RAFAEL SEPTIANO
Rafael Septiano
NIM G24120023
ABSTRAK
Ciliwung included into a national priority because every river flow from
upstream, middle and downstream can meentukan potential flood event. Floods
occurred in Jakarta area is determined by the flow of the river Ciliwung watershed
as a whole, starting from the upstream, midstream, and downstream. Excessive
water levels at each station observation that caused floods in Jakarta always occur
annually. The incidence of flooding in Jakarta can happen at any given return
period. The purpose of this study was to analyze the frequency of flooding for the
various periods in each Ciliwung for the upstream, middle and downstream as
well as floods recede suspect of any observation stations and a return period to
determine the coefficient of recession. Three observation stations within the
Ciliwung, good observation Katulampa, Depok and Manggarai station used Log
Pearson Type III distribution in determining the flood discharge based on a return
period of 2, 5, 10, and 20 years. Floods recede in the upstream region during the
return period 2, 5, 10, and 20 years respectively 208 hours, 340 hours, 21 hours,
and 221 hours. While the floods recede in the central region during the period
have different times between 9 – 32 hours. The calculations show that it is not
seen a clear pattern between low tide and flood return period. Receding flood can
not be done for the area Manggarai.
RAFAEL SEPTIANO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Mayor Meteorologi Terapan
Rafael Septiano
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Deskripsi Wilayah DAS Ciliwung 2
Analisis Frekuensi 3
Hidrograf Aliran 4
Kurva Resesi 5
Kejadian Banjir DKI Jakarta 5
METODE PENELITIAN 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Alat dan Bahan 7
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Kondisi Umum DAS Ciliwung 11
Analisis Parameter Statistik 15
Analisis Frekuensi Banjir 17
Hidrograf Aliran 18
Pendugaan Surut Banjir 25
SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 32
vi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Bentuk hidrograf 4
2 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Katulampa 14
3 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Depok 14
4 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Manggarai 15
5 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Katulampa periode ulang 2
tahunan tanggal 18 – 27 Januari 2005 18
6 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Katulampa periode ulang 5
tahunan tanggal 29 Januari – 12 Februari 2014 19
7 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Katulampa periode ulang 10
tahunan tanggal 4 – 5 Maret 2013 19
8 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Katulampa periode ulang 20
tahunan tanggal 3 – 12 Februari 2007 20
9 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Depok periode ulang 2
tahunan tanggal 22 – 23 Februari 2014 20
10 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Depok periode ulang 5
tahunan pada tiga kejadian yang berbeda 21
11 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Depok periode ulang 10
tahunan pada tiga kejadian yang berbeda 21
12 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Depok periode ulang 20
tahunan tanggal 6 – 7 Januari 1996 22
13 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Manggarai periode ulang 2
tahunan pada dua kejadian yang berbeda 23
14 Hidrograf aliran stasiun pengamatan Manggarai periode ulang 5
tahunan tanggal 9 – 10 Februari 2001 23
vii
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah banjir merupakan masalah yang dihadapi Jabodetabek dari tahun
ke tahun. Aliran air yang menngalir dari hulu ke hilir dapat berpengaruh terhadap
kejadian banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Upaya
penanggulangan banjir dan genangan di wilayah Jabodetabek yang tercakup
dalam DAS Ciliwung dilaksanakan secara terus menerus sebagai bagian usaha
menciptakan wilayah yang nyaman dihuni dan dapat memberikan kesejahteraan
bagi penghuninya. Ketersediaan air yang berlebihan dapat mengganggu
kelangsungan hidup bagi makhluk hidup (Linsley & Franzini 1979). Sebagai
usaha penanggulangan terhadap suatu kejadian banjir, maka harus diketahui
terlebih dahulu prediksi terhadap surutnya banjir. Suatu banjir dapat dikatakan
surut apabila tinggi muka air di suatu wilayah mengalami penurunan sampai batas
yang ditoleransi.
DAS Ciliwung memiliki data berupa tinggi muka air yang dapat
digunakan untuk mengetahui suatu kondisi genangan dapat dikatakan sebagai
kondisi banjir ataupun kondisi normal. Tinggi muka air yang dicatat setiap
harinya dapat dikonversi menjadi data debit. Setiap sub DAS Ciliwung memiliki
penentuan debit tersendiri yang berasal dari data tinggi muka air. Standar tinggi
muka air pada saat kondisi banjir ataupun kondisi normal memiliki nilai yang
berbeda – beda setiap sub DAS Ciliwung. Tinggi muka air dapat mencerminkan
masukan air hasil dari presipitasi. Hasil masukan yang terjadi dapat
mempengaruhi debit sungai, baik yang terdapat pada sungai maupun yang meluap
ke daratan. Kondisi yang dapat terjadi yaitu kondisi unsteady yaitu berubahnya
debit sungai yang akan mempengaruhi setiap bagian hidrologi.
DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI
Jakarta. Apabila DAS Ciliwung meluap, dampak yang ditimbulkannya akan
langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat – pusat ekonomi yang penting di
DKI Jakarta. Pentingnya DAS Ciliwung bagi DKI Jakarta dan kompleksitas
masalah struktural di DAS tersebut merupakan contoh yang sangat representatif
untuk membangun kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
berwawasan lingkungan. Keberhasilan dalam membangun kapasitas multipihak
dalam pengelolaan DAS Ciliwung akan dapat direplikasikan pada DAS – DAS
lain di Indonesia.
Studi permukaan bumi di wilayah DAS Ciliwung memiliki tutupan lahan
yang berbeda – beda dan kondisi sosioantropologi yang beragam. Apabila tutupan
lahan memiliki kapasitas menyerap air yang kurang, maka dengan mudahnya air
sungai tersebut meluap ke dalam pemukiman dalam bentuk banjir. Meningkatnya
suhu global diperkirakan akan menyebabkan dampak – dampak lainnya, seperti
peningkatan permukaan air laut yang menyebabkan beberapa pulau kecil hilang,
periode musim hujan dan intensitas hujan berubah-ubah. Peningkatan intensitas
hujan akan menyebabkan meningkatnya bencana banjir. Potensi bencana banjir di
Indonesia sangat besar dilihat dari topografi dataran rendah, cekungan dan
sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Curah hujan di daerah hulu dapat
menyebabkan banjir di daerah hilir. Apalagi untuk daerah-daerah yang tinggi
2
permukaan tanahnya lebih rendah atau hanya beberapa meter di atas permukaan
air laut.
Perumusan Masalah
Wilayah hulu, tengah, dan hilir DAS Ciliwung secara keseluruhan dapat
mempengaruhi kejadian banjir di wilayah hilir yang bertepatan di Provinsi DKI
Jakarta melalui aliran permukaan. Fokus permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah untuk menentukan :
1. Besarnya debit banjir pada setiap periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan.
2. Waktu yang diperlukan agar banjir dapat surut (pendugaan surut banjir)
yang dihitung melalui koefisien resesi.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Wilayah DAS Ciliwung
Analisis Frekuensi
Hidrograf Aliran
Hidrograf terdiri dari tiga bagian yaitu sisi naik, puncak dan sisi resesi.
Hidrograf ditunjukkan dengan sifat-sifat pokok yaitu waktu naik yaitu hidrograf
yang diukur pada saat mulai naik sampai terjadinya debit puncak. Debit puncak
adalah debit maksimum yang terjadi dalam suatu kasus tertentu dan sisi resesi
adalah waktu yang diukur dari saat hidrograf naik sampai waktu debit kembali
pada suatu besaran yang di tetapkan (Harto 1993). Waktu nol (zero time)
menunjukkan awal hidrograf. Puncak hidrograf adalah bagian dari hidrograf yang
menggambarkan debit maksimum. Waktu capai puncak (time to peak) adalah
waktu yang diukur dari waktu nol sampai waktu terjadinya debit puncak. Sisi naik
(rising limb) adalah bagian dari hidrograf antara waktu nol dan waktu capai
puncak. Sisi turun (recession limb) adalah bagian hidrograf yang menurun antara
waktu puncak dan waktu dasar. Koefisien resesi juga dapat disebut sebagai falling
limbs hydrograph (Viessman & Lewis 2003). Waktu dasar (time base) adalah
waktu yang diukur dari nol sampai waktu dimana sisi turun berakhir. Menurut
Eslamian (2014), garis resesi akan diteruskan sampai waktu tertentu, yaitu pada
saat terjadi waktu dasar. Akhir dari sisi turun ini ditentukan dengan perkiraan.
Volume hidrograf diperoleh dengan mengintegralkan debit aliran dari waktu nol
sampai waktu dasar (Triadmodjo 2010). Secara umum, grafik hidrograf dapat
ditunjukkan dalam Gambar 1.
Kurva Resesi
Banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta ditentukan oleh aliran sungai di
DAS Ciliwung secara keseluruhan, mulai dari daerah hulu, tengah, maupun hilir.
Tinggi muka air yang berlebihan di setiap stasiun pengamatan yang menyebabkan
bencana banjir di Provinsi DKI Jakarta selalu terjadi setiap tahunnya. Menurut
BPDAS Citarum – Ciliwung (2007), banjir di wilayah DKI Jakarta terjadi setiap
periode ulang tertentu. Hal tersebut disebabkan tata aliran di wilayah DAS
Ciliwung yang memiliki aliran sungai melewati aliran di sekitar DKI Jakarta tidak
6
diperbaiki secara serius. Penyebab lain dari meluapnya tinggi muka air di wilayah
DKI Jakarta yang dialiri sungai Ciliwung adalah menumpuknya sampah di sekitar
sungai. Penumpukan sampah tersebut menyebabkan menggenangnya wilayah
sekitar sungai Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta. Walaupun petugas stasiun
pengamatan mengadakan operasi sampah atau bersih – bersih sungai secara
terjadwal, namun perilaku tersebut masih kurang ampuh dalam menangani banjir
di wilayah DKI Jakarta.
Banjir di wilayah DKI Jakarta merupakan suatu keniscayaan karena
berada di daerah hilir DAS Ciliwung. Aliran sungai di wilayah hilir merupakan
aliran kiriman dari wilayah hulu dan tengah. Sehingga banjir di wilayah DKI
Jakarta dapat dipengaruhi oleh aliran sungai di wilayah Katulampa dan Depok.
Penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta adalah faktor alam, kondisi fisik, dan
kegiatan manusia. Banjir yang disebabkan oleh faktor alam dapat disebabakan
karena curah hujan yang tinggi, pembendungan hilir, dan pendangkalan sedimen.
Banjir yang disebabkan oleh kondisi fisik disebabkan karena topografi dan
geometri sungai. Banjir yang disebabkan oleh kegiatan manusia dapat disebabkan
karena pemukiman di badan sungai, pembuangan sampah ke sungai, eksploitasi
DPS tak terkendali, infrastruktur banjir terbatas, dan OP infrastruktur tidak
memadai. Ketiga penyebab tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain
dengan dipicunya ketidakseimbangan ekologis dan kegiatan manusia yang sering
mengeksploitasi alam yang berlebihan melebihi daya dukung wilayahnya.
Kegiatan eksploitasi tersebut dapat terjadi karena perkembangan populasi
penduduk dan berpenngaruh terhadap perkembangan wilayah yang dapat memicu
kejadian banjir.
Penyebab utama terjadinya banjir di wilayah DKI Jakarta yang terletak di
daerah hilir DAS Ciliwung dapat ditimbulkan dari banjir kiriman dari hulu dan
banjir lokal oleh air hujan yang tidak dapat terinfiltrasi dengan baik ke dalam
tanah. Curah hujan yang melebihi kemampuan menyerap ke dalam tanah akan
dialirkan sebagai permukaan yang menyebabkan banjir. Apabila hujan terjadi
dalam jangka waktu yang panjang dan kondisi tanah tersebut jenuh air, maka akan
mempengaruhi laju surutnya banjir. Berbagai program yang menunjang
pengendalian banjir masih dikategorikan lemah menjadikan wilayah tersebut
sebagai wilayah yang rawan terhadap banjir. Rendahnya sistem pengendalian
banjir disebabkan karena keterbatasan lahan untuk saluran dan tampungan, kurang
tepatnya prediksi beban banjir, dan pengelolaan sistem yang kurang efektif
(Danapriatna 2009).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2016.
Pengumpulan data akan dilaksanakan di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Ciliwung Cisadane, Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPSDA) Citarum
– Ciliwung, Pos Duga Air Depok, dan Pintu Air Manggarai. Pengolahan data akan
dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan
Meteorologi FMIPA IPB.
7
Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain laptop dan Microsoft
Office 2013. Penelitian ini menggunakan data yang akan digunakan yaitu data luas
DAS, tinggi muka air jam – jaman, dan debit jam – jaman tahun 1996 – 2015 di
tiga wilayah DAS Ciliwung (sub DAS Katulampa, Depok, dan Manggarai).
Tabel 1 Jenis data dan sumber data yang digunakan selama penelitian
No. Jenis Data Sumber
Tinggi muka air jam – jaman sub DAS BBWS Ciliwung –
1.
Katulampa tahun 1996 – 2015 Cisadane
Tinggi muka air jam – jaman sub DAS
2. Pos Duga Air Depok
Depok tahun 1996 – 2015
Debit jam – jaman sub DAS Manggarai
3. Pintu Air Manggarai
tahun 1996 – 2015
BPDAS Citarum –
4. Luas DAS Ciliwung
Ciliwung
BBWS Ciliwung –
5. Tingkat Siaga Banjir
Cisadane
Penelitian ini dilakukan pada tiga bagian sungai, yaitu bagian hulu, tengah,
dan hilir. Bagian hulu diperoleh dari sub DAS Katulampa, bagian tengah
diperoleh dari sub DAS Depok, dan bagian hilir diperoleh dari sub DAS
Manggarai. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, (1) menentukan nilai debit
frekuensi banjir dengan periode 2, 5, 10, dan 20 tahunan, dan (2) menentukan
koefisien resesi dari setiap stasiun pengamatan dan masing – masing periode
ulang untuk menduga surut banjir.
Perhitungan Debit
Lengkung debit adalah hubungan grafis antara tinggi muka air dan debit.
Perhitungan ini sangat diperlukan dalam banyak analisis. Analisis lengkung debit
dapat diperoleh dengan sejumlah pegukuran yang terencana (Harto 1993). Debit
yang mengalir di wilayah DAS Ciliwung dapat ditentukan melalui tinggi muka air
di stasiun pengamatan Katulampa dan Depok melalui hubungan antara tinggi
muka air dan debit dengan persamaan lengkung debit (rating curve). Persamaan
lengkung debit pada stasiun pengamatan Katulampa dan Depok dapat ditentukan
pada persamaan berikut.
(1)
Keterangan :
QKatulampa = Debit stasiun pengamatan Katulampa (m3/s)
HKatulampa = Tinggi muka air stasiun pengamatan Katulampa (m)
8
(2)
Keterangan :
QDepok = Debit stasiun pengamatan Depok (m3/s)
HDepok = Tinggi muka air stasiun pengamatan Depok (m)
Keterangan :
S = standar deviasi
X = nilai debit tahun tertentu
= rata – rata
n = jumlah data
9
Sebaran Normal
(8)
(9)
Keterangan :
µ = debit rata – rata
σ = standar deviasi
P(t) = nilai debit ke-t
Π = 3,14
X = variabel acak kontinu
X= + k.S (10)
Keterangan :
= rata – rata hitung nilai logaritmik X
S = standar deviasi nilai X
k = nilai variabel reduksi Gauss
Sebaran Gumbel
X= + k.S (11)
10
(12)
Keterangan :
= rata – rata hitung nilai debit maksimum
S = standar deviasi nilai debit maksimum
T = periode ulang
Keterangan :
= log rata – rata X
k = faktor frekuensi
S = standar deviasi
Koefisien Resesi
Setelah menentukan plotting hidrograf aliran antara waktu (jam) dan debit,
maka dapat ditentukan nilai koefisien resesi. Menurut Sawake & Freyberg (2006),
penentuan nilai koefisien resesi dapat diturunkan dari persamaan eksponensial
berikut.
Qt = Qo . e-kt (14)
Keterangan :
Qt = debit pada saat waktu t setelah resesi dimulai (m3/s)
Qo = aliran saat dimulainya resesi (m3/s)
k = koefisien resesi
t = waktu sejak resesi dimulai (s)
(15)
Keterangan :
K = koefisien resesi
Kg = koefisien resesi aliran dasar
Ki = koefisien resesi aliran antara
Ks = koefisien resesi aliran permukaan
Bogor, Depok, dan Jakarta. DAS Ciliwung terbagi atas tiga wilayah, yaitu
wilayah hulu, tengah, dan hilir. Luas DAS Ciliwung secara keseluruhan adalah
337 km2 dan panjang sungai utamanya adalah 117 km (BBWS Ciliwung –
Cisadane 2015).
DAS Ciliwung termasuk kedalam prioritas nasional dikarenakan setiap
aliran sungai dari wilayah hulu, tengah, dan hilir dapat menentukan potensi
kejadian banjir di wilayah hilir DAS Ciliwung yang berada di Provinsi DKI
Jakarta. Banjir di wilayah DKI Jakarta yang telah terjadi secara berulang – ulang
merupakan gejala terlampauinya kapasitas DAS Ciliwung untuk meregulasi debit
yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta. Kejadian banjir di wilayah DKI
Jakarta yang berasal dari aliran sungai Ciliwung dapat ditentukan dari hasil
pengukuran debit yang terdapat pada setiap stasiun pengamatan wilayah hulu,
tengah, dan hilir. Pengukuran wilayah hulu berada pada Bendung Katulampa,
pengukuran wilayah tengah berada pada Pos Duga Air Depok, dan pengukuran
wilayah hilir berada pada Pintu Air Manggarai.
Bendung Katulampa berada di wilayah Jawa Barat dengan luas sebesar
146 km2. Secara geografis, Bendung Katulampa terletak antara 6o37’07” LS dan
106o47’38” BT. Wilayah hulu DAS Ciliwung terletak di daerah pegunungan
dengan elevasi antara 300 – 3000 m dpl. Batas musim kemarau dengan musim
penghujan di bagian hulu tidak jelas, kecuali daerah Citeko dimana musim
kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan September, dan musim penghujan
pada bulan Oktober sampai dengan bulan Mei. Bendung Katulampa digunakan
untuk pengukuran tinggi muka air di wilayah hulu. Pengukuran tersebut
digunakan sebagai peringatan siaga banjir di wilayah DKI Jakarta. Pengukuran
tinggi muka air di Bendung Katulampa dilakukan secara manual setiap jam.
Pos Duga Air Depok berada di wilayah Jawa Barat dengan luas sebesar 94
km2. Lokasi tersebut digunakan untuk mengukur tinggi muka air di wilayah
tengah DAS Ciliwung. Wilayah ini merupakan daerah bergelombang dan berbukit
– bukit dengan elevasi antara 100 – 300 m dpl. Batas musim kemarau dengan
12
musim penghujan di bagian tengah lebih tidak jelas. Secara umum hujan di bagian
tengah lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di bagian hilir, kecuali pada
musim penghujan (Januari – Maret) hujan di hilir lebih tinggi. Pengukuran tinggi
muka air di Pos Duga Air Depok dilakukan secara manual setiap jam.
Pintu Air Manggarai berada di wilayah DKI Jakarta dengan luas sebesar
2
86 km . Secara geografis, lokasi Pintu Air Manggarai terletak antara 6°12’28.48”
LS dan 106°50'54.43” BT. Lokasi tersebut digunakan untuk mengukur tinggi
muka air di wilayah hilir DAS Ciliwung. Wilayah hilir merupakan dataran rendah
yang berada pada elevasi antara 0 – 100 m. Elevasi yang rendah pada wilayah hilir
dapat menyebabkan rawan banjir dikarenakan banjir di wilayah hilir merupakan
banjir kiriman dari wilayah hulu sampai hilir DAS Ciliwung. Di wilayah hilir,
batas antara musim kemarau dan musim penghujan tampak jelas. Musim
penghujan mulai jatuh pada bulan Desember dan berakhir pada bulan Maret.
Secara umum, hujan di bagian hilir ini paling kering dibandingkan dengan hujan
di bagian tengah dan hulu DAS Ciliwung. Pengukuran tinggi muka air di Pintu
Air Manggarai dilakukan secara manual setiap jam. Akan tetapi, penentuan nilai
debit di Pintu Air Manggarai ditentukan oleh tinggi pintu air yang dibuka.
Penentuan tinggi pintu air yang dibuka dilakukan apabila muka air yang terukur di
lokasi tersebut tinggi, sehingga pintu air akan dibuka lebih tinggi. Apabila muka
air yang terukur sudah semakin berkurang, maka pintu air akan diturunkan secara
perlahan. Penentuan tinggi pintu air dilakukan atas perintah dari Dinas Tata Air
Provinsi DKI Jakarta.
Setiap stasiun pengamatan memiliki tingkat siaga tertentu dilihat dari
tingkat tinggi muka airnya. Setiap siaga banjir akan berpengaruh terhadap lokasi
genangan banjir wilayah DKI Jakarta. Berikut merupakan penjelasan mengenai
daerah rawan genangan DKI Jakarta berdasarkan tingkat siaga banjir.
Tabel 3 Daerah rawan genangan DKI Jakarta berdasarkan tingkat siaga banjir
Sungai /
No. Status Lokasi Titik Genangan
Nama Pos
1 Katulampa Siaga IV (≤ 80 cm) -
Kp. Pulo Jakarta Selatan, Gang Arus
Siaga III (80 – 150
Jakarta Timur, Pengadegan (Carefour
cm)
MT Haryono Jakarta Selatan
Kp. Pulo Jakarta Selatan, Gang Arus
Jakarta Timur, Pengadegan (Carefour
Siaga II (150 – 200
MT Haryono Jakarta Selatan, Kalibata
cm)
Jakarta Selatan, Kebon Baru Jakarta
Selatan, Bidara Cina Jakarta Timur
Kp. Pulo Jakarta Selatan, Gang Arus
Jakarta Timur, Pengadegan (Carefour
MT Haryono Jakarta Selatan, Kalibata
Siaga I (> 200 cm) Jakarta Selatan, Kebon Baru Jakarta
Selatan, Bidara Cina Jakarta Timur,
Condet Kembangan Jakarta
Selatan
Siaga IV (≤ 200
2 Depok -
cm)
13
Aliran sungai yang mengalir dari wilayah Katulampa sebagai aliran hulu
membutuhkan waktu selama 3 – 4 jam untuk mencapai wilayah Depok sebagai
aliran tengah. Sedangkan waktu tempuh aliran sungai wilayah Depok untuk
sampai ke Manggarai yaitu sekitar 10 jam. Nilai debit puncak setiap tahunnya
mengalami perubahan secara fluktuatif dari tahun ke tahun.
14
Gambar 2 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Katulampa
Gambar 3 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Depok
Gambar 4 Tinggi muka air dan debit maksimum tahunan stasiun pengamatan
Manggarai
Parameter statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai rata –
rata, standar deviasi, koefisien skewness, koefisien kurtosis, dan koefisien variasi.
Parameter tersebut dapat digunakan untuk menentukan jenis distribusi yang akan
digunakan. Perhitungan parameter statistik dari setiap nilai debit maksimum setiap
tahunnya dapat dijelaskan pada Tabel 4.
Nilai rata – rata pada ketiga stasiun memiliki nilai yang berbeda. Nilai
debit pada ketiga stasiun dapat ditentukan oleh nilai tinggi muka air yang terukur
pada setiap stasiun pengamatan. Nilai parameter statistik yang dihitung untuk
menentukan jenis sebaran yang digunakan adalah nilai rata – rata ( ), standar
deviasi (S), koefisien skewness (Cs), koefisien kurtosis (Ck), dan koefisien variasi
(Cv).
Nilai rata – rata debit maksimum pada stasiun pengamatan Manggarai
lebih tinggi daripada stasiun Katulampa dan Depok. Sedangkan nilai rata – rata
debit maksimum stasiun pengamatan Katulampa lebih rendah daripada stasiun
Depok dan Manggarai. Nilai debit pada setiap stasiun pengamatan Katulampa dan
Depok berbanding lurus dengan nilai tinggi muka air pada setiap stasiun
pengamatan. Nilai debit stasiun pengamatan Manggarai tidak berbanding lurus
dengan tinggi muka air karena pengukuran debit di Pintu Air Manggarai
menggunakan sistem buka tutup pintu air. Nilai debit pada stasiun pengamatan
Manggarai berbanding lurus dengan tinggi pintu yang dibuka. Semakin tinggi
pintu air tersebut dibuka maka semakin tinggi nilai debit air di bagian hilir DAS
Ciliwung yang terukur. Sebaliknya, semakin rendah posisi pintu air tersebut
dibuka maka semakin rendah nilai debit air tersebut.
Standar deviasi stasiun pengamatan Katulampa memiliki nilai paling
rendah apabila dibandingkan dengan stasiun pengamatan Depok dan Manggarai
dengan nilai 32.929 m3/s. Sedangkan standar deviasi stasiun pengamatan
Manggarai memiliki nilai paling tinggi apabila dibandingkaan dengan stasiun
pengamatan Katulampa dan Depok dengan nilai 1892.462 m3/s.
Koefisien skewness (Cs) stasiun pengamatan Manggarai memiliki nilai
paling tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun pengamatan Katulampa dan
Depok dengan nilai 1.43. Sedangkan koefisien skewness (Cs) stasiun pengamatan
Depok memiliki nilai paling rendah apabila dibandingkan dengan stasiun
pengamatan Katulampa dan Manggarai dengan nilai 1.24. Nilai koefisien
skewness (Cs) pada ketiga stasiun memiliki nilai lebih dari 1.13, oleh karena itu
ketiga stasiun tersebut memenuhi syarat untuk menggunakan distribusi Log
Pearson Tipe III.
Koefisien kurtosis (Ck) stasiun pengamatan Katulampa memiliki nilai
paling tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun pengamatan Depok dan
Manggarai dengan nilai 1.114. Sedangkan koefisien kurtosis (Ck) stasiun
Manggarai memiliki nilai paling rendah apabila dibandingkan dengan stasiun
pengamatan Katulampa dan Depok dengan nilai 0.686. Nilai koefisien kurtosis
ketiga stasiun memenuhi syarat untuk menggunakan distribusi Gumbel
dikarenakan nilai koefisien kurtosis berada kurang dari 5.4. Namun tetap
menggunakan distribusi Log Pearson Tipe III karena dilihat dari nilai koefisien
skewness yang lebih dari 1.13.
Koefisien variasi (Cv) stasiun pengamatan Manggarai memiliki nilai
paling tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun pengamatan Katulampa dan
Depok dengan nilai 0.996. Sedangkan koefisien variasi (Cv) stasiun pengamatan
Depok memiliki nilai paling rendah apabila dibandingkan dengan stasiun
pengamatan Katulampa dan Manggarai dengan nilai 0.46. Nilai koefisien variasi
diperoleh apabila nilai rata – rata dan standar deviasi dapat diperoleh. Nilai
koefisien variasi ditentukan dari perbandingan antara nilai standar deviasi dan rata
– rata.
17
Analisis frekuensi dalam debit banjir dapat digunakan karena data debit
jam – jaman maksimum tahunan yang digunakan selama 20 tahun. Parameter
statistik yang telah dihitung pada Tabel 4 dapat digunakan untuk menentukan
jenis distribusi yang digunakan. Jenis distribusi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah distribusi Log Pearson Tipe III dikarenakan nilai koefisien kurtosis,
koefisien skewness, dan koefisien variasi tidak memenuhi syarat untuk
menggunakan distribusi Normal, Log Normal, dan Gumbel yang telah dijelaskan
pada Tabel 2. Periode ulang yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2, 5, 10,
dan 20 tahunan. Nilai debit puncak dari masing – masing periode ulang dan setiap
stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai debit puncak dari setiap stasiun pengamatan dengan periode
ulang
Periode Ulang Debit Puncak (m3 s-1)
(tahunan) Katulampa Depok Manggarai
2 58.466 225.586 128.742
5 85.841 327.007 253.479
10 110.693 418.133 407.507
20 141.269 529.322 642.568
Nilai debit puncak dari setiap stasiun pengamatan memiliki nilai yang
berbeda – beda. Nilai debit puncak stasiun pengamatan Katulampa berkisar antara
58.466 – 141.269 m3/s. Nilai debit puncak stasiun pengamatan Depok berkisar
antara 225.031 – 529.322 m3/s. Nilai debit puncak stasiun pengamatan Manggarai
berkisar antara 1287.418 – 6425.681 m3/s. Periode ulang merupakan interval
waktu rata – rata dimana unsur iklim atau hidrologi akan dilampaui satu kali,
bukan terjadi satu kali dalam interval waktu tersebut. Misalnya pada periode ulang
20 tahunan terdapat debit sebesar 141.269 m3/s di stasiun Katulampa. Angka
tersebut bukan terjadi setiap 20 tahun sekali, melainkan terjadi dalam interval
waktu rata – rata. Pada ketiga stasiun pengamatan, nilai debit periode ulang 20
tahunan cenderung lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena melalui proses
perhitungan, faktor frekuensi pada distribusi Log Pearson Tipe III memiliki nilai
paling tinggi pada periode ulang 20 tahunan. Debit puncak stasiun pengamatan
Manggarai memiliki nilai lebih tinggi daripada stasiun pengamatan lainnya.
Penyebab dari tingginya nilai tersebut adalah lokasi stasiun pengamatan
Manggarai berada di wilayah hilir DAS Ciliwung. Nilai debit wilayah hilir
ditentukan dari akumulasi aliran sungai dari wilayah hulu, tengah, dan hilir. Nilai
debit puncak pada periode ulang tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
nilai rata – rata, standar deviasi, dan faktor frekuensi pada distribusi Log Pearson
Tipe III.
18
Hidrograf Aliran
Kejadian banjir pada suatu DAS dapat ditunjukkan dengan nilai debit
puncak pada berbagai stasiun pengamatan. Nilai debit puncak akan memiliki nilai
yang berbeda – beda sesuai dengan wilayah kajian stasiun pengamatan dan
berbagai periode ulang. Debit puncak pada hidrograf aliran dapat berada pada
kondisi siaga 3 hingga siaga 1. Puncak dari suatu kejadian banjir yang dinyatakan
dalam debit akan mengalami laju penurunan yang berbeda – beda sampai debit
tersebut berada pada kondisi normal. Perolehan debit dapat diperoleh melalui
tinggi muka air di stasiun pengamatan Katulampa dan Depok, serta tinggi pintu
air di stasiun pengamatan Manggarai.
terjadi pada tanggal 5 Maret 2013, yaitu sebesar 40 cm dengan debit sebesar 4.599
m3/s.
termasuk dalam siaga 2 (kritis). Kondisi siaga 4 (normal) pada hidrograf ini
terjadi pada tanggal 23 Februari 2014, yaitu sebesar 115 cm dengan debit sebesar
54.395 m3/s.
air terukur sebesar 790 cm. Kemudian tinggi pintu air menurun hingga mencapai
25 cm pada tinggi muka air terukur sebesar 760 cm. Tinggi pintu air tetap
dipertahankan sehingga tinggi muka air dapat menurun secara perlahan hingga
730 PP dengan debit yang terkonversi sebesar 51.7 m3/s pada tanggal 10 Febuari
2001.
Pada suatu kejadian bencana banjir, faktor penyebab utama banjir adalah
adanya intensitas curah hujan yang tinggi, sehingga kapasitas sungai tidak mampu
mengatuskan limpasan permukaan. Akibatnya limpasan permukaan menggenangi
daerah sekitarnya (Nugroho 2002). Debit yang menyebabkan kejadian banjir
tersebut akan mengalami surut atau penurunan debit yang dapat mengurangi aliran
permukaan. Lamanya waktu yang dibutuhkan supaya suatu banjir dapat surut
dapat bermacam – macam. Pendugaan surut banjir dapat diketahui dengan
menentukan koefisien resesi dari setiap kejadian banjir dengan periode ulang
tertentu. Suatu kejadian banjir secara hidrologi akan mengalami surut apabila
tinggi muka air atau debit di suatu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) berada
pada kondisi normal. Kondisi normal artinya tinggi muka air di suatu wilayah
DAS berada kurang dari atau sama dengan batas yang dikehendaki.
Faktor yang menentukan nilai koefisien resesi adalah perubahan tata guna
lahan dan curah hujan. Perubahan tata guna lahan dapat memberikan kontribusi
yang penting terhadap kualitas suatu DAS. Perubahan tata guna lahan dapat
menjadi indikator penting dalam suatu kejadian banjir (tingginya aliran
permukaan) dibandingkan faktor lainnya. Faktor penutupan lahan dapat
mempengaruhi laju peningkatan atau pengurangan aliran permukaan. Hutan yang
lebat akan memiliki kandungan tanah yang subur, sehinga dapat mempercepat
surutnya banjir. Apabila suatu wilayah vegetasi (misalnya hutan) dialihfungsikan
menjadi pemukiman, maka debit puncak akan meningkat 6 – 20 kali dan akan
memperlambat surutnya banjir. Angka tersebut tergantung pada jenis hutan dan
pemukiman (Kodoatie & Syarief 2008).
terendah pada periode ulang 5 dan 10 tahunan berturut – turut adalah 0.265 dan
0.386. Nilai koefisien resesi tertinggi pada periode ulang 5 dan 10 tahunan
berturut – turut adalah 0.424 dan 0.407. Perbedaan nilai koefisien resesi pada tiga
kejadian tersebut disebabkan perbedaan nilai curah hujan, akumulasi aliran dari
hulu, serta perubahan tataguna lahan yang terjadi di daerah tengah DAS Ciliwung.
Perubahan tataguna lahan dapat mempengaruhi surutnya banjir di stasiun
pengamatan Depok. Perubahan tutupan lahan yang terdapat pada DAS Ciliwung
bagian tengah didominasi oleh pemukiman, sehingga dapat mempengaruhi aliran
di wilayah tengah. Selan itu, debit di wilayah Katulampa dapat mempengaruhi
debit di wilayah Depok. Tingginya curah hujan dan lamanya kejadian hujan di
wilayah hulu dapat mengganggu masa resesi dan serangkaian segmen resesi dari
berbagai hasil durasi di wilayah tengah. Sehingga dapat mempengaruhi surut
banjir di wilayah tengah.
Surut banjir di wilayah tengah selama periode ulang memiliki waktu yang
berbeda antara 9 – 32 jam. Waktu banjir surut tidak berbanding lurus dengan debit
banjir selama periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan. Hal tersebut disebabkan
karena luas wilayah hutan yang berada di wilayah DAS Ciliwung tengah
mencapai 8.89 % dari total luas DAS Ciliwung tengah, lamanya kejadian hujan,
dan curah hujan yang rendah, sehingga mampu menyerap air dengan baik dan
mempercepat surut banjir (Sumaryati 2015).
Data tinggi muka air jam – jaman dapat digunakan untuk menentukan
debit. Nilai debit setiap periode ulang dapat ditentukan melalui distribuai Log
Pearson Tipe III. Nilai debit puncak stasiun pengamatan Katulampa selama
periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan berturut – turut adalah 58.466 m3/s, 85.841
m3/s, 110.693 m3/s, dan 141.269 m3/s. Nilai debit puncak stasiun pengamatan
Depok selama periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan berturut – turut adalah
225.586 m3/s, 327.007 m3/s, 418.133 m3/s, dan 529.322 m3/s. Nilai debit puncak
stasiun pengamatan Manggarai selama periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan
berturut – turut adalah 128.742 m3/s, 253.479 m3/s, 407.507 m3/s, dan 642.568
m3/s.
Pendugaan surut banjir di wilayah hulu dan tengah DAS Ciliwung dapat
ditentukan dengan menghitung koefisien resesi. Waktu surut dari suatu kejadian
banjir pada stasiun pengamatan Katulampa selama periode ulang 2, 5, 10, dan 20
tahunan berturut – turut adalah 208 jam, 340 jam, 21 jam, dan 221 jam. Nilai
koefisien resesi pada stasiun pengamatan Katulampa selama periode ulang 2, 5,
10, dan 20 tahunan berturut – turut adalah 0.440, 0.437, 0.249, dan 0.455. Surut
banjir di wilayah tengah selama periode ulang 2, 5, 10, dan 20 tahunan memiliki
waktu yang berbeda antara 9 – 32 jam. Nilai koefisien resesi pada stasiun
pengamatan Depok berada diantara 0.263 – 0.424. Tidak terlihat pola yang jelas
antara periode ulang dan koefisien resesi dikarenakan tidak berbanding lurus.
Koefisien resesi tidak dapat ditentukan di wilayah hilir dikarenakan stasiun
pengamatan Manggarai menggunakan sistem buka tutup pintu air. Curah hujan
28
maksimum harian dan perubahan tataguna lahan tidak berpengaruh nyata terhadap
surutnya banjir pada masing – masing periode ulang. Akan tetapi, rendahnya
koefisien resesi dipengaruhi oleh nilai curah hujan yang tinggi dan terjadi dalam
durasi yang lama sehingga permukaan tanah mengalami infiltrasi yang kurang
baik.
Saran
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah dalam sistem
pengelolaan DAS dengan diketahuinya pendugaan surut banjir. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pendugaan surut banjir dengan
prosedur pengukuran yang lebih tepat dan data yang lebih banyak. Selain itu,
perlu dilakukan perhitungan debit melalui tinggi muka air di wilayah hilir melalui
persamaan lengkung debit (rating curve).
DAFTAR PUSTAKA
[BBWS] Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane. 2008. Pengendalian
Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane. [Internet]. [Diunduh
2016 Maret 2]. Tersedia pada : http://bbwscc.pdsda.net/wp-
content/uploads/2011/11/sekapur-sirih-ciliwung-pak-teguh.pdf.
[BBWS] Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane. 2015. Laporan
Hidrologi dan Hidrolika Review Desain Normalisasi Kali Ciliwung.
Jakarta (ID) : BBWS.
Bedient PB, Huber WC. 2002. Hydrology and Floodplain Analysis. Upper Saddle
(US) : Prentice – Hall, Inc.
Brodie RS. Hostetler S. 2005. A review of techniques for analysing baseflow from
stream hydrographs. [Internet]. [Diunduh 2016 Februari 18]. Tersedia
pada :ftp://ftp.ecn.purdue.edu/abegis/WQX2011/ldc/IAH05_Baseflow.pdf
Danapriatna N. 2009. Fenomena Banjir Jakarta : Penyebab dan Alternatif
Pengendalian. J Region. 1 (3) : 44 – 54.
Eslamian S. 2014. Handbook of Engineering : Fundamentals and Application.
London (UK) : CRC Press.
Fetter CW. 1994. Applied Hydrogeology 3rd ed. Ohio (US) : Merril Publishing
Company.
Harto S. 1993. Hidrologi : Teori, Masalah, dan Penyelesaian. Yogyakarta (ID) :
Nafiri Offset.
Harto SB. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta (ID) : PT.Gramedia Utama.
Kodoatie RJ, Sjarief R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi.
Linsley RK. Franzini JB. 1979. Water Resources Engineering. London (UK) :
McGraw-Hill, Inc.
Nugroho SP. 2002. Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab
Bencana Banjir Jakarta. J Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 3
(2) : 91 – 97.
Patra KC. 2008. Hydrology and Water Resources Engineering. Oxford (UK) :
Alpha Science International Ltd.
29
[PPL Jawa]. Profil Ekoregion Jawa Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. DAS
Ciliwung. [Internet]. [Diunduh 2016 Mei 11].
http://ppejawa.com/ekoregion/das-ciliwung/.
Rusdiana O, Sudaryanto, Ichwandi I, Arifjaya NM, Hendrayanto, Soekmadi R.
2003. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Kasus DAS Ciliwung. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID) : IPB Press.
Santhi C, Allen PM, Muttiah RS, Arnold JG, Tuppad P.2008. Regional estimation
of baseflow for the conterminous United States by hydrologic landscape
regions. J. Hydrol. 351 : 139 – 153.
Sawake SR, Freyberg DL. 2006. An analysis of trends in baseflow recession and
low flows in rain dominated coastal streams of pasific coasts. Journal of
Hydrology. 519 (2014) : 599 – 610.
Soewarno. 1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisis Data Jilid 1.
Bandung (ID) : Penerbit Nova.
Sumaryati I. 2015. Analisis Frekuensi Banjir dengan Empat Sebaran Statistik pada
Tiga Stasiun Sungai Ciliwung [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Sya’diah S. 2015. Analisis Daerah Resapan Air DAS Ciliwung Hulu Menurut
Penutupan Lahan dan RTRW [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Tallaksen LM, Lanen HAJV. 2004. Hydrological Drought Process and
Estimation Methods for Streamflow and Groundwater. Amsterdam (NL) :
Elsevier B. V.
Triatmodjo B. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta (ID) : Beta Offset.
Viessman W, Lewis GL. 2003. Introduction to Hydrology Fifth Edition. Florida
(US) : Pearson.
30
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data debit maksimum jam – jaman DAS Ciliwung di tiga stasiun
berbeda
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rafael Septiano, lahir di Bogor pada tanggal 11
September 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir
dari pasangan Bapak Irwan dan Ibu Linawati. Penulis lulus dari SMA Negeri 1
Parung, Kabupaten Bogor tahun 2012. Kemudian diterima sebagai mahasiswa
Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB periode 2012 – 2016. Penulis
memperoleh beasiswa Bidik Misi untuk menunjang perkuliahannya.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan akademik
maupun non akademik. Kegiatan non akademik yang pernah dialami penulis yaitu
organisasi, kepanitiaan, dan delegasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis
diantaranya sebagai sekretaris Divisi Kesekretariatan Paduan Suara Mahasiswa
IPB Agria Swara (2013 – 2014), sekretaris Komisi Pelayanan Khusus UKM PMK
IPB (2014), staf Divisi Kerohanian Asrama Sylvapinus IPB (2014 – 2015), staf
Biro Kesekretariatan BEM KM IPB 2015, dan staf Divisi Badan Rumah Tangga
Asrama Sylvapinus IPB (2015 – 2016). Selama mengikuti organisasi, penulis aktif
dalam berbagai kepanitiaan diantaranya sekretaris Pembinaan Anggota Paduan
Suara Mahasiswa IPB Agria Swara (2013 – 2014), ketua Divisi Acara Konser Pre
Kompetisi Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara (2014), staf Divisi Humas
dan Sponsorship di The 6th International Mission in Art and Culture Paduan Suara
Mahasiswa IPB Agria Swara 2015, dan staf Divisi Publikasi, Dekorasi, dan
Dokumentasi dalam acara Bogor Green Sounds for The Earth (BGSE) 2015.
Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan delegasi diantaranya sebagai
delegasi Indonesia dalam ASEAN Youth Leader’s Association : 3rd Advocacy
Camp (2015) dan The 13th International Choir Contest of Flanders Maasmechelen
(2015). Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis melakukan penelitian dan
menyusun skripsi berjudul “Analisis Aliran Rendah dengan Koefisien Resesi
untuk Pendugaan Surut Banjir di Daerah Aliran Sungai Ciliwung” yang dibimbing
oleh Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan.