Anda di halaman 1dari 52

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN PENUTUPAN LAHAN

TERHADAP RESPON HIDROGRAF ALIRAN DAERAH


ALIRAN SUNGAI (DAS) CIBITUNG MENGGUNAKAN
MODEL HEC-HMS

INNEKE PUTRI DWI ANGGRAENI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Dampak Perubahan


Iklim dan Penutupan Lahan terhadap Respon Hidrograf Aliran Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cibitung Menggunakan Model HEC-HMS” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Inneke Putri Dwi Anggraeni


NIM G24140004
ABSTRAK
INNEKE PUTRI DWI ANGGRAENI. Dampak Perubahan Iklim dan Penutupan
Lahan terhadap Respon Hidrograf Aliran Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibitung
Menggunakan Model HEC-HMS. Dibimbing oleh BAMBANG DWI DASANTO
dan HIDAYAT.

Iklim dan penutupan lahan merupakan dua faktor penting dalam


menentukan respon hidrologi suatu DAS. Salah satu bentuk respon hidrologi DAS
akibat perubahan iklim serta penutupan lahan yaitu terjadinya perubahan limpasan
yang dapat dilihat melalui perubahan pola dan bentuk hidrograf aliran. Simulasi
perubahan iklim serta penutupan lahan dengan menggunakan HEC-HMS
(Hydrology Engineering Center-Hydrologic Modeling System) dilakukan untuk
mengetahui respon hidrograf aliran DAS. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
dampak individu maupun gabungan dari penutupan lahan dan iklim pada debit
DAS Cibitung. Penutupan lahan yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari
penutupan lahan sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bandung Barat 2009-2029 dan penutupan lahan tahun 2011 yang diterbitkan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bandung
Barat. Curah hujan masa depan diproyeksi dengan menggunakan model CSIRO
dengan skenario RCP 4.5 yang di downscalling menggunakan metode bias
correction. Data curah hujan proyeksi yang telah terkoreksi diunduh dari website
ccafs-climate.org yang dikelola oleh Climate Change, Agriculture, and Food
Security Organization. Luas imperviousness pada penutupan lahan tahun 2011
lebih besar dibandingkan penutupan lahan RTRW. Simulasi limpasan pada
penutupan lahan sesuai RTRW cenderung lebih rendah dari penutupan lahan
tahun 2011. Kenaikan curah hujan 107% mengakibatkan peningkatan limpasan
sebesar 43.7% pada penutupan lahan tahun 2011, sedangkan pada penutupan
lahan sesuai RTRW 2009-2029 hanya meningkat 15.8%. Hal tersebut
membuktikan bahwa penutupan lahan lebih berpengaruh terhadap hidrograf aliran
DAS Cibitung.

Kata kunci: HEC-HMS, perubahan penutupan lahan, curah hujan skenario, respon
hidrologi, imperviousness
ABSTRACT

INNEKE PUTRI DWI ANGGRAENI. The Impact of Climate and Land Cover
Changes on Flow Hydrograph Response in Cibitung Watershed Using HEC-HMS
Model. Supervised by BAMBANG DWI DASANTO and HIDAYAT.

Climate and land cover are two important factors in determining the
hydrological response of a watershed. One form of hydrological response of the
watershed to climate and land cover change is the change of runoff that can be
seen through flow hydrograph. Simulation of climate and land cover change
impacts was carried out by using HEC-HMS (Hydrology Engineering Center-
Hydrologic Modeling System) to know the hydrological response of watershed.
This study aims to see the individual impacts as well as a combination of land
cover and climate changes in the Cibitung watershed. The land cover used in the
analysis of land cover change is according to Spatial and Regional Planning
(RTRW) of West Bandung regency 2009-2029 and land cover in 2011 published
by BAPPEDA of West Bandung regency. Future rainfall is projected using the
CSIRO model with scenario RCP 4.5 which is downscalled using the bias
correction method, downloaded from ccafs-climate.org managed by Climate
Change, Agriculture, and Food Security Organization. Imperviousness in the land
cover in 2011 is greater than in RTRW land cover. Simulated of runoff on land
cover according to RTRW tends to be lower than that on land cover in 2011. The
increase of 107% rainfall caused in an increase in runoff by 43.7% at the 2011
land cover, while the land cover according to the 2009-2029 RTRW only
increased by 15.8%. This proves that land cover has more influence on the flow of
the Cibitung watershed.

Key words: HEC-HMS, land cover change, Hydrology model, rainfall scenarios,
hydrology respons, imperviousness
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN PENUTUPAN LAHAN
TERHADAP RESPON HIDROGRAF ALIRAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI (DAS) CIBITUNG MENGGUNAKAN
MODEL HEC-HMS

INNEKE PUTRI DWI ANGGRAENI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2017 ini ialah
“Dampak Perubahan Iklim dan Penutupan Lahan terhadap Respon Hidrograf
Aliran Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibitung Menggunakan Model HEC-HMS”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drs Bambang Dwi Dasanto, MSi
dan Dr Hidayat, MSc selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Selain itu, terimakasih juga untuk dosen, staf, serta mahasiswa GFM
51. Tak lupa pula terimakasih atas bantuan dan dukungan teman-teman yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Inneke Putri Dwi Anggraeni


DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Daerah Aliran Sungai (DAS) 2
Perubahan Iklim 2
Global Circulation Model (GCM) 3
Model Hidrologi HEC-HMS 4
METODE 5
Waktu dan tempat 5
Bahan 5
Alat 5
Prosedur Analisis Data 6
Analisis Presipitasi 6
Penyusunan Basin Model 6
Penentuan Bilangan Kurva dan Imperviousness 7
Penentuan Loss Model 9
Penentuan Direct Runoff Model 19
Penentuan Baseflow Model 10
Penentuan Routing Model 10
Kalibrasi 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Keadaan Umum DAS Cibitung 11
Presipitasi 12
Basin Model 14
Bilangan Kurva dan Imperviousness 15
Loss Model 18
Direct Runoff Model 19
Baseflow Model 20
Routing Model 20
Kalibrasi 20
Evaluasi Hasil Simulasi Model 21
SIMPULAN DAN SARAN 24
Simpulan 24
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 38
DAFTAR TABEL
1 Data dan sumber data 5
2 Sifat dan laju infiltrasi kelompok hidrologi tanah menurut SCS 8
3 Batasan jumlah curah hujan pada setiap kondisi KAT sebelumnya 8
4 Nilai faktor imperviousness 9
5 Bobot Poligon Thiessen pada masing-masing sub-DAS 13
6 Nilai bilangan kurva masing-masing DAS 17
7 Nilai initial abstraction pada penutupan tahun 2011 17
8 Nilai initial abstraction pada penutupan sesuai RTRW 2009-2029 18
9 Nilai timelag untuk penutupan lahan tahun 2011 19
10 Nilai timelag untuk penutupan lahan sesuai RTRW 2009-2029 20
11 Perbandingan limpasan setiap skenario perubahan terhadap baseline 23
12 Peningkatan curah hujan 23

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 6


2 Skenario perubahan dalam penelitian 6
3 Lokasi DAS 12
4 Poligon Thiessen 13
5 Perbandingan hasil model sebelum terkoreksi dan sesudah terkoreksi 13
6 Nilai R square antara model dengan observasi 14
7 Hasil pemodelan basin menggunakan HEC-HMS 15
8 Statistik area tahun 2011 dan RTRW 2009-2029 15
9 Peta penutupan lahan tahun 2011 dan RTRW 2009-2029 16
10 Peta tanah semi detail DAS Cibitung 17
11 Hasil kalibrasi model HEC-HMS 21
12 Perbandingan hidrograf aliran awal dengan skenario perubahan 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel bilangan kurva (CN) aliran permukaan untuk berbagai kompleks 27


penutupan lahan
2 Peta jaringan sungai, batas DAS, dan sub-DAS 29
3 Peta RTRW Kabupaten Bandung Barat 29
4 Langkah pengerjaan HEC-HMS 30
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Iklim dan penutupan lahan merupakan dua faktor penting yang


mempengaruhi debit Daerah Aliran Sungai (DAS). Peningkatan populasi
menyebabkan peningkatan perubahan penutupan lahan. Perkembangan wilayah
yang diikuti peningkatan populasi penduduk mengakibatkan peningkatan
kebutuhan air. Perubahan iklim global menjadi isu kunci pengelolaan air di
seluruh dunia, seperti yang dilaporkan oleh Intergovernmental Panel Climate
Change (IPCC 2013). Diperkirakan curah hujan secara keseluruhan akan
mengalami peningkatan pada bulan basah, sedangkan pada musim kemarau akan
terjadi lebih kering (Aldrian dan Djamil 2008).
DAS merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat,
sehingga keseimbangan air dalam DAS menjadi unsur penting untuk melihat
keberlanjutan sumberdaya air. Tanpa adanya pengelolaan DAS yang baik maka
akan berimbas pada terganggunya keseimbangan sumber daya air. Pernyataan
mengenai perubahan penutupan lahan dan iklim merupakan dua faktor penting
dalam menentukan keseimbangan air pada masa yang akan datang didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Kundu et al (2017). Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis respon hidrograf aliran DAS terhadap perubahan iklim serta
penutupan lahan. Perubahan iklim dapat mempengaruhi curah hujan, limpasan
serta frekuensi banjir (Zhang et al 2012).
Salah satu cara menilai respon hidrologi suatu DAS terkait perubahan
penutupan lahan dan iklim yaitu dengan menggunakan model hidrologi. Melalui
model hidrologi tersebut dapat diprediksi besarnya perubahan debit air yang akan
terjadi akibat adanya perubahan dalam DAS. Selain itu, penggunaan model
hidrologi dapat menghemat biaya, tenaga, dan waktu dalam proses analisis
pengaruh perubahan iklim serta perubahan lahan terhadap fluktuasi debit DAS.
DAS Cibitung merupakan sub-DAS dari DAS Citarum yang terletak di
Kabupaten Bandung Barat. Aliran air dari DAS Cibitung menuju ke Waduk
Saguling yang dimanfaatkan untuk PLTA. Risyanto (2009) menyatakan bahwa
Waduk Saguling mengalami masalah sedimentasi, limpasan permukaan yang
tinggi, dan kondisi neraca air DAS yang defisit. Sehingga penambahan jumlah
presipitasi akibat perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap
keberlanjutan DAS Cibitung sebagai salah satu inflow dari Waduk Saguling. Oleh
karena itu, penilaian perubahan iklim dan penutupan lahan terhadap proses
hidrologi harus diperhitungkan untuk pendekatan pengelolaan air yang tangguh.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:


1. Bagaimana respon hidrologi DAS Cibitung terhadap perubahan iklim?
2. Bagaimana respon hidrologi DAS Cibitung terhadap perubahan penutupan
lahan?
3. Manakah yang paling berdampak besar terhadap debit DAS Cibitung antara
perubahan lahan dengan perubahan iklim secara individu atau gabungan antara
keduanya?
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis respon hidrologi DAS Cibitung


terhadap perubahan penutupan lahan dan iklim.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi dampak perubahan


iklim dan penutupan lahan terhadap debit DAS Cibitung.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sub-DAS Cibitung, Bandung, Jawa Barat.


Analisis dititik beratkan tentang simulasi dampak perubahan iklim dan penutupan
lahan terhadap respon hidrograf aliran DAS Cibitung pada masa yang akan
datang.

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)


Ritter (2003) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah di permukaan
bumi dimana di dalamnya terdapat sistem aliran air yang terdiri sungai utama dan
beberapa anak cabangnya. Di dalam DAS terdapat sumber daya tanah, air,
vegetasi yang membentuk suatu ekosistem alami yang berlangsung proses fisik
hidrologi maupun sosial-ekonomi masyarakat sekitar (Asdak 2007).
Sebagai bagian dari sistem hidrologi, DAS memiliki peran penting dalam
menjaga keseimbangan siklus hidrologi. Proses utama siklus hidrologi yang
terdapat dalam DAS yaitu presipitasi, evaporasi, dan limpasan. Parameter
hidrologi yang dapat digunakan untuk menganalisis kondisi DAS yaitu data iklim,
limpasan permukaan (runoff), debit sungai, sedimentasi, potensi air tanah,
koefisien regim sungai, koefisien limpasan, nisbah debit maksimum dan
minimum, serta frekuensi dan periode banjir (Asdak 2007). Menurut Falkenmark
dan Rockstorm (2004), kondisi komponen DAS seperti limpasan, presipitasi dan
evaporasi tergantung pada iklim dan penutupan lahan. Parameter tersebut
memberikan pengaruh kepada besarnya infiltrasi dan kapasitas penyimpanan air
dalam tanah (Anwar 2011).
Perubahan Iklim
Dalam artikel 1 United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan unsur iklim yang
berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan aktivitas manusia yang
mempengaruhi komposisi atmosfer global dan menambah pengaruh pada
variabilitas iklim yang dipantau pada periode waktu tertentu. Definisi lain dari
perubahan iklim yaitu kondisi iklim yang dapat diidentifikasi (misalkan dengan
3

uji statistik) dari perubahan nilai rata-rata dan/atau variabilitas unsur-unsurnya


yang terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, biasanya dekade atau lebih
panjang (Bates et al 2008). Menurut Laporan Kajian IPCC ke-4 (2007), perubahan
iklim dapat dilihat dari perubahan kondisi alam sekitar, seperti puncak debit yang
lebih awal, melelehnya glasier gunung es di kutub selama musim panas, serta
meningkatnya frekuensi iklim ekstrim. Perubahan iklim terjadi akibat faktor alam
serta antropogenik (aktivitas manusia).
Perubahan iklim di Indonesia dapat diidentifikasi dari perubahan tren suhu
serta curah hujan. Berdasarkan data suhu tahun 1980 sampai tahun 2002 di 33
stasiun meteorologi di Indonesia menunjukkan terjadi peningkatan parameter suhu
maksimum dan minimum yang cukup signifikan (MoE 2007). Secara global
terjadi peningkatan presipitasi di wilayah sub-tropis, akan tetapi di beberapa
wilayah terjadi penurunan curah hujan bulanan dan tahunan. Terjadi penurunan
dominasi monsun yang menyebabkan perubahan pola tahunan dan peningkatan
rasio curah hujan selama musim hujan dan peningkatan periode dry-spell (Aldrian
dan Djamil 2008).

Global Circulation Model (GCM)


Global Circulation Model (GCM) merupakan model dinamik yang
berdasarkan pemahaman sistem iklim saat ini guna mensimulasi proses-proses
fisik atmosfer dan lautan yang kemudian dapat mengestimasi iklim gobal
(Kaimuddin 2000). Von et al (1993) mengatakan bahwa GCM mampu menduga
perubahan unsur-unsur cuaca dalam bentuk luaran grid yang berukuran 100-500
km menurut lintang dan bujur. Model yang digunakan dalam penelitian yaitu
CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) yaitu
model yang dikembangkan oleh Division of Atmospheric Research CSIRO,
Melbourne, Australia (Gordon et al 2002). Resolusi CSIRO terbaru mencapai
1.875x1.875 derajat. GCM CSIRO merupakan model yang menggambarkan
interaksi atmosfer dan lautan. Model ini dapat mensimulasi siklus harian dan
musiman, serta dapat memprediksi beberapa parameter iklim. Skenario perubahan
iklim yang digunakan yaitu RCP 4.5, yaitu skenario emisi gas rumah kaca global
jangka panjang dan penutupan lahan serta tata guna lahan yang menstabilkan
radiasi pada 4.5 W/m2 atau setara dengan 650 ppm CO2 (Wise et al 2009).
Kaimuddin (2000) juga menyatakan bahwa model CSIRO bagus untuk digunakan
di wilayah Indonesia karena memiliki resolusi horisontal yang tinggi sehingga
dapat mensimulasi data iklim di Indonesia dengan cukup baik.
Resolusi GCM masih sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk
memprediksi unsur iklim pada skala yang kecil. Simulasi curah hujan lokal
dengan menggunakan GCM harus dilakukan proses downscaling. Downscaling
didefinisikan sebagai proses transformasi data atmosfer skala besar (disebut
sebagai peubah penjelas) menjadi data resolusi spasial yang lebih baik (disebut
4

peubah respon) untuk memungkinkan analisis lokal dari efek perubahan iklim
(Najafi et al 2011). Definisi lain dari downscaling yaitu suatu proses transformasi
data dari suatu grid dengan unit skala besar menjadi data pada grid-grid dengan
unit skala yang lebih kecil (Wigena dan Estiningtyas 2011). Teknik downscaling
yang digunakan dalam penelitian yaitu Bias Correction. Metode bias correction
merupakan salah satu metode downscaling yang memaksa distribusi peluang dari
simulasi historis untuk cocok terhadap distribusi observasinya (Wood et al 2002).
Metode bias correction tidak berusaha untuk mengoreksi secara statistik dari
parameter yang disimulasikan, tapi lebih kepada mempertahankannya sebagai
dasar untuk evaluasi model (Salathe 2005).

Model Hidrologi HEC-HMS


Model hidrologi yaitu suatu formulasi matematika yang menyimulasikan
fenomena hidrologi di alam sebagai suatu proses atau sistem (Chow 1964).
Hydrologic Engineering Center’s Hydrologic Modeling System yang selanjutnya
dikenal dengan HEC-HMS dikembangkan oleh US Army Corps of Engineers-
Institute for Water Resources. Model ini merupakan pengembangan dari model
yang sebelumnya yaitu HEC-1 yang beralih menjadi model user interface HEC-
HMS berbasis GUI (Graphical User Interface). HEC HMS merupakan model
semi terdistribusi yang dapat menghitung proses di setiap sub-DAS. Salah satu
keunggulan dari model HEC-HMS adalah telah digunakannya konsep GIS dalam
penyelesaian pemodelannya (Kalita 2008). Data yang dapat dimasukkan dalam
model ini adalah time-series (curah hujan, debit, suhu dan radiasi surya), data
berpasangan (seperti fungsi elevasi-debit, dan storage-discharge), dan data grid
(grid presipitasi, suhu, dan bilangan kurva). Dalam model ini, data-data dapat
dimasukkan secara manual atau dengan referensi yang ada dalam HEC-DSS.
HEC-HMS terdiri atas empat komponen utama yaitu model analisis untuk
menghitung limpasan dan rute saluran, grafis yang menggambarkan komponen
sistem hidrologi dengan fitur interaktif, sistem menyimpan dan mengolah data
variabel waktu yang panjang, serta sarana mengeluarkan model (Bajwa dan Tim
2002 dalam Halwatura dan Najim 2013). Unsur-unsur hidrologi yang digunakan
dalam komponen ini adalah subbasin, reach, junction, source, sink, reservoir dan
diversion. Model hidrologi hasil HEC-HMS harus dikalibrasi terlebih dahulu
untuk meningkatkan keakuratan model. Kalibrasi model dilakukan dengan
menggunakan data curah hujan-limpasan hasil pengamatan. Apabila hasil model
sesuai dengan nilai teramati dari pengukuran maka model memiliki tingkat
kepercayaan tinggi (Muthukrishnan et al 2006). Data debit untuk kalibrasi model
diperoleh dari data tinggi muka air dan persaman rating curve. Rating curve yaitu
kurva yang menghubungkan antara tinggi muka air dengan debit (Warrick dan
Milliman 2003). Pendekatan hidrologi yang digunakan dalam model ini adalah
5

mekanistik, maksudnya seluruh proses yang menyertai terjadinya respon hidrologi


telah dicoba untuk dimasukkan dalam model.
METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di DAS Cibitung yang termasuk dalam wilayah


administratif Kabupaten Bandung Barat. Waduk Saguling terletak sekitar 20 km
dari kota Kecamatan Raja Mandala yang terletak antara jalan Bandung – Cianjur.
Penelitian dilakukan dua tahap, yaitu tahap pengambilan dan pengumpulan data
serta tahap pengolahan dan analisis data. Tahap pertama yaitu pengambilan dan
pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2018. Tahap kedua
adalah analisis dan pengolahan data yang dilakukan mulai bulan April hingga Juni
2018 di Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB.

Bahan

Data dan sumber data yang digunakan dan penelitian ini yaitu:
Tabel 1 Data dan sumber data
No Jenis Data Sumber Data
1. Curah Hujan harian observasi tahun Stasiun hujan Cililin, Pamipiran,
2016-2017 dan Cimanong
2. Curah hujan historis model tahun ccafs-climate.org
1980-2000 dan data proyeksi tahun
2020-2040
3. Tinggi muka air harian tahun 2016- Stasiun pengamatan debit Cililin
2017
4. Peta tanah semi detail tahun 2014 Pusat penelitian tanah dan
skala 1:200000 agroklimat
5. Peta penutupan lahan tahun 2011 BAPPEDA Kabupaten Bandung
skala 1:200000 Barat
6. Peta RTRW tahun 2009-2029 skala BAPPEDA Kabupaten Bandung
1:200000 Barat

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, serta seperangkat
komputer dengan software ArcGIS, HEC-HMS, dan Microsoft Office.
6

Prosedur Analisis Data

Gambar 1 Diagram alir penelitian


Dalam penelitian ini terdapat tiga skenario perubahan yaitu perubahan iklim,
perubahan penutupan lahan, dan perubahan penutupan lahan dan iklim. Ketiga
perubahan tersebut akan dianalisis perubahan limpasan terhadap baseline.
Diagram yang menjelaskan ketiga skenario perubahan yang digunakan dalam
penelitian disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Skenario model perubahan dalam penelitian


7

Analisis Presipitasi
Analisis presipitasi digunakan sebagai input dalam model hidrologi HEC-
HMS. Data curah hujan yang digunakan yaitu curah hujan wilayah dalam
penelitian ini menggunakan metode Poligon Thiessen. Metode Poligon Thiessen
digunakan untuk menghitung bobot masing-masing stasiun yang mewakili luasan
di sekitarnya. Poligon Thiessen dibuat dengan cara menghubungkan garis-garis
berat diagonal terpendek dari masing-masing stasiun curah hujan. Stasiun
meteorologi yang mewakili di DAS Cibitung yaitu stasiun meteorologi Cililin,
Cimanong, dan Pamipiran. Pembuatan Poligon Thiessen dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan aplikasi Arc-GIS. Bobot masing-masing stasiun
digunakan sebagai input bagian meteorologi dalam model HEC-HMS.
Data curah hujan skenario diperoleh dari data GCM, dengan model CSIRO
(Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation). Skenario
perubahan iklim yang digunakan yaitu RCP 4.5. Curah hujan proyeksi hasil model
telah didownscalling dengan metode bias correction yang diunduh melalui
website ccafs-climate.org yang dikelola oleh Climate Change, Agriculture, and
Food Security.

Penyusunan Basin Model

Pemodelan DAS digunakan sebagai representasi kondisi fisik DAS untuk


mensimulasikan limpasan. Dalam HEC-HMS terdapat tujuh elemen hidrologi
yang mewakili respon DAS terhadap presipitasi, yaitu:
Subbasin : mewakili DAS yang memiliki satu outfow yang dihitung
berdasarkan loss, surface runoff, dan baseflow.
Reach : menunjukkan proses routing dimana inflow dapat berasal dari lebih
satu upstream.
Junction : digunakan untuk mewakili pertemuan aliran sungai dan memiliki
lebih dari satu inflow.
Source : elemen yang digunakan memperkenalkan model, tidak memiliki
inflow dan hanya memiliki satu outflow.
Sink : dapat digunakan untuk mewakili outlet, memiliki lebih dari satu
inflow akan tetapi tidak memiliki outflow.
Reservoir : dapat digunakan untuk memodelkan danau atau kolam yang
memiliki inflow lebih dari satu serta outflow dapat dihitung
dengan satu dari tiga routing.
Diversion : dapat digunakan untuk mempresentasikan bendungan yang
mengalihkan aliran kedalam kanal-kanal.
Dalam sebuah DAS tidak harus memiliki tujuh elemen tersebut,
tergantung karakteristik DAS. Penyusunan basin model diperlukan untuk melihat
respon DAS terhadap presipitasi berdasarkan karakter DAS.
8

Penentuan Bilangan Kurva dan Imperviousness

Bilangan kurva dalam penelitian ini ditentukan dengan metode SCS yang
dikembangkan oleh Soil Conservation Service. Bilangan kurva menunjukkan
pengaruh hidrologi oleh tanah, penutupan lahan, kondisi hidrologi, serta
kandungan air tanah (KAT) sebelumnya. Sifat tanah berdasarkan pengelompokan
HSG (Hydrology Soil Group) yang dikembangkan oleh SCS terdapat empat kelas,
yaitu A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut ditentukan atas dasar sifat fisik tanah
terutama tekstur tanah dan ini menggambarkan laju infiltrasi masing-masing kelas
tanah.
Tabel 2 Sifat dan laju infiltrasi kelompok hidrologi tanah menurut SCS

HSG Sifat tanah Laju infiltrasi


(mm/jam)
A Pasir dalam, loess dalam, debu beragregat 203.2-304.8
B Loess dangkal, lempung berpasir 101.6-203.2
Lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah
C 25.4-101.6
berkadar organik rendah dan tanah berkadar liat tinggi
Tanah-tanah yang mengembang nyata ketika basah, liat
D 0-25.4
berat, plastis dan tanah-tanah tertentu

Sumber: McCuen (1982)

Kondisi air tanah (KAT) dalam bilangan kurva metode SCS ditentukan
dengan cara menjumlah curah hujan selama 5 hari sebelumnya. KAT metode SCS
dibedakan menjadi tiga kondisi beserta batasan curah hujan sebagai berikut:
Kondisi I : tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada titik layu, telah
pernah ditanami dengan hasil memuaskan
Kondisi II : keadaan rata-rata
Kondisi III : hujan lebat atau ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam
lima hari terakhir serta tanah jenuh

Tabel 3 Batasan jumlah curah hujan pada setiap kondisi KAT sebelumnya

Total curah hujan lima hari sebelumnya (mm)


Kondisi
Musim dorman Musim tumbuh
I <13 <35
II 13-28 35-53
III >28 >53
Sumber: McCuen (1982)
9

Nilai bilangan kurva untuk keadaan KAT sebelumnya pada kondisi II


mengikuti tabel yang telah ditentukan (Lampiran 1). Nilai KAT sebelumnya pada
kondisi I dan III dihitung dengan menggunakan persamaan Chow et al (1988)
sebagai berikut:
( )
()
( )
( )
( )
( )
DAS yang terdapat beberapa bilangan kurva ditentukan dengan
menggunakan nilai gabungan berdasarkan luas lahan.


Imperviousness merupakan luasan wilayah DAS yang seluruh presipitasi
akan menjadi limpasan langsung tanpa mengalami infiltrasi, evaporasi, ataupun
kehilangan lainnya. Penentuan Imperviousness diperkirakan berdasarkan tipe
penggunan lahan serta faktor imperviousness. Faktor Imperviousness ditetapkan
sebagai berikut:
Tabel 4 Nilai faktor imperviousness

Penutupan lahan Faktor Imperviousness (%)


Hutan 0
Tanah Terbuka 5
Agrikultur 5
Pemukiman 30
Komersial 80
Sumber: USACE (2000)

Penentuan Loss Model


Perhitungan loss model digunakan untuk menentukan curah hujan efektif,
yaitu curah hujan yang menyebabkan terjadinya limpasan. Dalam penelitian ini
perhitungan loss dilakukan dengan metode SCS curve number. Perhitungan loss
dengan metode SCS mempertimbangkan faktor penutupan lahan. Parameter dalam
loss model yaitu Initial abstraction, curve number, dan impervious. Initial
abstraction dihitung dengan rumus berikut:

Ia = 0.2S ;

dimana Ia merupakan initial abstraction, S adalah potential maximum retention,


dan CN merupakan bilangan kurva.
10

Penentuan Direct Runoff Model


Analisis limpasan langsung dalam penelitian ini menggunakan metode SCS
unit hydrograph yang didasarkan pada hidrograf aliran tak berdimensi. Metode
SCS unit hydrograph hanya memerlukan penentuan timelag yang dihitung dengan
rumus empiris sebagai berikut:
( )

Keterangan:
Lms : panjang sungai utama (ft)
S : potential maximum retention (in) ; S = – 10
aws : kemiringan rata-rata DAS (%)

Penentuan Baseflow Model


Aliran dasar terjadi akibat limpasan yang berasal dari kejadian presipitasi
terdahulu yang tersimpan secara temporer dalam suatu DAS, ditambah dengan
limpasan sub-permukaan yang tertunda dari suatu kejadian hujan. Pada penelitian
ini, metode perhitungan aliran dasar yang digunakan adalah exponential recession
model. Terdapat tiga parameter yaitu Initial discharge, konstanta resesi, dan aliran
treshold (aliran dimulainya kurva resesi). Konstanta resesi metode exponential
recession ditentukan dengan cara sebagai berikut:
Qt = Qokt
Notasi k merupakan konstanta resesi, Qt aliran dasar pada waktu tertentu, dan Qo
aliran dasar awal.

Penentuan Routing Model


Routing model digunakan mensimulasi rambatan gelombang aliran DAS.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode Muskingum. Parameter
yang dibutuhkan yaitu travel time (K) dan faktor pembobot (x). Waktu tempuh
ditentukan melalui hubungan antara kecepatan aliran (V) dengan panjang sungai
(L), sebagai berikut:
; dengan V =
dimana B adalah lebar sungai dan dQ/dy merupakan slope rating curve. Faktor
pembobotan didapat dengan cara trial-eror. Nilai faktor pembobotan antara 0
sampai 0.5 dengan nilai rata-rata 0.2 sehingga yang dijadikan input awal faktor
pembobot yaitu adalah 0.2.

Kalibrasi

Kalibrasi model merupakan proses penyesuaian nilai-nilai parameter model


hingga diperoleh hasil model yang mendekati hasil pengamatan, sehingga
parameter-parameter tersebut dapat digunakan membangun model skenario.
11

Kalibrasi dilakukan dengan membandingan hidrograf aliran pengamatan dengan


model yang dihasilkan HEC-HMS. Perhitungan debit observasi diperoleh
menggunakan data sekunder tinggi muka air, dengan menggunakan rating curve
dari stasiun pengamatan debit Cililin. Debit observasi DAS digunakan sebagai
alat kalibrasi model untuk melihat tingkat keakuratan.
Uji sensitivitas dilakukan sebelum melakukan kalibrasi untuk melihat
parameter mana yang sensitif dan tidak sensitif. Parameter disebut sensitif apabila
nilai parameter dirubah akan mengalami perubahan nilai output yang signifikan,
sebaliknya jika nilai parameter dirubah tidak terjadi perubahan yang signifikan
pada output maka parameter tersebut tidak sensitif. Parameter yang diuji
sensitivitas yaitu parameter pada loss model (bilangan kurva, initial abstraction,
dan impervious), parameter pada transform model (timelag), parameter pada
baseflow model (initial discharge, konstanta resesi, dan ratio to peak), dan
parameter pada routing model (travel time, dan faktor pembobot).
Kalibrasi model HEC-HMS dilakukan dengan cara trial and error.
Objective functions dalam menu kalibrasi HEC-HMS merupakan ukuran
kuantitatif bagi goodnes-of-fit yang menunjukkan derajat keragaman antara
hidrograf hasil perhitungan dengan data pengamatan. Kalibrasi pada penelitian ini
menggunakan metode Peak-Weighted RMS Error untuk mempresentasikan rata-
rata kuadrat simpangan (selisih) antara nilai keluaran model terhadap nilai
pengukuran. Nilai Root Mean Square Errors (RMSE) yang bagus adalah yang
mendekati nol (0). Algoritma yang digunakan yaitu Univariate gradient yang
mencari nilai eror minimum. Nilai optimum dari parameter yang dikalibrasi
diperoleh dengan cara pengulangan melalui proses trial-error.
Nilai optimum dari parameter yang dikalibrasi dimasukkan ke dalam
parameter DAS untuk running. Hasil model HEC-HMS dilakukan Uji-F terhadap
debit observasi. Uji-F dari Running model akan dapat dilihat dari nilai Nash-
Sutcliffe (NSE) yang menunjukkan kemiripan model terhadap debit observasi.
Rentang nilai NSE berkisar antara 0-1, nilai NSE semakin mendekati 1
menunjukkan bahwa hasil model mendekati observasi. Kalibrasi dilakukan hingga
model menunjukkan nilai (NSE) lebih besar dari 0.5. Nilai parameter setelah
kalibrasi yang telah menunjukkan NSE lebih dari 0.5 akan digunakan untuk
membangun model skenario perubahan iklim dan lahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum DAS Cibitung
DAS Cibitung terletak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
Luas DAS Cibitung sekitar 35.58 km2, dengan outlet yang terletak di Kecamatan
Cililin. Secara geografis DAS Cibitung terletak antara 5o58’-6o4’ LS 107o26’-
107o30’ BT. Aliran DAS Cibitung bermuara di Waduk Saguling.
12

Gambar 3 Lokasi DAS Cibitung

Tipe curah hujan di DAS Cibitung adalah tipe monsunal. Berdasarkan


klasifikasi iklim Koppen, Kabupaten Bandung Barat termasuk tipe Am dicirikan
dengan jumlah hari kering lebih sedikit serta jumlah curah hujan termasuk tinggi.
Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Kabupaten Bandung Barat 1500-3500
mm/tahun. Terdapat empat stasiun meteorologi yang terletak di sekitar DAS
Cibitung antara lain Stasiun Cililin, Cikoneng, Cimanong, dan Pamipiran. Data
pengamatan debit DAS Cibitung terdapat di stasiun Cililin. Di sekeliling Waduk
Saguling terdapat empat wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sindangkerta,
Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cipongkor, dan Kecamatan Cililin.

Presipitasi
Metode analisis presipitasi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
salah satu masukan HEC-HMS adalah metode user gage weights, yaitu
menentukan bobot curah hujan untuk setiap satu titik pengamatan sebagai dasar
perhitungan curah hujan wilayah. Bobot curah hujan wilayah dalam penelitian ini
dihitung berdasarkan poligon Thiessen. Hasil perhitungan bobot poligon Thiessen
pada masing-masing sub-DAS ditunjukkan pada Tabel 5 dan hasil poligon
Thiessen dari tiga stasiun yaitu Cililin, Cimanong, dan Pamipiran ditunjukkan
pada Gambar 4. Bobot curah hujan masing-masing stasiun menjadi input penting
dalam unsur meteorologi dalam pemodelan. Curah hujan yang terpilih yaitu bulan
Mei 2016, September 2016, November 2017, Desember 2017.
13

Batulayang

Rancapanggung Sukamulya

Nanggerang

Karyamukti

Buninagara

Gambar 4 Poligon Thiessen DAS Cibitung


Tabel 5 Bobot Poligon Thiessen pada masing-masing sub-DAS

DAS Cililin Cimanong Pamipiran


Batulayang 1 0 0
Rancapanggung 0.95 0 0.05
Sukamulya 0.89 0.11 0
Nanggerang 1 0 0
Karyamukti 0.04 0.86 0.11
Buninagara 0.08 0.24 0.68

400
350
Curah hujan (mm)

300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Bulan
Observasi koreksi Sebelum koreksi

Gambar 5 Hasil model sebelum dan sesudah koreksi


14

Model yang digunakan dalam memproyeksikan curah hujan tahun 2030


yaitu CSIRO yang telah dikoreksi dengan metode bias correction diunduh dari
ccafs-climate.org. Berdasarkan Gambar 5, hasil model setelah terkoreksi memiliki
pola yang lebih mendekati observasi dibandingkan hasil model yang belum
terkoreksi. Pola klimatologis pada model proyeksi setelah terkoreksi masih kurang
bagus, terlihat dari bulan Januari, Februari, Oktober dan November yang masih
jauh dari observasi.

300

250
CH model (mm)

200 R² = 0.8706
150

100

50

0
0 50 100 150 200 250 300
CH Observasi (mm)
CH Koreksi-CH Observasi Linear (CH Koreksi-CH Observasi)

Gambar 6 Nilai R square antara model dan observasi


Nilai R square merupakan koefisien determinasi yang menjadi ukuran
tingkat kesesuaian (goodness of fit) dari persamaan regresi yang memberikan
proporsi variasi total bagi variabel bebas (x) dalam menjelaskan variabel
terikatnya (y). Rentang R square antara 0-1, apabila R square semakin mendekati
1 menunjukkan bahwa variabel bebas (x) memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi
terhadap variabel terikat (y). R square model sesudah terkoreksi (Gambar 6)
adalah sebesar 0.87, secara statistik nilai R square model menunjukkan hasil
kesesuaian yang cukup bagus terhadap observasi. Hasil model yang mendekati
observasi setelah terkoreksi menunjukkan bahwa model cocok untuk digunakan
untuk mewakili curah hujan diwilayah kajian. Hasil R square antara model dan
observasi cukup bagus mendekati 1 menunjukkan bahwa proyeksi model dapat
digunakan untuk memproyeksikan curah hujan masa depan di wilayah kajian.

Basin Model

Pada penelitian ini elemen hidrologi yang digunakan untuk mewakili


kondisi DAS Cibitung terdiri dari 6 subbasin, 3 junction, serta 2 reach. Model
HEC-HMS merupakan model semi terdistribusi yang dapat menghitung proses
hidrologi di setiap sub-DAS. Hasil pemodelan DAS Cibitung ditunjukkan dalam
Gambar 7 berikut.
15

Nama Elemen hidrologi


Batulayang Subbasin
Rancapanggung Subbasin
Sukamulya Subbasin
Nanggerang Subbasin
Karyamukti Subbasin
Buninagara Subbasin
R1 Reach
R2 Reach
J3 Junction
J2 Junction
Outlet Junction/sink

Gambar 7 Hasil pemodelan basin menggunakan HEC-HMS


Setiap elemen mewakili proses hidrologi yang terdapat pada DAS Cibitung.
Parameter DAS akan diinput sesuai dengan proses yang terdapat pada elemen
DAS. Parameter yang diinput dalam elemen hidrologi pada HEC-HMS
menyangkut proses loss, transform, baseflow, dan routing.

Bilangan Kurva Dan Imperviousness


Soil Conservation Service (SCS) mengembangkan indeks yang
menunjukkan besarnya run off yang dikenal dengan curve number (bilangan
kurva). Bilangan kurva tersebut dalam menduga besarnya runoff
memperhitungkan beberapa faktor diantaranya penutupan lahan, perlakuan
terhadap tanah, keadaan air tanah sebelumnya, serta kondisi hidrologi. Faktor-
faktor tersebut berpengaruh secara bersamaan, ketika salah satu diubah maka akan
merubah nilai CN yang berimbas pula pada volume limpasan. Oleh karena itu
perubahan penutupan lahan dapat mengakibatkan perubahan limpasan DAS.

Presentase Sawah
0
100% 16 17 Pemukiman
8 0
80%
Ladang
27 36
60% Kebun

40% 23 Hutan
5 48
20% Semak
20 belukar
0
0%
2011 RTRW Tahun
Gambar 8 Statistik area penutupan lahan tahun 2011 dan RTRW 2009-2029
16

Keterangan:

Gambar 9 Peta penutupan lahan tahun 2011 dan RTRW 2009-2029


Bilangan kurva (CN) serta imperviousness dihitung dengan menggunakan
data penutupan lahan tahun 2011 serta data Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) Kabupaten Bandung Barat tahun 2009-2029. RTRW dibuat oleh
BAPPEDA dengan berdasarkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2012, sedangkan
penutupan lahan tahun 2011 merupakan penutupan lahan yang sesuai dengan
lapang. Peta RTRW digunakan sebagai acuan untuk dilakukan pembangunan
daerah.
Penutupan lahan di sekitar DAS Cibitung dibagi menjadi 6 kelas yaitu,
semak belukar, hutan, kebun, ladang, pemukiman, dan sawah. Penutupan lahan
tahun 2011 di wilayah DAS Cibitung mencakup 6 kelas (semak belukar, hutan,
kebun, ladang, pemukiman, dan sawah), akan tetapi dalam RTRW tahun 2009-
2029 penutupan lahan DAS Cibitung hanya mencakup 3 kelas (pemukiman,
hutan, dan perkebunan). Penutupan lahan berupa hutan sekitar 5% dari total
wilayah, sedangkan berdasarkan RTRW mencapai 48%. Perkebunan tahun 2011
sekitar 23%, sedangkan berdasarkan RTRW sekitar 36%. Area permukiman pada
tahun 2011 sekitar 8%, sedangkan alokasi RTRW sekitar 17%. Terdapat beberapa
penutupan lahan pada tahun 2011 tidak tercantum dalam alokasi RTRW yaitu
diantaranya sawah sekitar 16%, ladang sekitar 27%, serta semak belukar sekitar
20% dari total wilayah.
17

Melihat kondisi penutupan lahan, jenis tanah dan tindakan konservasi,


kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa kelas HSG (Hidrology Soil Group)
berdasarkan klasifikasi U.S Soil Conservation Service. Tindakan konservasi
dibagi menjadi baik sedang dan buruk yang akan mempengaruhi nilai bilangan
kurva.

Keterangan :
Kode tanah 67 : Typic Eutropepts dan Typic Hapludalfs
Kode tanah 70 : UlticHapludalfs dan Typic Hapludalfs
Kode tanah 76 : Typic Hapludalfs dan Lithic Troporthents

Gambar 10 Peta tanah semi detail DAS Cibitung


Mayoritas tanah di DAS Cibitung terdiri dari tiga jenis tanah yaitu Typic
Eutropepts dan Typic Hapludalfs, UlticHapludalfs dan Typic Hapludalfs, serta
Typic Hapludalfs dan Lithic Troporthents. Tipe tanah Typic Eutropepts dan Typic
Hapludalfs memiliki sifat unsur hara rendah, kadar liat tinggi, terbentuk dari
bahan induk breksi volkan, kedalaman tanah sangat dalam, serta drainase baik
sehingga dalam kelas HSG tergolong kelas C. Tipe tanah Ultic Hapludalfs dan
Typic Hapludalfs memiliki sifat terbentuk dari bahan induk breksi volkan,
kedalaman tanah sangat dalam, drainase baik, dominan debu, serta lereng terjal
sampai sangat terjal sehingga dalam kelas HSG tergolong kelas B. Tipe tanah
Typic Hapludalfs dan Lithic Troporthents memiliki sifat terbentuk dari bahan
induk breksi volkan, dominan pasir, kedalaman tanah sangat dalam dan dangkal,
drainase baik, serta lereng terjal sehingga dalam kelas HSG tergolong kelas A.
18

Tabel 6 Nilai bilangan kurva masing-masing DAS


DAS CN Ia CN Ib CN IIa CN IIb CN IIIa CN IIIb impa impb
Batulayang 51.96 51.78 72.03 71.88 85.56 51.78 7.41 7.09
Rancapanggung 34.76 31.14 55.92 51.84 74.48 31.14 5.64 5.46
Sukamulya 52.81 51.33 72.71 71.52 85.97 51.33 7.55 9.53
Nanggerang 25.51 20.41 44.92 37.91 65.22 20.41 3.04 2.73
Karyamukti 55.15 50.38 74.54 70.74 87.07 50.38 7.01 6.57
Buninagara 48.14 42.60 68.85 63.86 83.56 42.60 6.55 5.35
Keterangan: a tahun 2011, dan b tahun 2030
Nilai bilangan kurva masing-masing DAS dihitung berdasarkan bobot
penutupan lahan menurut kelompok hidrologi tanahnya. Bilangan kurva
mengikuti kondisi KAT (Kandungan Air Tanah) yang ditentukan berdasarkan
jumlah curah hujan lima hari sebelumnya. Nilai Imperviousness yang kecil
menunjukkan bahwa wilayah yang membuat presipitasi menjadi limpasan
langsung juga tidak terlalu luas. Wilayah yang mengakibatkan nilai
Imperviousness tinggi yaitu apabila luas pemukiman lebih luas dibandingkan
lahan hijau. Perubahan lahan mengakibatkan perubahan nilai bilangan kurva serta
Imperviousness. Nilai bilangan kurva serta Imperviousness pada tahun 2011
cenderung lebih besar dibandingkan berdasarkan RTRW tahun 2009-2029.
Berdasarkan tabel bilangan kurva (CN) serta tabel imperviousness yang disusun
oleh USACE (2000) menunjukkan bahwa semakin kecil nilai bilangan kurva
menunjukkan kondisi penutupan lahan serta konservasi terhadap tanah lebih
bagus, sedangkan Imperviousness semakin besar menunjukkan wilayah resapan
lebih sedikit.
Loss Model
Loss model dalam penelitian ini menggunakan metode SCS disebabkan
kelebihan metode SCS yaitu sederhana, terukur, serta stabil (USACE 2000).
Parameter yang dibutuhkan dalam metode SCS yaitu Initial abstraction, curve
number (CN) serta impervious. Nilai Initial abstraction, bilangan kurva pada
setiap kejadian hujan terpilih memiliki nilai yang berbeda tergantung Kondisi Air
Tanah (KAT) lima hari sebelumnya. Nilai Initial abstraction dalam tiga kondisi
pada penutupan lahan tahun 2011 dan penutupan lahan sesuai RTRW 2009-2029
ditunjukkan dalam Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7 Nilai Initial abstraction penutupan lahan tahun 2011
DAS Ia CNI Ia CN II Ia CNIII
Batulayang 46.96 19.72 8.58
Rancapanggung 95.33 40.04 17.41
Sukamulya 45.39 19.06 8.29
Nanggerang 148.33 62.30 27.09
Karyamukti 41.32 17.35 7.54
Buninagara 54.73 22.99 9.99
19

Tabel 8 Nilai Initial abstraction penutupan lahan RTRW tahun 2009-2029

DAS Ia CNI Ia CN II Ia CNIII


Batulayang 47.31 19.87 8.64
Rancapanggung 112.36 47.19 20.52
Sukamulya 48.16 20.23 8.79
Nanggerang 198.10 83.20 36.18
Karyamukti 50.04 21.02 9.14
Buninagara 68.46 28.75 12.50

Semakin kecil nilai bilangan kurva (CN) menunjukkan laju infiltrasi yang
bagus, sehingga nilai Initial Abstraction (Ia) lebih besar. Semakin besar nilai
Initial Abstraction artinya untuk mencapai titik jenuh tebal hujan yang dapat
ditampung lebih banyak sebelum menjadi limpasan (Halwatura dan Najim 2013).
Penutupan lahan sesuai RTRW memiliki nilai Ia yang lebih besar dibandingkan
pada penutupan lahan tahun 2011. Penutupan lahan tahun 2011 lebih cepat
mencapai titik jenuh dibandingkan penutupan lahan sesuai RTRW tahun 2009-
2029, hal tersebut akan berdampak pada volume limpasan. Dengan volume hujan
yang sama, lahan yang cepat mencapai titik jenuh memiliki volume limpasan yang
lebih besar.

Direct Runoff Model

Masukan yang dibutuhkan dalam metode SCS untuk menentukan runoff


yaitu timelag. Timelag menunjukkan jeda waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
puncak setelah kejadian hujan. Waktu yang dibutuhkan bergantung pada kondisi
air tanah sebelumya, apabila kondisi air tanah sebelumnya jenuh maka timelag
semakin kecil. Hasil nilai timelag untuk masing-masing kondisi pada penutupan
lahan tahun 2011 dan penutupan lahan sesuai RTRW tahun 2009-2029
ditunjukkan dalam Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9 Nilai Timelag untuk penutupan lahan tahun 2011

DAS tl CNI tl CNII tl CNIII


Batulayang 12.83 7.64 5.03
Rancapanggung 34.98 19.98 12.27
Sukamulya 19.36 11.55 7.64
Nanggerang 33.82 19.01 11.33
Karyamukti 57.99 34.87 23.32
Buninagara 50.26 29.59 19.15
20

Tabel 10 Nilai Timelag untuk penutupan lahan sesuai RTRW tahun 2009-2029

DAS tl CNI tl CNII tl CNIII


Batulayang 12.89 7.67 5.05
Rancapanggung 39.03 22.15 13.44
Sukamulya 20.10 11.94 7.84
Nanggerang 41.17 22.97 13.49
Karyamukti 65.43 38.76 25.34
Buninagara 58.09 33.73 21.33

Nilai timelag pada penutupan lahan tahun 2011 lebih singkat dibandingkan
pada penutupan lahan sesuai RTRW. Hal tersebut menunjukkan pada penutupan
lahan tahun 2011 lebih cepat mencapai kondisi jenuh dibandingan pada penutupan
lahan sesuai RTRW tahun 2009-2029. Apabila kondisi air tanah mudah jenuh
maka waktu untuk mencapai puncak relatif singkat (Yu et al 2000).

Baseflow Model
Inputan yang dibutuhkan dalam menentukan model aliran dasar yaitu
Initial discharge, konstanta resesi, serta ambang batas aliran (threshold). Aliran
threshold dapat dinyatakan dalam ratio to peak, yaitu perbandingan antara besar
aliran threshold dengan debit puncak. Besar nilai tersebut ditentukan berdasarkan
hidrograf aliran hasil pengamatan di stasiun Cililin. Nilai Initial discharge rata-
rata DAS Cibitung yaitu 2.5 m3/s, nilai konstanta resesi DAS Cibitung yaitu 0.6,
serta nilai ratio to peak rata-rata yaitu 0.8.

Routing Model
Berdasarkan konfigurasi DAS Cibitung proses routing terbagi menjadi dua
elemen reach, yaitu R-1 dan R2. Rata-rata lebar DAS Cibitung yaitu 10.5 meter
dengan slope rating curve DAS Cibitung yaitu 10.52. Berdasarkan nilai luas dan
slope rating curve tersebut didapat kecepatan alirannya yaitu 1.07 m/s. Parameter
K untuk masing-masing reach diperoleh yaitu R1 sebesar 0.50 jam dan R2
sebesar 0.31 jam. Nilai parameter x ditentukan menggunakan nilai rata-rata DAS
alami yaitu 0.2 yang selanjutnya akan dikalibrasi untuk mengetahui nilai x yang
sesuai dengan DAS Cibitung.

Kalibrasi
Setiap DAS memiliki parameter sensitif yang berbeda-beda. Hasil uji
sensitivitas menunjukkan parameter yang tidak sensitif yaitu pada transform
model (timelag) dan routing model (time travel dan faktor pembobot). Parameter
yang paling sensitif yaitu pada baseflow model (initial discharge, konstanta resesi,
21

dan time to peak) dan loss model (bilangan kurva, initial abstraction, dan
impervious). Parameter yang sensitif akan dikalibrasi dan digunakan untuk
membangun model. Pengujian hasil model dilakukan dengan menggunakan uji
kemiripan atau Uji-F. Uji-F model dilakukan dengan membandingkan antara hasil
model dengan observasi. Nilai yang menunjukkan Uji-F yaitu Nash-Sutcliffe
(NSE), dimana semakin mirip model dengan pengamatan maka nilai Nash-
Sutcliffe pun semakin besar. Rentang nilai NSE yaitu antara 0-1, semakin
mendekati 1 maka hasil model memiliki akurasi yang tinggi. Nilai Nash-Sutcliffe
sebelum kalibrasi pada masing-masing kejadian hujan yang dipilih hanya
mencapai -2 sampai 0.2. Nilai Nash-Sutcliffe sebelum kalibrasi sangat rendah,
sedangkan ketika sudah dikalibasi dapat mencapai 0.5 sampai 0.7. Gambar 11
merupakan salah satu hasil kalibrasi model yang memiliki nilai Nash-Sutcliffe
0.618. Nilai Nash-Sutcliffe model sebelum kalibrasi rendah dikarenakan terdapat
data paramater masukan model yang kurang tepat.

Nash-Sutcliffe = 0.618

Gambar 11 Hasil kalibrasi model

Evaluasi Hasil Skenario Model HEC-HMS


Parameter perubahan iklim yang digunakan dalam penelitian ini adalah
curah hujan. Curah hujan baseline yaitu tahun 2016-2017, sedangkan curah hujan
proyeksi yaitu tahun 2030 yang telah didownscalling dengan metode bias
correction. Penutupan lahan perubahan lahan yang dimaksudkan yaitu perbedaan
antara penutupan lahan tahun 2011 dan RTRW tahun 2009-2029. RTRW
digunakan sebagai acuan pembangunan suatu daerah, oleh karena itu penting
dilakukan evaluasi penutupan lahan sesuai RTRW terhadap keseimbangan
hidrologi DAS Cibitung.
22

Curah hujan (mm) Curah hujan (mm) Curah hujan (mm)


Curah hujan (mm)

25
20
15
10
5
0
20
15
10
5
0
20
15
5
0

10

80
60
40
20
0

100
05-Des 01-Nop 01-Mei
01-Sep
07-Des 03-Nop 03-Mei
03-Sep
09-Des 05-Nop 05-Sep 05-Mei
07-Nop 07-Sep 07-Mei
11-Des
09-Nop 09-Sep 09-Mei
13-Des
11-Nop 11-Sep 11-Mei
15-Des
13-Nop 13-Mei
13-Sep
17-Des 15-Mei
15-Nop 15-Sep
19-Des 17-Nop 17-Mei
17-Sep

Keterangan:
21-Des 19-Nop 19-Mei
19-Sep
21-Mei
23-Des 21-Nop 21-Sep
23-Mei
25-Des 23-Nop 23-Sep
25-Mei
27-Des 25-Nop 25-Sep
27-Mei
27-Nop 27-Sep
29-Des 29-Mei
29-Nop 29-Sep
31-Des 31-Mei
0

0
10
20
30
40
50

10
20
30
40
50

10
20
40
50

30

10
20
30
50
40
Bulan

Gambar 12 Perbandingan hidrograf aliran awal dengan skenario perubahan


Bulan
Bulan

Debit (m3/s) Debit (m3/s)

Bulan
Debit (m3/s) Debit (m3/s)
23

Tabel 11 Perbandingan limpasan setiap skenario perubahan terhadap baseline

Perubahan (%)
Skenario
Mei September November Desember
Perubahan iklim +9.61 -39.01 -5.20 +43.72
Perubahan penutupan lahan -6.67 +6.80 -5.67 -0.64
Perubahan iklim dan
-2.70 -36.90 -4.43 +15.77
penutupan lahan

Tabel 12 Peningkatan curah hujan

Bulan Curah hujan Curah hujan Peningkatan


baseline proyeksi (%)
Mei 101 125.2 +23.96
September 212.2 43.1 -79.70
November 153 155.7 +1.78
Desember 81.6 168.6 +106.57

Model pada skenario perubahan iklim menunjukkan peningkatan limpasan


paling tinggi terjadi pada bulan Desember karena terjadi peningkatan curah hujan
paling tinggi. Bulan September mengalami penurunan limpasan karena curah
hujan proyeksi lebih rendah dari curah hujan baseline. Peningkatan curah hujan
diiringi dengan peningkatan limpasan di DAS Cibitung.
Model pada skenario perubahan lahan menunjukkan peningkatan limpasan
bulan September lebih tinggi karena memiliki curah hujan yang tergolong tinggi.
Rata-rata pada bulan lainnya mengalami penurunan limpasan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pada tingkat curah hujan tertentu penutupan lahan RTRW
dapat mengalami penurunan volume limpasan, apabila curah hujan tinggi maka
limpasan mengalami peningkatan.
Kondisi penutupan lahan RTRW memiliki imperviousness yang rendah
dibanding kondisi tahun 2011, sedangkan curah hujan masa depan mengalami
peningkatan dari curah hujan baseline. Peningkatan limpasan paling besar yaitu
pada model skenario perubahan iklim (kondisi penutupan lahan tahun 2011).
Limpasan pada penutupan lahan RTRW dengan curah hujan baseline mayoritas
menunjukkan penurunan. Apabila curah hujan mengalami peningkatan sesuai
dengan skenario maka limpasan pada penutupan lahan RTRW cenderung lebih
kecil dibandingkan limpasan pada penutupan lahan tahun 2011. Tabel 12
menunjukkan peningkatan curah hujan yang terjadi, apabila dikaitkan peningkatan
curah hujan dan peningkatan limpasan pada skenario penutupan lahan RTRW
dengan curah hujan proyeksi dapat dilihat bahwa tidak terjadi kenaikan yang
signifikan apabila curah hujan tidak lebih dari 107%.
24

Bulan yang dipilih merupakan musim penghujan, hasil model cenderung


menunjukkan peningkatan curah hujan serta peningkatan limpasan pada tahun
2030. Didukung oleh penelitian Prudhomme dan Davies (2008) yang menyatakan
bahwa curah hujan dan debit air cenderung meningkat pada musim penghujan,
sedangkan curah hujan dan debit air cenderung menurun ketika musim kemarau.
Apabila faktor unsur hidrologi masih tetap maka limpasan DAS Cibitung akan
mengalami peningkatan pada musim penghujan. Apabila tidak dilakukan
penanganan maka akan mengalami peningkatan kejadian banjir, serta akan
mengalami kekeringan ketika musim kemarau.
Volume limpasan DAS Cibitung mengalami peningkatan apabila curah
hujan meningkat. Peningkatan limpasan menunjukkan bahwa DAS Cibitung peka
terhadap perubahan curah hujan serta perubahan lahan. Penutupan lahan tahun
2011 memiliki peningkatan limpasan yang lebih besar dibandingkan penutupan
lahan RTRW 2009-2029 apabila terjadi peningkatan curah hujan. Hasil analisis
limpasan tersebut menunjukkan penutupan lahan lebih berpengaruh terhadap
limpasan di DAS Cibitung. Apabila kondisi hidrologi DAS Cibitung masih tetap
sama, maka apabila terjadi peningkatan volume curah hujan pada masa yang akan
datang maka respon hidrologi yang terjadi yaitu peningkatan volume limpasan.
Saghafian et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan debit puncak dan volume
aliran dapat meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir. Cara untuk menurunkan
volume limpasan yaitu dengan menambah wilayah penutupan lahan yang dapat
menyimpan air seperti hutan, dan lahan terbuka hijau. Bertambah wilayah
terbangun maka akan semakin meningkatkan volume limpasan di sekitar DAS
Cibitung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penutupan lahan sesuai RTRW
tahun 2009-2029 dapat mengimbangi peningkatan curah hujan pada massa yang
akan datang apabila peningkatan curah hujan dibawah 107%. Dibandingkan
dengan kondisi penutupan lahan tahun 2011 yang hanya mampu menolerir
peningkatan curah hujan sekitar 2%.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Daerah Aliran sungai (DAS) Cibitung sensitif terhadap perubahan iklim dan
penutupan lahan. Respon yang terjadi berupa peningkatan limpasan. Peningkatan
limpasan paling besar terjadi pada kondisi perubahan iklim. Faktor
Imperviousness dan bilangan kurva (CN) pada penutupan lahan berpengaruh
terhadap limpasan. Penutupan lahan tahun 2011 memiliki imperviousness lebih
besar daripada penutupan lahan sesuai RTRW 2009-2029. Imperviousness yang
lebih besar mengakibatkan limpasan yang lebih besar pula. Penutupan lahan tahun
2011 memiliki bilangan kurva yang lebih besar dibandingkan penutupan lahan
RTRW 2009-2029. Penutupan lahan yang memiliki bilangan kurva lebih besar
25

memiliki laju infiltrasi yang rendah dan cepat mencapai titik jenuh. Penutupan
lahan sesuai RTRW 2009-2029 tidak mengalami peningkatan limpasan yang
signifikan apabila curah hujan tidak meningkat lebih dari 107%, sedangkan
penutupan lahan tahun 2011 mengalami peningkatan limpasan yang signifikan
jika curah hujan meningkat lebih besar atau sama dengan 2%.

Saran

Perlu dilakukan ketelitian yang tinggi dalam menentukan parameter DAS


dalam menggunakan aplikasi HEC-HMS agar menghasilkan model yang dapat
menggambarkan keadaan DAS yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E dan Djamil YS. 2008. Spatio-temporal climatic change of rainfall in
east Java Indonesia. Internasional Journal Climatology. 28(1):435-448.
Anwar MR. 2011. The rainfall-runoff model using of the watershed physical
characteristic approach. International Jurnal of Civil and Environmental
Engineering. XI(6): 71-75.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jogjakarta
(ID): Gadjah Mada University Pr.
Bajwa, H.S., Tim, U.S., 2002. Toward immersive virtual environments for GIS-
based fl oodplain modeling and visualization. In: Proceedings of 22nd ESRI
User Conference, San Diego, TX, USA.
Bates BC, Kundzewicz ZW, Wu S dan Palutikof JP: (Eds). 2008. Climate Change
and Water. Technical paper of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. IPCC Secretariat: Geneva.
Chow VT. 1964. Applied Hydrology. America (USA): McGraw-Hill Inc.
Falkenmark M, Rockström J. 2004. Balancing Water for Humans and Nature.
London (UK) : Cromwell Press.
Halwatura D dan Najim MMM. 2013. Application of the HEC-HMS model for
runoff simulation in atropical catchment. Elsevier Journal. 46(2013:155-
162.
Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]. 2007. Climate Change 2007:
Synthesis Report. An Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. IPCC Secretariat: Geneva.
Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]. 2013. Climate Change 2013:
The Physical Science Basis.
Kaimuddin. 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tataguna Lahan
Terhadap Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi Selatan (Studi Kasus DAS
Walanae Hulu dan DAS Saddang). [Disertasi]. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kalita, D.N., August 2008. A study of basin response using HEC-HMS and
subzone reports of CWC. In: Proceedings of the 13th National Symposium
on Hydrology.National Institute of Hydrology, Roorkee, New Delhi.
26

Kundu S, Khare D, Mondal A. 2017. Individual and combined impacts of future


climate and landuse changes on water balance. Journal Ecological
Engineering. 105:42-57.
Ma X, Xu J, Luo Y, Aggarwal SP, Li J. 2009. Response of hydrological processes
to landcover and climate changes in Kejie Watershed, Southwest China.
Hydrol Process. 23(8):1179-1191.
McCuen HR. 1982. Aguide to Hydrologic Analysis Using SCS Methods. New
Jersey(USA):Prentice Hall Inc.
MoE. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change,
and their Implication. Jakarta (ID):Ministry of Environment, Republic of
Indonesia.
Muthukrishnan S, Harbor J, Lim KJ, Bernard AE. 2006. Calibration of a simple
rainfall-runoff model for long-term hydrological impact evaluation. Urban
and Regional Information Systems Association (URISA) Journal. 18 (2): 35-
42.
Najafi MR, Moradkhani H, Wherry SA. 2011. Statistical downscaling of
precipitation using machine learning with optimal predictor selection.
Journal Hydrology Engineering. 2011(16):650-664.
Prudhomme C, dan Davies H. 2009. Assesing uncertainties in climate change
impact analyses on the river flow regimes in UK part 2: climate change.
Climate Change. 93:197:222.
Risyanto I. 2009. Analisis program rehabilitasi DTA Saguling. Research Gate.
Ritter M. 2003. The Physical Environment. Winconsin (USA): University of
Wisconsin Press.
Saghafian B, Farazjoo, Hassan, Bozorgy, Babak, Yazdandoost, Farhad. 2008.
Flood intensification due to changes in land use. Water Resource
Management. 22: 2051-1067.
Salathe, EP. 2005. Downscaling simulations of future global climate with
application to hydrologic modeling. International Journal of Climatology
25:419-436.
Thornthweite DW dan Mather JR. 1957. Instruction and Table For Computing
Potensial Evapotranspiration and Water Balance. New Jersey (USA):
Centerton.
US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center. 2001. HEC-HMS
Hydrologic Modeling System: User’s Manual, Version
3.0.1.http://www.hec.usace.army.mil/software/software_distrib/hec-
hms/hechmsprogram.html/HEC-HMS_Users_Manual_3.0.1.pdf.[12
Februari 2018].
US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center. 2000. HEC-HMS
Hydrologic Modeling System : Technical Reference
Manual.http://www.hec.usace.army.mil/software/software_distrib/hechms/h
echmsprogram.html/hms_technicalreference manual.pdf. [12 Februari
2018].
Von S et al. 1993. Downscaling of global climate change estimates to regional
scales : an application to iberian rainfall in wintertime. Journal of Climate.
6(1):1161-1171.
27

Warrick JA and Milliman JD. 2003. Hyperpycnal sediment discharge from


semiarid southern California rivers: Implications for coastal sediment
budgets. Journal Geology. 31(1):781–784.
Wigena AH dan Estiningtyas W. 2011. Teknik ststistical downscaling dengan
regresi komponen utama dan regresi kuadrat terkecil parsial untuk prediksi
curah hujan pada kondisi El-Nino, La-Nina, dan normal. Jurnal Meteorologi
dan Geofisika. 12(1):65-72.
Wise M, Calvin K, Thomson A, Clarke L, Sands R, Smith SJ, Janetos A,
Edmonds J. 2009. Implications of Limiting CO2 Concentrations for Land
Use and Energy. Journal Science. 32(4):1183-1186.
Wood AW, Maurer EP, Kumar A, dan Lettenamier DP. 2002. Long-range
experimental hydrologic forecasting for the eastern United States. J.
Geophys. Res. 107:4391-4429.
Yu B, Rose CW, Ciesiolka CCA, Cakurs U. 2000. The relationship between
runoff rate and lag time and the effects of surface treatments at the plot
scale. Journal Hydrological Sciences. 45(5):709-726.
Zhang A., Zhang C, Fu G, Wang B, Bao Z, Zheng H, 2012. Assessments
ofimpacts of climate change and human activities on runoff with SWAT for
theHuifa River Basin, Northeast China. J. Water Resour Manage. 26:2199–
2217.

LAMPIRAN
Lampiran 1 tabel Bilangan Kurva (CN) aliran permukaan untuk berbagai
kompleks penutupan lahan
Kelompok Hidrologi Tanah
No Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi Hidrologi
A B C D
Pemukiman1
Persentase rata-rata
2
Luas Kapling (m ) kedap air2
500 65 77 85 90 92
1
1000 38 61 75 83 87
1300 30 57 72 86 86
2000 25 54 70 80 85
4000 20 51 68 79 84
2 Tempat parkir aspal, atap, jalan aspal dan lain-lain3 98 98 98 98
Jalan umum
Beraspal dan bersaluran pembuangan 98 98 98 98
3
Krikil 76 85 89 91
Tanah 72 82 87 89
4 Daerah pertokoan (85% kedap) 89 92 94 95
5 Daerah industri (75% kedap) 81 88 91 93
Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara,
taman,
6 lapangan golf, kuburan, dan lain-lain
Kondisi baik : 75% atau lebih tertutup rumput 39 61 74 80
Kondisi sedang : 50%-75% tertutup rumput 49 69 79 84
28

7 Bera larian menurut lereng 77 86 91 94


Tanaman semusim (dalam baris)
Menurut lereng – buruk 72 81 88 91
Menurut lereng – baik 67 78 85 89
8 Menurut kontur – buruk 70 79 84 88
Menurut kontur – baik 65 75 82 86
Kontur & teras – buruk 66 74 80 82
Kontur & teras – baik 62 71 78 81
Padi-padian
Menurut lereng – buruk 65 76 84 88
Menurut lereng – baik 63 75 83 87
9 Menurut kontur – buruk 63 74 82 85
Menurut kontur – baik 61 73 81 84
Kontur & teras – buruk 61 72 79 82
Kontur & teras – baik 59 70 78 81
Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman
padang rumput4
Menurut lereng – buruk 66 77 85 89
Menurut lereng – baik 58 72 81 85
10
Menurut kontur – buruk 64 75 83 85
Menurut kontur – baik 55 69 78 83
Kontur & teras – buruk 63 73 80 83
Kontur & teras – baik 51 67 76 80
Padang rumput penggembalaan
Buruk 68 79 86 89
Sedang 49 69 79 84
Baik 39 61 74 80
11 Menurut kontur
Buruk 47 67 81 88
Sedang 25 59 75 83
Baik 6 35 70 79
12 Padang rumput potong Baik 30 58 71 78
Buruk 45 66 77 83
13 Hutan Sedang 36 60 73 79
Baik 25 55 70 77
14 Perumahan petani 59 74 82 86
Sumber : Arsyad (2010)
Keterangan:
1. Bilangan kurva (CN) dihitung berdasarkan asumsi bahwa aliran permukaan dari rumah
masuk diarahkan ke jalan umum dengan sejumlah minimum air dari atap diarahkan ke
halaman rumput dimana infiltrasi terjadi
2. Areal sisa yang tidak kedap air (pekarangan berumput) dianggap berada sebagai
rumput yang baik
3. Di bagian yang lebih panas bilangan kurva 95 dapat digunakan.
4. Dalam barisan rapat atau disebar.
29

Lampiran 2 Peta Jaringan sungai, Batas DAS dan Sub-DAS

Lampiran 3 Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bandung Barat
30

Lampiran 4 Langkah Pengerjaan menggunaan HEC-HMS

1. Buka aplikasi HEC-HMS tampilan depan seperti Gambar 1, kemudian pilih


create new project

Gambar 1
2. Tampilan create new project (Gambar 2), tulis nama project, deskripsi, serta
pilih ruang penyimpanan. Pilih sistem default Metric jika ingin menggunakan
satuan SI, jika ingin menggunakan satuan USA gunakan sistem default U.S.
Costumary. Kemudian klik create.

Gambar 2
31

3. Klik components pilih Basin Model Manager (akan muncul folder Basin
Model) klik new buat nama DAS klik create

Gambar 3
4. Nama DAS yang dibuat akan muncul dalam folder Basin Models klik hingga
muncul bckground map. Klik view >> Background Maps add DAS yang telah
dibuat dalam bentuk shp.

Gambar 4
5. Susun komponen elemen DAS, kemudian hubungkan tiap elemen yang telah
disusun seperti pada Gambar 5.
32

Gambar 5
6. Stetlah basin model tersusun, isikan parameter yang terdapat dalam DAS pada
menu parameter terdapat beberapa parameter, dalam penelitian ini yang
digunakan hanya parameter Loss, Transform, Baseflow, dan Routing.

Gambar 6
33

7. Nilai input pertama yang harus dimasukkan yaitu luasan DAS yang diinput ke
dalam parameter Subbasin Area. Nilai inputan parameter setiap model
tergantung metode yang digunakan. Loss model yang dipilih dalam penelitian
ini adalah metode SCS CN sehingga parameter input yang dibutuhkan yaitu
impervious, curva number, dan initial abstraction. Transform model yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode SCS unit hydrograph input yang
dibutuhkan yaitu timelag. Baseflow model dalam penelitian ini menggunakan
Recession Method ,parameter yang input antara lain initial discharge, recession
constant, dan ratio to peak. Metode Routing model yang digunakan yaitu
Muskingum, input yang dibutuhkan waktu travel, dan konstanta x.
8. Apabila komponen DAS sudah terisi, maka dapat dilanjut dengan mengisi
komponen Time-Series Data Manager dari menu Components yang berisi
tentang data timeseries curah hujan maupun debit observasi. Tentukan interval
data yang ingin dimasukkan seperti pada Gambar 7, selang data mulai dari per
menit hingga harian. Grafik curah hujan yang dimasukkan dapat dilihat pada
sub menu Graph pada menu Precipitation Gages seperti pada tampilan
Gambar 8.

Gambar 7

Gambar 8
34

9. Menu Components >> Meteorologic Model Manager untuk mengisis


komponen meteorologi berupa bobot hujan setiap stasiun. Komponen editor
(pada Gambar 9) klik Basin, apabila ingin menentukan bobot stasiun
berdasarkan masing-masing sub-DAS maka Include Subbasin pilih Yes. Jeluk
hujan pada stasiun yang ada, tanpa mamasukkan data jeluk hujan untuk stasiun
yang dijadikan sebagai time series data.

Gambar 9
10. Komponen editor yang terdapat pada menu setiap sub-DAS ada pilihan Gage
Selection untuk menentukan stasiun mana yang memiliki bobot hujan pada
sub-DAS tersebut. Apabila stasiun Cililin memiliki bobot hujan pada sub-
DAS Buninagara maka pilih Yes (pada Gambar 10). Masukkaan bobot
stasiun pada sub-DAS sesuai yang telah dihitung dengan menggunakan
poligon Thiessen (pada Gambar 11).

Gambar 10
35

Gambar 11
11. Menentukan selang waktu simulasi model pada pilihan menu Components >>
Control Spesificaion Manager (Gambar 12). Selang waktu simulasi harus
sesuai dengan data time series yang dimasukkan pada komponen Time-Series
Model Manager.

Gambar 12
12. Apabila semua komponen sudah terisi maka dapat membuat komponen
simulasi pada menu Compute >> Simulation Run. Buat nama simulasi run
kemudian tinggal Next saja.
13. Untuk memulai menjalankan program klik kanan Run yang dibuat pilih
compute. Apabila terjadi eror maka akan muncul pada Message Log.
36

Gambar 13
14. Apabila ingin melihat tingkat keakuratan model dapat dimasukkan data debit
observasi pada komponen time seriues kemudian pada option sub-DAS
masukkan observer flow pada outflow (pada Gambar 14)

Gambar 14
15. Melihat hasil model dengan klik menu Result pada komponen editor.
Summary tabel akan menunjukkan hasil Nash-Sutcliffe model (Gambar 15).
Salah satu bentuk hidrograf aliran model ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 15
37

Gambar 16
16. Kalibrasi model dapat dilakukan dengan aplikasi HEC-HMS yaitu dengan
membuat menu trial : Compute >> Optimization Trial Manager. Tentukan
Max Iterations, serta persentase Missing flow. Klik kanan pada trial pilih Add
Parameter untuk menentukan parameter mana yang akan dikalibrasi. Apabila
sudah terisi semua maka klik kanan trial yang dibuat > Compute.

Gambar 17
17. Hasil trial memberikan pendekatan nilai yang lebih sesuai beserta dengan
sensitivitas dari perameter tersebut.

Gambar 18
38

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bojonegoro pada tanggal 28 Juni 1996 dari pasangan Bapak
Lasimin dan Ibu Sri Welas. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Bangilan 02, pendidikan
menengah pertama di SMPN 1 Bangilan, pendidikan menengah atas di SMA N 1
Jatirogo, serta melanjutkan jenjang perkuliahan di Institut Pertanian Bogor
program studi Geofisika dan Meteorologi. Penulis lulus seleksi kuliah melalui
jalur SNMPTN. Selama kegiatan perkuliahan, penulis pernah aktif di organisasi
Bina Desa BEM KM IPB sebagai anggota divisi Pengembangan Usaha Desa.
Penulis juga ikut berperan aktif dalam kepanitiaan kegiatan kampus, di antaranya
PSN (Pesta Sains Nasional) pada tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai