlah itu merupakan angka tertinggi
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jenis pelanggaran yang umumnya terjadi adalah
memasuki laut teritorial Indonesia dan anak buah kapal asing. Dengan adanya OBOR
dikhawatirkan kegiatan IUU fishing meningkat, dikarenakan semakin meningkat pula
aktivitas pelayaran. Pertahanan dan keamanan maritime tidak lepas dari masalah kerawanan
di laut. Dari kompleksitas permasalahan keamanan maritim di Indo-Pasifik, sinergi Poros
Maritim Dunia dan OBOR sebaiknya dibangun untuk membentuk sistem keamanan maritime
bersama dalam menghadapi ancaman aktor nontradisional seperti perompakan,
penyelundupan, illegal fishing, dan bencana di laut. Sistem keamanan bersama ini idealnya
bersifat inklusif, yang melibatkan seluruh negara yang berkepentingan dengan leading sector-
nya negara yang menguasai wilayah laut yang diawasi.
Sikap Indonesia dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan didasari pada tujuan nasional
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Selain didasari oleh prinsip Indonesia yang
ingin berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia, keberadaan Indonesia dalam upaya
pencarian solusi di sengketa Laut Tiongkok Selatan juga merupakan tindakan yang
berlandaskan pada kesadaran terhadap konfigurasi geografis Laut Tiongkok Selatan, dimana
jika status keamanan di Laut Tiongkok Selatan yang merupakan kawasan sengketa
meningkat, maka akan berpengaruh secara langsung pada wilayah kedaulatan Indonesia. Hal
ini diperkuat dengan kemampuan Tiongkok yang menggunakan OBOR sebagai satu alat
diplomasi ekonomi yang secara teoritis berarti dapat mengarah pada satu kepentingan
nasional Tiongkok dalam bidang pertahanan yakni penguasaan penuh terhadap Laut
Tiongkok Selatan. Kemampuan Tiongkok itu sendiri dapat terlihat dari bentuk kebijakan
Tiongkok yang agresif
Berdasarkan pada analisa scholars dan policy makers, Tiongkok dalam data tahun
1990 – 2009 menunjukan intensi terhadap laut naik secara signifikan, pemaknaan sea power
dalam bahasa Tiongkok ialah haiquan yang kemudian dapat di-interpretasi ke dalam tiga hal
yakni legal-istic oriented, defensive – realism oriented, dan offensive realism oriented.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa Tiongkok memproyeksikan laut ke dalam bagian
yang paling vital, yaitu dengan mengambil sebanyaknya keuntungan dari kepemilikan laut
secara sah dan berdaulat dalam kacamata hukum internasional untuk melakukan aktivitas
ekonomi dan militer di laut. Hal ini dilakukan Tiongkok dalam rangka menunjukan dominasi
serta melindungi kepentingannya. Klaim atas Laut Tiongkok Selatan yang diiringi dengan
pembangunan pangkalan militer di Kepulauan Spratly menjadi salah satu bukti keseriusan
Tiongkok dalam memproyeksikan kekuatannya di laut, meski hingga saat ini hal itu terus
menuai protes dari claimant states lainnya.
Kebijakan pertahanan sejatinya dapat mengawal setiap bentuk kebijakan lain yang
diambil oleh satu negara, terutama jika kebijakan tersebut berkaitan dengan kebijakan yang
berfokus pada pembangunan ekonomi dan hubungan luar negeri. Hal ini yang menjadi
landasan agar proses perencanaan pertahanan negara perlu dipersiapkan secara matang.
Mengingat pertahanan adalah satu spektrum ketidakpastian yang menjadikan ancaman,
dinamika lingkungan strategis dan hubungan politik luar negeri, serta keamanan nasional
sebagai variabel tetap dari berkembangnya strategi pertah-anan negara itu sendiri, maka
negara harus memperhitungkan segala kemungkinan dari keberadaan kebijakan luar negeri
negara lain. Kondisi tersebut berlaku pada Indonesia yang dalam kaitannya dengan
keberadaan OBOR ialah Tiongkok menjadikan OBOR sebagai proyek ambisius yang akan
menyatukan kawasan Asia dalam satu jalur ekonomi terintegrasi dengan menghubungkan
dunia dari Timur ke Barat. Upaya “connectivity” yang diunggulkan oleh OBOR ini akan
menjadikan wilayah Indonesia sebagai salah satu jalur yang dilewati oleh titik OBOR dan
untuk mengawal itu Tiongkok meningkatkan kekuatan postur pertahanannya dan melakukan
proyeksi kekuatan di Laut Tiongkok Selatan. Hal ini akan menghasilkan banyak preferensi
kebijakan terkait pertahanan yang perlu dipertimbangkan demi menjaga kedaulatan
Indonesia. Pemangku kepentingan lainnya yang juga turut berperan dalam upaya menjaga
kepentingan nasional Indonesia ialah Kementerian Luar Negeri bersama Kementerian
Pertahanan dan TNI khususnya TNI AL, yang dalam hal ini perlu mensinergikan kebijakan
yang memperkuat posisi strategis Indonesia di kawasan. Upaya pemaksimalan kebijakan
tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan anggaran postur pertahanan Indonesia dan
proyeksi kekuatan laut yang dilalui OBOR yaitu di Selat Malaka dan Kepulauan Natuna.
Refrensi:

Kurniawan, Yandry. (2016). One Belt One Road (OBOR): Agenda Keamanan
Liberal Tiongkok.doi: file:///C:/Users/User/Downloads/1135-2493-1-SM.pdf
Fahrizal, Muhammad. Implementasi Konsep Kebijakan One Belt One Road
(OBOR) China dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan Infrastruktur di Indonesia:
Journal of Diplomacy and International Studies.doi:
https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/index
Hubungan Indonesia-Cina Dalam Dinamika Politik, PertahananKeamanan, dan
Ekonomi di Asia Tenggara (p. 153).Jakarta: LIPI Press.
Diplomasi Indonesia dan Pembangunan Konektivitas Maritim, Humphrey Wangke,
Edisi 1, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018)
Avifa, Rhinanda. (2017). Pengaruh Inisiatif OBOR (One Belt One Road) Tiongkok
Terhadap Perkembangan Infrastruktur Indonesia.skripsi.doi:
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43471/1/iRHINANDA
%20AVIFA%20FAHMI-FISIP.pdf

Anda mungkin juga menyukai