Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS INDONESIA

Essay Ujian Akhir Semester


Korelasi Sistem Pemanenan Air Hujan dengan Teori Benefit Cost Ratio dan Benefit Cost
Anlysis
(Studi Kasus: Pemukiman Nelayan, Pesisir Jakarta Utara)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Kosuke Mizuno

Mata Kuliah:
Ekonomi Lingkungan

RISMA ANISA SYFANI 2206138513

JENJANG MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN SEKOLAH ILMU
LINGKUNGAN
JAKARTA, 2023
1. Latar Belakang
Indonesia berada di peringkat lima dunia memiliki angka kematian tertinggi akibat
konsumsi air yang tidak aman [1] dan berdasarkan laporan World Resources Institute, 2015,
Indonesia memilliki risiko tinggi (40-80%) mengalami krisis air bersih pada tahun 2040.
Penggunaan air berkelanjutan diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
(TPB) ke-6, maka dari itu diperlukan perencanaan penyediaan air minum yang terintegrasi ke
depan karena masih banyak masyarakat yang mengalami kekurangan air secara kualitas dan
kuantitas [2]. Kondisi ini lebih banyak terjadi di permukiman yang berbatasan dengan laut yang
umumnya memiliki lingkungan dengan kepadatan tinggi, berhimpitan, jalan tanpa perkerasan,
dan sistem drainase buruk sehingga mempengaruhi akses air bersih [3]. Padahal air yang aman
menjadi kebutuhan dasar dan penting untuk aktivitas manusia serta memiliki manfaat untuk
lingkungan, kesehatan, dan meningkatkan pembangunan ekonomi hingga produksi pangan [4].
Dalam pembangunan yang inklusif dan implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan hasilnya
menyoroti bahwa tujuan sosial terkait akses air membutuhkan perhatian lebih khususnya pada
perekonomian rumah tangga untuk keberlanjutan pelayanan air. Keadaan perekonomian
khususnya rumah tangga di pesisir mengalami keterbatasan karena dipengaruhi faktor terbatasnya
mata pencaharian, sebagai akibat modal finansial yang rendah, pendidikan yang rendah, dan
keterampilan yang terbatas [5]. Evaluasi mengenai layanan suplai air rumah tangga di negara
berkembang harus mempertimbangkan volume kebutuhan setiap rumah tangga, kualitas air,
aksesibiltas seperti jarak dan waktu serta kendala, dan biaya layanan air [6].
Panen Air Hujan (RWH) dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan air di
wilayah pesisir. Akter dan Ahmed [7] mempelajari potensi RWH di komunitas perkotaan
Agrabad Chittagong, Bangladesh. Studi mereka mengungkapkan bahwa RWH memungkinkan air
hujan untuk meningkatkan air bersih sebesar 20 liter / orang / hari sepanjang tahun. Sebuah studi
serupa oleh Campisano et al. [8] menunjukkan bahwa penerapan RWH memiliki penghematan air
tahunan yang tinggi sebesar 30% -50%. Jika masyarakat menggunakan Panen Air Hujan (RWH)
secara luas, maka akan memiliki beberapa manfaat, seperti: mengatasi kekeringan, mengurangi
erosi tanah, mengurangi risiko banjir, meningkatkan pasokan air tanah, dan alternatif pasokan air
yang ekonomis [9]
Pemenuhan air bersih dengan panen air hujan sudah dilakukan di berbagai negara misalnya
di Meksiko, Vietnam, Bangladesh, dan Jakarta. Di Meksiko, memanen air hujan di perkotaan
pada kondisi kualitas udara yang tidak baik, namun dilakukan dengan sistem yang tepat akan
menghasilkan kualitas air yang sangat baik [10]. Perlu juga memperhatikan jenis atap yang akan
digunakan sebagai daerah tangkapan, terutama pada kandungan Pb dan Zn yang terkandung pada
air hujan yang ditampung [11]. Penerimaan akan penyediaan air bersih dengan pemanenan air
hujan di Jakarta yang bersumber dari air hujan membutuhkan sosialisasi [12]. Sementara itu, di
Vietnam [13], melakukan sosialisasi air hujan hingga ke institusi pendidikan. Panen air hujan
memiliki dampak positif terhadap kebutuhan air di perkotaan [14]. Semakin tinggi tingkat
urbanisasi, maka akan meningkatkan kapasitas pemanenan air hujan karena semakin banyak
daerah tangkapan dari atap bangunan [15]. Tetapi yang terjadi di lingkungan permukiman dengan
kepadatan tinggi seperti di Jakarta sulit untuk mencari lahan untuk penempatan instalasi. Padahal
[16] mengatakan bahwa dalam pembangunan instalasi memiliki kriteria lahan yang cukup. Selain
lokasi, bahan bangunan yang digunakan sebagai atap pada penempatan instalasi juga perlu
diperhatikan, karena air hujan mungkin saja tercemar karena bahan dari atap yang digunakan
sebagai daerah tangkapan dan tercemar oleh bakteri Coliform [11]. Dengan demikian, diperlukan
perawatan rutin untuk menghilangkan debu-debu dan kotoran di daerah tangkapan. Tidak hanya
sebagai sumber air bersih, panen air hujan telah menjadi pertimbangan sebagai solusi untuk
mengurangi masalah banjir dan genangan di perkotaan [17]
Jika merujuk pada kondisi lokasi penelitian yaitu wilayah Kampung Nelayan, Kelurahan
Kalibaru Jakarta Utara Permasalahan krisis air bersih terjadi karena ketersediaan sumber air yang
terbatas, seperti di Jakarta Utara yang menglami intrusi air laut dan cakupan pelayanan air
perpipaan yang belum merata. Di Kampung Nelayan Kalibaru, masyarakat memanfatkan sumber
air tanah, air perpipaan, dan air hujan [18]. Pada daerah pemukiman kelurahan kalibaru Jakarta
Utara, memiliki keterbatasan lahan akibat padatnya pemukiman penduduk, maka penerapan
teknologi Urban Farming dinilai mampu mendukung terwujudnya kemandirian akses sayur-
mayur, buah-buahan, dan pangan protein. Penerapan teknologi tersebut juga memiliki manfaat
lainnya, seperti menciptakan usaha [19], [20], meningkatkan pola gaya hidup sehat masyarakat
[21], meningkatkan kohesi sosial ( [22]–[25], menciptakan jasa ekosistem kota [26], serta
mengurangi dampak negatif jejak ekologis dari rantai pemasaran/distribusi bahan pangan
[27]–[29]
. Namun, penerapan teknologi Urban Farming di Kampung Nelayan, Kelurahan Kalibaru
juga harus didukung dengan penerapan teknologi alternatif penghasil sumber air bersih. Hal ini
dikarenakan sulitnya akses air bersih di wilayah peisisir Jakarta Utara akibat permasalahan
instrusi air laut serta besarnya harga air pemipaan jika dibandingkan dengan besar pendapatan
penduduk per bulan [30]. Adapun alternatif air yang digunakan oleh warga saat ini untuk
memenuhi kebutuhan air harian belum memenuhi standar baku mutu berbau dan berasa asin
akibat tingginya tingkat salinitas [30], [31].
Kondisi ilkim wilayah Jakarta Utara yang memiliki tingkat intensitas curah hujan yang
cukup tinggi, yaitu 200 mm/bulan selama 8 bulan/tahun, penerapan teknologi Sistem Pemanen
Air Hujan (SPAH) dapat dijadikan alternatif penghasil air bersih secara ekonomis dan
berkelanjutan. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada tahun
2016, rata-rata curah hujan di DKI Jakarta adalah 2.500-3.000 mm/tahun (kategori sedang),
dengan pola distribusi tidak merata di setiap wilayah akibat berbagai faktor, seperti letak
geografi, topografi, dan lainnya. Hampir seluruh air hujan yang jatuh, diterima oleh permukaan
bumi yang kedap. Sebagian besar pula mengalir di permukaan tanah lereng dengan konsekuensi
‘run off’ yang tinggi berpotensi menimbulkan bencana kelongsoran tanah dan banjir di daerah
bawah serta daerah cekungan. Kejadian tanah longsor di DKI Jakarta adalah sebanyak 3 kali dan
bencana banjir terjadi sebanyak 36 kali di tahun 2016 (BNPB,2016). Aliran air permukaan yang
berasal dari air hujan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih dengan cara
memasukkan run off ke dalam sistem pemanen air hujan. DKI Jakarta sebagai kota metropolitan
tumbuh menjadi kota multifungsi, dimana menjadi pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan,
industri, dan pendidikan dengan angka pertumbuhan penduduk mencapai 10 juta jiwa
(BPS,2022).
Salah satu wilayah di DKI Jakarta yang belum terlayani akses air bersih perpipaan secara
optimal adalah kawasan permukiman nelayan, Kelurahan Kalibaru, Jakarta Utara. Mengingat
bahwa wilayah Kalibaru yang paling dekat dengan laut lepas, menyebabkan kualitas air tanah di
wilayah inipun menjadi tidak sehat. Akibat kondisi ini, masyarakat setempat membeli air tangki
dari penjual air keliling untuk memenuhi kebutuhan air bersih harian. Intensitas curah hujan di
Jakarta dengan kategori sedang, diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan air bersih
berkelanjutan bagi masyarakat di Kawasan Permukiman Nelayan, Kalibaru melalui Sistem
Pemanen Air Hujan.Karakteristik lingkungan dan sosial ekonomi setiap wilayah akan berbeda,
seperti perbedaan antara perkotaan dan pesisir. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
meningkatkan aksesibilitas air bersih di permukiman pesisir sehingga penelitian ini berkontribusi
menjadi salah satu alternatif penyediaan air bersih di pesisir yang terjangkau serta dapat
menurunkan nilai stunting pada kampung nelayan, kelurahan kalibaru provinsi jakarta utara.
2. Pembahasan
2.1 Curah Hujan dan Sistem Pemanenan Air Hujan
Curah hujan merupakan jumlah air hujan (dalam mm) yang diterima oleh permukaan
tanah sebelum menjadi aliran permukaan, dan mengalami peresapan/perembasan dalam tanah,
serta evaporasi [32]. Jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer,
maka jumlah curah hujan 1 mm dapat diartikan sebagai tinggi air hujan yang menutupi
permukaan bumi adalah 1 mm, [32] Menurut [33], jumlah curah hujan yang jatuh direkam dan
diukur dengan menggunakan instrument Rain Gauge. Rain Gauge adalah silinder tembaga
dengan tabung pengkoleksi di dalam dan di atas corong. Air dikumpulkan selama 24 jam, dan
kemudian dituangkan ke dalam tabung pengukur untuk mengetahui hasil pengukuran. Curah
hujan andalan adalah jumlah minimum curah hujan yang terjamin ada (diandalkan) selama
periode ulang waktu tertentu yang peluang terjadinya mencapai 80% [34]. Perhitungan curah
hujan andalan dilakukan dengan mengurutkan peringkat data curah hujan berdasarkan jumlah
curah hujan bulanan. Perhitungan peluang dihitung dengan menggunakan rumus “Weibull” [35]
P (%) = 𝑚 (𝑛+1) x 100% (2.1)
Keterangan:
P (%) : Peluang Curah Hujan Andalan
m : Urutan Peringkat Data
n : Banyak data
Besarnya curah hujan andalan selama periode tertentu diperlukan untuk pengelolaan dan
desain suatu proyek pemanen air hujan, irigasi, dan drainase. Pemanen air hujan merupakan salah
satu metode konservasi air yang dapat dipilih untuk mengatasi kekurangan air. Pemanenan Air
Hujan (Rainwater Harvesting atau RWH) adalah suatu teknik untuk mengumpulkan air hujan dari
tangkapan atap dan disimpan dalam tangki/waduk/akuifer tanah. Pemanenan air hujan juga dapat
diartikan sebagai pemanfaatan air hujan dengan cara menampung air hujan dan digunakan untuk
berbagai keperluan. Pemanfaatan air hujan dengan cara memanen ini dapat membantu
mengurangi aliran permukaan (runoff) yang berasal dari air hujan. Terdapat tiga komponen dasar
dalam memanen air hujan, yaitu: fasilitas penangkap air hujan (atap), sistem pengiriman, dan
penyimpanan [36]
Menurut [36], Terdapat lima (5) langkah sistematis dalam merancang sistem pemanen air
hujan jika sistem tersebut akan dibangun dan dikembangkan di suatu lokasi, yaitu: menentukan
jumlah total kebutuhan air, merancang area penangkap air hujan, merancang sistem pengiriman
air hujan, menentukan ukuran penyimpanan air yang diperlukan, dan memilih desain
penyimpanan air yang sesuai. Langkah- langkah ini berlaku juga jika sistem pemanenan air hujan
akan diterapkan di lingkungan permukiman. Berdasarkan konsep ini, penerapan pemanenan air
hujan harus diawali dengan memperkirakan berapa volume kebutuhan air sebagai demand dan
berapa perkiraan air hujan yang dapat dipanen sebagai supply.
Penerapan sistem pemanen air hujan dapat dimulai dengan menghitung jumlah total
kebutuhan air rumah tangga (demand). Menurut [36], menghitung kebutuhan air dapat dilakukan
dengan mengalikan jumlah kebutuhan air per orang dengan jumlah anggota keluarga dan jumlah
hari dalam satu tahun dengan menggunakan rumus:
VARt = Ak x Akk x 365 hari
VARt : Volume kebutuhan air rumah tangga per keluarga, dalam satuan liter
Ak : Angka kebutuhan air rumah tangga, dalam liter/orang/hari
AKK : Jumlah anggota keluarga, dalam satuan orang 365 : Banyaknya hari dalam 1 tahun
Sumber: Diadaptasi dari [36]
2.2 Aspek Pembangunan Sistem Pemanenan Air Hujan
Sistem Pemanen air hujan memungkinkan masyarakat untuk mengelola sumber daya air
secara mandiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada sistem penyediaan air publik
yang sering terkendala dan sulit untuk diakses. Menurut C, Bachelor et al. (2011), di daerah yang
mengalami krisis air, sistem Pemanen air Hujan merupakan alternatif penyediaan air bersih yang
lebih fleksibel dan hemat biaya dibandingkan dengan membangun sistem penyediaan air bersih
yang kompleks dan mahal. Sistem Pemanen Air Hujan juga dianggap menjadi pilihan baik ketika
keuangan masyarakat tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan Sistem dapat dibangun secara
bertahap (misalnya untuk keperluan rumah tangga dapat dimulai dengan sistem sistem
berkapasitas kecil dan dapat diperbesar dari waktu kewaktu). Estimasi biaya pembuatan Sistem
Pemanen Air Hujan dikemukakan oleh Leung,2008 dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Estimasi Biaya Pembuatan Sistem Pemanen Air Hujan
(Kebutuhan 300 gallon ~ 1,135 liter)
No Material Harga
1 Tangki Penyimpanan $300
2 Pengiriman Tangki $300
3 Pembuatan Selokan $100
4 Platform $300
5 Perangkat Keras $100
6 Perpipaan $100
7 Tool Kit $50
Total Cost $1250 ~ Rp 17,182,500
Sumber: Leung,2008
Studi kelayakan ekonomi dapat menggunakan analisis untung-rugi dengan kriteria Cost-
Benefit Ratio [37] Benefit Cost Analysis (BCA) merupakan Teknik untuk mengevaluasi proyek
atau investasi dengan membandingkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut ( [38]. Simbol B
untuk mewakili manfaat/Benefit dan symbol C untuk mewakili biaya/Cost. BCA dapat dilakukan
dengan menggunakan Benefit-cost Ratio (BCR). BCR dihitung dengan rumus:
Keterangan:
Bt : manfaat pada waktu t
Ct : ukuran biaya pada waktu t
r : discount rate
t : periode waktu / tahun
Apabila BCR melebihi satu, maka proyek tersebut dinyatakan baik untuk diterima. BCA
adalah suatu alat/tool yang sering direkomendasikan dalam pengambilan keputusan. BCA
memaksa para pendukung dan penentang proyek menyediakan data kuantitatif untuk mendukung
argument kualitatif. Dengan BCA, data aktual harus digunakan untuk mendukung analisis. BCA
juga bermanfaat untuk melakukan perbandingan antara investasi atau proyek. Meskipun BCA
dapat bermanfaat, ada beberapa kesulitan dalam penerapannya. Pertama, BCA mensyaratkan
bahwa analisis menetapkan nilai moneter untuk semua manfaat dan biaya. Kedua, adalah bahwa
hasilnya dapat sangat sensitif terhadap pilihan tingkat diskonto. Kelemahan lainya dari BCA
adalah Sebagian besar manfaat dan biaya yang muncul pada saat ini dapat diketahui, namun
manfaat dan biaya di masa depan tidak dapat diketahui [38]
2.3 Biaya rancangan sistem pemanen air hujan (Benefit Cost Analysis)
Estimasi biaya untuk membangun Sistem Pemanen Air Hujan skala komunal dan
menggunakan tangki penyimpanan kapasitas 8000 L ditunjukkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Estimasi Biaya Penyediaan Sistem Pemanen Air Hujan Tangki 8000 L
No Komponen Kebutuhan Harga Satuan Jumlah (Rp)
Investasi
1 Talang Air 10 buah 65.000 650.000
2 Pipa PVC 3” 8 95.000 760.000
3 Pipa PVC 4” 1 150.000 150.000
4 Pipa PVC 6 1 370.000 370.000
5 Aksesoris Perpipaan - 2.320.000 2.320.000
6 Filter Air Dacron 1 250.000 250.000
7 Tangki Penyimpanan 8000 L 1 15.000.000 15.000.000
8 Pembuatan Pondasi - 3.500.000 3.500.000
9 Biaya Kontruksi 1 3.000.000 3.000.000
Total Biaya Investasi 26.000.000
Sumber: Hasil Olahan Penulis,2023
Biaya investasi untuk tangki penyimpanan 8000 L adalah sebesar Rp26.000.000 dan biaya
untuk operasional & pemeliharaan adalah sebesar Rp950.000/tahun. Pemeliharaan pada seluruh
instalasi SPAH dilakukan dengan membuat jadwal perawatan secara periodik, seperti:
1. Saat musim hujan, seluruh sistem (talang, pipa pembuangan pertama, atap) harus
diperiksa secara visual setelah turun hujan. Permukaan atap dan talang harus dijaga
bebas dari kotoran binatang. Talang dan filter aliran pertama harus dibersihkan secara
teratur dari daun dan sampah lainnya.
2. Akhir musim kemarau, seluruh sistem termasuk tangki penyimpanan harus dibilas dan
dibersihkan. Pembersihan dilakukan setiap periode musim kering lebih dari satu bulan
(dapat dilakukan dua bulan sekali selama periode kering)
3. Sepanjang tahun, tangki penyimpanan harus teratur diperiksa apakah terdapat
kebocoran atau retak yang harus diperbaiki.
Apabila mampu digunakan selama 15 tahun, maka biaya perbulan yang dikeluarkan tiap keluarga
untuk investasi PAH adalah sebesar: Rp26.000.000 15 tahun x 12 bulan = Rp144.444. Rata-rata
pengeluaran pembelian air untuk keperluan mandi, kakus dan wudhu 1 KK adalah sebesar
Rp304.559/ bulan atau Rp609.118/bulan untuk 2 KK dan 56% kebutuhan air dapat terpenuhi dari
PAH tangki 8000 L. Dengan adanya Sistem Pemanen Air Hujan kapasitas tangki 8000 L, maka
dapat menghemat 19% (Rp117.495) dari rata-rata biaya pengeluaran untuk membeli air setiap
bulan.
2.4 Benefit Cost Ratio Pada Sistem Pemanenan Air Hujan
Setelah terbangun Sitem Pemanen Air Hujan, maka setiap bulan dan setiap tahunnya daerah
pemukiman nelayan kelurahan kalibaru RW 13 mendapatkan nilai manfaat dari penghematan
pembelian air. Total kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah hari di setiap bulan.
Tabel 2.5 Nilai Manfaat
Bula Kebutuhan air Ketersediaan Air di % Pemenuhan Nilai Manfaat
n (Liter) Tangki 8000 L Kebutuhan Air (Rp)
Jan 9.300 6.352 68% 1.393.359
Feb 8.400 7.647 91% 1.857.216
Mar 9.300 4.744 51% 1.040.690
Apr 9.000 3.273 36% 741.798
Mei 9.300 4.160 45% 912.446
Jun 9.000 2.848 32% 645.456
Jul 9.300 1.878 20% 412.001
Ags 9.300 1.074 12% 235.482
Sept 9.000 1.690 19% 383.085
Okt 9.300 2.147 23% 470.964
Nov 9.000 4.561 51% 1.033.872
Des 9.300 3.936 42% 863.433
Total 109.500 44.310 9.989.802
Sumber: Olahan Penulis
Dalam perhitungan rasio manfaat biaya/ Benefit Cost Ratio, digunakan present value (PV) dari
nilai manfaat dan biaya investasi serta operasional & pemeliharaan yang telah dihitung. Nilai
Benefit adalah nilai total dari peningkatan manfaat dari pembangunan Sistem Pemanen Air
Hujan (SPAH) di pemukiman nelayan kelurahan kalibaru RW 13 selama 15 tahun ke depan yang
sudah dikalikan dengan discount factor 12%. Sedangkan untuk nilai Cost, yaitu merupakan
gabungan dari nilai biaya investasi awal untuk membangun SPAH, serta biaya operasional dan
pemeliharaan (O&M) untuk berjalannya SPAH selama 15 tahun ke depan yang sudah dikalikaan
dengan discount factor 12%
Perhitungan BCR adalah sebagai berikut:
Nilai Benefit = Rp78.028.989 ………………(PV Benefit)
Nilai Cost = Rp32.470.321 ………………… (PV Cost)
BCR = Bt / Ct
BCR = 78.028.989 32,470,321
BCR = 2.40 > 1
Dari hasil tersebut di atas, didapatkan nilai BCR lebih besar dari satu, maka pembangunan
Sistem Pemanen Air Hujan di pemukiman nelayan kelurahan kalibaru RW 13 ini layak untuk
dibangun.

3. Kesimpulan
Rancangan sistem pemanen air hujan yang dipilih adalah sistem komunal dan dibangun di
pemukiman nelayan kelurahan kalibaru RW 13. Rancangan ini dapat menghemat 19%
(Rp117.495) dari rata-rata biaya pembelian setiap bulan dan dapat menghemat 36% (Rp736.833)
dari biaya pembelian air mushola setiap bulan.

4. Referensi
[1] J. N. CUMINGS, Biochemical aspects., vol. 55. 1962. doi: 10.5005/jp/books/11431_8.
[2] Z. A. Alemu and M. O. Dioha, “Modelling scenarios for sustainable water supply and demand in
Addis Ababa city, Ethiopia,” Environmental Systems Research, vol. 9, no. 1, Dec. 2020, doi:
10.1186/s40068-020-00168-3.
[3] H. M. Putri et al., “TATA KELOLA PEMUKIMAN NELAYAN DI WILAYAH PERKOTAAN
PESISIR UTARA JAKARTA Fisherman Settlement Management in Urban Region of Northern-
Coast of Jakarta.”
[4] R. Jain, “Providing safe drinking water: A challenge for humanity,” Clean Technologies and
Environmental Policy, vol. 14, no. 1. Springer Verlag, pp. 1–4, 2012. doi: 10.1007/s10098-011-
0446-1.
[5] G. Baum et al., “Under pressure: Investigating marine resource-based livelihoods in Jakarta Bay
and the Thousand Islands,” Mar Pollut Bull, vol. 110, no. 2, pp. 778–789, Sep. 2016, doi:
10.1016/j.marpolbul.2016.05.032.
[6] V. Markantonis et al., “Values and preferences for domestic water use: A study from the
transboundary River Basin of Mékrou (West Africa),” Water (Switzerland), vol. 10, no. 9, Sep.
2018, doi: 10.3390/w10091232.
[7] A. Akter and S. Ahmed, “Potentiality of rainwater harvesting for an urban community in
Bangladesh,” J Hydrol (Amst), vol. 528, no. September 2015, pp. 84–93, 2015, doi:
10.1016/j.jhydrol.2015.06.017.
[8] A. Campisano, G. D’Amico, and C. Modica, “Water saving and cost analysis of large-scale
implementation of domestic rain water harvesting in minor Mediterranean islands,” Water
(Switzerland), vol. 9, no. 12, 2017, doi: 10.3390/w9120916.
[9] S. D. Muktiningsih and D. M. A. R. M. S. Putri, “Study of the potential use of rainwater as clean
water with simple media gravity filters: A review,” IOP Conf Ser Earth Environ Sci, vol. 733, no.
1, 2021, doi: 10.1088/1755-1315/733/1/012147.
[10] M. Í. Gispert, M. A. A. Hernández, E. L. Climent, and M. F. T. Flores, “Rainwater harvesting as a
drinkingwater option for Mexico City,” Sustainability (Switzerland), vol. 10, no. 11, pp. 1–13,
2018, doi: 10.3390/su10113890.
[11] M. A. Rahman, M. A. Hashem, M. H. R. Sheikh, and A. S. M. Fazle Bari, “Quality assessment of
harvested rainwater and seasonal variations in the southwest coastal area, Bangladesh,” Environ
Earth Sci, vol. 80, no. 8, pp. 1–12, 2021, doi: 10.1007/s12665-021-09622-6.
[12] A. Hargianintya, H. Hasibuan, and S. Moersidik, “People Acceptance of Rainwater Harvesting In
Fisheries Settlement Coastal Area, North Jakarta,” no. June, 2020, doi: 10.4108/eai.22-10-
2019.2291492.
[13] B. T. Thuy et al., “Rainwater for drinking in Vietnam: Barriers and strategies,” Journal of Water
Supply: Research and Technology - AQUA, vol. 68, no. 7, pp. 585–594, 2019, doi:
10.2166/aqua.2019.054.
[14] C. Crosson, D. Tong, Y. Zhang, and Q. Zhong, “Rainwater as a renewable resource to achieve net
zero urban water in water stressed cities,” Resour Conserv Recycl, vol. 164, Jan. 2021, doi:
10.1016/j.resconrec.2020.105203.
[15] A. Shanableh, R. Al-Ruzouq, A. G. Yilmaz, M. Siddique, T. Merabtene, and M. A. Imteaz,
“Effects of land cover change on urban floods and rainwater harvesting: A case study in Sharjah,
UAE,” Water (Switzerland), vol. 10, no. 5, May 2018, doi: 10.3390/w10050631.
[16] Z. Huang et al., “Integrated water resource management: Rethinking the contribution of
rainwater harvesting,” Sustainability (Switzerland), vol. 13, no. 15, Aug. 2021, doi:
10.3390/su13158338.
[17] S. G. Meshram et al., “Impact of roof rain water harvesting of runoff capture and household
consumption,” Environmental Science and Pollution Research, vol. 28, no. 36, pp. 49529–
49540, 2021, doi: 10.1007/s11356-021-14098-9.
[18] A. Huwaina, H. S. Hasibuan, and E. Fatimah, “Pemanenan Air Hujan untuk Meningkatkan
Aksesibilitas Air di Permukiman Pesisir, Kasus Jakarta, Indonesia,” Jurnal Wilayah dan
Lingkungan, vol. 10, no. 2, pp. 182–198, 2022, doi: 10.14710/jwl.10.2.182-198.
[19] C. Aubry, J. Ramamonjisoa, M. H. Dabat, J. Rakotoarisoa, J. Rakotondraibe, and L. Rabeharisoa,
“Urban agriculture and land use in cities: An approach with the multi-functionality and
sustainability concepts in the case of Antananarivo (Madagascar),” Land use policy, vol. 29, no.
2, pp. 429–439, 2012, doi: 10.1016/j.landusepol.2011.08.009.
[20] G. S. Indraprahasta and I. Agustina, “T A T A L O K A Urban Agriculture Activity and Its
Potentials to Eradicate Urban Poverty in Jakarta,” Agustus, vol. 14, no. August 2012, pp. 186–
200, 2012, doi: 10.14710/tataloka.14.3.186-200.
[21] I. Mourão, M. C. Moreira, T. C. Almeida, and L. M. Brito, “Perceived changes in well-being and
happiness with gardening in urban organic allotments in Portugal,” International Journal of
Sustainable Development and World Ecology, vol. 26, no. 1, pp. 79–89, 2019, doi:
10.1080/13504509.2018.1469550.
[22] J. Chan, B. DuBois, and K. G. Tidball, “Refuges of local resilience: Community gardens in post-
Sandy New York City,” Urban For Urban Green, vol. 14, no. 3, pp. 625–635, 2015, doi:
10.1016/j.ufug.2015.06.005.
[23] C. Dimitri, L. Oberholtzer, and A. Pressman, “Urban agriculture: connecting producers with
consumers,” British Food Journal, vol. 118, no. 3, pp. 603–617, 2016, doi: 10.1108/BFJ-06-
2015-0200.
[24] B. Sletto, S. Tabory, and K. Strickler, “Sustainable urban water management and integrated
development in informal settlements: The contested politics of co-production in Santo Domingo,
Dominican Republic,” Global Environmental Change, vol. 54, no. November 2018, pp. 195–
202, 2019, doi: 10.1016/j.gloenvcha.2018.12.004.
[25] I. Säumel, S. E. Reddy, and T. Wachtel, “Edible city solutions-one step further to foster social
resilience through enhanced socio-cultural ecosystem services in cities,” Sustainability
(Switzerland), vol. 11, no. 4, 2019, doi: 10.3390/su11040972.
[26] D. E. Post, “THE ROLE OF ATOMIC COLLISIONS IN FUSION D. E. Post Plasma Physi is
Laboratory, Princeton University Pri.iceian, Ifev Jersey 08544,” AGU Publications, 2018, doi:
10.1002/eft2.277.
[27] N. E. Helwig, S. Hong, and E. T. Hsiao-wecksler, “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者
における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title”.
[28] N. E. Helwig, S. Hong, and E. T. Hsiao-wecksler, No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者
における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title.
[29] K. Specht et al., “Urban agriculture of the future: An overview of sustainability aspects of food
production in and on buildings,” Agric Human Values, vol. 31, no. 1, pp. 33–51, 2014, doi:
10.1007/s10460-013-9448-4.
[30] A. Hargianintya, H. Hasibuan, and S. Moersidik, “People Acceptance of Rainwater Harvesting In
Fisheries Settlement Coastal Area, North Jakarta,” no. January, 2020, doi: 10.4108/eai.22-10-
2019.2291492.
[31] A. Asseggaf, H. Hendarmawan, L. M. Hutasoit, and J. Hutabarat, “Salinitas Airtanah Akifer
Tertekan Kedalaman 0 – 20 M Daerah Kalideres – Cengkareng, Jakarta Barat,” RISET Geologi
dan Pertambangan, vol. 27, no. 1, p. 15, 2017, doi: 10.14203/risetgeotam2017.v27.458.
[32] E. Hermawan, “Analisis Perilaku Curah Hujan di Atas Kototabang Saat Bulan Basah dan Bulan
Kering,” Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, pp. 415–
424, 2009.
[33] A. E. Selase, D. E. E. Agyimpomaa, D. D. Selasi, and D. M. N. Hakii, “Precipitation and
Rainfall Types with Their Characteristic Features,” Journal of Natural Sciences Research, vol. 5,
no. 20, pp. 89–92, 2015, [Online]. Available:
https://www.iiste.org/Journals/index.php/JNSR/article/view/26509
[34] N. Pawar, Dr. N. R. Dhamge, O. Kharkar, V. Yeole, U. Siddham, and N. Meshram, “Frequency
Analysis of Rainfall Data,” Int J Res Appl Sci Eng Technol, vol. 11, no. 5, pp. 2181–2186, 2023,
doi: 10.22214/ijraset.2023.52070.
[35] R. Maity, Probability Distributions and Their Applications. 2022. doi: 10.1007/978-981-16-
5517-3_4.
[36] T. Van Hattum and J. Worm, Rainwater harvesting for domestic use, vol. 16. 2006. [Online].
Available: http://rainfoundation.org/fileadmin/PublicSite/Manuals/AGRODOK_RWH_43-e-
2006-small.pdf%0Ahttp://rainfoundation.org/fileadmin/PublicSite/Manuals/
AGRODOK_RWH_43-e-2006-small.pdf
[37] W. Brontowiyono and R. Lupiyanto, “Pengembangan ”RWH” dari aspek ”WTP” dan ”ATP”:
Studi Kasus Yogyakarta,” Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan, vol. 2, no. 2, pp. 65–77, 2010,
doi: 10.20885/jstl.vol2.iss2.art1.
[38] G. Shively and M. Galopin, “An Overview of Benefit-Cost Analysis by,” no. January 2012, pp.
1–8, 2014.

Anda mungkin juga menyukai