Anda di halaman 1dari 11

Peneliti ITB: 50 Tahun Lagi Bandung Terancam Krisis Air Tanah

Bandung - Ahli Geodesi ITB Heri Andreas memprediksi Kota Bandung dalam 50 tahun mendatang akan
mengalami krisis air tanah. Padatnya penduduk dan minimnya sumber air lain membuat pengambilan air
tanah di Kota Bandung cukup masif.

Heri mengatakan berdasarkan pengamatannya, air tanah di Kota Bandung mengalami penurunan dua
meter per tahun. Bukan tidak mungkin kalau kondisi ini terus berlangsung, air tanah akan habis dalam
kurun waktu 50 tahun ke depan.

"Nah suatu saat akan habis, ini pas dihitung 50-100 tahun ke depan. Kalau sudah abis ya sudah tidak
akan dapat air dan ini krisis," kata Heri dalam kegiatan 'Ngobrol Serius Kebencanaan' di Taman Hutan
Raya, Kota Bandung, Sabtu (3/8/2019).

Ia menuturkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening juga memanfaatkan air tanah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebab, sumber air permukaan seperti situ atau danau sangat terbatas
apalagi saat musim kemarau.

"Jadi problemnya itu makin banyak orang butuh air dan PDAM tidak bisa menyediakan selain air tanah ya
habis lah. Istilahnya untuk isi ulang (air tanah) itu butuh ratusan tahun," ungkap dia.

Menurutnya sumber air permukaan seperti sungai-sungai yang ada di sekitar Kota Bandung kondisinya
mengakhawatirkan. Pencemaran limbah membuat kualitas air tidak laik untuk diminum dan
membutuhkan waktu serta biaya besar untuk mengolahnya.

"Kalau harus cari sumber lain, tapi sumbernya juga susah seperti (sungai) Citarum terkontaminasi, danau
(terbatas) tidak ada gantinya pakai apa kan kita belum tahu nanti. Air permukaan memang belum
optimal," tutur dia.

Ia menuturkan salah satu cara yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah krisis tersebut yaitu
mengoptimalkan air hujan. Salah satunya dengan membuat rainwater harvesting (pemanenan air hujan).

"Ini belum penah ada rainwater harvesting, ini penampungan air, jadi ketika hujan air itu ditampung
sehingga ketika kekeringan ini tinggal diambil. Tidak pernah menjadi program," ucap dia.

Cara lainnya yakni dengan mengolah kembali air bekas penggunaan rumah tangga. Negara-negara maju
seperti Jepang sudah menerapkan pola serupa agar penggunaan air bisa optimal.

"Misalnya kalau air mandi bisa dipakai lagi untuk mandi. Kemudian pembersihan air di sungai jadi bisa
digunakan, kemudian menjaga waduk tetap ada," ujar Heri.

https://m.detik.com/news/berita-jawa-barat/d-4651182/peneliti-itb-50-tahun-lagi-bandung-terancam-
krisis-air-tanah

Pengeboran Air Tanah Jadi Ancaman Nyata Bencana di Bandung


Bandung - Letak Kota Bandung yang berada di kawasan Cekungan Bandung memiliki sejumlah potensi
bencana. Mulai dari Sesar Lembang, Gunung Tangkuban Parahu hingga terbaru potensi likuifaksi.

Rupanya potensi bencana yang paling nyata mengancam Kota Bandung bukan berasal dari tiga hal
tersebut. Tetapi akibat pemanfaatan air tanah dengan cara mengebor yang kian marak bisa
mengakibatkan penurunan tanah di Kota Bandung.

Peneliti Puslit Geoteknologi LIPI Adrin Tohari mengatakan sudah seharusnya pemerintah mulai
melakukan pembatasan mengenai pengeboran tersebut. Sebab, ia menyebut, kondisinya sudah semakin
kritis.

"Kalau sudah dalam kondisi kritis, tidak boleh lagi ada pengambilan air tanah dalam yang nantinya bisa
berdampak penurunan tanah. Itu sudah jadi ancaman nyata," ujar Adrin kepada detikcom usai acara
diskusi 'Potensi Likuifaksi di Wilayah Cekungan Bandung' di Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Rabu
(24/10/2018).

Menurut Adrin, ancaman yang disebutnya nyata itu sangat berpotensi di Kota Bandung terutama di
daerah selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan di daerah timur yang berdiri banyak
pabrik.

Adrin mengatakan pengambilan air tanah yang semakin marak membuat tanah Kota Bandung yang
berupa lapisan lempung menjadi menciut. Akibatnya, dia menjelaskan, lapisan tanah yang di atasnya
akan mengalami penurunan.

"Contohnya busa untuk cuci piring yang banyak pori-porinya. Coba remas, itu volume mengecil air keluar.
Sama dengan lempung di dalam tanah yang airnya ikut terhisap, maka volumenya berkurang dan lapisan
tanah di atasnya turun. Itu fenomena penurunan tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan,"
tuturnya.

Adrin menyarankan agar pemerintah memperkuat regulasi sekaligus memberikan solusi dengan
menyiapkan sambungan air bersih yang sumbernya bukan berasal dari air tanah.

https://m.detik.com/news/berita-jawa-barat/d-4271780/pengeboran-air-tanah-jadi-ancaman-nyata-
bencana-di-bandung

Wow… Penurunan Muka Air Tanah di Bandung Mencapai 75 Meter. Kenapa?


Kota Bandung menjadi salah satu kota besar di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan
industri yang cukup tinggi. Pertumbuhan ini mempengaruhi ketersediaan dan daya dukung lingkungan
seperti sumber air.

Kurangnya ketersediaan lahan hijau yang semakin menyusut oleh peningkatan jumlah penduduk dan
pertumbuhan industri mengakibatkan Bandung menjadi krisis air. Krisis air ini ternyata memicu
penurunan muka air tanah secara signifikan telah terjadi di daerah Bandung dan sekitarnya. Berdasarkan
data dari beberapa penelitian, penurunan muka air tanah di kawasan kota Bandung sudah mencapai 75
meter.

Profesor Lambok Hutasoit, ahli Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, penelitian
penurunan muka air tanah (MAT) di kota Bandung sudah sejak lama dilakukan . Dia mengatakan dalam
melakuka penelitian muka air tanah melibatkan beberapa peneliti dari berbagai institusi penelitian
terhitung sejak tahun 1955 hingga 2013.

Dia memaparkan kondisi geologi Bandung yang terdapat lintasan bekas letusan gunung berapi
menjadikan kawasan Bandung dan sekitarnya tidak sulit untuk menemukan air tanah dengan kedalam
rendah. Maka, Berdasarkan lokasi penelitiannya disesuaikan dengan struktur hidrogeologisnya kawasan
Bandung.

Lambok menjelaskan berdasarkan pemetaan daerah penelitian, formasi Cibereum yang disusun oleh
kipas – kipas vulkanik dan formasi Kosambi yang disusun oleh endapan danau menjadi target untuk
diteliti. Dia menambahkan yang termasuk pada formasi Cibeureum adalah daerah Bandung Utara hingga
kota Bandung, sedangkan yang masuk formasi Kosambi adalah kawasan Bandung Timur dan sekitarnya.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penelitian dilakukan menggunakan simulasi dua skenario. Pertama
pengambilan air tanah terus meningkat, seiring dengan pertumbunhan penduduk dan perkembangan
industri, tanpa menambah area resapan. Sedangkan simulasi kedua, pengambilan air tanah sama dengan
skenario pertama , tetapi dilakukan penambahan resapan dengan resapan buatan.

“Tahun 2013 hasil dari simulasi pertama menunjukan bahwa terdapat zona krisis sebesar 116 persen dan
zona rusak 570 persen. Pertumbuhan industri dan penduduk yang meningkat mengakibatkan
pengambilan air tanah setiap tahunnya mengalami hal serupa yakni meningkat sebanyak 2,5 persen. Jika
tidak dilakukan pemulihan terhadap kondisi air tanah, maka kondisi tersebut bisa makin parah,” ujarnya
saat ditemui Mongabay di ruang kerjanya, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, pada pertengahan
Oktober 2015.

Dia melanjutkan hasil dari skenario ini juga menunjukan bahwa akan terjadi groundwater mining
(pertambangan air) di beberapa zona krisis seluas 244 km persegi atau 41 persen dari luas akuifer
(lapisan batuan dibawah permukaan tanah yang mengandung air dan dapat dirembesi air) terkekang di
daerah penelitian.

Lambok mengatakan untuk hasil simulasi skenario kedua menunjukan bahwa peresapan buatan di zona
kritis dan zona rusak dapat dengan efektif memulihkan kondisi muka air tanah apabila itu benar – benar
dilakukan dan direalisasikan tahun 2009 lalu.

Dia menambahkan seluruh daerah penelitian menjadi zona aman, jika jumlah peresapan buatan telah
dilakukan sebesar 164 juta kubik per tahun. Peresapan buatan ini bisa berupa sumur resapan, reservoir
permukaan atau parit resapan dimana formasi Cibereum tersingkap.

Perlu Adanya Kontrol

“ Kondisi sekarang tentu berbeda dengan kondisi dulu, ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air
kini banyak yang tertutupi. Sebagai akibatnya, saat musim hujan tiba air tidak terserap secara baik oleh
tanah sedangkan ketika musim kemarau tiba keadaan air tanah berkurang dan mengakibatkan kesulitan
mendapatkan air,” katanya.

Lambok menegaskan dalam konteks pengelolaan air harus ada peran pemerintah sebagai pemangku
kebijakan. Pembanganan kota yang kurang tertata menambah persoalan semakin buruknya kondisi air.

“Hotel, apartemen dan industri tekstil itu bagamana menjemen kontrolnya dari pemerintah? Jangan
sampai mereka mebuat sumur artesis tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Jika
semua tidak didayagunakan dengan bijak, ini solusinya harus apa dan bagaimana? Permasalahan
kelangka air yang terjadi dimasyarakat menengah kebawah menjadi personal yang terus terulang dan
tidak bisa dibiarkan sebagai fenomena musiaman. Artinya pemerintah harus betul – betul mengelola
serta kontrolnya yang baik,” tuturnya,
Dia mengatakan PDAM harus diberdayakan dalam pengelolaan air. Para pelaku industri bisa saja
didorong menggunkan air PDAM supaya kontroling pemerintah dalam pengelolaan air bisa terkenadali
serta menjadi solusi kelangkaan air tanah yang terus berkurang.

Dia menambahkan perlu dilakukan sosialisasi kepada pelaku industri untuk melakukan daur ulang air
agar bisa digunakan kembali dan tidak selalu menggunakan air dari sumur artesis.

Dia menuturkan sosialisasi juga perlu dilakukan kepada usaha kecil menengah ke bawah seperti
pencucian kendaraan bermotor serta jasa pencucian baju yang setiap kegiatanya menggunakan air dari
sumur bor. “Untuk cuci kendaraan sebaiknya menggunakan air bekas saja yang masih bersih, sayang atuh
air tanahnya jika suatu saat habis. Sebetulnya banyak alternatif lain yang bisa dipakai,” ucapnya.

Kurangnya Lahan Hijau

Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hijau Jawa Barat , yang dihubungi Mongabay mengatakan
alih fungsi lahan di Bandung utara sedikit banyak mempengaruhi ketersediaan air tanah. Padahal
kawasan tersebut merupakan lahan hijau dan daerah resapan air, yang sekarang secara masif berubah
menjadi hutan beton dengan berdirinya hotel, apartemen dan properti.

Faktor penyebab penurunan air tanah adalah kurangnya daerah resapan air dikota Bandung. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kawasan hijau ataupun daerah resapan air yang tersedia belum mampu menampung
dengan baik. Banyaknya bangunan yang menutupi tanah menyebabkan air tidak bisa diserap secara
optimal oleh tanah.

Dia menambahkan pemda masih kurang memperhatikan kaidah konservasi lingkungan untuk
perencanaan pembangunan. Dia mengungkapkan bahwa banyak berdirinya pemukiman mewah, vila dan
properti di tempat resapan air seperti di kawasan Bandung Utara. Ditambah lagi dengan semakin
berkurangnya lahan pesawahan dan ruang terbuka hujau (RTH) yang seharusnya dapat dimanfaakan
sebagai resapan air.

Senada dengan Walhi, Lambok memaparkan bahwa perkembangan jaman mempengaruhi kebiasan
masyarakat. Dia mengatakan solusi terbaik untuk menanggulangi krisis air dan penurunan muka tanah
yaitu dengan teknologi sumur resapan. Teknologi tersebut dinilai mampu mengatasi ekplorasi berlebih
penggunaan air tanah.

Menurutnya untuk membuat sumur resapan hanya perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp 3 juta, yang
dibersihkan secara berkala. “Sistem kerjanya sederhana, ketika musim hujan tiba air tidak begitu saja
mengalir tapi dialirkan ke tabung yang disediakan. Jadi ketika musim kemarau, kita tak usah risau karena
kita punya cadangan air yang ditampung tadi,” katanya.

Teknologi sederhan tersebut bisa dipakai oleh semua kalangan masyarakat. Walapun perlu dilakukan
kajian terlebih dahulu untuk pemakaianya, sebab harus disesuaikan dengan letak gerografis tempat
tinggalnya.

Peralilhan Wewenang

Mengenai masalah turunnya muka air tanah ini, Mongabay sudah berusaha menghubungi Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) kota Bandung, akan tetapi sulit dimintai konfirmasi.

Dinas ESDM Pemprov Jabar menjelaskan sesuai Perda Provinsi Jawa Barat No.24/2014 tentang Organisai
Perangkat Daerah telah terjadi peralihan pengelolaan air dari Pemkot Bandung kepada ESDM Pemprov
Jabar.

“Memang betul sejak awal tahun 2015 penyerahan pengolalan air sudah dialihkan kepada kami. Namun,
itu baru kewenanganya saja. Perkara data, kami belum menerima dari BPLH kota Bandung. Perlu waktu
juga dan tidak serta merta langsung dikirim ke kami datanya, ada tahapan birokrasinya juga. Nah, untuk
data penurunan muka tanah sebetulnya masih ada di BPLH. Kami belum melakukan penelitian karena
baru kemarin diserahkannya,” kata Kepala Bidang Divisi Bagian Pengelolaan Sumber Daya Mineral, Dinas
ESDM Pemprov Jabar, Aan Nurhasanah saat ditemui di kantornya.

https://www.mongabay.co.id/2015/11/04/wow-penurunan-muka-air-tanah-di-bandung-mencapai-75-
meter-kenapa/
Kritis! 80 Persen Air Tanah Kota Bandung Masuk 'Zona Merah'

Mendapatkan air tanah dikota Bandung semakin mengkhawatirkan. Saat ini, sebagian besar wilayah kota
kembang ini telah memasuki zona merah, berarti udara di bawah tanah sudah sulit untuk di ambil
sampai kedalaman tertentu.

'' Air tanah di kota Bandung sudah zona merah semua, bahkan mencapai 80 persen tidak bisa diambil
tanahnya udara. Sulit untuk dibahas deepwel, '' kata Dirut PDAM Tirta Wening, Pian Sofyan kepada ROL ,
Bandung, Jumat (17/10).

Pian mengatakan pada akhir 1980-an, udara tanah di kota Bandung masih mampu dieksplorasi hingga
400 liter / detik. Saat ini, kata dia, sudah sangat sulit untuk mendapatkan air tanah. Ia menjelaskan ada
beberapa cadangan yang tidak bisa dilakukan lagi.

Padahal, sebelumnya reservoar sebelumnya digunakan untuk menampung air tanah. '' Sudah turun
sampai 50 persen. Sekarang hanya ada 33 deepwel . Itu pun hanya bisa memenuhi kebutuhan lokal, ''
jelasnya.

Pian melanjutkan, saat ini pihaknya kesulitan mendapatkan sumber udara dari tanah. Meskipun ada, saat
akan menghabiskan sumur, harus melalui perizinan dari badan pengendali Lingkungan daerah. '' Lalu kita
dulu selalu dimintai pendapat kalau mau ada pembicaraan. Sekarang malah kita saja susah, '' ucapnya.

Karena menurut Pian, air tanah bergantung pada daerah resapan. Di saat tata ruang lembang berubah.
Maka akan berdampak pada air tanah. '' Jika pembangunan tidak berhasil. Antara wilayah terbangun
dengan terbuka tidak seimbang. Maka akan semakin hilang airnya, '' katanya.

Selain itu, kata Pian, ruang terbuka hijau kota bandung saat ini hanya 12 persen dari jumlah 30 persen
berdasarkan peraturan. Oleh karena itu, pasokan air minum dikota Bandung sangat dibutuhkan untuk
wilayah-wilayah penyangga sekitarnyanya.

https://m.republika.co.id/amp/ndkrjf
50 Tahun Mendatang, Kota Bandung Diprediksi Kehilangan Air Tanah

Home Ayo Netizen Ayo News Ayo Komunitas Ayo Persib Ayo Unik Ayo Olahraga Ayo Sehat Ayo Wisata
Ayo Foto Ayo Video Index Home News Bandung 50 Tahun Mendatang, Kota Bandung Diprediksi
Kehilangan Air Tanah Senin, 05 Agustus 2019 Nur Khansa Ranawati Peneliti dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan Mitigasi Hub, Heri Andreas.(Khansa) CIMENYAN, AYOBANDUNG.COM--Saat ini,
penggunaan air tanah di Kota Bandung dinilai tengah berada dalam level yang mengkhawatirkan.
Pasalnya, kebanyakan penggunaan air untuk konsumsi rumah tangga masyarakat hingga kebutuhan
industri di Kota Bandung memanfaatkan air tanah. Bila terus menerus dilakukan tanpa ada solusi
manajemen air, maka diprediksi dalam 50 tahun ke depan, Kota Bandung akan kehilangan pasokan air
tanahnya. Hal tersebut disampaikan peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Mitigasi Hub, Heri
Andreas, dalam bincang-bincang kebencanaan di Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda Dago, Bandung
belum lama ini. Dia mengatakan, air tanah butuh waktu hingga ratusan tahun untuk terisi kembali. "Air
tanah itu sulit untuk recovery, butuh ratusan tahun untuk mengisi. Kalau kita pantau air tanah ini turun 2
meter dalam satu tahun, dihitung-hitung habisnya bisa 50-100 tahun lagi," ungkapnya.

Bila sudah habis, dia mengatakan, warga harus mencari sumber air lain. Sementara, saat ini sumber air
permukaan seperti sungai rata-rata telah tercemar. "Sementara sumber lain seperti Sungai Citarum
sudah terkontaminasi, danau-danau juga sudah banyak yang hilang," jelasnya.

Heri menilai, bahkan pemasok kebutuhan air pokok, yakni PDAM tidak mampu menyediakan air untuk
seluruh warga Kota Bandung dengan memadai. PDAM hingga saat ini juga menggunakan air tanah untuk
didistrubusikan pada warga karena dianggap lebih praktis serta murah ketimbang harus memurnikan air
sungai yang tercemar.

Jadi permasalahannya itu orang semakin banyak, kebutuhan air juga bertambah tapi PDAM tidak bisa
menyediakan air kecuali itu dari air tanah," jelasnya. Saat ini, dia mengatakan pasokan air di Kota
Bandung dan sekitarnya masih disangga oleh Kawasan Bandung Utara (KBU). Namun sayangnya keasrian
kawasan ini telah tergerus oleh kemunculan berbagai bangunan dan pemukiman. Salah satu akibatnya
adalah penyerapan air yang berkurang dan dapat berdampak pada persoalan banjir. Solusinya, Heri
mengatakan, adalah memasyarakatkan proses manajemen air lewat water harvesting atau pemanen air.
Lewat water harvesting, air hujan ditampung di suatu wadah khusus--biasanya terletak di basement
bangunan--untuk kemudian diolah menjadi air bersih. "Ini sudah dilakukan secara masif di Jepang dan
Singapura. Air hujan ditampung di basement. Selain itu juga perlu optimalisasi program water recycling,
jadi air mandi nantinya bisa dipakai mandi lagi," pungkasnya

https://m.ayobandung.com/read/2019/08/05/59631/50-tahun-mendatang-kota-bandung-diprediksi-
kehilangan-air-tanah

Peneliti ITB Sebut Permukaan Tanah di Bandung Turun sampai 10 Cm per Tahun
Pengambilan air tanah di Kota Bandung dilakukan tidak diiringi dengan menjaga wilayah serapan. Selain
bisa menyebabkan kekeringan, hal itu pun berdampak pada penurunan permukaan tanah.

Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas mengatakan, air tanah dimanfaatkan oleh
masyarakat hingga industri. Bahkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengambil air dari tanah
karena dianggap lebih praktis dan murah. Padahal idealnya mereka mengolah air di sungai.

Jika tidak dibenahi dengan manajemen dan kebijakan pemerintah yang baik, maka dalam 50 tahun ke
depan diprediksi tidak akan ada lagi air tanah yang bisa digunakan.

Massifnya penggunaan air tanah itu bisa membuat tanah turun. Saat ini, kata Heri, Kota Bandung
menduduki peringkat ketiga sebagai kota dengan penurunan muka tanah di Indonesia, setelah Kota
Pekalongan dan Semarang.

"Penurunan muka tanah di Bandung mencapai 1-10 cm per tahun," ujar dia dalam diskusi 'Ngobrol
Serius Kebencanaan' di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda, Sabtu (3/8).

Ia menjelaskan, saat in suplai air di Bandung bergantung pada kawasan bandung utara (KBU) sebagai
wilayah penangkap air. Namun sayangnya pembangunan di sana dilakukan secara masif. Itu pula yang
membuat Kota Bandung selalu banjir ketika musim hujan tiba.

Di sisi lain, air permukaan, seperti dari Sungai Citarum tidak bisa diandalkan karena sudah
terkontaminasi limbah.

Menurutnya, Pemerintah Kota Bandung harus menjaga tempat menampung air seperti waduk kecil dari
alih fungsi. Selain itu, segera membuat sistem dan kebijakan mengenai water harvesting yang melibatkan
masyarakat.

"Buat aturan masyarakat membuat tempat untuk menampung air selama musim hujan untuk cadangan
di musim kemarau," ucap dia.

"Atau bisa juga menggunakan program water recycle (daur ulang air) seperti Jepang. Di mana air bekas
mandi kemudian bisa diolah untuk dipakai kembali, tapi tidak untuk dikonsumsi," ucap Heri.

https://m.merdeka.com/peristiwa/peneliti-itb-sebut-permukaan-tanah-di-bandung-turun-sampai-10-
cm-per-tahun.html
WALHI: Air Bawah Tanah Kota Bandung Semakin Kritis

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan mengatakan,
ketersediaan air bersih merupakan salah satu persoalan yang belum diselesaikan Pemerintah Kota
Bandung hingga saat ini. Menurutnya, ketersediaan air bersih ini masih bergantung pada wilayah lain.

“Air bawah tanah di Kota Bandung sendiri itu semakin kritis. Penyediaan air bersih Kota Bandung juga
sangat ditunjang oleh keberadaan Situ Cileunca dan sumber-sumber air yang bukan berasal dari kota
bandung,” ucapnya saat dihubungi lewat telefon, Selasa (5/6/2018).

Dadan menuturkan, Bandung juga memiliki masalah dengan sampah dan kualitas udara. Ruang terbuka
hijau (RTH) pun masih belum memenuhi mandat dari Undang-Undang sebanyak 30 persen. Menurut
Dadan, RTH akan sulit bertambah selama alih fungsi lahan resapan semakin terus berlangsung.

"RTH masih sedikit. Itu yang kemudian menjadi problem Kota Bandung hingga sekarang,” pungkasnya.

Tak hanya itu, kerusakan dan pencemaran lingkungan, kata dia, semakin meningkat. Hal itu, katanya,
tercermin dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Bandung yang meliputi indeks pencemaran air,
udara dan tutupan hutan yang terpantau menurun.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, lanjut Dadan, telah memberikan kontribusi pada bencana
lingkungan hidup yang setiap tahun cenderung meningkat.

"Selama 3 tahun terakhir, jumlah kejadian bencana mencapai 2.671 kejadian, dengan 256 orang
meninggal dunia," kata dia.

Dadan juga menyebut banjir bandang di Jatihandap beberapa waktu lalu terjadi bukan hanya akibat
hujan deras, tetapi akibat alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU).

"KBU itu sudah beralih fungsi betul, bukan lagi kawasan resapan tetapi semuanya sudah jadi hutan beton
disana. Berpengaruh sekali terhadap banjir waktu itu," imbuhnya.
Sementara itu, lanjut Dadan, pemerintah Bandung lemah soal penegakan hukum (law enforcement) atas
eksploitasi alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) oleh pengembang yang menjadi akar
penyebab terjadinya banjir bandang di Bandung.

Untuk itu, bertepatan hari ini 5 Juni adalah Hari Lingkungan Hidup, Walhi menghimbau kepada warga
Jabar untuk jangan salah pilih dalam pilgub Jabar mendatang. Pilihlah calon Gubernur yang punya
komitmen untuk membenahi lingkungan hidup.

Pilgub Jabar 2018 akan diikuti empat pasangan calon gubernur-wakil gubernur. Pasangan nomor urut 1
adalah Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, pasangan nomor urut 2 adalah TB Hasanuddin-Anton
Charliyan, pasangan nomor urut 3 adalah Sudrajat-Ahmad Syaikhu, dan pasangan nomor urut 4 adalah
Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.

https://news.okezone.com/read/2018/06/05/525/1906968/walhi-air-bawah-tanah-kota-bandung-
semakin-kritis

Anda mungkin juga menyukai