NURHALIS WAHIDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Nurhalis Wahiddin
NIM C562100031
ii
RINGKASAN
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
NURHALIS WAHIDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Ujian Tertutup
Penguji pada Ujian Tertutup:
1 ………..
2 ……….
Ujian Terbuka
Penguji pada Ujian Terbuka:
1 ………..
………..
Judul Tesis : Analisis Citra Satelit untuk Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang
di Pulau Morotai
Nama : Nurhalis Wahiddin
NIM : C562100031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi dengan judul “Analisis
Citra Satelit untuk Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Morotai” ini
dapat diselesaikan.
Tahapan yang panjang dalam penyusunan karya ilmiah ini dimulai dari bulan
Oktober 2011 sampai pada saat ini meskipun dihadapkan dengan beberapa kendala,
namun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada beberapa
pihak sebagai berikut:
1 Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA; Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc; Dr Ir Sam
Wouthuyzen, MSc APU, Dr Ir Bisman Nababan, MSc selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan disertasi.
2 ………………… dan ………………….. sebagai dosen penguji pada ujian
tertutup.
3 ………………… dan ………………….. sebagai dosen penguji pada ujian
terbuka.
4 Dr Ir Wayan, MSc selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan
Dr Jonson Lumban Gaol, MSi selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk
menyelesaikan disertasi ini.
5 Seluruh Dosen dan Administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
FPIK, IPB
6 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
7 Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
8 Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa studi
lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor.
9 Civitas akademika Universitas Khairun Ternate.
10 Seluruh pimpinan dan Staf Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Khairun Ternate.
11 PT. ANTAM Tbk, Yayasan SUPERSEMAR atas partisipasi bantuan dana
penyelesaian studi.
12 Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai.
13 Rekan-rekan mahasiswa TEK khususnya Angkatan tahun 2010/2011
14 Ayahanda Hasan Wahidin (Almarhum) dan ibunda Aisyah Musa serta saudara-
saudaru tercinta Nurastuty Wahidin dan Abdul Hamid Wahidin atas segala
limpahan kasih sayang, doa serta dukungan penulis hingga dapat
menyelesaikan studi.
15 Istri tercinta Irma Aulat, ananda Ummy Fatihah Halissima, Akbar Dhany
Ariposa dan Fitril Hasanah yang selalu memberikan dukungan dan doa serta
keikhlasannya untuk melewati saat-saat kita tidak bersama, , hasil yang telah
dicapai ku persembahkan kepada kalian, terima kasih.
16 Mertua, Aulat Idris dan Norma serta keluarga besar yang telah memberikan
doa selama penulis mempuh pendidikan.
xii
Nurhalis Wahiddin
DAFTAR ISI
1 Peralatan penelitian 10
2 Karakteristik citra Landsat 11
3 Karakteristik citra Orbview-3 12
4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan
modul FLAASH 15
5 Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat 18
6 Informasi data PVL citra Orbview-3 18
7 Skema klasifikasi 21
8 Kategori lifeform 23
9 Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid 39
10 Kelas centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi 40
11 Karakteristik citra Landsat 8 OLI 45
12 Perbandingan overall accuracy peta habitat bentik 52
13 Perbandingan akulasi klasifikasi 52
14 Uji akurasi peta habitat terumbu karang citra 2013 62
15 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan
2002 63
16 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan
2002 64
17 Kelompok deteksi perubahan kelas habitat 65
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Sampai saat ini belum banyak data yang tersedia mengenai penelitian tentang
terumbu karang di Propinsi Maluku Utara. Hasil kajian Potensi keanekaragaman
terumbu karang pulau Halmahera dalam kegiatan ekspedisi Kajian awal potensi
kelautan dan pariwisata di kawasan Halmahera dan sekitarnya yang dilaksanakan
atas kerjasama WWF, CII dan TNC dengan beberapa intansi terkait lainnya pada
tahun 2008. Stasiun-stasiun pengamatan pada kegiatan ini adalah bagian Barat
pulau Halmahera termasuk gugusan pulau Kahatola, pulau-pulau Doi, kawasan
sekitar pulau Morotai, teluk Kao dan Teluk Weda (Gambar 1). Kegiatan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa pulau Halmahera dan pulau-pulau
4
karang hidup berkisar antara 15,67 % - 40.00 % dengan nilai rata-rata penutupan
karang hidup sebesar 31.14% yang termasuk dalam kategori sedang
Sangat jelas terlihat bahwa keberadaan terumbu karang di kawasan
Halmahera bagian Utara dan sekitarnya memiliki nilai keanekaragaman yang
sangat tinggi meskipun dalam kondisi yang sudah mulai kritis. Kerusakan terumbu
karang banyak diakibatkan oleh kegiatan antropogenik atau secara alami. Kegiatan
antropogenik yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di pulau Morotai
adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius,
penambangan karang dan aktifitas wisata maupun industri. Kerusakan secara alami
adalah aktifitas fisik dinamika perairan seperti gelombang, aktifitas biologi bintang
laut berduri (Acantaster plancii) dan secara alami yang disebabkan oleh perubahan
iklim (global warming). Nilai indeks SOI, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir
(1990 – 2010) telah terjadi berapa kali periode El-nino yang melanda wilayah
Pasific bagian selatan termasuk Indonesia, yaitu tahun 1991, 1994, 1997, 2004,
2006 dan 2009. (http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml).
Meskipun teknik pengamatan lapangan mampu menyajikan data secara
detail, namun terbatas pada ruang yang kecil dan tidak optimal dalam menghasilkan
informasi secara spasial dalam skala luas. Disisi lain data penginderaan jauh dengan
berbagai jenis platform citra satelit mampu menghasilkan data dalam skala spasial
yang luas meskipun tidak sedetail hasil pengukuran lapang. Oleh karena itu
kombinasi data pengamatan lapang dan data penginderaan jauh diharapkan akan
tersedia data dan informasi tentang ekosistem terumbu karang secara detail pada
skala spasial yang luas.
Kendala utama yang dihadapi adalah ketersediaan data penginderaan jauh
resolusi tinggi yang tersedia dengan harga yang sangat mahal. Salah satu alternatif
untuk mengekstrak informasi tentang ekosistem terumbu karang dengan data
penginderaan jauh adalah citra satelit Landsat yang telah tersedia dalam kurun
waktu lebih dati tiga dekade terakhir yaitu dimulai pada peluncuran Landsat 1MMS
tahun 1972. Kemudian disusul oleh peluncuran Landsat 5TM tahun 1984 dan
Landsat 7ETM+ tahun 1999, dan Landsat 8OLI tahun 2013 dengan resolusi resolusi
sprektral dan resolusi radiometrik yang lebih baik dari generasi Landsat
sebelumnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka untuk mengetahui secara
komprehensif kemampuan citra satelit untuk menghasilkan informasi tematik
ekosistem terumbu karang dapat dikembangkan beberapa pertanyaan ilmiah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan hasil pengamatan lapangan dari komponen
penyusun ekosistem terumbu karang dapat dikembangkan untuk pemetaan
menggunakan citra satelit?
2. Bagaimana kemampuan citra satelit Landsat dengan skema klasifikasi
objek-objek ekosistem terumbu karang dapat dipisahkan??
3. Bagaimana teknik pemetaan ekosistem terumbu karang yang lebih baik
menggunakan citra satelit Landsat?
4. Bagaimana kemampuan citra satelit Landsat untuk mendeteksi perubahan
luasan terumbu karang dalam kurun waktu tertentu?
6
Kerangka Pemikiran
dengan mentransformasi nilai reflektansi citra asli menjadi nilai yang telah
dikurangi pengaruh kolom perairan.
Ekstraksi informasi pantulan komponen dasar terumbu karang dibangun dari
skema klasifikasi pada citra hasil penajaman untuk mendapatkan informasi
karakteristik citra satelit dalam memisahkan objek-objek terumbu karang. Tahap ini
merupakan bagian penting untuk mengetahui kemampuan citra satelit untuk
menghasilkan peta tematik terumbu karang berdasarkan skema klasifikasi yang
disusun.
Integrasi data penginderaan jauh dan pengamatan lapangan untuk pemetaan
substrat perairan dangkal yang telah dikembangkan sebelumnya pada beberapa
kawasan terumbu karang menggunakan berbagai instrument citra penginderaan
jauh dengan beberapa skema klasifikasi dan pengujian akurasinya. Hasil penelitian-
penelitian tersebut menunjukan bahwa citra penginderaan jauh dari resolusi
menengah sampai resolusi tinggi mampu dikembangkan untuk pemetaan ekosistem
terumbu karang dengan baik, namun memiliki hasil yang berbeda tergantung pada
lokasi, kompleksitas struktur dan keragaman habitat terumbu karang serta skema
klasifikasi yang dikembangkan.
Peta-peta tematik terumbu karang dari citra satelit dihasilkan dari teknik
klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma klasifikasi mesin pembelajaran
untuk melengkapi teknik-teknik klasifikasi konvensional. Teknik-teknik klasifikasi
tersebut membutuhkan pengujian untuk dapat meghasilkan teknik klasifikasi yang
lebih tepat untuk bisa diterapkan pada kegiatan pemetaan ekosistem terumbu
karang yang lebih detail mengacu pada skema klasifikasi dan teknik pengamatan
lapangan yang digunakan. Peta tematik yang dihasilkan dari teknik klasifikasi
dengan nilai akurasi lebih baik diterapkan pada analisis untuk mengetahui status
terumbu karang di dalam kurun waktu dua decade terakhir. Secara sederhana
kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Error! Reference source not found.
berikut ini.
Pengamatan Penginderaa
Terumbu Karang
Lapangan n jauh
Komponen
Penyusun Pemetaan Terumbu
Citra Satelit
Terumbu Karang
Karang
Kemampuan
Skema Separabilitas Citra Teknik
Defenisi Habitat
Klasifikasi Objek Terumbu Transformasi Penajaman
Karang
Algoritma
Klasifikasi Teknik
Klasifikasi
Terumbu Klasifikasi
Mesin
Karang Berbasis Objek
Pembelajaran
Peta Tematik
Uji Akurasi Terumbu
Karang
Deteksi Perubahan
8
Pengamatan Penginderaa
Terumbu Karang
Lapangan n jauh
Komponen
Penyusun Pemetaan Terumbu
Citra Satelit
Terumbu Karang
Karang
Kemampuan
Skema Separabilitas Citra Teknik
Defenisi Habitat
Klasifikasi Objek Terumbu Transformasi Penajaman
Karang
Algoritma
Klasifikasi Teknik
Klasifikasi
Terumbu Klasifikasi
Mesin
Karang Berbasis Objek
Pembelajaran
Peta Tematik
Uji Akurasi Terumbu
Karang
Deteksi Perubahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras
pengolahan data, perangkat lunak dan peralatan pengambilan data di lapangan.
Perangkat keras yang digunakan untuk pengolahan data adalah Personal Computer
prosesor Intel Core i7, RAM 8 GB, media penyimpanan 1 TB. Perangkat lunak
digunakan untuk membantu proses pengolahan data terdiri dari: Microsoft Office
2013, Coral Point Count with Excel Extention (CPCe 4.1), DNR Garmin Versi 5.4,
ERDAS ER Mapper 2014, ERDAS IMAGINE 2014, ArcGIS Desktop 10 dan
ENVI ver 5.1.
Peralatan yang digunakan untuk pengumpulan data lapangan terdiri dari
peralatan perekaman data koordinat, pengambilan data substrat dasar perairan
dangkal, dokumentasi dan pencatatan data (Tabel 1Error! Reference source not
found.Error! Reference source not found.Error! Reference source not
found.Error! Reference source not found.).
Tabel 1 Peralatan penelitian
No Peralatan Parameter
1. GPS Garmin 60CXs Pengumpulan data koordinat :
Pelampung Ground truth poin, Ground truth
habitat
2. Peralatan SCUBA diving
Transek kuadran (1 x 1m) Pengambilan data habitat
Meteran rol 50 m terumbu karang
Kamera bawah air Canon Powershot
G12 + Housing underwater
Tertapod
Fishfinder 125C Pengukuran kedalaman
3 Kamera SONY superstady shot DSC- Dokumentasi
W170 + Housing underwater
4 Underwater slater Pencatatan data
Underwater papper
Sedangkan bahan yang digunakan adalah citra satelit multispektral resolusi
menengah (Landsat) dan citra satelit multispekral resolusi tinggi (Orbview-3 dan
QuickBird). Citra Landsat digunakan untuk klasifkasi dan deteksi perubahan,
sedangkan citra Orbview-3 digunakan untuk membantu interpretasi secara visual
dalam penentuan rancangan survey lapangan. Citra Landsat dan Orbview diperoleh
secara gratis diunduh pada website USGS GloVis (http://glovis.usgs.gov/).
Citra satelit Landsat dikumpulkan dari generasi berbeda yaitu Landsat 5TM,
Landsat 7ETM+ dan Landsat 8OLI pada lembar perekaman path 109 dan row 059
meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulau Morotai dan kabupaten Halmahera
Timur, Provinsi Maluku Utara (Gambar 4). Seluruh data citra Landsat yang diunduh
merupakan data Level 1/L1 (Terain Corrected) yang telah terkoreksi secara
geometrik. Landsat 5TM diperoleh dengan tanggal perekaman data 30 Juli 1996,
Landsat 7ETM+ tanggal 23 Juli 2002 dan Landsat 8OLI tanggal 17 Oktober 2013.
Seluruh data Landsat juga telah dilengkapi dengan meta data (header file)
sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 1. Karakteristik citra Landsat disajikan
pada Tabel 2.
11
Persiapan Data
Tahap persiapan data adalah tahap identifikasi data-data yang akan digunakan
dalam analisis selanjutnya yang terdiri dari data spasial dan non spasial. Data
spasial selain data penginderaan jauh (citra satelit), juga diidentifikasi ketersediaan
data peta-peta digital di lokasi penelitian seperti garis pantai dan batas wilayah
administrasi, serta informasi lain yang berkaitan dengan penelitian. Data non
spasial yaitu data ekologi ekosistem terumbu karang dan data pendukung lainnya
seperti data iklim, Digital Elevation Model (DEM) dan data kedalaman perairan.
Koreksi citra merupakan suatu operasi untuk mengkondisikan agar citra yang
akan digunakan benar-benar memberikan informasi yang akurat secara geometris
maupun radiometris. Oleh karena itu, operasi koreksi disebut juga operasi pra-
pengolahan (pre-processing) (Danoedero 2012). Tahap pra-pengolahan data
penginderaan jauh dilakukan dengan beberapa teknik penajaman dan diaplikasikan
pada data citra yang digunakan. Tahap pra-pengolahan terdiri dari koreksi
atmosferik, koreksi geometrik dan koreksi kolom perairan.
Koreksi Atmosferik
Sifat penginderaan jauh mengharuskan radiasai matahari menembus atmosfer
sebelum direkam oleh sensor satelit. Oleh karena ini sistem penginderaan jauh
selain mencakup informasi permukaan bumi juga menyertakan informasi tentang
atmosfer. Analisis kuantitatif untuk menghilangkan pengaruh atmosfer adalah
langkah penting pada tahap pra-pengolahan data. Untuk mengurangi efek atmosfer,
maka sifat-sifat atmosfer seperti uap air, distribusi aerosol dan visibilitas scene citra
harus diketahui (ExelisVIS 2009).
Kondisi atmosfer bervariasi baik secara spasial dan temporal sebagai hasil
dari hamburan molekul dan penyerapan. Karakteristik hamburan dari panjang
gelombang spektral yang berbeda menyebakan dampak signifikan pada data yang
diperoleh dari penginderaan jauh multispektral. Pada dasarnya koreksi atmosfer
diterapkan untuk menentukan nilai-nilai reflektansi permukaan yang tepat untuk
mengambil parameter fisik permukaan bumi termasuk reflektansi permukaan
dengan mengurangi efek atmosfer dari citra satelit (Fuyi et al. 2013).
Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight
Atmospheric Analysis of Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode
MODTRAN4 (Moderate Resolution Atmospheric Transmission) dan Dark Object
Subtraction (DOS) yang tertanam pada perangkat pengolahan data ENVI.
FLAASH adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Air Force Phillip
Technology, Hanscom dan Spectral Science, Inc (SSI) (Adler-Golden et al. 1999).
FLAASH menyediakan akurasi data berbasis fisik dari reklektansi permukaan
melalui derivasi sifat atmosfer seperti albedo permukaan, ketinggian, kolom uap
air, aerosol kedalaman optik awan dan suhu permukaan atmosfer yang beroperasi
pada kisaran panjang gelombang 0.4-2.5 micrometer. DOS adalah teknik koreksi
atmosfer yang didasarkan pada konsep bahwa sinyal sinar tampak merambat
melalui atmosfer mencapai sensor satelit berasal dari objek gelap. Piksel target
gelap menunjukan jumlah upwelling jalur radiasi pada band ini. Radiasi jalur
14
dimana;
ρ = reflektansi permukaan piksel
= rata-rata reflekansi permukaan piksel dan daerah disekitanya
S = sperikal albedo atmosfer
= hambur balik radiasi oleh atmosfer
A dan B adalah koefisien yang tergantung pada kondisi atmosfer dan
geometrik bukan pada permukaan.
Perbedaan antara ρ dan akan menyumbang efek berdekatan (percampuran
radiasi antara piksel terdekat) yang disebabkan oleh hamburan atmosfer. Efek ini
dapat dikurangi dengan mengatur = ρ. Koreksi ini dapat menghasilkan kesalahan
reflektansi signifikan pada panjang gelombang pendek, khususnya pada kondisi
berkabut dan ketika terjadi perbedaan yang kontras antara obyek-obyek pada sceen
citra. Nilai A, B, S dan dideterminasi dari perhitungan MOTRAN4
menggunakan kenampakan, solar angle, dan elevasi permukaan rata-rata hasil
pengukuran, kemudian mengasumsikan model atmosferik, tipe aerosol dan kisaran
nilai kecerahan udara. Nilai A, B, S dan sangat kuat tergantung pada jumlah
kolom penguapan air yang secara umum tidak diketahui dan mungkin bervariasi
antara scene citra. Kolom uap air dan variabel yang tidak diketahui dihitung melalui
serangkaian jumlah kolom berbeda dari saluran panjang gelombang, kemudian
dipilih dari citra untuk mengambil jumlah yang diperkirakan pada setiap piksel.
Rata-rata radiasi yang terkumpul pada dua set kanal yaitu saluran penyerapan pada
band air (biasanya 1130 nm) dan saluran referensi yang diambil dari luar band.
Setelah proses ini dilakukan, persamaan (1) dapat diselesaikan untuk
reflektansi permukaan piksel semua saluran sensor. Selanjutnya metode yang
mencakup perhitungan radiasi rata-rata reflektansi citra ( ) dari reflektansi rata-
rata spasial (L) dapat ditentukan dari persamaan berikut:
(2)
Mengkonversi nilai citra asli dari bilangan digital (digital number, DN)
menjadi nilai radian dengan format BIL, kalibrasi radian Float dan faktor
koreksi 0.1.
Input data untuk koreksi atmosferik menggunakan data citra yang telah
ditransformasi menjadi nilai radian dengan nilai faktor skala radian 1. Pada
tahap ini lokasi pusat koordinat scene citra otomatis terinput.
Menentukan tipe sensor (multispektral) dan jenis sensor dari data citra
yang digunakan. Default ketinggian sensor (km) dan ukuran piksel (m)
terinput secara otomatis berdasarkan jenis sensor.
Menentukan nilai nilai rata-rata ketinggian scene citra dari permukaan laut
dalam satuan kilometer mengacu pada data DEM.
Menentukan waktu perekaman citra yang terdiri dari tanggal perekaman
(hari/bulan/tahun) dan jam berdasarkan waktu GMT (jam:menit:detik).
Menentukan model atmosfer; modul FLAASH menyediakan model
atmosfer yang terdiri dari Sub-Arctic Winter (SAW), Mid-Latitude Winter
(MLW), U.S. Standard (US), Sub-Arctic Summer (SAS), Mid-Latitude
Summer (MLS) dan Tropical (T). Model atmosfer yang digunakan adalah
Tropical dengan suhu rata-rata permukaan udara 27o C.
Menentukan model aerosol; modul FLAASH menyediakan model aerosol
yang terdiri dari Rural, Urban, Maritime dan Tropospheric. Model aerosol
yang digunakan adalah Maritime karena scene citra sebagian besar
didominasi oleh laut.
Menentukan nilai kecerahan udara yang disesuaikan dengan tanggal
perekaman citra.
Tahap akhir dari proses input parameter koreksi atmosfer adalah
menentukan parameter lanjutan yang terdiri dari Aerosol scale height
(km), CO2 Mixing ratio (ppm), Use square slit function, Use adjacency
correction, Resuse MODTRAN calculation, Modtran Resolution, Modtran
multiscatter model, Number of DISORT Stream, Sudut Zenit, Sudut
Azimut, Use tiled processing, Radiance image dan Faktor skala
reflektansi.
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosferik menggunakan
modul FLAASH disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan modul
FLAASH
Parameter FLAASH Landsat 5TM Landsat 7ETM+ Landsat 8OLI
1. Parameter Umum
Format citra radian BIL BIL BIL
Faktor koreski radian 0.1 0.1 0.1
Skala radian 1 1 1
Koordinat pusat lokasi Lintang: 1.44001111 Lintang: 1.44001111 Lintang: 2.88936257
Bujur : 128.88615556 Bujur : 128.88615556 Bujur: 129.13574219
Tipe sensor Landsat TM5 Landsat TM7 Landsat-8 OLI
Ketinggian sensor (km) 705 705 705
Elevasi (km) 1.67 1.67 1.67
Ukuran piksel (m) 30 30 30
Tanggal perekaman 30 Juli 1996 23 Juli 2002 17 Oktober 2013
Jam perekaman 00:52:55 01:26:00 01:39:36
Model atmosfer Tropical Tropical Tropical
Model aerosol Maritim Maritim Maritim
16
Tahap kedua adalah mengoreksi pengaruh yang disebabkan oleh sudut zenith
matahari, radiasi matahari dan hamburan, tetapi tidak mengoreksi serapan atmosfer
dengan persamaan:
∗
(4)
∗
dimana;
= Reflektansi spektral permukaan
= Radians spektral satelit (W m-2 se-1 µm-1)
= Iradian spektral matahari pada permukaan tegak lurus terhadap
matahai di luar atmosfer (W m-2 µm-1). Merupakan jarak bumi-
matahari dalam satuan astronomi (fungsi waktu dalam satuan tahun
dengan kisaran nilai 0.983-1.107)
= Upwelling spektral radiasi yang dihamburkan pada arah bidang
rekaman sensor
= Transmitansi atmosfer pada jalur permukaan bumi ke sensor
= Transmitansi atmosfer pada jalur matahari ke permukaan bumi
= Iradian spektral downwelling pada permukaan yang dihamburkan
aliran radiasi atmosfer (W m-2 µm-1).
Langkah-langkah koreksi atmosfer dengan modul DOS adalah sebagai
berikut:
Menentukan obyek gelap pada citra dengan nilai digital (DN) paling
rendah bisanya badan air.
Menentukan region of interest (RoI) piksel gelap
Eksekusi parameter Dark Subtraction.
17
Koreksi Geometrik
Citra satelit mempunyai sejumlah kesalahan geometrik yang disebabkan oleh
faktor-faktor perekaman oleh sensor, bentuk dan rotasi bumi. Citra satelit yang
tidak terkoresi akan menghasilkan geometrik yang berbeda dengan peta sehingga
mengakibatkan kesulitan dalam penggunaannya. Koreksi geometrik adalah proses
mengoreksi kesalahan dan menandai sifat-sifat peta pada sebuah citra. Geometrik
citra harus dikoreksi sehingga sesuai dengan peta yang digunakan dengan sistem
koordinat yang dipilih pada citra dapat diidentifikasi dengan baik atau titik-titik
yang diamati di lapangan dapat ditemukan dengan mudah pada citra (Green et al.
2000) Koreksi geometrik diperlukan karena beberapa alas an yaitu:
Citra akan dibandingkan dengan hasil pengamatan lapangan pada peta.
Data citra akan dibandingkan dengan data spasial lainnya.
Estimasi luas dan jarak diperlukan dari data citra.
Membandingkan citra dengan waktu perekaman berbeda untuk detreksi
perubahan.
Mather (2004) mengelompokan koreksi geometrik ke dalam dua kategori
besar yaitu model geometrik orbital dan transformasi berdasarkan titik-titik kontrol
lapangan (ground control point, GCP). Model geometrik orbital adalah model yang
didasari pada pengetahuan karakteristik orbit wahana satelit yang berhubungan
dengan persamaan-persamaan kolinearitas fotogrametri. Persamaan-persamaan ini
menggambarkan karakterisitik orbit satelit dan geometrik arah pandang, serta
mengaitkan sistem koordinat citra (baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis
(lintang-bujur). Transformasi berdasarkan GCP adalah mengoreksi citra dari sudut
pandang empiris dengan membandingkan posisi-posisi yang berbeda pada citra dan
data lapangan melalui pengukuran GPS (global positioning system).
Teknik koreksi geometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
transformasi titik kontrol lapangan (GCP). Berdasarkan pasangan koordinat antara
titik kontrol lapangan (GCP) dengan koordinat baru hasil estimasi, diperoleh selisih
sepanjang sumbu X (bujur) dan sumbu Y (lintang). Selisih ini dapat dighitung pada
setiap titik kontrol dan juga peta hasil transformasi keseluruhan, yang
memperhitungkan seluruh titik kontrol yang ada. Berdasarkan selisih-selisih ini
kemudian dapat dihitung besarnya akurasi hasil koreksi geometrik dengan
persamaan root mean square error (RMSE).
Pada setiap pasangan titik koordinat referensi dengan titik koordinat hasil
estimasi disebut selisih yang disebut dengan rectification residual (). Nilai
rectification residual ini bisa berbeda untuk arah X dan arah Y. Analisis parameter
ini menggunakan indikator akurasi RMSE dengan persamaan sebagai berikut:
∑ ∑ (6)
dan
∑ ∑ (7)
dimana:
n = jumlah total titik kontrol lapangan (GCP) yang digunakan dalam
koreksi atau rektifikasi
18
∑ (8)
Data citra Landsat yang digunakan merupakan data dengan tipe level 1T
(terrain-corrected) yang telah terkoreksi secara geometrik berdasarkan informasi
GCP beserta RSME (Tabel 5).
Tabel 5 Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat
Sensor GCP RMSE Total RMSE X RMSE Y
Model (m) (m) (m)
Landsat 5TM 68 5.298 3.157 4.255
Landsat 7ETM+ 52 10.298 6.797 7.736
Landsat 8OLI 138 8.922 6.252 6.364
Tipe data citra Orbview-3 level 1B adalah data yang belum terkoreksi secara
geometrik. Oleh karena itu koreksi geometrik terhadap citra Orbview-3
menggunakan teknik registrasi citra berdasarkan data Parameter Value Language
(PVL) yang terdapat pada meta data citra. Data PVL adalah informasi koordinat
pada setiap sudut area perekaman (foot print) dan koordinat tengah area perekaman.
Informasi data PVL citra Orbview-3 disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Informasi data PVL citra Orbview-3
Titik Koordinat M_001655948 M_001658218
Sudut UB 2°17'38.39"N 2°15'25.17"N,
128°11'23.87"E 128°07'58.48"E
Sudut UT 2°18'04.96"N 2°15'23.64"N,
128°16'36.19"E 128°12'12.33"E
Sudut SB 2°00'26.65"N, 2°01'21.28"N,
128°11'24.19"E 128°07'58.72"E
Sudut ST 2°00'54.07"N, 2°01'20.05"N,
128°16'32.12"E 128°12'12.13"E
Koordinat tengah 2°09'16.02"N, 2°08'22.53"N,
128°13'59.10"E 128°10'05.41"E
Digital elevation Model kedalaman jarang tersedia terutama untuk sistem terumbu
karang (Zainal 1994).
Sebagai perbandingan (Lyzenga 1978; Lyzenga 1981), mengemukakan
pendekatan sederhana berbasis citra untuk mengkompensasi pengaruh variabel
kedalaman dalam pemetaan dasar perairan (koreksi kolom perairan). Dibandingkan
dengan prediksi reflektansi dasar perairan yang lebih sulit, metode ini menghasilkan
Depth Invariant Index (DII) dari setiap pasangan band spektral. Koreksi kolom
perairan dibagi menjadi beberapa tahap, sebagai berikut:
1. Mengurangi hamburan atmosfer dan pantulan eksternal dari permukaan air;
Sebagian besar penelitian dengan metode koreksi kolom perairan
diaplikasikan pada data yang telah dikoreksi atmosferik (Lyzenga 1978;
Lyzenga 1981; Maritorena 1996). Jadi, jika koreksi atmosfer telah
dilakukan sehingga nilai-nilai piksel telah dikonversi menjadi nilai
reflektansi permukaan, maka nilai-nilai reflektansi dapat langsung
digunakan.
2. Linearisasi hubungan antara kedalaman dan radian; Pada kondisi perairan
yang relatif jernih, intensitas cahaya akan berkurang secara eksponensial
seiring dengan peningkatan kedalaman Gambar 6.
dimana
(11)
dan
(12)
, koefisien attenuation, adalah variance pengukuran Xi,
adalah variance pengukuran Xj dan adalah covariance Xi dan Xj
Tahap akhir adalah menghitung depth invariant index dengan persamaan
DIIij = ∗ (13)
Penggabungan Citra
Penggabungan citra (mosaicking) diaplikasikan pada citra Orbview-3 karena
memiliki dua area perekaman yang terpisah. Penggabungan citra menggunakan
citra yang telah dikoreksi atmosferik dan geometrik dengan bantuan perangkat
lunak ERDAS Imagine 2014. Prinsip dasar dari proses penggabungan adalah citra
hasil penggabungan harus memiliki nilai radiometric yang sama sehingga akan
mengurangi proses kesalahan dalam analisis data. Penyesuaian radiometrik citra
hasil penggabungan dilakukan dengan teknik histogram adjustment.
Skema Klasifikasi
Tahapan awal sebelum melakukan interpretasi citra satelit yang digunakan
dan menjadi panduan dalam proses pengumpulan data ekosistem terumbu karang
adalah menentukan skema klasifikasi. Secara umum skema klasifikasi dibangun
berdasarkan komponen penyusun ekosistem terumbu karang dan ekosistem yang
berasosiasi dengannya (Mumby and Harborne 1999). Adapun pengelompokkan
skema klasifikasi dapat dibedakan menjadi:
a. Kajian berdasarkan habitat.
21
b. Kajian yang difokuskan pada tipe habitat tertentu untuk keperluan tertentu
pula.
c. Kajian yang secara mendasar dikaitkan pada pemetaan geomorfologi
d. Kajian ekologi yang menjabarkan habitat sebagai kuantifikasi sekelompok
biota tertentu sebagai fitur mendasar dan.
e. Kajian yang menggabungkan lebih dari satu tipe informasi (misalnya
geomorfologi dikaitkan dengan kumpulan biota).
Skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema
klasifikasi komponen perairan dangkal secara hirarki. Sistem struktur perairan
dangkal yang membentuk tipe-tipe habitat didefenisikan ke dalam kelompok atau
kelas berdasarkan karakteristik ekologi sehingga akan mempermudah proses
identifikasi setiap kelas dan mendeskripsikan atributnya. Skema klasifikasi substrat
dasar perairan dangkal secara hirarki terdiri dari kelas zona geomormologi, struktur
geomorfologi, penutupan komponen biologi dan penutupan karang hidup (Zitello
et al. 2009). Dalam penelitian ini juga dikembangkan skema klasifikasi yang lebih
detail yaitu presentase penutupan komponen biologi, kategori lifeform dan
keanekaragaman jenis karang batu (English et al. 1997).
Skema klasifikasi secara hirarki disajikan pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Skema klasifikasi
Zona Struktur Komponen Kategori Keanekaragaman
Geomorfologi Geomorfologi Biologi Lifeform jenis karang
Intertidal Terumbu Karang Karang hidup Acropora Rendah
Laguna dan substrat keras Lamun Non- Sedang
Reef flat Terumbu karang Alga Acropora Tinggi
Back reef Kerangka kapur Persentase Karang mati
Reef crest Batuan vulkanik tutupan Fauna lain
Fore reef Sedimen Jarang Alga
Bank/Shelf (Unconsolidate (>50%) Abiotik
Channel sediment) Sedang (50-
Pecahan karang 90%)
Pasir Padat (>90%)
Lumpur
Pasir dengan
hamburan
pecahan karang
Persentase tutupan
Jarang (>50%)
Sedang (50-90%)
Padat (>90%)
Sumber :(Zitello et al. 2009).
Klasifiaksi zona geomorfologi terdiri dari zona intertidal, laguna, reef flat,
back reef, reef crest, fore reef dan channel (kanal). Klasifikasi didasarkan hanya
pada lokasi atau letak masing-masing zona, tidak menganalisis persentase tutupan
substrat dan komponen biologi yang ditemukan dalam zona tersebut. Sebagai
contoh zona laguna bisa disusun oleh patch reef, pasir atau rubble tidak digunakan
untuk mengidentifikasi dalam skema ini. Deskripsi masing-masing zona
geomorfologi sebagai berikut :
Zona intertidal : area yang terletak dekat dengan daratan atau antara pasang
terendah sampai pasang tertinggi (pada saat tertentu muncul dari permukaan
air)
22
Data pendukung
Data-data pendukung yang dikumpulkan terdiri dari data kecerahan udara,
data pasang surut, data DEM dan peta digital di sekitar lokasi penelitian. Data
kecerahan udara yang digunakan adalah data pengamatan Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Stasiun Galela Kabupaten Halmahera Utara yang dapat diunduh
pada National Climate Data Centre NOAA
(http://www7.ncdc.noaa.gov/CDO/dataproduct). Data kecerahan udara merupakan
data jarak pandang horizontal (dalam satuan mil) yang disesuaikan dengan tanggal
perekaman citra satelit. Data kecerahan udara akan digunakan sebagai parameter
input koreksi atmosferik.
Data pasang surut yang digunakan adalah data estimasi diperoleh dari Dinas
Hidro-Oseanografi (DISHIDROS) TNI AL dan data pengamatan lapangan selama
39 jam. Data pasang surut digunakan untuk mengoreksi pengukuran kedalaman
lapangan dan untuk mempredikdi kondisi tinggi air pada saat jam perekaman citra.
Satelit Landsat melintas pada waktu lokal sekitar pukul 10.00 pagi, maka seluruh
data hasil pengukuran kedalaman akan dikoreksi terhadap ketinggian air pada pukul
11.00.
Data DEM adalah data ata digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat
hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan
25
tersebut menggunakan himpunan koordinat (Li et al. 2010). Data DEM diunduh
pada USGS Global Data Explorer (http://gdex.cr.usgs.gov/gdex/). DEM digunakan
sebagai parameter dalam koreksi atmosferik.
Peta-peta digital yang digunakan adalah peta Rupabumi Indonesia (RBI)
skala 1:50000 pada nomor lembar peta 2618-21 yang diperoleh dari Badan
Informasi Geospasial (BIG) atau dapat diunduh secara gratis pada http://portal.ina-
sdi.or.id/.
Setelah menentukan titik acak pada gambar selanjutnya diberi lebel sesuai
dengan abjad atau nomor untuk diidentifikasi berdasarkan kategori struktur
geomorfologi, komponen biologi, kategori lifeform maupun jenis karang. Data hasil
analisis dapat diekspor ke program pengolahan spreadsheet Excel untuk
perhitungan persentase tutupan dan keanekaragaman jenis.
27
bisa diterapkan untuk dua seri citra secara terpisah pada setiap kelas penutupan
lahan hasil klasifikasi (Morisette and Khorram 2000).
Untuk mendeteksi perubahan kelas penutupan terumbu karang pada seri citra
yang digunakan maka dikembangkan persamaan pasangan angka setiap kelas
dengan citra sebagai berikut:
∗ 10 ⋯ ∗ 10 (16)
dimana P adalah perubahan kelas penutupan, Ki adalah penutupan kelas ke-i, t
adalah seri citra dan n adalah jumlah seri data citra.
Bentuk dari analisis deteksi perubahan dapat dijabarkan sebagai berikut:
Kelas 1 = 111
Kelas 2 = 222
Kelas 3 = 333
Kelas 4 = 444
Kelas 5 = 555
Kelas n = nnn
Jika pasangan angka pada setiap kelas hasil analisis mengalami perubahan
maka akan diketahui perubahannya pada setiap waktu.
Uji Akurasi
Pengujian akurasi dilakukan terhadap seluruh peta hasil klasifikasi untuk
mengetahui akurasi dari teknik klasifikasi yang diterapkan. Uji akurasi yang umum
dilakukan pada data hasil klasifikasi penginderaan jauh adalah matrik kesalahan
(error matrix/confusion matrix atau contingency matrix). Hal ini dikalukan dengan
membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas yang sebenarnya.
Kelas yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan.
Uji akurasi mengacu pada Congalton and Green (2008) yang terdiri dari
overall accuracy (OA), producer accuracy (PA), users accuracy (UA) dan Kappa.
Pesentase ketelitian suatu kelas diperoleh dari perbandingan jumlah piksel yang
benar masuk pada training area dengan jumlah piksel pada training area suatu kelas.
Persentase ketelitian klasifkasi secara keseluruhan dihiting dari perbandingan
antara jumlah piksel yang benar setiap kelas dengan total pixel training area
keseluruhan.
Merupakan jumlah sample yang diklasifikan ke dalam kelas j pada data referensi.
Akurasi keseluruhan (overall accuracy) antara data hasil klasifikasi penginderaan
jauh dan data referensi dapat dihitung sebagai berikut:
∑
(17)
Producer’s accuracy dapat dihitung sebagai berikut:
′ (18)
Nilai Kappa dihitung dari setiap matriks kesalahan dan mengukur bagaimana
klasifikasi penginderaan jauh sesuai dengan data referensi. Interval kepercayaan
disekitar nilai Kappa dapat dihitung menggunakan varian sampel yang besar dan
pada kenyataan bahwa Kappa statistic secara asimtotik terdistribusi normal.
Kenyataan ini juga berarti bahwa uji signifikan Kappa statistik matriks kesalahan
tunggal untuk menentukan jika kesesuaian antara klasifikasi penginderaan jauh dan
data referensi secara signifikan lebih besar dari 0 atau lebih baik dari klasifikasi
acak.
Uji untuk menentukan jika dua nilai Kappa independen dan untuk dua matriks
kesalahan yang secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan
perbandingan secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu
berbeda, dua algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan
akurasi lebih baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matriks kesalahan diuji
tingkat kepercayaan signifikan pada standar deviasi norma sebagai berikut:
Jika dan merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing
matriks kesalahan #1 dan #2, dan adalah estimasi varian sebagai
hasil dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik untuk menentukan akurasi
matriks kesalahan tunggal menggunakan persamaan:
(20)
| |
(21)
31
Pengamatan Data
Citra Satelit
Lapangan Pendukung
Kecerahan
Udara
Landsat 5TM
Landsat 7ETM+ Koreksi Atmosferik
Landsat 8 OLI
AOI
Kelas Bentik
Citra Koreksi Subset/Pemotongan
CPCe Terumbu
Karang
Atmosfir Citra
Kedalaman
Subsrtat
Masking
Honogen
Koreksi Kolom
Citra DII
Perairan
Kelas Zona
SIMPER Skema Klasifikasi
Geomorfologi
OBIA
Klasifikasi
Berbasis Piksel
Analisis Kelas Habitat
Separabilitas Bentik
Algoritma Klasifikasi
Peta Habitat
Uji Akurasi Bentik Terumbu
Karang
Deteksi Perubahan
Validasi Peta-Peta
Habitat Terumbu
Karang
Latar Belakang
Metode Penelitian
Gambar 11 Sistem tumpang susun titik analisis data pada foto kuadrat
35
dimana Xij adalah kelimpahan komponen bentik ke-i pada sampel ke-j dan p adalah
total komponen bentik.
Jarak Bray-Curtis berkisar 0-1, dalam penelitian ini digunakan nilai
ketidakmiripan 0.4 yang berarti bahwa komposisi seluruh komponen bentik
terumbu karang akan terkelompok dengan nilai kemiripan sebesar 0.6 (60%)
(Mumby and Harborne 1999; Phinn et al. 2011).
Penamaan (labeling) kelas habitat mengacu pada nilai centroid setiap kelas
yang dibangun. Nilai centroid adalah persentase rata-rata masing-masing
komponen bentik setiap kelas. Tahap dan prosedur analisis pengembangan skema
klasifikasi disajikan pada Gambar 12.
36
Data Lapangan
Identifikasi Komponen
Analisis Persentase
Penyusun Terumbu CPCe
Tutupan
Karang
Klasifikasi
Pengukuran Koefisien kemiripan
menggunakan data
Kemiripan Bray-Curtis
persen tutupan
Metode
Analisis gerombol
Pengelompokan
Menggunakan nilai
Deskripsi Kelas
centroid setiap
Habitat
komponen bentik
Skema Klasifikasi
Habitat
and Zhao 2000). Komposisi alga yang melekat pada terumbu biasanya menyebar
dan bercampur dengan karang batu bersama-sama dengan lamun, pasir serta
berbagai jenis substrat lainnya yang membentuk pola distribusi substrat dengan
heterogenitas spasial yang tinggi.
Ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian disusun oleh komponen bentik
karang hidup beserta organisme asosiasinya, alga, karang mati dengan alga, coralin
alga, lamun dan substrat abiotik. Organisme asosiasi karang batu adalah gorgonian
(kipas laut), sponge (porifera) dan karang lunak. Sedangkan substrat abiotik terdiri
dari rock, pecahan karang dan pasir Gambar 13.
50 168
160
45
40 140
35 120
Penutupan (%)
Frekwensi
30 100
25 80
74
20
56 57 60
15 53
46
38 40
10 32
25 20
5 19
5.3 0.8 0.2 6.2 1.2 0.6 0.01 27.9 4.3 8.6 44.9
0 2 0
KH G SP Al KL KMA CA L RCK PK P
Komponen bentik
Persen tutupan Frekwensi
Keterangan:
KH = Karang hidup
G = Gorgonian/kipas laut
SP = Sponge
Al = Alga
KL = Karang lunak
KMA = Karang Mati dengan Alga
CA = Coraline Alga
L = Lamun
RCK = Rock
PK = Pecahan Karang
P = Pasir
Gambar 13 Persentase tutupan dan frekwensi kehadiran komponen bentik
Komponen bentik ekosistem terumbu karang didominasi oleh substrat pasir
dan lamun dengan nilai rata-rata persentase tutupan masing-masing 44.9% dan
27.9%, sedangkan komponen bentik yang lain mempunyai nilai rata-rata persentase
tutupan yang rendah berkisar antara 0.01% (coralin alga) sampai 8.6% (pecahan
karang). Substrat pasir dan lamun selain mendominasi lokasi penelitian dengan
persentase tutupan yang lebih tinggi dari komponen bentik lainnya, juga
mempunyai frekwensi kehadiran yang lebih banyak dari total 200 stasiun
pengamatan. Substrat pasir dijumpai pada 168 stasiun sedangkan lamun dijumpai
pada 74 stasiun dan komponen bentik yang paling kecil frekwensi kehadiran adalah
coralin alga yang hanya dijumpai pada 2 stasiun pengamatan.
38
Persentase tutupan karang hidup berkisar antara 1-71.6% dengan nilai rata-
rata persentase tutupan 5.3% dengan frekwensi kehadiran sebanyak 53 stasiun
pengamatan. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (MENLH 2001),
maka kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang batu di lokasi
penelitian dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu kondisi buruk, sedang
dan baik. Kategori kondisi buruk dijumpai pada 39 stasiun, kondisi sedang 10
stasiun dan kondisi baik hanya dijumpai pada 4 stasiun. Dengan demikian secara
keseluruhan terumbu karang di lokasi penelitian berada dalam kondisi terancam
karena sebagian besar didominasi oleh kategori kondisi buruk.
Mengacu pada hasil penelitian Turak and DeVantier (2008) menunjukan
bahwa terdapat kemiripan informasi tentang kondisi terumbu karang di lokasi
penelitian dengan status yang mulai terancam keberadaannya. Mereka melaporkan
bahwa secara umum penutupan karang hidup berkurang dan penutupan pecahan
karang meningkat terutama pada area slope atau pada daerah yang lebih dalam,
sedangkan pada area rataan terumbu dengan kedalaman yang lebih dangkal terjadi
peningkatan penutupan alga makro (ekspansi alga). Hasil penelitian ini seperti pada
Gambar 13 juga menunjukan bahwa rata-rata persentase tutupan pecahan karang
dan alga lebih tinggi dari karang hidup dengan nilai persentase tutupan masing-
masing 8.6% dan 6.2%.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya kondisi terumbu karang adalah
pemangsaan biologi oleh bintang laut berduri (Achantaster planchii) dan siput
Drupella meskipun dalam kadar yang lebih rendah. Aktifitas manusia seperti
penggunaan bahan peledak dalam kegiatan penangkapan ikan, penambangan
karang dan budidaya rumput laut (intensitas kegiatan dalam 5 tahun terakhir
meningkat) juga merupakan penyebab menurunnya kondisi terumbu karang.
1 1
0.9 0.9
0.8 0.8
Dissimilarity 0.7 0.7
Dissimilarity
0.6 0.6
0.5 0.5
0.4 0.4
0.3 0.3
0.2 0.2
0.1 0.1
0 0
139
113
110
136
105
149
156
183
182
181
155
154
153
152
145
144
137
133
129
119
117
116
106
104
101
148
103
158
102
134
157
100
115
109
112
140
146
1591
3
123
132
195
194
193
192
191
190
189
188
187
186
185
184
180
179
178
177
176
175
174
172
171
170
169
168
167
166
165
164
163
162
161
142
135
131
128
127
126
124
122
121
120
118
114
111
107
138
147
173
929
5
7
8
6
143
108
664
160
198
196
199
151
832
125
197
200
150
130
141
C7
C1
C5
C6
C4
C9
C3
C8
C2
39
88
96
75
80
78
59
31
32
58
99
56
35
57
97
79
90
55
98
89
60
74
77
61
70
68
69
30
76
81
82
72
91
64
26
63
95
94
93
87
86
85
48
47
46
45
22
18
21
65
25
23
50
38
49
28
37
27
62
20
33
52
19
67
34
24
36
29
51
10
54
11
14
15
12
41
71
13
73
40
43
42
44
17
53
16
84
C10
Gambar 14 Dendogram pengelompokan kelas habitat
Mumby and Harborne (1999) menggunakan nilai kemiripan sebesar 64%
untuk mendefenisikan skema klasifikasi habitat terumbu karang secara hirarki yang
terdiri dari kelas detail, sedang dan kasar. Nilai kemiripan yang diterapkan mampu
mendefenisikan jumlah kelas pada kategori detail sebanyak 9 kelas, kategori sedang
sebanyak 3 kelas dan kategori kasar hanya terdiri dari 2 kelas.
Nilai kemiripan yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 60% mampu
menghasilkan 10 skema klasifikasi habitat terumbu karang. Jumlah sampel tiap
kelas berkisar antara 1 sampai 63. Kelas 5 dan 7 merupakan kelas dengan jumlah
sampel terbanyak yaitu 63 dan 62 sampel, sedangkan kelas 4 9 dan 10 mempunyai
jumlah sampel yang kurang dari 6 sampel (Tabel 9) .
Tabel 9 Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid
Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sampel 10 15 17 2 62 22 63 6 2 1
JB 10 15 17 2 62 22 63 6 2 1
VDK 327.0 625.6 523.3 322.6 18.4 370.0 629.4 167.2 340.3 0.0
JMiC 7.5 10.3 8.9 12.7 1.0 4.2 3.4 6.6 13.0 0.0
RJC 16.3 22.8 20.9 12.7 1.9 16.0 20.6 11.0 13.0 0.0
JMaC 25.0 36.3 37.2 12.7 21.6 37.2 58.8 17.4 13.0 0.0
Keterangan: JB= jumlah bobot; VDK= varian dalam kelas; JMiC= jarak minimum ke
centroid; RJC= Rata-rata jarak ke centroid; JMaC= jarak maksimum ke centroid.
Tahap akhir dalam pengambangan skema klasifiaksi adalah penentuan nama
(labeling) setiap kelas yang disusun oleh komponen bentik berdasarkan nilai
centroid. Mekanisme penamaan kelas dalam skema klasifikasi tidak mempunyai
ketentuan atau standar yang baku. Mumby and Harborne (1999) mendefenisikan
kelas habitat terumbu karang berdasarkan persentase tutupan koloni karang yang
dikombinasikan dengan karakteristik kedalaman perairan. Pendekatan lain yang
digunakan untuk penamaan skema klasifikasi adalah kombinasi antara persen
tutupan komponen bentik dengan zona geomorfologi (Andréfouët et al. 2003).
Penamaan skema klasifikasi analisis pengelompokan berdasarkan nilai
kemiripan dari sepuluh komponen bentik yang terdidentifikasi menggunakan nilai
centroid (Tabel 10). Tidak ditemukan komposisi nilai centroid pada seluruh kelas
40
skema klasifikasi yang hanya disusun oleh satu komponen bentik sehingga
penamaan kelas skema klasifikasi mengacu pada nilai centroid dominan.
Tabel 10 Kelas centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi
Class C G SP MA OL DCA L RCK PK P
1 11.080 2.160 0.240 0.000 4.520 0.520 4.840 8.200 19.560 48.760
2 12.661 1.212 0.409 1.796 3.022 1.716 0.000 14.646 60.415 4.125
3 39.671 5.624 0.824 0.094 8.282 3.471 0.000 15.812 16.188 10.035
4 9.400 1.400 0.200 0.000 2.600 1.200 0.000 82.800 2.000 0.400
5 0.000 0.000 0.000 0.634 0.000 0.000 0.048 0.000 0.075 99.242
6 0.061 0.000 0.061 43.652 0.000 0.485 2.582 0.091 0.364 52.706
7 0.032 0.025 0.000 2.283 0.000 0.000 85.819 0.161 0.165 11.515
8 5.500 4.000 1.067 2.667 0.533 2.800 2.733 1.867 48.900 29.800
9 11.600 2.600 0.200 0.000 1.000 0.200 0.000 47.800 11.400 25.200
10 0.000 0.000 0.000 57.333 0.000 0.000 42.667 0.000 0.000 0.000
30 Alga (Al)
20 Sponge (SP)
10 Gorgonian (G)
0
Karang hidup(KH)
Kelas habitat
60 Rock (RCK)
50 Lamun (L)
Simpulan
Pendahuluan
Data Penelitian
Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi yang digunakan berasal dari tahapan sebelumnya, terdiri
dari 7 kelas yiatu: pasir pecahan karang (PPK), pecahan karang (PK), karang hidup
(KH), pasir (P), Pasir alga (PAl), lamu (L) dan pecahan karang pasir (PKP)
Pengolahan Citra
Tahap pengolahan citra terdiri dari koreksi atmosferik, pemotongan area yang
akan dianalisis, masking wilayah darat dan perairan dalam serta koreksi kolom
perairan. Koreksi atmoferik diaplikasikan dengan FLAASH yang terdapat pada
perangkat lunak ENVI ver 5.1. Koreksi atmosferik diterapkan hanya pada 7 band
multispectral Landsat-8 OLI dan tidak melibatkan band panchromatic (8), Cirrus
(9) dan sensor (TIRS) (10 11).
Citra hasil koreksi atmosferik selanjutnya dipotong (cropping) hanya pada
wilayah kajian dan diterapkan teknik masking untuk menghilangkan wilayah darat
dan laut dalam. Tahap akhir dari pra pengolahan citra adalah koreksi kolom
perairan. Panjang gelombang tergantung pada koefisien pelemahan (attenuation)
radiasi cahaya dengan kedalaman perairan dapat menghambat klasifikasi yang tepat
dari substrat dasar yang sama pada kedalaman yang berbeda (Mumby et al. 1998).
Klasifikasi Citra
Salah satu pendekatan alternativ klasifikasi berbasis piksel adalah klasifikasi
berbasis obyek dan teknik klasifikasi ini dilakukan dengan perangkat lunak
eCognition. Klasifikasi berbasis obyek terdiri dari dua tahap yaitu segmentasi dan
klasifikasi. Tahap segmentasi adalah tahap menghasilkan obyek citra kemudian
46
Pengujian akurasi
Tahap akhir dari proses klasifikasi adalah menguji hasil akurasi pemetaan
yang terdiri dari “overall accuracy (OA)”, “producer accuracy (PA)” dan “user
accuracy (UA)” serta Kappa statistic berdsarkan petunjuk (Congalton and Green
2008).
1800
1600
1400
1200
Luas (Ha)
1000
800
600
400
200
0
SVM RT BY KNN DT
Algoritma Klasifikasi
Gambar 17 Luas rata-rata kelas habitat bentik hasil klasifikasi berbasis obyek
Gambar 18 Peta kelas habitat dasar klasifikasi berbasis obyek dengan algoritma
klasifiasi
Hasil klasifikasi juga menunjukan bahwa kelas pasir, karang hidup dan
pecahan karang sebagian besar terdistribusi pada bagian luar menghadap ke laut
dalam, sedangkan kelas lamun dan pasir makro alga mendominasi bagian tengah
rataan terumbu (reef flat).
Luas kelas habitat bentik dengan algoritma klasifikasi ditentukan oleh
perubahan skala segmentasi. Luas kelas karang hidup menurun pada skala
segmentasi yang lebih besar kecuali hasil klasifikasi dengan algoritma KNN
48
meningkat pada skala 0,2 dan 0,3 kemudian berkurang dengan luasan lebih kecil
pada skala 0,4 dan 0,5 dibandingkan dengan skala 0,1. Luas kelas lamun meningkat
pada skala segmentasi yang lebih besar dengan algoritma SVM dan DT dan
berkurang dengan algoritma RT, sedangkan algoritma BY dan KNN menunjukan
perubahan luasan yang berfluktuatif seiring dengan peningkatan skala segmentasi.
Luas kelas pasir meningkat pada skala segmentasi yang lebih besar dengan
algortima RT dan KNN dan menurun dengan algoritma DT, sangkan algortima
SVM dan BY menunjukan perubahan luas yang berfluktuatif seiring dengan
peningkatan skala segmentasi. Luas kelas pasir makro alga menurun dengan
algortima RT, BY, KNN, DT dan meningkat dengan algoritma SVM seiring dengan
peningkatan skala segmentasi. Luas kelas pasir pecahan karang berfluktuatif sesuai
dengan meningkatnya skala segmentasi dengan algoritma SVM dan BY, meningkat
dengan algoritma RT, KNN dan DT. Luas kelas pecahan karang meningkat dengan
algoritma RT dan KNN kemudian berkurang dengan algoritma SVM, BY dan DT.
Luas kelas pecahan karang pasir mengalami penurunan dengan algoritma RT, KNN
dan DT, sedangkan dengan algoritma SVM dan BY mempunyai nilai yang
berfluktuatif seiring dengan bertambahnya skala segmentasi (Gambar 19).
Gambar 19 Perubahan luas kelas habitat bentik dengan algoritma klasifikasi pada
skala segmentasi berbeda
Klasifikasi Berbasis Piksel Klasifikasi berbasis piksel hanya diterapkan dengan
algoritma MLH dan SVM berkaitan dengan ketersedian algoritma klasifikasi pada
perangkat lunak pengolahan citra. Klasifikasi citra berbasis piksel menunjukan
bahwa peta-peta habitat bentik yang dihasilkan dari algoritma MLH didominasi
oleh kelas lamun, sedangkan dengan algoritma SVM didominasi oleh kelas pasir
makro alga (Gambar 20). Luas total habitat bentik terumbu karang dengan
algoritma MLH adalah 3140,55 Ha dan dengan algoritma SVM luas total sama
dengan teknik klassifikasi berbasis obyek yaitu 4158,45 Ha. Kelas pecahan karang
49
pasir dengan algoritma MLH merupakan kelas dengan luas terendah, sedangkan
dengan algoritma SVMp luas kelas terenda adalah kelas pecahan karang (Gambar
21).
2500
2000
Luas (Ha)
1500
1000
500
0
MLH SVMp
Algoritma Klasifikasi
Akurasi Klasifikasi.
Nilai akurasi antara 60-80% klasifiaksi peta habitat bentik direkomendasikan
untuk inventarisasi sumberdaya dalam pengelolaan terumbu karang (Green et al.
2000). Penelitian ini menggunakan batasan 60% untuk mendefenisikan nilai
minimum overall accuracy serta 50% untuk user accuracy dan producer accuracy.
Overall accuracy teknik klasifiaksi berbasis obyek menunjukan bahwa semakin
besar skala segmentasi yang diterapkan maka nilai akurasi dan jumlah obyek
menurun pada masing-masing algoritma kalsifikasi dengan skala segmentasi yang
berbeda (Gambar 22).
80 203,000
70 202,500
60 202,000
Jumlah Obyek
Akurasi (%)
50
201,500
40
201,000
30
20 200,500
10 200,000
0 199,500
DT0.1
DT0.2
SVM0.1
SVM0.2
SVM0.3
SVM0.4
RT0.1
RT0.2
RT0.3
RT0.4
BEYES0.1
BEYES0.2
BEYES0.3
BEYES0.4
BEYES0.5
KNN0.1
KNN0.2
KNN0.3
KNN0.4
Skala segmentasi algoritma klasifikasi
60 4500
4000
50
3500
40 3000
Akurasi (%)
Luas (Ha)
2500
30
2000
20 1500
1000
10
500
0 0
MLH SVMp
Algoritma klasifikasi
OA Total
Gambar 23 Akurasi klasifikasi peta kabitat bentik dengan teknik klasifikasi berbasis
piksel
80
70
60
Akurasi (%)
50
40
30
20
10
0
SVM RT BEYES KNN DT MLH SVMp
Algoritma
OA Kappa
kelas yang lebih kompleks (lebih dari 6 kelas) kemampuan pemetaan terumbu
karang dengan citra Landsat cenderung memperoleh hasil yang tidak memuaskan
karena keterbatasan resolusi spasial dan spectral (Capolsini et al. 2003).
Klasifikasi habitat bentik terumbu karang dengan jumlah kelas lebih dari 6
pada penelitian ini menunjukan kemampuan yang berbeda untuk setiap teknik yang
diterapkan. Akurasi peta tematik yang dihasilkan dengan teknik klasifikasi berbasis
piksel menggunakan algoritma tradisional MLH cenderung lebih rendah dari
algoritma pembelajaran mesin (machine learning) SVMp. Algoritma SVMp
mampu meningkatkan akurasi peta tematik terumbu karang sebesar 22% dari
algoritma MLH. Faktor utama yang mempengaruhi peningkatan akurasi dengan
algoritma pembelajaran mesin adalah kemampuan penggunaan data dengan ciri
probabilitas empiris yang tidak diketahui. Sedangkan algoritma MLH
membutuhkan data dengan tingkat sebaran normal (Zhang and Xie 2013).
Hasil klasifikasi dengan teknik berbasis obyek mampu meningkatkan akurasi
21-31% dari teknik klasifikasi berbasis piksel disebabkan karena teknik klasifikasi
berbasis obyek memepunyai kemampuan meningkatkan segmentasi obyek untuk
mengakomodasi data dengan tingkat heterogenitas yang tinggi (Lu and Weng
2007). Meskipun demikian penggunaan segmentasi dengan skala yang lebih besar
menyebabkan akurasi menjadi berkurang. Hal ini disebabkan karena prinsip OBIA
menerapkan algoritma multi-resolution segmentation untuk mengelompokan piksel
menjadi obyek yang sama kedalam satu struktur, spectral dan informasi spasial
tambahan seperti bentuk, tekstur dan hubungan kontekstual sehingga efektif
digunakan dalam proses klasifikasi (Blaschke 2010). Algoritma SVM juga bekerja
secara efektif bekerja data dengan tektur resolusi rendah.
Secara keseluruhan hasil klasifikasi dengan citra Landsat 8 OLI dalam
penelitian ini menunjukan peningkatan nilai akurasi dibandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang menggunakan skema klasifikasi lebih dari 6 kelas
menggunakan Landsat ETM+ (Mumby et al. 1997; Andréfouët et al. 2003;
Benfield et al. 2007). Hasil klasifikasi dari sisi PA dan UA menunjukan bahwa
kelas yang disusun oleh komponen habitat bentik terumbu karang dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi tidak mampu dipisahkan dengan baik dari citra satelit dan
penempatan obyek sebagai referensi pengamatan lapangan.
Kemampuan akurasi klasifikasi Landsat 8 OLI dibandingkan dengan generasi
sebelumnya juga dipengaruhi resolusi radiometric sebagi input data dalam proses
klasifikasi. Sebagaimana diketahui bahwa Landsat 8 OLI menyertakan empat band
sinar tampak yang mampu menembus kolom peraian sehingga jumlah komposisi
band DII lebih banyak (6 band) dibandingkan komposisi band DII Landat ETM+
(3 band). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Corcoran et al. 2013),
bahwa semakin banyak jumlah input data yang digunakan dalam proses klasifikasi
berbasis obyek akan meningkatkan akurasi klasifikasi.
Secara keseluruhan algoritma SVM mempunyai kemampuan lebih baik
dibandingkan dengan algoritma yang lain. Algoritma SVM dalam bidang
penginderaan jauh mempunyai kemampuan yang baik untuk menangani data
dengan jumlah yang kecil dan menghasilkan ketepatan akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik klasifikasi tradisional (Mountrakis et al. 2011).
54
Simpulan
Pendahuluan
Metode Penelitian
Data Penelitian
Data citra satelit untuk analisis deteksi perubahan terdiri dari tiga seri yaitu
Landsat 5TM akusisi perekaman 30 Juli 1996, Landsat 7ETM+ 23 Juli 2002 dan
Landsat 8 OLI 17 Oktober 2013. Seluruh scene citra merupakan perekaman data
pada path/row 109/059 yang didownload dari USGS Earth Resources Observation
57
and Science data centre (http://glovis.usgs.gov/). Tipe data citra satelit ini adalah
Level 1T yang secara sistematik telah terkoreksi geometric (Terrain Corrected) dan
diproyeksi ke sistem koordinat UTM zona 52N-WGS84.
Pengumpulan data habitat dasar terumbu karang dilaksanakan selama bulan
Oktober 2012 dengan teknik foto transek (photo transect quadrat) menggunakan
kuadran berukuran 1mx1m yang diletakan pada transek (English et al. 1997).
Setiap titik pengamatan foto transek dilakukan pengambilan gambar sebanyak 10
kuadran pada berbagai variasi habitat bentik terumbu karang di lokasi penelitian.
Seluruh titik pengamatan direkam menggunakan GPS dengan bantuan pelampung
untuk mendapatkan titik yang tetap sebagai titik pengamatan.
Pengolahan Citra
Tahap awal sebelum klasifikasi dan analisis deteksi perubahan adalah pra
pengolahan citra. Band sinar tampak dengan panjang gelombang 400-700mm
digunakan untuk analisis karena penyerapan kolom air rendah pada panjang
gelombang ini. Komposisi band sinar tampak terdiri dari band biru, hijau, merah
dan Inrfa merah dekat. Band coastal blue Landsat 8 OLI tidak disertakan dalam
komposisi band untuk klasifiaksi dan analisis deteksi perubahan karena tidak
terdapat pada Landsat 5TM dan 7ETM+. Koreksi atmosferik diterapkan pada ketiga
seri citra menggunakan modul koreksi atmosferik FLAASH yang terdapat dalam
perangkat lunak ENVI. Citra yang telah terkoreksi atmosferik selanjutnya di batasi
pada lokasi penelitian (subset) untuk diterapkan pada proses klasifikasi dan analisis
deteksi perubahan. Tahap klasifikasi dan analisis deteksi perubahan adalah sebagai
berikut.
Klasifikasi Tak Terbimbing Klasifikasi tak terbimbing (unsupervised
classification) dilakukan pada potongan (subset) citra yang telah dikoreksi
atmosferik. Klasifikasi menggunakan teknik pengelompokan ISODATA sebanyak
10 kelas dengan minimum iterasi spectral 150 dan convergence threshold 0.95.
Hasil klasifikasi sepuluh kelas kemudian dikelompokan kembali (reclass) menjadi
tiga kelas yang terdiri dari kelas darat, laut dalam dan perairan dangkal. Selanjutnya
hasil reclass digunakan untuk menghilangkan area laut dalam dan daratan dalam
proses masking. Pada tahap ini klasifikasi dan masking diterapkan pada citra
Landsat 8 OLI sebagai data referensi untuk proses masking Landsat 5TM dan
Landsat 7ETM+ sehingga diperoleh luasan area analisis yang sama.
Koreksi Kolom Perairan. Panjang gelombang tergantung pada koefisien
pelemahan (attenuation) radiasi cahaya dengan kedalaman perairan dapat
menghambat klasifikasi yang tepat dari substrat dasar yang sama pada kedalaman
yang berbeda (Mumby et al. 1998). Koreksi kolom perairan diterapkan pada
seluruh seri citra Landsat yang digunakan dengan komposisi pasangan band
DII_12, DII_13 dan DII_23.
Normalisasi Citra Secara umum teknik normalisasi citra yang digunakan disebut
penyesuaian histogram (histogram matching) (Richards and Jia 2005). Penyesuaian
histogram akan mengurangi variasi nilai kecerahan diantara piksel kemudian
ditransformasi menjadi histogram citra dengan bentuk tertentu. Pengurangan ini
menghasilkan nilai piksel atau gabungan seluruh piksel yang sama antara dua citra
pada scene yang sama dengan waktu perekaman berbeda (Scheidt et al. 2008).
58
Proses nornalisasi dimisalkan dua citra, S1 dan S2 pada scene yang sama
didefenisikan kedalam n dimensi (n band), dimana S1 merupakan citra acuan untuk
normalisasi S2 sehingga nilai kecerahan x (i,k) piksel I dan band k S2 dengan
persamaan sebagai berikut :
,
, 1 , 1,2 … . .
Dengan demikian dapat dilihat bahwa band k S2 mempunyai nilai standar
deviasi dan mean yang sama dengan band k S1. Oleh karena itu, jika semua nilai k
dapat dhitung maka citra S2 akan mencapai rata-rata vector dan matriks kovarian
yang sama dengan citra S1.
Proses normalisasi diterapkan pada citra yang telah terkoresi kolom perairan
(DII) menggunakan teknik histogram matching yang terdapat pada perangkat lunak
ERDAS IMAGINE 2014. Landsat 5TM dan Landsat 7ETM+ dinormalisasi ke
Landsat 8 OLI sebagai citra referensi karena mempunyai resolusi radiometrik yang
lebih baik dan waktu perekaman yang lebih dekat dengan waktu pengumpulan data
lapangan.
Klasifikasi Terbimbing Klasifikasi terbimbing diterapkan pada citra transformasi
DII yang telah dinormalisasi dengan lima kelas habitat terumbu karang yaitu: kelas
campuran, pasir, lamun, pecahan karang dan karang hidup. Teknik ini hanya
dilakukan pada pasangan band DII yang mempunyai karakteristik spectral yang
mirip setelah proses normalisasi pada semua seri citra. Asumsi yang digunakan
adalah jika karakteristik spectral semua seri citra sama maka piksel-piksel pada
seluruh seri citra akan merepresentasi obyek yang sama pula.
Pengujian Akurasi
Tahap akhir dari proses klasifikasi adalah menguji hasil akurasi pemetaan
yang terdiri dari “overall accuracy (OA)”, “producer accuracy (PA)” dan “user
accuracy (UA)” berdsarkan petunjuk (Congalton and Green 2008). Overall
accuracy merupakan tingkat kebenaran secara keseluruhan antara citra dan data
referensi dalam hal ini adalah peta hasil klasifikasi. UA dihitung untuk menduga
akurasi klasifikasi variasi kelas habitat yang ditentukan dari pengamatan lapangan.
PA dihitung untuk menduga kemampuan setiap kelas yang dihasilkan dari
klasifikasi citra. Pengujian akurasi peta habitat terumbu karang hanya diterapkan
pada citra 2013
Deteksi Perubahan
Analisis deteksi perubahan digunakan untuk mengidentifikasi,
mendiskrisikan dan menghitung perbedaan antara citra pada scene yang sama
dengan waktu perekaman berbeda atau pada kondisi yang berbeda (Lillesand et al.
2004). Analisis deteksi perubahan habitat terumbu karang pada tiga seri citra
menggunakan operasi raster calculator yang terdapat pada aplikasi ArcMap 10
dengan persamaan sederhana sebagai berikut :
∗ 10 ⋯ ∗ 10
dimana, P adalah deteksi perubahan, adalah penutupan habitat ke-i, t adalah seri
data perekaman citra dan n adalah jumlah seri citra.
Oleh karena pada penelitian ini terdapat tiga seri data citra dan lima kelas habitat
terumbu karang, maka bentuk dari analisis deteksi perubahan adalah sebagai beikut:
59
Klasifikasi Citra
Klasifikasi tak terbimbing dengan teknik klasifikasi isodata menghasilkan
kelas-kelas yang dikelompokan berdasarkan nilai spectral citra. Hasil klasifikasi tak
terbimbing menunjukan bahwa kelas-kelas yang terbentuk pada area terumbu
karang bervariasi antara citra 1996, 2002 dan 2013 (Gambar 25). Variasi antar kelas
disebabkan karena kemiripan nilai spectral yang tinggi diantara kelompok kelas
pembentuk area terumbu karang. Teknik ini tidak digunakan untuk
mengidentifikasi kelas yang berbeda pada semua seri citra dan hanya berfungsi
untuk mengidentifikasi area laut dalam, daratan dan terumbu karang sebagai
kawasan yang dianalisis.
Gambar 25 Hasil klasifikasi tak terbimbing citra 1996, 2002 dan 2013
Pemisahan area laut dalam, daratan dan terumbu karang menggunakan hasil
klasifikasi tak terbimbing dengan melakukan pengkelasan kembali (reclass) hasil
60
klasifikasi tak terbimbing menjadi kelas laut dalam, daratan dan terumbu karang.
Dengan menggunakan teknik masking, area terumbu karang dipisahkan dengan
area laut dalam dan daratan yang diterapkan pada citra 2013 sebagai referensi.
Masking area terumbu karang pada citra 2013 selanjutnya diterapkan pada citra
1996 dan 2002 sehingga menghasilkan luas kawasan terumbu karang sebesar
kurang lebih 4085.73 Ha.
Klasifikasi terbimbing citra yang telah dimasking menggunakan seluruh seri
citra yang dikoreksi kolom perairan (transformasi pasangan band DII). Klasifikasi
terbimbing untuk memperoleh sebaran habitat terumbu karang pada seluruh citra
didasarkan pada karakteristik spektral pasangan band DII. Untuk klasifikasi analisis
deteksi perubahan, citra DII 1996 dan 2002 dinormalisai ke citra 2013 sebagai DII
referensi. Hasil analisisi karakteristik spectral pada pasangan band DII hasil
normalisasi disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26 Profil kemiripan nilai tramsformasi band DII citra Landsat 5TM,
Landsat 7ETM terhadap citra referensi Landsat 8 OLI
Ekstraksi nilai spektral penampang melintang vertikal band DII menunjukan
bahwa pasangan band DII biru-hijau memiliki karakteristik yang mirip atau sama
pada seluruh citra (Gambar 27). Nilai spectral pasangan band DII biru-merah hanya
memiliki kemiripan karakteristik spectral pada citra 1999 dan 2002. Sedangkan
nilai spectral pasangan band DII hijau-merah menunjukan hasil karakteristik
spectral yang tidak mirip pada semua citra. Dengan demikian, klasifikasi habitat
ekosistem terumbu karang hanya diterapkan pada pasangan band DII biru-hijau
untuk potensi perubahan kelas habitat dalam kurun waktu 17 tahun.
61
Nilai DII
3
0
1 26 51 76 101 126 151 176 201 226 251 276
Penampang melintang vertikal
Gambar 27 Profil vertical karakteristik spectral pasangan band DII biru-hijau citra
1996, 2002 dan 2013
Klasifikasi habitat terumbu karang pada semua seri citra diterapkan dengan
teknik klasifikasi menggunakan algoritma minimum distance pada lima kelas
habitat. Hasil klasifikasi secara visual dapat dilihat bahwa habitat terumbu karang
disominasi oleh kelas campuran (Gambar 28).
Gambar 28 Klasifikasi habitat terumbu karang tahun 1999, 2002 dan 2013
62
Habitat campuran dan lamun sebagian besar terdistribusi pada bagian tengah
kawasan terumbu karang (reef edge), sedangkan pada area terumbu bagian depan
(front reef) didominasi oleh habitat pasir, karang hidup dan pecahan karang. Pada
area yang dekat dengan daratan pulau-pulau dapat ditemukan sebagian kecil
distribusi semua habitat. Distribusi habitat pasir dan karang hidup pada bagian
depan terumbu terlihat cenderung lebih stabil pada kawasan terumbu karang 1996
dan 2002 dibandingkan dengan habitat lamun pada bagian tengah terumbu (Gambar
29).
Deteksi Perubahan
Analisis deteksi perubahan dalam kurun waktu 17 tahun didasarkan pada
perubahan habitat antara klasifikasi tahun 1996, 2002 dan 2013. Proses perubahan
terdiri dari perubahan luasan masing-masing habitat terumbu karang pada setiap
tahun analisis citra, perubahan satu kelas habitat ke kelas habitat yang lain serta
perubahan luas total area yang berubah dan tidak berubah (tetap). Luas rata-rata
habitat terumbu karang dari yang paling besar secara berturut-turut adalah kelas
campuran 1794,45 Ha (43,6%), lamun 769,77 Ha (18,8%), pasir 617,64 Ha
(15,1%), karang hidup 506,70 Ha (12,4%) dan pecahan karang 451,17 Ha (11,0%).
63
Gambar 30 Perubahan luas habitat terumbu karang tahun 1996, 2002 dan 2003
Perubahan luasan habitat terumbu karang dalam kurun waktu hampir dua
decade menunjukan bahwa luasan habitat campuran bertambah dari tahun 1996 ke
tahun 2013. Luasan habitat pasir dan lamun berkurang dari tahun 1996 ke tahun
2002 dan meningkat pada tahun 2013, bahkan luasan lamun pada tahun 2013 lebih
besar dari tahun 1996. Luasan habitat pecahan karang bertambah pada tahun 2002
dari tahun 1996 dan berkurang pada tahun 2013. Sedangkan luasan habitat karang
hidup berkurang dari tahun 1996 ke tahun 2013 (Gambar 30).
Luas habitat campuran bertambah sebesar 10.2% (182.25 Ha) pada tahun
2002 dan 1,1% (20.6Ha) pada tahun 2013. Luas habitat pasir berkurang 16.5%
(92,43 Ha) pada tahun 2002 dan meningkat 11,8% (74,88 Ha) pada tahun 2013.
Luas habitat lamun berkurang 17,5% (117,99 Ha) pada tahun 2002 dan meningkat
19,8% (166.59 Ha) yahun 2013. Luas habitat pecahan karang meningkat 24,5%
(131,22 Ha) pada tahun 2002 dan berkurang 29,4% (121,77%) pada tahun 2013.
Luas habitat karang hidup berkurang dari tahun 1996 ke 2002 19,9% (103,05 Ha)
dan 37% (140,31Ha) pada tahun 2013 (Tabel 15 dan 16).
Tabel 15 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan 2002
Citra 1996
Citra 2002 Campuran Pasir Lamun Pecahan Karang Karang hidup Total
Campuran 1132.74 56.79 200.7 138.15 83.7 1612.08
Pasir 113.4 401.22 10.98 112.68 16.02 654.3
Lamun 389.43 15.03 261.09 55.62 71.73 792.9
Pecahan Karang 89.28 69.66 64.17 147.51 33.66 404.28
Karang hidup 69.48 19.17 137.97 81.54 314.01 622.17
Total 1794.33 561.87 674.91 535.50 519.12
Luas perubahan 182.25 -92.43 -117.99 131.22 -103.05
Persentase 10.2 -16.5 -17.5 24.5 -19.9
64
Tabel 16 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan 2002
Citra 2002
Citra 2013 Campuran Pasir Lamun Pecahan Karang Karang hidup Total
Campuran 1322.55 63.63 290.7 81.18 36.27 1794.33
Pasir 52.56 392.76 17.55 92.88 6.12 561.87
Lamun 219.42 19.08 299.07 44.37 92.97 674.91
Pecahan Karang 121.86 115.83 97.56 156.78 43.47 535.5
Karang hidup 98.55 45.45 136.62 38.52 199.98 519.12
Total 1814.94 636.75 841.50 413.73 378.81
Luas perubahan 20.61 74.88 166.59 -121.77 -140.31
Persentase 1.1 11.8 19.8 -29.4 -37.0
Gambar 31 Perubahan habitat dan yang tidak mengalami perubahan dalam kurun
waktu 1996-2013
65
Gambar 32 Peta perubahan habitat dalam kurun waktu 1996-2013. (a) klasifikasi
habitat tahun 1993, 2002 dan 2013, (b) perubahan habitat periode 1996-
2002 dan 2002-2013
Akurasi peta habitat terumbu karang yang dihasilkan dari citra Landsat 8 OLI
2013 menggunakan data pengamatan lapangan sebanyak lima kelas habitat
mencapai 69% (OA). Seluruh kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra maupun
sampel training area menunjukan kemampuan dan dapat digunakan dengan baik
dalam proses pemetaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Green et al. (2000),
bahwa nilai akurasi pemetaan antara 60-80% direkomendasikan bagi kegiatan
inventarisasi untuk pemantauan sumberdaya. Nilai pengujian akurasi pemetaan
dalam penelitian ini diasumsikan mampu memberikan informasi pengelolaan
ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian terutama dalam memahami dinamika
perubahan dalam kurun waktu hampir dua dekade terakhir.
Teknik-teknik analisis deteksi perubahan menggunakan citra resolusi
menengah seperti Landsat selalu mengalami kendala yang disebabkan oleh
karakteristik spektral habitat terumbu karang. Habitat karang hidup dan lamun
66
menunjukan karakteristik spektral yang sempit sehingga kedua habitat ini sulit
dipisahkan jika dibandingkan dengan habitat yang lain seperti pecahan karang dan
karang mati. Meskipun analisis deteksi perubahan menggunakan pengukuran nilai
spektral habitat terumbu karang sebagai referensi dalam menghasilkan peta tematik,
teknik ini masih ditemukan pola perubahan kelas habitat dalam kurun waktu
tertentu yang sulit didefenisikan (Andréfouët et al. 2001; Abella et al. 2007).
Klasifikasi untuk analisis deteksi perubahan menggunakan teknik normalisasi
spektral transformasi band DII mampu menghasilkan informasi perubahan habitat
terumbu karang dalam kurun waktu 17 tahun dilokasi penelitian lebih dari 80%
habitat yang berpotensi mengalami perubahan. Kurang dari 20% luasan kelas
habitat masih sulit didefenisikan karena kemungkinan perubahan yang kecil dan
sulit didefenisikan. Yuan and Elvidge (1996), menjelaskan bahwa teknik normalisai
radiometrik adalah prosedur yang digunakan dalam memersiapkan data citra multi
temporal untuk deteksi fenomena perubahan asosiai spektral seperti penutupan
lahan. Teknik ini mengurangi perbedaan numerik antara dua citra yang dipengaruhi
oleh kondisi pada saat perekaman seperti performa sensor, radiasi sinar matahari
dan pengaruh atmosfir.
Perubahan habitat terumbu karang dalam kurun waktu tertentu disebabkan
oleh tekanan dari kegiatan manusia maupun perubahan iklim secara global seperti
peningkatan suhu permukaan laut dalam periode El-Nino. Habitat terumbu karang
yang paling rentan terhadap peningkatan suhu permukaan laut adalah karang hidup
(Wilkinson 2008). Luas habitat karang hidup hasil analisis deteksi perubahan
mengalami penurunan dalam kurun waktu 1996-2002 dan 2002-2013. Dugaan
terhadap fenomena ini adalah terjadinya periode El Nino dalam kurun waktu Maret
1997 sampai April 1998 (Australian Government Berau of Meteorology:
http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml). Hasil analisis deteksi
perubahan untuk tahun 2002-2013 yang menunjukan penurunan drastis habitat
karang hidup sehingga dapat diduga disebabkan oleh intensitas kegiatan manusia
yang semakin tinggi.
Simpulan
Simpulan
68
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abella MAR, CY J, David LT, 2007. Coral Mortality Discrimination And Change
Detection Using Landsat TM And ETM+ Imageries Of Balabac, Palawan. In:
Reyrson RA, editor. 28th Asian Conference on Remote Sensing; 12-16
November 2007; Kuala Lumpur, Asian Association of Remote Sensing. p
270-275.
Adler-Golden SM, Matthew MW, Bernstein LS, Levine RY, Berk A, Richtsmeier
SC, Acharya PK, Anderson GP, Felde JW, Gardner J, 1999. Atmospheric
correction for shortwave spectral imagery based on MODTRAN4. In:
Descour MR, Shen SS, editor. SPIE's International Symposium on Optical
Science, Engineering, and Instrumentation, International Society for Optics
and Photonics. p 61-69.
al-Moussawi HM, Taqi IH. 2013. Dark Object Subtraction of Landsat MSS Satellite
Images. Journal of the University of Babylon, Pure and Applied Sciences.
21(8): 2844-2853.
Andréfouët S. 2008. Coral reef habitat mapping using remote sensing: A user vs
producer perspective. implications for research, management and capacity
building. J Spat Sci. 53(1): 113-129.
Andréfouët S, Guzman H. 2005. Coral reef distribution, status and geomorphology–
biodiversity relationship in Kuna Yala (San Blas) archipelago, Caribbean
Panama. Coral Reefs. 24(1): 31-42.
Andréfouët S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Pérez
R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH, et al. 2003. Multi-site
evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef
environments. Remote Sens Environ. 88(1–2): 128-143.
Andréfouët S, Muller-Karger FE, Hochberg EJ, Hu C, Carder KL. 2001. Change
detection in shallow coral reef environments using Landsat 7 ETM+ data.
Remote Sens Environ. 78(1–2): 150-162.
Andréfouët S, Riegl B. 2004. Remote sensing: a key tool for interdisciplinary
assessment of coral reef processes. Coral Reefs. 23(1): 1-4.
Benfield SL, Guzman HM, Mair JM, Young JAT. 2007. Mapping the distribution
of coral reefs and associated sublittoral habitats in Pacific Panama: a
comparison of optical satellite sensors and classification methodologies. Int J
Remote Sens. 28(22): 5047-5070.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J
Photogramm. 65(1): 2-16.
Capolsini P, Andréfouët S, Rion C, Payri C. 2003. A comparison of Landsat ETM+,
SPOT HRV, Ikonos, ASTER, and airborne MASTER data for coral reef
habitat mapping in South Pacific islands. Canadian Journal of Remote
Sensing. 29(2): 187-200.
Chavez PS. 1996. Image-based atmospheric corrections-revisited and improved.
Photogrammetric engineering and remote sensing. 62(9): 1025-1035.
Chen J, Gong P, He C, Pu R, Shi P. 2003. Land-use/land-cover change detection
using improved change-vector analysis. Photogrammetric Engineering &
Remote Sensing. 69(4): 369-379.
71
Zitello AG, Bauer LJ, Battista TA, Mueler PW, Kendall MS, Monaco ME. 2009.
Shallow-Water Benthic Habitats of St. Jhon, U.S. Virgin Island. NOOA U.S.:
NOOA's Biogeography Branch in Cooperation with U.S. National Park
NOAA's Biogeography Branch in Cooperation with U.S.
LAMPIRAN
77
GROUND_CONTROL_POINT_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_GCP.txt"
REPORT_VERIFY_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_VER.txt"
BROWSE_VERIFY_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_VER.jpg"
METADATA_FILE_NAME = "LT51090591996212DKI00_MTL.txt"
CPF_NAME = "L5CPF19960701_19960930.09"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
CLOUD_COVER = 9.00
IMAGE_QUALITY = 9
SUN_AZIMUTH = 63.67060329
SUN_ELEVATION = 47.69731193
GROUND_CONTROL_POINTS_MODEL = 68
GEOMETRIC_RMSE_MODEL = 5.298
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_Y = 4.255
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_X = 3.157
GROUND_CONTROL_POINTS_VERIFY = 488
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY = 10.679
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_UL = 5.315
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_UR = 14.652
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_LL = 8.616
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_LR = 14.157
END_GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 193.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_1 = -1.520
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 365.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_2 = -2.840
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 264.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_3 = -1.170
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 221.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_4 = -1.510
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 30.200
RADIANCE_MINIMUM_BAND_5 = -0.370
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 15.303
RADIANCE_MINIMUM_BAND_6 = 1.238
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 16.500
RADIANCE_MINIMUM_BAND_7 = -0.150
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_1 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_1 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_2 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_2 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_3 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_3 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_4 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_4 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_5 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_5 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_6 = 255
79
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_6 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_7 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_7 = 1
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
CORRECTION_GAIN_BAND_1 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_2 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_3 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_4 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_5 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_6 = "INTERNAL_CALIBRATION"
CORRECTION_GAIN_BAND_7 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_1 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_2 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_3 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_4 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_5 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_6 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_7 = "CPF"
END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
RADIANCE_MULT_BAND_1 = 0.766
RADIANCE_MULT_BAND_2 = 1.448
RADIANCE_MULT_BAND_3 = 1.044
RADIANCE_MULT_BAND_4 = 0.876
RADIANCE_MULT_BAND_5 = 0.120
RADIANCE_MULT_BAND_6 = 0.055
RADIANCE_MULT_BAND_7 = 0.066
RADIANCE_ADD_BAND_1 = -2.28583
RADIANCE_ADD_BAND_2 = -4.28819
RADIANCE_ADD_BAND_3 = -2.21398
RADIANCE_ADD_BAND_4 = -2.38602
RADIANCE_ADD_BAND_5 = -0.49035
RADIANCE_ADD_BAND_6 = 1.18243
RADIANCE_ADD_BAND_7 = -0.21555
END_GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
MAP_PROJECTION = "UTM"
DATUM = "WGS84"
ELLIPSOID = "WGS84"
UTM_ZONE = 52
GRID_CELL_SIZE_REFLECTIVE = 30.00
GRID_CELL_SIZE_THERMAL = 30.00
ORIENTATION = "NORTH_UP"
RESAMPLING_OPTION = "CUBIC_CONVOLUTION"
MAP_PROJECTION_L0RA = "NA"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END
80
Landsat 7ETM+
GROUP = L1_METADATA_FILE
GROUP = METADATA_FILE_INFO
ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological
Survey"
REQUEST_ID = "0101010139567_00023"
PRODUCT_CREATION_TIME = 2010-10-15T10:39:50Z
STATION_ID = "EDC"
LANDSAT7_XBAND = "2"
GROUND_STATION = "EDC"
LPS_PROCESSOR_NUMBER = 1
DATEHOUR_CONTACT_PERIOD = "0220404"
SUBINTERVAL_NUMBER = "04"
END_GROUP = METADATA_FILE_INFO
GROUP = PRODUCT_METADATA
PRODUCT_TYPE = "L1T"
ELEVATION_SOURCE = "GLS2000"
PROCESSING_SOFTWARE = "LPGS_11.2.0"
EPHEMERIS_TYPE = "DEFINITIVE"
SPACECRAFT_ID = "Landsat7"
SENSOR_ID = "ETM+"
SENSOR_MODE = "SAM"
ACQUISITION_DATE = 2002-07-23
SCENE_CENTER_SCAN_TIME = 01:26:00.5483055Z
WRS_PATH = 109
STARTING_ROW = 59
ENDING_ROW = 59
BAND_COMBINATION = "123456678"
PRODUCT_UL_CORNER_LAT = 2.4015013
PRODUCT_UL_CORNER_LON = 127.7813247
PRODUCT_UR_CORNER_LAT = 2.4017076
PRODUCT_UR_CORNER_LON = 129.9614770
PRODUCT_LL_CORNER_LAT = 0.4965845
PRODUCT_LL_CORNER_LON = 127.7823426
PRODUCT_LR_CORNER_LAT = 0.4966271
PRODUCT_LR_CORNER_LON = 129.9606738
PRODUCT_UL_CORNER_MAPX = 364500.000
PRODUCT_UL_CORNER_MAPY = 265500.000
PRODUCT_UR_CORNER_MAPX = 606900.000
PRODUCT_UR_CORNER_MAPY = 265500.000
PRODUCT_LL_CORNER_MAPX = 364500.000
PRODUCT_LL_CORNER_MAPY = 54900.000
PRODUCT_LR_CORNER_MAPX = 606900.000
PRODUCT_LR_CORNER_MAPY = 54900.000
PRODUCT_SAMPLES_PAN = 16161
PRODUCT_LINES_PAN = 14041
PRODUCT_SAMPLES_REF = 8081
PRODUCT_LINES_REF = 7021
PRODUCT_SAMPLES_THM = 8081
PRODUCT_LINES_THM = 7021
BAND1_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B10.TIF"
BAND2_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B20.TIF"
BAND3_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B30.TIF"
81
BAND4_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B40.TIF"
BAND5_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B50.TIF"
BAND61_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B61.TIF"
BAND62_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B62.TIF"
BAND7_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B70.TIF"
BAND8_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B80.TIF"
GCP_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_GCP.txt"
METADATA_L1_FILE_NAME =
"L71109059_05920020723_MTL.txt"
CPF_FILE_NAME = "L7CPF20020701_20020930_06"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
LMAX_BAND1 = 191.600
LMIN_BAND1 = -6.200
LMAX_BAND2 = 196.500
LMIN_BAND2 = -6.400
LMAX_BAND3 = 152.900
LMIN_BAND3 = -5.000
LMAX_BAND4 = 241.100
LMIN_BAND4 = -5.100
LMAX_BAND5 = 31.060
LMIN_BAND5 = -1.000
LMAX_BAND61 = 17.040
LMIN_BAND61 = 0.000
LMAX_BAND62 = 12.650
LMIN_BAND62 = 3.200
LMAX_BAND7 = 10.800
LMIN_BAND7 = -0.350
LMAX_BAND8 = 243.100
LMIN_BAND8 = -4.700
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QCALMAX_BAND1 = 255.0
QCALMIN_BAND1 = 1.0
QCALMAX_BAND2 = 255.0
QCALMIN_BAND2 = 1.0
QCALMAX_BAND3 = 255.0
QCALMIN_BAND3 = 1.0
QCALMAX_BAND4 = 255.0
QCALMIN_BAND4 = 1.0
QCALMAX_BAND5 = 255.0
QCALMIN_BAND5 = 1.0
QCALMAX_BAND61 = 255.0
QCALMIN_BAND61 = 1.0
QCALMAX_BAND62 = 255.0
QCALMIN_BAND62 = 1.0
QCALMAX_BAND7 = 255.0
QCALMIN_BAND7 = 1.0
QCALMAX_BAND8 = 255.0
QCALMIN_BAND8 = 1.0
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND1 = "CPF"
82
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND2 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND3 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND4 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND5 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND61 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND62 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND7 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND8 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_BIAS = "IC"
BAND1_GAIN = "H"
BAND2_GAIN = "H"
BAND3_GAIN = "H"
BAND4_GAIN = "L"
BAND5_GAIN = "H"
BAND6_GAIN1 = "L"
BAND6_GAIN2 = "H"
BAND7_GAIN = "H"
BAND8_GAIN = "L"
BAND1_GAIN_CHANGE = "0"
BAND2_GAIN_CHANGE = "0"
BAND3_GAIN_CHANGE = "0"
BAND4_GAIN_CHANGE = "0"
BAND5_GAIN_CHANGE = "0"
BAND6_GAIN_CHANGE1 = "0"
BAND6_GAIN_CHANGE2 = "0"
BAND7_GAIN_CHANGE = "0"
BAND8_GAIN_CHANGE = "0"
BAND1_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND2_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND3_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND4_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND5_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND6_SL_GAIN_CHANGE1 = 0
BAND6_SL_GAIN_CHANGE2 = 0
BAND7_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND8_SL_GAIN_CHANGE = 0
SUN_AZIMUTH = 56.4187609
SUN_ELEVATION = 54.1508253
OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF"
END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
GROUP = CORRECTIONS_APPLIED
STRIPING_BAND1 = "NONE"
STRIPING_BAND2 = "NONE"
STRIPING_BAND3 = "NONE"
STRIPING_BAND4 = "NONE"
STRIPING_BAND5 = "NONE"
STRIPING_BAND61 = "NONE"
STRIPING_BAND62 = "NONE"
STRIPING_BAND7 = "NONE"
STRIPING_BAND8 = "NONE"
BANDING = "N"
COHERENT_NOISE = "Y"
MEMORY_EFFECT = "N"
83
SCAN_CORRELATED_SHIFT = "N"
INOPERABLE_DETECTORS = "N"
DROPPED_LINES = "N"
END_GROUP = CORRECTIONS_APPLIED
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
REFERENCE_DATUM = "WGS84"
REFERENCE_ELLIPSOID = "WGS84"
GRID_CELL_SIZE_PAN = 15.000
GRID_CELL_SIZE_THM = 30.000
GRID_CELL_SIZE_REF = 30.000
ORIENTATION = "NUP"
RESAMPLING_OPTION = "CC"
MAP_PROJECTION = "UTM"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
GROUP = UTM_PARAMETERS
ZONE_NUMBER = 52
END_GROUP = UTM_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END
Landsat 8OLI
GROUP = L1_METADATA_FILE
GROUP = METADATA_FILE_INFO
ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological
Survey"
REQUEST_ID = "0101402246103_00420"
LANDSAT_SCENE_ID = "LC81090592013290LGN00"
FILE_DATE = 2014-02-24T21:56:46Z
STATION_ID = "LGN"
PROCESSING_SOFTWARE_VERSION = "LPGS_2.3.0"
END_GROUP = METADATA_FILE_INFO
GROUP = PRODUCT_METADATA
DATA_TYPE = "L1T"
ELEVATION_SOURCE = "GLS2000"
OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF"
SPACECRAFT_ID = "LANDSAT_8"
SENSOR_ID = "OLI_TIRS"
WRS_PATH = 109
WRS_ROW = 59
NADIR_OFFNADIR = "NADIR"
TARGET_WRS_PATH = 109
TARGET_WRS_ROW = 59
DATE_ACQUIRED = 2013-10-17
SCENE_CENTER_TIME = 01:39:36.0420519Z
CORNER_UL_LAT_PRODUCT = 2.49653
CORNER_UL_LON_PRODUCT = 127.83790
CORNER_UR_LAT_PRODUCT = 2.49674
CORNER_UR_LON_PRODUCT = 129.88330
CORNER_LL_LAT_PRODUCT = 0.39076
CORNER_LL_LON_PRODUCT = 127.83897
CORNER_LR_LAT_PRODUCT = 0.39080
CORNER_LR_LON_PRODUCT = 129.88248
CORNER_UL_PROJECTION_X_PRODUCT = 370800.000
84
CORNER_UL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 276000.000
CORNER_UR_PROJECTION_X_PRODUCT = 598200.000
CORNER_UR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 276000.000
CORNER_LL_PROJECTION_X_PRODUCT = 370800.000
CORNER_LL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 43200.000
CORNER_LR_PROJECTION_X_PRODUCT = 598200.000
CORNER_LR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 43200.000
PANCHROMATIC_LINES = 15521
PANCHROMATIC_SAMPLES = 15161
REFLECTIVE_LINES = 7761
REFLECTIVE_SAMPLES = 7581
THERMAL_LINES = 7761
THERMAL_SAMPLES = 7581
FILE_NAME_BAND_1 = "LC81090592013290LGN00_B1.TIF"
FILE_NAME_BAND_2 = "LC81090592013290LGN00_B2.TIF"
FILE_NAME_BAND_3 = "LC81090592013290LGN00_B3.TIF"
FILE_NAME_BAND_4 = "LC81090592013290LGN00_B4.TIF"
FILE_NAME_BAND_5 = "LC81090592013290LGN00_B5.TIF"
FILE_NAME_BAND_6 = "LC81090592013290LGN00_B6.TIF"
FILE_NAME_BAND_7 = "LC81090592013290LGN00_B7.TIF"
FILE_NAME_BAND_8 = "LC81090592013290LGN00_B8.TIF"
FILE_NAME_BAND_9 = "LC81090592013290LGN00_B9.TIF"
FILE_NAME_BAND_10 = "LC81090592013290LGN00_B10.TIF"
FILE_NAME_BAND_11 = "LC81090592013290LGN00_B11.TIF"
FILE_NAME_BAND_QUALITY =
"LC81090592013290LGN00_BQA.TIF"
METADATA_FILE_NAME = "LC81090592013290LGN00_MTL.txt"
BPF_NAME_OLI =
"LO8BPF20131017011906_20131017015030.01"
BPF_NAME_TIRS =
"LT8BPF20131017011512_20131017015123.01"
CPF_NAME = "L8CPF20131001_20131231.04"
RLUT_FILE_NAME = "L8RLUT20130211_20431231v09.h5"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
CLOUD_COVER = 5.84
IMAGE_QUALITY_OLI = 9
IMAGE_QUALITY_TIRS = 9
ROLL_ANGLE = -0.001
SUN_AZIMUTH = 115.83933512
SUN_ELEVATION = 65.08346181
EARTH_SUN_DISTANCE = 0.9966035
GROUND_CONTROL_POINTS_MODEL = 138
GEOMETRIC_RMSE_MODEL = 8.922
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_Y = 6.364
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_X = 6.252
END_GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 765.25220
RADIANCE_MINIMUM_BAND_1 = -63.19477
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 783.62756
RADIANCE_MINIMUM_BAND_2 = -64.71222
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 722.10614
85
RADIANCE_MINIMUM_BAND_3 = -59.63176
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 608.92059
RADIANCE_MINIMUM_BAND_4 = -50.28486
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 372.62903
RADIANCE_MINIMUM_BAND_5 = -30.77183
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 92.66945
RADIANCE_MINIMUM_BAND_6 = -7.65267
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 31.23457
RADIANCE_MINIMUM_BAND_7 = -2.57936
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 689.13049
RADIANCE_MINIMUM_BAND_8 = -56.90862
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 145.63187
RADIANCE_MINIMUM_BAND_9 = -12.02633
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_10 = 22.00180
RADIANCE_MINIMUM_BAND_10 = 0.10033
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_11 = 22.00180
RADIANCE_MINIMUM_BAND_11 = 0.10033
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_1 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_2 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_3 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_4 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_5 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_6 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_7 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_8 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_9 = -0.099980
END_GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_1 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_1 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_2 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_2 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_3 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_3 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_4 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_4 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_5 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_5 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_6 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_6 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_7 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_7 = 1
86
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_8 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_8 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_9 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_9 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_10 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_10 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_11 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_11 = 1
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
RADIANCE_MULT_BAND_1 = 1.2641E-02
RADIANCE_MULT_BAND_2 = 1.2945E-02
RADIANCE_MULT_BAND_3 = 1.1929E-02
RADIANCE_MULT_BAND_4 = 1.0059E-02
RADIANCE_MULT_BAND_5 = 6.1556E-03
RADIANCE_MULT_BAND_6 = 1.5308E-03
RADIANCE_MULT_BAND_7 = 5.1598E-04
RADIANCE_MULT_BAND_8 = 1.1384E-02
RADIANCE_MULT_BAND_9 = 2.4057E-03
RADIANCE_MULT_BAND_10 = 3.3420E-04
RADIANCE_MULT_BAND_11 = 3.3420E-04
RADIANCE_ADD_BAND_1 = -63.20742
RADIANCE_ADD_BAND_2 = -64.72517
RADIANCE_ADD_BAND_3 = -59.64369
RADIANCE_ADD_BAND_4 = -50.29492
RADIANCE_ADD_BAND_5 = -30.77798
RADIANCE_ADD_BAND_6 = -7.65420
RADIANCE_ADD_BAND_7 = -2.57988
RADIANCE_ADD_BAND_8 = -56.92000
RADIANCE_ADD_BAND_9 = -12.02873
RADIANCE_ADD_BAND_10 = 0.10000
RADIANCE_ADD_BAND_11 = 0.10000
REFLECTANCE_MULT_BAND_1 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_2 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_3 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_4 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_5 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_6 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_7 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_8 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_9 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_ADD_BAND_1 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_2 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_3 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_4 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_5 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_6 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_7 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_8 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_9 = -0.100000
END_GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS
K1_CONSTANT_BAND_10 = 774.89
87
K1_CONSTANT_BAND_11 = 480.89
K2_CONSTANT_BAND_10 = 1321.08
K2_CONSTANT_BAND_11 = 1201.14
END_GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
MAP_PROJECTION = "UTM"
DATUM = "WGS84"
ELLIPSOID = "WGS84"
UTM_ZONE = 52
GRID_CELL_SIZE_PANCHROMATIC = 15.00
GRID_CELL_SIZE_REFLECTIVE = 30.00
GRID_CELL_SIZE_THERMAL = 30.00
ORIENTATION = "NORTH_UP"
RESAMPLING_OPTION = "CUBIC_CONVOLUTION"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END
88