Anda di halaman 1dari 9

PROYEK INFRASTRUKTUR DAN MOMOK TENGGELAMNYA WILAYAH

PANTURA

Jika fenomena penurunan muka tanah atau land subsidence ini terus
dibiarkan, bukan tidak mungkin wilayah di pesisir Jawa Tengah benar-
benar akan tenggelam.

Aug 22, 2021 - 2:53 PM

Bisnis, SEMARANG — Ekstraksi air tanah meningkatkan risiko tenggelamnya kota-kota di


pesisir utara Jawa Tengah. Kondisi ini makin diperburuk dengan adanya sejumlah proyek
pembangunan infrastruktur berskala besar. Tak hanya masyarakat pesisir, aktivitas nelayan pun
kian terancam.

Jika fenomena penurunan muka tanah atau land subsidence ini terus dibiarkan, bukan tidak
mungkin momok bakal tenggelamnya wilayah di pesisir Jawa Tengah benar-benar terjadi.

Pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas, seperti dikutip dari JIBI,
memprediksikan bahwa penurunan tanah di kawasan pesisir Jawa Tengah bakal
menenggelamkan Semarang, Demak, dan Pekalongan.

Perkiraannya, bahkan jauh lebih dulu ketimbang Kota Jakarta, yang sebelumnya disinggung Joe
Biden, Presiden Amerika Serikat, bakal tenggelam pada 10 tahun ke depan.

Urgensi pencegahan krisis lingkungan tersebut kian mendesak untuk dilakukan. Apalagi, selama
ini, kawasan pantai utara atau pantura menjadi tulang punggung jalur transportasi dan logistik di
Pulau Jawa. Terlebih, ketika megaproyek Tol Trans-Jawa dengan panjang lebih dari 1.000
kilometer yang akan membentang di wilayah utara Pulau Jawa terealisasi.

Tak hanya transportasi dan logistik, aktivitas manufaktur di Jawa Tengah juga terpusat di
kawasan pantura. Dari 7 kawasan industri di Jawa Tengah yang tercatat Kementerian
Perindustrian RI, lebih dari separuhnya berada di wilayah pesisir, seperti Kawasan Industri
Wijayakusuma, Tanjung Emas Export Processing Zone, dan Kawasan Industri Terboyo yang
berlokasi di pesisir Kota Semarang.

Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) yang berada tepat di pesisir utara Pulau Jawa
Ada pula Jawa Tengah Land Industrial Park di Sayung, Demak, juga Kawasan Industri Kendal
yang berbatasan langsung dengan pesisir utara Jawa Tengah.

Hingga hari ini, pembangunan kawasan industri di pesisir Jawa Tengah masih terus dilakukan.
Sebut saja Kawasan Industri Terpadu Batang dan Kawasan Industri Aviarna yang berlokasi di
Kota Semarang.

Tak hanya industri berskala besar, krisis lingkungan tersebut juga mengancam kehidupan 12.507
rumah tangga nelayan di Jawa Tengah.

Slamet Ari Nugroho, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota
Semarang, mengatakan bahwa dalam penurunan muka tanah memperparah efek banjir rob yang
sering terjadi di wilayah pesisir.

“Masalah rob ini sudah hampir 2 tahun terakhir menggenang perkampungan nelayan. Nelayan
jadi kesulitan membawa hasil tangkapan dan mengolah hasil tangkapan karena yang mengolah
itu ibu-ibu, kalau rumah tergenang jadi susah,” jelas Ari ketika dihubungi Bisnis, Minggu
(22/8/2021).

Dalam 3 tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan terjadinya banjir rob
akibat gelombang pasang di Jawa Tengah.

Jika pada 2018, bencana tersebut sempat nihil terjadi, pada tahun berikutnya dilaporkan ada tiga
kejadian bencana akibat gelombang pasang. Pada 2020, jumlahnya bahkan meningkat menjadi
lima kejadian.

Menurut catatan Bisnis, sedikitnya ada 13 rumah di kawasan pesisir Tambak Lorok, Kota
Semarang pada Desember 2020, yang rusak akibat gelombang pasang tersebut. Tingginya
gelombang laut diperparah dengan jebolnya tanggul penahan gelombang. Tak hanya merusak
rumah warga, bencana tersebut juga merusak kapal nelayan di wilayah tersebut.

Bencana tersebut tidak hanya memberikan dampak negatif bagi perekonomian nelayan di pesisir,
tapi juga dampak kesehatan. “Semisal tergenang [akibat banjir rob], kaki jadi gatal-gatal.
Masyarakat juga jadi rawan terpeleset dan jatuh, ada risiko seperti itu. Ketika musim ombak,
rumah warga bisa rusak,” jelas Ari.

Aktivitas ekstraksi atau pengambilan air bawah tanah menjadi salah satu faktor yang mendorong
terjadinya penurunan muka tanah. Di beberapa daerah seperti di Kota Pekalongan, langkah
tersebut terpaksa dilakukan karena minimnya akses air bersih.

“Kota Pekalongan ini memang tidak memiliki sumber air permukaan, semuanya mengambil dari
air tanah. PDAM, sektor industri, kegiatan perhotelan, dan sebagainya yang mengambil air tanah
secara masif,” jelas Anita Heru Kusumorini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan,
Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, seperti dikutip
dari jatengprov.go.id.

Untuk mengatasi penurunan muka tanah di wilayah tersebut, Pemerintah Kota Pekalongan pun
mengeluarkan moratorium atau penangguhan rekomendasi pengambilan air bawah tanah.

“Terutama di wilayah [Kota Pekalongan bagian] utara. Untuk gedung bertingkat juga sudah ada
pengaturannya seperti yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Kota
Pekalongan, [yakni] mengenai lokasi bangunan maksimal itu bisa sampai berapa lantai

sebenarnya sudah ada,” jelas Anita.

Dia menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Pekalongan juga terus berupaya menemukan solusi
yang tepat, mengingat fenomena land subsidence tak bisa diselesaikan hanya dengan sebuah
moratorium.

“Kita harus mencari alternatif-alternatif lainnya, seperti memanfaatkan sumber-sumber air yang
ada di Kota Pekalongan, baik dari sungai. Kemudian Kota Pekalongan juga ada longstorage di
tanggul rob, termasuk nanti pembangunan kolam retensi untuk penanganan banjir dan rob itu.
Jika sudah jadi dimungkinkan airnya bisa diolah menjadi air bersih,” jelasnya.

Peneliti Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Mila
Karmilah sepakat dengan langkah yang dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan.

Menurutnya, kebijakan yang bersifat preventif mesti dilanjutkan dengan kebijakan dan solusi
yang berkelanjutan.

“Moratorium itu tidak menghentikan penurunan muka tanah. Boleh dilakukan, tapi harus
memberikan alternatif lain, misalnya apakah kemudian pengambilan air permukaan, ada
teknologi recharging air, atau air daur ulang. Jadi mereka punya pilihan,” kata Mila, Minggu
(22/8/2021).
Dia mengungkapkan bahwa pembatasan dan pelarangan penggunaan air bawah tanah mestinya
tak menyasar masyarakat umum saja. Namun, kebijakan tersebut lebih ditujukan kepada pelaku
industri dan perhotelan.
Banjir di Jalan Gajah, Kota Semarang, akibat curah hujan tinggi pada Februari 2021

“Kalau hanya masyarakat, tidak terlalu besar [dampaknya]. Yang menyebabkan penurunan muka
tanah yang signifikan itu adalah industri dan hotel. Itu yang harus dipikirkan. Pembatasan harus
dilakukan, di awal, tetapi harus diikuti pelarangan dan solusi,” jelasnya.

Kebijakan pembatasan dan pelarangan penggunaan air bawah tanah, menurut Mila, mestinya
juga diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pasalnya, kebijakan di tingkat provinsi
lebih memiliki kekuatan secara hukum. “Sehingga, itu akan menjadi kebijakan yang diikuti tak
hanya oleh dua kabupaten dan kota, tapi juga wilayah lain di pesisir [Jawa Tengah] yang
kemungkinan memiliki permasalahan yang sama. Itu seharusnya kebijakan yang diturunkan dari
provinsi,” jelasnya.

Untuk mengatasi penurunan muka tanah, pemerintah juga mesti melakukan pembatasan beban
bangunan. Terlebih di wilayah dengan penurunan muka tanah tahunan yang tinggi. Menurut
Mila, infrastruktur dengan beban bangunan yang tinggi ikut memperparah land subsidence.

“Memang pembangunan di Pantura itu dari awal konsepnya meminimalkan biaya. Jadi
pembangunan akhirnya terpusat di wilayah pantai karena ada pelabuhan dan bandara. Jadi
banyak pergudangan dan industri di wilayah pesisir. Ini perlu diperhatikan bagaimana
pembangunan itu tidak membebani wilayah Pantura. Pengurangan beban perlu dilakukan,
apalagi pembangunan jalan tol dan tanggul itu akan semakin memperparah kondisi di Pantura,”
jelas Mila.

Sebelumnya, Koalisi Pesisir Kendal-Semarang-Demak (KPKSD) sempat memaparkan dampak


pembangunan terhadap bencana banjir yang terjadi di Semarang pada awal tahun ini.

Dalam riset tersebut, disampaikan bahwa aktivitas pembangunan di wilayah tersebut makin
memakan lahan resapan air hujan dan tutupan vegetasi sehingga efeknya adalah meluasnya titik
banjir di Semarang.
Pengerjaan proyek Tol Semarang-Demak

Pembangunan Tol Semarang-Demak lengkap dengan infrastruktur tanggul lautnya, diperkirakan


juga bakal memperparah bencana banjir dan rob di Semarang. Proyek dengan nilai investasi
mencapai Rp15 triliun tersebut rencananya bakal menghubungkan wilayah Semarang-Demak
melalui jalan tol sepanjang 27 kilometer.

Proyek tersebut terbagi menjadi dua seksi, seksi I jalan tol sepanjang 10,69 kilometer bakal
membentang di Semarang-Sayung. Sementara seksi II, bakal menghubungkan Sayung-Demak
dengan panjang mencapai 16,31 kilometer.

Dalam riset yang dilakukan KPKSD, kedua proyek tersebut justru menambah beban bangunan di
wilayah tersebut.

Namun, PT PP Semarang-Demak menangkis hal tersebut. Menurut Dedy Susanto, General


Manager Technical di perusahaan tersebut, penurunan muka tanah sudah masuk ke dalam
variabel pembangunan dua Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Sengkarut permasalahan tersebut, menurut Mila, mestinya bisa diselesaikan dengan penataan
ruang yang baik.

Sekali lagi, peran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjadi cukup vital. “Jadi, ruang di pesisir
sementara mungkin dalam urban desainnya tidak diperbolehkan untuk membangun dengan
beban bangunan yang cukup besar. Ataupun, kalau tidak, kita bisa bicara soal plotting kawasan,
tapi ini masih tahap konsep dan wacana. Kita perlu pemimpin yang visioner juga untuk
melakukan ini,” jelasnya.
 

Reportase: Muhammad Faisal Nur Ikhsan

Foto-foto: Bisnis, Muhammad Faisal Nur Ikhsan

https://bisnisindonesia.id/article/proyek-infrastruktur-dan-momok-tenggelamnya-wilayah-pantura

Anda mungkin juga menyukai