Anda di halaman 1dari 61

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RESPON LIMPASAN


DI DAS CILIWUNG HULU

PRAHDITIYA RISKIYANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh Perubahan
Penggunaan Lahan terhadap Respon Limpasan di DAS Ciliwung Hulu adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Prahditiya Riskiyanto

NIM G24110026
ABSTRAK

PRAHDITIYA RISKIYANTO. Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan


Lahan terhadap Respon Limpasan di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh
BAMBANG DWI DASANTO.

Peningkatan perubahan penggunaan lahan, curah hujan, dan karakter fisik


DAS akan mempengaruhi nilai hidrograf yang menyebabkan DAS Ciliwung Hulu
masuk dalam kategori DAS kritis di Provinsi Jawa Barat. Hidrograf aliran pada
penelitian ini diprediksi dengan model hidrologi di bawah kondisi baseline dan
skenario perubahan penggunaan lahan dan curah hujan. Analisis perubahan
penggunaan lahan menggunakan data penggunaan lahan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) tahun 2025 sedangkan analisis perubahan curah hujan
menggunakan data proyeksi curah hujan model IPSL-CM5A-LR tahun 2025
dengan skenario RCP 4.5. Berdasarkan kondisi baseline, hidrograf aliran hasil
model menunjukkan nilai total limpasan sekitar 4,25 x 106 m3 sementara nilai
pengamatan 3,81 x 106 m3; ini berarti nilai akurasi antara hidrograf aliran model
dan pengamatan sekitar 0,66. Hasil penelitian menunjukkan nilai total volume
limpasan tertinggi dihasilkan pada Skenario-2 (4,63 x 106 m3) sedangkan terendah
Skenario-1 (3,85 x 106 m3). Jenis penggunaan lahan yang paling sensitif terhadap
perubahan limpasan adalah tutupan lahan hutan. Skenario dengan penggunaan
lahan existing menghasilkan debit dan limpasan yang lebih tinggi dibanding
RTRW. Penggunaan lahan sesuai arahan RTRW menjadi skenario yang
direkomendasikan untuk menghadapi peningkatan curah hujan di masa depan.

Kata kunci: Curah hujan, HEC-HMS, hidrograf aliran, penggunaan lahan, RTRW
ABSTRACT

PRAHDITIYA RISKIYANTO. Analysis of Land Use Change Effect toward


Runoff Response in Upper Ciliwung Watershed. Supervised by BAMBANG DWI
DASANTO.

The increasing of land use change, precipitation, and physical characteristic


of watershed will influence hydrograph value causing Upper Ciliwung Watershed
is include to critical watershed category in West Java Province. Flow hydrograph
in this research was predicted by hydrologic model under the condition on baseline
and scenarios of land use change and precipitation change. Land use change
analysis used Urban Land Use Plan (RTRW) data on 2025 whereas precipitation
change analysis used the projection of precipitaton data from IPSL-CM5A-LR
model on 2025 with 4.5 RCP scenario. Based on baseline condition, the flow
hydrograph of model indicated total value of runoff about 4,25 x 106 m3 while
observation value 3,81 x 106 m3; this fact indicate that accuration value between
flow hydrograph model and observation is about 0,66. The result of this research
indicated the highest of total runoff volume outcome from scenario-2 (4,63 x 106
m3) whereas the lowest is scenario-1 (3,85 x 106 m3). The most sensitive land use
toward runoff change is forest land cover. Scenario with existing land use produces
the higher discharge and runoff than RTRW. Land use appropiated RTRW direction
become a recommended scenario for confronting the increase of precipitation in the
future.

Keywords: Flow hydrograph, HEC-HMS, land use, precipitation, RTRW


ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN
PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RESPON LIMPASAN DI
DAS CILIWUNG HULU

PRAHDITIYA RISKIYANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi: Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respon
Limpasan di DAS Ciliwung Hulu
Nama : Prahditiya Riskiyanto
NIM : 024110026

Disetujui oleh

- cj�
Dr Bambang Dwi Dasanto, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

..,-:.·.

Tanggal Lulus: 1 2 MAY 2016


PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kehadirat kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga diberikan kesempatan dan kesehatan untuk dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi
syarat melaksanakan tugas akhir pada Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Judul
yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan
Lahan terhadap Respon Limpasan di DAS Ciliwung Hulu”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Bambang Dwi Dasanto M.Si selaku pembimbing skripsi atas ilmu,
arahan dan kesabaran dalam membimbing penulis.
2. Bapak, Ibu dan adik atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
3. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane.
4. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ciliwung Citarum.
5. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bogor
dan Kota Bogor.
6. Dosen dan staf Departemen GFM serta keluarga GFM 47, 48, 49 dan 50 atas
bantuan dan doanya.
7. Sahabat seperjuangan “Geng Ciliwung” Rizky, Diah, Neni, Okta yang setia
menemani dan membantu selama penelitian.
8. Kak Aul, Nita, Alvin, Taufik, dan Radini yang telah membantu dalam
kelengkapan data.
9. Heidei, Fakhrul, Priyo, Pungky, dan Mbak Enggar atas ilmu dalam pengolahan
data.
10. Keluarga “Yayasan SHM Jaya” Udin, Ridwan, Adit, Ijal, Dion, Yudi, serta
para “Ladies GFM 48” Luta, Afni, Ucy, Hawa, dan Irma yang selalu
memberikan semangat, nasihat dan persahabatan.
11. Ikrom, Gigih, Furqon, Alfi, Mbak Anis, Mbak Nihay, dan Ina atas diskusi,
bantuan, semangat, dukungan dan kekeluargaannya.
12. Keluarga “Wisma Hijau” Amin, Baim, Ahmad, Hasan, Dendi, Dayat, Mas
Firman, Angger, Bang Yoppy, dan Mbak Tia beserta keluarga.
13. Keluarga LHMAS, Nitrogen, UKM Agreemove IPB, Embassy IPB, dan
Keluarga Bara Improvement Project (BIP).
14. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas semua
dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016

Prahditiya Riskiyanto
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Daerah Aliran Sungai 2
Penggunaan Lahan 2
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2
Limpasan 3
Perubahan Curah Hujan 3
Hidrograf Aliran 4
Hidrograf Satuan 5
Model HEC-HMS 5
METODE PENELITIAN 6
Alat 6
Data 6
Prosedur Analisis Data 7
Keadaan Umum DAS Ciliwung Hulu 8
Analisis Curah Hujan Wilayah 10
Penyusunan Hidrograf Aliran Pengamatan 10
Penyusunan Hidrograf Satuan 11
Penyusunan Hidrograf Aliran Model 11
Kalibrasi Parameter dan Uji Model HEC-HMS 14
Simulasi Hidrograf Aliran HEC-HMS dengan Perbedaan Kondisi 15
HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Analisis Presipitasi 16
Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu 17
Nilai Parameter Loss models dan Tranform models 19
Hidrograf Aliran Pengamatan 21
Hidrograf Aliran HEC-HMS 22
Pengujian Model HEC-HMS 24
Simulasi Hidrograf Aliran Model HEC-HMS 24
Limpasan Permukaan Langsung 26
SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
DAFTAR PUSTAKA 28
x

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan sumber data yang digunakan 6


2 Luas Kelas Kelerengan DAS Ciliwung Hulu 9
3 Morfometri DAS Ciliwung Hulu 9
4 Elemen-elemen hidrologi penyusun basin model 11
5 Kelompok Hidrologi Soil Group (HSG) beserta laju infiltrasi 13
6 Perbandingan curah hujan wilayah selama 2 hari dari model IPSL-CM5A
-LR dan pengamatan di setiap sub-DAS 16
7 Luas pengggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2000, 2012, dan
RTRW 19
8 Nilai parameter loss dan transform pada pengggunaan lahan berdasarkan
kondisi existing dan RTRW 20
9 Parameter hidrograf pengamatan pada kejadian hujan terpilih 21
10 Nilai komponen hidrograf aliran HEC-HMS dan pengamatan 23
11 Skema 4 kondisi untuk simulasi model HEC-HMS berdasarkan variabel
curah hujan dan penggunaan lahan 24
12 Parameter Hidrograf model HEC-HMS berdasarkan simulasi 4 kondisi 25
13 Nilai elemen respon terhadap curah hujan pada 4 kondisi hasil simulasi 26

DAFTAR GAMBAR

1 Kecenderungan pola perubahan curah hujan di Jawa 4


2 Bagian-bagian hidrograf 4
3 Diagram alir metode penelitian 7
4 Posisi lokasi wilayah penelitian, A) Lokasi DAS Ciliwung Hulu; B)
Jaringan sungai dan pembagian sub DAS Ciliwung Hulu 8
5 Konstruksi curah hujan wilayah metode poligon Thiessen 10
6 A) Peta jenis tanah; B) Peta kelompok hidrologi tanah (HSG) 17
7 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu A) Tahun 2000; B) Tahun
2012; C) RTRW 2005-2025 18
8 Grafik hidrograf aliran pada kejadian hujan terpilih 21
9 Konfigurasi elemen basin model HEC-HMS DAS Ciliwung Hulu 22
10 Hasil hidrograf aliran model HEC-HMS 23
11 Debit hasil simulasi model HEC-HMS (baseline, skenario-1, skenario-2,
dan skenario-3) 25
xi

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta penggunaan lahan tahun 2012 dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DAS Ciliwung Hulu tahun 2005-2025 30
2 Peta jenis tanah dan peta kelompok hidrologi tanah DAS Ciliwung Hulu 31
3 Bilangan kurva untuk berbagai tipe penggunaan lahan dan jenis tanah 32
4 Nilai curah hujan jam-jaman sebelum dan setelah perubahan CH 33
5 Nilai hidrograf aliran pengamatan dan skenario HEC-HMS 35
6 Bobot poligon Thiessen pada masing-masing sub-DAS Ciliwung Hulu 36
7 Nilai parameter baseflow models sebagai masukkan HEC-HMS 36
8 Nilai parameter routing model sebagai masukkan HEC-HMS 37
9 Nilai parameter awal dan setelah kalibrasi 37
10 Langkah-langkah pengerjaan HEC-HMS 38
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

DAS Ciliwung termasuk dalam DAS kritis yang ada di Jawa Barat dan telah
ditetapkan menjadi salah satu DAS super prioritas di Indonesia (BPDAS Ciliwung-
Citarum 2007). Kriteria DAS kritis ini salah satunya adalah terjadinya degradasi
DAS yang ditandai dengan adanya fluktuasi debit yang tinggi antara musim hujan
dan kemarau (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Menurut Swandayani (2010),
degradasi DAS Ciliwung disebabkan oleh perubahan iklim termasuk variabilitas
iklim, topografi, dan penggunaan lahan.
Wilayah DAS Ciliwung Hulu berada di Kabupaten Bogor, tepatnya di kaki
Gunung Gede-Pangrango. Letak wilayah ini strategis dan merupakan penyangga
untuk kota besar seperti Jakarta dan kota-kota yang ada disekitarnya. Akibat kondisi
ini laju pertumbuhan dan perpindahan penduduk mengalami peningkatan.
Sementara itu, perkembangan wilayah memacu tumbuhya sektor pariwisata,
permukiman dan sektor pendukung lainnya. Pertumbuhan penduduk dan
perkembangan wilayah telah mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Konversi lahan yang terjadi akan
mempengaruhi kondisi fisik DAS dan ini akan mempengaruhi kuantitas air
limpasan di DAS Ciliwung Hulu (Pawitan 2006; Swandayani 2010).
DAS Ciliwung juga rentan terhadap perubahan iklim (KNLH 1998;
Swandayani 2010). Perubahan iklim ini berdampak pada perubahan pola hujan
secara spasio-temporal. IPCC (Inter-governmental Panel on Climate Change) telah
mengeluarkan laporan terbaru yaitu (Five Assessment Report) AR-5 terkait skenario
emisi RCP (Representative Carbon Pathway) yang disusun berdasarkan target
konsentrasi GRK yang ingin dicapai. Secara regional, hasil proyeksi curah hujan di
beberapa wilayah Indonesia berdasarkan model mengindikasikan terdapat
penurunan curah hujan di sebagian wilayah, sedangkan di wilayah lain mengalami
peningkatan (Susandi et al. 2008). Peningkatan curah hujan yang terjadi akan
berpengaruh pada peningkatan debit di DAS Ciliwung Hulu (BPDAS Ciliwung-
Citarum 2007).
Perubahan iklim dan penggunaan lahan akan mempengaruhi proses konversi
hujan menjadi limpasan di suatu DAS. Analisis respon suatu wilayah terhadap
limpasan dibutuhkan dalam pengelolaan DAS. Limpasan dapat dianalisis
berdasarkan karakteristik hidrograf aliran yang dapat disusun menggunakan model
hidrologi, antara lain model HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-
Hydrology Modelling System). HEC-HMS merupakan model aplikasi yang
dikembangkan oleh US Army Corps of Engineers-Institute for Water Recources
untuk mensimulasi proses curah hujan-limpasan pada wilayah DAS (USACE
2013). HEC-HMS menghasilkan hidrograf aliran model yang perlu dibandingkan
dengan hidrograf aliran pengamatan. Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.
2

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan nilai hidrograf aliran berdasarkan skenario perubahan penggunaan


lahan dan curah hujan.
2. Analisis kelayakan model HEC-HMS untuk simulasi debit akibat perubahan
penggunaan lahan dan curah hujan di DAS Ciliwung Hulu.
3. Evaluasi perubahan penggunaan lahan dan curah hujan berdasarkan respon
hidrologi hasil skenario.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi topografi berupa
punggung-punggung gunung yang terpisah dari wilayah lain di sekitarnya dan
wilayah ini akan menampung air hujan yang jatuh pada daerah tersebut kemudian
dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama hingga akhirnya menuju laut
atau danau (Asdak 2007). DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi yang
dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi.
DAS menjadi sistem penting dalam mentransformasikan curah hujan menjadi debit
aliran. Analisa terhadap sistem hidrologi DAS menjadi penting untuk mengetahui
dan memahami perilaku DAS terhadap curah hujan sehingga dapat memperkirakan
komponen hidrograf aliran dalam waktu tertentu (Harto 2000).

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) adalah kegiatan campur tangan (intervensi)


manusia terhadap bidang lahan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Lillesand dan Kiefer 1997). Adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial-
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang menyebabkan terjadinya proses
perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS
bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan
wilayah. Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali dapat berakibat buruk
terhadap daya dukung DAS. Dampak yang ditimbulkannya berupa perubahan nilai
hidrograf aliran (Hartanto 2009).

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang


meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, dan tataguna sumberdaya
lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional agar
terwujud keharmionisan antara lingkungan alami dan buatan, keterpaduan dalam
penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan
sumberdaya manusia, dan terwujud perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al.
2010).
3

Limpasan

Limpasan permukaan berasal dari bagian curah hujan yang tidak masuk ke
dalam tanah sehingga mengalir di permukaan, atau masuk ke dalam tanah yang
jenuh air sehingga air tersebut ke luar ke permukaan dan mengalir di permukaan
menuju tempat yang lebih rendah seperti sungai, danau dan lautan (Seyhan 1977;
Asdak 2007). Limpasan permukaan dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama,
faktor meteorolgi meliputi intensitas curah hujan, durasi atau lamanya hujan, dan
distribusi curah hujan dalam daerah aliran. Kedua, faktor karakteristik DAS
diantaranya tata guna lahan, topografi, dan kemiringan lereng (Asdak 2007).

Perubahan Curah Hujan

Peningkatan tingginya frekuensi intensitas curah hujan diakibatkan oleh


fenomena heat island dan perubahan iklim yang telah ditunjukkan dalam beberapa
waktu terakhir (IPCC 2013). Perubahan iklim dipengaruhi oleh pemanasan global
yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Jika
suhu global melebihi 2oC pada tahun 2050; hal ini akan menimbulkan masalah
perubahan iklim yang semakin sulit dikendalikan. Atas dasar tersebut Panel Antar
Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah menyusun skenario emisi yang
disebut skenario RCP (Representatuve Carbon Pathhway) dan ini disusun
berdasarkan target konsentrasi GRK yang ingin dicapai (IPCC 2013).
Menurut Moss et al (2008) ada empat skenario RCP yaitu RCP 2.6, RCP 4.5,
RCP 6.5 dan RCP 8.5. Kondisi ideal yang diharapkan ialah skenario RCP 2.6
melalui upaya mitigasi dalam rangka menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat
450 ppm dengan peluang kenaikan suhu diatas 2oC berada dibawah 50% (MoE
2010; Faqih 2011). Berdasarkan pertumbuhan emisi yang ada dan pertimbangan
berbagai kondisi negara, target emisi yang mengikuti skenario RCP 2.6 sulit
dicapai, sehingga skenario yang diharapkan terjadi ialah skenario RCP 4.5 (MoE
2010). Jika upaya mitigasi tidak dilakukan maka skenario akan terjadi mengikuti
skenario RCP 6.5 atau RCP 8.5.
Berdasarkan skenario SRES A2 dan B1 dari 14 model GCM, proyeksi
perubahan curah hujan pada periode DJF menunjukkan penurunan hujan di
sebagian besar Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk wilayah lain mengalami
peningkatan musim penghujan pada tahun 2025 akibat pengaruh monsun Australia
di sebagian besar Jawa, Nusa Tenggara, dan Papua (MoE 2010). Analisis terhadap
data global skenario RCP 2.6 yang berasal dari database CMIP5 menghasilkan
prediksi curah hujan musiman untuk DJF dan MAM yang akan meningkat
dibandingkan rata-rata tahun 1981-2010 (baseline) hampir disemua wilayah
Indonesia, sedangkan untuk JJA dan SON cenderung akan turun. Proyeksi ini
mengindikasikan bahwa awal musim musim hujan diperkirakan akan bergeser
(mundur dari kondisi saat ini) dan intensitas hujan pada musim hujan akan
menigkat, sedangkan pada musim kemarau cenderung semakin rendah. Hasil ini
scara konsisten juga ditunjukkan oleh skenario RCP lainnya (RCP 4.5, RCP 6.0,
dan RCP 8.5) (MoE 2010).
4

Sumber : Naylor et al. (2006)


Gambar 1 Kecenderungan pola perubahan curah hujan di Jawa

Hidrograf Aliran

Hidrograf merupakan kurva yang menggambarkan keragaman limpasan


berupa tinggi muka air, debit, atau beban sedimen terhadap waktu. Menurut
bentuknya, hidrograf aliran terdiri dari tiga bagian (Viesman et al. 1977), yaitu
lengkung naik (rising curve atau rising limb), debit puncak (peak atau crest), dan
lengkung menurun (falling limb atau recession curve). Bentuk kemiringan sisi naik
sangat ditentukan oleh intensitas dan lama hujan. Kemiringan sisi menurun
(recession curve) dipengaruhi oleh karakteristik pelepasan air dari simpanan
(storage). Lengkung naik menunjukkan bagian dari hidrograf antara waktu awal
hingga waktu mencapai debit puncak. Debit puncak merupakan nilai puncak suatu
hidrograf. Lengkung menurun merupakan bagian dari hidrograf mulai dari titik
debit puncak hingga waktu dasar.

Gambar 2 Bagian-bagian hidrograf


5

Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan merupakan hidrograf aliran langsung (direct runoff) akibat


dari hujan efektif yang tersebar secara merata di daerah aliran sungai (Subarkah
1980). Hidrograf satuan menggambarkan hujan efektif yang ditransformasikan
menjadi limpasan di outlet suatu DAS. Nilai hidrograf satuan didapatkan dari
pemisahan aliran menjadi aliran langsung (direct runoff) dan aliran dasar
(baseflow). Pemisahan aliran dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu, metode
garis lurus (straigth line method), fixed base length dan metode variable slope
(Subarkah 1980). Parameter-parameter hidrograf satuan sintetik yang dianalisis
adalah waktu tenggang (time lag/tl), waktu puncak (time to peak/tp), debit puncak
(peak discharge/Qp) dan volume aliran (Pratiwi 2011).

Model HEC-HMS

HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hydrologic Modelling System)


merupakan model dalam bidang Hidrologi yang dikembangkan oleh Army Corps of
Engineers (USACE). HEC-HMS menyediakan paket pemodelan atau metode yang
dapat digunakan untuk membangkitkan hidrograf aliran suatu DAS (Ali et al.
2011). Model HEC-HMS berfungsi untuk mensimulasi proses hujan menjadi
limpasan pada suatu DAS dengan pola aliran dendritik (USACE 2013). Model ini
dirancang untuk dapat digunakan pada DAS ukuran besar. Data hidrograf yang
dihasilkan dapat digunakan secara langsung atau dikaitkan dengan perangkat lain
untuk menanggulangi berbagai permasalahan hidrologi. HEC-HMS menyediakan
pilihan pemodelan hidrologi dengan fokus pada penentukan hidrograf limpasan dari
sub-DAS dan routing hidrograf aliran melalui saluran ke outlet kajian (Beighley et
al. 2003; Beighley dan Moglen 2003).
Model HEC-HMS memiliki 4 komponen pendukung yaitu basin model,
meteorologic model, control specification, dan time-series data manager.
Komponen basin model digunakan untuk menggambarkan kondisi fisik daerah
aliran sungai. Meteorologic model berfungsi untuk menampilkan dan memasukkan
komponen meteorologi khususnya untuk memasukkan bobot nilai poligon
Thiessen. Komponen selanjutnya yaitu control specification. Komponen ini
berfungsi untuk menata rentang waktu simulasi, waktu perhitungan dan waktu akhir
simulasi. Komponen time-series data manager merupakan komponen untuk
memasukkan data yang diperlukan seperti data curah hujan, dan debit (USACE
2013).
6

METODE PENELITIAN
Alat

Seperangkat komputer yang dilengkapi dengan aplikasi spreadsheet dan


perangkat lunak untuk pengolahan citra satelit (Arc GIS), model HEC-GeoHMS
10.1 dan HEC-HMS 4.0.

Data

Data dan sumber data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah:

Tabel 1 Jenis data dan sumber data yang digunakan


No Jenis Data Sumber data
1 Dua scene citra LANDSAT 7 tahun http://glovis.usgs.gov/
2012 wilayah Jawa Barat (path/row :
122/65)
2 Peta Batas DAS digital Se-Jawa tahun Bappeda Kabupaten Bogor
2002
3 Peta jenis tanah digital untuk sub DAS Balai Tanah, Cimanggu, Bogor
Ciliwung Hulu tahun 1998
4 Peta pola ruang Rencana Tata Ruang Bappeda Kabupaten Bogor
Wilayah (RTRW) digital Kabupaten
Bogor tahun 2005-2025 tahun 2005
5 Peta pola ruang Rencana Tata Ruang Bappeda Kota Bogor
Wilayah (RTRW) digital Kota Bogor
tahun 2005-2025 tahun 2005
6 Peta administrasi wilayah Kabupaten Bappeda Kabupaten Bogor
Bogor digital tahun 2002
7 Peta Rupa Bumi Indonesia digital Badan Koordinasi Survey dan
tahun 2003 Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
8 Data curah hujan harian Stasiun Balai Besar Wilayah Sungai
Katulampa, Gadog, Citeko, Gunung (BBWS) Ciliwung-Cisadane;
Mas, Cilember, dan Tugu Utara tahun Balai Pengelolaan Daerah Aliran
2012-2013 Sungai (BPDAS) Ciliwung-
Citarum
9 Data debit sungai harian Stasiun Balai Besar Wilayah Sungai
Katulampa tahun 2012-2013 (BBWS) Ciliwung-Cisadane
10 Data GCM IPSL-CM5A-LR Tahun http://www- pcmdi.llnl.gov/ipcc/
2025 resolusi 1.9° x 3.75°
7

Prosedur Analisis Data

Data TMA harian Klasifikasi Klasifikasi


Tahun 2012 tanah penggunaan Data DEM
(HSG) lahan SRTM
Rating Curve (Existing)

HEC-GeoHMS
Hidrograf Aliran
(Debit) Pengamatan
Parameter Loss
(Initial abstraction; Parameter
Parameter curve number; transform, routing
baseflow impervious)

Parameter HEC- Data CH harian


GCM Histories HMS tahun 2012

Koreksi CH
model HEC-HMS

CH Proyeksi
Hidrograf Aliran
(Debit) Model

Kalibrasi Klasifikasi
Klasifikasi penggunaan
parameter sensitif tanah
Tidak lahan
(HSG) (RTRW)
Uji model

Ya
Loss model
Hidrograf aliran model, kondisi (Initial abstraction;
baseline (lahan existing) curve number;
imperviousness)

Hidrograf aliran model


* Skenario-1 (RTRW) Keterangan:
* Skenario-2 (CH proyeksi + lahan existing) Variabel yang diubah
* Skenario-3 (CH proyeksi + RTRW) Langkah untuk skenario 1, 2, 3

Gambar 3 Diagram alir metode penelitian


8

Keadaan Umum DAS Ciliwung Hulu

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu terletak pada 6º37’-
6º46’ LS dan 106º50’ - 107º0’ BT dan memiliki luas sekitar 148 km2. Batas
administrasi Daerah Aliran Ciliwung Hulu ini adalah:
 Sebelah Utara : DAS Bekasi
 Sebelah Barat : DAS Cisadane
 SebelahTimur : DAS Citarum
 Sebelah Selatan : DAS Cimandiri
Secara administratif, DAS Ciliwung Hulu sebagian besar masuk ke wilayah
Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian
kecil ke Kotamadya Bogor yaitu wilayah Kecamatan Kota Bogor Timur, dan Kota
Bogor Selatan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2007). DAS Ciliwung Hulu memiliki 6
sub-DAS yaitu sub-DAS Cibogo, Ciesek, Cisarua, Ciseuseupan, Cisukabirus, dan
sub-DAS Tugu.

Gambar 4 Posisi lokasi wilayah penelitian, A) Lokasi DAS Ciliwung Hulu; B)


Jaringan sungai dan pembagian sub DAS Ciliwung Hulu

Iklim di Daerah Aliran Sungai Ciliwung pada umumnya adalah iklim tropis,
dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 19-25oC. Menurut sistem klasifikasi
Schmidt–Ferguson, berdasarkan perbandingan jumlah rata-rata bulan basah dengan
bulan kering, DAS Ciliwung bagian hulu termasuk ke dalam tipe iklim A. Rata-rata
curah hujan wilayah di DAS Ciliwung bagian hulu berkisar antara 122-564
mm/bulan. Bulan basah terjadi selama 8-10 bulan (Agustus–Mei) dengan bulan
terbasah Januari, dan bulan lembab 2-4 bulan (Juni–September) dengan bulan
terkering adalah Agustus (Risyanto 2007).
9

Topografi DAS Ciliwung bervariasi dengan didominasi lereng dan


perbukitan. Kelerengan dengan luas terbesar adalah pada kelas 0-8%. Aktivitas
penggunaan lahan yang paling besar ada pada kelas ini. Semakin ke utara maka
akan semakin landai dan semakin luas cakupan kelas tersebut. Sedangkan untuk
kelas 8-15% memiliki luas terkecil.

Tabel 2 Luas Kelas Kelerengan DAS Ciliwung Hulu


Kelas Lereng Luas
No
(%) (Ha)
1 0–8 5407,0
2 8 –15 1625,5
3 15 –25 3550,0
4 25 –45 1869,5
5 > 45 2384,5
Risyanto (2007)

Analisis morfometri dibutuhkan untuk mendapatkan parameter hidrograf


satuan SCS yaitu, panjang sungai utama (Lms = length of main stream) dan
kemiringan DAS rata-rata (aws = average watershed slope). Parameter morfometri
DAS Ciliwung Hulu didapatkan dari proses deliniasi DAS menggunakan Arc GIS
10.1 dengan menurunkan peta DEM (Digital Elevation Model) wilayah DAS
Ciliwung Hulu.
Kemiringan sub-DAS rata-rata dihitung menggunakan metode rata-rata
tertimbang (weight mean method), yaitu dengan mengalikan kemiringan dua garis
kontur dengan luas area antara dua garis kontur tersebut dibagi dengan luas sub-
DAS (Seyhan 1977)

∑𝑛𝑖=1 𝑆(𝑛−1)𝑛 . 𝑎(𝑛1)𝑛


𝑎𝑤𝑠 =
𝐴

S(n-1)n = kemiringan rata-rata antara dua garis kontur (n-1) dan n yang
saling berdekatan dalam m/m,
A(n-1)n = luas areal antara dua garis kontur (n-1) dan n dalam m2,
A = Luas sub-DAS dalam m2.

Tabel 3 Morfometri DAS Ciliwung Hulu


Luas Lms aws
Sub DAS
(Ha) (km) (%)
Ciesek 24,7 13,6 9,2
Ciseuseupan 18,7 10,2 5,4
Tugu 49,6 14,5 11,9
Cibogo 16,7 8,9 8,6
Cisarua 22,3 16,5 14,1
Cisukabirus 16,6 12,1 11,8
10

Analisis Curah Hujan Wilayah

Data curah hujan dibutuhkan untuk dipasangkan dengan data debit dalam
membangun parameter input meteorologic model HEC-HMS. Ada 7 metode
analisis presipitasi yang dimiliki model HEC-HMS; berdasarkan jumlah stasiun
yang tersedia, penelitian ini menggunakan metode user gage weights. Metode ini
dapat menghasilkan curah hujan wilayah dari setiap sub-DAS berdasarkan
pembobotan curah hujan untuk setiap satu titik pengamatan. Bobot curah hujan
wilayah yang digunakan adalah metode poligon Thiessen.

Gambar 5 Konstruksi curah hujan wilayah metode poligon Thiessen

Penyusunan Hidrograf Aliran Pengamatan

Hidrograf aliran pengamatan disusun berdasarkan data tinggi muka air bulan
Januari tanggal 23-25 Desember 2012. Data tinggi muka air berasal dari SPAS
(Stasiun Pengamatan Arus Sungai) Katulampa. Syarat yang harus dipenuhi saat
memilih data tinggi muka air untuk kejadian hujan pilihan, yaitu tinggi muka air
harus memiliki puncak tunggal. Data debit aliran pengamatan dikonversi dari data
tinggi muka air menggunakan persamaan rating curve. Hidrograf aliran
pengamatan yang dihasilkan berfungsi sebagai dasar untuk kalibrasi hidrograf hasil
model HEC-HMS, sehingga didapatkan hidrograf aliran model yang mendekati
hidrograf aliran pengamatan.
11

Penyusunan Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan pengamatan disusun berdasarkan hidrograf aliran


pengamatan dan curah hujan. Untuk menghasilkan parameter hidrograf satuan
dibutuhkan metode pemisahan aliran. Metode yang dipilih adalah metode garis
lurus (straight line method). Data awal yang digunakan adalah data hidrograf aliran
hasil dari persamaan rating curve. Selanjutnya ditentukan aliran dasar baseflow
(BFO) menggunakan metode garis lurus. Data hidrograf aliran yang didapatkan
dikurangi dengan BFO untuk menghasilkan aliran langsung/direct runoff (DRO).

Penyusunan Hidrograf Aliran Model

Penyusunan Basin Model

Basin model yang disusun merupakan susunan dari elemen-elemen hidrologi


yang tersedia dalam HEC-HMS. Elemen-elemen tersebut membentuk formasi yang
merepresentasikan gambaran fisik suatu DAS. Pada penelitian ini digunakan 3
elemen hidrologi HEC-HMS yaitu subbasin, reach, dan junction.

Tabel 4 Elemen-elemen hidrologi penyusun basin model


Elemen Hidrologi Deskripsi
Subbasin Mewakili kondisi fisik DAS. Hanya memiliki satu
outflow yang diperoleh dari data meteorologi dengan
memperhitungkan loss, curah hujan efektif dan aliran
dasar/baseflow.
Reach Tempat proses routing terjadi. Outflow dihitung
menggunakan salah satu metode yang tersedia dalam
model saluran terbuka (open channel flow model).
Junction Merepresentasikan sebuah pertemuan sungai atau aliran

Terdapat 4 parameter utama yang dihitung dari komponen basin model, yaitu
loss model, transform, baseflow model, serta routing model. Keempat parameter ini
merupakan bagian dari menu parameters dalam model HEC-HMS.

Loss model

Loss model merupakan elemen yang berfungsi untuk memperhitungkan


bagian curah hujan yang hilang akibat infiltrasi, intersepsi, evaporasi dan limpasan
serta bertujuan mencari curah hujan efektif. Perhitungan loss model dilakukan
menggunakan metode SCS curve number. Pemilihan metode SCS curve number
didasarkan pada penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu yang akan
mempengaruhi limpasan atau bagian curah hujan yang hilang. Perhitungan loss
model memerlukan nilai Ia (initial abstraction) yang merupakan kehilangan air
awal dan S (potential maximum retention) yang ditentukan berdasarkan parameter
bilangan kurva (CN).
12

𝐼𝑎 = 0,2𝑆

25400
𝑆= − 254
CN

Transform

Transform merupakan elemen yang diperlukan untuk memperhitungkan


besarnya limpasan. Pada penelitian ini, elemen transform dilakukan menggunakan
hidrograf satuan SCS. Metode SCS dipilih berdasarkan penelitian Risyanto (2007)
yang menyatakan bahwa metode SCS adalah metode yang paling sesuai untuk DAS
Ciliwung Hulu. Metode SCS (Soil Conservation Service) merupakan metode yang
didasarkan pada karakteristik DAS. Parameter metode SCS yang diperlukan dalam
HEC-HMS yaitu time lag (tl).
𝐿𝑚𝑠 0,8 (𝑆 + 1)0,7
𝑡𝑙 =
1900𝑎𝑤𝑠 0,5

tl = time lag (jam)


Lms = panjang sungai utama (km)
aws = kemiringan sungai (%)
S = potential retention

Baseflow

Baseflow model disusun oleh 3 sub-parameter yaitu aliran dasar awal,


konstanta resesi (k) dan aliran threshold. Aliran threshold menjadi tanda awal
dimulainya kurva resesi yaitu pada sisi yang menurun dari sebuah hidrograf. Aliran
threshold yang dibangun HEC-HMS merupakan perbandingan terhadap aliran
puncak (ratio to peak). Nilai aliran dasar diturunkan berdasarkan hidrograf aliran
pengamatan di SPAS Katulampa menggunakan metode pemisahan aliran
persamaan garis lurus. Aliran dasar dan konstanta resesi pada masing-masing sub-
DAS diasumsikan proporsional dengan luas tiap sub-DAS (Risyanto 2007).

ln 𝑄𝑡 − ln 𝑄0
𝑘 = exp ( )
𝑡
Qt = aliran dasar pada periode t
Qo = aliran dasar awal (t = 0)

Routing

Routing model HEC-HMS menggunakan metode Muskingum dengan


parameter travel time dan faktor pembobot. Travel time (k) merupakan waktu
tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet yang ditentukan melalui hubungan antara
kecepatan aliran dengan panjang sungai. Sedangkan routing adalah rambatan
gelombang aliran sungai. Faktor pembobot (x) dalam metode Muskingum berkisar
antara 0 sampai 0,5 dengan rata-rata 0,2 untuk aliran alami. Penentuan nilai x
diperoleh dari hasil trial-error pada saat kalibrasi, dengan menggunakan nilai rata-
rata sebagai nilai masukan awal (Risyanto 2007).
13

Penyusunan Meteorologic Models

Komponen ini digunakan untuk menyusun curah hujan wilayah DAS


berdasarkan data curah hujan dari stasiun yang ada dalam DAS tersebut. Curah
hujan wilayah disusun berdasarkan metode poligon Thiessen.

Penyusunan Control Specification

Komponen control specification digunakan untuk menata rentang waktu


simulasi. Berdasarkan komponen ini maka akan diketahui waktu mulai dan waktu
akhir dari simulasi yang disesuaikan dengan data yang ingin dianalisis.

Penyusunan Time-Data Series

Komponen ini diperlukan untuk memasukkan data curah hujan dan data debit
secara manual. Didalam komponen inilah data pengamatan (curah hujan dan debit)
dimasukkan untuk mendukung hidrograf aliran model HEC-HMS.

Penentuan Bilangan Kurva (Curve Number) dan Impervious Area

Bilangan kurva merupakan fungsi hidrologi bersama dari tipe penggunaan


lahan dan kelompok hidrologi tanah (HSG).

Tabel 5 Kelompok Hidrologi Soil Group (HSG) beserta laju infiltrasi


HSG Keterangan Laju
infiltrasi
A Potensi air larian paling kecil, termasuk tanah pasir dalam 8 – 12
dengan unsur debu dan liat. Laju infiltrasi tinggi.
B Potensi air larian kecil, tanah berpasir lebih dangkal dari 4–8
A. Tekstur halus sampai sedang. Laju infiltrasi sedang.
C Potensi air larian sedang, tanah dangkal dan cukup liat. 1–4
Tekstur sedang sampai halus. Laju infiltrasi rendah.
D Potensi air larian tinggi, dominan liat, dangkal dengan 0–1
lapisan kedap dekat permukaan. Infiltrasi paling rendah.

Sumber: US SCS 1972 dalam Asdak 2007

DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi 6 sub-DAS yang terdiri dari beberapa
tipe penggunaan lahan. Sehingga dibutuhkan penentuan bilangan kurva sebagai
nilai bilangan kurva gabungan (CN composite).

∑𝑛𝑖=1 𝐴𝑖N𝑖
CN𝑐𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑒 = 𝑛
∑𝑖=1 𝐴𝑖

CN = bilangan kurva tiap tipe penggunaan lahan


A = luas tipe penggunaan lahan sub-DAS ke-i (km2)
14

Kalibrasi Parameter dan Uji Model HEC-HMS

Kalibrasi dilakukan terhadap parameter-parameter utama dalam menyusun


hidrograf aliran. Sebelum melakukan kalibrasi perlu dilakukan uji sensitifitas untuk
mengetahui parameter apa saja yang paling sensitif dan responsif terhadap
perubahan nilai hidrograf aliran model. Kalibrasi model dilakuakan untuk
menyesuaikan nilai dari parameter-parameter model mendekati nilai pengamatan,
sehingga parameter-parameter yang dipakai model dapat diterapkan pada kondisi
rencana/simulasi. Kalibrasi model HEC-HMS dilakukan dengan cara trial and
error. Berdasarkan uji sensitifitas nilai parameter yang dikalibrasi adalah curve
number, initial abtraction, dan time lag.
Metode kalibrasi yang digunakan dalam HEC-HMS pada penelitian ini
adalah objective functions dan search methods. Nilai parameter kalibrasi
menggunakan kriteria peak weighted RMS error objective function. RMSE
bertujuan untuk mempresentasikan rata-rata kuadrat simpangan (selisih) antara
nilai keluaran model terhadap nilai pengukuran atau target. Nilai Root Mean Square
Errors (RMSE) mensyaratkan mendekati nol (0).
1
1
𝑅𝑀𝑆𝐸 = ∑(𝑄𝑜𝑏𝑠 − 𝑠𝑖𝑚)2
𝑛
𝑖=1

Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)


Qsim = debit hasil pemodelan (m3/dt)

Uji ketepatan model dilakukan dengan menggunakan Nash, yaitu dengan


membandingkan kuadrat selisih debit hasil simulasi dan debit hasil pengamatan
dengan kuadrat selisih debit pengamatan dan rata-rata debit pengamatan (Nash dan
Sutcliffe 1970).

∑ 𝑖 (𝑄𝑠𝑖𝑚 − 𝑄𝑜𝑏𝑠)2
𝑁𝑎𝑠ℎ = 1 −
∑ 𝑖 (𝑄𝑜𝑏𝑠 − 𝑄𝑜𝑏𝑠 ∗)2

Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)


Qsim = debit hasil simulasi (m3/dt)
Qobs* = rata-rata debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)

Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutcttife menunjukkan tingkat ketepatan


model. Nilai E dapat berkisar dari minus tak terhingga (model rendah) hingga 1,0
(model yang sempurna). Secara spesifik nilai E = 0,5 adalah tingkat akurasi rendah,
0,5 < E < 0,7 adalah tingkat akurasi tinggi dan E > 0,7 adatah tingkat akurasi sangat
tinggi. Sedangkan nilai E = 0 menunjukkan bahwa model memiliki ketepatan
akurasi prediksi yang sama dengan pengamatan dan efisiensi kurang dari nol (-∞ <
E < 0) menunjukkan bahwa pengamatan merupakan prediktor yang lebih baik
daripada model (Garcia et al. 2008; Rientjes et al. 2011).
15

Simulasi Hidrograf Aliran HEC-HMS dengan Perbedaan Kondisi

Perubahan Curah Hujan

Perubahan curah hujan yang dijadikan input simulasi model HEC-HMS


adalah curah hujan proyeksi yang dihasilkan dari data model IPSL-CM5A-LR
berdasarkan skenario RCP 4.5. Skenario ini merupakan skenario perubahan iklim
terbaru dari assesment report 5 (AR5) IPCC. Perubahan curah hujan yang
dihasilkan dari model mungkin memberikan nilai overestimate dan underestimate.
Atas dasar hal tersebut, sebelum melakukan proyeksi terlebih dahulu dilakukan
koreksi terhadap nilai curah hujan model. Faktor koreksi dihitung berdasarkan
perbedaan antara data observasi dan data model. Periode data observasi dan data
model untuk penentuan faktor koreksi harus sama. Persamaan yang digunakan
untuk menghitung besarnya faktor koreksi (%) adalah sebagai berikut (Faqih et al.
2011):

𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 − 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖


𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 = × 100
𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙

Faktor koreksi yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan


curah hujan terkoreksi dari model (baseline dan proyeksi). Curah hujan terkoreksi
dihitung berdasarkan persamaan berikut:

𝐶𝐻 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 = 𝐶𝐻 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 × 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖

Penentukan curah hujan masa depan dilakukan dengan perbandingan antara


data proyeksi dan baseline dari model. Nilai perubahan curah hujan (%) antara
kondisi proyeksi dan baseline dihitung melalui persamaan berikut:

𝑝𝑟𝑜𝑦𝑒𝑘𝑠𝑖 − 𝑏𝑎𝑠𝑒𝑙𝑖𝑛𝑒
𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐶𝐻 = × 100
𝑏𝑎𝑠𝑒𝑙𝑖𝑛𝑒

Nilai perubahan curah hujan (%) yang diperoleh dengan menggunakan


persamaan di atas antara baseline dan proyeksi, digunakan untuk menghitung curah
hujan masa depan berdasarkan persamaan berikut:

𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐶𝐻
𝐶𝐻𝑝𝑟𝑜𝑦𝑒𝑘𝑠𝑖 = 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖 + (𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖 )
100

Perubahan Penggunaan Lahan sesuai RTRW

Nilai parameter model utama yang sangat dipengaruhi oleh perubahan


penggunaan lahan sesuai RTRW adalah CN, imperviousness, Ia, dan time lag.
Parameter utama ini akan mempengaruhi nilai hidrograf aliran hasil simulasi.
Sehingga ini perlu dilakukan parameterisasi ulang yang berbeda dengan nilai
parameter model awal. Simulasi pada kondisi yang kedua dilakukan menggunakan
nilai parameter yang sama dengan kondisi pertama. Perbedaan perlakuan hanya
dilakukan pada input curah hujan dalam meteorological model dan time-data series,
serta pengaturan waktu simulasi pada control specification dan time-data series.
16

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Presipitasi

Data curah hujan pada penelitian ini menggunakan data dari 6 stasiun
pengamatan yang tersebar di DAS Ciliwung Hulu. Ada dua tipe waktu curah hujan
yang digunakan sebagai input, yaitu curah hujan harian dari 6 stasiun pengamatan
dan 1 data curah hujan time-series berupa data jam-jaman yang berpasangan dengan
data debit stasiun pengamatan. Model HEC-HMS membutuhkan data curah hujan
wilayah sebagai input untuk masing-masing sub-DAS. Penentuan curah hujan
wilayah ditentukan menggunakan metode poligon Thiessen dengan input berupa
bobot curah hujan setiap sub-DAS. Bobot ini dihasilkan dari perhitungan luas
poligon pada masing-masing luas sub-DAS terhadap luasan DAS total. Kombinasi
antara bobot poligon dan data curah hujan harian akan menghasilkan curah hujan
wilayah.
Selain curah hujan pengamatan, dibutuhkan curah hujan proyeksi yang
digunakan untuk simulasi. Curah hujan proyeksi yang digunakan merupakan curah
hujan pada tahun yang sama dengan penggunaan lahan tahun proyeksi (RTRW
tahun 2025). Curah hujan proyeksi berasal dari model GCM IPSL-CM5A-LR tahun
2025 dengan skenario RCP 4.5. Global Circulation Models (GCMs) ini digunakan
karena telah dianggap sebagai sumber utama dalam kajian evaluasi dampak
hidrologi selama dekade terakhir ini (Dau 2015). Sebelum digunakan, curah hujan
model ini disesuaikan dengan curah hujan observasi menggunakan faktor koreksi
hingga diperoleh curah hujan model terkoreksi.

Tabel 6 Perbandingan curah hujan wilayah selama 2 hari dari model IPSL-CM5A-
LR dan pengamatan di setiap sub-DAS
Curah Hujan
Sub-DAS Perubahan Model
Pengamatan
(%) (IPSL-CM5A-LR)
Ciesek 8,9 48,2 60,3
Ciseuseupan 8,9 19,1 24,0
Tugu 8,9 69,3 86,7
Cibogo 8,9 48,5 60,7
Cisarua 8,9 68,7 86,0
Cisukabirus 8,9 54,9 68,7

Terjadi peningkatan curah hujan secara merata diseluruh sub-DAS Ciliwung


Hulu sebesar 8,9%. Sesuai hasil laporan Second National Communication (MoE
2010) pola curah hujan proyeksi dari hasil 14 model GCM, pada periode DJF,
menunjukkan adanya kecenderungan yang sama terhadap peningkatan curah hujan
pada tahun 2025 di sebagian besar Jawa, Nusa Tenggara, dan Papua.
Iklim memiliki dampak yang potensial terhadap variabel hidrologi dan
meteorologi dimasa depan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi distribusi aliran
DAS dalam skala ruang dan waktu, meliputi intensitas dan frekuensi bencana
hidrologi yang ekstrim (Babel et al. 2011; Gebre dan Ludwig 2015).
17

Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu

Klasifiksi tanah dibagi menjadi dua kategori yaitu klasifikasi tanah menurut
USDA dan berdasarkan kelompok hidrologi tanah/Hydrologic Soil Group (HSG).
Dalam kaitannya dengan pemodelan ini, hasil klasifikasi tanah menurut USDA
dikelompokkan ulang hingga menjadi kelompok HSG. Dalam penelitian ini
dihasilkan 4 jenis tanah menurut HSG yaitu A, B, C, dan D (lihat Tabel 5 diatas).
Luas jenis tanah DAS Ciliwung Hulu dibagi berdasarkan sub-DAS; ini dilakukan
untuk mempermudah analisis parameter model hidrologi pada masing-masing sub-
DAS.

Gambar 6 A) Peta jenis tanah; B) Peta kelompok hidrologi tanah (HSG)

DAS Ciliwung Hulu memiliki 5 jenis tanah menurut klasifikasi USDA. Jenis
tanah terluas adalah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat (Gambar 6A), ini
mencakup area seluas 5129,27 ha. Tanah ini memiliki kemampuan drainase yang
baik dengan karakteristik tekstur berada pada kisaran sedang sampai kasar. Tanah
ini secara HSG diklasifikasikan dalam kelompok B. Jenis tanah terkecil adalah
tanah latosol coklat tua kemerahan dengan luas 80,20 ha, jenis tanah ini berada di
dekat outlet SPAS Katulampa dan memiliki kelerengan yang paling rendah
dibandingkan wilayah DAS Ciliwung Hulu lainnya. Tekstur jenis tanah ini adalah
sangat halus dan umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian (Mc Cuen 1982;
Risyanto 2007).
Jenis tanah asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat memiliki
kemampuan drainase yang baik dengan tekstur sedang sampai halus. Secara HSG
jenis tanah ini diklasifikasikan ke dalam kelompok C dan banyak dimanfaatkan
untuk kegiatan perkebunan di kawasan Ciliwung Hulu. Jenis tanah latosol coklat
memiliki tekstur tanah yang halus dan secara HSG dikempokkan pada kelompok D
dengan laju infiltrasi minimum 0-25,4 mm/jam. Terakhir adalah jenis tanah
kompleks regosol kelabu dan litosol. Tanah ini memiliki sifat drainase yang cepat
dalam meloloskan air dan teksturnya kasar. Cakupan dari jenis tanah ini berada di
selatan, tepat di lereng Gunung Pangrango. Jenis tanah ini tidak dimanfaatkan
dalam aktivitas penduduk karena umumya berada di lereng yang curam dan
dikelilingi hutan serta boros air (Mc Cuen 1982; Risyanto 2007).
18

Penggunaan lahan DAS Ciliwung bersumber dari pegolahan citra landsat 7


dan BAPPEDA Kabupaten Bogor yang dianalisis menggunakan Arc GIS 10.1.
Hasilnya terbagi menjadi 3 kondisi penggunaan lahan yaitu tahun 2000, 2012, dan
pola ruang dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor dan
Kota Bogor tahun 2005-2025. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu berubah
menurut ruang dan waktu serta mengalami ketidaksesuaian terhadap penggunaan
lahan rencana. Pada tahun 2000 tutupan lahan didominasi oleh hutan, perkebunan
dan lahan terbuka; sementara itu, pada tahun 2012 terjadi konversi dengan laju yang
cukup tinggi dari ketiga jenis tutupan lahan tersebut. Ketidaksesuaian penggunaan
lahan terjadi pada penggunaan lahan existing (tahun 2012) terhadap pola ruang yang
tersusun dalam RTRW Kabupaten Bogor dan Kota Bogor untuk tahun 2005-2025.

Gambar 7 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu A) Tahun 2000; B) Tahun
2012; C) RTRW 2005-2025

Persentase perubahan penggunaan lahan permukiman dan lahan terbuka


mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Seperti
ditujukkan pada Tabel 7 persentase perubahan penggunaan lahan permukiman
adalah sekitar 5% sedangkan untuk pertanian lahan kering sekitar 13%. Penggunaan
lahan permukiman mengalami peningkatan cukup signifikan karena meningkatnya
permintaan hunian di wilayah DAS Ciliwung Hulu sebagai daya dukung sektor
pariwisata. Lahan terbuka mengalami penurunan cukup signifikan karena adanya
konversi lahan terbuka menjadi lahan pertanian. Di sisi lain jumlah luasan hutan
berkurang sekitar 5% dibandingkan tahun 2000. Kondisi tersebut akan merubah
karakter fisik DAS Ciliwung Hulu dan mengganggu stabilitas dari hidrograf aliran.
Perkebunan dan pertanian lahan kering juga mengalami penurunan cukup tinggi
akibat terkonversi menjadi lahan permukiman .
19

Perencanaan pemanfaatan lahan yang terdapat pada RTRW Kabupaten Bogor


dijadikan sebagai arahan dan prediksi terkait pola ruang yang optimal dan
berkelanjutan bagi kondisi fisik wilayah hulu DAS Ciliwung. Jika dibandingkan
dengan penggunaan lahan existing tahun 2012 terdapat perbedaan luasan dari
pemanfaatan ruang yang ada di tahun tersebut dengan RTRW. Terdapat luasan
penggunaan lahan tertentu yang mengalami peningkatan maupun penurunan.
Perubahan penggunaan lahan akibat arus urbanisasi yang tinggi dalam
wilayah DAS akan mengarah pada modifikasi proses hidrologi dalam skala ruang
dan waktu. Hal ini dapat mempengaruhi limpasan dan pola aliran akibat perubahan
dari faktor hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi dan evaporasi. Menurut Farid et
al. (2011) dan Ali et al. (2011) perubahan faktor hidrologi ini dapat menyebabkan
perubahan frekuensi dan intensitas banjir akibat tingginya volume air limpasan
permukan yang berasal dari jenis tutupan lahan yang baru.

Tabel 7 Luas pengggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2000, 2012, dan
RTRW
Tahun 2000 Tahun 2012 RTRW
Penggunaan Lahan Luas Luas Luas
(%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha)
Hutan 41,0 6094,2 36,9 5481,6 49,4 7320,7
Lahan Terbuka 17,7 2634,5 4,1 602,1 0,0 0,0
Perkebunan 27,3 4058,4 14,9 2214,8 10,2 1515,4
Permukiman 8,5 1262,3 13,7 2037,7 25,7 3806,2
Pertanian Lahan Kering 37,0 336,7 27,5 4085,9 14,8 2189,2
Sawah 3,2 468,3 3,0 440,4 0,0 0,0

Dalam penelitian ini penggunaan lahan tahun 2012 dipilih sebagai masukan
model HEC-HMS untuk selanjutnya penggunaan lahan dianalisis untuk
mendapatkan parameter penyusun model yang dipengaruhi oleh land use yaitu, loss
dan transform. Nilai kedua parameter tersebut dijadikan masukkan untuk
membangun hidrograf aliran model sesuai dengan kondisi pengamatan dan
simulasi.

Nilai Parameter Loss models dan Tranform models

Parameter loss terdiri dari initial abstraction, curve number (CN), dan
imperviousnes. Sedangkan parameter transform dalam metode SCS berupa nilai
lag time (tl). Parameter loss models dan transform models pada penelitian ini
menggunakan metode SCS. Pendekatan metode ini sudah diterapkan di beberapa
negara, karena metode ini mempertimbangkan bentuk penggunaan lahan, sifat
hidrologi tanah dan dapat dilakukan pada daerah yang tidak terukur (Risyanto
2007). Metode CN-SCS ini telah banyak diaplikasikan untuk menghitung limpasan
permukaan di DAS Ciliwung Hulu (Irianto 2000; Risyanto 2007; Putiamini S
2014). Model Soil Concervation Service (SCS) Curve Number (CN) dapat dipilih
untuk memperkirakan limpasan dan debit puncak yang dihasilkan oleh skenario
penggunaan lahan masa depan sesuai penelitian yang dilakukan oleh Chen et al.
(2009).
20

Tabel 8 Nilai parameter loss dan transform pada pengggunaan lahan berdasarkan
kondisi existing dan RTRW
Loss Transform
Penggunaan SCS Loss model SCS UH
Sub DAS
Lahan Initial Imperviousness Time Lag
CN
Abstraction (%) (jam)
Tugu 16,0 76 6,6 73,2
Cisarua 21,8 70 5,4 92,5
Cibogo 10,8 82 6,9 44,5
Existing
Cisukabirus 24,1 68 4,3 84,8
Ciesek 13,5 79 5,0 65,1
Ciseuseupan 7,1 88 11,8 47,4
Tugu 20,7 71 7,5 87,7
Cisarua 29,8 63 6,1 115,0
Cibogo 17,0 75 6,5 60,9
RTRW
Cisukabirus 26,4 66 4,4 90,2
Ciesek 17,6 74 4,9 78,2
Ciseuseupan 8,6 86 27,9 53,8

Berdasarkan jenis tanah, penggunaan lahan, dan morfologi DAS didapatkan


nilai rata-rata loss tertinggi untuk kategori CN yaitu penggunaan lahan existing.
Kondisi ini didukung dengan banyaknya jenis penggunaan lahan dengan nilai CN
yang tinggi. Nilai CN dihasilkan dari nilai bersama antara penggunaan lahan dan
jenis tanah. Nilai CN diperlukan untuk menghasilkan nilai potential maximum
retention (S) yang digunakan untuk mendapatkan nilai initial abstraction (Ia). Nilai
Ia merupakan hasil perkalian S dengan 0,2 (konstanta). Ia tertinggi dihasilkan pada
penggunaan lahan RTRW sedangkan terendah dihasilkan pada lahan existing. Ia
menunjukkan kehilangan air awal suatu wilayah dari curah hujan yang turun di
wilayah tersebut dan nilai Ia berbanding terbalik dengan nilai CN
Kondisi yang sama terjadi pada nilai impervious yang berbanding terbalik
dengan CN. Namun nilai impervious tidak selalu berbanding lurus dengan
peningkatan ataupun penurunan nilai Ia, karena nilai ini dihasilkan dari pembagian
klasifikasi yang lebih sedikit jenisnya dibandingkan CN yang menjadi bahan
perhitungan untuk nilai Ia. Permukaan kedap air (impervious) mencakup lahan
terbangun (residensial dan komersial), sedangkan lahan bervegetasi dan tanah
terbuka dianggap sebagai permukaan tembus air/mudah meloloskan air (pervious).
Air hujan yang jatuh diatas permukaan lahan yang impervious sebagian besar akan
menjadi curah hujan efektif ketika nilainya sudah melebihi Ia, sesuai penelitian
Amaguchi et al. (2012).
Nilai CN yang tinggi pada sungai yang panjang dengan topografi curam akan
menyebabkan tingginya nilai time lag (tl). Nilai rata-rata tl tertinggi didapatkan
pada penggunaan lahan RTRW. Keadaaan ini dipengaruhi oleh nilai rata-rata CN
yang lebih rendah pada lahan RTRW dibanding existing sedangkan untuk topografi
dan panjang sungai tidak terlalu berpengaruh karena relatif tidak berubah pada
kedua kondisi penggunaan lahan yang diamati.
21

Hidrograf Aliran Pengamatan

Hidrograf aliran pengamatan diperoleh berdasarkan tinggi muka air stasiun


pengamatan arus sungai (SPAS) Katulampa yang diturunkan menggunakan rating
curve. Hasil dari perhitungan tersebut berupa debit aliran. Debit aliran digunakan
sebagai bahan kalibrasi debit model yang dihasilkan HEC-HMS. Berdasarkan
kejadian puncak tunggal tertinggi yang terekam dalam stasiun Katulampa maka
dipilih tanggal 23 Desember 2012 sebagai tahun yang dianalisis.

Tabel 9 Parameter hidrograf pengamatan pada kejadian hujan terpilih


Qp Volume aliran Tp
Tanggal
(m3/s) (m3) (jam)
23 Desember 2012 52,80 4836,50 3,64

Nilai parameter hidrograf menginterpretasikan kondisi dan karakteristik suatu


DAS. Analisis hubungan antara debit dan curah hujan melalui indikator nilai curah
hujan, debit puncak (Qp), volume aliran dan waktu menuju puncak (Tp) dapat
dijadikan indikasi terhadap sifat fisik DAS maupun pola penggunaan lahan dan pola
hujan yang terjadi. Debit dan aliran permukaan dihasilkan dari sisa air hujan yang
jatuh ke permukaan dikurangi air yang terinfiltrasi tanah (Arsyad 2010).
60.00
Baseflow
50.00
Debit (Q) (m3/det)

Debit
40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52
Waktu (t kumulatif) (jam)

Gambar 8 Grafik hidrograf aliran pada kejadian hujan terpilih

Nilai debit puncak yang tinggi menunjukan bahwa intensitas curah hujan
yang tinggi pada periode DJF berpengaruh pada debit puncak maksimum yang
terjadi di DAS Ciliwung Hulu. Selain dari curah hujan, debit juga dihasilkan dari
baseflow/aliran dasar yang dihasilkan menggunakan metode pemisahan aliran
dasar.
Metode pemisahan aliran dasar yang digunakan adalah metode garis lurus.
Hasil dari pemisahan tersebut adalah baseflow dan direct runoff (limpasan
langsung). Direct runoff menginterpretasikan banyaknya air yang langsung
melimpas di permukaan jika terjadi curah hujan yang telah melampaui kapasitas
infiltrasi. Nilai direct runoff bisa didapatkan dari perhitungan selisih antara debit
dan baseflow. Besarnya nilai limpasan langsung juga dipengaruhi oleh kondisi
meteorologi, jenis tanah, dan kondisi penggunaan lahan.
22

Hidrograf Aliran HEC-HMS

Hidrograf aliran model HEC-HMS dibangun dengan 4 parameter dari


komponen basin model yaitu loss, transform, baseflow, dan routing, serta 4
komponen utama yaitu basin model, meteorologic model, control specification, dan
time series data. Nilai prameter loss dan transform telah didapatkan pada
pembahasan sebelumnya. Kedua nilai tersebut menjadi input utama model HEC-
HMS untuk kondisi baseline dan skenario.
Parameter baseflow disusun oleh 3 sub-parameter yaitu aliran dasar awal,
konstanta resesi (k) dan aliran threshold. Hidrograf pengamatan Katulampa pada
kejadian hujan terpilih, menghasilkan nilai k rata-rata sebesar 1. Nilai aliran
treshold dari hidrograf pengamatan Katulampa sebesar 0,04. Aliran threshold yang
dibangun HEC-HMS merupakan perbandingan terhadap aliran puncak (ratio to
peak). Aliran threshold menunjukkan penurunan debit hidrograf aliran; ini
didukung oleh Risyanto (2007) yang menyatakan bahwa aliran threshold menjadi
tanda awal dimulainya kurva resesi yaitu pada sisi yang menurun dari sebuah
hidrograf.
Berdasarkan metode Maskingum parameter routing memerlukan sub-
parameter travel time (k) dan faktor pembobot (x). Konfigurasi elemen basin model
DAS Ciliwung Hulu membagi proses routing menjadi 4 elemen/reach, yaitu R-1,
R-2, R-3 dan R-4. Perhitungan selisih antara lebar rata-rata saluran dan kecepatan
aliran menunjukkan nilai parameter k untuk R-1, R-2, R-3 dan R-4; masing-masing
nilainya adalah 0,37, 0,21, 0,28 dan 0,81 jam. Nilai masukan awal untuk faktor
pembobot (x) pada penelitian ini menggunakan nilai rata-rata untuk aliran alami
yaitu 0,2.

Gambar 9 Konfigurasi elemen basin model HEC-HMS DAS Ciliwung Hulu


23

Uji sensitifitas parameter dan kalibrasi dilakukan setelah proses input semua
parameter dan model selesai dijalankan (dirunning). Hasil uji sensitifitas
menunjukkan ada 4 parameter yang sensitif yaitu, CN, Ia, time lag, dan initial
discharge. Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan parameter yang tepat untuk
mendapatkan hasil hidrograf aliran model yang mendekati nilai pengamatan.
Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan hidrograf perhitungan model dengan
hidrograf pengamatan (Farid et al. 2011; USACE 2013).

Tabel 10 Nilai komponen hidrograf aliran HEC-HMS dan pengamatan


Qp Tp Volume aliran
Hidrograf aliran 3
(m /detik) (jam) (1000 m3)
HEC-HMS 53 3,62 4254,6
Pengamatan 52,8 3,64 3812,9

Hidrograf aliran model HEC-HMS memiliki nilai yang sedikit berbeda


dengan nilai hidrograf pengamatan. Nilai komponen hidrograf seperti debit puncak
dan volume aliran memiliki selisih nilai antara model dan pengamatan sebesar 0,2
m3/detik dan 441,7 x 103 m3. Keduanya memiliki nilai yang lebih besar dari
pengamatan. Kondisi ini berbeda dengan waktu puncak/time to peak (Tp) yang
nilainya lebih kecil dari pengamatan, dengan selisih sebesar 0,2 jam.

55

50

45

40
F low ( c ms )

35

30

25

20

15

10
12:00 00:00 12:00 00:00
23Dec2012 24Dec2012 25Dec2012

KAT ULAMPA RUN:BASELINE FLOW-OBSERVED


KAT ULAMPA RUN:BASELINE FLOW

Gambar 10 Hasil hidrograf aliran model HEC-HMS

Hasil hidrograf aliran model ini dibangun dari penggunaan lahan existing dan
curah hujan terpilih pada tanggal 23 hingga 25 Desember 2012. Hidrograf ini juga
ditetapkan sebagai kondisi baseline yang merupakan simulasi awal dari 4 simulasi
yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Hasil hidrograf aliran HEC-HMS yang
telah ditetapkan sebagai kondisi baseline berasal dari kalibrasi parameter sensitif
yang dilakukan secara berulang.
24

Pengujian Model HEC-HMS

Pengujian model dilakukan berdasarkan nilai koefisien efisiensi (E) yang


dihitung sebagai ukuran ketepatan untuk menilai kinerja model dalam DAS melalui
nilai hidrograf aliran di titik outlet DAS. Koefisien Efisiensi (E) sering diterapkan
untuk menilai kinerja dari model hidrologi dan digambarkan sebagai pengurangan
dari nilai satu (konstanta) dengan rasio dari Mean Square Error (MSE) terhadap
selisih data yang diamati (Nash dan Sutcliffe 1970).
Berdasarkan nilai observed hydrograph at gage Katulampa pada hasil
running model diperoleh nilai uji Nash-Sutcliffe (E) sebesar 0,66. Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dilakukan di DAS Ciliwung Hulu menggunakan
HEC-HMS dihasilkan nilai koefisien efisiensi E pada kisaran 0,40 hingga 0,98
(Risyanto 2007; Farid et al. 2011; Putiamini S. 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa
hidrograf aliran hasil model masih masuk dalam kategori akurasi tinggi dan berada
pada rentang nilai penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga model dapat
digunakan untuk mengevaluasi perubahan respon hidrologi yang disebabkan oleh
modifikasi penggunaan lahan.

Simulasi Hidrograf Aliran Model HEC-HMS

Hidrograf aliran model yang disimulasikan pada penelitian ini menggunakan


4 kondisi perlakuan yaitu kondisi curah hujan 2012 dengan penggunaan lahan
existing (baseline), kondisi curah hujan 2012 dengan penggunaan lahan sesuai
RTRW (skenario-1), kondisi curah hujan proyeksi 2025 dengan penggunaan lahan
existing (skenario-2), dan kondisi curah hujan proyeksi 2025 dengan penggunaan
lahan sesuai RTRW (skenario-3)

Tabel 11 Skema 4 kondisi untuk simulasi model HEC-HMS berdasarkan variabel


curah hujan dan penggunaan lahan
Kondisi
Variabel Bebas
Baseline Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3
Curah Hujan 2012 2012 2025 2025
Penggunaan Lahan Existing RTRW Existing RTRW

Simulasi pada penelitian ini menggunakan dua variabel yang diubah yaitu
curah hujan dan penggunaan lahan. Hasil yang diharapkan adalah respon hidrologi
dari DAS Ciliwung hulu terhadap empat kondisi yang disimulasikan (baseline,
skenario-1, skenario-2, dan skenario-3). Pendekatan menggunakan beberapa
skenario dapat menyajikan kemungkinan yang akan terjadi terhadap respon
hidrologi di masa depan; sesuai penelitian yang dilakukan Mc Coll dan Agget
(2007) pendekatan tersebut dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi
debit puncak yang dihasilkan dari skenario penggunaan lahan masa depan.
Pendekatan gabungan melalui kombinasi dari model hasil perubahan penggunaan
lahan dan hidrograf aliran akan menjadi cara yang tepat untuk mendapatkan nilai
debit puncak akibat perubahan lahan yang terjadi (Beighley et al. 2003).
25

70

60

50
F low ( c ms )

40

30

20

10
12:00 00:00 12:00 00:00
23Dec2012 24Dec2012 25Dec2012

KAT ULAMPA RUN:BASELINE FLOW KAT ULAMPA RUN:SKENARIO 1 FLOW


KAT ULAMPA RUN:SKENARIO 2 FLOW KAT ULAMPA RUN:SKENARIO 3 FLOW

Gambar 11 Debit hasil simulasi model HEC-HMS (baseline, skenario-1,


skenario-2, dan skenario-3)

Hasil simulasi model dengan 4 kondisi menunjukkan perbedaan utama yaitu


terkait debit puncak dan volume aliran (limpasan) yang dihasilkan. Peningkatan
nilai debit puncak di DAS Ciliwung Hulu berbanding lurus dengan peningkatan
volume limpasan yang dihasilkan. Jika dianalisis berdasarkan 4 kondisi yang
dilakukan, nilai debit puncak dan volume tertinggi akan terjadi pada skenario-2.
Debit puncak dan volume terendah terjadi pada skenario-1. Ini berbanding terbalik
dengan debit dan volume. Nilai Tp terendah dihasilkan pada skenario-2 dan
tertinggi pada skenario-1. Menurut Farid et al. (2011) kondisi tersebut dapat terjadi
karena kapasitas lapisan tanah dalam menyimpan air akan mempengaruhi
perubahan debit puncak, volume hidrograf, dan penurunan nilai Tp. Kondisi DAS
yang terdegradasi akan lebih cepat dalam merespon air hujan akibat rendahnya
kemampuan infiltrasi dan intersepsi lahan, sehingga selisih waktu awal mula hujan
dengan debit puncak (waktu menuju puncak) menjadi rendah.

Tabel 12 Parameter Hidrograf model HEC-HMS berdasarkan simulasi 4 kondisi


Curah Hujan Volume
Penggunaan Qp Tp
Kondisi Nilai 3 aliran
Sumber Lahan (m /detik) (jam)
(mm) (1000 m3)
Baseline Pengamatan 51,4 Existing 53,0 3,62 4254,6
(2012)
Skenario- Pengamatan 51,4 RTRW 41,7 4,61 3847,7
1 (2005-2025)
Skenario- Model IPSL 56,0 Existing 62,0 3,10 4633,8
2 -CM5A-LR (2012)
Skenario- Model IPSL 56,0 RTRW 47,8 3,96 4153,9
3 -CM5A-LR (2005-2025)
26

Peningkatan nilai debit puncak dan volume aliran dapat berimplikasi pada
ketidakseimbangan kondisi hidrologi suatu daerah aliran sungai, yaitu pada saat
hujan akan mengalami kelebihan air yang menyebabkan terjadinya banjir, terutama
di wilayah hilir. Kondisi ini didukung oleh penelitian Saghafian et al. (2008) yang
menyatakan bahwa peningkatan debit puncak (Qp) dan volume aliran, serta
penurunan waktu puncak (Tp) telah meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir.
Berdasarkan kondisi tersebut informasi terhadap perubahan komponen hidrograf
sangat penting untuk mengetahui karakteristik DAS dalam merespon curah hujan.
Tidak dapat dihindari di tahun-tahun mendatang pola penggunaan lahan akan
berubah dan mempengaruhi tingginya puncak debit dan besarnya volume aliran
suatu DAS. Laju perubahan tidak dapat dihentikan, namun bisa untuk dikurangi dan
dikendalikan. Pada dua kondisi penggunaan lahan yang disimulasikan dapat dilihat
bahwa penggunaan lahan yang sesuai dengan arahan RTRW merupakan
penggunaan lahan yang cukup baik untuk meredam tingginya peningkatan debit
puncak maupun volume aliran yang dihasilkan ketika terjadi perubahan curah hujan
yang cenderung meningkat di masa depan. Tingginya peningkatan volume aliran
dan debit pucak dipengaruhi oleh luas wilayah yang terkonversi menjadi lahan
terbangun dan ketepatan manajemen risiko terkait banjir.

Limpasan Permukaan Langsung


Simulasi 4 kondisi menghasilkan volume limpasan langsung/direct runoff
tertinggi pada skenario-2 sebesar 3099,1 (1000 m3) sedangkan terendah dihasilkan
pada skenario-1 sebesar 1545,1 (1000 m3). Nilai direct runoff berbanding lurus
dengan nilai debit puncak dan volume aliran (limpasan). Peningkatan volume
limpasan dan debit puncak terkait dengan curah hujan yang relatif sering dan
tingkat ekspansi area terbangun; sesuai dengan penelitian Chen et al. (2009) yang
menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan terbukti memiliki dampak yang
signifikan pada limpasan di waktu mendatang.

Tabel 13 Nilai elemen respon terhadap curah hujan pada 4 kondisi hasil simulasi
Volume (1000 m3)
Kondisi Direct Runoff/discharge
CH Loss Baseflow
Runoff volume
Baseline 8236,2 6293 1943,2 2311,4 4254,6
Skenario-1 8236,2 6702,7 1533,5 2314,2 3847,7
Skenario-2 8966,4 6653,6 2312,8 2321 4633,8
Skenario-3 8966,4 7123,8 1842,6 2311,3 4153.9

Skenario-3 memiliki volume direct runoff yang lebih rendah dibanding


baseline. Walaupun skenario-3 menggunakan perubahan curah hujan yang
meningkat, namun penggunaan lahan sesuai RTRW menyebabkan limpasan
langsung yang dihasilkan lebih rendah dibanding lahan existing yang digunakan
pada skenario-3. Penggunaan lahan RTRW memiliki luas impervious area yang
lebih rendah dibandingkan lahan existing, sehingga mengurangi volume limpasan
permukaan. Limpasan dapat meningkat dan menurun akibat faktor curah hujan dan
penggunaan lahan.
27

Nilai direct runoff (DRO) berasal dari selisih curah hujan dengan loss
ataupun selisih antara volume aliran/limpasan dengan baseflow. Perbandingan
antara DRO dengan loss dapat dijadikan indikator kapasitas dan kemampuan DAS
dalam menerima curah hujan. Skenario-1 memiliki perbandingan loss dengan DRO
tertinggi. Ini menunjukkan nilai loss masih memiliki selisih yang cukup besar
dibanding DRO, sehingga akan banyak air yang masih mampu diserap oleh DAS
sebelum menjadi DRO. Perbandingan terendah dihasilkan oleh skenario-2 yang
memiliki selisih loss dengan DRO yang paling rendah dan menunjukkan bahwa
kapasitas DAS dalam menyerap air sebelum menjadi DRO juga rendah.
Hasil uji sensitifitas terhadap jenis penggunaan lahan menunjukkan lahan
hutan menjadi jenis penggunaan lahan yang paling sensitif untuk menambah
limpasan. Dalam banyak kasus, penerapan perencanaan lahan dan pengelolaan
lahan yang buruk menyebabkan pengurangan tutupan lahan pervious dan
peningkatan area impervious. Jika kondisi ini terjadi pada lahan sensitif maka akan
berdampak buruk pada kuantitas limpasan air permukaan yang akan meningkat atau
menurun dalam jumlah yang besar (Beighley dan Moglen 2002).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hidrograf aliran DAS Ciliwung Hulu dapat dihasilkan menggunakan metode


SCS dengan hasil kesesuaian model berada pada tingkat akurasi tinggi terhadap
pengamatan. Nilai debit puncak dan volume limpasan terbesar diperoleh pada
kondisi curah hujan 2025 dengan penggunaan lahan existing (skenario-2) sebesar
62,0 m3detik-1 dan 4,6 x 106 m3. Nilai terendah diperoleh pada kondisi curah hujan
tahun 2012 dengan penggunaan lahan sesuai RTRW (skenario-1) sebesar 41,7
m3detik-1 dan 3,8 x 106 m3. Volume limpasan langsung tertinggi dihasilkan kondisi
curah hujan 2025 dengan lahan existing (skenario-2) sebesar 2,3 x 106 m3.
Terjadi ketidaksesuaian semua jenis penggunaan lahan pada periode existing
(tahun 2012) terhadap pola ruang RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Hal
ini mengkibatkan terjadinya penurunan keseimbangan parameter-parameter DAS
dan perubahan respon hidrologi terhadap curah hujan. Jenis penggunaan lahan yang
paling sensitif dalam meningkatkan limpasan di DAS Ciliwung Hulu adalah lahan
hutan. Perubahan luas lahan hutan di DAS Ciliwung Hulu berdampak pada
limpasan yang dihasilkan. Penggunaan lahan yang sesuai dengan arahan RTRW
menjadi kondisi yang direkomendasikan untuk menghadapi perubahan curah hujan.

Saran

Analisis hidrograf aliran perlu dilakukan pada beberapa kejadian hujan


lainnya, agar mampu merepresentasikan hidrograf aliran suatu DAS secara lebih
akurat. Dibutuhkan lebih banyak skenario simulasi hidrograf untuk melakukan
prediksi terhadap kemungkinan lain yang akan terjadi di masa depan. Perlu
dilakukan kalibrasi secara berulang untuk mendapatkan nilai parameter yang tepat
dan sesuai dengan pengamatan.
28

DAFTAR PUSTAKA
Ali M et al. 2011. Simulation of the Impacts of Land-Use Change on Surface
Runoff of Lai Nullah Basin in Islamabad, Pakistan. Landscape and Urban
Plannig. 102: 271-279.
Amaguchi H et al. 2012. Development and testing of a distributed urban storm
runoff event model with a vector-based catchment delineation. Journal of
Hydrology. 420-421: 205-215.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr.
Asdak, C. 2007. Hydrologi and Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan
Ketiga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.
Babel M, Agarwal A, Swain D, Herath S. 2011. Evaluation of climate change
impacts and adaptation measures for rice cultivation in Northeast Thailand.
Climate Research. 46(2): 137-146.
Beighley, R.E., Moglen, G.E., 2002. Trend assessment in rainfall-runoff behavior
in urbanizing watersheds. Journal of Hydrologic Engineering. 7(1): 27–34.
Beighley R E, Melack M, Dunne T. 2003. Impacts of California’s climatic regimes
and coastal land use change on streamflow characteristics. Journal of the
American Water Resources Association. 39: 1419–1433.
[BPDAS Citarum-Ciliwung]. Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai Citarum-
Ciliwung. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai
Ciliwung untuk Pengendalian Banjir Tahun 2007.
Chen Y et al. 2009. Impacts of Land Use Change Scenarios on Storm-Runoff
Generation in Xitiaoxi Basin, China. Quaternary International. 121-128.
Dau QV. 2015. An Assessment of Potential Climate Change on Flood Risk in
Central Vietnam. European Scientific Journal. 1: 1857 – 7881.
Faqih A, Buono A, Boer R. 2011. Current and future climate, ENSO impacts and
extreme weather events. The Assessment of Economics of Climate Change in
the Pacific (Final Report). Bogor (ID): CCROM-SEAP IPB. 2: II-7.
Farid et al. Modeling Flood Runoff Response to Land Cover Change with Rainfall
Spatial Distribution in Urbanized Catchment. Journal of Japan Society of
Civil Engineers, Ser. B1 (Hydraulic Engineering). 67(4): 19-24.
Garc'ia A et al. 2008. Surface water resources assessment in scarcety gauged basins
in the north of Spain. J Hydrol. 356:312-326.
Gebre SL, Ludwig F. 2015. Hydrological Response to Climate Change of the Upper
Blue Nile River Basin: Based on IPCC Fifth Assessment Report (AR5). J
Climatol Weather Forecasting. 3: 121.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah mada University Press.
Hartanto N. 2009. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan
pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Harto S. 2000. Hidrologi, Teori-masalah-penyelesaian. Yogyakarta (ID): Nafiri.
[IPCC]. 2013. Climate change 2013 of the physical science basis. Working group
I, fifth assessment report of intergovernmental panel for climate change,
summary for policy makers; 2013; Switzerland (CH): IPCC.
Irianto S. 2000. Kajian Hidrologi Daerah Aliran Sungai Ciliwung menggunakan
Model HEC-1 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
29

Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Cetakan Ketiga. Yogyakarta(ID): Gajah Mada University Pr.
McCuen HR. 1982. A Guide to Hydrologic Analysis Using SCS Methods. Prentice
Hall Inc. New Jersey (US): Englewoods Cliffs.
[MoE]. Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2010. Indonesia Second
National Communication under The United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC).
Moss R. et al. 2008. Towards New Scenarios for Analysis of Emissions, Climate
Change, Impacts, and Response Strategies. Intergovermental Panel on
Climate Change. Geneva. 132.
Nash JE, Sutcliffe JV. 1970. River flow forecasting through conceptual models:
Part I—A discussion of principles. Journal of Hydrology. 10: 282–290.
Naylor et al. 2007. Assessing Risk of Climate Change for Indonesian Rice
Agricultur. Proceeding of the National Academy of Sciences (PNAS). 104:
19.
Pawitan H. 2006. Kajian Dampak Perambahan Hutan Taman Nasional Lore Lindu
Terhadap Fungsi Hidrologi dan Beban Erosi. Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi DT. 2011. Analisis hidrograf aliran menggunakan HEC-HMS (studi kasus:
DAS Citarum Hulu) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Putiamini S. 2014. Pemodelan spasial kejadian banjir daerah aliran Ci Liwung Hulu
[tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Rientjes THM, Perera BUJ, Haile AT, Reggiani P, Muthuwatta LP. 2011.
Regionalisation for lake level simulation-the case of Lake Tana in the Upper
Blue Nile, Ethiopia. Hydrol Earth Syst Sci. 15:1167-1183.
Risyanto. 2007. Aplikasi HEC-HMS untuk perkiraan hidrograf aliran di DAS
Ciliwung bagian hulu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LS. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan
Hidup Provinsi Aceh. Jakarta (ID): Crestpent Pr.
Saghafian B, Farazjoo, Hassan, Bozorgy, Babak, Yazdandoost, Farhad. 2008. Flood
intensification due to changes in land use. Water Resource Management. 22:
1051–1067.
Seyhan E. 1977. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Pr.
Subarkah I. 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung (ID):
Penerbit Idea Dharma.
Susandi A, Indriani H, Mamad T, Irma N. 2008. Dampak perubahan iklim terhadap
ketinggian muka laut di wilayah Banjarmasin. J Ekon Ling. 12(2).
Swandayani TH. 2010. Pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim
dan adaptasi berbasi ekosistem hutan (studi kasus: DAS Ciliwung). [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[USACE] US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center. 2013.
HEC-HMS Hydrologic Modelling System: User’s Manual, Version 4.0.
[internet]. [diunduh20 Maret 2015]. Tersedia pada:
http://www.hec.usace.army.mil/software/hec-hms.
30

Lampiran

Lampiran 1 Peta penggunaan lahan tahun 2012 dan peta Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) DAS Ciliwung Hulu tahun 2005-2025
31

Lampiran 2 Peta jenis tanah dan peta kelompok hidrologi tanah DAS Ciliwung
Hulu
32

Lampiran 3 Bilangan kurva untuk berbagai tipe penggunaan lahan dan jenis tanah
Kelompok
No. Penggunaan Tanah/ Perlakuan/ Kondisi Hidrologi Hidrologi Tanah
A B C D
1 Permukiman
Luas kapling (m2):
500 77 85 90 92
1000 61 75 83 87
1300 57 72 86 86
2000 54 70 80 85
4000 51 68 79 84
2 Tempat parkir aspal, atap, jalan aspal dan lain-lain 98 98 98 98
3 Jalan Umum:
Beraspal dan bersaluran pembuangan 98 98 98 98
Kerikil 76 85 89 91
Tanah 72 82 87 89
4 Daerah pertokoan (85% kedap) 89 92 94 95
5 Daerah industri (75% kedap) 81 88 91 93
6 Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara,
taman, lapangan golf, kuburan dan lain-lain
Kondisi baik : 75% atau lebih tertutup rumput 39 61 74 80
Kondisi sedang : 50 % - 75% tertutup rumput 49 69 79 84
7 Bera larian menurut lereng 77 86 91 94
8 Tanaman semusim (dalam baris)
Menurut lereng – buruk 72 81 88 91
Menurut lereng – baik 67 78 85 89
Menurut kontur – buruk 70 79 84 88
Menurut kontur – baik 65 75 82 86
Kontur & teras – buruk 66 74 80 82
Kontur & teras – baik 62 71 78 81
9 Padi – padian:
Menurut lereng – buruk 65 76 84 88
Menurut lereng – baik 63 75 83 87
Menurut kontur – buruk 63 74 82 85
Menurut kontur – baik 61 73 81 84
Kontur & teras – buruk 61 72 79 82
Kontur & teras – baik 59 70 78 81
10 Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman
padang rumput
Menurut lereng – buruk 66 77 85 89
Menurut lereng – baik 58 72 81 85
Menurut kontur – buruk 64 75 83 85
Menurut kontur – baik 55 69 78 83
33

Kelompok
No. Penggunaan Tanah/ Perlakuan/ Kondisi Hidrologi Hidrologi Tanah
A B C D
10 Kontur & teras – buruk 63 73 80 83
Kontur & teras – baik 51 67 76 80
11 Padang rumput penggembalaan
Buruk 68 79 86 89
Sedang 49 69 79 84
Baik 39 61 74 80
Menurut kontur-Buruk 47 67 81 88
Menurut kontur Sedang 25 59 75 83
Menurut kontur Baik 36 35 70 79
12 Padang rumput potong 30 58 71 78
13 Hutan
Buruk 45 66 77 83
Sedang 36 60 73 79
Baik 25 55 70 77
14 Perumahan petani 59 74 82 86
Sumber : Arsyad (2010)

Lampiran 4 Nilai curah hujan jam-jaman sebelum dan setelah perubahan CH


Waktu Curah Hujan
Tanggal Pengamatan Model IPSL-CM5A-LR
(Jam)
(2012) (2025)
7 0.0 0.0
8 0.0 0.0
9 0.0 0.0
10 0.0 0.0
11 0.0 0.0
12 0.1 0.1
13 0.0 0.0
14 0.0 0.0
15 10.3 12.9
23 Desember
16 37.6 47.1
17 8.7 10.9
18 11.3 14.1
19 0.9 1.1
20 0.1 0.1
21 0.5 0.6
22 0.9 1.1
23 0.5 0.6
24 0.0 0.0
34

1 0.0 0.0
2 0.0 0.0
3 0.0 0.0
4 0.1 0.1
5 0.0 0.0
6 0.0 0.0
7 0.0 0.0
8 0.0 0.0
9 0.0 0.0
10 0.0 0.0
11 0.0 0.0
12 0.0 0.0
13 0.3 0.4
14 0.0 0.0
15 0.0 0.0
16 0.0 0.0
17 0.0 0.0
18 0.0 0.0
24 Desember
19 0.0 0.0
20 0.0 0.0
21 0.0 0.0
22 0.0 0.0
23 0.0 0.0
24 0.0 0.0
1 0.0 0.0
2 0.0 0.0
3 0.0 0.0
4 0.0 0.0
5 0.0 0.0
6 0.0 0.0
7 0.0 0.0
8 0.0 0.0
25 Desember
9 0.0 0.0
10 0.0 0.0
35

Lampiran 5 Nilai hidrograf aliran pengamatan dan skenario HEC-HMS


Waktu Hidrograf Aliran (m3/detik)
(jam) Pengamatan Baseline Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3
7 17.8 12.7 12.7 12.7 12.7
8 17.2 12.7 12.7 12.7 12.7
9 16.5 12.7 12.7 12.7 12.7
10 16.2 12.7 12.7 12.7 12.7
11 15.9 12.7 12.7 12.7 12.7
12 15.3 12.7 12.7 12.7 12.7
13 15.3 12.7 12.7 12.7 12.7
14 15.0 12.7 12.7 12.7 12.7
15 14.7 13.9 14.8 14.1 15.0
16 16.2 26.9 25.9 30.0 28.1
17 52.8 53.0 39.4 62.0 45.5
18 40.6 49.8 41.7 56.6 47.8
19 34.0 48.2 40.6 54.0 45.9
20 30.1 29.1 28.5 32.0 31.6
21 29.2 24.3 22.0 26.5 24.0
22 28.8 26.1 22.9 28.7 25.0
23 28.0 29.0 24.8 32.1 27.3
24 28.0 30.2 25.9 33.5 28.5
1 27.2 30.9 26.4 34.5 29.2
2 27.2 32.1 27.2 35.9 30.3
3 26.8 33.0 28.1 37.0 31.3
4 26.4 33.6 28.7 37.7 32.0
5 25.6 33.8 29.0 37.9 32.3
6 25.6 33.3 28.7 37.3 32.0
7 25.2 32.6 28.3 36.4 31.5
8 24.8 31.7 27.7 35.3 30.7
9 24.4 30.6 26.9 34.0 29.8
10 24.1 29.4 26.0 32.6 28.7
11 23.7 28.1 25.0 31.1 27.5
12 23.3 26.8 24.1 29.5 26.4
13 22.6 25.8 23.3 28.3 25.4
14 22.6 25.0 22.6 27.3 24.6
15 232.0 23.3 21.4 25.4 23.2
16 21.9 22.1 20.4 23.9 21.9
17 21.9 21.0 19.5 22.7 20.9
18 14.1 20.1 18.8 21.6 20.0
19 14.1 19.2 18.1 20.6 19.2
20 14.1 18.5 17.5 19.7 18.4
21 14.1 17.8 16.9 18.9 17.7
22 13.6 17.2 16.4 18.2 17.1
36

23 13.6 16.6 16.0 17.5 16.6


24 13.6 16.1 15.6 16.9 16.1
1 13.6 15.7 15.2 16.4 15.7
2 13.3 15.3 14.9 16.0 15.3
3 13.3 15.0 14.6 15.6 15.0
4 13.0 14.7 14.3 15.2 14.7
5 13.0 14.4 14.1 14.9 14.4
6 13.0 14.2 13.9 14.7 14.2
7 13.0 14.0 13.8 14.4 14.0
8 13.0 13.8 13.6 14.2 13.8
9 12.5 13.6 13.5 14.0 13.6
10 12.5 13.5 13.4 13.9 13.5

Lampiran 6 Bobot poligon Thiessen pada masing-masing sub-DAS Ciliwung Hulu


Bobot Tiap Stasiun
Sub-Das Tugu Gunung
Gadog Katulampa Cilember Citeko
Utara Mas
Ciesek 0.16 0.12 0.00 0.72 0.00 0.00
Ciseuseupan 0.75 0.00 0.17 0.00 0.08 0.00
Tugu 0.00 0.47 0.00 0.15 0.07 0.31
Cibogo 0.19 0.00 0.00 0.22 0.57 0.03
Cisarua 0.00 0.00 0.00 0.13 0.26 0.61
Cisukabirus 0.14 0.00 0.00 0.01 0.66 0.19

Lampiran 7 Nilai parameter baseflow models sebagai masukkan HEC-HMS


Baseflow models
Sub DAS Baseflow Recession method
Initial Discharge Recession
3 Ratio to Peak
(m /detik) Constant
Tugu 2.70 1 0.04
Cisarua 2.70 1 0.04
Cibogo 2.70 1 0.04
Cisukabirus 2.70 1 0.04
Ciesek 2.70 1 0.04
Ciseuseupan 2.70 1 0.04
37

Lampiran 8 Nilai parameter routing model sebagai masukkan HEC-HMS


Routing model
Elemen Muskingum routing method
(reach) Travel time Faktor Number of
(HR) pembobot subreaches
Reach-1 0.37 0.2 1
Reach-2 0.21 0.2 1
Reach-3 0.28 0.2 1
Reach-4 0.81 0.2 1

Lampiran 9 Nilai parameter awal dan setelah kalibrasi


Nilai Nilai
Model Metode Parameter Sub-DAS
awal kalibrasi
Tugu 15.98 17.98
Cisarua 21.75 25.58
Initial Cibogo 10.78 12.68
Abstraction Cisukabirus 24.12 25.44
Ciesek 13.49 13.39
SCS Loss Ciseuseupan 7.11 8.02
Loss
model Tugu 76.07 61.3
Cisarua 70.02 67.34
Cibogo 82.49 70.35
Curve Number
Cisukabirus 67.8 65.18
Ciesek 79.01 85.85
Ciseuseupan 87.73 938
Tugu 73.19 69.16
Cisarua 92.45 125.39
Time Lag Cibogo 44.45 37.86
Transform SCS
(jam) Cisukabirus 84.77 78.05
Ciesek 65.1 42.41
Ciseuseupan 47.36 45.04
Tugu 2.70 2.31
Cisarua 2.70 2.02
Initial Cibogo 2.70 2.02
Baseflow Recession
Discharge Cisukabirus 2.70 2.10
Ciesek 2.70 2.02
Ciseuseupan 2.70 2.22
38

Lampiran 10 Langkah-langkah pengerjaan HEC-HMS


Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyusun hidrograf aliran
model HEC-HMS adalah sebagai berikut:

1. Membuka aplikasi HEC-HMS yang telah diinstall di komputer dengan cara klik
star program  pilih HEC-HMS atau dapat juga diakukan dengan cara double
klik pada icon HEC-HMS yang terdapat di dekstop

2. Membuat lembar kerja baru dengan cara pilih menu file klik new. Kemudian
akan tampil jendela create a new project. Isi nama lembar kerja, deskripsi, lokasi
penyimpanan file, dan pilih metric untuk default unit system. Selanjutnya klik
create.

Langkah selanjutnya adalah menyususn 4 komponen utama yang akan


membangun hidrograf aliran HEC-HMS yaitu Basin Models, Meteorologic Models,
Control Specification dan Time-Series Data.

3. Menyusun basin models


 Pilih menu components  klik basin model manager. Akan tampil jendela
create a new basin model. Kemudian isikan nama basin model dan
deskripsinya, klik create.
 Memasukkan peta DAS Ciliwung Hulu kedalam HEC-HMS dengan cara
pilih menu view  klik background maps  klik add.
 Menyusun konfigurasi/skema DAS Ciliwung Hulu pada tampilan HEC-HMS
berdasarkan elemen-elemen hidrologi berupa icon yang terdiri dari subbasin
39

( ), junction ( ), dan reach ( ). Pilih icon elemen-elemen hidrologi


tersebut, lalu susun berdasarkan pola aliran dan pembagian sub-DAS.
 Hubungkan elemen subbasin dengan elemen junction menggunakan conect
downstream dengan cara klik kanan pada icon subbasin  pilih conect
downstream arahkan kursor ke icon junction, kemudian klik kiri pada icon
junction tersebut. Selanjutnya hubungkan elemen junction dengan elemen-
elemen junction lainnya dengan cara pilih icon reach  klik pada elemen
junction asal  arahkan/tarik garis menuju junction yang dituju, lalu klik kiri.

 Mengisi nilai parameter masukan HEC-HMS untuk setiap elemen-elemen


hidrologi yang telah disusun.
40

4. Menyusun meteorologic models


 Pilih menu components  klik meteorologic model manager  klik new 
isi kolom nama dan deskripsi  klik create.
 Arahkan kursor pada file meteorologic model yang telah dibuat. Metode
curah hujan wilayah yang digunakan adalah metode poligon Thiessen
sehingga dipilih gage weight pada kolom precipitation di menu
meteorologic model. Selanjutnya klik yes di kolom include subbasins pada
menu basin.
 Arahkan kursor pada precipitation gages  isi kolom gage name dengan
nama stasiun hujan yang digunakan  isi kolom total depth dengan jumlah
curah hujan yang terhitung di stasiun tersebut.
 Double klik pada nama sub-DAS  klik gage weights  pilih yes pada
kolom use gage berdasarkan stasiun hujan yang mencakup kedalam wilayah
sub-DAS tersebut (mengandung storm depth) dan stasiun hujan yang
mengandung storm pattern.
 Kemudian klik menu gage weights  isi kolom depth weight dengan nilai
bobot yang dihasilkan oleh pembagian luas wilayah poligon berdasarkan
metode poligon Thiessen. Lakukan hal yang sama untuk semua sub-DAS.

5. Menyusun control specification


 Pilih menu components  klik control specification manager  klik new 
isi kolom nama dengan bulan dan tahun simulasi yang akan dijalankan di
HEC-HMS  klik create.
 Isi waktu simulasi yang akan dijalankan (dirunning) meliputi jam, tanggal,
bulan dan tahun. Kemudian isi time interval dengan 1 hour.
41

6. Menyusun time-series data


 Menyusun data hujan time-series dengan cara pilih menu components  klik
time-series data manager  pilih precipitation gages pada data type  klik
new  isi kolom nama dengan nama stasiun hujan yang mengandung storm
pattern, yaitu stasiun hujan yang memiliki data hujan jam-jaman. Kemudian
isi kolom deskripsi dan klik create.
 Lakukan langkah yang sama untuk menyusun data debit time-series, hanya
saja perbedaannya pilih discharge gages pada data type. Isi kolom nama
dengan nama stasiun pengamatan arus sungai (SPAS) yaitu “Katulampa”.
42

7. Menjalankan program HEC-HMS/running program


 Pilih menu compute  klik simulation run manager  klik new. Akan tampil
jendela create a simulation run step 1 sampai 4.
 Pada step 1 isi nama simulasi dengan nama baseline  klik next  pilih
nama basin model, lalu klik next  pilih nama meteorologic model dan klik
next  pilih nama control specification  klik finish.

 Running dilakukan dengan cara pilih menu compuet  klik compute run,
kemudian proses running akan berjalan. Setelah selesai (100%), klik finish.
 Hasil running dapat dilihat menggunakan menu atau bisa dengan
cara pilih menu result  klik pada salah satu menu dari empat menu tersebut.
Dibawah ini adalah hasil running pada elemen junction Katulampa yang
merupakan titik akhir dari aliran DAS Ciliwung Hulu.
43

Berdasarkan hasil running awal didapatkan nilai Nash-Sutcliffe (E)


sebesar -13,219. Nilai ini belum layak bagi model untuk digunakan dalam proses
simulasi. Sehingga perlu dilakukan kalibrasi parameter yang sensitif terhadap
model. Uji sensitifitas ini dilakukan dengan membandingkan hasil (Qp, V, dan
E) dari beberapa perlakuan yang diberikan terhadap parameter yang diuji.

 Selajutnya dilakukan kalibrasi berulang pada parameter-parameter sensitif


tersebut dengan cara pilih menu compute  klik Optimization Trial Manager
 klik new  isikan nama trial, basin model, dan observed flow  finish.
 Pada optimization trial tentukan basin model, meteorologic model, waktu
simulasi, time interval, dan method. Pada menu objective function tentukan
method, location, missing flow, dan waktu dimulai dan diakhirinya simulasi.
 Klik kanan pada CN pilih add parameter  tentukan element, parameter
yang akan dikalibrasi, dan nilai minimum serta maximum. Lakukan langkah
yang sama untuk parameter lainnya.
 Pilih menu compute  klik compute trial, atau pilih icon . Proses
optimizing akan berjalan. Setelah proses berjalan 100% klik close. Hasil dari
kalibrasi dapat dilihat pada jendela result atau pilih menu .
44

 Gambar dibawah ini merupkan contoh tampilan grafik hasil running setelah
kalibrasi dari salah satu elemen subbasin yaitu sub-DAS Cisarua.
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 1993 dari pasangan


Bapak Untung Siswanto dan Ibu Sri Ernawati. Penulis merupakan anak pertama
dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan menengah pertama di SMPN 5
Kota Bekasi. Lulus pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 4
Kota Bekasi. Tahun 2011 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN
Undangan. Penulis memilih Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan, diantaranya tergabung dalam organisasi BEM TPB 48 sebagai
Ketua Biro Kesekretariatan pada tahun 2012, UKM Agreemove (Agriculture
Student Green Movement) sebagai Ketua Divisi Ilmiah Lingkungan pada tahun
2013 dan sebagai Ketua Badan Penasihat pada tahun 2015, serta BEM FMIPA
sebagai Ketua Departemen Lingkungan Hidup dan Masyarakat pada tahun 2014.
Penulis juga aktif dalam kepanitian kegiatan kampus, diantaranya MPKMB (Masa
Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru) pada tahun 2012, MPD (Masa Perkenalan
Departemen) Departemen Geofisika dan Meteorologi pada tahun 2013, PSN (Pesta
Sains Nasional) pada tahun 2012, 2013, dan 2014, IGLM (IPB Green Living
Movement) pada tahun 2012 dan 2013, dan berbagai kepanitiaan dalam acara BEM
FMIPA.
Penulis aktif menjadi asisten pada beberapa mata kuliah, diantaranya asisten
mata kuliah Hidrometeorologi untuk program Sarjana pada tahun ajaran 2014/2015,
asisten mata kuliah Klimatologi Terapan untuk program Sarjana pada tahun ajaran
2015/2016, dan asisten mata kuliah Hidrologi untuk program Diploma pada tahun
ajaran 2016/2017. Penulis melaksanakan kegiatan Magang di Bagian Adaptasi
Perubahan Iklim, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Jakarta pada bulan Juni
2014 dan mengikuti kegiatan IGTF (IPB Goes to Field) 2014 di Kabupaten Tegal
pada bulan Juli 2014. Penulis juga mengikuti Kegiatan Survei Pertanian terkait
Adaptasi Perubahan Iklim di Kabupaten Malang dan Mojokerto yang dilaksanakan
oleh UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup pada bulan Agustus 2015.

Anda mungkin juga menyukai