Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH

HIDROLOGI

NAMA DOSEN
Ir. HARI NUGROHO, M.T.
TIM DOSEN TKBA

MAKALAH ANALISIS DEBIT BANJIR AKIBAT


PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DENGAN METODE
SCS CURVE NUMBER

OLEH :
TIFARAH DAYANSABILA PARAMADITA
NIM : 191005

PROGRAM STUDI TEKNIK KONSTRUKSI BANGUNAN AIR


POLITEKNIK PEKERJAAN UMUM
TAHUN 2020
ANALISIS DEBIT BANJIR AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN
DENGAN METODE SCS CURVE NUMBER
Tifarah Dayansabila Paramadita
Teknik Konstruksi Bangunan Air, Politeknik Pekerjaan Umum, Semarang
E-mail: tifarahparamadita18@gmail.com

ABSTRAK
Terjadi perubahan tata guna lahan di Kelurahan Sendangmulyo rentang tahun 2003–
2019 yang mengakibatkan peningkatan Curve Number sebesar 8,09%. Hal ini
mengindikasikan permukaan lahan kedap air dan areal aliran limpasan hujan (run-off) di
daerah tersebut semakin bertambah. Pada tahun 2003, lahan seluas 1,36 km²
difungsikan sebagai area persawahan. Namun pada tahun 2019 sebanyak 69,12% lahan
beralih menjadi pemukiman, 8,46% beralih menjadi tempat terbuka dengan kondisi
sedang hingga baik, dan sisanya area persawahan 22,42% tidak mengalami alih fungsi
lahan. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya pasokan resapan air akibat
bertambahnya lahan kedap air dan jika keadaan ini berlangsung terus menerus, maka
akan memberikan ancaman banjir. Studi ini bertujuan untuk memperkirakan debit
puncak hidrograf yang terjadi dan memberikan solusi berupa pembuatan sumur resapan
air hujan yang dapat meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan. Penelitian ini
mengambil lokasi di Kelurahan Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang
dengan koordinat 7°01’59.1”S 110°28’10.5”E. Hasil perhitungan Hidrograf Satuan
Sintetik metode Soil Conservation Service (SCS) membuktikan apabila di luasan
tersebut terjadi hujan dengan kedalaman hujan efektif 1,05 cm dengan durasi waktu
0,75 jam dan memiliki waktu konsentrasi 1 jam, maka debit puncak hidrograf sebesar
2,901 m³/dt/cm akan terjadi pada waktu 0,975 jam. Ini mengakibatkan debit puncak
tahun selanjutnya akan terjadi di waktu yang sama, terbukti tahun 2003 adalah 6,896
m³/dt/cm dan tahun 2019 adalah 10,507 m³/dt/cm. Dengan pertimbangan tersebut maka
dibuatlah sumur resapan untuk menurunkan grafik hidrograf satuannya dan mengurangi
limpasan. Secara umum, rancangan sumur resapan memberikan efektifitas sebesar
92,96% dalam mengurangi total limpasan.
Kata kunci: tataguna lahan, SCS, sumur resapan.

ABSTRACT
A land use change occurs in Sendangmulyo in the range of 2003–2019 which results in
Curve Number enhancement of 8,09%. This indicates impermeable surface and runoff
area in the region is increasing. In 2003, an area of 1,36 km² was used as a rice field.
However in 2019, as much as 69,12% of land turns into settlement, 8,46% turns into
open fields with moderate to good conditions, and the land-use change does not occur
in the rest 22,42% of rice field. It leads to a water catchment supplies shrinkage due to
increased impermeable land and if it lasts continuously, it will provide a flood hazard.
This study aims to estimate the hydrograph peak discharge that occurs and provides the
best solution in the form of making rainwater infiltration wells which could decrease
upcoming damage. This research takes place in Sendangmulyo, Tembalang, Semarang
with coordinates 7°01’59.1”S 110°28’10.5”E. The result of Synthetic Unit Hydrograph
Soil Conservation Service (SCS) method has proven if the area is raining with effective
precipitation of 1,05 cm, duration 0,75 hours and 1 hour concentration time, the
hydrograph peak discharge will occur at 0,975 hours. It involves in upcoming year peak
discharge similarity that will occur at the same time, it has proven in 2003 the attained
peak is about 6,896 m³/dt/cm and in 2019 is about 10,507 m³/dt/cm. Making this as
consideration, then infiltration well is created to lower its unit hydrograph and reduce
runoff. Generally, infiltration well gives efficiency up to 92,96% in order to decrease
runoff rate.
Keywords: land use, SCS, infiltration wells.

PENDAHULUAN
Air merupakan komponen penting di muka bumi dan memiliki sifat alamiah untuk
mempertahankan keseimbangan volumenya menurut hukum kekekalan massa1. Ilmu
yang mempelajari setiap fase air di bumi adalah hidrologi2. Proses daur hidrologi
menyebabkan air yang turun ke bumi mengalami infiltrasi dan limpasan permukaan
(run-off). Bisri3 berpendapat kedalaman limpasan permukaan merupakan faktor penting
dalam perencanaan ruang berlandaskan konservasi air atau kelestarian lingkungan yang
apabila jumlahnya berlebihan akan memberikan implikasi ancaman bahaya banjir.
Limpasan terjadi apabila hujan yang jatuh ke permukaan tanah tidak dapat diresap
melalui proses infiltrasi karena tanah mengalami tingkat kejenuhan maksimal. Hal ini
dipengaruhi oleh tipe tanah, luas dan kondisi tutupan lahan, durasi dan intensitas hujan,
dan keadaan meteorologi lainnya. Faktor lainnya adalah pertambahan penduduk tiap
tahun yang mengakibatkan perubahan tata guna lahan untuk pemukiman sehingga
mempengaruhi kelestarian air4.
Berdasarkan kesenjangan tersebut, perlu dicari jalan keluar untuk mempertahankan
kelestarian air tanpa melakukan perubahan pada permukaan lahan yang sudah beralih
fungsi. Metode sumur resapan air hujan menjadi salah satu cara yang cocok untuk
mengatasi permasalahan ini karena jenis tanah daerah ini adalah Tipe A yang
merupakan tanah dengan laju infiltrasi tinggi dengan potensi limpasan rendah. Sumur
resapan dapat berfungsi sebagai pengendali dan konservasi air bawah tanah tanpa harus
mengubah tampak permukaan. Tujuan pembangunan sumur resapan adalah untuk
membantu infiltrasi dan menggantikan peresap alami yang berkurang akibat meluasnya
lahan pembangunan yang menjadi kedap, tertutup jalan atau bangunan.
Maksud dari penulisan makalah ini melakukan analisis dampak dari perubahan tata
guna lahan yang terjadi antara tahun 2003 dan 2019 pada sebuah daerah pemukiman di
Kelurahan Sendangmulyo, Semarang.

1
Lomonosov-Lavoisier, “Hukum Kekekalan Massa” (Paris, 1789).
2
Indarto, Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi (Jember: Bumi Aksara, 2010).
3
Titah Prasetya Mohammad Bisri, “Imbuhan Air Tanah Buatan untuk Mereduksi Genangan,” Jurnal Rekayasa Sipil,
3, No. 1 (2009), 77.
4
Hasbullah Syaf Irwan Wunarlan, “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Produktivitas Lahan Terhadap
Alih Fungsi Lahan Perkotaan,” Jurnal Perencanaan Wilayah, 4, No. 1 (2019), 2.
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Melakukan perhitungan nilai CN dan CN komposit akibat perubahan tataguna
lahan tahun 2003 dan 2019.
2. Melakukan perhitungan besarnya hujan efektif (Pe) yang mengakibatkan
limpasan langsung.
3. Memperkirakan debit banjir maksimum menggunakan Hidrograf Satuan Sintetik
metode Soil Conservation Service Curve Number.
4. Memberi rekomendasi upaya pengelolaan dan pelestarian air dengan metode
sumur resapan air hujan.

TINJAUAN PUSTAKA
Chow5 menjelaskan fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis
terhadap permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan
manajemen sumber daya air. Penyelesaian masalah dalam usaha preventif dan kuratif
salah satunya dapat dilakukan dengan cara analisis hidrograf. L.K. Sherman6
menemukan teori hidrograf satuan yang menjelaskan volume yang dikeluarkan pada
setiap waktu mempengaruhi limpasan dan faktor waktu tersebut mempengaruhi bentuk
hidrograf menjadi konstan. Menurut Bambang Triatmodjo7, hidrograf adalah kurva
yang menunjukkan hubungan antara parameter aliran dan waktu. Parameter aliran
tersebut bisa berupa kedalaman aliran (hidrograf muka aliran) atau debit aliran
(hidrograf debit) yang dinyatakan dalam kurva satuan hidrograf. Hidrograf berfungsi
sebagai dasar pertimbangan perencanaan bangunan air, prediksi debit air yang
berpotensi banjir, gambaran komponen proses hidrologi serta hasil representasi
karakteristik catchment area8.
Hidrograf dapat dianggap sebagai kurva tanggapan impuls – dari jumlah dan bentuk
aliran air – dan curah hujan sebagai sumber impuls 9. Absis menunjukkan tanggapan
perubahan waktu akibat hujan efektif berurutan seperti yang ditunjukkan Gambar 210.
Debit akan mencapai posisi puncak (Qp) pada suatu waktu tertentu (Tp) dan akan
menurun (resesi) seiring bertambahnya waktu, lalu akan mengalami akhir resesi dari
waktu yang telah ditentukan.
L.K. Sherman11 mengenalkan konsep hidrograf satuan yang banyak digunakan
untuk melakukan transformasi dari hujan menjadi debit aliran. Hidrograf satuan
didefinisikan sebagai hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar) yang tercatat di
ujung hilir DAS akibat hujan efektif sebesar 1 mm yang terjadi secara merata pada
permukaan DAS dengan intensitas tetap dalam suatu durasi tertentu seperti Gambar 1
12
. Komponen yang berpengaruh dalam Hidrograf Satuan Sintetik yaitu13:

5
Mays L.W. Chow V.T., Maidment D.R., Applied Hydrology (New York: McGraw-Hill, 1988).
6
L. K. Sherman, National Engineering Handbook: Hydrographs (Washington D. C.: USDA, 2007).
7
Bambang Triatmodjo, Hidrologi Terapan (Yogyakarta: Beta Offset, 2008).
8
Indarto., loc. cit.
9
M. R. Djuwansah, Teknologi Indonesia: Aliran Rendah sebagai Indikator Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai,
Vol. 29, N (Jakarta: LIPI, 2006)
10
Prof. Dr. Ir. Lily Montarcih Limantara, Rekayasa Hidrologi (Yogyakarta: Andi Offset, 2018)
11
Sherman., loc. cit.
12
Triatmodjo., loc. cit.
13
“National Operational Hydrologic Remote Sensing,” HEC-HMS <www.professorpatel.com>.
UP = (Persamaan 1)

TP = (Persamaan 2)

tlag = (Persamaan 3)
tc = tsheet + tshallow + tchannel (Persamaan 4)
dimana,
UP atau QP : debit puncak hidrograf satuan (m3/dt/cm)
TP : waktu puncak (jam)
Δt : durasi hujan efektif (jam)
tlag : waktu perlambatan (jam)
Tc : waktu konsentrasi (jam)
A : luas DAS (km2)
C : konstanta konversi (2,08)
Keith M. Wolhunter14 menjelaskan tsheet adalah waktu untuk aliran yang mengalir di
permukaan dan terkadang lebih panjang dari 100 m. tshallow adalah waktu untuk aliran
yang mengalir menuju ke dalam tanah, tchannel adalah waktu untuk aliran yang mengalir
di saluran drainase ataupun gorong-gorong buatan manusia.

Gambar 1 Prinsip Hidrograf Satuan


(sumber: Triatmodjo, 2008)

Gambar 2 Komponen Hidrograf Banjir Gambar 3 Kurva Hidrograf Satuan, SCS


(sumber: Triatmodjo, 2008) (sumber: NOHRSC15, 2005)

14
Keith M. Wolhunter, Geometric Design of Roads Handbook (Florida: CRC Press, 2015).
15
“Unit Hydrograph (UHG) Technical Manual,” National Weather Service (NOHRSC), 2005.
Kemudian dikembangkan lagi metode perhitungan oleh Viktor Mockus16 yang
dinamakan Soil Conservation Service (Gambar 3). Metode ini merupakan unit hidrograf
tak berdimensi (dimensionless unit hydrograph) serta digunakan apabila suatu daerah
aliran sungai tidak terdapat alat ukur (ungauged watershed). Hujan efektif (effective
rainfall) dapat diketahui menggunakan perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik metode
Soil Conservation Service Curve Number (HSS SCS) dengan memperhatikan parameter
dari fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti tipe tanah, tanaman penutup, tata guna
lahan, kelembaban dan cara pengolahan tanah seperti117. Metode yang digunakan
adalah Soil Conservation Service yang menghitung hujan efektif dari hujan deras, dalam
bentuk persamaan berikut:
Pe = (Persamaan 5)
dengan,
Pe : kedalaman hujan efektif (mm)
P : kedalaman hujan (mm)
S : retensi potensial maksimum air oleh air tanah, yang sebagian besar adalah
karena infiltrasi (mm)
Persamaan 5 merupakan persamaan dasar untuk menghitung kedalaman hujan
efektif. Retensi potensial maksimum mempunyai bentuk berikut:
S = (Persamaan 6)

dengan CN adalah Curve Number yang memiliki rentang 0–100 yang


mengindikasikan semakin tinggi nilai CN maka permukaan lahan semakin kedap air.
Nilai CN dalam Gambar 4 berlaku untuk antecedent moisture conditions (kondisi
kelengasan awal) normal (AMC II)18.
CN (II) = (Persamaan 7)

Gambar 4 Hujan Efektif sebagai Fungsi Hujan dan CN


(sumber: Triatmodjo, 2008)

16
Victor Mockus, National Engineering Handbook: Hydrology (Washington D. C.: USDA, 1972).
17
Didit Puji Riyanto, Hidrograf Satuan Sintetik dengan Metode Soil Conservation Service (Semarang: TKBA, 2020).
18
Triatmodjo., loc. cit.
Apabila nilai CN pada lokasi yang diteliti belum tersedia maka dapat menggunakan
CN yang telah diperoleh dari penelitian di daerah beriklim sedang (Gambar 5). Jika
terdapat beberapa tata guna lahan dengan tipe yang berbeda maka perlu dihitung CN
kompositnya.
Perkembangan dan pertumbuhan kota senantiasa dibarengi dengan pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan ekonomi dan alih fungsi lahan19. Penggunaan lahan semakin
meningkat untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang akan menyebabkan ketersediaan
lahan sebagai area resapan air berkurang20. Tata guna lahan akan berpengaruh terhadap
prosentase air yang meresap ke dalam tanah dengan aliran permukaan. Pada lahan yang
banyak tertutup beton bangunan, air hujan yang mengalir di permukaan tanah akan lebih
besar dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah21.

Gambar 5 Nilai CN untuk Beberapa Tata Guna Lahan


(sumber: Triatmodjo, 2008)

Metode sumur resapan diilhami oleh tersedianya jenis tanah dengan potensi
limpasan rendah dan mempunyai laju infiltrasi tinggi terutama untuk tanah pasir (deep
sand) dengan silly dan clay sangat sedikit; kerikil (gravel) yang sangat lulus air22 seperti
pada Gambar 6. Jenis tanah ini dapat mengoptimalkan sumur resapan agar dapat
mengisi air tanah dan selanjutnya dengan pergerakan yang lebih lambat akan bergabung

19
S. Sangwan S. Kumar, “Urban Growth, Land Use Changes and Its Impact on Cityscape in Sonipat City Using
Remote Sensing and GIS Techniques,” International Journal of Advanced Remote Sensing and GIS, 118, No. 1
(2013), 1–29.
20
Sueca Rupini, Dewi, “Implikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Perkembangan Spasial Daerah Pinggiran Kota
(Studi Kasus: Desa Batubulan, Gianyar),” Jurnal Ilmiah Arsitektur, 5, No. 2 (2017), 9–18.
21
Mohammad Bisri., op.cit., hlm. 80.
22
Triatmodjo., op.cit., hlm. 158.
dengan pengaliran di sungai. Proses ini akan senantiasa berlangsung terus menerus dan
menjaga keseimbangan air di alam23.

Gambar 6 Klasifikasi Tanah secara Hidrologi Berdasarkan Tekstur Tanah


(sumber: Triatmodjo, 2008)

METODE PENELITIAN
Lokasi Studi
Studi ini mengambil lokasi di Kelurahan Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang,
Kota Semarang (Gambar 7). Kelurahan Sendangmulyo kini adalah sebuah kawasan
pemukiman yang sedang berkembang (Gambar 8). Sebagai wilayah perumahan, maka
tidak mengherankan apabila kelurahan ini mengalami perubahan tata guna lahan akibat
kebutuhan penduduk yang semakin bertambah. Banyak pembangunan fisik yang
dilaksanakan. Hal ini turut menyebabkan kondisi tutupan lahan di kawasan ini
berkurang kemampuannya untuk meloloskan air, sehingga sebagian jumlah air yang
seharusnya meresap ke dalam tanah menjadi melimpas langsung di permukaan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu
data yang dikumpulkan dari instansi terkait. Jenis data yang dibutuhkan adalah:
1. Peta situasi lokasi
2. Data hujan efektif tahun 2003 dan 2019
3. Data jenis tanah
Metode analisis dilakukan melalui pendekatan analisis dengan menggunakan model
statistik yang telah ada, yaitu:
1. Menghitung perbedaan Curve Number menggunakan kelengasan normal (AMC
II) antara tahun 2003 dan 2019 dengan memperhatikan jenis tanah yang ada
2. Menghitung kedalaman hujan efektif (Pe) antara tahun 2003 dan 2019 dan
membuat hidrograf satuannya

23
Mohammad Bisri Donny Harisuseno, Limpasan Permukaan secara Keruangan (Spatial Runoff) (Malang: Tim UB
Press, 2017), hlm. 18.
Gambar 7 Citra Satelit Google Earth Tahun 2003
(sumber: Riyanto, 2020)

Gambar 8 Citra Satelit Google Earth Tahun 2019


(sumber: Riyanto, 2020)

PEMBAHASAN
Analisis Perhitungan
Perhitungan debit banjir maksimum menggunakan HSS SCS yang menyatakan
aliran permukaan terdistribusi secara merata dalam suatu daerah tangkapan air. Telah
diketahui lahan seluas 1,36 km² mengalami alih fungsi lahan antara tahun 2003 dan
2019 (Tabel 1). Awal mulanya (lihat Gambar 9), seluruh lahan pada daerah A
merupakan areal persawahan. Selama 16 tahun kemudian, areal tersebut mengalami
beberapa perubahan. Perubahan tata guna lahan yang terjadi disesuaikan dengan nilai
CN tipe tanah A (lihat Gambar 5) adalah daerah A tetap mempertahankan fungsinya
sebagai tanah yang diolah dan ditanami tanpa konservasi atau area persawahan, daerah
B berubah menjadi pemukiman dengan luasan 65% kedap air, daerah C1 berubah
menjadi tempat terbuka kondisi sedang, daerah C2 berubah menjadi tempat terbuka
kondisi baik, serta daerah C3 berubah menjadi pemukiman dengan luasan 30% kedap
air.
Luas Lahan (km²)
Jenis Tahun
Lahan 2003 2019
A 1,36 0,3049
B 0 0,87
C1 0 0,0951
C2 0 0,02
C3 0 0,07
Total 1,36 1,36
Tabel 1 Perhitungan Perubahan Tata Guna Lahan

C1

Keterangan:
A A : Tanah yang diolah dan ditanami tanpa
C2
konservasi

B : Pemukiman dengan luasan 65% kedap air

C1 : Tempat terbuka kondisi sedang


C3
C2 : Tempat terbuka kondisi baik

C3 : Pemukiman dengan luasan 30% kedap air

Gambar 9 Perubahan Tata Guna Lahan Citra Satelit


(sumber: Riyanto, 2020)

Dengan kondisi tersebut menimbulkan perubahan fungsi karakteristik daerah aliran


sungai yang mempengaruhi nilai CN (Tabel 2 dan Tabel 3).
Penggunaan Tata Guna Lahan Tahun 2003 Kondisi CN (II)
A B C1 C2 C3
% 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
CN 62 62 62 62 62
%*CN 6200,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6200,00
Tabel 2 Nilai CN Tahun 2003
Penggunaan Tata Guna Lahan Tahun 2019 Kondisi CN (II)
A B C1 C2 C3
% 22,42 63,97 6,99 1,47 5,15
CN 62 77 49 39 57
%*CN 1389,99 4925,74 342,64 57,35 293,38 7009,10
Tabel 3 Nilai CN Tahun 2019

Dari perhitungan CN tersebut, maka didapat CN komposit dengan tipe tanah A


tahun 2003 sebesar 62,00 dan tahun 2019 sebesar 70,09. CNk ini dapat membantu
menemukan nilai kedalaman hujan efektif (Persamaan 5), retensi potensial maksimum
(Persamaan 6), serta kondisi kelengasan normal CN-II (Persamaan 7) yang menjadi
indikator terjadinya limpasan akibat berkurangnya kemampuan tanah dalam meresap
air. Limpasan terjadi apabila nilai kedalaman hujan (P) lebih besar dari Ia. Apabila nilai
P sudah diketahui, maka Ia didapat dari rumus:
Ia =
dimana, S : retensi potensial maksimum air oleh tanah (Persamaan 6)
CNk 62,00
S 155,68 mm
P 105,00 mm
P > Ia, terjadi limpasan
Ia 31,14
Pe 23,77 mm
Tabel 4 Kedalaman Hujan Tahun 2003

CNk 70,09
S 108,39 mm
P 105,00 mm
P > Ia, terjadi limpasan
Ia 21,68
Pe 36,21 mm
Tabel 5 Kedalaman Hujan Tahun 2019

Kedua perhitungan tersebut menunjukkan kedalaman hujan berpotensi


menimbulkan limpasan. Kemudian dicari debit banjir maksimum dengan data yang
diketahui sebagai berikut:
Terjadi hujan pada daerah di Kelurahan Sendangmulyo memiliki daerah tangkapan
air seluas 1,36 km2 dengan waktu konsentrasi 1 jam. Hujan terjadi (durasi hujan efektif)
selama 45 menit, kedalaman hujan sebesar 1,05 mm.
Menurut Persamaan 3, waktu perlambatan yang terjadi adalah 0,6 jam. Didapat debit
puncak hidrograf satuan (lihat Persamaan 1) pada daerah tersebut sebesar 2,901
m3/dt/cm pada waktu 0,975 jam (lihat Persamaan 2). Dari hidrograf satuan tersebut,
dapat diperkirakan debit puncak hidrograf yang terjadi pada tahun 2003 dan 2019
berdasarkan nilai kedalaman hujan efektif yang terdapat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Sehingga didapat grafik hidrograf satuan, hidrograf tahun 2003 dan hidrograf tahun
2019.
12.0

10.0
Debit banjir (m3/dt/cm)

8.0

6.0

4.0

2.0

0.0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Waktu (jam)

Hidrograf Satuan Hidrograf th. 2003 Hidrograf th. 2019

Grafik 1 Hidrograf Gabungan

Berdasarkan Grafik 1, terjadi peningkatan debit banjir yang ditunjukkan oleh grafik
warna jingga dan abu-abu. Debit puncak pada tahun 2003 sebesar 6,896 m3/dt/cm dan
meningkat drastis di tahun 2019 menjadi 10,507 m3/dt/cm. Debit tahunan didapat dari
perkalian debit satuan dengan kedalaman hujan efektif yang dipengaruhi faktor curve
number (Persamaan 7). Sementara itu, semakin tinggi curve number maka permukaan
lahan semakin kedap air. Ini menandakan berkurangnya kemampuan tanah menyerap air
akibat kondisi lahan yang kurang vegetasi dan tertutup bangunan. Selaras dengan
perubahan tata guna lahan pada Gambar 9. Padahal air membutuhkan sifat alamiahnya
untuk melakukan siklus hidrologi. Akibatnya, air yang tidak tertampung kemudian
menjadi limpasan.

Analisis Sumur Resapan


Sumur resapan untuk membantu infiltrasi air hujan direncanakan sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia mengenai Sumur dan Parit Resapan Air Hujan.
Perencanaan desain pada sumber ini merupakan rujukan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan prasarana sumur resapan air hujan di Indonesia24. Air hujan
yang turun dalam jangka waktu tertentu akan dilimpaskan ke sumur resapan. Pada
Gambar 10 menunjukkan aliran air hujan dari atap bangunan disalurkan ke sumur
resapan melalui pipa talang. Sedangkan Gambar 11 menunjukkan air hujan dari atap
bangunan disalurkan ke sumur resapan melalui saluran air hujan. Konstruksi yang
dipilih disesuaikan dengan kondisi lapangan yang memungkinkan.

24
BSN, “Sumur dan Parit Resapan Air Hujan,” SNI 8256:2017, 2017, 12–13.
Gambar 10 Konstruksi Sumur Resapan Air Hujan
(sumber: BSN, 2017)

Gambar 11 Konstruksi Sumur Resapan Air Hujan


(sumber: BSN, 2017)
Untuk dapat mengetahui persentase debit limpasan yang dapat ditampung dengan
sumur resapan, perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai perhitungan curah hujan
rencana dengan periode ulang tertentu, perhitungan tata guna lahan dan koefisien
limpasan, penentuan nilai koefisien permeabilitas, volume andil banjir total, serta
perencanaan dimensi dan jumlah bangunan resapan25. Dengan memperhatikan
kesenjangan itulah maka dilakukan perbandingan tampungan limpasan berdasarkan
penelitian dan literatur terkait, yaitu perhitungan efektifitas sumur resapan dengan
metode Sunjoto dan SNI 03-2453-2002 tentang “Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan
Air Hujan untuk Pekarangan”. Hasil yang diperoleh dari data-data tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Sebanyak 53,926 m3/detik dapat ditampung dari total debit limpasan 56,874
m3/detik. Efektifitas sumur resapan sebesar 94,81%(26).
2. Sebanyak 620,62 m3 dapat ditampung dari total volume andil banjir 805,79 m3.
Efektifitas sumur resapan sebesar 77,02%(27).
3. Volume resapan sebesar 3022,5 m3 dapat ditampung dari debit total hujan jam-
jaman dengan kala ulang 2 tahun 2627,468 m3. Efektifitas sumur resapan
sebesar 100%(28).
4. Volume resapan sebesar 15,06 m3 dapat ditampung dari volume air hujan 5,625
m3. Efektifitas sumur resapan sebesar 100%(29).
Maka didapatlah rata-rata efektifitas sumur resapan sebesar 92,96%. Rancangan
sumur resapan dapat dikatakan efektif dalam mengurangi total limpasan meskipun tidak
semua limpasan dapat diserap ke dalam tanah. Kendati demikian, bangunan resapan ini
mampu menambah waktu tampung air untuk meresap ke dalam tanah, mengurangi debit
banjir, dan mengurangi lebih dari 50% limpasan total yang terjadi30.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Nilai CN menggunakan data yang telah diperoleh dari penelitian di daerah
beriklim sedang. Nilai CN komposit pada tahun 2003 adalah 62,00 kemudian
mengalami peningkatan pada tahun 2019 menjadi 70,09 akibat perubahan tata
guna lahan dengan tipe yang berbeda.

25
Roh Waspodo Lussiany Bahunta, “Rancangan Sumur Resapan Air Hujan sebagai Upaya Pengurangan Limpasan di
Kampung Babakan, Cibinong, Kabupaten Bogor,” Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan, 4, No. 1 (2019), 46.
26
Fauzul Rizal Sutikno Ayu Wahyuningtyas, Septiana Hariyani, “Strategi Penerapan Sumur Resapan sebagai
Teknologi Ekodrainase di Kota Malang (Studi Kasus: Sub Das Metro),” Jurnal Tata Kota dan Daerah, 3, No. 1
(2011), 29.
27
Lussiany Bahunta., loc. cit.
28
Chairil Saleh, “Kajian Penanggulangan Limpasan Permukaan dengan Menggunakan Sumur Resapan (Studi Kasus
di Daerah Perumnas Made Kabupaten Lamongan),” Jurnal Media Teknik Sipil, 9, No. 2 (2011), 123.
29
H. Azwarman, “Kajian Sumur Resapan Antisipasi Genangan Air pada Perumahan Permata Kenali untuk
Pencegahan Banjir,” Jurnal Ilmiah Universitas Batangkari Jambi, 15, No. 2 (2015), 4.
30
Lussiany Bahunta., loc. cit.
2. Limpasan langsung terjadi akibat hujan efektif sebesar 23,77 mm pada 2003 dan
36,21 mm pada 2019.
3. Debit banjir maksimum (puncak) yang terjadi sebesar 2,901 m3/dt/cm pada
waktu 0,975 jam dengan kadar kelengasan normal. Kondisi ini mempengaruhi
debit puncak pada tahun 2003 sebesar 6,896 m3/dt/cm dan tahun 2019 sebesar
10,507 m3/dt/cm. Selain itu terjadi kenaikan kedalaman hujan efektif (Pe)
sebesar 8,09% dari 23,77 mm menjadi 36,21 mm disebabkan adanya perubahan
tata guna lahan pada daerah dengan luasan 1,36 km2. Seluas 69,12% berubah
menjadi pemukiman, 8,46% berubah menjadi tempat terbuka dan sisanya
22,42% tetap menjadi persawahan.
4. Upaya untuk mengatasi perubahan tata guna lahan agar kelestarian air dapat
terjaga dilakukan dengan sumur resapan air hujan. Kondisi tanah tipe A yang
yang laju infiltrasinya tinggi mendukung rekomendasi sumur resapan sebagai
alat bantu mengurangi limpasan air hujan. Skema yang digunakan mengacu pada
SNI 8256:2017. Dengan melakukan perbandingan data, secara umum sumur
resapan dapat mengurangi laju limpasan hingga 92,96% dan dinilai efektif untuk
mengurangi debit banjir maksimum.

Saran
1. Data yang tersedia untuk perhitungan masih terbatas sehingga memungkinkan
lemahnya akurasi perhitungan dengan kondisi nyata di lapangan. Parameter yang
digunakan seharusnya lebih lengkap dengan memperhatikan faktor lain, seperti
faktor sosial masyarakat mengenai sampah yang menghalangi laju air.
2. Sumur resapan merupakan solusi yang hemat dan dapat digabungkan antar
beberapa rumah tinggal. Namun bisa jadi sumur resapan menjadi tidak terlalu
dibutuhkan akibat dampak limpasan tidak terlalu membahayakan. Untuk itu
perlu diadakan perhitungan lebih lanjut mengenai persentase air yang masuk ke
dalam tanah dengan air yang melaju di permukaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ayu Wahyuningtyas, Septiana Hariyani, Fauzul Rizal Sutikno, “Strategi Penerapan
Sumur Resapan sebagai Teknologi Ekodrainase di Kota Malang (Studi Kasus: Sub
Das Metro),” Jurnal Tata Kota dan Daerah, 3, No. 1 (2011), 29
Azwarman, H., “Kajian Sumur Resapan Antisipasi Genangan Air pada Perumahan
Permata Kenali untuk Pencegahan Banjir,” Jurnal Ilmiah Universitas Batangkari
Jambi, 15, No. 2 (2015), 4
BSN, “Sumur dan Parit Resapan Air Hujan,” SNI 8256:2017, 2017, 12–13
Chow V.T., Maidment D.R., Mays L.W., Applied Hydrology (New York: McGraw-Hill,
1988)
Djuwansah, M. R., Teknologi Indonesia: Aliran Rendah sebagai Indikator Fungsi
Hidrologi Daerah Aliran Sungai, Vol. 29, N (Jakarta: LIPI, 2006)
Donny Harisuseno, Mohammad Bisri, Limpasan Permukaan secara Keruangan (Spatial
Runoff) (Malang: Tim UB Press, 2017)
Indarto, Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi (Jember: Bumi
Aksara, 2010)
Irwan Wunarlan, Hasbullah Syaf, “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan
Produktivitas Lahan Terhadap Alih Fungsi Lahan Perkotaan,” Jurnal Perencanaan
Wilayah, 4, No. 1 (2019), 2
Limantara, Prof. Dr. Ir. Lily Montarcih, Rekayasa Hidrologi (Yogyakarta: Andi Offset,
2018)
Lomonosov-Lavoisier, “Hukum Kekekalan Massa” (Paris, 1789)
Lussiany Bahunta, Roh Waspodo, “Rancangan Sumur Resapan Air Hujan sebagai
Upaya Pengurangan Limpasan di Kampung Babakan, Cibinong, Kabupaten
Bogor,” Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan, 4, No. 1 (2019), 46
Mockus, Victor, National Engineering Handbook: Hydrology (Washington D. C.:
USDA, 1972)
Mohammad Bisri, Titah Prasetya, “Imbuhan Air Tanah Buatan untuk Mereduksi
Genangan,” Jurnal Rekayasa Sipil, 3, No. 1 (2009), 77
“National Operational Hydrologic Remote Sensing,” HEC-HMS
<www.professorpatel.com>
Riyanto, Didit Puji, Hidrograf Satuan Sintetik dengan Metode Soil Conservation
Service (Semarang: TKBA, 2020)
Rupini, Dewi, Sueca, “Implikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Perkembangan
Spasial Daerah Pinggiran Kota (Studi Kasus: Desa Batubulan, Gianyar),” Jurnal
Ilmiah Arsitektur, 5, No. 2 (2017), 9–18
S. Kumar, S. Sangwan, “Urban Growth, Land Use Changes and Its Impact on Cityscape
in Sonipat City Using Remote Sensing and GIS Techniques,” International
Journal of Advanced Remote Sensing and GIS, 118, No. 1 (2013), 1–29
Saleh, Chairil, “Kajian Penanggulangan Limpasan Permukaan dengan Menggunakan
Sumur Resapan (Studi Kasus di Daerah Perumnas Made Kabupaten Lamongan),”
Jurnal Media Teknik Sipil, 9, No. 2 (2011), 123
Sherman, L. K., National Engineering Handbook: Hydrographs (Washington D. C.:
USDA, 2007)
Triatmodjo, Bambang, Hidrologi Terapan (Yogyakarta: Beta Offset, 2008)
“Unit Hydrograph (UHG) Technical Manual,” National Weather Service (NOHRSC),
2005
Wolhunter, Keith M., Geometric Design of Roads Handbook (Florida: CRC Press,
2015)

Anda mungkin juga menyukai