Anggota Kelompok :
Kelas : 4EB19
Tugas : Vclass 1
Soal Kasus
Kerugian HubunganKausalitas
Berikan analaisis Kasus Lumpur Lapindo, ditinjau dari segitiga akuntansi forensik
Status serta peran permasalahan lumpur lapindo bukanlah sesuatu permasalahan wujud
musibah alam, melainkan perbuatan melawan hukum. Perihal tersebut disebabkan dokumen-
dokumen hukum dan bukti- bukti konkrit di lapangan merujuk pada ruang lingkup perbuatan
melawan hukum. Dikatakan melawan hukum sebab permasalahan lumpur lapindo sudah
penuhi unsur- unsur perbuatan melawan hukum, yakni terpaut dengan adanya kesalahan
dalam penerapan teknis operasional pengeboran, dan terdapatnya kelalaian yang dilakukan
oleh PT. Lapindo Brantas, yakni dengan tidak memasang selubung bor( casing), sehingga pada
akhirnya menimbulkan terbentuknya kejadian semburan lumpur yang saat ini memunculkan
bermacam akibat kerugian yang sangat besar untuk warga dekat, baik akibat dengan kerugian
materiil maupun immaterial.
Perseroan PT. Lumpur Lapindo ialah pelaku yang melaksanakan dan sekaligus yang harus
bertanggung jawab secara penuh atas kerugian yang muncul akibat berbagai kesalahan dan
kelalaian dalam penerapan pengeboran.
2. Kerugian
Sumber : TEMPO.CO
Dosen statistik Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Kresnayana Yahya,
mengatakan perekonomian Jawa Timur akan terus-menerus mengalami kerugian selama
semburan Lapindo tak tertangani dengan baik. "Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur rata-rata
akan berkurang sekitar satu persen per tahun," kata Kresnayana kepada Tempo, Selasa, 29 Mei
2012. Menurut Kresnayana, kerugian ekonomi akibat luapan lumpur setidaknya terbagi dua,
yakni direct cost atau kerugian langsung yang mencapai Rp 50 miliar per hari dan indirect cost
atau kerugian tidak langsung Rp 500 miliar per hari.
Dosen lulusan master Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, itu menjelaskan
bahwa kerugian yang dikemukakannya mayoritas akibat kendala transportasi yang hingga saat
ini tak kunjung teratasi. Bahkan, meskipun saat ini sudah ada jalan arteri baru, tetapi seluruh
kendaraan besar pengangkut barang tetap harus melalui Jalan Raya Porong yang memiliki
faktor risiko keamanan dan kenyamanan cukup tinggi. Tak hanya itu, kereta api hingga saat ini
juga masih melalui jalur rel berisiko tinggi. "Akibatnya, banyak perusahaan yang membatalkan
rencana investasi di Jawa Timur, ujar Kresnayana. Dari catatan Kresnayana, setiap tahun sekitar
30-40 perusahaan yang membatalkan investasinya di Jawa Timur.
Kerugian juga dialami di sektor perumahan. Meskipun saat ini perbankan sudah
meluaskan area cakupan dari radius 15 kilometer menjadi radius lima kilometer, tetap saja tak
banyak bank yang bersedia mengucurkan kredit bagi perumahan di kawasan Sidoarjo.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang saat ini mencapai 6,7 hingga 7 persen dinilai
Kresnayana bukan karena kondisi lumpur Lapindo yang membaik, tapi lebih karena akibat
keuntungan demografi. "Ini murni karena bonus demografi, bukan juga karena kinerja gubernur
yang bagus," kata Kresnayana. Bonus demografi yang dimaksud karena 70 persen penduduk
Jawa Timur ternyata merupakan usia produktif antara 15-64 tahun. Adapun usia di bawah 14
tahun hanyalah 20 persen dan sisanya usia di atas 65 tahun. Jadi kalau dihitung jumlah
penduduk Jawa Timur yang mencapai 40 juta jiwa, 30 juta jiwa adalah para pekerja.
Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya mengakui memang mempunyai utang
kepada pemerintah sebesar Rp 773,382 miliar. Untuk utang ini, Lapindo pun berjanji akan
segera melunasi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama pemerintah. Namun,
kedua perusahaan tersebut juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa mereka mempunyai
piutang yang lebih besar mencapai Rp 1,9 triliun. Piutang tersebut berasal dari dana talangan
kepada pemerintah melalui aset kedua perusahaan. Piutang tersebut diklaim juga telah
diketahui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan audit
keuangan kepada kedua perusahaan tersebut pada Juni 2018. Sebagai latar belakang,
pemberian utang tersebut terjadi karena adanya bencana lumpur di tengah Sawar Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006. Akibat semburan tersebut, 16 desa di tiga
kecamatan tenggelam dan setidaknya 30 pabrik ditutup.
Bencana tersebut terjadi karena sebelumnya terdapat aktivitas pengeboran pada Sawah
Porong oleh LBI. Dalam laporannya BPK menyebut LBI terindikasi sebagai pihak yang
bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur. Selanjutnya
berdasarkan Peraturan Presiden No. 37 tahun 2013, LBI diwajibkan untuk membayar ganti rugi
sebesar RP 3,81 triliun kepada korban yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Akan
tetapi hingga tahun 2013, LBI/MLJ baru mengeluarkan dana ganti rugi kepada korban sebesar
Rp 3,03 triliun. Akibat kesulitan masalah keuangan, LBI dan MLJ memohon pinjaman kepada
pemerintah. Itulah yang membuat perusahaan Bakrie tersebut memiliki utang yang besar
kepada pemerintah. Sementara, ada pula korban lumpur yang berada di luar PAT. Sayangnya,
untuk korban-korban tersebut, ganti ruginya dibebankan pada pemerintah menggunakan dana
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tercatat sudah sejak tahun 2006 pemerintah menganggarkan dana yang cukup besar
untuk ganti rugi korban lumpur Sidoarjo. Dana tersebut dituangkan dalam APBN pada pos
anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Seperti diketahui, Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) dibentuk dengan Permen PUPR
Nomor 5 Tahun 2017 pasca pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
berdasarkan Perpres No.21 Tahun 2017, yang tugas dan fungsinya berada di bawah Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, yaitu pertama, penanganan masalah sosial
kemasyarakatan (pembelian tanah dan bangunan sesuai PAT 22 Maret 2007). Kedua, pembelian
tanah dan bangunan di luar PAT 22 Maret 2007 melalui APBN.
Jual beli tanah dan bangunan tersebut dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya dengan
para korban yang berada di dalam peta terdampak. Karena berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres) No.48/2008 perubahan bahan atas Perpres No.14/2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, dibagi dua wilayah: wilayah terdampak dan tidak terdampak.
Lalu dibuat petanya. Area terdampak seluas 640 hektar area, disepakati akan dibantu oleh
Lapindo. Di luar peta itu, menjadi tanggungan pemerintah (dari dana APBN).
Terakhir , dalam soal penyelesaian pinjaman atau utang dana talangan pemerintah ke
Lapindo misalnya, sampai sekarang tak jelas dan masih belum selesai.
sumber: