Anda di halaman 1dari 89

PERENCANAAN BENDUNGAN TIPE URUGAN DI PERKEBUNAN

CINTA MANIS, PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII,


PALEMBANG

TRIAS MEGANTORO

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Bendungan


Tipe Urugan di Perkebunan Cinta Manis, PT. Perkebunan Nusantara VII,
Palembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Trias Megantoro
NIM F44100075
ABSTRAK
TRIAS MEGANTORO. Perencanaan Bendungan Tipe Urugan Di Perkebunan
Cinta Manis, PT. Perkebunan Nusantara VII, Palembang. Dibimbing oleh M.
YANUAR JARWADI PURWANTO.

Perluasan lahan untuk menambah produktivitas tebu di PT. Perkebunan


Nusantara VII mengharuskan pembangunan bendungan sebagai suplai air irigasi.
Tujuan penelitian ini adalah pembangunan bendungan yang sesuai dengan RSNI T-
01-2002. Analisis hidrologi dimulai dengan menentukan luas DAS, perhitungan
curah hujan rencana, debit banjir rencana, kebutuhan air, debit andalan dan
perhitungan neraca air. Analisis topografi dimulai dari perhitungan volume
tampungan, hubungan antara elevasi, luas dan volume genangan. Penelusuran
banjir dilakukan untuk mengetahui MAB untuk menghitung dimensi bendungan.
Dimensi bendungan dihitung berdasarkan tinggi jagaan dan lebar mercu bendung,
kemudian dilakukan analisis stabilitas bendungan. Berdasarkan hasil perhitungan
diketahui total volume tampungan sebesar 92650.96 m3. Tinggi bendungan 3.5 m,
lebar mercu 6 m dan lebar bawah tubuh bendungan adalah 23.34 m. Hasil analisis
stabilitas aliran filtrasi menunjukkan bahwa terdapat garis depresi aliran yang keluar
melalui lereng hilir bendungan sehingga diperlukan drainase kaki. Hasil analisis lereng
menunjukkan bahwa angka aman (Fs) untuk longsor lebih besar dari syarat yang
ditetapkan sehingga bendungan aman dari bahaya longsor.

Kata kunci: bendungan, debit, volume, dimensi, stabilitas

ABSTRACT

TRIAS MEGANTORO. Earth Dam Planning at Cinta Manis Plantation, PT.


Perkebunan Nusantara VII, Palembang. Supervised by M. YANUAR JARWADI
PURWANTO.

Land expansion to increase productivity of sugarcane in PT. PTPN VII


requires water reservoir construction for irrigation water supplies. This research
aims to construct dam based on RSNI T-01-2002. Analysis of hydrology begins with
determining the watershed area, rainfall calculation plan, flood discharge
plan,water needs, mainstay discharge and water balance. Analysis of topography
starts from volume calculation, the relationship between elevation, puddles area
and volume. Flood rouing was conducted to determine the MAB. The dimensions
of the dam height is calculated based surveillance and wide weir, dam stability
analysis is then performed. Based on the results known that volume total is
92650.96 m3. Dam height is 3.5 m, width of weir is 6 m and the beneath body of the
dam width is 23.34 m. The results of the filtration flow stability analysis shows that
there is a depression line flow out through the downstream slope of the dam so that
the drainage leg is needs. The results of the analysis shows that the slopes safe rate
(Fs) for landslides greater than the specified requirements so that the dam is safe
from avalanche danger.

Keywords: dam, discharge, volume, dimension, stability


PERENCANAAN BENDUNGAN TIPE URUGAN DI PERKEBUNAN
CINTA MANIS, PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII,
PALEMBANG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Perencanaan Bendungan Tipe Urugan di Perkebunan Cinta Manis,
PT. Perkebunan Nusantara VII, Palembang
Nama : Trias Megantoro
NIM : F44100075

Disetujui oleh

Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, M.S., IPM


Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Budi Indra Setiawan, M. Agr


Ketua Departemen

Tanggal Lulus :
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah
yang berjudul Perencanaan Bendungan Tipe Urugan di Perkebunan Cinta Manis,
PT. Perkebunan Nusantara VII, Palembang ini dibuat sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan
Lingungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas saran petunjuk,
saran dan arahan berupa materil dan non materil yang diberikan semua pihak dalam
membantu penyusunan Karya Ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain kepada :
1. Bapak Dr Ir M. Januar Jarwadi Purwanto M. S., IPM selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan
sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Agus, Bapak Boni dan seluruh staff dari PT. Perkebunan Nusantara
yang telah membantu selama pengumpulan data.
3. Ayah, Ibu, kakak dan adik yang selalu memberikan doa, dukungan moril
maupun materil serta perkataan-perkataan luar biasa yang menjadi
motivasi penulis.
4. Panji P. W., Agi H., Zulkifli Faisal, Dian Puspa sebagai rekan satu
bimbingan yang telah memberikan motivasi, semangat, saran dan segala
doa serta kasih sayangnya.
5. Rekan-rekan mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 47 yang
memberi semangat, dukungan, dan kesediaan untuk berdiskusi selama
pelaksanaan serta penyusunan karya ilmiah.
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Mei 2014

Trias Megantoro
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Penentuan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 3
Analisis Frekuensi Curah Hujan 3
Intensitas Curah Hujan 11
Debit Banjir Rencana 11
Debit Andalan 12
Analisa Kebutuhan Air Untuk Tanaman 12
Neraca Air 13
Penelusuran Banjir (flood routing) 13
Tipe Embung 13
Perencanaan Tubuh Embung 14
Stabilitas Embung 16
METODE 19
Bahan 19
Alat 19
Prosedur Analisis Data 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 27
Kondisi Umum Daerah Studi 27
Penentuan Daerah Aliran Sungai 27
Analisis Frekuensi Curah Hujan Rencana 29
Intensitas Curah Hujan 33
Debit Banjir Rencana 33
Analisis Kebutuhan Air 33
Perhitungan Debit Andalan 35
Neraca Air 35
Volume Tampungan Embung 36
Hubungan Antara Luas, Volume dan Elevasi 37
Penelusuran Banjir 38
Dimensi Embung 39
Perhitungan Stabilitas Embung 43
SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 51
RIWAYAT HIDUP 76

DAFTAR TABEL
1. Reduce variate (Yt) 5
2. Reduce mean (Yn) 5
3. Reduce standard deviation (Sn) 5
4. Harga K untuk distribusi Log Pearson III 6
5. Standard variabel Kt 7
6. Koefisien untuk metode sebaran Log Normal 8
7. Nilai kritis untuk uji keselarasan Chi-Kuadrat 9
8. Nilai delta kritis untuk uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov 10
9. Koefisien pengaliran (C) 11
10. Tinggi umum bendungan berdasarkan ketinggian 15
11. Kemiringan lereng urugan 16
12. Nilai sudut α, 𝜙, 𝛽 25
13. Rekapitulasi curah hujan rencana 31
14. Syarat penggunaan jenis sebaran 31
15. Perhitungan debit rencana 33
16. Daftar Eto dan Kc untuk awal tanam bulan mei 34
17. Perhitungan neraca air 36
18. Perhitungan debit spillway dengan berbagai nilai H 38
19. Penelusuran banjir pada bendungan rencana 39
20. Koefisien gempa 40
21. Koefisien gempa 41
22. Faktor koreksi gempa 41 41
23. Kondisi perencanaan teknis material urugan 48
DAFTAR GAMBAR
1 Tinggi embung dan tinggi jagaan embung 14
2 Cara menentukan harga-harga N dan T 17
3 Diagram alir penelitian 20
4 Garis depresi pada bendungan homgen 23
5 Garis depresi pada bendungan homogen (sesuai dengan garis parabola
yang dimodifikasi) 24
∆a
6 Grafik hubungan antara sudut bidang singgung (α) dengan a+∆a 24
7 Bidang longsor bendungan urugan 25
8 Skema perhitungan bidang luncur 26
9 Lokasi Bendungan Rencana 27
10 Dimensi rencana kolam embung tampak depan 27
11 Luas daerah tangkapan air 28
12 Arah aliran 2 dimensi 28
13 Arah aliran 3 dimensi 28
14 Grafik hubungan antara elevasi, luas dan volume genangan 41
15 Tinggi embung 44
16 Pembagian zona gempa di Indonesia 44
17 Grafik hubungan Metode SMB 46
18 Tinggi jagaan bendungan rencana 46
19 Lebar mercu bendungan rencana 47
20 Formasi garis depresi tanpa menggunakan chimney 49
21 Formasi garis depresi menggunakan drainase kaki 50
22 Jaringan trayekyori 50

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data curah hujan harian maksimum stasiun Cintamanis 51
2 Parameter statistik untuk pengukuran dispersi 52
3 Distribusi sebaran Metode Gumbel Tipe I 53
4 Distribusi frekuensi Metode Log Pearson Tipe III 54
5 Distribusi sebaran Metode Log Pearson Tipe III 55
6 Distribusi sebaran Metode Log Normal 56
7 Uji keselarasan sebaran dengan chi kuadrat 57
8 Uji keselarasan sebaran Smirnov-Kolmogorov 58
9 Perhitungan intensitas curah hujan 59
10 Perhitungan curah hujan efektif 60
11 Perhitungan kebutuhan air untuk irigasi 61
12 Perhitungan debit andalan menggunakan Metode F. J. Mock 62
13 Perhitungan kehilangan air akbiat penguapan 63
14 Perhitungan luas dan volume genangan bendungan rencana 64
15 Data tanah hasil uji laboratorium PT. Selimut Bumi Adhi Cipta 65
16 Stabilitas lereng bendungan pada kondisi baru selesai dibangun dengan
metode pias hulu 66
17 Perhitungan Metode Irisan Bidanng Luncur Bundar pada kondisi baru
selesai dibangun bagian hulu 67
18 Stabilitas lereng bendungan pada kondisi baru selesai dibangun dengan
metode pias hilir 68
19 Perhitungan Metode Irisan Bidanng Luncur Bundar pada kondisi baru
selesai dibangun bagian hilir 69
20 Stabilitas lereng bendungan pada kondisi air elevasi muka air banjir
dengan metode pias hulu 70
21 Perhitungan Metode Irisan Bidanng Luncur Bundar pada kondisi air
elevasi muka air banjir bagian hulu 71
22 Stabilitas lereng bendungan pada kondisi air elevasi muka air banjir
dengan metode pias hilir 72
23 Perhitungan Metode Irisan Bidanng Luncur Bundar pada kondisi air
elevasi muka air banjir bagian hilir 73
24 Arah, kecepatan angin dan kelembaban relatif minimum, rata-rata dan
maksimum di stasiun pengamatan BMKG 74
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air yang berada di daratan sebagai air sungai, air danau dan air tanah merupakan
0.73% dari total jumlah air yang ada di bumi (Sosrodarsono 1993). Air tawar ini
sebagian besar berasal dari air hujan yang turun ke permukaan tanah dan mengalir ke
permukaan atau tempat–tempat yang lebih rendah dan setelah mengalami beberapa
perlawanan akibat gaya berat akhirnya melimpah ke danau dan laut. Suatu alur yang
panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut
alur sungai. Air permukaan tanah dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan
produksi adalah air yang terdapat sirkulasi air. Jika sirkulasi air ini tidak merata maka
akan terjadi masalah dan juga sebaliknya.
Pengolahan sumber daya air didefinisikan sebagai aplikasi dari cara struktural
dan non-struktural untuk mengendalikan sumber daya air alam dan buatan manusia
untuk kepentingan atau manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Cara non-
struktural untuk pengolahan air adalah program–program yang tidak membutuhkan
fasilitas-fasilitas yang dibangun, sedangkan cara struktural adalah fasilitas yang
dibangun untuk pengendali aliran air. Dalam upaya pengolahan sumber daya air
cara struktural untuk memenuhi kebutuhan air pertanian, maka banyak usaha yang
dilakukan manusia diantaranya dengan membuat bendung, tanggul dan lain
sebagainya.
PT. Perkebunan Nusantara VII khususnya Pabrik Gula (PG) Cinta Manis
berupaya mengembangkan areal lahannya. Hal ini memacu pembangunan
bendungan yang baru untuk memenuhi suplai air irigasi. Bendungan atau embung
adalah bangunan air yang mempunyai bangunan pelengkap lainnya yang
mempunyai fungsi utama menampung dan mengontrol suatu debit air yang sengaja
dibuat untuk meningkatkan taraf muka air untuk mendapatkan tinggi terjun
sehingga air dapat dialirkan secara teratur dan terkontrol dalam pembagiannya
(Donny 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan, pembuatan bendungan yang sudah ada berupa
bendungan tipe urugan dengan tinggi kurang dari 5 meter. Hal ini berdasarkan
Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia (1994) yang
menyatakan bahwa untuk tinggi bendung kurang dari 5 meter merupakan
bendungan tipe urugan. Namun sayangnya pembangunan ini dibangun tanpa dasar
teori dan pedoman perencanaan yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal
ini menyebabkan banyak bendungan yang terjadi longsor. Pembuatan bendungan
yang benar harus didasarkan pada RSNI T-01-2002 tentang Tata Cara Desain
Tubuh Bendungan Tipe Urugan. Menurut RSNI T-01-2002 bendungan tipe urugan
adalah bendungan yang terbuat dari bahan urugan dari borrow area yang dipadatkan
dengan menggunakan vibrator roller atau alat pemadat lainnya pada setiap
hamparan dengan tebal tertentu. Bendungan tipe urugan ini terdiri dari urugan tanah
homogen, urugan tanah zonal dan urugan batu dengan membran. Dalam penelitian
ini digunakan bendungan dengan tipe urugan tanah homogen. Perencanaan
bendungan ini meliputi analisa hidrologi yakni perhitungan curah hujan rencana
dan debit banjir rencana, analisa kapasitas tampungan serta analisa tubuh
bendungan terhadap gaya-gaya yang terjadi.
2

Dengan adanya studi ini diharapkan potensi air yang ada saat ini dapat
dimanfaatkan secara maksimal sehingga mencukupi untuk keperluan irigasi. Selain
itu perencanaan tubuh bendungan juga diharapkan kuat sehingga tidak terjadi
longsor dan mampu menahan debit air yang ada pada bendungan tersebut sehingga
memberikan manfaat yang besar.

Perumusan Masalah

Bendung yang dibangun pada bendungan untuk menampung air di


perkebunan Cinta Manis, PT. Perkebunan Nusantara VI ini merupakan bendungan
tipe urugan homogen. Selain digunakan untuk menampung air, bendungan ini juga
digunakan sebagai jalan. Sebagian besar bendungan ini dibangun tanpa adanya
perhitungan-perhitungan dan dasar teori yang valid. Ketika hujan turun dengan
intensitas tinggi tubuh bendung tidak kuat menahan gaya-gaya yang terjadi. Debit
yang ditampung terlalu besar yang mengakibatkan terjadinya longsor pada tubuh
bendung. Oleh karena itu perlu adanya analisis mengenai karakteristik lahan pada
pembangunan bendungan untuk menentukan desain yang efektif dan efisien yang
berdasarkan RSNI T-01-2002 tentang Tata Cara Desain Tubuh Bendungan Tipe
Urugan. Dengan perecanaan tubuh bendung ini diharapkan tubuh bendung yang
akan dibangun mampu menahan gaya-gaya yang terjadi dan dalam pembangunan
bendungan sendiri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air irigasi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk merencanakan detail tubuh bendung pada
bendungan di lahan perkebunan Cinta Manis, PT. Perkebunanan Nusantara VII,
Palembang, meliputi:
1. Mengetahui dimensi bendungan yang akan direncakan berdasarkan debit dan
volume air yang diketahui.
2. Menentukan desain konstruksi bendungan yang tepat dengan
memaksimalkan tampungan air sehingga tubuh bendung aman dari bahaya
piping bawah bendungan pada saat debit banjir rencana serta aman terhadap
bahaya longsor.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:


1. Sebagai sumber air untuk keperluan irigasi pada tanaman tebu di lahan
perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VII khususnya Rayon II P.G. Cinta
Manis
2. Sebagai bahan evaluasi dan rekomendasi bagi perusahaan dalam
pembangunan bendungan.
3

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis hidrologi dan topografi serta perhitungan


dimensi bendungan. Dalam material timbunan tanah, diasumsikan tanah timbunan
berupa tanah homogen. Perhitungan stabilitas terhadap aliran filtrasi dan stabilitas
lereng pada bendungan juga dilakukan untuk mengetahui apakah bendungan yang
dibuat aman atau tidak dari gejala piping dan longsor.

TINJAUAN PUSTAKA

Penentuan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS)

Yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (Kodoatie dan Sjarief 2005). Untuk penentuan luas
DAS pada perencanaan bendungan mengacu pada Perencanaan Pengembangan
Wilayah Sungai dalam rangka peningkatan kemampuan penyediaan air sungai
untuk berbagai kebutuhan hidup masyarakat, sehingga meliputi beberapa ketentuan
antara lain (Soemarto 1999) :
1. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mengikuti pola bentuk aliran sungai
dengan mempertimbangkan aspek geografis di sekitar Daerah Aliran Sungai
yang mencakup daerah tangkapan (cathment area) untuk perencanaan
bendungan tersebut.
2. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diketahui dari gambaran yang
diantaranya meliputi peta-peta atau foto udara, dan pembedaan skala serta
standar pemetaan sehingga dapat menghasilkan nilai-nilai yang sebenarnya.

Analisis Frekuensi Curah Hujan

Hujan rencana merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam kala
ulang tertentu sebagai hasil dari suatu rangkaian analisis hidrologi yang biasa
disebut analisis frekuensi. Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan
hujan rencana ini dilakukan secara berurutan sebagai berikut :
1. Parameter Statistik
2. Pemilihan Jenis Metode
3. Uji Kebenaran Sebaran
4. Perhitungan Hujan Sebaran

Parameter Statistik
Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi
parameter nilai rata-rata ( X ), deviasi standar (Sd), koefisien variasi (Cv), koefisien
kemiringan / skewness (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck). Sementara untuk
4

memperoleh harga parameter statistik dilakukan perhitungan dengan rumus dasar


sebagai berikut (Soemarto 1999) :
𝑅 ∑(𝑋𝑖−𝑋̅ )2
𝑋̅ = ∑ 𝑛𝑥 ; 𝑆𝑑 = √ (1)
𝑛−1

𝑆𝑑
𝐶𝑣 = (2)
𝑋̅

∑𝑛 {(𝑋𝑖−𝑋̅)}3
𝑖=1
𝐶𝑠 = (𝑛−1)(𝑛−2)𝑆𝑑 3
(3)

1
∑𝑛 ̅ 4
𝑖=1{(𝑋𝑖−𝑋 )}
𝐶𝑘 = 𝑛 (4)
𝑆𝑑4

Dimana :
𝑋̅ = tinggi hujan harian maksimum rata-rata selama n tahun (mm)
∑ 𝑋 = jumlah tinggi hujan harian maksimum selama n tahun (mm)
n = jumlah tahun percepatan data hujan
Sd = deviasi standar
Cv = koefisien variasi
Cs = koefisien kemiringan
Ck = koefisien kurtosis

Lima parameter statistik di atas akan menentukan jenis metode yang akan
digunakan dalam analisis frekuensi.

Pemilihan Jenis Metode


Jenis metode yang digunakan dalam analisis frekuensi dilakukan dengan
beberapa asumsi, yakni Metode Gumbel Tipe I, Metode Log Pearson Tipe III dan
Metode Log Normal.
1. Metode Gumbel Tipe I
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan Metode Gumbel Tipe I
digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut
(Soemarto, 1999) :
𝑆
𝑋𝑇 = 𝑋̅ + 𝑆𝑛 (𝑌𝑇 − 𝑌𝑛) (5)

∑(𝑋𝑖 −𝑋̅)2
𝑆=√ (6)
𝑛−1

Hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dihitung dengan rumus


(Soemarto, 1999):
Dimana:
XT = nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun (mm)
𝑋̅ = nilai rata-rata hujan (mm)
S = deviasi standar (simpangan baku)
YT = nilai reduksi variat (reduced variate) dari variabel yang diharapkan
terjadi pada periode ulang T tahun, seperti dituliskan pada Tabel 1
5

Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (reduce mean) nilainya tergantung


dari jumlah data (n), seperti ditunjukkan pada Tabel 2
Sn = deviasi standar dari reduksi variat (reduced standart deviation)
nilainya tergantung dari jumlah (n), seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 3
Tabel 1 Reduced variate YT
Periode Ulang (Tahun) Reduced Variate
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2502
20 2.9606
25 3.1965
50 3.9019
100 4.6001
200 5.2960
500 6.2140
1000 6.9190
5000 8.5390
10000 9.9210
Sumber: Soemarto (1999)
Tabel 2 Reduced mean (Yn)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0.5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600
Sumber: Soemarto (1999)
Tabel 3 Reduced standard deviation Sn

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 10,095 10,206 10,316 10,411 10,493 10,565
20 10,628 10,696 10,754 10,811 10,864 10,315 10,961 11,004 11,047 11,080
30 11,124 11,159 11,193 11,226 11,255 11,285 11,313 11,339 11,363 11,388
40 11,413 11,436 11,458 11,480 11,499 11,519 11,538 11,557 11,574 11,590
50 11,607 11,923 11,638 11,658 11,667 11,681 11,696 11,708 11,721 11,734
60 11,747 11,759 11,770 11,782 11,793 11,803 11,814 11,824 11,834 11,844
70 11,854 11,863 11,873 11,881 11,890 11,898 11,906 11,915 11,923 11,930
80 11,938 11,945 11,953 11,959 11,967 11,973 11,980 11,987 11,994 12,001
90 12,007 12,013 12,026 12,032 12,038 12,044 12,046 12,049 12,055 12,060
100 12,065
Sumber: Soemarto (1999)
6

2. Metode Log Pearson Tipe III


Metode Log Pearson Tipe III apabila digambarkan pada kertas peluang
logaritmik merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan
sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut (Soemarto
1999):

𝑌 = 𝑦̅ + 𝑘. 𝑆 (7)

Dimana:
Y = nilai logaritmik dari X atau log Y
X = curah hujan (mm)
𝑌̈ = rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y
S = deviasi standar nilai Y
K = karakteristik distribusi peluang Log Pearson Tipe III (Tabel 4)
Tabel 4 Harga K untuk distribusi Log Pearson Tipe III

Periode Ulang Tahun


Kemencengan 2 5 10 25 50 100 200 1000
(Cs) Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0.5 0.1
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 2,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 2,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 2,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 2,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 2,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -0,050 0,824 1,309 2,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0.2 -0,033 0,830 1,301 2,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,292 2,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 2,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 2,761 2,000 2,252 2,482 3,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275
7

-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150


-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280
-1,8 0,282 0,799 0,945 0,035 1,069 1,089 1,097 1,130
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
Sumber: Soemarto (1999)

3. Metode Log Normal


Metode Log Normal apabila pada kertas peluang logaritmik merupakan
persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik
dengan persamaan sebagai berikut:

𝑋𝑇 = 𝑋̅ + 𝐾𝑡 ∗ 𝑆 (8)

Dimana:
XT = besarnya curah hujan yang mungkin terjadi dengan periode ulang X
tahun (mm)
𝑋̅ = curah hujan rata-rata (mm)
S = deviasi standar data hujan maksimum tahunan
Kt = standard variabel untuk periode ulang T tahun (Tabel 5)
Tabel 5 Standard variable Kt
T T
T (Tahun) Kt Kt Kt
(Tahun) (Tahun)
1 -1.86 20 1.890 90.000 3.340
2 -0.22 25 2.100 100.000 3.450
3 0.17 30 2.270 110.000 3.530
4 0.44 35 2.410 120.000 3.620
5 0.64 40 2.540 130.000 3.700
6 0.81 45 2.650 140.000 3.770
7 0.95 50 2.750 150.000 3.840
8 1.06 55 2.860 160.000 3.910
9 1.17 60 2.930 170.000 3.970
10 1.26 65 3.020 180.000 4.030
11 1.35 70 3.080 190.000 4.090
12 1.43 75 3.600 200.000 4.140
13 1.5 80 3.210 221.000 4.240
14 1.57 85 3.280 240.000 4.330
15 1.63 90 3.330 260.000 4.420
8

Tabel 6 Koefisien untuk metode sebaran Log Normal

Periode Ulang T tahun


Cv
2 5 10 20 50 100
0.0500 -0.2500 0.8334 1.2965 1.6863 2.1341 2.4370
0.1000 -0.0496 0.8222 1.3078 1.7247 2.2130 2.5489
0.1500 -0.0738 0.8085 1.3156 1.7598 2.2899 2.6607
0.2000 -0.0971 0.7926 1.3200 1.7911 2.3640 2.7716
0.2500 -0.1194 0.7748 1.3209 1.8183 2.4348 2.8805
0.3000 -0.1406 0.7547 1.3183 1.8414 2.5316 2.9866
0.3500 -0.1604 0.7333 1.3126 1.8602 2.5638 3.0890
0.4000 -0.1788 0.7100 1.3037 1.8746 2.6212 3.1870
0.4500 -0.1957 0.6870 1.2920 1.8848 2.6734 3.2109
0.5000 -0.2111 0.6626 1.2778 1.8909 2.7202 3.3673
0.5500 -0.2251 0.6129 1.2513 1.8931 2.7615 3.4488
0.6000 -0.2375 0.5879 1.2428 1.8916 2.7974 3.5241
0.6500 -0.2485 0.5879 1.2226 1.8866 2.8279 3.5930
0.7000 -0.2582 0.5631 1.2011 1.8786 2.8532 3.6568
0.7500 -0.2667 0.5387 1.1784 1.8577 2.8735 3.7118
0.8000 -0.2739 0.5148 1.1548 1.8543 2.8891 3.7617
0.8500 -0.2801 0.4914 1.1306 1.8388 2.9002 3.8056
0.9000 -0.2852 0.4886 1.1060 1.8212 2.9071 3.8437
0.9500 -0.2895 0.4466 1.0810 1.8021 2.9102 3.8762
1.0000 -0.2929 0.4254 1.0560 1.7815 2.9098 3.9036

Uji Keselarasan Sebaran


Uji keselarasan sebaran dilakukan untuk mengetahui jenis metode yang
paling sesuai dengan data hujan. Uji metode dilakukan dengan uji keselarasan
distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih, dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang
dianalisis (Soewarno 1995).
Ada dua jenis uji keselarasan yaitu uji keselarasan Chi Kuadrat ( Chi Square )
dan Smirnov Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah hasil
perhitungan yang diharapkan.

Uji Keselarasan Chi Kuadrat (Chi Square)


Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data
pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan membandingkan
nilai chi square (X2) dengan nilai chi square kritis (X2cr). Uji keselarasan chi
kuadrat menggunakan rumus (Soewarno 1995) :

(𝑂𝑖−𝐸𝑖)2
𝑋 2 = ∑𝑁
𝑖=1 (9)
𝐸𝑖
9

Dimana:
X2 = harga chi square terhitung
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelomok ke-i
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i
N = jumlah data

Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung < X2 kritis. Nilai X2
kritis dapat dilihat di Tabel 7. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari
penyimpangannya dengan chi square kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata
tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5%. Derajat kebebasan ini
secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut (Soewarno 1995) :

Dk = K- (P+1) (10)

Dimana:
Dk = derajat kebebasan
P = nilai untuk distribusi Metode Gumbel, P=1

Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut:


 Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
 Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
 Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data.

Tabel 7 Nilai kritis untuk uji keselarasan chi kuadrat

α Derajat kepercayan
dk
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819
14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
10

17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718


18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156
19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582
20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,41 34,170 37,566 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,683 44,181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993
29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672

Uji Keselarasan Smirnov – Kolmogorov


Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorof, sering juga disebut uji keselarasan non
parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Menurut Soewarno (1995) rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:

𝑃𝑚𝑎𝑥 𝑃(𝑥)
𝛼= − (11)
𝑃(𝑥) ∆𝐶𝑟

Sedangkan untuk nilai delta kritis uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov


ditunjukkan pada Tabel 8 berikut ini:

Tabel 8 Nilai delta kritis untuk uji keselarasan Smirnov – Kolmogorov

Jumlah α derajat kepercayaan


data n 0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
n>50 1,07/n 1,22/n 1,36/n 1,63/n
11

Intensitas Curah Hujan

Untuk menentukan Debit Banjir Rencana (Design Flood), perlu didapatkan


harga suatu intensitas curah hujan terutama bila digunakan metode rasional.
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun
waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan ini dapat
diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau (Loebis 1987).
Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan rumus empiris dari Dr.
Mononobe (Soemarto 1999) sebagai berikut :

𝑅24 24 2/3
𝐼= 𝑥[𝑡 ] (12)
24

Dimana:
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

Debit Banjir Rencana

Debit banjir rencana dapat dihitung dengan menggunakan beberapa metode


yang berbeda. Metode yang paling sering digunakan adalah Metode Rasional.
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1984) perhitungan debit banjir rencana dengan
Metode Rasional dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝐶.𝐼.𝐴
𝑄𝑡 = = 0.278 𝐶. 𝐼. 𝐴 (13)
3.6

Dimana:
Qt = debit banjir maksimum (m3/dtk)
C = koefisien pengaliran
I = intensitas hujan selama t jam (mm/jam)
A = luas DAS sampai 100 km2 (km2)

Koefisien pengaliran atau run off (C) tergantung dari faktor-faktor daerah
pengalirannya, seperti jenis tanah, kemiringan, vegetasi, luas dan bentuk daerah
pengaliran sungai (Loebis 1987). Untuk menentukan koefisien pengaliran dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Koefisien pengaliran (C)

Tipe Daerah Aliran Harga C


Tanah pasir, datar, 2% 0.05-0.10
Tanah pasir, rata-rata 2-7% 0.10-0.15
Tanah pasir, curam 7% 0.15-0.20
Rerumputan
Tanah gemuk, datar 2% 0.13-0.17
Tanah gemuk, rata-rata 2-7% 0.18-0.22
Tanah gemuk, curam 7% 0.25-0.35
12

Daerah kota lama 0.75-0.95


Business
Daerah pinggiran 0,50-0,70
Daerah "single family" 0,30-0,50
"Multi unit" terpisah-pisah 0,40-0,60
"Multi unit" tertutup 0,60-0,75
Perumahan "Sub urban" 0,25-0,40
Daerah rumah-rumah apartemen 0,50-0,70
Daerah ringan 0,50-0,80
Daerah berat 0,60-0,90
Pertamanan 0,10-0,25
Tempat pertanian 0,20-0,35
Halaman kereta api 0,20-0,40

Debit Andalan

Debit andalan merupakan debit minimal yang sudah ditentukan yang dapat
dipakai untuk memenuhi kebutuhan air (Soemarto 1999). Perhitungan ini
digunakan untuk masukan simulasi operasi bangunan daerah kritis dalam
pemanfaatan air. Salah satu metode yang digunakan adalah Metode F J. Mock yang
dikembangkan khusus untuk perhitungan sungai-sungai di Indonesia. Dasar
pendekatan metode ini mempertimbangkan faktor curah hujan, evapotranspirasi,
keseimbangan air di permukaan tanah dan kandungan air tanah. Prinsip perhitungan
ini adalah hujan yang jatuh di atas tanah (presipitasi) sebagian akan hilang karena
penguapan (evaporasi), sebagian akan hilang menjadi aliran permukaan (direct run
off) dan sebagian lagi akan masuk tanah (infiltrasi). Infiltrasi mula-mula
menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan akhirnya
keluar ke sungai sebagai base flow.

Analisa Kebutuhan Air Untuk Tanaman

Kebutuhan air untuk tanaman adalah banyaknya air yang dibutuhkan tanaman
untuk membuat jaring tanaman (batang dan daun). Selain itu juga untuk diuapkan
sebagai evapotranspirasi, perkolasi, curah hujan, pengolahan lahan dan
pertumbuhan tanaman. Menurut Ditjen Pengairan (1985) rumus yang digunakan
dalam perhitungan kebutuhan air adalah sebagai berikut:

𝐼𝑟 = 𝐸𝑡 + 𝑃 − 𝑅𝑒 + 𝑆 (14)

Dimana:
Ir = kebutuhan air untuk irigasi (mm/hari)
Et = evapotranspirasi
S = kebutuhan air untuk penglahan tanah (mm/hari)
P = perkolasi
Re = hujan efektif (mm)
13

Neraca Air

Menurut Rifai (2008) perhitungan neraca air dilakukan untuk mengecek air
yang tersedia cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan air irigasi atau tidak.
Dalam perhitungan neraca air ini terdapat tiga unsur pokok, yakni:
1. Kebutuhan air
2. Tersedianya air (debit andalan)
3. Neraca air

Penelusuran Banjir (flood routing)

Penelusuran banjir dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik


outflow/keluaran, yang sangat diperlukan dalam pengendalian banjir. Perubahan
hidrograf banjir antara inflow (I) dan outflow (O) karena adanya faktor tampungan
atau adanya penampang sungai yang tidak seragam atau akibat adanya meander
sungai. Jadi penelusuran banjir ada dua, untuk mengetahui perubahan inflow dan
outflow pada bendungan dan inflow pada satu titik dengan suatu titik di tempat lain
pada sungai. Perubahan inflow dan outflow akibat adanya tampungan. Maka pada
suatu bendungan akan terdapat inflow banjir (I) akibat adanya banjir dan outflow
(O) apabila muka air bendungan naik sehingga terjadi limpasan (Soemarto 1999).
I > O tampungan bendungan naik elevasi muka air bendungan naik. I < O
tampungan bendungan turun elevasi muka air bendungan turun.

Tipe Bendungan

Berdasarkan material pembentuknya bendungan dikelompokkan menjadi 2


tipe, yaitu (Sudibyo, 1993):
1. Bendungan urugan (fill dams, embankment dams) adalah bendungan yang
dibangun dari hasil penggalian bahan (material) tanpa tambahan bahan lain
yang bersifat campuran secara kimia, jadi betul-betul bahan pembentuk
bendungan asli. bendungan ini masih dapat dibagi menjadi dua yaitu:
 bendungan urugan serba sama (homogeneous dams) adalah bendungan
apabila bahan yang membentuk tubuh bendungan tersebut terdiri dari
tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butirannya)
hampir seragam.
 Bendungan tipe zonal adalah bendungan apabila timbunan yang
membentuk tubuh bendungan terdiri dari batuan dengan gradasi
(susunan ukuran butiran) yang berbeda-beda dalam urutan-urutan
pelapisan tertentu.

2. Bendungan beton (concrete dam) adalah bendungan yang dibuat dari


konstruksi beton baik dengan tulangan maupun tidak. Kemiringan
permukaan hulu dan hilir tidak sama pada umumnya bagian hilir lebih
landai dan bagian hulu mendekati vertikal dan bentuknya lebih ramping.
Bendungan ini masih dibagi lagi menjadi: bendungan beton berdasar berat
sendiri stabilitas tergantung pada massanya, bendungan beton dengan
14

penyangga (buttress dam) permukaan hulu menerus dan di hilirnya pada


jarak tertentu ditahan, bendungan beton berbentuk lengkung dan bendungan
beton kombinasi.

Perencanaan Tubuh Bendungan

Beberapa istilah penting mengenai tubuh bendungan adalah:


1. Tinggi bendungan
Tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan
elevasi mercu bendungan. Apabila pada bendungan dasar dinding kedap air
atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis
perpotongan antara bidang vertikal yang melalui hulu mercu bendungan
dengan permukaan pondasi alas bendungan tersebut (Loebis 1984).

2. Tinggi Jagaan (free board)


Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum
rencana air dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan
air maksimum rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk
(Sosrodarsono dan Takeda 1989).

Gambar 1 Tinggi bendungan dan tinggi jagaan


Rumus yang digunakan (dalam Sosrodarsono dan Takeda 1989) :

ℎ𝑒
Hf ≥ ∆h + (hw atau ) + he + hi (15)
2

ℎ𝑒
Hf ≥ + he + hi (16)
2

Dimana :
Hf = tinggi jagaan
∆h = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi
akibat timbulnya banjir abnormal
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin
he = tinggi ombak akibat gempa
ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi
kemacetan pada pintu bangunan pelimpah
hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari waduk
15

Tinggi kenaikan permukaan air yang disebabkan oleh banjir abnormal (∆h)
dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Sosrodarsono 1989):

2 𝛼𝑄0 ℎ
∆h = (17)
3 𝑄 1+ ∆ℎ
𝑄𝑇
Dimana:
Q0 = debit banjir rencana (m3/dtk)
Q = kapasitas rencana bangunan pelimpah untuk banjir (m3/dtk)
α = 0.2 untuk bangunan pelimpah terbuka
α = 1.0 untuk bangunan pelimpah tertutup
H = kedalaman pelimpah rencana (m)
A = luas permukaan air embung pada elevasi banjir rencana (km2)
T = durasi terjadinya banjir abnormal (1 s/d 3 jam)

Tinggi ombak yang diseababkan oleh gempa dihitung (he) dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑒𝜏
ℎ𝑒 = √𝑔. ℎ0 (18)
𝜋

Apabila didasarkan pada tinggi bendungan yang direncanakan, maka


standar tinggi jagaan bendungan urugan adalah sebagai berikut (dalam
Soedibyo 1993) :
Tabel 10 Tinggi umum bendungan berdasarkan ketinggian

Lebih rendah dari 50 m Hf ≥ 2 m


Dengan tinggi antara 50-100 m Hf ≥ 3 m
Lebih tinggi dari 100 m Hf ≥ 3.5 m

3. Lebar Mercu Bendungan


Lebar mercu bendungan yang memadai diperlukan agar puncak bendungan
dapat tahan terhadap hempasan ombak dan dapat tahan terhadap aliran
filtrasi yang melalui puncak tubuh bendung. Disamping itu, pada penentuan
lebar mercu perlu diperhatikan kegunaannya sebagai jalan inspeksi dan
pemeliharaan bendungan. Penentuan lebar mercu bendungan dirumuskan
sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda 1989):

b = 3.6 H1/3-3 (19)

Dimana:
b = lebar mercu
H = tinggi bendungan

4. Panjang Bendungan
Panjang bendungan adalah seluruh panjang mercu bendungan yang
bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di
kedua ujung mercu tersebut. Apabila bangunan pelimpah atau bangunan
penyadap terdapat pada ujung-ujung mercu, maka lebar bangunan pelimpah
16

tersebut diperhitungkan pula dalam menentukan panjang bendungan (Nisa


2008).

5. Volume Bendungan
Seluruh jumlah volume konstruksi yang dibuat dalam rangka pembangunan
tubuh bendungan termasuk semua bangunan pelengkapnya dianggap
sebagai volume bendungan (Nisa 2008).

6. Kemirignan Lereng (slope gradient)


Kemiringan rata-rata lereng bendungan (lereng hulu dan lereng hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui tumit masing-
masing lereng tersebut. Berm lawan dan drainase prisma biasanya
dimasukkan dalam perhitungan penentuan kemiringan lereng, akan tetapi
alas kedap air biasanya diabaikan.
Menurut Soedibyo (1993) kemiringan lereng sangat ditentukan oleh
jenis material urugan yang dipakai. Kemiringan lereng urugan harus
ditentukan sedemikian rupa agar stabil terhadap longsoran. Kestabilan
urugan harus diperhitungkan terhadap frekuensi naik turunnya muka air,
rembesan dan harus tahan terhadap gempa.
Tabel 11 Kemiringan lereng urugan
Material urugan Material utama Kemiringan Lereng
Vertikal : Horisontal
Hulu Hilir
a. Urugan homogen CH, CL, SC, GC, 1:3 1:2.25
GM, SM
b. Urugan majemuk
a. Urugan batu dengan inti
lempung atau dinding Pecahan Batu 1:1.5 1:1.25
diafragma
b. Kerikil-kerakal dengan inti
lempung atau dinding Kerikil-kerakal 1:2.5 1:1.75
diafragma

Stabilitas Bendung

Merupakan perhitungan konstruksi untuk menentukan ukuran (dimensi)


bendungan agar mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja
padanya dalam keadaan apapun juga. Konstruksi harus aman terhadap geseran,
penurunan bendungan, terhadap rembesan dalam keadaan bendungan kosong
maupun ketika bendungan dalam keadaan penuh air. Gaya-gaya yang bekerja pada
bendungan urugan adalah sebagai berikut:
1. Stabilitas tubuh bendungan terhadap rembesan
Baik bendungan maupun pondasinya diharuskan mampu menahan gaya-gaya
yang ditimbulkan oleh adanya air filtrasi yang mengalir melalui celah-celah
antara butiran-butiran tanah pembentuk tubuh bendungan dan pondasi
tersebut. Hal tersebut dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis
depresi (seepage flow-net) yang terjadi dalam tubuh dan pondasi bendungan
tersebut.
17

2. Stabilitas lereng bendungan urugan menggunakan metode irisan bidang


luncur bundar
Menurut Sodibyo (1993) faktor keamanan dari kemungkinan terjadinya
longsoran dapat diperoleh dengan menggunakan rumus keseimbangan
sebagai berikut:

∑{𝐶.𝑙+(𝑁−𝑈−𝑁𝑒 )𝑡𝑎𝑛𝜙}
𝐹𝑠 = ∑(𝑇+𝑇𝑒 )
(20)

∑ 𝐶.𝑙+∑{𝛾.𝐴(cos 𝑎−𝑒.𝑠𝑖𝑛𝑎)−𝑉}𝑡𝑎𝑛𝜙
= ∑ 𝛾.𝐴(sin 𝑎+𝑒 cos 𝑎)
(21)

Dimana:
Fs = faktor keamanan
N = beban komponen vertikal yang timbul dari beban setiap irisan bidang
luncur (=𝛾.A.cos a)
T = beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan
bidang luncur (=𝛾.A.sin a)
U = tekanan air pori yang bekerja pada setiap bidang luncur
Ne = komponen vertikal beban seismic yang bekerja pada setiap irisan
bidang luncur (= e.γ .A.sinα )
Te = komponen tangensial beban seismic yang bekerja pada setiap irisan
bidang luncur (= e.γ .A.sinα )
𝜙 = sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan
bidang luncur.
C = angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur
Z = lebar setiap irisan bidang luncur
E = intensitas seismis horisontal
𝛾 = berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
A = luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
α = sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur
V = tekanan air pori

Gambar 2 Cara menentukan harga-harga N dan T


18

3. Kapasitas aliran filtrasi


Kapasitas filtrasi yang mengalir melalui tubuh dan pondasi bendungan yang
didasarkan pada jaringan trayektori. Kombinasi dari beberapa garis aliran dan
garis ekipotensial disebut jaring arus (flow net). Garis aliran adalah suatu garis
sepanjang mana butir-butir air akan bergerak dari bagian hulu ke bagian hilir
sungai melalui media tanah yang tembus air (permeable). Hardiyatmo (1992)
menyatakan bahwa garis ekipotensial adalah garis-garis yang mempunyai
tinggi tekan yang sama (h konstan). Kemiringan garis ekipotensial adalah
tegak lurus terhadap garis aliran. Pada tanah yang seragam hal ini selalu benar
sehingga rembesan air di dalam tanah dapat digambarkan sebagai deretan
garis ekipotensial dan deretan garis aliran yang saling berpotongan secara
tegak lurus. Debit rembesan yang lewat tubuh maupun pondasi bendungan
ditentukan dengan menggunakan persamaan aliran filtrasi yang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

𝑁
𝑄𝑓 = 𝑁𝑓 𝑥𝐾𝑥𝐻𝑥𝐿 (22)
𝑝

Dimana:
Qf = kapasitas aliran filtrasi
Nf = angka pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi
Np = angka pembagi dari garis equipotensial
K = koefisien filtrasi
H = tinggi tekan air total
L = panjang profil melintang tubuh bendung

4. Gejala Sufosi (Piping) dan Sembulan (Boiling)


Sufosi adalah erosi yang cepat sebagai akibat rembesan terpusat berat tubuh
dan atau pondasi bendung. Air meresap melalui timbunan tanah lapisan kedap
air atau pondasi bendung. Besarnya debit rembesan yang terjadi akan
mengakibatkan terjadinya bahaya piping dan sembulan pada dasar tanah
pondasi. Kecepatan kritis aliran yang menyebabkan erosi material halus
dihitung dengan persamaan empiris sebagai berikut:

𝑊 𝑥𝑔
1
𝑐 = √ 𝐹𝑥𝑦 (23)

Dimana:
c = kecepatan kritis (m/dtk)
w1 = berat butiran bahan dalam air (t/m3)
g = percepatan gravitasi (m/dtk2)
F = luas permukaan yang menampung aliran filtrasi (m2)
𝛾 = berat isi air (t/m3)

Untuk keamanan tubuh bendung harus dihitung juga besarnya kecepatan


aliran filtrasi, dimana kecepatan ini harus lebih kecil dari kecepatan kritis
yang diijinkan. Kecepatan aliran filtrasi dapat diperoleh dengan persamaan
sebagai berikut (Craig 1994):
19
𝐻
𝑉 = 𝑘. 𝐿 (24)

Dimana:
V = kecepatan aliran filtrasi (m/dtk)
k = koefisien permeabilitas
H = tinggi tekanan air (m)
L = panjang lintasan rembesan (m)

METODE

Secara umum metode yang digunakan dalam proses penelitian ini terdiri dari:
1. Studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dasar mengenai
permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, studi literatur bertujuan untuk
mempelajari berbagai metode untuk menentukan debit limpasan dan
parameter yang mempengaruhinya. Literatur yang menjadi acuan berasal dari
buku teks, karya tulis dan jurnal ilmiah.
2. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara survei. Survei ini bertujuan untuk
memperoleh data-data yang dibutuhkan, baik data sekunder maupun data
aktual yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data yang dibutuhkan
meliputi dimensi saluran dan koefisien permeabilitas tanah.

Adapun tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari pengukuran luas daerah tangkapan air dan
pengukuran luas bendungan rencana. Data primer terdiri dari data curah hujan
selama 12 tahun, data iklim dan data peta tanah yang diperoleh dari Litbang
Cintamanis serta citra landsat yang diambil dari google earth.

Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat
komputer/laptop yang sudah terdapat perangat lunak (software) untuk membantu
pengolahan data seperti Microsoft Excel 2013, Auto Cad 2014 dan Surfer 10. Selain
itu juga digunakan alat GPS tipe Garmin 760, taping dengan panjang 50 m, kamera
untuk pendokumentasian, kalkulator dan alat tulis.
20

Mulai

Identifikasi Masalah

Studi Pustaka

Survey Lapangan dan


Pengumpulan Data

Data Hujan Luas Daerah Tangkapan Air Uji Tanah


Data Iklim a. Berat Butiran Tanah Dalam Air
b. Berat Jenis Tanah Kering
c. Berat Jenis Tanah Jenuh

Analisis Hidrologi

Curah Hujan Analisis


Rencana Kebutuhan air

Analisis Sebaran Kebutuhan Air


Irigasi

Debit Banjir
Rencana Debit Andalan

Penelusuran
Banjir Neraca Air

-Vol. Tampungan Embung


-Muka Air Banjir (MAB)

Dimensi
Embung

Analisa dan Cek Stabilitas


Tubuh Embung

Tidak

Aman

Ya

Gambar Teknik

Selesai

Gambar 3 Diagram alir penelitian


21

Prosedur Analisis Data

Analisis data pertama kali dilakukan adalah analisis frekuensi curah hujan.
analisis ini terdiri dari uji parameter statistik, pemilihan jenis sebaran, uji kebenaran
sebaran dan perhitungan hujan sebaran. Dalam uji parameter statistik digunakan
rumus pada Persamaan 1, 2, 3 dan 4. Setelah itu dilakukan pemilihan jenis metode
yang digunakan (Metode Gumbel Tipe I, Log Pearson Tipe III dan Log Normal).
Untuk menghitung curah hujan dengan metode Gumbel digunakan Persamaan 5
dan Persamaan 6. Perhitungan curah hujan rencana dengan metode Log Normal
digunakan Persamaan 8 sedangkan metode Log Pearson digunakan Persamaan 7
dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:
 Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X1, X2, X3, ..., Xn menjadi log
(X1), log (X2), log (X3),..., log (Xn).

 Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus berikut:


∑𝑛 𝑙𝑜𝑔(𝑋𝑖)
̅̅̅̅̅̅̅
log 𝑋 = 𝑖=1 (25)
𝑛
Dimana:
̅̅̅̅̅̅̅
log 𝑋 = harga rata-rata logaritmik
n = jumlah data
Xi = nilai curah hujan tiap-tiap tahun (R24 maks) (mm)

 Menghitung harga elevasi deviasi standarnya (Sd) dengan rumus berikut:


𝑛
∑ {log(𝑥𝑖)−log 𝑋 } ̅̅̅̅̅̅̅ 2
̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑆𝑑 log 𝑥 = √ 𝑖=1 𝑛−1 (26)
Dimana :
Sd = deviasi standar

 Menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus:


∑𝑛 ̅̅̅̅̅̅̅ 3
𝑖=1{log(𝑋𝑖)−log 𝑋 }
𝐶𝑠 = (𝑛−1)(𝑛−2)𝑆1 3
(27)
Dimana:
Cs = koefisien skewness

 Menghitung logaritmik hujan rencana dengan periode ulang T tahun dengan


rumus:
Log XT = ̅̅̅̅̅̅̅
𝑙𝑜𝑔𝑋 + G*S1 (28)
Dimana:
XT = curah hujan rencana periode ulang T tahun (mm)
G = harga yang diperoleh berdasarkan nilai Cs yang didapat seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 4.

 Menghitung koefisien kurtosis (Ck) dengan rumus:


4
𝑛2 ∑𝑛 ̅̅̅̅̅̅̅
𝑖=1{log(𝑋𝑖)−log 𝑋 }
𝐶𝑘 = (𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)𝑆1 4
(29)
Dimana:
Ck = koefisien kurtosis
22

 Menghitung koefisien variasi (Cv)dengan rumus:


𝑆1
𝐶𝑣 = ̅̅̅̅̅̅̅ (30)
log 𝑥
Dimana:
Cv = koefisien variasi
S1 = deviasi standar

Setelah itu dilakukan uji keselarasan sebaran (Chi Square dan Smirnov-
Kolmogorov) untuk mengetahui apakah metode yang akan digunakan benar-benar
sesuai dan dapat digunakan untuk perhitungan debit banjir rencana. Uji chi square
dilakukan dengan menggunakan Persamaan 9. Untuk uji Smirnov-Kolmogorov
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
 Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai
masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data (persamaan
distribusinya):
X1 P’ (X1)
X2 P’ (X2)
Xm P’ (Xm)
Xn P’ (Xn)

 Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov - Kolmogorov) tentukan harga Do


(seperti ditunjukkan pada Tabel 8).

Ketika didapatkan metode yang sesuai untuk digunakan perhitungan debit


banjir rencana, intensitas curah hujan (I) dihitung menggunakan Persamaan 12.
Dengan menggunakan nilai koefisien limpasan pada Tabel 9 debit banjir rencana
dihitung sesuai dengan Persamaan 13. Debit andalan dihitung dengan
menggunakan metode F. J. Mock. Setelah itu analisa kebutuhan air untuk tanaman
dihitung menggunakan Persamaan 14.
Neraca air dilakukan dengan membandingkan data kebutuhan air tanaman
untuk irigasi dengan air yang tersedia dari perhitungan debit andalan. Langkah
terakhir untuk analisis hidrologi yaitu menghitung penelusuran banjir dengan
menggunakan perhitungan debit yang melewati spillway dengan rumus berikut:
2
𝑄 = 3 𝑥𝐶𝑑𝑥𝐵𝑥√2𝑔𝑥𝐻 3/2 (31)
Dimana:
Q = debit yang melewati spillway (m3/dtk)
B = lebar efektif spillway (m)
Cd = koefisien debit limpasan
H = perbedaan muka air antara hulu dan hilir (m)

Perhitungan struktur bendungan dilakukan untuk mengetahui tinggi


bendungan, tinggi jagaan dan lebar mercu serta stabilitas bendungan terhadap sufosi
(piping). Perencanaan elevasi tinggi bendungan diperoleh dengan membuat grafik
hubungan antara elevasi, volume tampungan dan luas genangan. Untuk menghitung
volume pada sebuah kontur dapat digunakan rumus sebagai berikut:
1
𝑉𝑥 = 3 × 𝑍 × (𝐹𝑦 + 𝐹𝑥 + √𝐹𝑦 × 𝐹𝑥 ) (32)
23

Dimana:
Z = beda tinggi antar kontur
Fy = luas pada kontur Y
Fx = luas pada kontur X

Kemudian dibuat grafik hubungan antara elevasi, luas dan volume genangan dan
dipilih elevasi tinggi bendungan yang sesuai dengan rencana.
Untuk menentukan tinggi jagaan bendungan dapat digunakan Persamaan 15,
16, 17 dan Persamaan 18 sedangkan untuk menentukan lebar mercu bendungan
minimum digunakan Persamaan 19. Perhitungan stabilitas bendungan dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap stabilitas lereng bendungan terhadap aliran
filtrasi. Analisis ini terdiri atas perhitungan formasi garis depresi tanpa
menggunakan chimney, formasi garis depresi dengan menggunakan drainase kaki
dan analisis jaringan trayektori serta aliran filtrasi (seepage flownet). Untuk
perhitungan analisis jaringan trayektori dan aliran filtrasi digunakan Persamaan 22,
23 dan Persamaan 24. Garis depresi didapat dengan persamaan parabola bentuk
dasar seperti di bawah ini :

Gambar 4 Garis depresi pada bendungan homogen


Untuk perhitungan selanjutnya maka digunakan persamaan-persamaan
berikut:

𝑦 2 −𝑦0 2
𝑥= (33)
2𝑦0
𝑦0 = √ℎ2 + 𝑑2 − 2 (34)

Untuk zone inti kedap air garis depresi digambarkan sebagai kurva dengan
persamaan berikut:

𝑦 = √2𝑦0 + 𝑦0 2 (35)

Dimana:
h = jarak vertikal antara titik A dan B
d = jarak horisontal antara titik B2 dan A
I1 = jarak horisontal antara titik B dan E
I2 = jarak horisontal antara titik B dan A
A = ujung tumit hilir bendungan
B = titik perpotongan permukaan air waduk dan lereng hulu bendungan
24

A1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi dengan


garis vertikal melalui titik B
B1 = titik yang terletak sejauh 0.3 I1 horisontal hulu dari titik B

Akan tetapi garis parabola bentuk dasar (B2-C0-A0) diperoleh dari


persamaan tersebut, bukanlah garis depresi sesungguhnya, masih diperlukan
penyesuaian menjadi garis B-C-A yang merupakan bentuk garis depresi yang
sesungguhnya seperti tertera pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5 Garis depresi pada bendungan homogen (sesuai denga garis


parabola yang dimodifikasi)
Panjang Δa tergantung dari kemiringan lereng hilir bendungan, dimana air
filtrasi tersembul keluar yang dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝑦0
𝑎 + Δa = 1−cos 𝑎
(36)

Dimana:
a = jarak AC
Δa = jarak C0C
α = sudut kemiringan lereng hilir bendungan
Untuk memperoleh nilai a dan Δa dapat dicari berdasarkan nilai α dengan
menggunakan grafik sebaagai berikut:

Δa
Gambar 6 Grafik hubungan antara sudut bidang singgung (α) dengan 𝑎+Δa

Selanjutnya dilakukan perhitungan longsor tubuh bendung, sebelum dilakukan


analisis tubuh bendungan urugan terlebih dahulu perlu dicari bidang longsor dari
kemiringan hulu maupun hilir (Gambar 7). Pada penentuan bidang longsor, terdapat
beberapa parameter sudut α, 𝜙 dan 𝛽. Parameter sudut-sudut tersebut dapat dilihat pada
Tabel 12.
25

Gambar 7 Bidang longsor bendungan urugan


Tabel 12 Tabel nilai sudut α, 𝜙 dan 𝛽

n 𝜙 Α 𝛽
1:1.0 45° 28° 27°
1:1.5 33°8’ 26° 35°
1:2.0 26°6’ 25° 35°
1:3.0 18°4’ 25° 35°
1:5.0 11°3’ 25° 27°
Sumber: Soil mechanic & foundation engineering

Untuk perhitungan stabilitas lereng digunakan metode irisan bidang luncur


bundar dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Andaikan bidang luncur bundar dibagi menjadi beberapa irisan vertikal dan
walaupun bukan merupakan persyaratan yang mutlak, biasanya setiap irisan
lebarnya dibuat sama. Disarankan agar irisan bidang luncur tersebut dapat
melintasi perbatasan dari dua buah zone penimbunan atau supaya memotong
garis depresi aliran filtrasi.
b. Gaya-gaya yang bekerja pada setiap irisan adalah sebagai berikut :
c. Berat irisan (W), dihitung berdasarkan hasil perkalian antara luas irisan (A)
dengan berat isi bahan pembentuk irisan (γ), jadi W = A.γ
d. Beben berat komponen vertikal yang bekerja pada dasar irisan (N) dapat
diperoleh dari hasil perkalian antara berat irisan (W) dengan cosinus sudut
rata-rata tumpuan (α) pada dasar irisan yang bersangkutan jadi N = W.cos α
e. Beban dari tekanan hidrostatis yang bekerja pada dasar irisan (U) dapat
diperoleh dari hasil perkalian antara panjang dasar irisan (b) dengan tekanan
air rata-rata (U/cosα) pada dasar irisan tersebut, jadi: U = U.b/cosα
f. Beban berat komponen tangensial (T) diperoleh dari hasil perkalian antara
berat irisan (W) dengan sinus sudut rata-rata tumpuan dasar irisan tersebut
jadi T=Wsinα
26

g. Kekuatan tahanan kohesi terhadap gejala peluncuran (C) diperoleh dari hasil
perkalian antara angka kohesi bahan (c’) dengan panjang dasar irisan (b)
dibagi lagi dengan cos α, jadi C = c’.b/cosα
h. Kekuatan tahanan geseran terhadap gejala peluncuran irisan adalah kekuatan
tahanan geser yang terjadi pada saat irisan akan meluncur meninggalkan
tumpuannya
i. Kemudian jumlahkan semua kekuatan-kekuatan yang menahan (T) dan gaya-
gaya yang mendorong (S) dari setiap irisan bidang luncur, dimana T dan S
dari masing-masing irisan dinyatakan sebagai T = W Sin α dan S = C + (N-
U) tan φ.
j. Faktor keamanan dari bidang luncur tersebut adalah perbandingan antara
jumlah gaya pendorong dan jumlah gaya penahan yang dirumuskan
(Soedibyo, 1993) :
∑𝑆
𝐹𝑠 = ∑ (37)
𝑇
Dimana:
𝐹𝑠 = faktor keamanan
∑ 𝑆 = jumlah gaya pendorong
∑ 𝑇 = Jumlah gaya penahan

Gambar 8 Skema perhitungan bidang luncur


Perhitungan stabilitas lereng ini digunakan data tanah yang diperoleh dari
hasil uji laboratorium PT. Selimut Bumi Adhicipta. Data tanah tersebut antara lain
berat jenis spesifik (Gs), berat volume kering (𝛾d), berat volume basah (𝛾b), berat
volume jenuh (𝛾sat), angka kohesi (c) dan sudut geser dalam (𝜙). Dalam data
tersebut tidak diketahui nilai dari volume berat jenuh (𝛾sat) sehingga perlu
dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐺𝑠+𝑒
γsat = 1+𝑒 (38)
Dimana:
Gs = berat jenis spesifik
e = angka pori
Angka pori dihitung menggunakan persamaan berikut:
𝐺
1 + 𝑒 = γd (39)
Dimana:
e = angka pori
Gs = berat jenis spesifik
γd = berat volume kering
27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Daerah Studi

Bendungan yang akan dibangun di perkebunan Cinta Manis, Rayon II, PT.
Perkebunan Nusantara VII, Palembang ini terletak pada daerah rawa. Bendungan
direncanakan dengan panjang 386 m dan lebar 110 m. Untuk memperbesar volume
tampungan, daerah tampungan dilakukan pengerukan sedalam 3 m dengan sudut
kemiringan dinding bendungan adalah 45 ° dan elevasi dasar diasumsikan 0.
Bendungan ini selain untuk menampung air, juga akan digunakan sebagai jalan
penghubung antara petak 81 dan petak 193. Bagian hilir tubuh bendung rencana
juga akan dilakukan pengerukan dikarenakan juga akan dibangun bendungan yang
baru pada daerah hilir.

Gambar 9 Lokasi bendungan rencana

Gambar 10 Desain rencana kolam bendungan tampak depan

Penentuan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Penentuan daerah aliran sungai ini digunakan untuk menentukan luas daerah
tangkapan air (DTA). Untuk menentukan daerah tangkapan air ini digunakan citra
satelit dengan bantuan google earth. Daerah yang elevasinya lebih tinggi dari lokasi
bendungan rencana ditandai untuk menentukan DTA. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 11.
28

Gambar 11 Luas daerah tangkapan air


Luas titik-titik pada citra satelit dihitung dengan menggunakan bantuan dari
website www.earthpoint.us sehingga diperoleh luas DTA adalah 0.3861 km2. Untuk
memastikan bahwa luas tersebut merupakan DTA maka arah aliran dimodelkan
pada software Surfer 10. Hasil pemodelan arah aliran pada Surfer 10 dapat dilihat
pada Gambar 12 dan Gambar 13.

Gambar 12 Arah aliran 2 dimensi

Gambar 13 Arah aliran 3 dimensi


29

Dari hasil pemodelan 2D dan 3D terlihat bahwa arah aliran menuju daerah
bendungan rencana (lingkaran merah) sehingga luas DTA sebesar 0.3861 km2 dapat
digunakan.

Analisis Frekuensi Curah Hujan Rencana

Analisis ini ditentukan dengan melakukan parameter statistik (pengukuran


dispersi), analisis jenis sebaran dan pengujian keselarasan sebaran. Tujuan analisis
ini adalah untuk menentukan kemungkinan terulangnya curah hujan bulanan
maksimum untuk menentukan debit banjir rencana. Data yang digunakan untuk
analisis frekuensi curah hujan adalah data curah hujan harian maksimum yang
diambil dari stasiun hujan Cinta Manis. Data curah hujan yang digunakan selama
12 tahun mulai dari tahun 2002 sampai dengan 2013. Berdasarkan data curah hujan
harian maksimum diperoleh nilai curah hujan harian maksimum untuk tahun 2002
sampai dengan 2013 adalah 133 mm/hari, 133 mm/hari, 130 mm/hari, 141.5
mm/hari, 185 mm/hari, 103 mm/hari, 196.3 mm/hari, 92 mm/hari, 103 mm/hari, 97
mm/hari, 109 mm/hari dan 99.8 mm/hari. Untuk lebih jelasnya data curah hujan
harian maksimum dapat dilihat pada Lampiran 1.

Parameter Statistik (Pengukuran Dispersi)


Besarnya dispersi dapat dilakukan pengukuran dispersi yakni melalui
perhitungan parameter statistik untuk (Xi-X), (Xi-X)2, (Xi-X)3, (Xi-X)4 terlebih
dahulu dimana Xi merupakan curah hujan harian dalam 1 tahun dan X adalah total
rata-rata curah hujan harian maksimum. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
total rata-rata curah hujan harian maksimum selama tahun 2002 sampai dengan
2013 adalah 127 mm/hari, sedangkan nilai dari jumlah nilai untuk (Xi-X), (Xi-X)2,
(Xi-X)3, (Xi-X)4 berturut-turut adalah 1x10-13, 12798, 412433, dan 38245224.
Perhitungan parameter statistik secara lebih detil disajikan pada Lampiran 2.

Adapun pengukuran dispersi antara lain sebagai berikut:


1. Deviasi standar (Sd)
Perhitungan deviasi standar menggunakan persamaan berikut:
∑(𝑋𝑖 − 𝑋̅)2
𝑆𝑑 = √
𝑛−1

12798
𝑆𝑑 = √
12 − 1
𝑆𝑑 = 34.11

2. Koefisien skewness (Cs)


Perhitungan koefisien skewness menggunakan persamaan sebagai berikut:
∑𝑛𝑖=1{(𝑋𝑖 − 𝑋̅)}3
𝐶𝑠 =
(𝑛 − 1)(𝑛 − 2)𝑆𝑑3
30

12𝑥412433
𝐶𝑠 =
(12 − 1)𝑥(12 − 2)𝑥34.113

𝐶𝑠 =1.133

3. Pengukuran kurtosis (Ck)


Perhitungan kurtosis menggunakan persamaan sebagai berikut:
1 𝑛
∑ {(𝑋𝑖 − 𝑋̅)} 4
𝑛 𝑖=1
𝐶𝑘 =
𝑆𝑑4
1
𝑥38245224
12
𝐶𝑘 =
34.114

𝐶𝑘 =2.825

4. Koefisien variasi (Cv)


Perhitungan koefisien variasi menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑆𝑑
𝐶𝑣 =
𝑋̅
34.11
𝐶𝑣 =
127

𝐶𝑣 = 0.269

Analisis Jenis Sebaran


1. Metode Gumbel
Menghitung curah hujan dengan Persamaan 5 dan Persamaan 6.
𝑆
𝑋𝑇 = 𝑋̅ + (𝑌 − 𝑌𝑛)
𝑆𝑛 𝑇
Dimana
𝑋̅ = 127
Sd = 34.11
Yn = 0.5035
Sn = 0.9833

Nilai Yt tergantung dari periode ulang yang digunakan. Nilai Yt dapat dilihat
pada Tabel 1. Secara detail perhitungan distribusi sebaran Metode Gumbel
Tipe I dengan periode ulang T tahun dapat dilihat Lampiran 3.

2. Metode Log Pearson Tipe III


Perhitungan curah hujan dengan metode Log Pearson III dihitung dengan
persamaan berikut:

Y = 𝑌̅ + 𝑘. 𝑆
31

Y = 𝑌̅ + 𝑘. 𝑆 sehingga persamaan menjadi log 𝑋 = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅


log(𝑋) +
̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑘. (𝑆𝑑 log(𝑋)) dimana nilai Y adalah nilai logaritmik dari x. 𝑌̅ = rata-rata
∑ log(𝑋)
hitung nilai Y atau ̅̅̅̅̅̅̅̅̅
log(𝑋) = = 2.073. Sd merupakan deviasi standar,
𝑛
dengan menggunakan Persamaan 6 diperoleh nilai Sd adalah 0.108139 dan
nilai kemencengan (Cs) sebesar 0.06556. Distribusi frekuensi dari metode
Log Pearson Tipe III disajikan pada Lampiran 4 sedangkan distribusi sebaran
metode Loeg Pearson Tipe III disajikan pada Lampiran 5.

3. Metode Log Normal


Menghitung curah hujan menggunakan persamaan berikut:

𝑋𝑇 = 𝑋̅ + 𝐾𝑡 ∗ 𝑆

Sehingga diperoleh hasil perhitungan untuk metode Log Normal dengan


perode ulang T tahun yang disajikan Lampiran 6.

Dari analisis jenis sebaran ketiga metode tersebut, Tabel 13


menunjukkan hasil perhitungan curah hujan rencana semua metode.
Tabel 13 Rekapitulasi curah hujan rencana

No Periode metode gumbel I metode log person III metode log normal
1 2 122.130897 122.8097737 119.3791323
2 5 161.4477681 142.2163014 148.7137364
3 10 187.4751622 169.74058 169.8619393
4 25 220.3016622 245.6673351 198.5143433
5 50 244.771506 207.1685564 220.6858464
6 100 268.9915866 222.4485093 244.5628497
7 200 293.1318819 237.5117266 268.098753
8 1000 349.4326423 272.2021178 −

Dari ketiga metode diatas dipilih jenis distribusi yang paling sesuai.
Pemilihan jenis distribusi dilakukan dengan memilih parameter yang menjadi
syarat penggunaan suatu metode distribusi seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 14 berikut:
Tabel 14 Syarat penggunaan jenis sebaran

No jenis distribusi syarat hasil perhitungan keterangan


metode ck ≤ 5.4002 Ck=2.825205801 memenuhi
1
gumbel cs ≤ 1.139 Cs=1.133696033 memenuhi
ck = 0 Ck=2.825205801 tidak memenuhi
metode log
2 cs = 3Cv + Cv³
normal Cs=0.268829671 tidak memenuhi
0.82591717
ck =1.5cs(ln x)2+3 Ck=2.825205801
metode log tidak memenuhi
3 19.63250823
person III
cs ≠ 0 Cs=0.065687579 memenuhi
32

Dari keempat metode yang digunakan di atas yang paling mendekati


adalah sebaran Metode Gumbel Tipe I dengan nilai Cs = 1.1336 mendekati
persyaratan Cs ≤ 1,139 dan nilai Ck = 2.825 yang mendekati persyaratan Ck
≤ 5,4002. Dari jenis sebaran yang telah memenuhi syarat tersebut perlu diuji
kecocokan sebarannya dengan beberapa metode. Hasil uji kecocokan sebaran
tersebut untuk menunjukan distribusinya dapat diterima atau tidak.

Pengujian Keselarasan Sebaran


1. Uji Sebaran Dengan Chi Kuadrat
Untuk menguji keselarasan sebaran Metode Gumbel Tipe I, digunakan
uji sebaran Chi Kuadrat (Chi Square Test). Uji sebaran chi kuadrat dapat
menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝐾 = 1 + 3.22 log 𝑛 K = Jumlah kelas
= 1 + 3.22 log 12 n = Jumlah data (12)
= 4.585 ≈ 5

𝐷𝐾 = 𝐾 − (1 + 1) DK = Derajat kebebasan
𝐷𝐾 = 5 − (1 + 1)
𝐷𝐾 = 3
𝑛 12
𝐸𝑖 = = = 2.4
𝐾 5
(𝑋𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑋𝑚𝑖𝑛)
∆𝑋 =
(𝐾 − 1)
(196.3−92)
= = 26
(5−1)
𝑋𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑋 min − 0.5 ∆𝑋
= 92 − (0.5 × 26) = 86.8
Adapun syarat yang harus dipenuhi yaitu f2 hitungan kurang dari f2cr
(Soewarno 1995). Lampiran 7 menunjukkan hasil perhitungan uji keselarasan
sebaran dengan chi kuadrat. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh f2
sebesar 4.667 dengan menggunakan derajat signifikasi 5% dan f2cr
berdasarkan Tabel 7 sebesar 7.815 maka dapat dinyatakan bahwa hipotesa
yang diuji dapat diterima. Hal ini dikarenakan f2 hasil perhitungan masih lebih
kecil dari pada syarat yang ditentukan yakni 7.815.

2. Uji Sebaran Smirnov – Kolmogorov


Uji keselarasan Smirnov – Kolmogorov sering disebut juga sebagai uji
kecocokan non parametrik (non parametric test). Hasil perhitungan uji
keselarasan sebaran dengan Smirnov – Kolmogorov untuk Metode Gumbel
Tipe I dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
nilai D maks sebesar 0.168 untuk jumlah data curah hujan 12 tahun (m=12)
dan derajat signifikasi 5%. Pada Tabel 8 menyatakan bahwa nilai Do kritis
untuk jumlah data curah hujan 12 tahun (n=12) adalah 0.382. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa nilai D maks lebih kecil dari Do kritis
sehingga metode yang diuji dapat diterima.
33

Intensitas Curah Hujan

Intensitas hujan atau intensitas curah hujan rencana dapat dikatakan sebagai
ketinggian atau kederasan hujan per satuan waktu, biasanya dalam satuan (mm/jam).
Jika volume hujan adalah tetap, maka intensitas hujan akan semakin tinggi seiring
dengan durasi hujan yang semakin singkat, sebaliknya intensitas hujan akan
semakin rendah seiring dengan durasi hujan yang semakin lama (Kamiana 2010).
Perhitungan intensitas curah hujan ini menggunakan Metode Dr. Mononobe dengan
mengacu pada Persamaan 12 yang merupakan sebuah variasi dari persamaan-
persamaan curah hujan jangka pendek. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
nilai dari intensitas curah hujan periode ulang 25 tahun adalah 220.30 mm/hari.
Dalam perencanaan ini digunakan intensitas curah hujan dengan lama hujan 2 jam
sehingga nilai intensitasnya adalah 48.113 mm/jam. Lampiran 9 menyajikan
intensitas curah hujan dengan perode ulang T tahun dan lama hujan t jam.

Debit Banjir Rencana

Untuk menentukan penelusuran banjir terlebih dahulu harus diketahui debit


banjir rencana dan metode yang digunakan. Hal ini digunakan sebagai debit inflow
untuk menentukan jumlah debit yang akan dibuang pada saluran spillway.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa debit banjir rencana yang
digunakan adalah dengan menggunakan metode rasional dengan periode ulang 25
tahun dengan lama hujan 2 jam. Tabel 15 menunjukkan hasil perhitungan debit
banjir rencana dengan berbagai periode ulang.
Tabel 15 Perhitungan debit rencana

I C A Qt
Periode
mm/jam (km) (m3/det) l/det
2 26.67279144 0.15 0.3861000 0.429441811 429.44
5 35.25940408 0.15 0.3861000 0.567689452 567.69
10 40.94365983 0.15 0.3861000 0.659208072 659.21
25 48.11280712 0.15 0.3861000 0.774633996 774.63
50 53.45690148 0.15 0.3861000 0.860675893 860.68
100 58.74644882 0.15 0.3861000 0.945839562 945.84
200 64.0185714 0.15 0.3861000 1.030722686 1,030.72
1000 76.31438251 0.15 0.3861000 1.228689795 1,228.69

Analisis Kebutuhan Air

Analisis kebutuhan air ini digunakan untuk menghitung besarnya kebutuhan


air irigasi pada bendungan rencana. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
Persamaan 14 yakni:
𝐼𝑟 = 𝐸𝑡 + 𝑃 − 𝑅𝑒 + 𝑆
34

Evapotranspirasi (Et)
Evapotranspirasi (Et) diperoleh dari evapotranspirasi yang dibutuhkan
tanaman (Etc). Untuk menghitung Etc digunakan data evapotranpirasi (Eto) dan
koefisien tanaman (Kc) yang diambil dari Litbang PG. Cinta Manis yang
ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Daftar Eto dan Kc untuk awal taman bulan mei
Bulan
Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Dec Jan Feb Mar Aprl
Tanam : Mei
ETo 5.92 5.85 5.82 5.86 5.91 5.73 5.74 5.68 5.65 5.65 5.68 5.93
Kc 0.55 0.8 0.95 1 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 0.8 0.6
Sumber: Litbang PG. Cinta Manis

Evapotranspirasi tanaman (Etc) dihitung dengan mengalikan evapotranpirasi


(Eto) dengan koefisien tanaman (Kc). Namun demikian, awal tanam pada
bendungan rencana direncanakan pada bulan april sehingga nilai koefisien tanaman
pada tiap bulan berbeda. Hal ini dikarenakan kebutuhan air untuk tanaman berbeda
tergantung dari umur tanaman tersebut. Secara detail evapotranspirasi pada bulan
tanam april dapat dilihat pada Lampiran 17.

Perkolasi (P)
Perkolasi adalah meresapnya air ke dalam tanah dengan arah vertikal ke
bawah, dari lapisan tidak jenuh. Besarnya perkolasi dipengaruhi oleh sifat-sifat
tanah, kedalaman air tanah dan sistem perakarannya. Menurut Hadihardjaja (1997)
koefisien perkolasi dibagi menjadi dua, yakni berdasarkan kemiringan dan
berdasarkan tekstur.
Berdasarkan kemiringan, untuk lahan datar koefisien perkolasi sebesar 1
mm/hari sedangkan pada lahan miring dengan kemiringan lebih dari 5% koefisien
yang digunakan adalah 2-5 mm/hari. Berdasarkan tekstur, untuk tanah dengan
tekstur berat (lempung) koefisien perkolasi adalah 1-2 mm/hari, tanah dengan
tekstur sedang (lempung kepasiran) adalah 2-3 mm/hari dan untuk tanah dengan
tekstur ringan koefisien perkolasi adalah 3-6 mm/hari.
Dari pedoman di atas dan berdasarkan pengamatan yang ada, areal lokasi
penelitian berupa tanah lempung berpasir. Untuk itu koefisien yang digunakan
dalam perhitungan adalah 2 mm/hari.

Curah Hujan Efektif (Re)


Curah hujan dihitung dari data curah hujan rata-rata setengah bulanan yang
selanjutnya diurutkan dari data terkecil hingga terbesar. Metode yang digunakan
untuk menghitung curah hujan efektif adalah sebagai berikut:

𝑅𝑒 = 𝑋̅ − 0.842. 𝑆𝑑

Sd merupakan standar deviasi yang besarnya dihitung dengan rumus berikut:

∑(𝑋𝑖 − 𝑋̅)2
𝑆𝑑 = √
𝑛−1
35

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh curah hujan efektif untuk bulan Januari
sampai dengan bulan Desember berturut-turut adalah 1.229 mm/hari, 1.195
mm/hari, 1.441 mm/hari, 1.596 mm/hari, 1.106 mm/hari, 0.906 mm/hari, 0.811
mm/hari, 0.075 mm/hari, 0.403 mm/hari, 0.966 mm/hari, 1.153 mm/hari, dan 1.597
mm/hari. Perhitungan curah hujan efektif secara detil disajikan pada Lampiran 10.

Kebutuhan Air Untuk Pengolahan Lahan


Kebutuhan air untuk pengolahan lahan digunakan untuk menggarap lahan
yang ditanami dan untuk menciptakan kondisi lembab yang memadai untuk
persemaian yang baru tumbuh. Menurut Hadihardjaya (1997) kebutuhan air untuk
pengolahan tanah bagi tanaman tebu atau palawija sebesar 50 mm selama 15 hari.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa awal tanam adalah
bulan April dengan lama pengolahan lahan adalah 1 bulan dan luas lahan yang
dialiri seluas 49 ha. Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan air untuk pengolahan
lahan (Lampiran 11) diperoleh nilai kebutuhan air untuk bulan April sampai dengan
bulan Desember berturut-turut adalah 0.04 m3/dtk, 0.03 m3/dtk, 0.04 m3/dtk, 0.04
m3/dtk, 0.05 m3/dtk, 0.04 m3/dtk, 0.04 m3/dtk, 0.04 m3/dtk, 0.04 m3/dtk dan untuk
bulan Januari sampai dengan bulan Maret adalah 0.04 m3/dtk, 0.03 m3/dtk dan 0.02
m3/dtk.

Perhitungan Debit Andalan

Perhitungan debit andalan bertujuan untuk menentukan areal persawahan


yang dapat diairi. Debit andalan juga dapat diartikan suatu debit yang dapat
disediakan guna kepentingan tertentu sepanjang tahun dengan resiko kegagalan
yang telah diperhitungkan. Jadi diperbolehkan ditetapkan debit andalan sebesar
80% berarti akan dihadapi resiko adanya debit-debit yang kurang dari debit andalan
sebesar 20%. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr. F.
J. Mock. Metode ini digunakan untuk menghitung harga debit bulanan,
evapotranspirasi, kelembaban air tanah dan tampungan tanah. Metode ini dihitung
berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, evapotranspirasi dan
karakteristik hidrologi darah pengaliran. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
besarnya debit andalan pada Januari sampai dengan bulan Desember sebesar 0.04
m3/detik. Perhitungan debit andalan dengan menggunakan metode F. J. Mock ini
secara detil dapat dilihat pada Lampiran 12.

Neraca Air

Neraca air diperoleh dengan cara membandingkan antara ketersediaan air dan
kebutuhan air. Ketersediaan air diperoleh dari hasil perhitungan debit andalan
dengan menggunakan metode F. J. Mock sedangkan kebutuhan air diperoleh dari
hasil perhitungan kebutuhan air untuk irigasi. Hal ini dikarenakan dalam
perencanaan bendungan, air hanya digunakan untuk keperluan irigasi, tidak
memperhitungkan kebutuhan air untuk keperluan domestik. Ketersediaan dan
kebutuhan air dalam perencanaan bendungan pada perkebunan Cinta Manis ini
dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah ini:
36

Tabel 17 Perhitungan neraca air

Volume Volume Komulatif Selisih


Kebutuhan Air Komulatif
Debit Andalan Komulatif Komulatif
Bulan Irigasi (outflow-
Outflow Inflow inflow)
(outflow) (inflow)
(m3/dtk) m3 (m3/dtk) m3 (m3) (m3) (m3)
April 0.04 102,850 0.04 113,546 102,850 113,546 10696
Mei 0.03 82,760 0.04 96,714 185,609 210,260 24651
Juni 0.04 97,844 0.04 95,127 283,453 305,387 21934
Juli 0.04 103,008 0.04 95,233 386,461 400,620 14159
Agt 0.05 118,684 0.04 93,395 505,145 494,015 -11130
Sep 0.04 114,678 0.04 98,426 619,823 592,441 -27381
Okt 0.04 103,658 0.04 97,737 723,480 690,178 -33302
Nov 0.04 101,028 0.04 99,667 824,509 789,844 -34664
Des 0.04 93,539 0.04 100,798 918,047 890,643 -27405
Jan 0.04 98,530 0.04 106,251 1,016,577 996,894 -19683
Feb 0.03 78,331 0.04 101,294 1,094,909 1,098,188 3279
Mar 0.02 58,349 0.04 100,448 1,153,258 1,198,636 45378
Kekurangan air terbesar -34664

Volume Tampungan Bendungan

Volume tampungan bendungan digunakan untuk menentukan elevasi muka


air normal yang nantinya akan digunakan sebagai elevasi acuan dalam menentukan
debit yang keluar pada spillway. Volume total tampungan pada bendungan dihitung
dari jumlah antara volume untuk melayani kebutuhan (Vu), volume kehilangan air
pada bendungan akibat penguapan (Ve), volume resapan melalui dasar, dinding dan
tubuh bendung (Vi) dan volume atau ruang yang disediakan untuk sedimen (Vs).

Volume Untuk Melayani Kebutuhan (Vu)


Volume air untuk melayani kebutuhan diperoleh dari selisih kebutuhan air
untuk irigasi tebu selama satu tahun dengan debit andalan yang ada. Berdasarkan
Tabel 17 diatas diketahui bahwa kekurangan air terbesar adalah 34664 m3. Nilai ini
merupakan volume untuk melayani kebutuhan. Namun demikian karena
pengambilan air dari bendungan direncanakan menggunakan pompa dan pipa
pengambilan dari pompa terdapat selisih tinggi dari dasar bendungan sehingga
hanya 60% air yang dapat digunakan. Oleh karena itu nilai 34664 m3 merupakan
60% air yang dapat digunakan sehingga volume total untuk melayani kebutuhan
bendungan adalah 57773 m3.

Volume Kehilangan Air Pada Bendungan Akibat Penguapan (Ve)


Volume kehilangan air pada bendungan akibat penguapan dihitung pada
ketinggian muka air normal (2.4 m) dengan luas genangan 41396.45 m2.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 13 diperoleh volume kehilangan air
akibat penguapan (Ve) sebesar 17545.18 m3 dalam 1 tahun.
37

Volume Resapan Bendungan (Vi)


Volume kehilangan air akibat resapan melalui dasar, dinding dan tubuh
bendungan tergantung dari sifat lulus air material dasar bendungan dan dinding
kolam. Sedangkan ini tergantung pada jenis butiran tanah atau struktur batu
pembentuk dasar bendungan dan dinding kolam. Rifai (2008) menyatakan bahwa
volume resapan dapat dihitung dengan mengalikan volume untuk melayani
kebutuhan (Vu) dengan faktor yang nilainya tergantung dari sifat lulus air material
dasar bendungan dan dinding kolam (K). Nilai K=10% bila dasar bendungan dan
dinding kolam praktis rapat air sedangkan nilai K=25% bila dasar bendungan dan
dinding kolam bersifat semi lulus air. Bendungan direncanakan terbuat dari tanah
homogen sehingga nilai K diambil 25%. Hasil perkalian antara Vu dan K untuk
volume resapan embung (Vi) adalah 14443.42 m3.

Volume Untuk Ruang Sedimen (Vs)


Ruang untuk sedimen atau tampungan mati (dead storage) pada bendungan
kecil disediakan, walaupun daerah tadah hujan disarankan agar ditanami rumput
untuk mengendalikan erosi. Menurut Kasiro (1994) nilai batas pemanfaatan ruang
untuk sedimen ini adalah:

Vs = 0.05 Vu
Dimana:
Vs = ruang untuk sedimen (m3)
Vu = kebutuhan untuk melayani kebutuhan (m3)
Berdasarkan data bahwa nilai Vu adalah 57773 m3 sehingga volume atau ruang
yang disediakan untuk sedimen adalah 2888.68 m3 sehingga volume total
bendungan adalah 92650.96 m3 yang merupakan hasil penjumlahan dari Vu,Ve,Vi
dan Vs.

Hubungan Antara Luas, Volume dan Elevasi

Luas permukaan waduk yang dibatasi garis kontur dan volume yang dibatasi
oleh 2 garis kontur dicari dengan menggunakana Persamaan 32. Perhitungan
elevasi, volume dan luas bendungan rencana dapat dilihat pada Lampiran 14. Dari
perhitungan tersebut, kemudian dibuat grafik hubungan antara elevasi, luas
genangan dan volume genangan yang dapat dilihat pada Gambar 14.
100000 50000 0
3.5
3
2.5
Grafik elevasi dan
Elevasi

2 luas
1.5 Grafik elevasi dan
volume
1
0.5
0
0 10000 20000 30000 40000 50000

Gambar 14 Grafik hubungan antara elevasi, luas dan volume genangan


38

Penelusuran Banjir

Untuk menentukan elevasi puncak bendungan dari bahan timbunan tanah dan
mereduksi banjir sesaat yang terjadi, sehingga dapat memperkecil debit banjir yang
melewati bendungan maka sebelah hilir perlu diadakan Flood Routing. Salah satu
manfaat dari pembangunan bendung adalah untuk pengendalian banjir. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelusuran banjir untuk menentukan debit outflow untuk
mendesain spillway dan tampungan banjir dalam waduk.
Data-data yang diperlukan pada penelusuran banjir yaitu total volume
tampungan, hubungan volume tampungan dengan elevasi waduk (Gambar 14 ) dan
hubungan debit keluar dengan elvasi muka air di waduk. Berdasarkan analisis
volume total tampungan bendungan, volume yang direncanakan adalah sebesar
92650.96 m3. Untuk mencari hubungan debit keluar dan elevasi muka air waduk
digunakan pelimpah (spillway) ambang lebar dengan elevasi dan volume yang
dihitung dengan menggunakan Persamaan 31.
Dalam perhitungan debit spillway, diasumsikan lebar spillway adalah 2 m
dengan menggunakan koefisien limpasan (Cd) sebesar 2. Perhitungan debit
spillway dengan variasi tinggi muka air banjir yang melimpah diatas spillway
disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 18 Perhitungan debit spillway dengan berbagai nilai H
Asumsi
No H Cd B g Q Elevasi
(m) (m) (m/dtk2) (m3/dtk) (m)
1 0 2 2 9.81 0 2.4
2 0.01 2 2 9.81 0.011811858 2.41
3 0.02 2 2 9.81 0.033408981 2.42
4 0.03 2 2 9.81 0.061376217 2.43
5 0.04 2 2 9.81 0.094494868 2.44
6 0.05 2 2 9.81 0.132060592 2.45
7 0.06 2 2 9.81 0.173598157 2.46
8 0.07 2 2 9.81 0.21875868 2.47
9 0.08 2 2 9.81 0.267271847 2.48
10 0.09 2 2 9.81 0.318920178 2.49
11 0.1 2 2 9.81 0.373523761 2.5
12 0.11 2 2 9.81 0.430930528 2.51
13 0.12 2 2 9.81 0.491009735 2.52
14 0.13 2 2 9.81 0.553647397 2.53
15 0.14 2 2 9.81 0.618742984 2.54
16 0.15 2 2 9.81 0.686206966 2.55
17 0.16 2 2 9.81 0.755958941 2.56
18 0.17 2 2 9.81 0.82792618 2.57
19 0.18 2 2 9.81 0.902042482 2.58
20 0.19 2 2 9.81 0.978247249 2.59
21 0.2 2 2 9.81 1.056484737 2.6
39

Debit inflow adalah debit yang ke waduk dari DAS di hulu waduk yang
besarnya tergantung komponen DAS baik tata guna lahan, geologi permukaan dan
kemiringan lereng. Analisa debit inflow menggunakan debit banji rencana periode
ulang 25 tahun. Berdasarkan Tabel 15 nilai dari debit banjir rencana adalah 0.774
m3/dtk. Untuk debit outflow menggunakan debit spillway dengan berbagai nilai H.
Perhitungan flood routing dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Penelusuran banjir pada bendungan rencana
Asumsi
t Q inflow Q rerata Q rerata*t Qoutflow
No Jam Elevasi
(dtk) (m3/dtk) (m3/dtk) (m) (m) (m3/dtk)
1 1 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.4 0
2 2 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.41 0.011812
3 3 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.42 0.033409
4 4 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.43 0.061376
5 5 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.44 0.094495
6 6 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.45 0.132061
7 7 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.46 0.173598
8 8 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.47 0.218759
9 9 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.48 0.267272
10 10 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.49 0.31892
11 11 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.5 0.373524
12 12 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.51 0.430931
13 13 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.52 0.49101
14 14 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.53 0.553647
15 15 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.54 0.618743
16 16 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.55 0.686207
17 17 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.56 0.755959
18 18 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.57 0.827926
19 19 3600 0.774633 0.282313 1016.328154 2.58 0.902042
20 20 3600 0.774633 0 0 2.59 0.978247

Dimensi Bendungan

Kemiringan Lereng Urugan


Kemiringan lereng ditentukan sedemikian rupa agar stabil terhadap
longsoran. Karena tubuh bendungan direncanakan menggunakan urugan homogen
maka berdasarkan Soedibyo (1993) diperoleh kemiringan lereng (vertikal :
horisontal) sebelah hulu 1 : 3 dan sebelah hilir 1: 2,25 ( Tabel 11 ).

Tinggi Puncak Bendungan


Tinggi puncak bendungan merupakan hasil penjumlahan antara tinggi
bendungan dengan tinggi jagaan. Berdasarkan data yang diperoleh untuk volume
total tampungan sebesar 92650.96 m3 maka diperoleh elevasi muka air normal
adalah 2.4 m. Elevasi ini diperoleh berdasarkan hubungan antara elevasi, luas dan
volume genangan. Untuk muka air banjir diperoleh berdasarkan hasil perhitungan
40

flood routing dengan elevasi muka air banjir adalah 2.56 m. Untuk jelasnya
mengenai MAB dan elevasi puncak bendung dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Tinggi bendungan


Tinggi jagaan adalah jarak bebas antara mercu bendungan dengan permukaan
air maksimum rencana. Tinggi jagaan dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan 15 dan Persamaan 16. Berdasarkan lokasi rencana bendungan yang
termasuk kawasan rawa dan bukan kawasan daerah aliran sungai, maka tinggi
jagaan dalam perencanaan bendungan tidak dipengaruhi oleh tinggi ombak karena
banjir abnormal. Tinggi jagaan hanya dipengaruhi oleh faktor gempa, angin dan
angka tambahan tinggi jagaan yang didasarkan pada tipe bendungan.
1. Tinggi jagaan yang disebabkan oleh gempa (he)
Untuk menentukan tinggi jagaan yang disebabkan oleh gempa digunakan
data-data sebagai berikut:
Tabel 20 Koefisien gempa (DHV Consultant, 1991)

Zone Koefisien (Z) Keterangan


A 1.90-2.00
B 1.60-1.90 Palembang
C 1.20-1.60
D 0.80-1.20
E 0.40-0.80
F 0.20-0.40
Untuk pembagian zone pada masing-masing kota yang ada di Indoensia
dapat dilihat pada pembagian zona gempa berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) gempa pada Gambar 16.

Gambar 16 Pembagian zone gempa di Indonesia (SNI Gempa, 2002)


41

Tabel 21 Koefisien gempa (DHV Consultant, 1991)


Percepatan dasar gempa (Ac)
Periode Ulang (tahun)
(cm/dtk2)
10 98.42
20 119.62
50 151.72
100 181.21
200 215.81
500 271.35
1000 322.35
Tabel 22 Faktor koreksi (DHV Consultant, 1991)
Tipe Batuan Faktor (V)
Rock Foundation 0.9
Diluvium (Rock Fill Dam) 1.0
Aluvium 1.1
Soft Aluvium 1.2

Dari data pada tabel diatas, maka dapat ditentukan harga yang akan digunakan
yaitu:
1) Koefisien gempa (z) = 1.90
2) Percepatan dasar gempa (Ac) = 98.42 cm/dtk2
3) Faktor koreksi (V) = 1.1
4) Percepatan gravitasi (g) = 981 cm/dtk2
Perhitungan intensitas seismik horisontal dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
𝑉
𝑒 = 𝑧. 𝐴𝑐.
𝑔
1.1
𝑒 = 1.90𝑥98.42𝑥
981
𝑒 = 0.2097

Besarnya tinggi ombak yang diakibatkan oleh gempa (he) dihiutng


menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝑒. 𝜏
ℎ𝑒 = √𝑔. ℎ0
𝜋

Dimana:
e = intensitas seismis horizontal
𝜏 = siklus seismis (1 detik)
ℎ0 = kedalaman air di dalam waduk (m)
= elevasi MAB-elevasi dasar kolam
= 2.54-0
= 2.54 m
0.2097𝑥1
ℎ𝑒 = 3.14 √9.81𝑥2.56
= 0.335 m
42

Jadi tinggi puncak ombak diatas permukaan air rata-rata yang disebabkan

oleh gempa adalah 2𝑒 = 0.167 m.
2. Tinggi jangkauan ombak yang disebabkan oleh angin (hw)
Tinggi jangkauan ombak yang disebabkan oleh angin sangat dipengaruhi oleh
panjangnya lintasan ombak (F) dan kecepatan angin di atas permukaan air
bendungan. Panjang lintasan ombak yang dipakai adalah Feff sebesar 386 m.
Sedangkan kecepatan angin (maksimal) di atas permukaan air bendungan
diambil dari data di stasiun BMKG Palembang yaitu 32 m/dtk (Lampiran 24).
Perhitungan tinggi ombak (hw) ini menggunakan grafik Metode SMB yang
dikombinasikan dengan Metode Saville. Dengan kemiringan hulu 1:3 tinggi
jangkauan ombak (hw) yang didapat adalah 0,25 m.

Gambar 17 Grafik hubungan Metode SMB


3. Angka tambahan tinggi jagaan yang didasarkan pada tipe bendungan (hi).
Mengingat limpasan melalui mercu bendungan tipe urugan sangat riskan
maka untuk bendungan tipe ini angka tambahan tinggi jagaan (hi) ditentukan
sebesar ( hi = 0.5 m).

Maka tinggi jagaan dapat ditentukan dengan menjumlahkan tinggi puncak


ombak karena gempa (he) dan tinggi jangkauan ombak yang disebabkan oleh angin
(hw) serta angka tambahan yang didasarkan pada tipe bendungan (ha) dan
diperoleh nilai sebesar 0.9167 m. Tinggi puncak bendungan = tinggi bendungan +
tinggi jagaan = 2.56 m + 0.9167 m = 3.457 m ≈ 3.5 m.

Gambar 18 Tinggi jagaan bendungan rencana


43

Lebar Mercu Bendung


Lebar mercu bendung minimum dihitung berdasarkan persamaan sebagai
berikut:
B = 3.6 x H1/3-3.0
Dimana:
H = tinggi bendungan = 3.5 m
Maka :
B = 3.6 x (3.5)1/3 – 3
= 2.44 m

Karena fungsi bendungan direncanakan selain untuk suplai air irigasi tetapi juga
untuk dijadikan sebagai jalan maka lebar mercu bendung diambil 6 m. Selain itu
dengan lebar yang lebih besar akan memberikan rasa aman terhadap kestabilan
terhadap longsornya kedap air. Untuk lebih jelasnya mengenai lebar mercu bendung
dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Lebar mercu bendung rencana

Perhitungan Stabilitas Bendungan

Stabilitas Lereng Bendungan Terhadap Aliran Filtrasi


Stabilitas lereng bendungan terhadap rembesan ditinjau dengan cara sebagai
berikut:

1. Formasi garis depresi tubuh bendung kondisi tanpa menggunakan chimney


Diketahui:
h = 2.56 m
I1 = 7.08 m
I2 = 16.25 m
α = 24°
d = 0.333 x I1 + I2
= 0.333 x 7.02 + 16.31
= 18.374 m

Dari Persamaan 33 maka:

𝑌0 = √ℎ2 + 𝑑 2 − 𝑑 = √(2.54)2 + (18.416)2 − (18.416) = 0.1775 𝑚

Parabola bentuk dasar dapat diperoleh dengan Persamaan 34 maka:


44

𝑦 = √2𝑦0 . 𝑥 + 𝑦0 2 = √2. 0.1775𝑥 + 0.17752

Dan diperoleh koordinat parabola sebagai berikut:

x = -0.0887 0 1 2 4 6
y = 0 0.178 0.622 0.861 1.205 1.470

8 10 12 14 16 18
1.695 1.892 2.071 2.236 2.390 2.560
𝑑 𝑑 2 ℎ 2
Untuk α kurang dari 30°, harga a = √( ) − (sin α) maka dapat
cos α cos α
ditentukan nilai:
𝑦0 0.1775
𝑎 + ∆𝑎 = = = 2.0529
1 − cos 𝑎 0.086

𝑑 𝑑 2 ℎ 2
a = cos α √(cos α) − (sin α)

18.374 2 2
= √(18.374) − ( 2.56 )
cos 24 cos 24 sin 24

= 1.0102

Sehingga didapat nilai:


a = 1.0102 (jarak A – C)
∆𝑎 = 2.0529 – 1.0102 = 1.0427 (jarak C0 – C)

Dari hasil perhitungan didapat garis depresi aliran yang keluar melalui
lereng hilir tubuh bendung sehingga tidak aman terhadap bangunan untuk itu
perlu digunakan drainase kaki maupun drainase alas. Untuk lebih jelasnya garis
depresi pada bendungan homogen dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Formasi garis depresi tanpa menggunakan chimney


45

2. Formasi garis depresi tubuh bendung kondisi dengan menggunakan drainase


kaki
Diketahui:

h = 2.56 m
I1 = 7.08 m
I2 = 16.31-1=15.25 m
α = 135°
d = 0.333 x I1 + I2
= 0.333 x 7.08 + 15.25
= 17.374 m

Dari Persamaan 33 maka:

𝑌0 = √ℎ2 + 𝑑 2 − 𝑑 = √(2.56)2 + (17.374)2 − (17.374) = 0.188 𝑚

Parabola bentuk dasar dapat diperoleh dengan Persamaan 34 maka:

𝑦 = √2𝑦0 . 𝑥 + 𝑦0 2 = √2. 0.188𝑥 + 0.1882

Dan diperoleh koordinat parabola sebagai berikut:

x (m) = -0.0938 0 1 2 4 6
y (m) = 0 0.188 0.640 0.886 1.239 1.512

8 10 12 14 16 17
1.743 1.946 2.130 2.300 2.457 2.560

𝑎
Untuk α = 135°, berdasarkan grafik pada Gambar 7 didapat nilai C = 𝑎+Δa =
0.15 maka dapat ditentukan nilai:

𝑦0 0.184
𝑎 + ∆𝑎 = = = 0.109
1 + cos 𝑎 1 + cos 135
Δa
0.15 = → Δa = 0.15x0.109 = 0.04
0.109

a = 0.109 – 0.04

= 0.069 m
46

Gambar 21 Formasi garis depresi menggunakan drainase kaki


3. Jaringan Trayektori aliran filttrasi (seepage flow-net)
Jaringan trakyektori dihitung dengan terlebih dahulu membuat flow-net pada
bendungan. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus jaringan
trayektori aliran sebagai berikut:

𝑁𝑓
𝑄𝑓 = 𝑥𝑘𝑥𝐻𝑥𝐿
𝑁𝑑

Dari data yang didapat:


Nf = 3
Nd = 37
k = 1.10-6 m/s
H = 2.56 m
L = 110 m

Maka debit aliran filtrasi adalah sebagai berikut:

3
𝑄= . 1𝑥10−6 𝑥2.56𝑥110
37
𝑚3
= 22.83𝑥10−6 𝑑𝑡𝑘

= 0.02283𝑥60𝑥60𝑥24 𝑚3 /ℎ𝑎𝑟𝑖

𝑚3
= 1.97
ℎ𝑎𝑟𝑖

Gambar 22 Jaringan trayektori


47

4. Tinjauan terhadap gejala sufosi dan sembulan

Kecepatan aliran keluar ke atas permukaan lereng hilir yang komponen


vertikalnya dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran-butiran bahan
embung, kecepatannya dibatasi dengan dihitung menggunakan Persamaan 23
sehingga:

𝑊1 𝑥𝑔
𝐶=√
𝐹𝑥𝑦

2.68𝑥9.81
𝑐=√
0.35𝑥1

𝑚
= 8.67 𝑑𝑡𝑘

Syarat amannya suatu tubuh bendung terhadap bahaya rembesan yakni nilai
kecepatan kritis (C) lebih besar dari kecepatan rembesan yang terjadi. Untuk
menghitung kecepatan rembesan digunakan Persamaan 24 berikut:
𝐻
𝑉 = 𝑘.
𝐿
3.5
𝑉 = 1𝑥10−6 𝑥
0.83
𝑚
= 4.22𝑥10−6 𝑑𝑡𝑘

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa nilai aliran kritis (c) sebesar 8.67 m/dtk
dan kecepatan rembesan (V) sebesar 4.22x10-6 m/dtk. Berdasarkan nilai
tersebut dan syarat aman akan bahaya rembesan bahwa nilai C lebih besar dari
nilai V maka tubuh bendung ini aman terhadap bahaya rembesan.

Stabilitas Lereng Bendungan Terhadap Longsor


Stabilitas lereng bendungan ditinjau dalam dua keadaan, yakni pada saat
bendungan baru selesai dibangun (belum dialiri) dan pada saat muka air bendungan
mencapai elevasi penuh. Perhitungan ini menggunakan metode irisan bidang luncur
bundar. Metode ini dianggap lebih cocok dikarenakan dalam analisa terdapat aliran
air yang ditinjau (Susilo 2009). Dalam perhitungan stabilitas longsor ini
diasumsikan material tanah yang digunakan merupakan tanah homogen. Jenis tanah
yang digunakan untuk penimbunan berupa tanah lempung liat berpasir. Data tanah
diperoleh dari data sekunder dari hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh PT.
Selimut Bumi Adhi Cipta (Lampiran 15) dan data sekunder dari hasil perhitungan.
Perhitungan untuk menentukan nilai dari berat butir tanah jenuh (𝛾sat) dengan
menggunakan Persamaan 38 dan Persamaan 39. Data teknis material urugan dapat
dilihat pada Tabel 23.
48

Tabel 23 Kondisi perencanaan teknis material urugan

𝛾 Timbunan dalam
Zone Kekuatan Geser Intensitas
beberapa kondisi
Tubuh beban seismis
C
Embung 𝜙 𝛾basah 𝛾jenuh horizontal (e)
(ton/m2)
Zone
1.95 18.25 1.7 1.774 0.1
kedap air

Pada saat bendungan baru dibangun dan belum dialiri air, tanah timbunan
masih mengandung air. Dalam hal ini stabilitas lereng yang ditinjau adalah lereng
sebelah hulu dan hilir. Gambar hasil bidang longsor lereng hulu dan hilir pada saat
embung dalam keadaan kosong disajikan pada Lampiran 16 dan Lampiran 18.
Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan kestabilan bendungan baru dibangun dapat
dilihat pada Lampiran 17 dan Lampiran 19.
Pada saat air embung mencapai elevasi penuh atau pada saat elevasi muka air
banjir juga dilakukan analisis lereng sebelah hulu dan hilir. Gambar hasil bidang
longsor lereng hulu dan hilir pada saat embung terisi air dapat dilihat pada Lampiran
20 dan Lampiran 22. Untuk hasil perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 21
dan Lampiran 23.
Perhitungan analisis lereng ini diasumsikan bahwa tekanan air pori sama
dengan 0. Hal ini dikarenakan nilai dari koefisien filtrasi adalah 1.10-6 m/s atau lebih
kecil dari 1.10-5 m/s. Berdasarkan Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk
Daerah Semi Kering di Indonesia (1994) untuk koefisien filtrasi kurang dari
1.10-5 merupakan klasifikasi tanah kedap air sehingga urugan tanah tidak
mengalami tekanan hidrostatis.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh angka aman (Fs) untuk lereng hulu
pada saat bendungan baru dibangun saat kondisi normal adalah 3.766 dan pada saat
kondisi gempa adalah 2.65. Untuk angka aman (Fs) lereng hulu pada saat muka air
banjir saat kondisi normal adalah 3.689 dan pada saat kondisi gempa adalah 2.605.
Syarat suatu embung aman pada kondisi normal Fs ≥ 1.5 dan pada saat gempa Fs ≥
2.65 sehingga lereng bendungan aman terhadap bahaya longsor. Hal ini juga
berlaku untuk lereng hilir bendungan baik pada saat baru dibangun dan pada saat
muka air banjir. Hal ini dikarenakan angka aman (Fs) pada saat kondisi normal dan
kondisi gempa pada saat baru dibangun yakni 3.188 dan 2.338 dan pada elevasi
muka air banjir adalah 3.721 dan 2.668 dimana angka aman ini masih lebih besar
dari syarat yang ditetapkan.
49

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bendungan yang akan dibangun di Rayon II Unit Usaha Cinta Manis, PT.
Perkebunan Nusantara VII memiliki luas 110 m x 386 m. Elevasi pada embung
merupakan elevasi buatan dengan perencanaan kedalaman 3 m dan kemiringan
dinding embung 45°. Berdasarkan hasil analisis hidrologi diketahui bahwa total
volume tampungan sebesar 92318.21 m3. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh
dimensi rencana tubuh bendung untuk tinggi bendung adalah 3.5 m dengan lebar
mercu bendung adalah 6 m dan lebar bawah tubuh bendung adah 23.34 m.
Hasil analisis stabilitas bendungan terhadap aliran filtrasi menunjukkan
bahwa terdapat garis depresi aliran yang keluar melalui lereng hilir bendungan
sehingga tidak aman. Namun demikian setelah dilakukan perhitungan ulang dengan
menggunakan drainase kaki diketahui bahwa garis depresi aliran tidak menembus
dinding lereng tubuh bendungan sehingga bendungan aman terhadap bahawa
rembesan (piping) atau sembulan.
Berdasarkan hasil analisis lereng diketahui bahwa bendungan ini aman dari
bahaya longsor, baik pada saat baru dibangun atau pada saat air mencapai elevasi
banjir. Hal ini dikarenakan hasil perhitungan menunjukkan bahwa angka aman (Fs)
untuk longsor masih lebih besar dari syarat yang ditetapkan, baik itu dalam keadaan
normal ataupun dalam keadaan gempa.

Saran

Dalam penelitian ini hanya digunakan curah hujan yang berasal dari 1 stasiun.
Hal ini lebih baik digunakan setidaknya 3 curah hujan dari stasiun yang berbeda
agar hasil perhitungan curah hujan rencana lebih valid. Dalam perhitungan tinggi
jagaan, penelitian ini tidak memperhitungkan tinggi ombak karena banjir abnormal.
Hal ini dikarenakan lokasi embung yang bukan areal daerah aliran sungai sehingga
hal tersebut dapat diabaikan. Namun demikian faktor-faktor tersebut juga dihitung
agar data yang diperoleh lebih valid.
Tubuh bendungan yang tidak menggunakan chimney memperlihatkan garis
depresi melewati tubuh bendungan. Hal ini berarti air yang masuk melewati tubuh
bendung akan menembus tubuh bendung sehingga tidak aman dan rentan dari
bahaya longsor. Untuk itu lebih baik digunakan drainase kaki atau drainase alas
untuk meminimalkan resiko longsornya tubuh bendungan. Elevasi pada drainase
kaki diusahakan lebih tinggi dari pada genangan yang ada pada hilir bendungan.
50

DAFTAR PUSTAKA

Amril, Ma’ruf. 2011. Maksimalisasi Desain Embung sebagai Simber Air Irigasi
untuk Memenuhi Kebutuhan Air Tanaman Tebu. Jurnal RekayasaVol 15.
Craig, R. F. 1994. Mekanika Tanah. Jakarta (ID): Erlangga
[Departemen PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Pedoman Kriteria Desain
Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia. Jakarta (ID): Puslitbang
Pengairan, Balitbang PU
[Ditjen Pengairan DPU]. 1985. Pedoman Kebutuhan Air Untuk Tanaman Padi dan
Tanaman Lainnya. Jakarta (ID): Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum
Donny. Iriawan. 2011. Perencaaan Embung Robatal Kecamatan Robatal Kabupaten
Sampang [skripsi]. Jawa Timur (ID): Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”
Hardiyatmo, H. C. 1992. Mekanika Tanah 1. Jakarta (ID): Gramedia Pusaka Utama
Indriyono, Sukarwi. 2007. Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang,
Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
[skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Kamiana, I Made. 2010. Teknik Perhitungan Debit Banjir Rencana Bangunan Air.
Yogyakarta (ID): Graha Ilmu
Kodoatie, Robert dan Sugiyanto. 2000. Banjir. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi
Offset
Loebis Joesron. 1984. Banjir Rencana Untuk Bangunan Air. Departemen Pekerjaan
Umum. Jakarta (ID): Badan Penerbit Pekerjaan Umum
Nisa, Annete. 2008. Perencanaan Detail Embung Undip Sebagai Pengendali Banjir
Pada Banjir Kanal Timur. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro
Rifai, Muji dan Dian Kurniawan. 2008. Laporan Tugas Akhir Perencanaan Embung
Pusporengggo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah [skripsi]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
RSNI T-01-2002 mengenai Tata Cara Desain Tubuh Bendungan Tipe Urugan
Susilo, Budi. 2009. Perencanaan Embung Panggul Kabupaten Trenggalek [skripsi].
Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November.
Soedibyo. Ir. 1993. Teknik Bendungan. Jakarta (ID): Penerbit Pradnya Paramita
Soemarto. C.D.. 1999. Hidrologi Teknik. Jakarta (ID): Erlangga
Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data. Bandung
(ID): Nova
Sosrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1984. Bendungan Tipe Urugan.
Jakarta (ID): Pradnya Paramita
Terzaghi. K dan Peck R. B. 1948. Soil Mechanic in Engineering Practice. New
York (USA): Willey
51

Lampiran 1 Data curah hujan harian maksimum stasiun cinta manis


RH
Bulan dalam setahun Jum
Tahun Maks
Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2002 126 30 63 133 72 74 75 0 27 22 60 72 753 133
2003 35 42 133 68 19 15 12 24 56 60 70 65 600 133
2004 55 55 43.5 88.5 102.5 55 130 0 48 34 40 47 698.5 130
2005 76.5 33.5 65.3 80 141.5 80.2 54.2 42.8 123.2 54.9 133.2 43 928.5 141.5
2006 118 51.2 66.5 185 33.9 63.5 57 10 3.1 36 39.2 71 734.4 185
2007 75 55 45 103 22.5 12 25.7 13.1 95.5 81.2 35.3 39.4 602.7 103
2008 46.5 110.8 73.8 43.1 32 18.6 25.2 80 0 55.5 196.3 45.4 727.2 196.3
2009 55.2 52 92 90 55 76.5 60 8 16 25 45 70 644.7 92
2010 27.5 40 95 28 68 103 32 54 33 30 89.6 57.3 657.4 103
2011 90 60 56 76 76 38.5 43 4 9.1 49 97 58 656.6 97
2012 36 109 10.5 43 103 31 26 7.5 45 25.5 60 62 558.5 109
2013 35 55 69 65 44 53 38.5 38 99.8 62.5 37.5 60 657.3 99.8
Sumber: BMG Stasiun Cintamanis, Palembang
2
52
Lampiran 2 Parameter statistik untuk pengukuran dispersi

NO Tahun Rh(Xi) Rh Rata2 (X) (Xi-X) (Xi-X)^2 (Xi-X)^3 (Xi-X)^4

1 2002 133 127 6 37 229 1400

2 2003 133 127 6 37 229 1400

3 2004 130 127 3 10 30 94

4 2005 141.5 127 15 214 3123 45645

5 2006 185 127 58 3378 196292 11407823

6 2007 103 127 -24 570 -13623 325372

7 2008 196.3 127 69 4819 334496 23219615

8 2009 92 127 -35 1217 -42448 1480716

9 2010 103 127 -24 570 -13623 325372

10 2011 97 127 -30 893 -26686 797473

11 2012 109 127 -18 320 -5719 102281

12 2013 99.8 127 -27 734 -19866 538032

Jumlah 1522.6 1E-13 12798 412433 38245224


533
Lampiran 3 Distribusi sebaran Metode Gumbel Tipe I

No Periode X Sd Sn Yn Yt Xt

1 2 127 34.11 0.9833 0.5035 0.3665 122.130897

2 5 127 34.11 0.9833 0.5035 1.4999 161.447768

3 10 127 34.11 0.9833 0.5035 2.2502 187.475162

4 25 127 34.11 0.9833 0.5035 3.1965 220.301662

5 50 127 34.11 0.9833 0.5035 3.9019 244.771506

6 100 127 34.11 0.9833 0.5035 4.6001 268.991587

7 200 127 34.11 0.9833 0.5035 5.296 293.131882

8 1000 127 34.11 0.9833 0.5035 6.919 349.432642


4
54
Lampiran 4 Distribusi frekuensi Metode Log Pearson Tipe III

(log X-log
Tahun X log X log X log X-log X (log X-log X)^3
X)^2

133 2.124 2.090 0.033 0.001 3.730E-05


2002
133 2.124 2.090 0.033 0.001 3.730E-05
2003
2004 130 2.114 2.090 0.024 0.001 1.298E-05

2005 141.5 2.151 2.090 0.060 0.004 2.194E-04

2006 185 2.267 2.090 0.177 0.031 5.520E-03

2007 103 2.013 2.090 -0.078 0.006 -4.673E-04

2008 196.3 2.293 2.090 0.202 0.041 8.301E-03

2009 92 1.964 2.090 -0.127 0.016 -2.032E-03

2010 103 2.013 2.090 -0.078 0.006 -4.673E-04

2011 97 1.987 2.090 -0.104 0.011 -1.114E-03

2012 109 2.037 2.090 -0.053 0.003 -1.490E-04

2013 99.8 1.999 2.090 -0.091 0.008 -7.613E-04

Jumlah 25.085 -1E-15 0.129 0.009


55
5
Lampiran 5 Distribusi sebaran Metode Log Pearson Tipe III

y=log X + Sd log
No Periode log x Sd log(x) Cs k x = 10^y
X

1 2 2.090 0.108 0.066 -0.011 2.089 122.8098

2 5 2.090 0.108 0.066 0.578 2.153 142.2163

3 10 2.090 0.108 0.066 1.289 2.230 169.74058

4 25 2.090 0.108 0.066 2.773 2.390 245.66734

5 50 2.090 0.108 0.066 2.089 2.316 207.16856

6 100 2.090 0.108 0.066 2.375 2.347 222.44851

7 200 2.090 0.108 0.066 2.638 2.376 237.51173

8 1000 2.090 0.108 0.066 3.185 2.435 272.20212


656
Lampiran 6 Distribusi sebaran Metode Log Normal

No Periode xrt sd kt xt

1 2 126.8833333 34.11000475 -0.22 119.3791323

2 5 126.8833333 34.11000475 0.64 148.7137364

3 10 126.8833333 34.11000475 1.26 169.8619393

4 25 126.8833333 34.11000475 2.1 198.5143433

5 50 126.8833333 34.11000475 2.75 220.6858464

6 100 126.8833333 34.11000475 3.45 244.5628497

7 200 126.8833333 34.11000475 4.14 268.098753

8 1000 126.8833333 − − −
57
7
Lampiran 7 Uji keselarasan sebaran dengan chi kuadrat

Jumlah Data
No Probabilitas (%) Oi-Ei f2=((Oi-Ei)^2)/Ei
Oi Ei

1 56<x<76 1 2.4 -1.4 0.816666667

2 76<x<96 1 2.4 -1.4 0.816666667

3 96<x<116 5 2.4 2.6 2.816666667

4 116<x<136 3 2.4 0.6 0.15

5 x>136 2 2.4 -0.4 0.066666667

12 12 4.666666667
8
58
Lampiran 8 Uji keselarasan sebaran Smirnov – Kolmogorov

Xi M P(x)=M/(n+1) P(x<) f(t)=(xi-xrt)/sd P'(x)=M/(n-1) P'(x<) D

1 2 3 4 = nilai (1) -3 5 6 7 = nilai (1)-6 8=4-7

69 1 0.077 0.923 -1.583 0.091 0.909 0.014

92 2 0.154 0.846 -0.896 0.182 0.818 0.028

97 3 0.231 0.769 -0.747 0.273 0.727 0.042

103 4 0.308 0.692 -0.567 0.364 0.636 0.056

103 5 0.385 0.615 -0.567 0.455 0.545 0.070

105 6 0.462 0.538 -0.508 0.545 0.455 0.084

109 7 0.538 0.462 -0.388 0.636 0.364 0.098

117 8 0.615 0.385 -0.149 0.727 0.273 0.112

126 9 0.692 0.308 0.119 0.818 0.182 0.126

133.5 10 0.769 0.231 0.343 0.909 0.091 0.140

181 11 0.846 0.154 1.762 1.000 0.000 0.154

196.3 12 0.923 0.077 2.219 1.091 -0.091 0.168


51
59

Lampiran 9 Perhitungan intensitas curah hujan

R24
t
R2 R5 R10 R25 R50 R100 R200 R1000
(jam)
122.13 161.45 187.48 220.30 244.77 268.99 293.13 349.43

1 42.3404 55.971 64.994 76.374 84.858 93.254 101.623 121.142

2 26.6728 35.259 40.944 48.113 53.457 58.746 64.019 76.314

3 20.3551 26.908 31.246 36.717 40.795 44.832 48.855 58.239

4 16.8028 22.212 25.793 30.309 33.676 37.008 40.329 48.075

5 14.4802 19.142 22.228 26.120 29.021 31.892 34.755 41.430

6 12.8229 16.951 19.684 23.130 25.699 28.242 30.777 36.688

7 11.5706 15.295 17.761 20.871 23.190 25.484 27.771 33.105

8 10.5851 13.993 16.249 19.094 21.214 23.314 25.406 30.285

9 9.7857 12.936 15.021 17.652 19.612 21.553 23.487 27.998

10 9.1220 12.059 14.003 16.454 18.282 20.091 21.894 26.099

11 8.5604 11.316 13.140 15.441 17.156 18.854 20.546 24.492

12 8.0779 10.678 12.400 14.571 16.190 17.792 19.388 23.112

13 7.6582 10.124 11.756 13.814 15.348 16.867 18.381 21.911

14 7.2890 9.636 11.189 13.148 14.608 16.054 17.495 20.855

15 6.9614 9.202 10.686 12.557 13.952 15.332 16.708 19.917

16 6.6682 8.815 10.236 12.028 13.364 14.687 16.005 19.079

17 6.4041 8.466 9.830 11.552 12.835 14.105 15.371 18.323

18 6.1646 8.149 9.463 11.120 12.355 13.578 14.796 17.638

19 5.9464 7.861 9.128 10.726 11.918 13.097 14.272 17.013

20 5.7465 7.596 8.821 10.366 11.517 12.657 13.792 16.441

21 5.5626 7.353 8.539 10.034 11.148 12.251 13.351 15.915

22 5.3927 7.129 8.278 9.727 10.808 11.877 12.943 15.429

23 5.2352 6.921 8.036 9.443 10.492 11.531 12.565 14.979

24 5.0888 6.727 7.811 9.179 10.199 11.208 12.214 14.560


51
60

Lampiran 10 Perhitungan curah hujan efektif

Tahun Rata-rata Hujan Bulanan (mm)


Bulan Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
2002 126 30 63 126 72 74 75 0 27 22 60 72
2003 35 42 117 68 19 15 12 24 56 60 70 65
2004 55 55 43.5 88.5 102.5 55 105 0 48 34 40 47
2005 76.5 33.5 65.3 80 133.5 80.2 54.2 42.8 123.2 54.9 133.2 43
2006 118 51.2 66.5 181 33.9 63.5 57 10 3.1 36 39.2 71
2007 75 55 45 103 22.5 12 25.7 13.1 95.5 81.2 35.3 39.4
2008 46.5 110.8 73.8 43.1 32 18.6 25.2 80 0 55.5 196.3 45.4
2009 55.2 52 92 90 55 76.5 60 8 16 25 45 70
2010 27.5 40 95 28 68 103 32 54 33 30 89.6 57.3
2011 90 60 56 76 76 38.5 43 4 9.1 49 97 58
2012 36 109 10.5 43 103 31 26 7.5 45 25.5 60 62
2013 35 55 69 65 44 53 38.5 38 99.8 62.5 37.5 60
Jumlah 775.7 693.5 796.6 991.6 761.4 620.3 553.6 281.4 555.7 535.6 903.1 690.1
Maks 126 110.8 117 181 133.5 103 105 80 123.2 81.2 196.3 72
Rerata (x) 65 58 66 83 63 52 46 23 46 45 75 58
(xi-X) 11971 7466 8323 18755 14212 9329 7368 6977 18156 3801 25661 1426
SD 33 26 28 41 36 29 26 25 41 19 48 11
Re Bln 36.86 35.86 43.22 47.87 33.18 27.17 24.34 2.24 12.10 28.98 34.59 47.92
Re Hr 1.229 1.195 1.441 1.596 1.106 0.906 0.811 0.075 0.403 0.966 1.153 1.597
2
61

Lampiran 11 Perhitungan kebutuhan air untuk irigasi

Bulan Satuan April Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar

eto (mm) 5.93 5.92 5.85 5.82 5.86 5.91 5.73 5.74 5.68 5.65 5.65 5.68

kc 0.55 0.8 0.95 1 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 0.8 0.6

etc mm/hr 3.26 4.74 5.56 5.82 6.15 6.20 6.02 6.03 5.96 5.93 4.52 3.41

ir mm/hr 7.00 5.63 6.66 7.01 8.07 7.80 7.05 6.87 6.36 6.70 5.33 3.97

Luas m2 490000
kebutuhan
mm/bulan 100
pengolahan
lahan
mm/hr 3.33 3.23 3.33 3.23 3.23 3.33 3.23 3.33 3.23 3.23 3.57 3.23

kebutuhan air m3/hr 3,428 2,758 3,261 3,433 3,956 3,822 3,455 3,367 3,117 3,284 2,611 1,944
irigasi
(m3/dtk)
0.04 0.03 0.04 0.04 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.02
Jumlah Hari 30 31 30 31 31 30 31 30 31 31 28 31
62
3

Lampiran 12 Perhitungan debit andalan menggunakan Metode F. J. Mock

No Urutan Satuan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1 CH mm 399.9 254 229.1 614.6 119.2 72.5 75.6 21.5 169.6 149.3 206.1 239.4
2 HH n 16 11 15 19 13 11 7 3 5 15 16 13
3 jum. Hari 31 28 31 30 31 30 31 31 30 31 30 31
4 suhu °C 26.4 26.4 26.9 27.1 27 26.9 26.4 26.8 27.3 27.6 27 26.4
5 lama penyinaran % 29 37 37 50 47 45 44 58 48 46 36 36
6 kelembaban relatif % 87 86 86 87 86 87 87 83 81 82 87 89
evaporasi mm/hari 4.26 4.66 4.53 4.8 3.07 4.52 4.67 5.35 5.65 5.31 4.89 4.76
8 S=Rs - E aktual mm 395.64 249.34 224.57 609.8 116.13 67.98 70.93 16.15 163.95 143.99 201.21 234.64
9 Run off storm mm 39.99 25.4 22.91 61.46 11.92 7.25 7.56 2.15 16.96 14.93 20.61 23.94
10 Storage (IS) mm 355.65 223.94 201.66 548.34 104.21 60.73 63.37 14 146.99 129.06 180.6 210.7
11 Soil Moinsture (mmHg) 455.65 323.94 301.66 648.34 204.21 160.73 163.37 114 246.99 229.06 280.6 310.7
12 Water Surplus mm 39.99 25.4 22.91 61.46 11.92 7.25 7.56 2.15 16.96 14.93 20.61 23.94
13 infiltrasi (I), i = 0.2 mm 7.998 5.08 4.582 12.292 2.384 1.45 1.512 0.43 3.392 2.986 4.122 4.788
14 0.5*I*(1+k), k = 0.2 mm 4.7988 3.048 2.7492 7.3752 1.4304 0.87 0.9072 0.258 2.0352 1.7916 2.4732 2.8728
15 k*V(n-1) mm 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
16 Storage Vol (Vn) mm 64.7988 63.048 62.7492 67.3752 61.4304 60.87 60.9072 60.258 62.0352 61.7916 62.4732 62.8728
17 ∆Vn mm -235.20 -236.95 -237.25 -232.62 -238.57 -239.13 -239.09 -239.74 -237.96 -238.21 -237.53 -237.13
18 base Flow mm 243.199 242.032 241.83 244.92 240.95 240.58 240.60 240.17 241.36 241.19 241.65 241.92
19 direct Run Off mm 31.992 20.32 18.328 49.168 9.536 5.8 6.048 1.72 13.568 11.944 16.488 19.152
20 run off mm 275.19 262.352 260.16 294.08 250.49 246.38 246.65 241.89 254.92 253.14 258.14 261.07
21 Debit (10³) m³/bln 106251 101294 100448 113546 96714 95127.3 95232.6 93394.5 98426.5 97736.7 99666.6 100798
22 debit m³/dtk 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
63
4

Lampiran 13 Perhitungan kehilangan air akibat penguapan

Bulan
Variabel Unit
Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Evaporasi (Ea) mm/hari 2.7 3.5 3.2 3.4 3.3 3 2.7 3.4 2.9 2.7 3.2 2.2

Evaporasi (Ea) m/hari 0.0027 0.0035 0.0032 0.0034 0.0033 0.003 0.0027 0.0034 0.0029 0.0027 0.0032 0.0022

Penyinaran
% 25 37 37 42 41 49 34 45 45 47 33 22
matahari (S)
Jumlah hari dalam
31 28 31 30 31 30 31 31 30 31 30 31
satu bulan
Luas
(m2)
Elevasi Puncak
40611 850 1473 1,491 1740 1703 1791 1156 1926 1590 1598 1287 609
(2.54 m)

Jumlah Kehilangan Air Akibat Penguapan


17545.18
5
64

Lampiran 14 Perhitungan luas dan volume genangan embung rencana

Elevasi Z Luas Genangan Volume Volume Komulatif


No
(m) (m) (m2) (m3) (m3)

1 0 0 0 0 0

2 39153.07944 1305.1026 1305.102648


0.1 0.1

3 39637.16984 19697.438 21002.54104


0.6 0.5

4 40220.71832 23957.153 44959.69428


1.2 0.6

5 1.8 0.6 40807.1468 24308.147 69267.84161

6 2.4 0.6 41396.45528 24660.869 93928.711

7 41988.64376 25015.319 118944.0304


3 0.6
6
65

Lampiran 15 Data tanah hasil uji laboratorium PT. Selimut Bumi Adhi Cipta

Jenis Pengujian Titik Bor


Satuan
Parameter B-30

Kedalaman 0-2.0 m 2.0-4.0 m 4.0-6.0 m 6.0-7.5 m 7.5-20 m

Lempung
Jenis Tanah lempung lempung batu lempung batu lempung
berpasir

Kadar Air % 46.08 36.16 37.32 38.42 33.44

Gs 2.682 2.633 2.605 2.611 2.643

Berat volume kering (d) Ton/m3 1.237 1.271 1.346 1.211 1.233

Berat volume basah (b) Ton/m3 1.7 1.686 1.783 1.737 1.645

Kohesi (c) Ton/m3 1.95 2.6 2 1.9 1.83

Sudut geser dalam (𝜙) 18.25 10 16 26 30

Angka potion (𝓋) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.208


7
66

Lampiran 16 Stabilitas lereng embung pada kondisi baru selesai dibangun dengan metode pias hulu
8
67

Lampiran 17 Perhitungan Metode Irisan Bidang Luncur Bundar pada kondisi baru selesai dibangun bagian hulu

A Gama W (ton) b L T N Ne Te U
Irisan α sin a cos a e C Cl
(m2) (ton/m3) (gama.A) (m) (b.cos a) (w.sin a) (W.cos a) (e.T) (e.N) (u.b/cos a)
1 1.288 1.7 2.1896 53 0.799 0.602 1.22 0.734 1.749 1.317 0.1 0.175 0.132 0 1.95 1.431
2 2.84 1.7 4.828 36 0.588 0.809 1.22 0.987 2.839 3.905 0.1 0.284 0.391 0 1.95 1.924
3 3.26 1.7 5.542 22 0.375 0.927 1.22 1.131 2.077 5.138 0.1 0.208 0.514 0 1.95 2.206
4 3.19 1.7 5.423 10 0.174 0.985 1.22 1.201 0.942 5.341 0.1 0.094 0.534 0 1.95 2.343
5 2.74 1.7 4.658 -2 -0.035 0.999 1.22 1.219 -0.163 4.655 0.1 -0.016 0.466 0 1.95 2.378
6 1.94 1.7 3.298 -14 -0.242 0.970 1.22 1.184 -0.798 3.200 0.1 -0.080 0.320 0 1.95 2.308
7 0.75 1.7 1.275 -27 -0.454 0.891 1.22 1.087 -0.579 1.136 0.1 -0.058 0.114 0 1.95 2.119
jumlah 6.067 24.692 0.607 2.469 0 14.7091

 Kondisi normal

{14.709 + (24.692 − 0)0.32}


𝐹𝑠 =
6.067
= 3.766

 Kondisi gempa

{14.709 + (24.692 − 0 − 0.607)0.32}


𝐹𝑠 =
6.067 + 2.469
= 2.653
689

Lampiran 18 Stabilitas lereng embung pada kondisi baru selesai dibangun dengan metode pias hilir
10
69

Lampiran 19 Perhitungan Metode Irisan Bidang Luncur Bundar pada kondisi baru selesai dibangun bagian hilir

A Gama W (ton) b L T N Ne Te U
Irisan alfa sin a cos a e C Cl
(m2) (ton/m3) (gama.A) (m) (b.cos a) (w.sin a) (W.cos a) (e.T) (e.N) (u.b/cos a)
1 1.19 1.7 2.023 55 0.819 0.573 1.1 0.631 1.658 1.160 0.1 0.166 0.116 0 1.95 1.230
2 2.67 1.7 4.539 38 0.616 0.788 1.1 0.867 2.795 3.576 0.1 0.280 0.358 0 1.95 1.690
3 3.12 1.7 5.304 24 0.407 0.913 1.1 1.005 2.158 4.845 0.1 0.216 0.485 0 1.95 1.959
4 2.96 1.7 5.032 12 0.208 0.978 1.1 1.076 1.047 4.922 0.1 0.105 0.492 0 1.95 2.098
5 2.48 1.7 4.216 -1 -0.017 1.000 1.1 1.100 -0.074 4.215 0.1 -0.007 0.422 0 1.95 2.145
6 1.72 1.7 2.924 -13 -0.225 0.974 1.1 1.072 -0.658 2.849 0.1 -0.066 0.285 0 1.95 2.090
7 0.65 1.7 1.105 -25 -0.423 0.906 1.1 0.997 -0.467 1.001 0.1 -0.047 0.100 0 1.95 1.944
jumlah 6.459 22.57 0.646 2.257 0 13.156

 Kondisi normal

{13.156 + (22.57 − 0)0.32}


𝐹𝑠 =
6.459
= 3.188

 Kondisi gempa

{13.156 + (22.57 − 0 − 0.646)0.32}


𝐹𝑠 =
6.459 + 2.257
= 2.338
11
70

Lampiran 20 Stabilitas lereng embung pada kondisi air elevasi muka air banjir dengan metode pias hulu
12
71

Lampiran 21 Perhitungan Metode Irisan Bidang Luncur Bundar pada air elevasi muka air banjir bagian hulu

A Gama W (ton) b L T N Ne Te U
Irisan alfa sin a cos a e C Cl
(m2) (ton/m3) (gama.A) (m) (b.cos a) (w.sin a) (W.cos a) (e.T) (e.N) (u.b/cos a)
1.22 1.7 2.074 1.95
1 53 0.798 0.601 1.22 0.733 1.750 1.317 0.1 0.175 0.131798 0 1.43101
0.066 1.774 0.117084 0
1.61 1.7 2.737 1.95
2 36 0.587 0.808 1.22 0.986 2.902 3.993 0.1 0.290 0.399319 0 1.924298
1.24 1.774 2.19976 0
0.94 1.7 1.598 1.95
3 22 0.374 0.927 1.22 1.131 2.141 5.297 0.1 0.214 0.52973 0 2.205633
2.32 1.774 4.11568 0
0.26 1.7 0.442 1.95
4 10 0.173 0.984 1.22 1.201 0.979 5.554 0.1 0.097 0.555407 0 2.342829
2.93 1.774 5.19782 0
5 2.74 1.7 4.658 -2 -0.034 0.999 1.22 1.219 -0.162 4.655 0.1 -0.016 0.465516 0 1.95 2.37755
6 1.94 1.7 3.298 -14 -0.242 0.970 1.22 1.183 -0.798 3.199 0.1 -0.079 0.319996 0 1.95 2.308277
7 0.75 1.7 1.275 -27 -0.454 0.890 1.22 1.086 -0.579 1.135 0.1 -0.057 0.113592 0 1.95 2.1195
jumlah 6.234 25.153 0.623 2.515358 0 14.7091

 Kondisi normal

{14.709 + (25.153 − 0)0.32}


𝐹𝑠 =
6.234
= 3.689

 Kondisi gempa

{14.709 + (25.153 − 0 − 0.623)0.32}


𝐹𝑠 =
6.234 + 2.515
= 2.605
13
72

Lampiran 22 Stabilitas lereng embung pada kondisi air elevasi muka air banjir dengan metode pias hilir
14
73

Lampiran 23 Perhitungan Metode Irisan Bidang Luncur Bundar pada air elevasi muka air banjir bagian hilir

A Gama W (ton) b L T N Ne Te U
Irisan alfa sin a cos a e C Cl
(m2) (ton/m3) (gama.A) (m) (b.cos a) (w.sin a) (W.cos a) (e.T) (e.N) (u.b/cos a)
1.7 1.95
1 1.051 1.25069 55 0.819 0.573 1.22 0.699 1.025 0.717 0.1 0.102 0.072 0 1.364
1.774 0
2.21 1.7 3.757 1.95
2 38 0.616 0.788 1.22 0.961 2.816 3.603 0.1 0.282 0.360 0 1.874
0.46 1.774 0.81604 0
2.01 1.7 3.417 1.95
3 24 0.407 0.913 1.22 1.114 2.242 5.034 0.1 0.224 0.503 0 2.173
1.18 1.774 2.09332 0
1.59 1.7 2.703 1.95
4 12 0.208 0.978 1.22 1.193 1.068 5.021 0.1 0.107 0.502 0 2.327
1.37 1.774 2.43038 0
1.18 1.7 2.006 1.95
5 -1 -0.017 1.000 1.22 1.220 -0.075 4.312 0.1 -0.008 0.431 0 2.379
1.3 1.774 2.3062 0
0.83 1.7 1.411 1.95
6 -13 -0.225 0.974 1.22 1.189 -0.677 2.930 0.1 -0.068 0.293 0 2.318
0.9 1.774 1.5966 0
0.47 1.7 0.799 1.95
7 -25 -0.423 0.906 1.22 1.106 -0.473 1.013 0.1 -0.047 0.101 0 2.156
0.18 1.774 0.31932 0
jumlah 5.926 22.630 0.593 2.263 0 14.591

 Kondisi normal • Kondisi gempa

{14.591 + (22.630 − 0)0.32} {14.591 + (22.630 − 0 − 0.593)0.32}


𝐹𝑠 = 𝐹𝑠 =
5.926 5.926 + 2.263
= 3.721 = 2.668
15
74

Lampiran 24 Arah, kecepata angin dan kelembaban relatif minimum, rata-rata dan maksimum di stasiun pengamatan BMKG

Arah Angin Kecepatan Angin (knot) Kelembaban Relatif


Dirrection of Wind (°) Wind Velocity (knot) Relative Humidity (%)
Kota / Station BMKG Rata- Rata-
No. Rata-rata rata rata
Min Max Min Max
Average Average Average
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 SABANG/CUT BAU 107.6 0 5.9 58 47 82.6 100
2 LHOKSEMAWE/MALIKUSALEH 123.9 0 3.8 79 50 79.1 100
3 BANDA ACEH/BLANGBINTANG 127.0 0 3.7 60 22 78.9 100
4 MEULABOH/CUT NYAK DHIEN 124.6 0 4.1 62 20 81.2 100
5 INDRAPURI 89.6 0 2.2 60 41 81.3 99
6 SAMPALI 45.7 0 0.8 57 22 81.8 100
7 BELAWAN 90.1 0 4.7 61 42 80.5 99
8 MEDAN/POLONIA 56.5 0 2.4 56 38 80.9 100
9 TUNTUNGAN 4.1 0 0.0 5 79 96.9 100
10 TEBINGTINGGI 56.0 0 1.3 65 50 91.9 100
AEK GODANG/PADANG
11 SIDEMPUAN 128.2 0 4.1 18 40 78.2 100
12 SIBOLGA/PINANGSORI 36.0 0 0.9 56 31 85.1 100
13 GUNUNG SITOLI/BINAKA 67.2 0 2.1 93 30 87.3 100
14 BATAM/HANG NADIM 102.3 0 4.7 50 51 83.6 100
15 TANJUNG BALAI KARIMUN 82.5 0 2.7 60 30 84.5 100
16 TANJUNGPINANG/KIJANG 55.3 0 3.0 60 20 84.8 100
17 PAKANBARU/SIMPANGTIGA 43.8 0 1.3 73 23 81.0 100
18 TAREMPA 158.8 0 4.2 57 51 80.0 100
19 RANAI/NATUNA 143.1 0 6.1 32 47 83.9 100
20 TELUK BAYUR 51.5 0 1.3 12 55 81.2 100
21 PADANG/TABING 80.4 0 1.9 92 25 83.2 100
16
75

22 PADANG PANJANG 144.9 0 2.9 90 58 93.5 100


23 SICINCIN 74.9 0 1.6 60 43 82.9 100
24 RENGAT/JAPURA 42.4 0 1.3 22 41 84.3 100
25 SINGKEP/DABO 110.7 0 3.9 60 27 84.5 100
26 JAMBI/PAALMERAH 86.1 0 2.5 62 25 83.4 100
27 KERINCI/DEPATI PARBO 25.0 0 0.3 1 24 84.7 100
28 PALEMBANG/TALANG BETUTU 64.4 0 2.3 63 23 82.9 100
29 KENTEN 88.3 0 2.2 60 41 82.7 100
30 PANGKAL PINANG 94.0 0 3.4 93 41 83.4 100
51
76

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 20 Juli 1991 yang merupakan anak
kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sunaryo dan Ibu Sri Rahayu. Penulis
telah menyelesaikan pendidikan tingkat SD di SD Negeri Purworejo 03 (1998-2004),
tingkat SMP di SMP Negeri 1 Geger (2004-2007), dan tingkat SMA di SMA Negeri
1 Geger (2007-2010). Pada tahun 2010 penulis diberikan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan Strata 1 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan program studi Teknik Sipil
dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama masa pendidikan, penulis aktif mengikuti organisasi Himpunan Teknik
Sipil dan Lingkungan (Himatesil IPB) sebagai anggota. Penulis melakukan praktik
lapangan pada tahun 2013 di Dinas Pertanian Kabupaten Tuban, Jawa Timur dengan
judul “Perencanaan Drainase di Lahan Sawah Beririgasi di DAS Bengawan Solo,
Kabupaten Tuban”.
Kemudian penulis melakukan penelitian di Perkebunan Cinta Manis, PT.
Perkebunan Nusantara VII, Palembang, Sumatera Selatan. Penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul “Perencanaan Bendungan Tipe Urugan di Perkebunan Cinta
Manis, PT. Perkebunan Nusantara VII, Palembang” untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknik di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, M.S., IPM.

Anda mungkin juga menyukai