Anda di halaman 1dari 106

ANALISIS CITRA SATELIT UNTUK KLASIFIKASI

EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU MOROTAI

NURHALIS WAHIDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Klasifikasi Mangrove


Berbasis Obyek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit di Sungai Kembung,
Bengkalis, Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015

Nurhalis Wahiddin
NIM C562100031
ii

RINGKASAN

NURHALIS WAHIDDIN. Analisis Citra Satelit untuk Klasifikasi Ekosistem


Terumbu Karang di Pulau Morotai. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR,
INDRA JAYA, SAM WOUTHUYZEN dan BISMAN NABABAN
iii
SUMMARY

NURHALIS WAHIDDIN. Analysis of Sattelite Imagery for Coral Reef Ecosystem


Classification in Morotai Island. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR,
INDRA JAYA, SAM WOUTHUYZEN dan BISMAN NABABAN
v
vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS CITRA SATELIT UNTUK KLASIFIKASI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU MOROTAI

NURHALIS WAHIDDIN

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii

Ujian Tertutup
Penguji pada Ujian Tertutup:
1 ………..
2 ……….

Ujian Terbuka
Penguji pada Ujian Terbuka:
1 ………..
………..
Judul Tesis : Analisis Citra Satelit untuk Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang
di Pulau Morotai
Nama : Nurhalis Wahiddin
NIM : C562100031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc


Ketua Anggota

Dr Ir Sam Wouthyuzen, MSc APU Dr Ir Bisman Nababan MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Kelautan

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


(tanggal pelaksanaan ujian disertasi) (tanggal penandatanganan tesis oleh
Dekan Sekolah Pascasarjana)
x
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi dengan judul “Analisis
Citra Satelit untuk Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Morotai” ini
dapat diselesaikan.
Tahapan yang panjang dalam penyusunan karya ilmiah ini dimulai dari bulan
Oktober 2011 sampai pada saat ini meskipun dihadapkan dengan beberapa kendala,
namun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada beberapa
pihak sebagai berikut:
1 Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA; Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc; Dr Ir Sam
Wouthuyzen, MSc APU, Dr Ir Bisman Nababan, MSc selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan disertasi.
2 ………………… dan ………………….. sebagai dosen penguji pada ujian
tertutup.
3 ………………… dan ………………….. sebagai dosen penguji pada ujian
terbuka.
4 Dr Ir Wayan, MSc selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan
Dr Jonson Lumban Gaol, MSi selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk
menyelesaikan disertasi ini.
5 Seluruh Dosen dan Administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
FPIK, IPB
6 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
7 Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
8 Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa studi
lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor.
9 Civitas akademika Universitas Khairun Ternate.
10 Seluruh pimpinan dan Staf Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Khairun Ternate.
11 PT. ANTAM Tbk, Yayasan SUPERSEMAR atas partisipasi bantuan dana
penyelesaian studi.
12 Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai.
13 Rekan-rekan mahasiswa TEK khususnya Angkatan tahun 2010/2011
14 Ayahanda Hasan Wahidin (Almarhum) dan ibunda Aisyah Musa serta saudara-
saudaru tercinta Nurastuty Wahidin dan Abdul Hamid Wahidin atas segala
limpahan kasih sayang, doa serta dukungan penulis hingga dapat
menyelesaikan studi.
15 Istri tercinta Irma Aulat, ananda Ummy Fatihah Halissima, Akbar Dhany
Ariposa dan Fitril Hasanah yang selalu memberikan dukungan dan doa serta
keikhlasannya untuk melewati saat-saat kita tidak bersama, , hasil yang telah
dicapai ku persembahkan kepada kalian, terima kasih.
16 Mertua, Aulat Idris dan Norma serta keluarga besar yang telah memberikan
doa selama penulis mempuh pendidikan.
xii

17 Rommi Jhonnerie, Domei Loweis Moniharapon, Muhammad Syahdan, Imran


Taeran, Amirul Karman, Ihsan, Muhammad Sulaiman, Didik Santoso, Dion
Bawole, Ismawan, Chaliluddin, Catur Sarwanto, Amirul Karman,
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

Nurhalis Wahiddin
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan dan Manfaat 6
Kerangka Pemikiran 6
2 METODOLOGI UMUM 9
Lokasi dan Waktu 9
Alat dan Bahan 10
Persiapan Data 13
Pra Pengolahan Data Penginderaan Jauh 13
Teknik Pengumpulan Data 20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 26
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI HABITAT BENTIK
TERUMBU KARANG 32
Latar Belakang 32
Metode Penelitian 34
Hasil dan Pembahasan 36
Simpulan 42
4 KLASIFIKASI PEMETAAN HABITAT BENTIK TERUMBU KARANG 43
Pendahuluan 43
Data Penelitian 44
Hasil dan Pembahasan 46
Simpulan 54
5 DETEKSI PERUBAHAN HABITAT TERUMBU KARANG
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI PULAU MOROTAI 55
Pendahuluan 55
Metode Penelitian 56
Hasil dan Pembahasan 59
Simpulan 66
6 PEMBAHASAN UMUM 67
Simpulan 67
Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN 76
DAFTAR TABEL

1 Peralatan penelitian 10
2 Karakteristik citra Landsat 11
3 Karakteristik citra Orbview-3 12
4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan
modul FLAASH 15
5 Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat 18
6 Informasi data PVL citra Orbview-3 18
7 Skema klasifikasi 21
8 Kategori lifeform 23
9 Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid 39
10 Kelas centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi 40
11 Karakteristik citra Landsat 8 OLI 45
12 Perbandingan overall accuracy peta habitat bentik 52
13 Perbandingan akulasi klasifikasi 52
14 Uji akurasi peta habitat terumbu karang citra 2013 62
15 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan
2002 63
16 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan
2002 64
17 Kelompok deteksi perubahan kelas habitat 65

DAFTAR GAMBAR

1 Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara Halmahera


dan Morotai 4
2 Diagram alir penelitian 8
3 Lokasi penelitian 9
4 Scene citra Landsat Path 109 Row 059 11
5 Citra multispektral Orbview-3 12
6 Proses koreksi kolom perairan dengan tahap-tahap menghasilkan DII
substrat pasir dan lamun 19
7 Penentuan titik pengamatan lapangan 24
8 Teknik line transek foto quadrat 25
9 Spesifikasi titik acak (a) simple random (b) stratified random (c)
uniform grid dan (d) equally space grid 27
10 Tahapan prosedur penelitian 31
11 Sistem tumpang susun titik analisis data pada foto kuadrat 34
12 Tahap dan prosedur analisis skema klasifikasi 36
13 Persentase tutupan dan frekwensi kehadiran komponen bentik 37
14 Dendogram pengelompokan kelas habitat 39
15 Persentase centroid koponen bentik dalam menyusun skema klasifikasi
habitat 41
16 Kelas habitat skema klasifikasi 41
xv

17 Luas rata-rata kelas habitat bentik hasil klasifikasi berbasis obyek 47


18 Peta kelas habitat dasar klasifikasi berbasis obyek dengan algoritma
klasifiasi 47
19 Perubahan luas kelas habitat bentik dengan algoritma klasifikasi pada
skala segmentasi berbeda 48
20 Luas habitat bentik klasifikasi berbasis piksel 49
21 Peta habitat bentik klasifikasi berbasis piksel 49
22 Akurasi teknik klasifikasi berbasis obyek algoritma klasifikasi dengan
skala segmentasi yang berbeda 50
23 Akurasi klasifikasi peta kabitat bentik dengan teknik klasifikasi berbasis
piksel 51
24 Perbandingan overall accuracy peta habitat bentik 51
25 Hasil klasifikasi tak terbimbing citra 1996, 2002 dan 2013 59
26 Profil kemiripan nilai tramsformasi band DII citra Landsat 5TM,
Landsat 7ETM terhadap citra referensi Landsat 8 OLI 60
27 Profil vertical karakteristik spectral pasangan band DII biru-hijau citra
1996, 2002 dan 2013 61
28 Klasifikasi habitat terumbu karang tahun 1999, 2002 dan 2013 61
29 Dinamika beberapa kelas habitat 62
30 Perubahan luas habitat terumbu karang tahun 1996, 2002 dan 2003 63
31 Perubahan habitat dan yang tidak mengalami perubahan dalam kurun
waktu 1996-2013 64
32 Peta perubahan habitat dalam kurun waktu 1996-2013. (a) klasifikasi
habitat tahun 1993, 2002 dan 2013, (b) perubahan habitat periode 1996-
2002 dan 2002-2013 65

DAFTAR LAMPIRAN

1 Meta data citra Landsat 77


2 Meta data citra Orbview 88
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komunitas terumbu karang dalam beberapa dekade terakhir banyak mendapat


tekanan baik dalam skala lokal, regional maupun global sebagai akibat dari
perubahan iklim dan tekanan akibat kegiatan manusia. Penginderaan jauh dengan
data satelit dan foto udara merupakan salah satu teknik yang memungkinkan untuk
mengukur efek dari tekanan tersebut secara tepat pada skala spasial yang besar.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, penginderaan jauh terumbu karang telah
berkembang pesat, meskipun teknologi ini belum cukup mampu untuk menilai
dinamika ekosistem terumbu karang yang kompleks (Xu and Zhao 2014).
Perubahan dinamis dari struktur ekosistem terumbu karang dipengaruhi oleh
proses lingkungan sekitarnya dalam skala spasial, sehingga metode-metode
pemantauan konvensional menunjukan hasil yang tidak memadai dalam kasus
penelitian skala besar seperti dampak perubahan iklim global terhadap ekosistem
terumbu karang, karena kurangnya akses data dalam waktu yang relatif singkat
(Hatcher 1997). Kemunculan dan perkembangan teknologi penginderaan jauh
menyediakan suatu pendekatan baru untuk pemantauan daerah ekosistem terumbu
karang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kecepatan mengamati daerah yang
relatif besar, pengamtan dapat dilakukan secara berulang sehingga menjadi sarana
pelengkap penting untuk metode konvensional (Mumby et al. 2004).
Perolehan data penginderaan jauh dari hasil perekaman wahana satelit
mampu memberikan informasi secara kuantitatif untuk berbagai tujuan, termasuk
didalamnya penilaian pemetaan habitat perairan dangkal. Teknologi penginderaan
jauh mempunyai keunggulan untuk memetakan habitat perairan dangkal, karena
kemampuannya melakukan monitoring dan inventarisasi pada areal yang luas dan
repetitif, biaya operasional relatif murah, dan resiko sangat kecil (Green et al.
2000).Penginderaan jauh mampu menyediakan cakupan perekaman secara sinoptik
dalam skala luas yang tidak dapat dijangkau oleh pengamatan lapangan yang
terbatas secara spasial dan sangat mengkonsumsi banyak waktu. Selain itu
penginderaan jauh juga mampu menyediakan data secara temporal yang dapat
digunakan untuk pendugaan periode perubahan dan dinamika komunitas
lingkungan terumbu karang (Klemas 2011).
Berbagai satelit penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan dan terbilang
tidak asing lagi untuk pemetaan habitat perairan dangkal terumbu karang. Namun
dibalik kuantitas pemanfaatan teknologi tersebut terdapat kesulitan dan
permasalahan khusus, yaitu kesulitan pada lingkungan bawah air yang dipengaruhi
variabel kedalaman pada reflektansi dasar perairan (Mumby et al. 1997).
Beberapa penelitian telah menghasilkan perbandingan pengujian akurasi
peta-peta terumbu karang yang dihasilkan dari citra satelit dan foto udara dengan
karakteristik sensor yang berbeda seperti resolusi spasial dan spectral atau pada
kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian-penelitian ini difokuskan pada
perbedaan antara akurasi yang diturunkan dari penggunaan citra hyperspectral dan
multi-spectral antara citra resolusi tinggi dan rendah, antara citra yang tidak
dikoreksi dengan citra yang diproses untuk menghitung pengaruh pelemahan kolom
perairan (Mumby and Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003).
2

Variasi lingkungan fisik dan faktor rancangan sensor yang mendeterminasi


secara ekologi kompleksitas spasial terumbu karang merupakan tantangan yang
signifikan untuk tujuan penginderaan jauh. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya
didasarkan pada resolusi spasial dan sensor yang tidak secara langsung
menggambarkan hubungan resolusi spasial sensor pada skala dan pola dari habitat
dasar ekosistem terumbu karang. Interaksi resolusi spasial sensor dan sebaran
ukuran habitat dasar terumbu karang akan mengontrol distribusi frekwensi
campuran sub-piksel pada citra yang digunakan karena tingkat variabel campuran
spectral akan mempengaruhi hasil klasifikasi dan pengujian akurasi (Hedley et al.
2004).
Dalam pendekatan yang umum pemantauan lingkungan terumbu karang,
ketersediaan data pengamatan lapangan menjadi sangat terbatas. Hal ini disebabkan
karena pengamatan lapangan membutuhkan jumlah besar data transek untuk
pemantauan lingkungan terumbu karang yang luas. Dengan demikian akan
membutuhkan biaya dan tenaga yang intensif sehingga menjadi sangat sulit jika
lokasi terumbu karang berada pada daerah yang sulit dijangkau. Penginderaan jauh
merupakan pendekatan yang efektif untuk melengkapi keterbatasan pengamatan
lapangan meskipun pemantauan terumbu karang dilakukan pada daerah yang sulit
dijangkau. Oleh karena itu penggunaan data penginderaan jauh sangat
memungkinkan untuk pemantauan status lingkungan terumbu karang (Green et al.
2000).
Informasi tentang status kesehatan terumbu karang merupakan hal yang
sangat penting untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ini.
Sangat disayangkan dalam banyak kasus ketersediaan informasi hanya terdapat
dalam jumlah yang kecil. Dalam hal ini The International Coral Reef Initiative
(ICRI) menyusun suatu kerangka kerja dengan penekanan pada kebutuhan
penelitian dan pemantauan status terumbu karang khususnya di perairan tropis
(Wilkinson 2008).
Pemilihan metode sangat tergantung pada pertanyaan-pertanyaan spesifik
yang harus dijawab dengan berbagai variasi teknik yang dikembangkan dalam satu
dekade terakhir untuk pendugaan habitat terumbu karang (English et al. 1997).
Secara konvensional deskripsi tentang habitat tergantung pada estimasi-estimasi
variabel lingkungan menggunakan peralatan scuba diving atau yang berkembang
pesat saat ini yaitu penggunaan robot bawah air seperti ROV (remote operated
vehicles) dan dalam skala yang lebih besar menggunakan teknologi penginderaan
jauh ((Andréfouët and Riegl 2004; Lam et al. 2006).
Penginderaan jauh menyediakan cara yang efektif untuk mengamati dan
memantau terumbu karang dangkal, untuk menandai perbedaan struktur antar-
karang, dan untuk pemetaan intra-habitat terumbu karang dan zonasi, menilai
variasi bathymetric dan peta keragaman. Peningkatan saat ini aplikasi penginderaan
jauh menargetkan lingkungan karang yang mencerminkan berkembangnya
kekhawatiran tentang perubahan-perubahan drastis dan negatif yang terjadi di
terumbu karang selama tiga dekade karena tekanan dari aktfitas anthropogenic
(misalnya polusi, perikanan, dan pengembangan pantai) atau penyebab secara alami
misalnya pemanasan global (Andréfouët et al. 2001).
Klasifikasi dan anlisis citra penginderaan jauh telah menjadi konsep dalam
mengekstraksi informasi tertentu, memprediksi perubahan secara dinamis,
pemetaan tematik dan membangun basis data penginderaan jauh untuk
3

diimplementasikan pada keperluan tertentu. Seiring dengan perkembangan


teknologi komputer, teknologi analisis digital citra penginderaan jauh juga
mengalami perkembangan dari interpretasi visual ke klasifikasi dengan bantuan
komputer untuk mengklasifikasi objek secara otomatis. Klasifikasi penginderaan
jauh secara perlahan-lahan berkembang dari pengenalan secara fisik piksel tunggal,
ektraksi informasi spectral dan tekstur menjadi pemahaman secara komprehensif .
Skema klasifikasi secara hirarki telah berkembang untuk mendefenisikan dan
menguraikan asosiasi habitat-habitat bentik perairan dangkal ekosistem terumbu
karang yang secara umum tidak lebih dari kedalaman 30 m. Skema secara hirarki
memperbolehkan pengguna untuk mengembangkan atau menurunkan kualitas
detail tematik peta yang dihasilkan untuk disesuaikan dengan kebutuhannya. Ini
merupakan hal yang sangat penting dari suatu skema klasifikasi sebagai penyedia
informasi umum untuk membandingkan dan membedakan peta-peta digital yang
diturunkan dari berbagai platform penginderaan jauh (Rohmann et al. 2005).
Komponen ekosistem terumbu karang yang disusun oleh karang hidup dari
jenis karang batu (scleractinian) maupun organisme asosiasi lainnya menyebabkan
ekosistem ini mempunyai karakteristik yang sangat kompleks. Terumbu karang
biasanya mencakup sejumlah besar karang dan alga yang sangat selektif terhadap
penyerapan dan hamburan energy cahaya. Zona geomorfologi berbeda sering
terdistribusi pada kedalaman berbeda dan ditutupi oleh biomasa yang berbeda.
Konsekuensinya, indektifikasi yang efektif terumbu karang dan zona
geomorfologinya dapat diperoleh atas dasar warna, bentuk, tekstur dan fitur lainnya
dari citra penginderaan jauh (Mumby et al. 2004).
Sebagian besar data penginderaan jauh resolusi menengah dan tinggi dapat
diaplikasikan untuk monitoring terumbu karang, diantaranya Landsat, SPOT-HRV,
ASTER, IKONOS, ALOS-AVNIR dan sebagainya (Mumby et al. 1999;
Andréfouët et al. 2001; Mumby and Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Joyce
et al. 2004; Nurlidiasari 2004; Andréfouët and Guzman 2005; El-Askary et al.
2014). Meskipun telah dikembangkan beberapa platform citra dengan resolusi yang
lebih tinggi, Landsat merupakan platform citra yang paling banyak digunakan untuk
pengamatan objek-ojek di permukaan bumi. Popularitas data Landsat dikaitkan
dengan beberapa karakteristik kunci dari program Landsat, termasuk akuisisi data
dan ketersediaan arsip secara sistematik yang menjamin cakupan data secara global.
Selain itu distribusi data citra Landsat dapat diperoleh dengan biaya rendah bahkan
gratis dengan penggunaan secara luas (Cohen and Goward 2004).

Perumusan Masalah

Sampai saat ini belum banyak data yang tersedia mengenai penelitian tentang
terumbu karang di Propinsi Maluku Utara. Hasil kajian Potensi keanekaragaman
terumbu karang pulau Halmahera dalam kegiatan ekspedisi Kajian awal potensi
kelautan dan pariwisata di kawasan Halmahera dan sekitarnya yang dilaksanakan
atas kerjasama WWF, CII dan TNC dengan beberapa intansi terkait lainnya pada
tahun 2008. Stasiun-stasiun pengamatan pada kegiatan ini adalah bagian Barat
pulau Halmahera termasuk gugusan pulau Kahatola, pulau-pulau Doi, kawasan
sekitar pulau Morotai, teluk Kao dan Teluk Weda (Gambar 1). Kegiatan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa pulau Halmahera dan pulau-pulau
4

disekitarnya merupakan kawasan terumbu yang termasuk dalam kawasan segitiga


terumbu karang dunia (Coral Triangle).

Sumber : (Turak and DeVantier 2008)


Gambar 1 Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara
Halmahera dan Morotai
Turak and DeVantier (2008), melaporkan bahwa kawasan Halmahera bagian
Utara mempunyai kekayaan hewan karang dengan total spesies karang batu
sebanyak 468 yang termasuk dalam 15 Famili dan 73 Genus. Untuk perbandingan,
total jumlah spesies karang batu yang diperoleh di Teluk Cendrawasih dan Fak-Fak
Kaimana sebanyak 469 dan 471 spesies dengan jumlah spesies yang sama sebanyak
421 spesies. Mereka menduga jika seluruh area di Kawasan Halmahera dapat
disurvey sampai ke bagian Selatan maka jumlah spesies karang batu akan mencapai
lebih dari 500 spesies.
Hal ini sangat berbeda dengan pengamatan terhadap kondisi karang yang
dilakukan dengan menggunakan metode transek garis pada kedalaman 4 m dan 12
m untuk menilai kualitas karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup.
Rata-rata persentase penutupan karang hidup pada kedalaman 4m adalah 43.42%
dan pada kedalaman 12m sebesar 32.33% atau termasuk dalam kategori sedang.
Dari 24 stasiun penyelaman yang diamati terdapat 3 site yang mempunyai kategori
penutupan karang baik dan hanya 1 site yang mempunyai kategori sangat baik pada
kedalaman 4m. Sedangkan pada kedalaman 12m kategori penutupan karang hanya
ditemukan berkisar dari rusak sampai sedang. Secara khusus pada lokasi kawasan
sekitar pulau Morotai terdapat 6 titik pengamatan dengan presentase penutupan
5

karang hidup berkisar antara 15,67 % - 40.00 % dengan nilai rata-rata penutupan
karang hidup sebesar 31.14% yang termasuk dalam kategori sedang
Sangat jelas terlihat bahwa keberadaan terumbu karang di kawasan
Halmahera bagian Utara dan sekitarnya memiliki nilai keanekaragaman yang
sangat tinggi meskipun dalam kondisi yang sudah mulai kritis. Kerusakan terumbu
karang banyak diakibatkan oleh kegiatan antropogenik atau secara alami. Kegiatan
antropogenik yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di pulau Morotai
adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius,
penambangan karang dan aktifitas wisata maupun industri. Kerusakan secara alami
adalah aktifitas fisik dinamika perairan seperti gelombang, aktifitas biologi bintang
laut berduri (Acantaster plancii) dan secara alami yang disebabkan oleh perubahan
iklim (global warming). Nilai indeks SOI, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir
(1990 – 2010) telah terjadi berapa kali periode El-nino yang melanda wilayah
Pasific bagian selatan termasuk Indonesia, yaitu tahun 1991, 1994, 1997, 2004,
2006 dan 2009. (http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml).
Meskipun teknik pengamatan lapangan mampu menyajikan data secara
detail, namun terbatas pada ruang yang kecil dan tidak optimal dalam menghasilkan
informasi secara spasial dalam skala luas. Disisi lain data penginderaan jauh dengan
berbagai jenis platform citra satelit mampu menghasilkan data dalam skala spasial
yang luas meskipun tidak sedetail hasil pengukuran lapang. Oleh karena itu
kombinasi data pengamatan lapang dan data penginderaan jauh diharapkan akan
tersedia data dan informasi tentang ekosistem terumbu karang secara detail pada
skala spasial yang luas.
Kendala utama yang dihadapi adalah ketersediaan data penginderaan jauh
resolusi tinggi yang tersedia dengan harga yang sangat mahal. Salah satu alternatif
untuk mengekstrak informasi tentang ekosistem terumbu karang dengan data
penginderaan jauh adalah citra satelit Landsat yang telah tersedia dalam kurun
waktu lebih dati tiga dekade terakhir yaitu dimulai pada peluncuran Landsat 1MMS
tahun 1972. Kemudian disusul oleh peluncuran Landsat 5TM tahun 1984 dan
Landsat 7ETM+ tahun 1999, dan Landsat 8OLI tahun 2013 dengan resolusi resolusi
sprektral dan resolusi radiometrik yang lebih baik dari generasi Landsat
sebelumnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka untuk mengetahui secara
komprehensif kemampuan citra satelit untuk menghasilkan informasi tematik
ekosistem terumbu karang dapat dikembangkan beberapa pertanyaan ilmiah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan hasil pengamatan lapangan dari komponen
penyusun ekosistem terumbu karang dapat dikembangkan untuk pemetaan
menggunakan citra satelit?
2. Bagaimana kemampuan citra satelit Landsat dengan skema klasifikasi
objek-objek ekosistem terumbu karang dapat dipisahkan??
3. Bagaimana teknik pemetaan ekosistem terumbu karang yang lebih baik
menggunakan citra satelit Landsat?
4. Bagaimana kemampuan citra satelit Landsat untuk mendeteksi perubahan
luasan terumbu karang dalam kurun waktu tertentu?
6

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi efektifitas


penerapan teknik klasifikasi citra satelit dalam menghasilkan informasi pemetaan
ekosistem terumbu karang yang lebih detail. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
dikembangkan beberapa tujuan khusus yaitu :
1. Mendefenisikan skema klasifikasi ekosistem terumbu karang.
2. Mengetahui karakteristik objek-objek terumbu karang dengan teknik
transformasi citra satelit Landsat.
3. Memetakan eksosistem terumbu karang menggunakan teknik klasifikasi
berbasis objek dengan algoritma klasifikasi mesin pembelajaran (machine
learning) pada data citra satelit.
4. Menilai status ekosistem terumbu karang dalam kurun waktu beberapa dekade
terakhir.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan di
Kabupaten Pulau Morotai terutama di Propinsi Maluku Utara.
2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar (based line) untuk
mendukung pengembangan bidang pemetaan dan penginderaan jauh ekosistem
terumbu karang.

Kerangka Pemikiran

Laju penurunan kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang dalam


beberapa tahun terakhir semakin tinggi yang disebabkan oleh kegiatan manusia
seperti industri, pariwisata dan pembangunan di wilayah pesisir maupun oleh
perubahan lingkungan secara drastis seperti pemanasan global. Data degradasi
ekosistem terumbu karang dalam kegiatan pemantauan telah disajikan secara cepat
dan kontinyu sebagai salah satu data pendukung untuk pengelolaan terumbu karang
secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi adalah data-data pengamatan
terumbu karang secara konvensional belum dapat menjelaskan secara spasial
tentang terjadinya perubahan lingkungan terumbu karang daran kurun waktu
tertentu.
Kompleksitas terumbu karang yang terdiri dari berbagai komponen penyusun
dikelompokan menjadi kelas-kelas objek terumbu karang dengan analisis gerombol
menjadi skema klasifikasi tertentu. Skema klasifikasi dibangun berdasarkan
komposisi komponen terumbu karang dari data hasil pengamatan lapang secara
hirarki untuk merepresentasikan ekosistem terumbu pada peta-peta tematik yang
diturunkan dari data citra satelit.
Sebagian besar penginderaan jauh terumbu karang termasuk dalam kategori
penginderaan jauh perairan dangkal. Mekanisme optik perairan dangkal dapat
terjadi ketika penetrasi sinar matahari ke dalam perarian sampai ke permukaan
dasar sebagian akan dipantulkan kembali, sebagian diserap dan sebagian lagi
dihamburkan baik oleh dasar perairan maupun molekul air itu sendiri. Dengan kata
lain bahwa penginderaan jauh perairan dangkal sangat dipengaruhi oleh kolom
perairan. Pengaruh ini dapat diminimalisir dengan teknik-teknik penajaman citra
7

dengan mentransformasi nilai reflektansi citra asli menjadi nilai yang telah
dikurangi pengaruh kolom perairan.
Ekstraksi informasi pantulan komponen dasar terumbu karang dibangun dari
skema klasifikasi pada citra hasil penajaman untuk mendapatkan informasi
karakteristik citra satelit dalam memisahkan objek-objek terumbu karang. Tahap ini
merupakan bagian penting untuk mengetahui kemampuan citra satelit untuk
menghasilkan peta tematik terumbu karang berdasarkan skema klasifikasi yang
disusun.
Integrasi data penginderaan jauh dan pengamatan lapangan untuk pemetaan
substrat perairan dangkal yang telah dikembangkan sebelumnya pada beberapa
kawasan terumbu karang menggunakan berbagai instrument citra penginderaan
jauh dengan beberapa skema klasifikasi dan pengujian akurasinya. Hasil penelitian-
penelitian tersebut menunjukan bahwa citra penginderaan jauh dari resolusi
menengah sampai resolusi tinggi mampu dikembangkan untuk pemetaan ekosistem
terumbu karang dengan baik, namun memiliki hasil yang berbeda tergantung pada
lokasi, kompleksitas struktur dan keragaman habitat terumbu karang serta skema
klasifikasi yang dikembangkan.
Peta-peta tematik terumbu karang dari citra satelit dihasilkan dari teknik
klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma klasifikasi mesin pembelajaran
untuk melengkapi teknik-teknik klasifikasi konvensional. Teknik-teknik klasifikasi
tersebut membutuhkan pengujian untuk dapat meghasilkan teknik klasifikasi yang
lebih tepat untuk bisa diterapkan pada kegiatan pemetaan ekosistem terumbu
karang yang lebih detail mengacu pada skema klasifikasi dan teknik pengamatan
lapangan yang digunakan. Peta tematik yang dihasilkan dari teknik klasifikasi
dengan nilai akurasi lebih baik diterapkan pada analisis untuk mengetahui status
terumbu karang di dalam kurun waktu dua decade terakhir. Secara sederhana
kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Error! Reference source not found.
berikut ini.

Pengamatan Penginderaa
Terumbu Karang
Lapangan n jauh

Komponen
Penyusun Pemetaan Terumbu
Citra Satelit
Terumbu Karang
Karang

Kemampuan
Skema Separabilitas Citra Teknik
Defenisi Habitat
Klasifikasi Objek Terumbu Transformasi Penajaman
Karang

Algoritma
Klasifikasi Teknik
Klasifikasi
Terumbu Klasifikasi
Mesin
Karang Berbasis Objek
Pembelajaran

Peta Tematik
Uji Akurasi Terumbu
Karang

Deteksi Perubahan
8

Pengamatan Penginderaa
Terumbu Karang
Lapangan n jauh

Komponen
Penyusun Pemetaan Terumbu
Citra Satelit
Terumbu Karang
Karang

Kemampuan
Skema Separabilitas Citra Teknik
Defenisi Habitat
Klasifikasi Objek Terumbu Transformasi Penajaman
Karang

Algoritma
Klasifikasi Teknik
Klasifikasi
Terumbu Klasifikasi
Mesin
Karang Berbasis Objek
Pembelajaran

Peta Tematik
Uji Akurasi Terumbu
Karang

Deteksi Perubahan

Gambar 2 Diagram alir penelitian


2 METODOLOGI UMUM

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di area terumbu karang yang berlokasi di bagian


barat Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. Kawasan terumbu karang di lokasi
penelitian merupakan tipe terumbu karang penghalang (barrier reef), dan
terbentang memanjang kurang lebih 20 km dari utara ke selatan (Gambar 3).
Sedangkan waktu penelitian yang terdiri dari persiapan peralatan, pengumpulan
data, pengolahan data dan penyusunan disertasi dimulai dari bulan September 2012.
Pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama bulan Oktober 2012.

Gambar 3 Lokasi penelitian


10

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras
pengolahan data, perangkat lunak dan peralatan pengambilan data di lapangan.
Perangkat keras yang digunakan untuk pengolahan data adalah Personal Computer
prosesor Intel Core i7, RAM 8 GB, media penyimpanan 1 TB. Perangkat lunak
digunakan untuk membantu proses pengolahan data terdiri dari: Microsoft Office
2013, Coral Point Count with Excel Extention (CPCe 4.1), DNR Garmin Versi 5.4,
ERDAS ER Mapper 2014, ERDAS IMAGINE 2014, ArcGIS Desktop 10 dan
ENVI ver 5.1.
Peralatan yang digunakan untuk pengumpulan data lapangan terdiri dari
peralatan perekaman data koordinat, pengambilan data substrat dasar perairan
dangkal, dokumentasi dan pencatatan data (Tabel 1Error! Reference source not
found.Error! Reference source not found.Error! Reference source not
found.Error! Reference source not found.).
Tabel 1 Peralatan penelitian
No Peralatan Parameter
1. GPS Garmin 60CXs Pengumpulan data koordinat :
Pelampung Ground truth poin, Ground truth
habitat
2. Peralatan SCUBA diving
Transek kuadran (1 x 1m) Pengambilan data habitat
Meteran rol 50 m terumbu karang
Kamera bawah air Canon Powershot
G12 + Housing underwater
Tertapod
Fishfinder 125C Pengukuran kedalaman
3 Kamera SONY superstady shot DSC- Dokumentasi
W170 + Housing underwater
4 Underwater slater Pencatatan data
Underwater papper
Sedangkan bahan yang digunakan adalah citra satelit multispektral resolusi
menengah (Landsat) dan citra satelit multispekral resolusi tinggi (Orbview-3 dan
QuickBird). Citra Landsat digunakan untuk klasifkasi dan deteksi perubahan,
sedangkan citra Orbview-3 digunakan untuk membantu interpretasi secara visual
dalam penentuan rancangan survey lapangan. Citra Landsat dan Orbview diperoleh
secara gratis diunduh pada website USGS GloVis (http://glovis.usgs.gov/).
Citra satelit Landsat dikumpulkan dari generasi berbeda yaitu Landsat 5TM,
Landsat 7ETM+ dan Landsat 8OLI pada lembar perekaman path 109 dan row 059
meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulau Morotai dan kabupaten Halmahera
Timur, Provinsi Maluku Utara (Gambar 4). Seluruh data citra Landsat yang diunduh
merupakan data Level 1/L1 (Terain Corrected) yang telah terkoreksi secara
geometrik. Landsat 5TM diperoleh dengan tanggal perekaman data 30 Juli 1996,
Landsat 7ETM+ tanggal 23 Juli 2002 dan Landsat 8OLI tanggal 17 Oktober 2013.
Seluruh data Landsat juga telah dilengkapi dengan meta data (header file)
sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 1. Karakteristik citra Landsat disajikan
pada Tabel 2.
11

Gambar 4 Scene citra Landsat Path 109 Row 059


Tabel 2 Karakteristik citra Landsat
Kisaran Panjang Resolusi
Sensor Nama Band
Gelombang (µm) Spasial (m)
Landsat 5TM B1= Biru 0,45-0,52 30
B2= Hijau 0,52-0,60 30
B3= Merah 0,63-0,69 30
B4= IM Dekat 0,76-0,90 30
B5= IM Menengah 1,55-1,75 30
B6= Termal IM 10,40-12,50 120
B7= IM Menengah 2,80-2,23 30
Landsat 7ETM+ B1= Biru 0,45-0,52 30
B2= Hijau 0,52-0,60 30
B3= Merah 0,63-0,69 30
B4= IM Dekat 0,76-0,90 30
B5= IM Menengah 1,55-1,75 30
B6= Termal IM 10,40-12,50 60
B7= IM Menengah 2,80-2,23 30
B8= Panchromatic 0,45-0,90 15
Landsat 8OLI B1= Aerosol 0,43-0,45 30
B2= Biru 0,45-0,51 30
B3= Hijau 0,53-0,59 30
B4= Merah 0,64-0,67 30
B5= IM Dekat 0,85-0,88 30
B6= SWIR 1,57-1,65 30
B7= SWIR 2,11-2,29 30
B8= Panchromatic 0,50-0,68 15
B9= Cirrus 1,36-1,38 30
B10= TIRS 10,60-11,19 100
B11= TIRS 11,50-12,51 100
12

Citra satelit Orbview-3 terdiri dari dua dataset yaitu


3V060620M0001254631A520002200282M_001658218 tanggal perekaman 20
Juni 2006 dan 3V070302M0001614031A520001900262M_001655948 tanggal
perekaman 2 Maret 2007 (Gambar 5). Citra Orbview-3 tersedia secara terpisah
antara data multispectral dengan resolusi spasial 4 meter dan panchromatic dengan
resolusi spasial 1 meter. Citra Orbview-3 hanya tersedia hanya sampai akhir tahun
2007 karena mengalami kerusakan sensor dengan tipe data yang tersedia adalah
Level 1B (Basic Enhanced) (https://lta.cr.usgs.gov/satellite_orbview3). Citra
Orbview-3 yang tersedia dilokasi dan digunakan dalam penelitian ini hanya data
multispektral lengkap dengan meta data (Error! Reference source not found.)
engan karakteristik citra sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3.

Gambar 5 Citra multispektral Orbview-3


Tabel 3 Karakteristik citra Orbview-3
Model Citra Panchromatic Multispektral
Resolusi spasial 1 meter 4 meter
Kanal Citra 1 Kanal 4 Kanal
Kisaran panjang gelombang 450-900 nm 450-520 nm (biru)
520-600 nm (hijau)
625-695 nm (merah)
760-900 nm (IMD)
Secara keseluruhan prosedur penelitian terdiri dari tahapan persiapan data,
pra pengolahan data penginderaan jauh, teknik pengumpulan data, pengolahan data
dan analisis data.
13

Persiapan Data

Tahap persiapan data adalah tahap identifikasi data-data yang akan digunakan
dalam analisis selanjutnya yang terdiri dari data spasial dan non spasial. Data
spasial selain data penginderaan jauh (citra satelit), juga diidentifikasi ketersediaan
data peta-peta digital di lokasi penelitian seperti garis pantai dan batas wilayah
administrasi, serta informasi lain yang berkaitan dengan penelitian. Data non
spasial yaitu data ekologi ekosistem terumbu karang dan data pendukung lainnya
seperti data iklim, Digital Elevation Model (DEM) dan data kedalaman perairan.

Pra Pengolahan Data Penginderaan Jauh

Koreksi citra merupakan suatu operasi untuk mengkondisikan agar citra yang
akan digunakan benar-benar memberikan informasi yang akurat secara geometris
maupun radiometris. Oleh karena itu, operasi koreksi disebut juga operasi pra-
pengolahan (pre-processing) (Danoedero 2012). Tahap pra-pengolahan data
penginderaan jauh dilakukan dengan beberapa teknik penajaman dan diaplikasikan
pada data citra yang digunakan. Tahap pra-pengolahan terdiri dari koreksi
atmosferik, koreksi geometrik dan koreksi kolom perairan.

Koreksi Atmosferik
Sifat penginderaan jauh mengharuskan radiasai matahari menembus atmosfer
sebelum direkam oleh sensor satelit. Oleh karena ini sistem penginderaan jauh
selain mencakup informasi permukaan bumi juga menyertakan informasi tentang
atmosfer. Analisis kuantitatif untuk menghilangkan pengaruh atmosfer adalah
langkah penting pada tahap pra-pengolahan data. Untuk mengurangi efek atmosfer,
maka sifat-sifat atmosfer seperti uap air, distribusi aerosol dan visibilitas scene citra
harus diketahui (ExelisVIS 2009).
Kondisi atmosfer bervariasi baik secara spasial dan temporal sebagai hasil
dari hamburan molekul dan penyerapan. Karakteristik hamburan dari panjang
gelombang spektral yang berbeda menyebakan dampak signifikan pada data yang
diperoleh dari penginderaan jauh multispektral. Pada dasarnya koreksi atmosfer
diterapkan untuk menentukan nilai-nilai reflektansi permukaan yang tepat untuk
mengambil parameter fisik permukaan bumi termasuk reflektansi permukaan
dengan mengurangi efek atmosfer dari citra satelit (Fuyi et al. 2013).
Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight
Atmospheric Analysis of Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode
MODTRAN4 (Moderate Resolution Atmospheric Transmission) dan Dark Object
Subtraction (DOS) yang tertanam pada perangkat pengolahan data ENVI.
FLAASH adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Air Force Phillip
Technology, Hanscom dan Spectral Science, Inc (SSI) (Adler-Golden et al. 1999).
FLAASH menyediakan akurasi data berbasis fisik dari reklektansi permukaan
melalui derivasi sifat atmosfer seperti albedo permukaan, ketinggian, kolom uap
air, aerosol kedalaman optik awan dan suhu permukaan atmosfer yang beroperasi
pada kisaran panjang gelombang 0.4-2.5 micrometer. DOS adalah teknik koreksi
atmosfer yang didasarkan pada konsep bahwa sinyal sinar tampak merambat
melalui atmosfer mencapai sensor satelit berasal dari objek gelap. Piksel target
gelap menunjukan jumlah upwelling jalur radiasi pada band ini. Radiasi jalur
14

atmosfer ditambahkan dengan radiasi permukaan obyek gelap untuk menghasilkan


target radiasi sebenarnya pada sensor (al-Moussawi and Taqi 2013).
Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH diterapkan pada citra
Landsat sedangkan untuk citra Orbview-3 menggunakan modul DOS. Keterbatasan
kisaran panjang gelombang dalam jumlah band citra Orbview-3 tidak terpenuhi
pada parameter aerosol modul FLAASH, karena untuk parameter aerosol
dibutuhkan spektral dengan kisaran panjang gelombang 660-2100 nm (Xiaoke et
al. 2009)
Koreksi atmosferik dengan FLAASH dimulai dari persamaan standar untuk
radiasi spektral pada sensor piksel (L) yang berlaku untuk panjang gelombang
matahari (emisi thermal diabaikan) serta bidang datar Lambertian dengan
persamaan sebagai berikut:
(1)

dimana;
ρ = reflektansi permukaan piksel
= rata-rata reflekansi permukaan piksel dan daerah disekitanya
S = sperikal albedo atmosfer
= hambur balik radiasi oleh atmosfer
A dan B adalah koefisien yang tergantung pada kondisi atmosfer dan
geometrik bukan pada permukaan.
Perbedaan antara ρ dan akan menyumbang efek berdekatan (percampuran
radiasi antara piksel terdekat) yang disebabkan oleh hamburan atmosfer. Efek ini
dapat dikurangi dengan mengatur = ρ. Koreksi ini dapat menghasilkan kesalahan
reflektansi signifikan pada panjang gelombang pendek, khususnya pada kondisi
berkabut dan ketika terjadi perbedaan yang kontras antara obyek-obyek pada sceen
citra. Nilai A, B, S dan dideterminasi dari perhitungan MOTRAN4
menggunakan kenampakan, solar angle, dan elevasi permukaan rata-rata hasil
pengukuran, kemudian mengasumsikan model atmosferik, tipe aerosol dan kisaran
nilai kecerahan udara. Nilai A, B, S dan sangat kuat tergantung pada jumlah
kolom penguapan air yang secara umum tidak diketahui dan mungkin bervariasi
antara scene citra. Kolom uap air dan variabel yang tidak diketahui dihitung melalui
serangkaian jumlah kolom berbeda dari saluran panjang gelombang, kemudian
dipilih dari citra untuk mengambil jumlah yang diperkirakan pada setiap piksel.
Rata-rata radiasi yang terkumpul pada dua set kanal yaitu saluran penyerapan pada
band air (biasanya 1130 nm) dan saluran referensi yang diambil dari luar band.
Setelah proses ini dilakukan, persamaan (1) dapat diselesaikan untuk
reflektansi permukaan piksel semua saluran sensor. Selanjutnya metode yang
mencakup perhitungan radiasi rata-rata reflektansi citra ( ) dari reflektansi rata-
rata spasial (L) dapat ditentukan dari persamaan berikut:
(2)

Tahap-tahap koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH adalah


sebagai berikut:
 Mempersiapkan citra yang akan dikoreksi dengan komposisi saluran
multispektral (panjang gelombang 0.4-2.2 µm).
15

 Mengkonversi nilai citra asli dari bilangan digital (digital number, DN)
menjadi nilai radian dengan format BIL, kalibrasi radian Float dan faktor
koreksi 0.1.
 Input data untuk koreksi atmosferik menggunakan data citra yang telah
ditransformasi menjadi nilai radian dengan nilai faktor skala radian 1. Pada
tahap ini lokasi pusat koordinat scene citra otomatis terinput.
 Menentukan tipe sensor (multispektral) dan jenis sensor dari data citra
yang digunakan. Default ketinggian sensor (km) dan ukuran piksel (m)
terinput secara otomatis berdasarkan jenis sensor.
 Menentukan nilai nilai rata-rata ketinggian scene citra dari permukaan laut
dalam satuan kilometer mengacu pada data DEM.
 Menentukan waktu perekaman citra yang terdiri dari tanggal perekaman
(hari/bulan/tahun) dan jam berdasarkan waktu GMT (jam:menit:detik).
 Menentukan model atmosfer; modul FLAASH menyediakan model
atmosfer yang terdiri dari Sub-Arctic Winter (SAW), Mid-Latitude Winter
(MLW), U.S. Standard (US), Sub-Arctic Summer (SAS), Mid-Latitude
Summer (MLS) dan Tropical (T). Model atmosfer yang digunakan adalah
Tropical dengan suhu rata-rata permukaan udara 27o C.
 Menentukan model aerosol; modul FLAASH menyediakan model aerosol
yang terdiri dari Rural, Urban, Maritime dan Tropospheric. Model aerosol
yang digunakan adalah Maritime karena scene citra sebagian besar
didominasi oleh laut.
 Menentukan nilai kecerahan udara yang disesuaikan dengan tanggal
perekaman citra.
 Tahap akhir dari proses input parameter koreksi atmosfer adalah
menentukan parameter lanjutan yang terdiri dari Aerosol scale height
(km), CO2 Mixing ratio (ppm), Use square slit function, Use adjacency
correction, Resuse MODTRAN calculation, Modtran Resolution, Modtran
multiscatter model, Number of DISORT Stream, Sudut Zenit, Sudut
Azimut, Use tiled processing, Radiance image dan Faktor skala
reflektansi.
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosferik menggunakan
modul FLAASH disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan modul
FLAASH
Parameter FLAASH Landsat 5TM Landsat 7ETM+ Landsat 8OLI
1. Parameter Umum
Format citra radian BIL BIL BIL
Faktor koreski radian 0.1 0.1 0.1
Skala radian 1 1 1
Koordinat pusat lokasi Lintang: 1.44001111 Lintang: 1.44001111 Lintang: 2.88936257
Bujur : 128.88615556 Bujur : 128.88615556 Bujur: 129.13574219
Tipe sensor Landsat TM5 Landsat TM7 Landsat-8 OLI
Ketinggian sensor (km) 705 705 705
Elevasi (km) 1.67 1.67 1.67
Ukuran piksel (m) 30 30 30
Tanggal perekaman 30 Juli 1996 23 Juli 2002 17 Oktober 2013
Jam perekaman 00:52:55 01:26:00 01:39:36
Model atmosfer Tropical Tropical Tropical
Model aerosol Maritim Maritim Maritim
16

Aerosol retrieval None None None


Jarak pandang (km) 16.67 14.81 18.11
2. Parameter lanjutan Seluruh nilai parameter lanjutan mengikuti nilai default modul
FLAASH
Koreski atmosferik dengan pendekatan metode DOS mengasumsikan bahwa
citra yang direkam oleh sensor satelit terdapat fitur yang memiliki nilai mendekati
nol persen reflektansi (misalnya air, vegetasi lebat dan bayangan) sehingga sinyal
yang direkam oleh sensor dari fitur ini merupakan hamburan atmosfer yang harus
dihilangkan. Tahap koreksi atmosferik dengan modul DOS terdiri dari tiga tahap
yaitu metode model reflektansi langsung yang mengoreksi pengaruh radiasi
matahari dan sudut zenith matahari, mengabaikan efek yang dipengaruhi oleh
hamburan dan serapan yang disebabkan oleh atmosfer berdasarkan persamaan
(Chavez 1996):
∗ 
 (3)
∗

Tahap kedua adalah mengoreksi pengaruh yang disebabkan oleh sudut zenith
matahari, radiasi matahari dan hamburan, tetapi tidak mengoreksi serapan atmosfer
dengan persamaan:
∗  
 (4)
∗

Tahap ketiga adalah mengkonversi radians satelit menjadi reflektansi


permukaan dari koreksi pengaruh radiasi dan atmosfer dengan persamaan:
∗  
 (5)
∗ ∗ ∗

dimana;
 = Reflektansi spektral permukaan
 = Radians spektral satelit (W m-2 se-1 µm-1)
 = Iradian spektral matahari pada permukaan tegak lurus terhadap
matahai di luar atmosfer (W m-2 µm-1). Merupakan jarak bumi-
matahari dalam satuan astronomi (fungsi waktu dalam satuan tahun
dengan kisaran nilai 0.983-1.107)
 = Upwelling spektral radiasi yang dihamburkan pada arah bidang
rekaman sensor
= Transmitansi atmosfer pada jalur permukaan bumi ke sensor
= Transmitansi atmosfer pada jalur matahari ke permukaan bumi
= Iradian spektral downwelling pada permukaan yang dihamburkan
aliran radiasi atmosfer (W m-2 µm-1).
Langkah-langkah koreksi atmosfer dengan modul DOS adalah sebagai
berikut:
 Menentukan obyek gelap pada citra dengan nilai digital (DN) paling
rendah bisanya badan air.
 Menentukan region of interest (RoI) piksel gelap
 Eksekusi parameter Dark Subtraction.
17

Koreksi Geometrik
Citra satelit mempunyai sejumlah kesalahan geometrik yang disebabkan oleh
faktor-faktor perekaman oleh sensor, bentuk dan rotasi bumi. Citra satelit yang
tidak terkoresi akan menghasilkan geometrik yang berbeda dengan peta sehingga
mengakibatkan kesulitan dalam penggunaannya. Koreksi geometrik adalah proses
mengoreksi kesalahan dan menandai sifat-sifat peta pada sebuah citra. Geometrik
citra harus dikoreksi sehingga sesuai dengan peta yang digunakan dengan sistem
koordinat yang dipilih pada citra dapat diidentifikasi dengan baik atau titik-titik
yang diamati di lapangan dapat ditemukan dengan mudah pada citra (Green et al.
2000) Koreksi geometrik diperlukan karena beberapa alas an yaitu:
 Citra akan dibandingkan dengan hasil pengamatan lapangan pada peta.
 Data citra akan dibandingkan dengan data spasial lainnya.
 Estimasi luas dan jarak diperlukan dari data citra.
 Membandingkan citra dengan waktu perekaman berbeda untuk detreksi
perubahan.
Mather (2004) mengelompokan koreksi geometrik ke dalam dua kategori
besar yaitu model geometrik orbital dan transformasi berdasarkan titik-titik kontrol
lapangan (ground control point, GCP). Model geometrik orbital adalah model yang
didasari pada pengetahuan karakteristik orbit wahana satelit yang berhubungan
dengan persamaan-persamaan kolinearitas fotogrametri. Persamaan-persamaan ini
menggambarkan karakterisitik orbit satelit dan geometrik arah pandang, serta
mengaitkan sistem koordinat citra (baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis
(lintang-bujur). Transformasi berdasarkan GCP adalah mengoreksi citra dari sudut
pandang empiris dengan membandingkan posisi-posisi yang berbeda pada citra dan
data lapangan melalui pengukuran GPS (global positioning system).
Teknik koreksi geometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
transformasi titik kontrol lapangan (GCP). Berdasarkan pasangan koordinat antara
titik kontrol lapangan (GCP) dengan koordinat baru hasil estimasi, diperoleh selisih
sepanjang sumbu X (bujur) dan sumbu Y (lintang). Selisih ini dapat dighitung pada
setiap titik kontrol dan juga peta hasil transformasi keseluruhan, yang
memperhitungkan seluruh titik kontrol yang ada. Berdasarkan selisih-selisih ini
kemudian dapat dihitung besarnya akurasi hasil koreksi geometrik dengan
persamaan root mean square error (RMSE).
Pada setiap pasangan titik koordinat referensi dengan titik koordinat hasil
estimasi disebut selisih yang disebut dengan rectification residual (). Nilai
rectification residual ini bisa berbeda untuk arah X dan arah Y. Analisis parameter
ini menggunakan indikator akurasi RMSE dengan persamaan sebagai berikut:

∑ ∑ (6)

dan

∑ ∑ (7)

dimana:
n = jumlah total titik kontrol lapangan (GCP) yang digunakan dalam
koreksi atau rektifikasi
18

dan = berturut-turut koordinat X (bujur) dan Y (lintang) dari GCP


ke-i yang dihitung dari fungsi transformasi f1 dan f2 yang
digunakan dalam rektifikasi
dan = koordinat referensi berturut-turut untuk X (bujur) dan Y
(lintang) yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan
Berdasarkan RSMEE dan RSMEN kemudian dapat dihitung nilai indikator akurasi
keseluruhan berdasarkan persamaan:

∑ (8)

Data citra Landsat yang digunakan merupakan data dengan tipe level 1T
(terrain-corrected) yang telah terkoreksi secara geometrik berdasarkan informasi
GCP beserta RSME (Tabel 5).
Tabel 5 Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat
Sensor GCP RMSE Total RMSE X RMSE Y
Model (m) (m) (m)
Landsat 5TM 68 5.298 3.157 4.255
Landsat 7ETM+ 52 10.298 6.797 7.736
Landsat 8OLI 138 8.922 6.252 6.364

Tipe data citra Orbview-3 level 1B adalah data yang belum terkoreksi secara
geometrik. Oleh karena itu koreksi geometrik terhadap citra Orbview-3
menggunakan teknik registrasi citra berdasarkan data Parameter Value Language
(PVL) yang terdapat pada meta data citra. Data PVL adalah informasi koordinat
pada setiap sudut area perekaman (foot print) dan koordinat tengah area perekaman.
Informasi data PVL citra Orbview-3 disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Informasi data PVL citra Orbview-3
Titik Koordinat M_001655948 M_001658218
Sudut UB 2°17'38.39"N 2°15'25.17"N,
128°11'23.87"E 128°07'58.48"E
Sudut UT 2°18'04.96"N 2°15'23.64"N,
128°16'36.19"E 128°12'12.33"E
Sudut SB 2°00'26.65"N, 2°01'21.28"N,
128°11'24.19"E 128°07'58.72"E
Sudut ST 2°00'54.07"N, 2°01'20.05"N,
128°16'32.12"E 128°12'12.13"E
Koordinat tengah 2°09'16.02"N, 2°08'22.53"N,
128°13'59.10"E 128°10'05.41"E

Koreksi Kolom Perairan


Berdasarkan konsep bahwa radians yang direfleksi dasar merupakan fungsi
linier reflaktansi dasar dan fungsi eksponensial kedalaman perarian, maka intensitas
penetrasi cahaya berkurang secara eksponensial dengan peningkatan kedalaman
perairan atau disebut dengan istilah attenuation. Pengurangan pengaruh kedalaman
pada reflektansi dasar didasarkan pada (i) pengukuran kedalaman setiap piksel citra,
dan (ii) pengetahuan tentang karakteristik attenuasi dari kolom perairan
(konsentrasi kandungan material terlarut). Namun pada satu sisi ketersediaan data
19

Digital elevation Model kedalaman jarang tersedia terutama untuk sistem terumbu
karang (Zainal 1994).
Sebagai perbandingan (Lyzenga 1978; Lyzenga 1981), mengemukakan
pendekatan sederhana berbasis citra untuk mengkompensasi pengaruh variabel
kedalaman dalam pemetaan dasar perairan (koreksi kolom perairan). Dibandingkan
dengan prediksi reflektansi dasar perairan yang lebih sulit, metode ini menghasilkan
Depth Invariant Index (DII) dari setiap pasangan band spektral. Koreksi kolom
perairan dibagi menjadi beberapa tahap, sebagai berikut:
1. Mengurangi hamburan atmosfer dan pantulan eksternal dari permukaan air;
Sebagian besar penelitian dengan metode koreksi kolom perairan
diaplikasikan pada data yang telah dikoreksi atmosferik (Lyzenga 1978;
Lyzenga 1981; Maritorena 1996). Jadi, jika koreksi atmosfer telah
dilakukan sehingga nilai-nilai piksel telah dikonversi menjadi nilai
reflektansi permukaan, maka nilai-nilai reflektansi dapat langsung
digunakan.
2. Linearisasi hubungan antara kedalaman dan radian; Pada kondisi perairan
yang relatif jernih, intensitas cahaya akan berkurang secara eksponensial
seiring dengan peningkatan kedalaman Gambar 6.

Gambar 6 Proses koreksi kolom perairan dengan tahap-tahap menghasilkan DII


substrat pasir dan lamun
Keterangan:
Step 1 : Atenuasi eksponensial radian dengan linearisasi kedalaman untuk band i dan j
menggunakan logaritma natural (band i memiliki panjang gelombang yang lebih
pendek sehingga kurang dipengaruhi oleh atenuasi dibandingkan band j)
Step 2 : Plot (transformasi) band i terhadap (transformasi) band j untuk substrat tertentu di
berbagai kedalaman. Gradien garis mewakili rasio koefisien atenuasi ki/kj. Rasio ini
terpisah dari tipe substrat.
Step 3 : Ploting tipe-tipe dasar perairan. Setiap tipe dasar perairan pada sumbu y-intercept
(dengan mengabaikan kedalaman). Dengan demikian y-intercept menjadi DII tipe
substrat dasar.
3. Menghitung rasio koefisien atenuasi pasangan band; Difusi iradian
koefisien atenuasi (koefisien atenuasi, k) menggambarkan besarnya
atenuasi cahaya di dalam air band spektral. Hal ini terkait dengan radian dan
kedalaman dengan persamaan :
(9)
dimana adalah radians kedalaman (merupakan refleksi eksternal permukaan air
dan hamburan oleh atmosfir), a adalah konstanta irradians matahari yang
20

ditransmisi atmosfir ke permukaan air, r adalah reflektansi dasar, adalah


koefisien attenuasi dan z adalah kedalaman perairan.
Langkah-langkah proses depth invariant index mengikuti petunjuk (Green
et al. 2000)sebagai berikut :
 Melakukan training area pada substrat yang homogen dengan kedalaman
yang berbeda. Data substrat dan kedalaman diperoleh dari hasil
pengamatan lapangan. Training area dilakukan terhadap titik pengamatan
objek homogen dalam pasangan-pasangan band untuk mendapatkan nilai
koefisien attenuation.
 Dengan bantuan pengolahan data spreadsheet Microsoft EXCEL hasil
training area pada setiap pasangan band kemudian dihitung nilai koefisien
attenuation dengan persamaan ;
√ 1 (10)

dimana
(11)

dan
(12)
, koefisien attenuation, adalah variance pengukuran Xi,
adalah variance pengukuran Xj dan adalah covariance Xi dan Xj
 Tahap akhir adalah menghitung depth invariant index dengan persamaan
DIIij = ∗ (13)

Penggabungan Citra
Penggabungan citra (mosaicking) diaplikasikan pada citra Orbview-3 karena
memiliki dua area perekaman yang terpisah. Penggabungan citra menggunakan
citra yang telah dikoreksi atmosferik dan geometrik dengan bantuan perangkat
lunak ERDAS Imagine 2014. Prinsip dasar dari proses penggabungan adalah citra
hasil penggabungan harus memiliki nilai radiometric yang sama sehingga akan
mengurangi proses kesalahan dalam analisis data. Penyesuaian radiometrik citra
hasil penggabungan dilakukan dengan teknik histogram adjustment.

Teknik Pengumpulan Data

Skema Klasifikasi
Tahapan awal sebelum melakukan interpretasi citra satelit yang digunakan
dan menjadi panduan dalam proses pengumpulan data ekosistem terumbu karang
adalah menentukan skema klasifikasi. Secara umum skema klasifikasi dibangun
berdasarkan komponen penyusun ekosistem terumbu karang dan ekosistem yang
berasosiasi dengannya (Mumby and Harborne 1999). Adapun pengelompokkan
skema klasifikasi dapat dibedakan menjadi:
a. Kajian berdasarkan habitat.
21

b. Kajian yang difokuskan pada tipe habitat tertentu untuk keperluan tertentu
pula.
c. Kajian yang secara mendasar dikaitkan pada pemetaan geomorfologi
d. Kajian ekologi yang menjabarkan habitat sebagai kuantifikasi sekelompok
biota tertentu sebagai fitur mendasar dan.
e. Kajian yang menggabungkan lebih dari satu tipe informasi (misalnya
geomorfologi dikaitkan dengan kumpulan biota).
Skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema
klasifikasi komponen perairan dangkal secara hirarki. Sistem struktur perairan
dangkal yang membentuk tipe-tipe habitat didefenisikan ke dalam kelompok atau
kelas berdasarkan karakteristik ekologi sehingga akan mempermudah proses
identifikasi setiap kelas dan mendeskripsikan atributnya. Skema klasifikasi substrat
dasar perairan dangkal secara hirarki terdiri dari kelas zona geomormologi, struktur
geomorfologi, penutupan komponen biologi dan penutupan karang hidup (Zitello
et al. 2009). Dalam penelitian ini juga dikembangkan skema klasifikasi yang lebih
detail yaitu presentase penutupan komponen biologi, kategori lifeform dan
keanekaragaman jenis karang batu (English et al. 1997).
Skema klasifikasi secara hirarki disajikan pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Skema klasifikasi
Zona Struktur Komponen Kategori Keanekaragaman
Geomorfologi Geomorfologi Biologi Lifeform jenis karang
Intertidal Terumbu Karang Karang hidup Acropora Rendah
Laguna dan substrat keras Lamun Non- Sedang
Reef flat  Terumbu karang Alga Acropora Tinggi
Back reef  Kerangka kapur Persentase Karang mati
Reef crest  Batuan vulkanik tutupan Fauna lain
Fore reef Sedimen  Jarang Alga
Bank/Shelf (Unconsolidate (>50%) Abiotik
Channel sediment)  Sedang (50-
 Pecahan karang 90%)
 Pasir  Padat (>90%)
 Lumpur
 Pasir dengan
hamburan
pecahan karang
Persentase tutupan
 Jarang (>50%)
 Sedang (50-90%)
 Padat (>90%)
Sumber :(Zitello et al. 2009).
Klasifiaksi zona geomorfologi terdiri dari zona intertidal, laguna, reef flat,
back reef, reef crest, fore reef dan channel (kanal). Klasifikasi didasarkan hanya
pada lokasi atau letak masing-masing zona, tidak menganalisis persentase tutupan
substrat dan komponen biologi yang ditemukan dalam zona tersebut. Sebagai
contoh zona laguna bisa disusun oleh patch reef, pasir atau rubble tidak digunakan
untuk mengidentifikasi dalam skema ini. Deskripsi masing-masing zona
geomorfologi sebagai berikut :
 Zona intertidal : area yang terletak dekat dengan daratan atau antara pasang
terendah sampai pasang tertinggi (pada saat tertentu muncul dari permukaan
air)
22

 Laguna : area dangkal (relative sampai kedalaman tertentu pada daerah


bank/shelf) terletak antara zona intertidal dan Back reef atau barrier reef.
Zona ini dicirikan oleh kondisi terlindung dari gempuran gelombang yang
besar.
 Reef flat : perairan dangkal, sebagian muncul ke permukaan terletak antara
zona intertidal dan reef crest. Daerah ini cenderung datar memanjang dari
zona intertidal sampai ke laguna dan terlindung dari gempuran gelombang
yang kuat.
 Back reef : memiliki kemiringan tertentu menghadap ke arah daratan
sampai ke area yang menghadap ke perairan. Zona ini biasanya dapat
ditemukan jika terdapat juga zona reef crest.
 Reef crest : zona yang sering disebut sebagai puncak terumbu muncul pada
saat surut terendah. Zona ini terletak pada bagian yang menghadap perairan
dan mendapat energy yang tinggi dari gempuran gelombang.
 Fore reef : area setelah reef crest mamiliki kemiringan sampai ke perairan
dalam
 Bank/shelf : Zona pada perairan yang lebih dalam di depan zona fore reef
pada bagian yang menghadap perairan.
 Channels : zona berbentuk saluran alami yang sering memotong zona lain.
Klasifikasi struktur geomorfologi dibagi menjadi komponen terumbu karang
dan substrat keras serta sedimen (Walker and Foster 2010). Deskripsi komponen
struktur geomorfologi adalah sebagai berikut :
 Terumbu karang dan substrat keras: substrat dasar perairan yang disusun
oleh karang keras, batuan vulkanik dan deposit kalsium karbonat dari sisa-
sisa bangunan karang mati.
 Sedimen (unconsolidated sediment): substrat dasar perairan yang terdiri
dari pasir, lumpur, pecahan karang dan pasir dengan hamburan pecahan
karang
Komponen struktur geomorfologi dinyatakan berdasarkan persentase tutupan
dengan kategori tutupan >50% (Rohmann et al. 2005). Klasifikasi struktur
geomorfologi akan diturunkan lagi menjadi kelas persentase penutupan dengan
kategori jarang (<50%), sedang (50-90%) dan padat (>90%).
Klasifikasi komponen biologi terdiri dari karang hidup, alga dan lamun. Klasifikasi
komponen biologi juga akan diutunkan menjadi kelas persentase penutupan seperti
struktur gromorfologi (Walker and Foster 2010). Deskripsi komponen biologi
adalah sebagai berikut :
 Karang hidup : substrat merupakan kolonisasi dari sponge, octocoralia dan
hexacoralia.
 Alga : substrat disusun oleh alga makro baik spesies tunggal maupun
asosiasi spesies alga.
 Lamun : substrat disusun oleh lamun baik spesies tunggal maupun asosiasi
spesies alga.
Klasifikasi kategori lifeform terdiri dari kelas acropora, non-acropra, karang
mati, fauna lain, alga dan abiotik (English et al. 1997). Kategori lifeform akan
diturunkan menjadi sub kelas seperti disajikan pada Tabel 8 berikut ini:
23

Tabel 8. Kategori lifeform


Kategori Sub-kategori Kode
Acropora Branching ACB
Encrusting ACE
Submassive ACS
Digitate ACD
Tabulate ACT
Non-acropora Branching CB
Encrusting CE
Foliose CF
Massive CM
Submassive CSM
Mushroom CMR
Millepora CME
Heliopora CHL
Dead Coral Dead coral DC
Dead coral with alga DCA
Fauna lain Soft coral SC
Sponge SP
Zoanthids ZO
Other OT
Alga Algal Assemblage AA
Coraline Algae CA
Halimeda HA
Makro algae MA
Turf algae TA
Abiotik Sand S
Rubble R
Silt SI
Rock RCK
Klasifikasi keanekaragaman jenis karang batu dilakukan dengan
mengidentifikasi jenis karang batu sampai pada tingkat spesies berdasarkan
petunjuk (Veron and Stafford-Smith 2000; Suharsono 2002).

Penentuan Stasiun Pengamatan Lapangan


Penentuan stasiun pengamatan lapangan menggunakan teknik stratified
random sampling. Teknik ini didasarkan pada pengetahuan tentang area studi yang
dibagi kedalam kelompok-kelompok atau strata dan pada setiap strata stasiun
pengamatan dipilih secara acak. Teknik ini digunakan dalam pengujian akurasi
klasifikasi dalam pemetaan dengan membagi peta area studi menjadi beberapa kelas
(Congalton and Green 2008).
Citra satelit dibagi menjadi beberapa kelas menggunakan teknik klasifikasi
tak terbimbing (unsupervised classification). Jumlah kelas didasarkan pada skema
klasifikasi zona geomorfologi dengan jumlah sebanyak 20 kelas. Hasil klasifikasi
tak terbimbing selanjutnya dikelaskan kembali (re-class) untuk mengelompokan
area laut dalam, perairan dangkal dan daratan (Gambar 7). Stasiun pengamatan
lapangan detetapkan dengan memotong hamparan pada area perairan dangkal (dari
timur-barat).
24

Gambar 7 Penentuan titik pengamatan lapangan

Data pendukung
Data-data pendukung yang dikumpulkan terdiri dari data kecerahan udara,
data pasang surut, data DEM dan peta digital di sekitar lokasi penelitian. Data
kecerahan udara yang digunakan adalah data pengamatan Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Stasiun Galela Kabupaten Halmahera Utara yang dapat diunduh
pada National Climate Data Centre NOAA
(http://www7.ncdc.noaa.gov/CDO/dataproduct). Data kecerahan udara merupakan
data jarak pandang horizontal (dalam satuan mil) yang disesuaikan dengan tanggal
perekaman citra satelit. Data kecerahan udara akan digunakan sebagai parameter
input koreksi atmosferik.
Data pasang surut yang digunakan adalah data estimasi diperoleh dari Dinas
Hidro-Oseanografi (DISHIDROS) TNI AL dan data pengamatan lapangan selama
39 jam. Data pasang surut digunakan untuk mengoreksi pengukuran kedalaman
lapangan dan untuk mempredikdi kondisi tinggi air pada saat jam perekaman citra.
Satelit Landsat melintas pada waktu lokal sekitar pukul 10.00 pagi, maka seluruh
data hasil pengukuran kedalaman akan dikoreksi terhadap ketinggian air pada pukul
11.00.
Data DEM adalah data ata digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat
hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan
25

tersebut menggunakan himpunan koordinat (Li et al. 2010). Data DEM diunduh
pada USGS Global Data Explorer (http://gdex.cr.usgs.gov/gdex/). DEM digunakan
sebagai parameter dalam koreksi atmosferik.
Peta-peta digital yang digunakan adalah peta Rupabumi Indonesia (RBI)
skala 1:50000 pada nomor lembar peta 2618-21 yang diperoleh dari Badan
Informasi Geospasial (BIG) atau dapat diunduh secara gratis pada http://portal.ina-
sdi.or.id/.

Komponen Ekosistem Terumbu Karang


Pengambilan data didasarkan pada skema klasifikasi yang telah disusun
sebelumnya dan resolusi spasial citra yang digunakan. Pengambilan data
dikumpulkan pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan dengan merekam
setiap posisi menggunakan GPS. Berdasarkan skema klasifikasi, zona
geomorfologi ditentukan berdasarkan pengamatan secara visual pada setiap stasiun
pengamatan. Sebagai data tambahan untuk menentukan skema klasifikasi zona
geomorfologi, dilakukan juga pengumpulan data kedalaman menggunakan
Fishfinder.
Pengambilan data komponen ekosistem terumbu karang untuk skema
klasifikasi selanjutnya dilakukan dengan menerapkan teknik line transek foto
qudrat (English et al. 1997; Roelfsema and Phinn 2008). Teknik line transeck foto
quadrat adalah teknik pengumpulan data dengan meletakan kuadran berukuran 1x1
m pada transek sepanjang 50 m dengan jarak peletakan kuadran adalah 2 meter pada
setiap sisi kiri dan kanan lintasan sehingga jumlah peletakan kuadran adalah 25 kali.
Setiap kuadran dilakukan perekaman gambar menggunakan kamera digital bawah
air dengan jarak kurang lebih 120 cm antara kamera dengan objek kuadran. Apabila
kedalaman perairan kurang dari ketinggian/jarak kamera terhadap objek pada
kuadran, maka perekaman gambar untuk analisis dilakukan beberapa kali sehingga
untuk setiap kuadran terekam secara keseluruhan (Gambar 8).

Gambar 8 Teknik line transek foto quadrat


26

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Persentase Tutupan Ekosistem Terumbu Karanag


Analisis presentase tutupan komponen ekosistem terumbu karang digunakan
untuk mendefenisikan kelas-kelas pada skema klasifikasi struktur geomorfologi,
komponen biologi, kategori bentuk tutupan (life-form) dan kenaekaragaman.
Analisis data persentase tutupan menggunakan aplikasi Coral Point Count with
Excel extensions (CPCe) (Kohler and Gill 2006).
CPCe merupakan sebuah aplikasi standalone yang dikembangkan melalui
Visual Basic, mampu secara otomatis, memfasilitasi dan cepat melakukan analisa
perhitungan titik acak (random point count). CPCe juga mampu melakukan
kalibrasi bidang planar dan perhitunan panjang substat dasar terhadap gambar hasil
perekaman kamera digital bawah air. Selain itu CPCe juga memiliki kemampuan
menghasilkan analisa statistic untuk setiap spesies/substrat spreadsheet pada
Microsoft Excel (misalnya kelimpahan relatif, rata-rata, standar deviasi, standar
eror) dan perhitungan indeks keragaman Shannon-Weaver untuk setiap spesies.
CPCe mempunyai 4 model perhitungan titik acak dengan karakteristik
setiap tipe titik acak adalah sebagai berikut :
1. Simple random: setiap piksel gambar yang ditandai memiliki
kemungkinan yang sama untuk dipilih pada setiap posisi titik acak.
Koordinat x dan y titik-titik acak dihasilkan secara terpisah kemudian
dihitung. Angka-angka acak selanjutnya diskalakan untuk menghasilkan
koordinat yang terletak dalam batas area gambar yang telah ditentukan.
2. Stratified random: area gambar dibagi menjadi m baris dan n kolom,
kemudian setiap sel diwakili oleh poin acak k dalam batas sel. Metode ini
dapat mengurangi proses pengelompokan titik-titik acak dibandingkan
dengan metode simple random karena titik acak akan hadir pada setiap
area sel gambar. Jumlah total poin adalah m x n x k.
3. Uniform grid: metode ini mengharuskan jumlah poin pada arah x dan y
menghasilkan matriks yang sesuai dengan koordinat poin tepat pada batas
gambar.
4. Equally space grid: jarak x dari titik-titik sama dengan jarak y, dan
pengguna dapat menentukan jumlah titik baik dalam arah x atau y.
Tipe spesifikasi titik acak yang digunakan dalam penelitian ini adalah uniform
grid dengan jumlah sebanyak 25 titik acak untuk setiap gambar kuadran. Tipe
spesifikasi titik acak CPCe disajikan pada Gambar 9. Persentase tutupan dihitung
berdasarkan perbandingan jumlah titik setiap objek dan jumlah total titik dengan
persamaan (English et al. 1997):
% 100 (14)

Setelah menentukan titik acak pada gambar selanjutnya diberi lebel sesuai
dengan abjad atau nomor untuk diidentifikasi berdasarkan kategori struktur
geomorfologi, komponen biologi, kategori lifeform maupun jenis karang. Data hasil
analisis dapat diekspor ke program pengolahan spreadsheet Excel untuk
perhitungan persentase tutupan dan keanekaragaman jenis.
27

Sumber: (Kohler and Gill 2006)


Gambar 9 Spesifikasi titik acak (a) simple random (b) stratified random (c) uniform
grid dan (d) equally space grid

Klasifikasi Eksosistem Terumbu Karang


Klasifikasi adalah proses identifikasi piksel citra dengan sifat-sifat yang
sama, mengorganisir kedalam kelompok kemudian menentukan lebel/nama
kelompok tersebut dan tahap akhir dari klasifikasi adalah peta yang memuat
informasi tertentu (Green et al. 2000). Klasifikasi data citra satelit multispektral
juga disebut dengan istilah klasifikasi multispektral yang menggunakan satu
kriteria, yaitu nilai spektral (nilai kecerahan) pada beberapa saluran sekaligus.
Klasifikasi multispektral dengan pendekatan nilai spektral merupakan klasifikasi
yang berbasis pada piksel atau klasifikasi berbasis piksel. Perkembangan saat ini
klasifikasi multispektral dilakukan dengan melibatkan unsur interpretasi lain
disamping nilai spektral seperti tekstur dan bentuk misalnya segmentasi berbasis
objek atau klasifikasi berbasis objek (object based image analisys, OBIA)
(Danoedero 2012).
Terdapat dua pendekatan utama untuk mengklasifikasi citra digital
multispektral yaitu klasifikasi tak terbimbing (unsupervised) dan terbimbing
(supervised). Klasifikasi tak terbimbing adalah klasifikasi dengan mekanisme
komputer secara otomatis mengklasifikasi piksel citra kedalam sejumlah kelas
(ditentukan oleh operator) berdasarkan kemiripan spektral sehingga menjadi dasar
dalam perencanaan kegiatan pengamatan lapangan. Klasifikasi terbimbing adalah
teknik klasifikasi dengan mekanisme sebaliknya, yaitu data pengamatan lapangan
digunakan untuk mengidentifikasi piksel dari tipe-tipe objek berbeda dan menjadi
pedoman menentukan karakteristik spektral dari data citra. Klasifikasi terbimbing
biasanya diterapkan untuk menghasilkan klasifikasi yang lebih akurat.
28

Teknik klasifikasi tak terbimbing menggunakan algoritma ISODATA


(Iterative Self-Organizing Data Analysis Technique) untuk mengelompokan piksel
citra multispektral menjadi kelompok-kelompok yang relatif homogen. Piksel-
piksel dikelompokan berdasarkan jumlah kelas yang ditentukan dengan
menghitung jarak minimum terhadap rata-rata yang dilakukan secara berulang
(iteratif). Iterasi didasarkan pada nilai ambang batas (threshold) kemudian seluruh
piksel diklasifikasikan ke kelas terdekat. Nilai dan parameter yang digunakan pada
teknik klasifikasi tak terbimbing yaitu: Jumlah kelas 20, jarak minimum 4, iterasi
maksimum 100 dan nilai ambang batas 0.95.
Teknik klasifikasi terbimbing terdiri dari teknik klasifikasi berbasis piksel
dan teknik klasifikasi berbasis objek. Teknik klasifikasi berbasis piksel didasari
pada pengambilan contoh objek berupa nilai spektral pada lokasi geografis
kelompok piksel sampel (training area). Piksel sampel ditentukan dari data
pengamatan lapangan sesuai dengan skema klasifikasi.
Teknik klasifikasi berbasis objek (OBIA) adalah pendekatan yang terdiri dari
dua tahap yaitu segmentasi dan menetapkan kelas-kelas pada area yang telah
disegmentasi (Blaschke 2010). Segmentasi adalah membagi citra menjadi segmen-
segmen berdasarkan tipe algoritma segmentasi seperti warna, tekstur dan bentuk
kelompok piksel kemudian menentukan skala segmentasi. Proses ini
memungkinkan kelompok piksel yang sesuai dengan objek akan diidentifikasi
berdasarkan karakteristik ukuran (size), reflektansi spektral (color) dan bentuk
(compactness). Tahap klasifikasi untuk menetapkan kategori kelas setiap segmen
menggunakan pendekatan kelompok objek. Pendekatan ini menggabungkan
segmen warna, bentuk, tekstur dan posisi objek berdasarkan skema klasifikasi. Pada
penelitian ini juga diaplikasikan algoritma klasifikasi campuran (hibrida) yang
mengkombinasikan klasifikasi berbasis objek hasil segmentasi dan hasil
pengamatan lapang.
Aturan klasifikasi yang digunakan adalah aturan klasifikasi yang sudah
umum digunakan seperti maximum likelihood dan aturan klasifikasi yang lebih
maju seperti support vector machine (SVM), random trees (RT), beyesian, decision
trees(DT) dan k-neirest neighbor (KNN).

Deteksi Perubahan Habitat Terumbu Karang


Deteksi perubahan habitat terumbu karang dilakukan dengan teknik threshold
deteksi perubahan temporal (Chen et al. 2003). Threshold tunggal digunakan pada
seluruh seri data citra untuk mendeterminasi karakteristik fisik dalam perubahan
piksel antara dua data. Secara umum jika tingkat perubahan vector pixel untuk tipe
penutupah lahan tertentu lebih besar dari nilai rata-rata ditambah dengan adjustable
parameter dikalikan standar deviasi kategori penutupan lahan maka pada piksel
tersebut didefenisikan sebagai piksel yang mengalami perubahan, dan sebaliknya
apabila lebih kecil maka didefenisikan sebagai piksel yang tidak berubah.
∆ ,
, (15)
∆ ,
dimana j mewakili kelas penutupan lahan, || || rata-rata perubahan vector ( )
untuk kelas penutupan lahan j, adalah standar deviasi ( ) dan adalah
parameter pengatur dengan kisaran nilai antara 0.0 sampai 1.5. Persamaan ini hanya
29

bisa diterapkan untuk dua seri citra secara terpisah pada setiap kelas penutupan
lahan hasil klasifikasi (Morisette and Khorram 2000).
Untuk mendeteksi perubahan kelas penutupan terumbu karang pada seri citra
yang digunakan maka dikembangkan persamaan pasangan angka setiap kelas
dengan citra sebagai berikut:
∗ 10 ⋯ ∗ 10 (16)
dimana P adalah perubahan kelas penutupan, Ki adalah penutupan kelas ke-i, t
adalah seri citra dan n adalah jumlah seri data citra.
Bentuk dari analisis deteksi perubahan dapat dijabarkan sebagai berikut:
 Kelas 1 = 111
 Kelas 2 = 222
 Kelas 3 = 333
 Kelas 4 = 444
 Kelas 5 = 555
 Kelas n = nnn
Jika pasangan angka pada setiap kelas hasil analisis mengalami perubahan
maka akan diketahui perubahannya pada setiap waktu.

Uji Akurasi
Pengujian akurasi dilakukan terhadap seluruh peta hasil klasifikasi untuk
mengetahui akurasi dari teknik klasifikasi yang diterapkan. Uji akurasi yang umum
dilakukan pada data hasil klasifikasi penginderaan jauh adalah matrik kesalahan
(error matrix/confusion matrix atau contingency matrix). Hal ini dikalukan dengan
membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas yang sebenarnya.
Kelas yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan.
Uji akurasi mengacu pada Congalton and Green (2008) yang terdiri dari
overall accuracy (OA), producer accuracy (PA), users accuracy (UA) dan Kappa.
Pesentase ketelitian suatu kelas diperoleh dari perbandingan jumlah piksel yang
benar masuk pada training area dengan jumlah piksel pada training area suatu kelas.
Persentase ketelitian klasifkasi secara keseluruhan dihiting dari perbandingan
antara jumlah piksel yang benar setiap kelas dengan total pixel training area
keseluruhan.

j = kolom (referensi) Jumlah baris nj+


i =baris 1 2 k nj+
1 n11 n12 n1k n1-
2 n21 n22 n2k n2-
k n31 n22 n2k nk-
Jumlah kolom n+j n+1 n+2 n+k n
dimana

merupakan jumlah sample hasil klasifikasi terhadap kelas i dalam klasifikasi


penginderaan jauh, dan
30

Merupakan jumlah sample yang diklasifikan ke dalam kelas j pada data referensi.
Akurasi keseluruhan (overall accuracy) antara data hasil klasifikasi penginderaan
jauh dan data referensi dapat dihitung sebagai berikut:

(17)
Producer’s accuracy dapat dihitung sebagai berikut:
′ (18)

dan User’s accuracy dapat dihitung sebagai berikut:


′ (19)

Nilai Kappa dihitung dari setiap matriks kesalahan dan mengukur bagaimana
klasifikasi penginderaan jauh sesuai dengan data referensi. Interval kepercayaan
disekitar nilai Kappa dapat dihitung menggunakan varian sampel yang besar dan
pada kenyataan bahwa Kappa statistic secara asimtotik terdistribusi normal.
Kenyataan ini juga berarti bahwa uji signifikan Kappa statistik matriks kesalahan
tunggal untuk menentukan jika kesesuaian antara klasifikasi penginderaan jauh dan
data referensi secara signifikan lebih besar dari 0 atau lebih baik dari klasifikasi
acak.
Uji untuk menentukan jika dua nilai Kappa independen dan untuk dua matriks
kesalahan yang secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan
perbandingan secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu
berbeda, dua algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan
akurasi lebih baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matriks kesalahan diuji
tingkat kepercayaan signifikan pada standar deviasi norma sebagai berikut:
Jika dan merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing
matriks kesalahan #1 dan #2, dan adalah estimasi varian sebagai
hasil dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik untuk menentukan akurasi
matriks kesalahan tunggal menggunakan persamaan:

(20)

Z adalah standarisasi dan distribusi normal (standar deviasi) dengan hipotesis


: 0 dan : 0, ditolak jika / , dimana α/2 adalah tingkat
kepercayaan Z test dan derajat bebas diasumsikan tidak terhingga (∞).
Uji statistik untuk mengetahui jika dua matriks kesalahan independen berbeda
secara signifikan menggunakan persamaan:

| |
(21)
31

Z adalah standarisasi distribusi normal nilai Kappa dengan hipotesis :


0, alternative : 0, ditolak jika / .
Keseluruhan pelaksanaan tahapan penelitian dapat diilustrasikan secara
sederhana melalui diagram alir berikut ini.

Analisis Data Data Penelitian Pengolahan Data

Pengamatan Data
Citra Satelit
Lapangan Pendukung

Kecerahan
Udara
Landsat 5TM
Landsat 7ETM+ Koreksi Atmosferik
Landsat 8 OLI

AOI

Kelas Bentik
Citra Koreksi Subset/Pemotongan
CPCe Terumbu
Karang
Atmosfir Citra

Kedalaman
Subsrtat
Masking
Honogen

Koreksi Kolom
Citra DII
Perairan

Kelas Zona
SIMPER Skema Klasifikasi
Geomorfologi
OBIA
Klasifikasi
Berbasis Piksel
Analisis Kelas Habitat
Separabilitas Bentik
Algoritma Klasifikasi

Peta Habitat
Uji Akurasi Bentik Terumbu
Karang

Deteksi Perubahan

Validasi Peta-Peta
Habitat Terumbu
Karang

Gambar 10 Tahapan prosedur penelitian


3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI HABITAT
BENTIK TERUMBU KARANG

Latar Belakang

Terumbu karang secara terus-menerus telah menjadi subyek dari banyak


penelitian. Tujuan utama dari penelitian-penelitian ini adalah untuk
menginvestigasi dan mendokumentasikan status kesehatan habitat ini, meskipun
banyak penelitian yang dipublikasi dilakukan dalam waktu singkat dan skala yang
kecil. Beberapa keterbatasan telah menunjukan banyak kesulitan dalam
menganalisis data eksisting cenderung menyebabkan perbedaan secara temporal
dan spasial. Kesulitan utama adalah keterbatasan ukuran sampel, dimana ukuran
sampel yang kecil menjadi faktor pembatas investigasi peluang distribusi data
(Hoare and Tsokos 2009).
Congalton and Green (2008) menjelaskan bahwa, untuk menghasilkan peta
dengan karakteristik bentuk lahan yang dapat dimanfaatkan oleh para pengguna
maka dibutuhkan tahapan untuk mendefenisikan objek yang akan dipetakan atau
diistilahkan sebagai skema klasifikasi. Tanpa skema klasifikasi tidak ada pemetaan
yang benar-benar tepat. Detail dari suatu skema ditentukan oleh antisipasi
penggunaan informasi peta dan bentuk-bentuk permukaan bumi yang dapat
dibedakan dengan data penginderaan jauh (foto udara atau citra satelit) menjadi
bermanfaat untuk menghasilkan peta. Jika skema klasifikasi yang tepat tidak
dikembangkan sebelum memulai pembuatan peta, maka tahap pengujian akurasi
peta akan menjadi tidak berarti sebab tidak mungkin untuk mendefenisikan lebel
sampel pengujian akurasi.
Sistem klasifikasi terumbu karang menggunakan penginderaan jauh dapat
dibangun melalui dua aspek yaitu zona geomorfologi dan tipe-tipe substrat. Banyak
penelitian penginderaan jauh terumbu karang, zona geomorfologi dapat
dikategorikan secara umum menjadi terumbu bagian depan (reef front), rataan
terumbu (reef flat), terumbu bagian belakang (back reef), laguna dan tipe-tipe
substrat diklasifikasikan menjadi karang, alga, pasir dan sebagainya. Pada kasus
tertentu terumbu karang dikategorikan kedalam kelas atau sub-kelas berbeda
tergantung pada kondisi lingkungan atau karakteristik stuktur biomasa (Xu and
Zhao 2014).
Berbagai teknik atau cara mendefenisikan ekosistem terumbu karang menjadi
skema klasifikasi dalam pemetaan terumbu karang telah digunakan dalam
penelitian-penelitian sebelumnya. Mumby et al. (1997), menggunakan istilah
habitat sebagai pendekatan umum dari kelimpahan spesies dan asosiasi substrat.
Istilah resolusi deskriptif digunakan untuk menggambarkan aspek biologi secara
detail berdasarkan jenis sensor untuk pemetaan daerah tertentu berdasarkan
diskriminasi atau perubahan antar habitat. Resolusi deskriptif kasar dalam bentuk
sederhana hanya terdiri dari karang, alga, pasir dan lamun. Sedangkan resolusi
deskriptif detail mencakup kelimpahan spesies/substrat, variasi tutupan lamun dan
seterusnya.
Skema klasifikasi habitat merupakan sistem terstruktur untuk menentukan
tipe-tipe habitat menjadi kelompok-kelompok atau kelas-kelas yang dapat
didefenisikan berdasarkan karakteristik ekologi. Tahap awal dalam pembuatan peta
33

adalah mengidentifikasi dengan jelas kelas-kelas tersebut dan mendeskripsikan


atributnya. Skema klasifikasi digunakan untuk memandu batasan dan defenisi
habitat dalam proses pembuatan peta. Selanjutnya, tahap ini menjadi penting untuk
pengguna peta dalam memahami bagaimana sistem klasifikasi sebagai struktur
dalam mendefenisikan setiap kelas (Zitello et al. 2009).
Mumby and Harborne (1999), menggunakan pendekatan secara sistematis
klasifikasi habitat yang mengkombinasikan geomorfologi dan penutupan bentik.
Kelas bentik diturunkan dan dideskripsikan secara obyektif menggunakan
aglomeratif klasifikasi hirarki, data lapangan dan analisis persen kemiripan yang
dihasilkan dari analisis gerombol. Skema ini memiliki struktur hirarki untuk
mengakomodasi kebutuhan pengguna, ketersediaan variabel data dan skala spasial
dari kebanyakan metode penginderaan jauh.
Kategori geomorfologi diambil dari hasil klasifikasi Holthus and Maragos
(1995), yang didasarkan pada aspek fungsional untuk menghindari kesalahan
istilah. Misalnya lereng adalah istilah yang digunakan untuk dasar perairan dengan
kemiringan lebih dari 45o. Kategori geomorfologi terdiri dari backreef, reef crest,
spur and groove, forereef, escarpment, patch reef dan lagoon floor. Skema
klasifikasi habitat digambarkan dengan pendekatan ekologi kuantitatif untuk
mendefenisikan kelas bentik. Karang keras dan makro alga diidentifikasi sampai
tingkat spesies, sponge diidentifikasi untuk tingkat taksa atau bentuk tutupan (life
form) dan gorgonian dicatat pada unit kepadatan.
Skema klasifikasi terumbu karang yang diaplikasikan oleh Andréfouët et al.
(2003) pada sepuluh lokasi terumbu karang juga didasarkan pada komposisi
komponen geomorfologi dan bentik. Komponen geomorfologi ditentukan
berdasarkan bentuk atau tinggi relief, sebaran dan kepadatan serta kedalaman.
Sedangkan komponen bentik ditentukan berdasarkan persentase penutupan dari
karang, alga dan lamun.
Klasifikasi non sistematis dari habitat dan dokumentasi yang rancu
menghasilkan masalah-masalah dalam beberapa skala pemetaan terumbu karang.
Pertama, interpretasi untuk mendefenisikan skema klasifikasi menjadi sulit pada
skala peta habitat secara individual. Hal ini sulit berlaku dalam penggunaan skema
untuk perencanaan dan pengamatan lapang yang mengadopsi data secara in-situ.
Kedua, integrasi beberapa peta-peta habitat secara nasional sangat sulit karena tidak
ada atau sangat sedikit standarisasi dalam terminologi ini. Dengan demikian, tidak
hanya sulit untuk menentukan kapan dua istilah yang sinonim dapat digunakan,
tetapi kurangnya data kuantitatif detail juga mengaburkan perbedaan yang ada pada
tipe habitat sehingga mengurangi kemungkinan bahwa habitat akan dibedakan
dengan benar (Mumby and Harborne 1999).
Pemahaman tentang pemetaan habitat bervariasi antara satu peneliti dengan
peneliti yang lain menjadi sangat penting untuk mendefenisikan secara tepat
tentang habitat sebelum melakukan suatu penelitian. Sebagian besar pembuatan
peta-peta habitat pada dasarnya di bagi menjadi lima kelompok yaitu: i) ad hoc,
mendefenisikan habitat tanpa data pengamatan lapangan; ii) aplikasi secara khusus
penelitian yang hanya difokuskan pada beberapa habitat; iii) aspek geomorfologi;
iv) aspek ekologi; dan v) kombinasi dengan lebih dari satu informasi seperti
geomorfologi dan kelimpahan biotik (Green et al. 2000).
Defenisi habitat untuk membangun skema klasifikasi merupakan tahapan
yang penting sebelum melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan dan
34

pemilihan platform citra satelit dalam menghasilkan peta-peta tematik ekosistem


terumbu karang. Kompleksitas ekosistem terumbu karang yang tinggi merupakan
faktor pembatas dalam mendefenisikan habitat meliputi penggunaan yang tidak
konsisten dari aspek biologi, jenis substrat dasar dan geomorfologi untuk
memisahkan habitat berbeda dan fleksibilitas dari beberapa istilah untuk
menggambarkan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu
pendekatan secara sistematik klasifikasi ekosistem terumbu karang dalam
pengembangan skema klasifikasi habitat.

Metode Penelitian

Data dan Peralatan Penelitian


Data yang digunakan adalah data pengamatan lapangan berupa foto (image)
komponen bentik terumbu karang. Sedangkan peralatan penelitian terdiri dari
perangkat lunak pengolahan data yaitu Microsoft Excel 2013 yang telah dilengkapi
dengan modul tambahan pengolahan statistik, XLSTAT 2014 dan Coral Point
Count with Excel ectention (CPCe) untuk pengolahan data ekologi.

Penentuan komponen penyusun bentik


Deskripsi kelas habitat terumbu karang untuk mendefenisikan skema
klasifikasi menggunakan pendekatan ekologi kuantitatif. Kelas habitat terumbu
karang didefenisikan dari hasil foto kudrat berukuran 1x1 m hasil pengamatan
pengamatan lapangan menggunakan aplikasi (CPCe) (Kohler and Gill 2006). Kelas
habitat dianalisis berdasarkan persentase tutupan komposisi komponen bentik
terumbu karang menggunakan 25 poin yang ditumpang susun ke foto habitat bentik
dengan sistem grid seragam (uniform grid) berbentuk matriks dengan jumlah titik
sebanyak 5 pada setiap sisi yang sama atau berbentuk matriks 5x5 (Gambar 11).

Gambar 11 Sistem tumpang susun titik analisis data pada foto kuadrat
35

Komponen penyusun bentik terumbu karang yang dianalisis terdiri dari


komponen biotik dan abiotik. Kompenen biotik mencakup karang keras dan biota
asosiasi seperti karang lunak, gorgonian, sponge, zoanthid, coralin algae, fauna
lain, kemudian vegetasi dasar perairan seperti alga dan lamun. Komponen abiotik
terdiri dari susbtrat pasir, pecahan karang dan bongkahan batu (rock) yang berasal
dari sisa bangunan karang mati maupun batuan vulkanik. (English et al. 1997;
Zitello et al. 2009; Phinn et al. 2013)
Nilai persentase tutupan dihitung berdasarkan jumlah titik objek komponen
penyusun bentik terumbu karang yang ditumpang susun dengan foto kuadrat.
Perhitungan nilai persentase tutupan dilakukan dengan mengkonversi (export) data
dari perangkat lunak CPCe ke perangkat pengolahan data (spredsheet) Microsof
Excel untuk mendapatkan data tabulasi seluruh stasiun pengamatan.

Pengembangan Skema Klasifikasi


Parameter pendekatan ekologi kuantitatif yang digunakan untuk
mendefenisikan pengembangan skema klasifik adalah nilai persentase tutupan.
Sebagai tahap awal data persentase penutupan komponen penyusun habitat bentik
adalah mengidentifikasi frekwensi kehadiran setiap komponen penyusun.
Komponen bentik dengan frekwensi kehadiran yang kurang dari 4% tidak
digunakan karena akan mempengaruhi analisis pengelompokan kelas habitat
(Green et al. 2000).
Pengelompokan presentase tutupan karang menggunakan analisis gerombol
(cluster analysis). Kemiripan/ketidakmiripan komponen penyusun kelas habitat
diukur menggunakan jarak kemiripan koefisen Bray-Curtis (Clarke 1993),
persamaannya dinyatakan sebagai berikut :

1 ∑
(22)

dimana Xij adalah kelimpahan komponen bentik ke-i pada sampel ke-j dan p adalah
total komponen bentik.
Jarak Bray-Curtis berkisar 0-1, dalam penelitian ini digunakan nilai
ketidakmiripan 0.4 yang berarti bahwa komposisi seluruh komponen bentik
terumbu karang akan terkelompok dengan nilai kemiripan sebesar 0.6 (60%)
(Mumby and Harborne 1999; Phinn et al. 2011).
Penamaan (labeling) kelas habitat mengacu pada nilai centroid setiap kelas
yang dibangun. Nilai centroid adalah persentase rata-rata masing-masing
komponen bentik setiap kelas. Tahap dan prosedur analisis pengembangan skema
klasifikasi disajikan pada Gambar 12.
36

Data Lapangan

Identifikasi Komponen
Analisis Persentase
Penyusun Terumbu CPCe
Tutupan
Karang

Apakah terdapat Mengeliminasi


Mengeliminasi
komponen penyusun Kompoene Penyusun
komponen dengan
dengan nilai kehadiran dengan Frekwensi
Frekwensi 3-4%
rendah? yang kecil

Klasifikasi
Pengukuran Koefisien kemiripan
menggunakan data
Kemiripan Bray-Curtis
persen tutupan

Metode
Analisis gerombol
Pengelompokan

Menggunakan nilai
Deskripsi Kelas
centroid setiap
Habitat
komponen bentik

Apakah terdapat kelas Mengeliminasi Kelas Mengeliminasi kelas


habitat dengan jumlah habitat dengan jumlah habitat dengan jumlah
sampel rendah? kelas yang kecil kelas 3-4%

Skema Klasifikasi
Habitat

Gambar 12 Tahap dan prosedur analisis skema klasifikasi

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Ekosistem Terumbu Karang


Ekosistem terumbu karang disusun oleh biomasa dan organisme asosiasinya
di lingkungan laut. Sebagai bagian penting dari ekosistem, karang batu
(scleractinian coral) secara umum bersimbiosis dengan alga zooxanthella sebagai
penyumbang utama sumber nutrient. Komposisi kandungan pigmen zooxanthella
ini bersama-sama menentukan karakteristik optik karang yang menjadi sumber
informasi penting bagi penginderaan jauh terumbu karang. Selain karang batu,
berbagai variasi alga, zoobenthos, plankton dan ikan turut berperan dalam
menentukan tingginya keanekaragaman hayati ekosistem terumbu karang (Wang
37

and Zhao 2000). Komposisi alga yang melekat pada terumbu biasanya menyebar
dan bercampur dengan karang batu bersama-sama dengan lamun, pasir serta
berbagai jenis substrat lainnya yang membentuk pola distribusi substrat dengan
heterogenitas spasial yang tinggi.
Ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian disusun oleh komponen bentik
karang hidup beserta organisme asosiasinya, alga, karang mati dengan alga, coralin
alga, lamun dan substrat abiotik. Organisme asosiasi karang batu adalah gorgonian
(kipas laut), sponge (porifera) dan karang lunak. Sedangkan substrat abiotik terdiri
dari rock, pecahan karang dan pasir Gambar 13.
50 168
160
45
40 140

35 120
Penutupan (%)

Frekwensi
30 100
25 80
74
20
56 57 60
15 53
46
38 40
10 32
25 20
5 19
5.3 0.8 0.2 6.2 1.2 0.6 0.01 27.9 4.3 8.6 44.9
0 2 0
KH G SP Al KL KMA CA L RCK PK P
Komponen bentik
Persen tutupan Frekwensi

Keterangan:
KH = Karang hidup
G = Gorgonian/kipas laut
SP = Sponge
Al = Alga
KL = Karang lunak
KMA = Karang Mati dengan Alga
CA = Coraline Alga
L = Lamun
RCK = Rock
PK = Pecahan Karang
P = Pasir
Gambar 13 Persentase tutupan dan frekwensi kehadiran komponen bentik
Komponen bentik ekosistem terumbu karang didominasi oleh substrat pasir
dan lamun dengan nilai rata-rata persentase tutupan masing-masing 44.9% dan
27.9%, sedangkan komponen bentik yang lain mempunyai nilai rata-rata persentase
tutupan yang rendah berkisar antara 0.01% (coralin alga) sampai 8.6% (pecahan
karang). Substrat pasir dan lamun selain mendominasi lokasi penelitian dengan
persentase tutupan yang lebih tinggi dari komponen bentik lainnya, juga
mempunyai frekwensi kehadiran yang lebih banyak dari total 200 stasiun
pengamatan. Substrat pasir dijumpai pada 168 stasiun sedangkan lamun dijumpai
pada 74 stasiun dan komponen bentik yang paling kecil frekwensi kehadiran adalah
coralin alga yang hanya dijumpai pada 2 stasiun pengamatan.
38

Persentase tutupan karang hidup berkisar antara 1-71.6% dengan nilai rata-
rata persentase tutupan 5.3% dengan frekwensi kehadiran sebanyak 53 stasiun
pengamatan. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (MENLH 2001),
maka kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang batu di lokasi
penelitian dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu kondisi buruk, sedang
dan baik. Kategori kondisi buruk dijumpai pada 39 stasiun, kondisi sedang 10
stasiun dan kondisi baik hanya dijumpai pada 4 stasiun. Dengan demikian secara
keseluruhan terumbu karang di lokasi penelitian berada dalam kondisi terancam
karena sebagian besar didominasi oleh kategori kondisi buruk.
Mengacu pada hasil penelitian Turak and DeVantier (2008) menunjukan
bahwa terdapat kemiripan informasi tentang kondisi terumbu karang di lokasi
penelitian dengan status yang mulai terancam keberadaannya. Mereka melaporkan
bahwa secara umum penutupan karang hidup berkurang dan penutupan pecahan
karang meningkat terutama pada area slope atau pada daerah yang lebih dalam,
sedangkan pada area rataan terumbu dengan kedalaman yang lebih dangkal terjadi
peningkatan penutupan alga makro (ekspansi alga). Hasil penelitian ini seperti pada
Gambar 13 juga menunjukan bahwa rata-rata persentase tutupan pecahan karang
dan alga lebih tinggi dari karang hidup dengan nilai persentase tutupan masing-
masing 8.6% dan 6.2%.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya kondisi terumbu karang adalah
pemangsaan biologi oleh bintang laut berduri (Achantaster planchii) dan siput
Drupella meskipun dalam kadar yang lebih rendah. Aktifitas manusia seperti
penggunaan bahan peledak dalam kegiatan penangkapan ikan, penambangan
karang dan budidaya rumput laut (intensitas kegiatan dalam 5 tahun terakhir
meningkat) juga merupakan penyebab menurunnya kondisi terumbu karang.

Deskripsi Skema Klasifikasi


Skema klasifikasi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah skema
klasifikasi habitat bentik terumbu karang. Deskripsi skema klasifikasi
menggunakan data persentase tutupan komponen bentik terumbu karang dengan
mengeliminasi komponen bentik yang memiliki frekwensi kehadiran kurang dari
4%. Persentase nilai frekwensi kehadiran komponen bentik pada 200 stasiun
pengamatan berkisar antara 1.0-84.0% terdiri dari karang hidup (26.5%), gorgonian
(12.5%), sponge (9.5%), alga (23.0%), karang lunak (16.0%), coralin alga (1.0%),
lamun (37.0%), rock (28.0%), pecahan karang (28.5%) dan pasir (84.0%).
Komponen bentik coralin alga dengan persentase kehadiran 1.0% tidak disertakan
dalam analisis pengelompokan (cluster analysis) berdasarkan nilai kemiripan.
Deskripsi skema klasifikasi selanjutnya diturunkan dari nilai persentase
sepuluh komponen bentik melalui pengukuran nilai kemiripan menggunakan
koefisien Bray-Curtis sebesar 60%. Nilai kemiripan 60% menunjukan bahwa setiap
kelas habitat yang dibagun memiliki kemiripan komponen penyusun bentik
minimal 60%. Jumlah kelas habitat yang dihasilkan dari nilai kemiripan Bray-
Curtis 60% berdasarkan analisi pengelompokan yang ditunjukan pada dendogram
(Gambar 14) adalah sebanyak 10 kelas. Tidak ada ketentuan dalam menggunakan
nilai kemiripan untuk mendefenisikan skema klasifikasi berdasarkan analisis
pengelompokan karena disebabkan oleh kondisi dan variasi lokasi pengamatan
yang berbeda-beda serta disesuaikan dengan platform citra satelit yang digunakan
(Green et al. 2000).
39

1 1
0.9 0.9
0.8 0.8
Dissimilarity 0.7 0.7

Dissimilarity
0.6 0.6
0.5 0.5
0.4 0.4
0.3 0.3
0.2 0.2
0.1 0.1
0 0
139
113
110
136
105
149
156
183
182
181
155
154
153
152
145
144
137
133
129
119
117
116
106
104
101
148
103
158
102
134
157
100
115
109
112
140
146
1591
3
123
132
195
194
193
192
191
190
189
188
187
186
185
184
180
179
178
177
176
175
174
172
171
170
169
168
167
166
165
164
163
162
161
142
135
131
128
127
126
124
122
121
120
118
114
111
107
138
147

173
929
5
7
8
6
143
108
664
160
198
196
199
151
832
125
197
200
150
130
141

C7
C1
C5
C6
C4
C9
C3
C8
C2
39
88
96
75

80
78
59
31
32
58
99
56
35
57
97
79
90
55
98
89
60
74
77
61
70
68
69
30
76
81
82
72
91
64
26
63

95
94
93
87
86
85
48
47
46
45
22
18
21
65
25
23
50
38
49
28
37
27
62
20
33
52
19
67
34
24
36
29
51
10
54
11
14
15
12
41
71
13
73
40
43
42
44
17
53
16
84

C10
Gambar 14 Dendogram pengelompokan kelas habitat
Mumby and Harborne (1999) menggunakan nilai kemiripan sebesar 64%
untuk mendefenisikan skema klasifikasi habitat terumbu karang secara hirarki yang
terdiri dari kelas detail, sedang dan kasar. Nilai kemiripan yang diterapkan mampu
mendefenisikan jumlah kelas pada kategori detail sebanyak 9 kelas, kategori sedang
sebanyak 3 kelas dan kategori kasar hanya terdiri dari 2 kelas.
Nilai kemiripan yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 60% mampu
menghasilkan 10 skema klasifikasi habitat terumbu karang. Jumlah sampel tiap
kelas berkisar antara 1 sampai 63. Kelas 5 dan 7 merupakan kelas dengan jumlah
sampel terbanyak yaitu 63 dan 62 sampel, sedangkan kelas 4 9 dan 10 mempunyai
jumlah sampel yang kurang dari 6 sampel (Tabel 9) .
Tabel 9 Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid
Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sampel 10 15 17 2 62 22 63 6 2 1
JB 10 15 17 2 62 22 63 6 2 1
VDK 327.0 625.6 523.3 322.6 18.4 370.0 629.4 167.2 340.3 0.0
JMiC 7.5 10.3 8.9 12.7 1.0 4.2 3.4 6.6 13.0 0.0
RJC 16.3 22.8 20.9 12.7 1.9 16.0 20.6 11.0 13.0 0.0
JMaC 25.0 36.3 37.2 12.7 21.6 37.2 58.8 17.4 13.0 0.0
Keterangan: JB= jumlah bobot; VDK= varian dalam kelas; JMiC= jarak minimum ke
centroid; RJC= Rata-rata jarak ke centroid; JMaC= jarak maksimum ke centroid.
Tahap akhir dalam pengambangan skema klasifiaksi adalah penentuan nama
(labeling) setiap kelas yang disusun oleh komponen bentik berdasarkan nilai
centroid. Mekanisme penamaan kelas dalam skema klasifikasi tidak mempunyai
ketentuan atau standar yang baku. Mumby and Harborne (1999) mendefenisikan
kelas habitat terumbu karang berdasarkan persentase tutupan koloni karang yang
dikombinasikan dengan karakteristik kedalaman perairan. Pendekatan lain yang
digunakan untuk penamaan skema klasifikasi adalah kombinasi antara persen
tutupan komponen bentik dengan zona geomorfologi (Andréfouët et al. 2003).
Penamaan skema klasifikasi analisis pengelompokan berdasarkan nilai
kemiripan dari sepuluh komponen bentik yang terdidentifikasi menggunakan nilai
centroid (Tabel 10). Tidak ditemukan komposisi nilai centroid pada seluruh kelas
40

skema klasifikasi yang hanya disusun oleh satu komponen bentik sehingga
penamaan kelas skema klasifikasi mengacu pada nilai centroid dominan.
Tabel 10 Kelas centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi
Class C G SP MA OL DCA L RCK PK P
1 11.080 2.160 0.240 0.000 4.520 0.520 4.840 8.200 19.560 48.760
2 12.661 1.212 0.409 1.796 3.022 1.716 0.000 14.646 60.415 4.125
3 39.671 5.624 0.824 0.094 8.282 3.471 0.000 15.812 16.188 10.035
4 9.400 1.400 0.200 0.000 2.600 1.200 0.000 82.800 2.000 0.400
5 0.000 0.000 0.000 0.634 0.000 0.000 0.048 0.000 0.075 99.242
6 0.061 0.000 0.061 43.652 0.000 0.485 2.582 0.091 0.364 52.706
7 0.032 0.025 0.000 2.283 0.000 0.000 85.819 0.161 0.165 11.515
8 5.500 4.000 1.067 2.667 0.533 2.800 2.733 1.867 48.900 29.800
9 11.600 2.600 0.200 0.000 1.000 0.200 0.000 47.800 11.400 25.200
10 0.000 0.000 0.000 57.333 0.000 0.000 42.667 0.000 0.000 0.000

Kelas 1 dibangun oleh seluruh komponen bentik dengan kontribusi terbesar


adalah pasir (48.7%) dan pecahan karang (19.6%). Kelas 2 dibangun oleh 9
komponen bentik dengan kontribusi terbesar adalah pecahan karang (60.4%). Kelas
3 dibangun oleh seluruh komponen bentik dengan kontribusi terbesar adalah karang
hidup (39.7%). Kelas 4 dibangun oleh 8 komponen bentik dengan kontribusi
terbesar adalah rock (82.8%). Kelas 5 hanya dibangun oleh 4 komponen bentik
dengan kontribusi terbesar adalah pasir (99.2%). Kelas 6 dibangun oleh seluruh
komponen bentik dengan kontribusi terbesar adalah pasir (52.7%) dan alga
(43.7%). Kelas 7 dibangun oleh 7 komponen bentik dengan kontribusi terbesar
adalah lamun (85.8%). Kelas 8 dibangun oleh seluruh komponen bentik dengan
kontribusi terbesar adalah pecahan karang (48.9%) dan pasir (29.8%). Kelas 9
dibangun oleh 8 komponen bentik dengan kontribusi terbesar adalah rock (47.8%)
dan pasir (25.2%). Kelas 10 hanya dibangun oleh 2 komponen bentik dengan
kontribusi masing-masing lamun alga (57.3%) dan lamun (42.7%).
Oleh karena tidak ada standarisasi dalam penamaan kelas secara baku dalam
pengembangan skema klasifikasi, maka penamaan kelas dalam penelitian ini
disesuaikan dengan komposisi bentik penyusun yang teramati di lapangan.
Penamaan kesepuluh kelas habitat dari pengembangan skema klasifikasi adalah:
Pasir Pecahan karang (PPK), Pecahan karang (PK), Karang hidup (KH), Rock
(RCK), Pasir (P), Pasir Alga (PAl), Lamun (L), Pecahan karang Pasir (PKP), Rock
Pasir (RCKP) dan Alga Lamun (AlL) (Gambar 15).
Teknik penamaan kelas untuk mendefenisikan skema klasifikasi yang
diterapkan oleh Phinn et al. (2011) juga didasarkan pada kontribusi komponen
habitat bentik. Kelompok komunitas bentik didefenisikan dari 9 tipe penutupan
bentik yang mengadopsi teknik yang dikembangkan oleh (Mumby and Harborne
1999) untuk pemetaan multi skala zona geomorfologi dan ekologi terumbu karang
di region pasifik.
41

100 Pasir (P)


90
Pecahan Karang (PK)
80
Rock (RCK)
70
Penutupan (%) Lamun (L)
60
Karang Mati Alga (KMA)
50
40 Karang Lunak(KL)

30 Alga (Al)

20 Sponge (SP)
10 Gorgonian (G)
0
Karang hidup(KH)

Kelas habitat

Gambar 15 Persentase centroid koponen bentik dalam menyusun skema klasifikasi


habitat
Penerapan skema klasifikasi menggunakan citra satelit dengan
mempertimbangkan jumlah sampel minimal 3% dari total sampel atau sebanyak 6
sampel. Dari total 10 kelas habitat hanya 7 kelas yang yang memenuhi jumlah
minimal sedangkan 3 kelas yaitu kelas RCK dan RCKP hanya terdiri dari 2 sampel
dan kelas AlL hanya terdiri dari 1 sampel sehingga tidak digunakan dalam proses
klasifikasi dengan citra satelit (Gambar 16)
100
90
Pasir (P)
80
70 Pecahan karang (PK)
Penutupan (%)

60 Rock (RCK)

50 Lamun (L)

40 Karang mati alga (KMA)


30 Fauna lain
20 Makro alga (MA)
10 Sponge (SP)
0 Gorgonian (G)
PPK PK (15) KH (17) P (62) PAl(22) L (63) PKP (6)
Karang hidup (KH)
(10)
Kelas habitat bentik

Gambar 16 Kelas habitat skema klasifikasi


42

Simpulan

Ekosistem terumbu karang disusun oleh karang hidup, organisme asosiasi,


vegetasi bentik dan substrat abiotik. Komponen bentik penyusun terumbu karang
didominasi oleh substrat pasir dan lamun dengan kondisi terumbu karang
dikategorikan buruk sampai baik.
Skema klasifikasi yang dikembangkan dari persentase tutupan komponen
bentik terumbu karang mampu menghasilkan 10 kelas habitat dan hanya 7 kelas
yang dapat digunakan untuk klasifikasi menggunakan citra satelit. Penggunaan
analisis pengelompokan dan persentase kemiripan dapat membantu dalam
pengembangan skema klasifikasi.
4 KLASIFIKASI PEMETAAN HABITAT BENTIK TERUMBU
KARANG

Pendahuluan

Informasi spasial tentang komposisi, kondisi dan dinamika terumbu karang


pada skala spasial yang tepat dan bentuk-bentuk yang sesuai adalah persyaratan
utama dalam memahami dan mengelola terumbu karang. Sebagian besar
keterbatasan informasi dari sudut pandang pengguna dalam kaitannya dengan skala
spasial dan tipe-tipe informasi yang berhubungan dengan terumbu karang,
komponen penyusun dan pengelolaannya, telah menghasilkan terbatasnya
penggunaan data citra satelit resolusi menengah sampai tinggi dalam bidang
pengelolaan terumbu karang (Andréfouët 2008). Pemetaan dengan penginderaan
jauh menggunakan foto udara dan sensor satelit telah terbukti efisien dari segi biaya
dibandingkan dengan pengamatan lapangan. Terumbu karang yang relatif berada di
perairan dangkal dan jernih sangat memungkinkan dapat dideteksi menggunakan
data optik sensor satelit pasif sehingga banyak menjadi fokus dari penelitian-
penelitian seperti ini (Mumby et al. 1999).
Landsat TM dan ETM+ adalah sensor satelit yang paling umum digunakan,
tetapi kemampuannya untuk membedakan antara karang dan asosiasinya terbatas
disebabkan oleh kemampuan resolusi spasial dan spectral. Ukuran piksel Landsat
yang dikategorikan tingkat medium (30m) memungkinkan beberapa habitat
terdapat dalam satu piksel yang menyebabkan terjadinya kesalahan klasifikasi.
Perbedaan spektral antara karang, lamun dan alga yang sempit menyebabkan tidak
mudah dideteksi oleh sensor Landsat dengan tiga band yang mampu menembus
kolom perairan (Holden and LeDrew 1998), (Hochberg and Atkinson 2000),
(Hochberg and Atkinson 2003). Beberapa penelitian sebelumnya untuk pemetaan
habitat dasar berbasis piksel dengan algoritma klasifikasi Maximum likelihood
(MLH) menemukan bahwa sensor Landsat TM dan ETM+ memadai untuk
pemetaan karang, pasir dan lamun tetapi tidak dapat membedakan lebih dari enam
kelas habitat berbeda. Akurasi peta-peta habitat dasar terumbu karang yang
diturunkan dari citra Landsat untuk kelas kecil (4 kelas) mencapai 73% tetapi hanya
mencapai 52% untuk delapan kelas dan 37% untuk 13 kelas.(Mumby et al. 1997),
Akurasi pemetaan habitat dasar terumbu karang menggunakan citra Landsat dengan
skema klasifikasi yang lebih dari enam kelas pada beberapa lokasi berbeda juga
menghasilkan akurasi klasifikasi antara 53-56%, sedangkan akurasi klasifikasi
dengan jumlah kelas kurang dari atau sama dengan enam kelas mencapai 60%.
(Mumby and Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003),
Klasifikasi citra adalah tahap penting dalam analisis citra penginderaan jauh
dengan pemilihan algoritma klasifikasi yang memberikan pengaruh besar terhadap
hasil akhir. Studi-studi pemetaan habitat bentik sebelumnya secara umum
mengaplikasikan algoritma klasifikasi tradisional MLH (Mumby and Edwards
2002);(Andréfouët et al. 2003);(Pu et al. 2012). Secara umum sistem klasifikasi
dirancang berdasarkan kebutuhan pengguna, pemilihan resolusi spasial data
penginderaan jauh, kompatibilitas dengan penelitian sebelumnya, pemrosesan citra
dan algoritma klasifikasi yang tersedia (Lu and Weng 2007).
44

Berbagai teknik klasifikasi parametrik MLH dan klasifikasi non-paramterik


atau mesin pembelajaran (machine learning) seperti neural network dan decision
tree masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Franklin et al. 2003).
Sebagai contoh, ketika training sampel cukup tersedia dalam bentuk data yang
terdistribusi secara normal maka algoritma klasifikasi MLH mampu menghasilkan
klasifikasi yang akurat. Sebaliknya ketika data yang digunakan terdistribusi secara
tidak normal, maka neural network dan decision tree menunjukan hasil klasifikasi
yang lebih baik. Metode MLH membutuhkan respon spektral setiap kelas mengikuti
distribusi Gaussian. Teknik machine learning kontemporer telah mendapat sedikit
perhatian dalam pemetaan habitat bentik karena teknik ini menghasilkan akurasi
yang lebih tinggi dari klasifikasi MLH terutama dalam klasifikasi data
hyperspectral (Zhang and Xie 2013). Dengan demikian sangat diperlukan untuk
memperluas teknik klasifikasi mesin pembelajaran dalam pemetaan habitat bentik
terumbu karang sebagai alternative dari algoritma MLH.
Sebagian besar teknik klasifikasi citra untuk pemetaan habitat dasar terumbu
karang didasarkan pada pendekatan berbasis piksel (Malthus and Mumby 2003).
Salah satu alternative pendekatan adalah segmentasi yang melibatkan
penggabungan piksel untuk menghasilkan obyek kemudian diklasifikasikan yang
disebut dengan teknik klasifikasi berbasis obyek. Kebanyakan teknik ini
diaplikasikan untuk pemetaan wilayah darat dengan nilai akurasi yang cukup tinggi
misalnya integrasi klasifikasi berbasis obyek dan piksel untuk pemetaan mangrove
dengan citra IKONOS dengan rata-rata akurasi 91.4% (Wang et al. 2004).
Pemetaan terumbu karang dengan pendekatan menggunakan citra Landsat ETM+
pada beberapa tingkatan jumlah kelas habitat dasar terumbu karang menunjukan
bahwa teknik klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma MLH menghasilkan
akurasi 54.4% sedangkan klasifikasi berbasis obyek dengan algoritma non-
paramterik mampu menghasilkan akurasi 62.8% pada tingkat kelas intermedit (>6
kelas) (Benfield et al. 2007).
Kehadiran citra Landsat 8 OLI yang diluncurkan pada tanggal 11 April 2013
dan telah menyertakan empat band multispectral yang mampu menembus kolom
perairan diharapkan menjadi alternative untuk meningkatkan akurasi pemetaan
habitat dasar terumbu karang dengan teknik klasifikasi berbasis obyek. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan teknik klasifikasi berbasis obyek untuk
pemetaan habitat dasar terumbu karang dengan citra Landsat 8 OLI menggunakan
beberapa algoritma klasifikasi non-paramaterik.

Data Penelitian

Lokasi Waktu dan Data Penelitian


Data satelit penginderaan jauh yang digunakan adalah citra satelit Landsat-8
OLI (Operational Land Imager) path/row 109/059 diakuisisi tanggal 17 Oktober
2013 mencakup sebagian wilayah Pulau Morotai dan Kabupaten Halmahera Timur
Propinsi Maluku Utara yang didownload dari USGS (United State Geological
Survey) Earth Resources Observation and Science data centre
(http://glovis.usgs.gov/), Level 1T yang secara sistematik telah terkoreksi
geometric (Terrain Corrected) dengan sistem koordinat UTM zona 52N.
Karakteristik Landsat 8 OLI disajikan pada Tabel 11 Karakteristik citra Landsat 8
OLI.
45

Tabel 11 Karakteristik citra Landsat 8 OLI


Band Nama band Panjang gelombang (µm) Resolusi (meters)
1 Coastal 0.43 - 0.45 30
2 Blue 0.45 - 0.51 30
3 Green 0.53 - 0.59 30
4 Red 0.64 - 0.67 30
5 NIR 0.85 - 0.88 30
6 SWIR 1.57 - 1.65 30
7 SWIR 2.11 - 2.29 30
8 PAN 0.50 - 0.68 15
9 Cirrus 1.36 - 1.38 30
10 TIRS 10.60 - 11.19 100
11 TIRS 11.50 - 12.51 100

Pengumpulan data habitat dasar perairan dangkal dilaksanakan selama bulan


Oktober 2012 dengan teknik foto transek (photo transect quadrat) menggunakan
kuadran berukuran 1mx1m yang diletakan pada transek sepanjang 20m (English et
al. 1997). Pada setiap titik pengamatan foto transek dilakukan pengambilan gambar
sebanyak 10 kuadran pada berbagai variasi habitat bentik terumbu karang di lokasi
penelitian. Seluruh titik pengamatan direkam menggunakan GPS dengan bantuan
pelampung untuk mendapatkan titik yang tetap sebagai titik pengamatan dalam
proses klasifikasi citra dan pengujian akurasi hasil pemetaan.

Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi yang digunakan berasal dari tahapan sebelumnya, terdiri
dari 7 kelas yiatu: pasir pecahan karang (PPK), pecahan karang (PK), karang hidup
(KH), pasir (P), Pasir alga (PAl), lamu (L) dan pecahan karang pasir (PKP)

Pengolahan Citra
Tahap pengolahan citra terdiri dari koreksi atmosferik, pemotongan area yang
akan dianalisis, masking wilayah darat dan perairan dalam serta koreksi kolom
perairan. Koreksi atmoferik diaplikasikan dengan FLAASH yang terdapat pada
perangkat lunak ENVI ver 5.1. Koreksi atmosferik diterapkan hanya pada 7 band
multispectral Landsat-8 OLI dan tidak melibatkan band panchromatic (8), Cirrus
(9) dan sensor (TIRS) (10 11).
Citra hasil koreksi atmosferik selanjutnya dipotong (cropping) hanya pada
wilayah kajian dan diterapkan teknik masking untuk menghilangkan wilayah darat
dan laut dalam. Tahap akhir dari pra pengolahan citra adalah koreksi kolom
perairan. Panjang gelombang tergantung pada koefisien pelemahan (attenuation)
radiasi cahaya dengan kedalaman perairan dapat menghambat klasifikasi yang tepat
dari substrat dasar yang sama pada kedalaman yang berbeda (Mumby et al. 1998).

Klasifikasi Citra
Salah satu pendekatan alternativ klasifikasi berbasis piksel adalah klasifikasi
berbasis obyek dan teknik klasifikasi ini dilakukan dengan perangkat lunak
eCognition. Klasifikasi berbasis obyek terdiri dari dua tahap yaitu segmentasi dan
klasifikasi. Tahap segmentasi adalah tahap menghasilkan obyek citra kemudian
46

obyek ini terbangun menjadi segmen-segmen yang selanjutnya digunakan untuk


klasifikasi (Wang et al. 2004; Blaschke 2010).
Klasifikasi berbasis obyek diterapkan dengan algoritma multi-resolution
segmentation berdasarkan parameter bobot, warna (color), tekstur (texture) dan
bentuk (shape) pada beberapa tingkat skala segmentasi. Proses ini memungkinkan
pengelompokan piksel sesuai dengan fitur habitat bentik untuk diidentifikasi
berdasarkan karakteristik ukuran (size), karakteristik reflektansi spektral (color)
dan bentuk (shape). Oleh karena tidak ada ketentuan baku mengenai standar
parameter nilai dalam klasifikasi berbasis obyek, maka pada penelitian ini akan di
uji kemampuan klasifikasi dengan skala segmentasi yang berbeda pada nilai
spectral, bobot, shape dan compactness yang sama. Seluruh band DII diberikan
masing-masing bobot yang sama dengan nilai 1, shape 0,1 dan compactness 0.5.
Peta-peta habitat bentik terumbu karang dari klasifikasi berbasis obyek
dieksekusi dengan layer input seluruh band DII menggunakan algoritma klasifikasi
non-parametrik yaitu Support Vector Machine (SVM), Random Tree (RT),
Decision Tree (DT), Bayesian, dan k-Nearest Neighbor (kNN), serta parameter
klasifikasi “mean” dan “standard deviation” sebagai nilai input fitur. Sebagai
perbandingan hasil klasifikasi, akan dilakukan juga pengujian terhadap teknik
klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma klasifikasi yang sama pada teknik
klasifikasi berbasi obyek dan algoritma MLH.

Pengujian akurasi
Tahap akhir dari proses klasifikasi adalah menguji hasil akurasi pemetaan
yang terdiri dari “overall accuracy (OA)”, “producer accuracy (PA)” dan “user
accuracy (UA)” serta Kappa statistic berdsarkan petunjuk (Congalton and Green
2008).

Hasil dan Pembahasan

Klasifikasi Habitat Bentik Terumbu Karang


Klasifikasi berbasis obyek. Klasifikasi berbasis obyek menggunakan 6 layer band
DII dengan skala segmentasi yang berbeda (0,1-0,5) menghasilkan luas habitat
bentik dan sebaran yang berbeda-beda pada setiap algoritma klasifikasi. Luas total
habitat bentik hasil klasifikasi berbasis obyek pada semua algoritma klasifikasi
adalah 4158,45 Ha, kecuali pada skala 0,5 algoritma SVM dengan luas hanya
mencapai 4157,01 Ha. Habitat bentik lamun dan pasir mendominasi pada hasil
klasifikasi dengan algoritma SVM, RT, Beyesian dan KNN, sedangkan habitat
bentik lamun dan pasir makro alga mendominasi pada hasil klasifikasi dengan
algoritma DT. Luas rata-rata kelas habitat bentik hasil klasifikasi seluruh algoritma
klasifikasi didominasi oleh kelas lamun 1495,28 Ha dan yang paling rendah adalah
kelas Pecahan karang pasir 148,06 Ha. Berbeda dengan algoritma SVM, RT, Beyes
dan KNN, dominasi kelas lamun dan pasir menyebabkan luasan 5 kelas habitat yang
lain cenderung kecil jika dibandingkan dengan algoritma DT dimana luasan kelas
karang hidup, pasir makro alga, pasir pecahan karang, pecahan karang dan pecahan
karang pasir cenderung mempunyai luasan yang hampir sama dengan kelas lamun
dan pasir, bahkan kelas pasir makro alga dan pasir pecahan karang lebih luas dari
kelas pasir (Gambar 17).
47

1800
1600
1400
1200

Luas (Ha)
1000
800
600
400
200
0
SVM RT BY KNN DT
Algoritma Klasifikasi

KH L P PAl PPK PK PKP

Gambar 17 Luas rata-rata kelas habitat bentik hasil klasifikasi berbasis obyek

Gambar 18 Peta kelas habitat dasar klasifikasi berbasis obyek dengan algoritma
klasifiasi
Hasil klasifikasi juga menunjukan bahwa kelas pasir, karang hidup dan
pecahan karang sebagian besar terdistribusi pada bagian luar menghadap ke laut
dalam, sedangkan kelas lamun dan pasir makro alga mendominasi bagian tengah
rataan terumbu (reef flat).
Luas kelas habitat bentik dengan algoritma klasifikasi ditentukan oleh
perubahan skala segmentasi. Luas kelas karang hidup menurun pada skala
segmentasi yang lebih besar kecuali hasil klasifikasi dengan algoritma KNN
48

meningkat pada skala 0,2 dan 0,3 kemudian berkurang dengan luasan lebih kecil
pada skala 0,4 dan 0,5 dibandingkan dengan skala 0,1. Luas kelas lamun meningkat
pada skala segmentasi yang lebih besar dengan algoritma SVM dan DT dan
berkurang dengan algoritma RT, sedangkan algoritma BY dan KNN menunjukan
perubahan luasan yang berfluktuatif seiring dengan peningkatan skala segmentasi.
Luas kelas pasir meningkat pada skala segmentasi yang lebih besar dengan
algortima RT dan KNN dan menurun dengan algoritma DT, sangkan algortima
SVM dan BY menunjukan perubahan luas yang berfluktuatif seiring dengan
peningkatan skala segmentasi. Luas kelas pasir makro alga menurun dengan
algortima RT, BY, KNN, DT dan meningkat dengan algoritma SVM seiring dengan
peningkatan skala segmentasi. Luas kelas pasir pecahan karang berfluktuatif sesuai
dengan meningkatnya skala segmentasi dengan algoritma SVM dan BY, meningkat
dengan algoritma RT, KNN dan DT. Luas kelas pecahan karang meningkat dengan
algoritma RT dan KNN kemudian berkurang dengan algoritma SVM, BY dan DT.
Luas kelas pecahan karang pasir mengalami penurunan dengan algoritma RT, KNN
dan DT, sedangkan dengan algoritma SVM dan BY mempunyai nilai yang
berfluktuatif seiring dengan bertambahnya skala segmentasi (Gambar 19).

Gambar 19 Perubahan luas kelas habitat bentik dengan algoritma klasifikasi pada
skala segmentasi berbeda
Klasifikasi Berbasis Piksel Klasifikasi berbasis piksel hanya diterapkan dengan
algoritma MLH dan SVM berkaitan dengan ketersedian algoritma klasifikasi pada
perangkat lunak pengolahan citra. Klasifikasi citra berbasis piksel menunjukan
bahwa peta-peta habitat bentik yang dihasilkan dari algoritma MLH didominasi
oleh kelas lamun, sedangkan dengan algoritma SVM didominasi oleh kelas pasir
makro alga (Gambar 20). Luas total habitat bentik terumbu karang dengan
algoritma MLH adalah 3140,55 Ha dan dengan algoritma SVM luas total sama
dengan teknik klassifikasi berbasis obyek yaitu 4158,45 Ha. Kelas pecahan karang
49

pasir dengan algoritma MLH merupakan kelas dengan luas terendah, sedangkan
dengan algoritma SVMp luas kelas terenda adalah kelas pecahan karang (Gambar
21).

2500

2000
Luas (Ha)
1500

1000

500

0
MLH SVMp
Algoritma Klasifikasi

LC SG Snd SndMA SndRb Rb RbSnd

Gambar 20 Luas habitat bentik klasifikasi berbasis piksel

Gambar 21 Peta habitat bentik klasifikasi berbasis piksel


Distribusi kelas habitat yang dihasilkan dengan algortima MLH dengan
dominasi kelas lamun sebagian besar menempati daerah rataan terumbu dan kelas
pecahan karang banyak terdistribusi pada bagian luar terumbu atau yang
menghadap ke leut dalam. Sedangkan klasifiaksi dengan algoritma SVMp
menunjukan bahwa pada daerah rataan terumbu didominasi oleh kelas pasir makro
alga dan dibagian luar terumbu didominasi oleh kelas pasir dan karang hidup.
50

Akurasi Klasifikasi.
Nilai akurasi antara 60-80% klasifiaksi peta habitat bentik direkomendasikan
untuk inventarisasi sumberdaya dalam pengelolaan terumbu karang (Green et al.
2000). Penelitian ini menggunakan batasan 60% untuk mendefenisikan nilai
minimum overall accuracy serta 50% untuk user accuracy dan producer accuracy.
Overall accuracy teknik klasifiaksi berbasis obyek menunjukan bahwa semakin
besar skala segmentasi yang diterapkan maka nilai akurasi dan jumlah obyek
menurun pada masing-masing algoritma kalsifikasi dengan skala segmentasi yang
berbeda (Gambar 22).
80 203,000
70 202,500
60 202,000

Jumlah Obyek
Akurasi (%)

50
201,500
40
201,000
30
20 200,500
10 200,000
0 199,500

DT0.1
DT0.2
SVM0.1
SVM0.2
SVM0.3
SVM0.4
RT0.1
RT0.2
RT0.3
RT0.4
BEYES0.1
BEYES0.2
BEYES0.3
BEYES0.4
BEYES0.5
KNN0.1
KNN0.2
KNN0.3
KNN0.4
Skala segmentasi algoritma klasifikasi

OA Kappa Jlh Obyek

Gambar 22 Akurasi teknik klasifikasi berbasis obyek algoritma klasifikasi dengan


skala segmentasi yang berbeda
Nilai akurasi dan jumlah obyek berkurang sesuai dengan penerapan skala
segmentasi klasifikasi berbasis obyek menunjukan fenomena yang berbeda antara
algoritma SVM, RT, KNN dengan algoritma BY dan DT. Akurasi dan jumlah
obyek dengan algoritma SVM, RT dan KNN menurun pada skala segmentasi 0,4.
Akurasi dan jumlah obyek dengan algoritma DT sudah menurun pada skala
segmentasi 0,2. Sedangkan algoritma BY, jumlah obyek menurun pada skala
segmentasi 0,4 tetapi nilai akurasi masih sama dengan skala 0,1-0,3, sementara nilai
akurasi menurun pada skala 0,5 dikuti juga dengan jumlah obyek.
Akurasi peta habitat bentik dengan teknik klasifikasi berbasis piksel
menunjukan bahwa algoritma SVMp mempunyai nilai akurasi dan luas total habitat
bentik lebih tinggi dari algortima MLH (Gambar 23). Peta-peta habitat bentik yang
dihasilkan dari algortima klasifikasi dengan teknik klasifikasi berbasis obyek lebih
tinggi dari algoritma klasifikasi dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun
demikian akurasi berbasis piksel dengan algoritma SVMp lebih baik dibandingkan
dengan algortima DT pada teknik klasifikasi berbasis obyek (Gambar 24). Akurasi
yang dihasilkan dari algoritma klasifikasi berbasis obyek meningkat 21-31% dari
klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma MLH. Sedangkan klasifikasi dengan
algoritma SVM berbasis obyek meningkatkan akurasi klasifikasi sebesar 16%
dibandingkan dengan algortima SVMp pada teknik klasifikasi berbasis piksel.
51

60 4500
4000
50
3500
40 3000
Akurasi (%)

Luas (Ha)
2500
30
2000
20 1500
1000
10
500
0 0
MLH SVMp
Algoritma klasifikasi

OA Total

Gambar 23 Akurasi klasifikasi peta kabitat bentik dengan teknik klasifikasi berbasis
piksel
80
70
60
Akurasi (%)

50
40
30
20
10
0
SVM RT BEYES KNN DT MLH SVMp
Algoritma

OA Kappa

Gambar 24 Perbandingan overall accuracy peta habitat bentik


.Selain akurasi pemetaan dari peta-peta tematik secara keseluruhan, perlu
juga diketahui akurasi dari setiap kelas habitat bentik yang dihasilkan dari
klasifikasi citra (PA) dan dari pengamatan lapangan (UA) (Tabel 1). Klasifikasi
dengan teknik berbasis obyek menunjukan bahwa algoritma SVM dan DT mampu
memetakan dengan baik sebanyak lima kelas (KH, L, P, P+MA dan PK). Algoritma
RT dan KNN sebanyak empat kelas (KH, L, P dan P+MA), sedangkan BY hanya
tiga kelas (KH, L dan P).
Klasifikasi dengan teknik berbasis piksel diperoleh hasil bahwa algoritma
MLH mampu memetakan dengan baik sebanyak tiga kelas (L, P dan PK),
sedangkan dengan algoritma SVMp sebanyak empat kelas (KH, L, P dan P+MA).
52

Tabel 12 Perbandingan overall accuracy peta habitat bentik


SVM RT BY KNN DT MLH SVMp
Kelas
PA US PA US PA US PA US PA US PA US PA US
KH 75 75 75 75 50 100 63 50 75 46 27 75 75 38
L 73 77 67 76 76 68 76 76 52 81 60 9 58 67
P 88 72 81 81 81 65 75 65 59 76 63 47 61 84
P+MA 73 80 73 73 45 45 64 64 55 67 25 36 56 45
P+PK 40 50 40 29 40 67 40 67 40 25 11 20 0 0
PK 50 57 38 33 38 75 38 60 63 25 67 50 0 0
PK+P 33 100 33 25 33 100 33 100 33 25 11 67 0 0

Training area pengamatan lapangan sebagai data referensi menunjukan


bahwa seluruh kelas dapat digunakan dengan baik pada algoritma SVM dan KNN,
enam kelas pada algoritma BY, empat kelas pada algoritma RT dan tiga kelas pada
algoritma DT. Data pengamatan lapangan teknik klasifikasi berbasis piksel
meunjukan bahwa sebanyak tiga kelas algortima MLH (KH, PK, PK+P) dan dua
kelas (L, P) dengan algoritma SVMp.
Tabel 13 menyajikan perbandingan akurasi algoritma dari teknik klasifikasi
berbasis obyek dan piksel. Secara keseluruhan algortima berbasis piksel (SVMp)
dan semua algoritma berbasis obyek lebih akurat dari algoritma MLH.
Perbandingan yang sama untuk algoritma SVMp berbeda nyata dengan SVM dan
RT atau mempunyai tingkat akurasi yang sama dengan DT, BY dan KNN. Seluruh
algoritma klasifikasi berbasis obyek mempunyai kemampuan menghasilkan akurasi
yang sama kecuali algoritma SVM lebih akurat dari DT.
Tabel 13 Perbandingan akulasi klasifikasi
SVMp SVM RT DT BY KNN
MLH 2.026922 5.358541 4.767648 3.009202 3.842026 4.270382
SVMp 2.949546 2.339342 0.708044 1.612862 1.948586
SVM -0.72274 -2.48351 -0.02277 -1.05964
RT -1.80496 -0.01118 -0.36542
DT 0.018058 1.385323
BY 0.308569
Keterangan : Nilai yang dicetak tebal menunjukkan hipotesis nol (H0) ditolak (Z0.05=1.96) pada
kesetaraan akurasi. Nilai positif menunjukkan bahwa metodologi pada baris
horisontal dari tabel lebih akurat dari yang tercantum di sisi kiri dan nilai negatif
menunjukkan sebaliknya.

Sebagian besar indentifikasi tipe-tipe substrat habitat terumbu karang


tergantung pada jenis-jenis sensor, resolusi data (spectral, spasial dan temporal)
serta kondisi lingkungan perairan (kedalaman, tingkat kejernihan dan kondisi
permukaan) tetapi resolusi spectral merupakan faktor berperan penting dalam
mengidentifikasi tipe-tipe substrat terumbu karang (Hochberg and Atkinson 2003).
Namun demikian, penggunaan sensor satelit resolusi mengengah mempunyai
kemampuan mengidentifikasi terumbu karang dalam skala luas dengan waktu yang
singkat dan biaya yang lebih murah.
Data satelit resolusi menengah yang paling sering digunakan adalah Landsat
karena mampu menghasilkan klasifikasi tingkat kelas sederhana (3-6 kelas) seperti
karang, lamun pasir dan substrat keras dengan akurasi 60-75%. Namun pada tingkat
53

kelas yang lebih kompleks (lebih dari 6 kelas) kemampuan pemetaan terumbu
karang dengan citra Landsat cenderung memperoleh hasil yang tidak memuaskan
karena keterbatasan resolusi spasial dan spectral (Capolsini et al. 2003).
Klasifikasi habitat bentik terumbu karang dengan jumlah kelas lebih dari 6
pada penelitian ini menunjukan kemampuan yang berbeda untuk setiap teknik yang
diterapkan. Akurasi peta tematik yang dihasilkan dengan teknik klasifikasi berbasis
piksel menggunakan algoritma tradisional MLH cenderung lebih rendah dari
algoritma pembelajaran mesin (machine learning) SVMp. Algoritma SVMp
mampu meningkatkan akurasi peta tematik terumbu karang sebesar 22% dari
algoritma MLH. Faktor utama yang mempengaruhi peningkatan akurasi dengan
algoritma pembelajaran mesin adalah kemampuan penggunaan data dengan ciri
probabilitas empiris yang tidak diketahui. Sedangkan algoritma MLH
membutuhkan data dengan tingkat sebaran normal (Zhang and Xie 2013).
Hasil klasifikasi dengan teknik berbasis obyek mampu meningkatkan akurasi
21-31% dari teknik klasifikasi berbasis piksel disebabkan karena teknik klasifikasi
berbasis obyek memepunyai kemampuan meningkatkan segmentasi obyek untuk
mengakomodasi data dengan tingkat heterogenitas yang tinggi (Lu and Weng
2007). Meskipun demikian penggunaan segmentasi dengan skala yang lebih besar
menyebabkan akurasi menjadi berkurang. Hal ini disebabkan karena prinsip OBIA
menerapkan algoritma multi-resolution segmentation untuk mengelompokan piksel
menjadi obyek yang sama kedalam satu struktur, spectral dan informasi spasial
tambahan seperti bentuk, tekstur dan hubungan kontekstual sehingga efektif
digunakan dalam proses klasifikasi (Blaschke 2010). Algoritma SVM juga bekerja
secara efektif bekerja data dengan tektur resolusi rendah.
Secara keseluruhan hasil klasifikasi dengan citra Landsat 8 OLI dalam
penelitian ini menunjukan peningkatan nilai akurasi dibandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang menggunakan skema klasifikasi lebih dari 6 kelas
menggunakan Landsat ETM+ (Mumby et al. 1997; Andréfouët et al. 2003;
Benfield et al. 2007). Hasil klasifikasi dari sisi PA dan UA menunjukan bahwa
kelas yang disusun oleh komponen habitat bentik terumbu karang dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi tidak mampu dipisahkan dengan baik dari citra satelit dan
penempatan obyek sebagai referensi pengamatan lapangan.
Kemampuan akurasi klasifikasi Landsat 8 OLI dibandingkan dengan generasi
sebelumnya juga dipengaruhi resolusi radiometric sebagi input data dalam proses
klasifikasi. Sebagaimana diketahui bahwa Landsat 8 OLI menyertakan empat band
sinar tampak yang mampu menembus kolom peraian sehingga jumlah komposisi
band DII lebih banyak (6 band) dibandingkan komposisi band DII Landat ETM+
(3 band). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Corcoran et al. 2013),
bahwa semakin banyak jumlah input data yang digunakan dalam proses klasifikasi
berbasis obyek akan meningkatkan akurasi klasifikasi.
Secara keseluruhan algoritma SVM mempunyai kemampuan lebih baik
dibandingkan dengan algoritma yang lain. Algoritma SVM dalam bidang
penginderaan jauh mempunyai kemampuan yang baik untuk menangani data
dengan jumlah yang kecil dan menghasilkan ketepatan akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik klasifikasi tradisional (Mountrakis et al. 2011).
54

Simpulan

Teknik klasifikasi berbasis obyek mampu meningkatkan hasil klasifikasi


habitat dasar terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan teknik
klasifikasi berbasis piksel. Algortima klasifikasi mesin pembelajaran mampu
meningkatkan akurasi pemetaan yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma
klasifikasi tradisional baik pada teknik klasifikasi berbasis piksel maupun obyek.
Seluruh algoritma klasifikasi yang diterapkan dengan teknik klasifikasi berbasis
obyek mempunyai kemampuan yang sama menghasilkan akurasi pemetaan
terumbu karang kecuali algoritma Decission Tree.
5 DETEKSI PERUBAHAN HABITAT TERUMBU KARANG
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI PULAU MOROTAI

Pendahuluan

Terumbu karang adalah salah satu ekosistem dengan produktifitas dan


kelimpahan spesies yang tinggi di wilayah pesisir. Terumbu karang juga secara
ekologi pada suatu daerah berperan menjaga keseimbangan produktifitas
sumberdaya laut dan indikator penting kualitas lingkungan laut. Beberapa dekade
terakhir, ekosistem terumbu karang mengalami perubahan dalam skala global
sebagai akibat dari perubahan iklim dan kerusakan oleh kegiatan manusia.
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Global Coral Reef Monitoring Network
(GCRMN) tahun 2008, kurang lebih 54% terumbu karang dunia berada dalam
kondisi terancam secara global (Wilkinson 2008).
Hatcher (1997) menyatakan bahwa, metode pemantauan konvensional tidak
memadai untuk penelitian dalam skala luas, seperti efek dari perubahan iklim global
terhadap ekosistem terumbu karang karena terbatasnya akses data dalam waktu
yang relative singkat. Perkembangan teknologi penginderaan jauh menyediakan
cara baru untuk pemantauan ekosistem terumbu karang yang ditandai dengan
efektifitas waktu pengamatan di kawasan yang relative besar, pengamatan repetitif,
sehingga menjadi sarana penting untuk melengkapi metode konvensional
(Scopélitis et al. 2010).
Citra penginderaan jauh dan peta-peta turunannya mampu menyediakan data
secara kontinyu untuk pengamatan habitat terumbu dalam jangka waktu yang
panjang. Resolusi spasial menengah dan tinggi (30-1m) citra satelit multispectral
saat ini tersedia setiap saat dengan biaya relative terjangkau sampai gratis atau
berdasarkan permintaan (Andréfouët and Riegl 2004).
Kajian terhadap perubahan ekosistem terumbu karang sebenarnya telah
berlangsung sejak beberapa decade yang lalu. Lewis (2002) menjelaskan bahwa di
banyak lokasi, foto udara analog hitam putih mampu menyediakan secara kontinyu
kenampakan terumbu sebelum era satelit untuk jangka waktu jauh kebelakang di
tahun 1930an sebelum program pemantauan terumbu karang dikembangkan pada
tahun 1990an. Foto udara menjadi satu-satunya sumber pengamatan kawasan
terumbu karang sebelum terjadinya beberapa periode gangguan. Kombinasi citra
satelit dan foto udara mampu menyediakan hasil pengamatan dalam jangka panjang
dan kentinyu untuk pemetaan terumbu dan deteksi perubahan (Lewis 2002;
Palandro et al. 2003; Purkis and Riegl 2005).
Deliniasi manual interpretasi foto telah terbukti sukses dalam teknik
pemetaan untuk mengkarakterisasi dinamika lingkungan padang lamun
(Hernandez-Cruz et al. 2006). Pada lingkungan terumbu karang teknik ini
diaplikasikan dengan baik pada skala geomorfologi untuk deteksi kehilangan
struktur karang akibat pengaruh badai topan di West Indies (Lewis 2002).
Perubahan bentuk terumbu yang dideteksi dari peta-peta berbasis citra dapat
digunakan untuk menduga karakteristik dinamis ekologi dan geimorfologi. Purkis
and Riegl (2005) melakukan tahap deteksi perkembangan komunitas karang di
Teluk Arabian setelah beberapa kali peristiwa kematian masal karang akibat
pemutihan (coral bleaching). Palandro et al. (2008) juga mendokumentasikan
56

perubahan habitat di Florida Keys menggunakan citra penginderaan jauh dan


survey in-situ dalam dua skala berbeda. Hasil-hasil penelitian ini menunjukan
bahwa kombinasi yang baik beberapa seri citra satelit dan pengamatan in-situ dalam
skala interval spasial dan temporal yang sesuai dapat menghasilkan informasi
dinamis komunitas dan substrat terumbu karang untuk periode waktu yang berbeda.
Penelitian tentang dinamika perubahan terumbu karang dengan kombinasi data
penginderaan jauh (foto udara dan citra resolusi tinggi) dan pengamatan in-situ
dalam kurun waktu beberapa dekade (35 tahun) telah dilakukan di terumbu Saint-
Leu Samudera Hindia (Scopélitis et al. 2009). Lima data foto udara (1973, 1978,
1989, 1997, 2003) dan dua data citra Quickbird (2002,2006) yang dikombinasikan
dengan data pengamatan lapangan (1987, 1993, 1997, 2000, 2002, 2007), mampu
mendeteksi perubahan komunitas terumbu karang dalam tiga periode gangguan
akibat badai (1989, 2002) dan pemutihan karang (2002). Palandro et al. (2003)
mengkaji deteksi perubahan komunitas terumbu karang menggunakan citra
IKONOS juga menemukan bahwa berkurangnya substrat dasar yang didominasi
oleh karang mempunyai tren yang sama dengan data pengamatan lapangan (in-situ).
Selain foto udara dan citra resolusi tinggi, perubahan terumbu karang juga
dapat dideteksi menggunakan citra resolusi menengah seperti Landsat. Andréfouët
et al. (2001) menganalisis deteksi perubahan dengan Landsat 7 EMT+ dalam skala
bulanan berdasarkan kondisi atmosferik tiga seri citra dan faktor lingkungan
terumbu karang dangkal. Kombinasi teknik ini menunjukan bahwa perubahan tiga
kelas habitat terumbu karang muncul sebagai aplikasi yang produktif dan layak
untuk sensor ETM+. Citra Landsat gererasi berbeda juga telah digunakan untuk
deteksi perubahan terumbu karang di Hurgadha Mesir yaitu Landsat 5TM (1987),
Landsat 7TM+ (2000) dan Landsat 8 OLI (2013) dengan data pengamatan lapangan
tahun 2004. Hasil klasifiaksi terbimbing (supervised) mampu menyajikan
perubahan habitat terumbu karang secara kualitatif maupun kuantitatif (El-Askary
et al. 2014).
Data pengamatan lapangan komponen habitat dan karakteristik spectral menjadi
faktor penting untuk mendeteksi perubahan terumbu karang dengan citra satelit.
Namun disisi lain data pengamatan lapangan menjadi faktor pembatas untuk
mendeteksi perubahan habitat terumbu karang terutama ketersediaanya yang sama
dengan waktu perekaman citra. Selain itu, kehadiran Landsat 8 OLI dengan resolusi
spectral dan radiometric yang berbeda dengan generasi Landsat sebelumnya
membutuhkan penyesuaian sehingga karakteristik spectral setiap seri citra dapat
menggambarkan proses perubahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi perubahan habitat terumbu karang dalam
kurun waktu tahun 1996-2013 menggunakan citra Landsat 5TM, 7ETM+ dan 8OLI.
Proses deteksi didefenisikan sebagai proses perubahan dari satu habitat ke habitat
yang lain maupun perubahan luasan habitat dari setiap seri citra.

Metode Penelitian

Data Penelitian
Data citra satelit untuk analisis deteksi perubahan terdiri dari tiga seri yaitu
Landsat 5TM akusisi perekaman 30 Juli 1996, Landsat 7ETM+ 23 Juli 2002 dan
Landsat 8 OLI 17 Oktober 2013. Seluruh scene citra merupakan perekaman data
pada path/row 109/059 yang didownload dari USGS Earth Resources Observation
57

and Science data centre (http://glovis.usgs.gov/). Tipe data citra satelit ini adalah
Level 1T yang secara sistematik telah terkoreksi geometric (Terrain Corrected) dan
diproyeksi ke sistem koordinat UTM zona 52N-WGS84.
Pengumpulan data habitat dasar terumbu karang dilaksanakan selama bulan
Oktober 2012 dengan teknik foto transek (photo transect quadrat) menggunakan
kuadran berukuran 1mx1m yang diletakan pada transek (English et al. 1997).
Setiap titik pengamatan foto transek dilakukan pengambilan gambar sebanyak 10
kuadran pada berbagai variasi habitat bentik terumbu karang di lokasi penelitian.
Seluruh titik pengamatan direkam menggunakan GPS dengan bantuan pelampung
untuk mendapatkan titik yang tetap sebagai titik pengamatan.

Pengolahan Citra
Tahap awal sebelum klasifikasi dan analisis deteksi perubahan adalah pra
pengolahan citra. Band sinar tampak dengan panjang gelombang 400-700mm
digunakan untuk analisis karena penyerapan kolom air rendah pada panjang
gelombang ini. Komposisi band sinar tampak terdiri dari band biru, hijau, merah
dan Inrfa merah dekat. Band coastal blue Landsat 8 OLI tidak disertakan dalam
komposisi band untuk klasifiaksi dan analisis deteksi perubahan karena tidak
terdapat pada Landsat 5TM dan 7ETM+. Koreksi atmosferik diterapkan pada ketiga
seri citra menggunakan modul koreksi atmosferik FLAASH yang terdapat dalam
perangkat lunak ENVI. Citra yang telah terkoreksi atmosferik selanjutnya di batasi
pada lokasi penelitian (subset) untuk diterapkan pada proses klasifikasi dan analisis
deteksi perubahan. Tahap klasifikasi dan analisis deteksi perubahan adalah sebagai
berikut.
Klasifikasi Tak Terbimbing Klasifikasi tak terbimbing (unsupervised
classification) dilakukan pada potongan (subset) citra yang telah dikoreksi
atmosferik. Klasifikasi menggunakan teknik pengelompokan ISODATA sebanyak
10 kelas dengan minimum iterasi spectral 150 dan convergence threshold 0.95.
Hasil klasifikasi sepuluh kelas kemudian dikelompokan kembali (reclass) menjadi
tiga kelas yang terdiri dari kelas darat, laut dalam dan perairan dangkal. Selanjutnya
hasil reclass digunakan untuk menghilangkan area laut dalam dan daratan dalam
proses masking. Pada tahap ini klasifikasi dan masking diterapkan pada citra
Landsat 8 OLI sebagai data referensi untuk proses masking Landsat 5TM dan
Landsat 7ETM+ sehingga diperoleh luasan area analisis yang sama.
Koreksi Kolom Perairan. Panjang gelombang tergantung pada koefisien
pelemahan (attenuation) radiasi cahaya dengan kedalaman perairan dapat
menghambat klasifikasi yang tepat dari substrat dasar yang sama pada kedalaman
yang berbeda (Mumby et al. 1998). Koreksi kolom perairan diterapkan pada
seluruh seri citra Landsat yang digunakan dengan komposisi pasangan band
DII_12, DII_13 dan DII_23.
Normalisasi Citra Secara umum teknik normalisasi citra yang digunakan disebut
penyesuaian histogram (histogram matching) (Richards and Jia 2005). Penyesuaian
histogram akan mengurangi variasi nilai kecerahan diantara piksel kemudian
ditransformasi menjadi histogram citra dengan bentuk tertentu. Pengurangan ini
menghasilkan nilai piksel atau gabungan seluruh piksel yang sama antara dua citra
pada scene yang sama dengan waktu perekaman berbeda (Scheidt et al. 2008).
58

Proses nornalisasi dimisalkan dua citra, S1 dan S2 pada scene yang sama
didefenisikan kedalam n dimensi (n band), dimana S1 merupakan citra acuan untuk
normalisasi S2 sehingga nilai kecerahan x (i,k) piksel I dan band k S2 dengan
persamaan sebagai berikut :
,
, 1 , 1,2 … . .
Dengan demikian dapat dilihat bahwa band k S2 mempunyai nilai standar
deviasi dan mean yang sama dengan band k S1. Oleh karena itu, jika semua nilai k
dapat dhitung maka citra S2 akan mencapai rata-rata vector dan matriks kovarian
yang sama dengan citra S1.
Proses normalisasi diterapkan pada citra yang telah terkoresi kolom perairan
(DII) menggunakan teknik histogram matching yang terdapat pada perangkat lunak
ERDAS IMAGINE 2014. Landsat 5TM dan Landsat 7ETM+ dinormalisasi ke
Landsat 8 OLI sebagai citra referensi karena mempunyai resolusi radiometrik yang
lebih baik dan waktu perekaman yang lebih dekat dengan waktu pengumpulan data
lapangan.
Klasifikasi Terbimbing Klasifikasi terbimbing diterapkan pada citra transformasi
DII yang telah dinormalisasi dengan lima kelas habitat terumbu karang yaitu: kelas
campuran, pasir, lamun, pecahan karang dan karang hidup. Teknik ini hanya
dilakukan pada pasangan band DII yang mempunyai karakteristik spectral yang
mirip setelah proses normalisasi pada semua seri citra. Asumsi yang digunakan
adalah jika karakteristik spectral semua seri citra sama maka piksel-piksel pada
seluruh seri citra akan merepresentasi obyek yang sama pula.

Pengujian Akurasi
Tahap akhir dari proses klasifikasi adalah menguji hasil akurasi pemetaan
yang terdiri dari “overall accuracy (OA)”, “producer accuracy (PA)” dan “user
accuracy (UA)” berdsarkan petunjuk (Congalton and Green 2008). Overall
accuracy merupakan tingkat kebenaran secara keseluruhan antara citra dan data
referensi dalam hal ini adalah peta hasil klasifikasi. UA dihitung untuk menduga
akurasi klasifikasi variasi kelas habitat yang ditentukan dari pengamatan lapangan.
PA dihitung untuk menduga kemampuan setiap kelas yang dihasilkan dari
klasifikasi citra. Pengujian akurasi peta habitat terumbu karang hanya diterapkan
pada citra 2013

Deteksi Perubahan
Analisis deteksi perubahan digunakan untuk mengidentifikasi,
mendiskrisikan dan menghitung perbedaan antara citra pada scene yang sama
dengan waktu perekaman berbeda atau pada kondisi yang berbeda (Lillesand et al.
2004). Analisis deteksi perubahan habitat terumbu karang pada tiga seri citra
menggunakan operasi raster calculator yang terdapat pada aplikasi ArcMap 10
dengan persamaan sederhana sebagai berikut :
∗ 10 ⋯ ∗ 10
dimana, P adalah deteksi perubahan, adalah penutupan habitat ke-i, t adalah seri
data perekaman citra dan n adalah jumlah seri citra.
Oleh karena pada penelitian ini terdapat tiga seri data citra dan lima kelas habitat
terumbu karang, maka bentuk dari analisis deteksi perubahan adalah sebagai beikut:
59

Kelas habitat 1 = 111


Kelas habitat 2 = 222
Kelas habitat 3 = 333
Kelas habitat 4 = 444
Kelas habitat 5 = 555
Jika pasangan angka pada setiap kelas habitat hasil analisis mengalami
perubahan maka akan diketahui perubahannya setiap waktu pada masing-masing
citra.
Perbandingan deteksi perubahan diaplikasikan pada peta-peta klasifikasi
terbimbing 1996 ke 2002 dan 2002 ke 2013. Deteksi perubahan dideskripsikan
berdasarkan perubahan luas area masing-masing habitat dan luas total area yang
berubah atau tidak mengalami perubahan.

Hasil dan Pembahasan

Klasifikasi Citra
Klasifikasi tak terbimbing dengan teknik klasifikasi isodata menghasilkan
kelas-kelas yang dikelompokan berdasarkan nilai spectral citra. Hasil klasifikasi tak
terbimbing menunjukan bahwa kelas-kelas yang terbentuk pada area terumbu
karang bervariasi antara citra 1996, 2002 dan 2013 (Gambar 25). Variasi antar kelas
disebabkan karena kemiripan nilai spectral yang tinggi diantara kelompok kelas
pembentuk area terumbu karang. Teknik ini tidak digunakan untuk
mengidentifikasi kelas yang berbeda pada semua seri citra dan hanya berfungsi
untuk mengidentifikasi area laut dalam, daratan dan terumbu karang sebagai
kawasan yang dianalisis.

Gambar 25 Hasil klasifikasi tak terbimbing citra 1996, 2002 dan 2013
Pemisahan area laut dalam, daratan dan terumbu karang menggunakan hasil
klasifikasi tak terbimbing dengan melakukan pengkelasan kembali (reclass) hasil
60

klasifikasi tak terbimbing menjadi kelas laut dalam, daratan dan terumbu karang.
Dengan menggunakan teknik masking, area terumbu karang dipisahkan dengan
area laut dalam dan daratan yang diterapkan pada citra 2013 sebagai referensi.
Masking area terumbu karang pada citra 2013 selanjutnya diterapkan pada citra
1996 dan 2002 sehingga menghasilkan luas kawasan terumbu karang sebesar
kurang lebih 4085.73 Ha.
Klasifikasi terbimbing citra yang telah dimasking menggunakan seluruh seri
citra yang dikoreksi kolom perairan (transformasi pasangan band DII). Klasifikasi
terbimbing untuk memperoleh sebaran habitat terumbu karang pada seluruh citra
didasarkan pada karakteristik spektral pasangan band DII. Untuk klasifikasi analisis
deteksi perubahan, citra DII 1996 dan 2002 dinormalisai ke citra 2013 sebagai DII
referensi. Hasil analisisi karakteristik spectral pada pasangan band DII hasil
normalisasi disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26 Profil kemiripan nilai tramsformasi band DII citra Landsat 5TM,
Landsat 7ETM terhadap citra referensi Landsat 8 OLI
Ekstraksi nilai spektral penampang melintang vertikal band DII menunjukan
bahwa pasangan band DII biru-hijau memiliki karakteristik yang mirip atau sama
pada seluruh citra (Gambar 27). Nilai spectral pasangan band DII biru-merah hanya
memiliki kemiripan karakteristik spectral pada citra 1999 dan 2002. Sedangkan
nilai spectral pasangan band DII hijau-merah menunjukan hasil karakteristik
spectral yang tidak mirip pada semua citra. Dengan demikian, klasifikasi habitat
ekosistem terumbu karang hanya diterapkan pada pasangan band DII biru-hijau
untuk potensi perubahan kelas habitat dalam kurun waktu 17 tahun.
61

Nilai DII
3

0
1 26 51 76 101 126 151 176 201 226 251 276
Penampang melintang vertikal

T1_1996 T2_2002 T3_2013

Gambar 27 Profil vertical karakteristik spectral pasangan band DII biru-hijau citra
1996, 2002 dan 2013
Klasifikasi habitat terumbu karang pada semua seri citra diterapkan dengan
teknik klasifikasi menggunakan algoritma minimum distance pada lima kelas
habitat. Hasil klasifikasi secara visual dapat dilihat bahwa habitat terumbu karang
disominasi oleh kelas campuran (Gambar 28).

Gambar 28 Klasifikasi habitat terumbu karang tahun 1999, 2002 dan 2013
62

Habitat campuran dan lamun sebagian besar terdistribusi pada bagian tengah
kawasan terumbu karang (reef edge), sedangkan pada area terumbu bagian depan
(front reef) didominasi oleh habitat pasir, karang hidup dan pecahan karang. Pada
area yang dekat dengan daratan pulau-pulau dapat ditemukan sebagian kecil
distribusi semua habitat. Distribusi habitat pasir dan karang hidup pada bagian
depan terumbu terlihat cenderung lebih stabil pada kawasan terumbu karang 1996
dan 2002 dibandingkan dengan habitat lamun pada bagian tengah terumbu (Gambar
29).

Gambar 29 Dinamika beberapa kelas habitat


Hasil pengujian akurasi peta habitat terumbu karang yang diturunkan dari
citra 2013 adalah sebesar 69% overall accuracy. Dari sisi producer accuracy
menunjukan bahwa seluruh habitat yang dihasilkan dari citra dapat dipetakan
dengan baik, sedangkan dari sisi user accuracy sampel training area kelas habitat
dapat digunakan dengan baik dalam proses pemetaan (Tabel 1).
Tabel 14 Uji akurasi peta habitat terumbu karang citra 2013
Karang Pecahan
Campuran Lamun Pasir Total UA (%)
Hidup Karang
Campuran 5 1 1 3 10 50
Karang Hidup 7 1 1 1 10 70
Lamun 1 2 23 4 3 33 70
Pasir 2 1 2 27 1 33 82
Pecahan Karang 2 5 7 14 50
Total 8 11 29 40 12 100
PA (%) 60 64 79 68 58 OA 69

Deteksi Perubahan
Analisis deteksi perubahan dalam kurun waktu 17 tahun didasarkan pada
perubahan habitat antara klasifikasi tahun 1996, 2002 dan 2013. Proses perubahan
terdiri dari perubahan luasan masing-masing habitat terumbu karang pada setiap
tahun analisis citra, perubahan satu kelas habitat ke kelas habitat yang lain serta
perubahan luas total area yang berubah dan tidak berubah (tetap). Luas rata-rata
habitat terumbu karang dari yang paling besar secara berturut-turut adalah kelas
campuran 1794,45 Ha (43,6%), lamun 769,77 Ha (18,8%), pasir 617,64 Ha
(15,1%), karang hidup 506,70 Ha (12,4%) dan pecahan karang 451,17 Ha (11,0%).
63

Gambar 30 Perubahan luas habitat terumbu karang tahun 1996, 2002 dan 2003
Perubahan luasan habitat terumbu karang dalam kurun waktu hampir dua
decade menunjukan bahwa luasan habitat campuran bertambah dari tahun 1996 ke
tahun 2013. Luasan habitat pasir dan lamun berkurang dari tahun 1996 ke tahun
2002 dan meningkat pada tahun 2013, bahkan luasan lamun pada tahun 2013 lebih
besar dari tahun 1996. Luasan habitat pecahan karang bertambah pada tahun 2002
dari tahun 1996 dan berkurang pada tahun 2013. Sedangkan luasan habitat karang
hidup berkurang dari tahun 1996 ke tahun 2013 (Gambar 30).
Luas habitat campuran bertambah sebesar 10.2% (182.25 Ha) pada tahun
2002 dan 1,1% (20.6Ha) pada tahun 2013. Luas habitat pasir berkurang 16.5%
(92,43 Ha) pada tahun 2002 dan meningkat 11,8% (74,88 Ha) pada tahun 2013.
Luas habitat lamun berkurang 17,5% (117,99 Ha) pada tahun 2002 dan meningkat
19,8% (166.59 Ha) yahun 2013. Luas habitat pecahan karang meningkat 24,5%
(131,22 Ha) pada tahun 2002 dan berkurang 29,4% (121,77%) pada tahun 2013.
Luas habitat karang hidup berkurang dari tahun 1996 ke 2002 19,9% (103,05 Ha)
dan 37% (140,31Ha) pada tahun 2013 (Tabel 15 dan 16).
Tabel 15 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan 2002
Citra 1996
Citra 2002 Campuran Pasir Lamun Pecahan Karang Karang hidup Total
Campuran 1132.74 56.79 200.7 138.15 83.7 1612.08
Pasir 113.4 401.22 10.98 112.68 16.02 654.3
Lamun 389.43 15.03 261.09 55.62 71.73 792.9
Pecahan Karang 89.28 69.66 64.17 147.51 33.66 404.28
Karang hidup 69.48 19.17 137.97 81.54 314.01 622.17
Total 1794.33 561.87 674.91 535.50 519.12
Luas perubahan 182.25 -92.43 -117.99 131.22 -103.05
Persentase 10.2 -16.5 -17.5 24.5 -19.9
64

Tabel 16 Statistik deteksi perubahan habitat terumbu karang antara 1996 dan 2002
Citra 2002
Citra 2013 Campuran Pasir Lamun Pecahan Karang Karang hidup Total
Campuran 1322.55 63.63 290.7 81.18 36.27 1794.33
Pasir 52.56 392.76 17.55 92.88 6.12 561.87
Lamun 219.42 19.08 299.07 44.37 92.97 674.91
Pecahan Karang 121.86 115.83 97.56 156.78 43.47 535.5
Karang hidup 98.55 45.45 136.62 38.52 199.98 519.12
Total 1814.94 636.75 841.50 413.73 378.81
Luas perubahan 20.61 74.88 166.59 -121.77 -140.31
Persentase 1.1 11.8 19.8 -29.4 -37.0

Total keseluruhan area habitat terumbu karang yang mengalami perubahan


pada tahun 1996 ke 2002 adalah 1829,16 Ha dan pada tahun 2002 ke 2013 adalah
1714,59 Ha atau berkurang sebesar 6,7%. Sedangkan total area habitat yang tidak
mengalami perubahan (tetap) pada tahun 1996 ke 2002 adalah 2256,57 Ha dan pada
tahun 2002 ke 2013 adalah 2371.14 Ha atau meningkat sebesar 4,8%. Ilustrasi total
keseluruhan perubahan habitat terumbu karang dalam kurun waktu 17 tahun
disajikan pada Gambar 31.

Gambar 31 Perubahan habitat dan yang tidak mengalami perubahan dalam kurun
waktu 1996-2013
65

Deteksi perubahan selanjutnya dikelompokan menjadi empat kelompok yang


terdiri dari kelompok kelas yang tidak berubah (tetap), kelompok kelas yang
mengalami perubahan, kelompok kelas dengan kemungkinan kecil terjadinya
perubahan dan kelompok kelas yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan
(Tabel 17 dan Gambar 32).
Tabel 17 Kelompok deteksi perubahan kelas habitat
1996-2002 2002-2013
Deteksi perubahan
Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Tetap 2256.57 55.23052 2371.14 58.03467
Berubah 1409.49 34.49787 1220.13 29.86321
Tidak mungkin 157.14 3.846069 182.07 4.456242
Total 4085.73 100 4085.73 100

Gambar 32 Peta perubahan habitat dalam kurun waktu 1996-2013. (a) klasifikasi
habitat tahun 1993, 2002 dan 2013, (b) perubahan habitat periode 1996-
2002 dan 2002-2013
Akurasi peta habitat terumbu karang yang dihasilkan dari citra Landsat 8 OLI
2013 menggunakan data pengamatan lapangan sebanyak lima kelas habitat
mencapai 69% (OA). Seluruh kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra maupun
sampel training area menunjukan kemampuan dan dapat digunakan dengan baik
dalam proses pemetaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Green et al. (2000),
bahwa nilai akurasi pemetaan antara 60-80% direkomendasikan bagi kegiatan
inventarisasi untuk pemantauan sumberdaya. Nilai pengujian akurasi pemetaan
dalam penelitian ini diasumsikan mampu memberikan informasi pengelolaan
ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian terutama dalam memahami dinamika
perubahan dalam kurun waktu hampir dua dekade terakhir.
Teknik-teknik analisis deteksi perubahan menggunakan citra resolusi
menengah seperti Landsat selalu mengalami kendala yang disebabkan oleh
karakteristik spektral habitat terumbu karang. Habitat karang hidup dan lamun
66

menunjukan karakteristik spektral yang sempit sehingga kedua habitat ini sulit
dipisahkan jika dibandingkan dengan habitat yang lain seperti pecahan karang dan
karang mati. Meskipun analisis deteksi perubahan menggunakan pengukuran nilai
spektral habitat terumbu karang sebagai referensi dalam menghasilkan peta tematik,
teknik ini masih ditemukan pola perubahan kelas habitat dalam kurun waktu
tertentu yang sulit didefenisikan (Andréfouët et al. 2001; Abella et al. 2007).
Klasifikasi untuk analisis deteksi perubahan menggunakan teknik normalisasi
spektral transformasi band DII mampu menghasilkan informasi perubahan habitat
terumbu karang dalam kurun waktu 17 tahun dilokasi penelitian lebih dari 80%
habitat yang berpotensi mengalami perubahan. Kurang dari 20% luasan kelas
habitat masih sulit didefenisikan karena kemungkinan perubahan yang kecil dan
sulit didefenisikan. Yuan and Elvidge (1996), menjelaskan bahwa teknik normalisai
radiometrik adalah prosedur yang digunakan dalam memersiapkan data citra multi
temporal untuk deteksi fenomena perubahan asosiai spektral seperti penutupan
lahan. Teknik ini mengurangi perbedaan numerik antara dua citra yang dipengaruhi
oleh kondisi pada saat perekaman seperti performa sensor, radiasi sinar matahari
dan pengaruh atmosfir.
Perubahan habitat terumbu karang dalam kurun waktu tertentu disebabkan
oleh tekanan dari kegiatan manusia maupun perubahan iklim secara global seperti
peningkatan suhu permukaan laut dalam periode El-Nino. Habitat terumbu karang
yang paling rentan terhadap peningkatan suhu permukaan laut adalah karang hidup
(Wilkinson 2008). Luas habitat karang hidup hasil analisis deteksi perubahan
mengalami penurunan dalam kurun waktu 1996-2002 dan 2002-2013. Dugaan
terhadap fenomena ini adalah terjadinya periode El Nino dalam kurun waktu Maret
1997 sampai April 1998 (Australian Government Berau of Meteorology:
http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml). Hasil analisis deteksi
perubahan untuk tahun 2002-2013 yang menunjukan penurunan drastis habitat
karang hidup sehingga dapat diduga disebabkan oleh intensitas kegiatan manusia
yang semakin tinggi.

Simpulan

Analisis deteksi perubahan dalam penelitian ini mampu menyajikan


informasi dinamika perubahan habitat terumbu karang yang diaplikasikan pada
teknik klasifikasi citra satelit dengan ketersediaan data lapangan yang minim.
Teknik deteksi perubahan menunjukan perbedaan antara citra 1996, 2002 dan 2013
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peta-peta tematik deteksi perubahan yang
dikombinasikan dengan perhitungan statistik tidak hanya mengidentifikasi
perubahan luas kelas habitat antar waktu analisis, tetapi juga mampu
mengidentifikasi perubahan piksel habitat ke habitat yang lain. Variasi dari
fenomena perubahan habitat terumbu karang dalam periode tahu 1996-2013
berpotensi disebabkan oleh perubahan iklim global dan meningkanya intensitas
kegiatan manusia.
6 PEMBAHASAN UMUM

Simpulan
68

Saran
DAFTAR PUSTAKA

Abella MAR, CY J, David LT, 2007. Coral Mortality Discrimination And Change
Detection Using Landsat TM And ETM+ Imageries Of Balabac, Palawan. In:
Reyrson RA, editor. 28th Asian Conference on Remote Sensing; 12-16
November 2007; Kuala Lumpur, Asian Association of Remote Sensing. p
270-275.
Adler-Golden SM, Matthew MW, Bernstein LS, Levine RY, Berk A, Richtsmeier
SC, Acharya PK, Anderson GP, Felde JW, Gardner J, 1999. Atmospheric
correction for shortwave spectral imagery based on MODTRAN4. In:
Descour MR, Shen SS, editor. SPIE's International Symposium on Optical
Science, Engineering, and Instrumentation, International Society for Optics
and Photonics. p 61-69.
al-Moussawi HM, Taqi IH. 2013. Dark Object Subtraction of Landsat MSS Satellite
Images. Journal of the University of Babylon, Pure and Applied Sciences.
21(8): 2844-2853.
Andréfouët S. 2008. Coral reef habitat mapping using remote sensing: A user vs
producer perspective. implications for research, management and capacity
building. J Spat Sci. 53(1): 113-129.
Andréfouët S, Guzman H. 2005. Coral reef distribution, status and geomorphology–
biodiversity relationship in Kuna Yala (San Blas) archipelago, Caribbean
Panama. Coral Reefs. 24(1): 31-42.
Andréfouët S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Pérez
R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH, et al. 2003. Multi-site
evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef
environments. Remote Sens Environ. 88(1–2): 128-143.
Andréfouët S, Muller-Karger FE, Hochberg EJ, Hu C, Carder KL. 2001. Change
detection in shallow coral reef environments using Landsat 7 ETM+ data.
Remote Sens Environ. 78(1–2): 150-162.
Andréfouët S, Riegl B. 2004. Remote sensing: a key tool for interdisciplinary
assessment of coral reef processes. Coral Reefs. 23(1): 1-4.
Benfield SL, Guzman HM, Mair JM, Young JAT. 2007. Mapping the distribution
of coral reefs and associated sublittoral habitats in Pacific Panama: a
comparison of optical satellite sensors and classification methodologies. Int J
Remote Sens. 28(22): 5047-5070.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J
Photogramm. 65(1): 2-16.
Capolsini P, Andréfouët S, Rion C, Payri C. 2003. A comparison of Landsat ETM+,
SPOT HRV, Ikonos, ASTER, and airborne MASTER data for coral reef
habitat mapping in South Pacific islands. Canadian Journal of Remote
Sensing. 29(2): 187-200.
Chavez PS. 1996. Image-based atmospheric corrections-revisited and improved.
Photogrammetric engineering and remote sensing. 62(9): 1025-1035.
Chen J, Gong P, He C, Pu R, Shi P. 2003. Land-use/land-cover change detection
using improved change-vector analysis. Photogrammetric Engineering &
Remote Sensing. 69(4): 369-379.
71

Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community


structure. Aust J Ecol. 18(1): 117-143.
Cohen WB, Goward SN. 2004. Landsat's role in ecological applications of remote
sensing. Bioscience. 54(6): 535-545.
Congalton RG, Green K. 2008. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data
Principles and Practices. France (FR): CRC Press Taylor & Francis Group.
Corcoran J, Knight J, Gallant A. 2013. Influence of Multi-Source and Multi-
Temporal Remotely Sensed and Ancillary Data on the Accuracy of Random
Forest Classification of Wetlands in Northern Minnesota. Remote Sensing.
5(7): 3212-3238.
Danoedero P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID): Andi
Offset.
El-Askary H, Abd El-Mawla SH, Li J, El-Hattab MM, El-Raey M. 2014. Change
detection of coral reef habitat using Landsat-5 TM, Landsat 7 ETM+ and
Landsat 8 OLI data in the Red Sea (Hurghada, Egypt). Int J Remote Sens.
35(6): 2327-2346.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australia: Mc Graw Publication.
[ExelisVIS] Exelis Visual Information Solutions. 2009. Atmospheric Correction
Module: QUAC and FLAASH User’s Guide. Colorado (US), ITT Visual
Information Solutions.
Franklin J, Rogan J, Phinn S, Woodcock C. 2003. Rationale and Conceptual
Framework for Classification Approaches to Assess Forest Resources and
Properties. Remote Sensing of Forest Environments. 'Di dalam': Wulder M,
Franklin S, 'editor', Springer US: 279-300.
Fuyi T, Mohammed SK, Abdullah K, Lim HS, Ishola KS, 2013. A comparison of
atmospheric correction techniques for environmental applications. In: editor.
Space Science and Communication (IconSpace), 2013 IEEE International
Conference on; 1-3 July 2013; Melaka. p 233-237.
Green E, Edwards AJ, Clark C. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal
management. Paris (FR): Unesco Pub.
Hatcher BG. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater is the whole than the
sum of the parts? Coral Reefs. 16(1): S77-S91.
Hedley JD, Mumby PJ, Joyce KE, Phinn SR. 2004. Spectral unmixing of coral reef
benthos under ideal conditions. Coral Reefs. 23(1): 60-73.
Hernandez-Cruz LR, Purkis SJ, Riegl B. 2006. Documenting Decadal Spatial
Changes in Seagrass and Acropora palmata Cover by Aerial Photography
Analysis in Vieques, Puerto Rico: 1937-2000. Bulletin of Marine Science.
79(2): 401 -414.
Hoare A, Tsokos CP. 2009. Statistical analysis and modeling of coral reef habitats.
Nonlinear Analysis: Theory, Methods & Applications. 71(12): e1360-e1369.
Hochberg EJ, Atkinson MJ. 2000. Spectral discrimination of coral reef benthic
communities. Coral Reefs. 19(2): 164-171.
Hochberg EJ, Atkinson MJ. 2003. Capabilities of remote sensors to classify coral,
algae, and sand as pure and mixed spectra. Remote Sensing of Environment.
85(2): 174-189.
72

Holden H, LeDrew E. 1998. Spectral Discrimination of Healthy and Non-Healthy


Corals Based on Cluster Analysis, Principal Components Analysis, and
Derivative Spectroscopy. Remote Sensing of Environment. 65(2): 217-224.
Holthus PF, Maragos JE, 1995. Marine ecosystem classification for the tropical
island Pacific. In: Maragos JE, Peterson MNA, Eldredge LG, Bardach JE,
Takeuchi HF, editor. Marine and Coastal Biodiversity in the Tropical Island
Pacific Region, East-West Center; Honolulu, Hawaii, United State (US):
NOAA. p 239- 278.
Joyce KE, Phinn SR, Roelfsema CM, Neil DT, Dennison WC. 2004. Combining
Landsat ETM+ and Reef Check classifications for mapping coral reefs: a
critical assessment from the southern Great Barrier Reef, Australia. Coral
Reefs. 23(1).
Klemas V. 2011. Remote Sensing Techniques for Studying Coastal Ecosystems:
An Overview. Journal of Coastal Research. 27(1): 2-17.
Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Comput Geosci. 32: 1259-1269.
Lam K, Shin PKS, Bradbeer R, Randall D, Ku KKK, Hodgson P, Cheung SG. 2006.
A comparison of video and point intercept transect methods for monitoring
subtropical coral communities. J Exp Mar Biol Ecol. 333(1): 115-128.
Lewis J. 2002. Evidence from aerial photography of structural loss of coral reefs at
Barbados, West Indies. Coral Reefs. 21(1): 49-56.
Li Z, Zhu C, Gold C. 2010. Digital terrain modeling: principles and methodology.
London (GB): CRC press.
Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image
Interpretation. New York (US): Wiley.
Lu D, Weng Q. 2007. A survey of image classification methods and techniques for
improving classification performance. Int. J. Remote Sens. 28(5): 823-870.
Lyzenga DR. 1978. Passive remote sensing techniques for mapping water depth
and bottom features. Appl. Opt. 17(3): 379-383.
Lyzenga DR. 1981. Remote sensing of bottom reflactance and water attenuation
parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. Int J Remote
Sens. 2: 71-82.
Malthus TJ, Mumby PJ. 2003. Remote sensing of the coastal zone: an overview and
priorities for future research. International Journal of Remote Sensing.
24(13): 2805-2815.
Maritorena S. 1996. Remote sensing of the water attenuation in coral reefs: a case
study in French Polynesia. International Journal of Remote Sensing. 17(1):
155-166.
Mather PM. 2004. Computer processing of remotely-sensed images: an
introduction: John Wiley & Sons.
[MENLH] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4. 2001. Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang.
Morisette JT, Khorram S. 2000. Accuracy assessment curves for satellite-based
change detection. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 66(7):
875-880.
73

Mountrakis G, Im J, Ogole C. 2011. Support vector machines in remote sensing: A


review. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing. 66(3): 247-
259.
Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edwards AJ. 1998. Benefits of water column
correction and contextual editing for mapping coral reefs. Int J Remote Sens.
19(1): 203-210.
Mumby PJ, Edwards AJ. 2002. Mapping marine environments with IKONOS
imagery: enhanced spatial resolution can deliver greater thematic accuracy.
Remote Sens Environ. 82(2–3): 248-257.
Mumby PJ, Green EP, Edwards AJ, Clark CD. 1997. Coral reef habitat mapping:
how much detail can remote sensing provide? Mar Biol. 130(2): 193-202.
Mumby PJ, Green EP, Edwards AJ, Clark CD. 1999. The cost-effectiveness of
remote sensing for tropical coastal resources assessment and management.
Journal of Environmental Management. 55(3): 157-166.
Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification scheme
of marine habitats to facilitate regional management and mapping of
Caribbean coral reefs. Biological Conservation. 88(2): 155-163.
Mumby PJ, Skirving W, Strong AE, Hardy JT, LeDrew E, Hochberg EJ, Stumpf
RP, David LT. 2004. Remote sensing of coral reefs and their physical
environment. Marine Pollution Bulletin. 48: 219-228.
Nurlidiasari M. 2004. The Application of QuickBird and Multi-temporal Landsat
TM Data for Coastal Reef Habitat Mapping, Case Study : Derawan island,
East Kalimantan. Enschede, Netherlands: International Institute of Enschede,
The Netherland
Palandro D, Andréfouët S, Dustan P, Muller-Karger FE. 2003. Change detection in
coral reef communities using Ikonos satellite sensor imagery and historic
aerial photographs. Int J Remote Sens. 24(4): 873-878.
Palandro DA, Andréfouët S, Hu C, Hallock P, Müller-Karger FE, Dustan P,
Callahan MK, Kranenburg C, Beaver CR. 2008. Quantification of two
decades of shallow-water coral reef habitat decline in the Florida Keys
National Marine Sanctuary using Landsat data (1984–2002). Remote Sens
Environ. 112(8): 3388-3399.
Phinn RS, Hochberg EJ, Roelfsema CM, Goodman J, Purkis S, Phinn SR. 2013.
Coral Reef Remote Sensing: A Guide for Multi-Level Sensing Mapping and
Assessment.
Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2011. Multi-scale, object-based image
analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs.
International Journal of Remote Sensing. 33(12): 3768-3797.
Pu R, Bell S, Meyer C, Baggett L, Zhao Y. 2012. Mapping and assessing seagrass
along the western coast of Florida using Landsat TM and EO-1 ALI/Hyperion
imagery. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 115(0): 234-245.
Purkis SJ, Riegl B. 2005. Spatial and temporal dynamics of Arabian Gulf coral
assemblages quantified from remote-sensing and in situ monitoring data. Mar
Ecol-Prog Ser. 287: 99-113.
Richards JA, Jia X. 2005. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduction.
Verlag Berlin Heidelberg Germany: Springer.
Roelfsema C, Phinn S, 2008. Evaluating eight field and remote sensing approaches
for mapping the benthos of three different coral reef environments in Fiji. In:
74

Frouin RJ, Andrefouet S, Kawamura H, Lynch MJ, Pan D, Platt T, editor.


Remote Sensing of Inland, Coastal, and Oceanic Waters; Noumea, New
Caledonia Bellingham (US), SPIE - The International Society for Optical
Engineering. p 71500F-71500F.
Rohmann SO, Hayes JJ, Nehwal RC, Monaco ME, Grigg RW. 2005. The area of
potential shallow-water tropical and subtropical coral ecosystems in the
United States. Coral Reefs. 24 (3): 370-383.
Scheidt S, Ramsey M, Lancaster N. 2008. Radiometric normalization and image
mosaic generation of ASTER thermal infrared data: An application to
extensive sand sheets and dune fields. Remote Sens Environ. 112(3): 920-933.
Scopélitis J, Andréfouët S, Phinn S, Arroyo L, Dalleau M, Cros A, Chabanet P.
2010. The next step in shallow coral reef monitoring: Combining remote
sensing and in situ approaches. Mar Pollut Bull. 60(11): 1956-1968.
Scopélitis J, Andréfouët S, Phinn S, Chabanet P, Naim O, Tourrand C, Done T.
2009. Changes of coral communities over 35 years: Integrating in situ and
remote-sensing data on Saint-Leu Reef (la Réunion, Indian Ocean). Estuar
Coast Shelf S. 84(3): 342-352.
Suharsono. 2002. Jenis-jenis karang di Indonesia. Jakarta: COREMAP Program
LIPI.
Turak E, DeVantier L. 2008. Biodiversity and Conservation Priorities of Reef-
building Corals in North Halmahera - Morotai. Indonesia: Conservation
International.
Veron JEN, Stafford-Smith M. 2000. Corals of the World: Australian Institute of
Marine Science Townsville.
Walker BK, Foster MS. 2010. Accuracy Assesment and Monitoring for NOAA
Florida Keys mapping ROI 2 (Key West): NOVA Southeastern University
and Natural Coral Reef Institute.
Wang L, Sousa WP, Gong P. 2004. Integration of object-based and pixel-based
classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. International
Journal of Remote Sensing. 25(24): 5655-5668.
Wang L, Zhao H. 2000. The general characteristics of the coral reef ecosystem.
Chinese Journal of Ecology. 20(6): 41-45.
Wilkinson C. 2008. Status of Coral Reefs of the World: 2008. Townsville,
Australia.: Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest
Research Center.
Xiaoke Z, Chao M, Haifeng H, Fangfang L, 2009. Radiometric correction based
on multi-temporal SPOT satellite images. In: editor. Wireless
Communications & Signal Processing, 2009. WCSP 2009. International
Conference on, IEEE. p 1-6.
Xu J, Zhao D. 2014. Review of coral reef ecosystem remote sensing. Acta
Ecologica Sinica. 34(1): 19-25.
Yuan D, Elvidge CD. 1996. Comparison of relative radiometric normalization
techniques. ISPRS J Photogramm. 51(3): 117-126.
Zainal A. 1994. New technique for enhancing the detection and classification of
shallow marine habitats. Marine Technology Society Journal. 28(2): 68-77.
Zhang C, Xie Z. 2013. Object-based Vegetation Mapping in the Kissimmee River
Watershed Using HyMap Data and Machine Learning Techniques. Wetlands.
33(2): 233-244.
75

Zitello AG, Bauer LJ, Battista TA, Mueler PW, Kendall MS, Monaco ME. 2009.
Shallow-Water Benthic Habitats of St. Jhon, U.S. Virgin Island. NOOA U.S.:
NOOA's Biogeography Branch in Cooperation with U.S. National Park
NOAA's Biogeography Branch in Cooperation with U.S.
LAMPIRAN
77

Lampiran 1 Meta data citra Landsat


Landsat 5 TM
GROUP = L1_METADATA_FILE
GROUP = METADATA_FILE_INFO
ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological
Survey"
REQUEST_ID = "0101401028125_00007"
LANDSAT_SCENE_ID = "LT51090591996212DKI00"
FILE_DATE = 2014-01-06T06:56:42Z
STATION_ID = "DKI"
PROCESSING_SOFTWARE_VERSION = "LPGS_12.3.1"
DATA_CATEGORY = "NOMINAL"
END_GROUP = METADATA_FILE_INFO
GROUP = PRODUCT_METADATA
DATA_TYPE = "L1T"
DATA_TYPE_L0RP = "TMR_L0RP"
ELEVATION_SOURCE = "GLS2000"
OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF"
EPHEMERIS_TYPE = "PREDICTIVE"
SPACECRAFT_ID = "LANDSAT_5"
SENSOR_ID = "TM"
SENSOR_MODE = "SAM"
WRS_PATH = 109
WRS_ROW = 059
DATE_ACQUIRED = 1996-07-30
SCENE_CENTER_TIME = 00:52:55.5310880Z
CORNER_UL_LAT_PRODUCT = 2.38799
CORNER_UL_LON_PRODUCT = 127.84069
CORNER_UR_LAT_PRODUCT = 2.38816
CORNER_UR_LON_PRODUCT = 129.93179
CORNER_LL_LAT_PRODUCT = 0.49117
CORNER_LL_LON_PRODUCT = 127.84165
CORNER_LR_LAT_PRODUCT = 0.49120
CORNER_LR_LON_PRODUCT = 129.93102
CORNER_UL_PROJECTION_X_PRODUCT = 371100.000
CORNER_UL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 264000.000
CORNER_UR_PROJECTION_X_PRODUCT = 603600.000
CORNER_UR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 264000.000
CORNER_LL_PROJECTION_X_PRODUCT = 371100.000
CORNER_LL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 54300.000
CORNER_LR_PROJECTION_X_PRODUCT = 603600.000
CORNER_LR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 54300.000
REFLECTIVE_LINES = 6991
REFLECTIVE_SAMPLES = 7751
THERMAL_LINES = 6991
THERMAL_SAMPLES = 7751
FILE_NAME_BAND_1 = "LT51090591996212DKI00_B1.TIF"
FILE_NAME_BAND_2 = "LT51090591996212DKI00_B2.TIF"
FILE_NAME_BAND_3 = "LT51090591996212DKI00_B3.TIF"
FILE_NAME_BAND_4 = "LT51090591996212DKI00_B4.TIF"
FILE_NAME_BAND_5 = "LT51090591996212DKI00_B5.TIF"
FILE_NAME_BAND_6 = "LT51090591996212DKI00_B6.TIF"
FILE_NAME_BAND_7 = "LT51090591996212DKI00_B7.TIF"
78

GROUND_CONTROL_POINT_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_GCP.txt"
REPORT_VERIFY_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_VER.txt"
BROWSE_VERIFY_FILE_NAME =
"LT51090591996212DKI00_VER.jpg"
METADATA_FILE_NAME = "LT51090591996212DKI00_MTL.txt"
CPF_NAME = "L5CPF19960701_19960930.09"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
CLOUD_COVER = 9.00
IMAGE_QUALITY = 9
SUN_AZIMUTH = 63.67060329
SUN_ELEVATION = 47.69731193
GROUND_CONTROL_POINTS_MODEL = 68
GEOMETRIC_RMSE_MODEL = 5.298
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_Y = 4.255
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_X = 3.157
GROUND_CONTROL_POINTS_VERIFY = 488
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY = 10.679
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_UL = 5.315
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_UR = 14.652
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_LL = 8.616
GEOMETRIC_RMSE_VERIFY_QUAD_LR = 14.157
END_GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 193.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_1 = -1.520
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 365.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_2 = -2.840
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 264.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_3 = -1.170
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 221.000
RADIANCE_MINIMUM_BAND_4 = -1.510
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 30.200
RADIANCE_MINIMUM_BAND_5 = -0.370
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 15.303
RADIANCE_MINIMUM_BAND_6 = 1.238
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 16.500
RADIANCE_MINIMUM_BAND_7 = -0.150
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_1 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_1 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_2 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_2 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_3 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_3 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_4 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_4 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_5 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_5 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_6 = 255
79

QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_6 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_7 = 255
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_7 = 1
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
CORRECTION_GAIN_BAND_1 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_2 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_3 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_4 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_5 = "CPF"
CORRECTION_GAIN_BAND_6 = "INTERNAL_CALIBRATION"
CORRECTION_GAIN_BAND_7 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_1 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_2 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_3 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_4 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_5 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_6 = "CPF"
CORRECTION_BIAS_BAND_7 = "CPF"
END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
RADIANCE_MULT_BAND_1 = 0.766
RADIANCE_MULT_BAND_2 = 1.448
RADIANCE_MULT_BAND_3 = 1.044
RADIANCE_MULT_BAND_4 = 0.876
RADIANCE_MULT_BAND_5 = 0.120
RADIANCE_MULT_BAND_6 = 0.055
RADIANCE_MULT_BAND_7 = 0.066
RADIANCE_ADD_BAND_1 = -2.28583
RADIANCE_ADD_BAND_2 = -4.28819
RADIANCE_ADD_BAND_3 = -2.21398
RADIANCE_ADD_BAND_4 = -2.38602
RADIANCE_ADD_BAND_5 = -0.49035
RADIANCE_ADD_BAND_6 = 1.18243
RADIANCE_ADD_BAND_7 = -0.21555
END_GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
MAP_PROJECTION = "UTM"
DATUM = "WGS84"
ELLIPSOID = "WGS84"
UTM_ZONE = 52
GRID_CELL_SIZE_REFLECTIVE = 30.00
GRID_CELL_SIZE_THERMAL = 30.00
ORIENTATION = "NORTH_UP"
RESAMPLING_OPTION = "CUBIC_CONVOLUTION"
MAP_PROJECTION_L0RA = "NA"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END
80

Landsat 7ETM+
GROUP = L1_METADATA_FILE
GROUP = METADATA_FILE_INFO
ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological
Survey"
REQUEST_ID = "0101010139567_00023"
PRODUCT_CREATION_TIME = 2010-10-15T10:39:50Z
STATION_ID = "EDC"
LANDSAT7_XBAND = "2"
GROUND_STATION = "EDC"
LPS_PROCESSOR_NUMBER = 1
DATEHOUR_CONTACT_PERIOD = "0220404"
SUBINTERVAL_NUMBER = "04"
END_GROUP = METADATA_FILE_INFO
GROUP = PRODUCT_METADATA
PRODUCT_TYPE = "L1T"
ELEVATION_SOURCE = "GLS2000"
PROCESSING_SOFTWARE = "LPGS_11.2.0"
EPHEMERIS_TYPE = "DEFINITIVE"
SPACECRAFT_ID = "Landsat7"
SENSOR_ID = "ETM+"
SENSOR_MODE = "SAM"
ACQUISITION_DATE = 2002-07-23
SCENE_CENTER_SCAN_TIME = 01:26:00.5483055Z
WRS_PATH = 109
STARTING_ROW = 59
ENDING_ROW = 59
BAND_COMBINATION = "123456678"
PRODUCT_UL_CORNER_LAT = 2.4015013
PRODUCT_UL_CORNER_LON = 127.7813247
PRODUCT_UR_CORNER_LAT = 2.4017076
PRODUCT_UR_CORNER_LON = 129.9614770
PRODUCT_LL_CORNER_LAT = 0.4965845
PRODUCT_LL_CORNER_LON = 127.7823426
PRODUCT_LR_CORNER_LAT = 0.4966271
PRODUCT_LR_CORNER_LON = 129.9606738
PRODUCT_UL_CORNER_MAPX = 364500.000
PRODUCT_UL_CORNER_MAPY = 265500.000
PRODUCT_UR_CORNER_MAPX = 606900.000
PRODUCT_UR_CORNER_MAPY = 265500.000
PRODUCT_LL_CORNER_MAPX = 364500.000
PRODUCT_LL_CORNER_MAPY = 54900.000
PRODUCT_LR_CORNER_MAPX = 606900.000
PRODUCT_LR_CORNER_MAPY = 54900.000
PRODUCT_SAMPLES_PAN = 16161
PRODUCT_LINES_PAN = 14041
PRODUCT_SAMPLES_REF = 8081
PRODUCT_LINES_REF = 7021
PRODUCT_SAMPLES_THM = 8081
PRODUCT_LINES_THM = 7021
BAND1_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B10.TIF"
BAND2_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B20.TIF"
BAND3_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B30.TIF"
81

BAND4_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B40.TIF"
BAND5_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B50.TIF"
BAND61_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_B61.TIF"
BAND62_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B62.TIF"
BAND7_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B70.TIF"
BAND8_FILE_NAME = "L72109059_05920020723_B80.TIF"
GCP_FILE_NAME = "L71109059_05920020723_GCP.txt"
METADATA_L1_FILE_NAME =
"L71109059_05920020723_MTL.txt"
CPF_FILE_NAME = "L7CPF20020701_20020930_06"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
LMAX_BAND1 = 191.600
LMIN_BAND1 = -6.200
LMAX_BAND2 = 196.500
LMIN_BAND2 = -6.400
LMAX_BAND3 = 152.900
LMIN_BAND3 = -5.000
LMAX_BAND4 = 241.100
LMIN_BAND4 = -5.100
LMAX_BAND5 = 31.060
LMIN_BAND5 = -1.000
LMAX_BAND61 = 17.040
LMIN_BAND61 = 0.000
LMAX_BAND62 = 12.650
LMIN_BAND62 = 3.200
LMAX_BAND7 = 10.800
LMIN_BAND7 = -0.350
LMAX_BAND8 = 243.100
LMIN_BAND8 = -4.700
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QCALMAX_BAND1 = 255.0
QCALMIN_BAND1 = 1.0
QCALMAX_BAND2 = 255.0
QCALMIN_BAND2 = 1.0
QCALMAX_BAND3 = 255.0
QCALMIN_BAND3 = 1.0
QCALMAX_BAND4 = 255.0
QCALMIN_BAND4 = 1.0
QCALMAX_BAND5 = 255.0
QCALMIN_BAND5 = 1.0
QCALMAX_BAND61 = 255.0
QCALMIN_BAND61 = 1.0
QCALMAX_BAND62 = 255.0
QCALMIN_BAND62 = 1.0
QCALMAX_BAND7 = 255.0
QCALMIN_BAND7 = 1.0
QCALMAX_BAND8 = 255.0
QCALMIN_BAND8 = 1.0
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND1 = "CPF"
82

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND2 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND3 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND4 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND5 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND61 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND62 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND7 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND8 = "CPF"
CORRECTION_METHOD_BIAS = "IC"
BAND1_GAIN = "H"
BAND2_GAIN = "H"
BAND3_GAIN = "H"
BAND4_GAIN = "L"
BAND5_GAIN = "H"
BAND6_GAIN1 = "L"
BAND6_GAIN2 = "H"
BAND7_GAIN = "H"
BAND8_GAIN = "L"
BAND1_GAIN_CHANGE = "0"
BAND2_GAIN_CHANGE = "0"
BAND3_GAIN_CHANGE = "0"
BAND4_GAIN_CHANGE = "0"
BAND5_GAIN_CHANGE = "0"
BAND6_GAIN_CHANGE1 = "0"
BAND6_GAIN_CHANGE2 = "0"
BAND7_GAIN_CHANGE = "0"
BAND8_GAIN_CHANGE = "0"
BAND1_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND2_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND3_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND4_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND5_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND6_SL_GAIN_CHANGE1 = 0
BAND6_SL_GAIN_CHANGE2 = 0
BAND7_SL_GAIN_CHANGE = 0
BAND8_SL_GAIN_CHANGE = 0
SUN_AZIMUTH = 56.4187609
SUN_ELEVATION = 54.1508253
OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF"
END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS
GROUP = CORRECTIONS_APPLIED
STRIPING_BAND1 = "NONE"
STRIPING_BAND2 = "NONE"
STRIPING_BAND3 = "NONE"
STRIPING_BAND4 = "NONE"
STRIPING_BAND5 = "NONE"
STRIPING_BAND61 = "NONE"
STRIPING_BAND62 = "NONE"
STRIPING_BAND7 = "NONE"
STRIPING_BAND8 = "NONE"
BANDING = "N"
COHERENT_NOISE = "Y"
MEMORY_EFFECT = "N"
83

SCAN_CORRELATED_SHIFT = "N"
INOPERABLE_DETECTORS = "N"
DROPPED_LINES = "N"
END_GROUP = CORRECTIONS_APPLIED
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
REFERENCE_DATUM = "WGS84"
REFERENCE_ELLIPSOID = "WGS84"
GRID_CELL_SIZE_PAN = 15.000
GRID_CELL_SIZE_THM = 30.000
GRID_CELL_SIZE_REF = 30.000
ORIENTATION = "NUP"
RESAMPLING_OPTION = "CC"
MAP_PROJECTION = "UTM"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
GROUP = UTM_PARAMETERS
ZONE_NUMBER = 52
END_GROUP = UTM_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END

Landsat 8OLI
GROUP = L1_METADATA_FILE
GROUP = METADATA_FILE_INFO
ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological
Survey"
REQUEST_ID = "0101402246103_00420"
LANDSAT_SCENE_ID = "LC81090592013290LGN00"
FILE_DATE = 2014-02-24T21:56:46Z
STATION_ID = "LGN"
PROCESSING_SOFTWARE_VERSION = "LPGS_2.3.0"
END_GROUP = METADATA_FILE_INFO
GROUP = PRODUCT_METADATA
DATA_TYPE = "L1T"
ELEVATION_SOURCE = "GLS2000"
OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF"
SPACECRAFT_ID = "LANDSAT_8"
SENSOR_ID = "OLI_TIRS"
WRS_PATH = 109
WRS_ROW = 59
NADIR_OFFNADIR = "NADIR"
TARGET_WRS_PATH = 109
TARGET_WRS_ROW = 59
DATE_ACQUIRED = 2013-10-17
SCENE_CENTER_TIME = 01:39:36.0420519Z
CORNER_UL_LAT_PRODUCT = 2.49653
CORNER_UL_LON_PRODUCT = 127.83790
CORNER_UR_LAT_PRODUCT = 2.49674
CORNER_UR_LON_PRODUCT = 129.88330
CORNER_LL_LAT_PRODUCT = 0.39076
CORNER_LL_LON_PRODUCT = 127.83897
CORNER_LR_LAT_PRODUCT = 0.39080
CORNER_LR_LON_PRODUCT = 129.88248
CORNER_UL_PROJECTION_X_PRODUCT = 370800.000
84

CORNER_UL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 276000.000
CORNER_UR_PROJECTION_X_PRODUCT = 598200.000
CORNER_UR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 276000.000
CORNER_LL_PROJECTION_X_PRODUCT = 370800.000
CORNER_LL_PROJECTION_Y_PRODUCT = 43200.000
CORNER_LR_PROJECTION_X_PRODUCT = 598200.000
CORNER_LR_PROJECTION_Y_PRODUCT = 43200.000
PANCHROMATIC_LINES = 15521
PANCHROMATIC_SAMPLES = 15161
REFLECTIVE_LINES = 7761
REFLECTIVE_SAMPLES = 7581
THERMAL_LINES = 7761
THERMAL_SAMPLES = 7581
FILE_NAME_BAND_1 = "LC81090592013290LGN00_B1.TIF"
FILE_NAME_BAND_2 = "LC81090592013290LGN00_B2.TIF"
FILE_NAME_BAND_3 = "LC81090592013290LGN00_B3.TIF"
FILE_NAME_BAND_4 = "LC81090592013290LGN00_B4.TIF"
FILE_NAME_BAND_5 = "LC81090592013290LGN00_B5.TIF"
FILE_NAME_BAND_6 = "LC81090592013290LGN00_B6.TIF"
FILE_NAME_BAND_7 = "LC81090592013290LGN00_B7.TIF"
FILE_NAME_BAND_8 = "LC81090592013290LGN00_B8.TIF"
FILE_NAME_BAND_9 = "LC81090592013290LGN00_B9.TIF"
FILE_NAME_BAND_10 = "LC81090592013290LGN00_B10.TIF"
FILE_NAME_BAND_11 = "LC81090592013290LGN00_B11.TIF"
FILE_NAME_BAND_QUALITY =
"LC81090592013290LGN00_BQA.TIF"
METADATA_FILE_NAME = "LC81090592013290LGN00_MTL.txt"
BPF_NAME_OLI =
"LO8BPF20131017011906_20131017015030.01"
BPF_NAME_TIRS =
"LT8BPF20131017011512_20131017015123.01"
CPF_NAME = "L8CPF20131001_20131231.04"
RLUT_FILE_NAME = "L8RLUT20130211_20431231v09.h5"
END_GROUP = PRODUCT_METADATA
GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
CLOUD_COVER = 5.84
IMAGE_QUALITY_OLI = 9
IMAGE_QUALITY_TIRS = 9
ROLL_ANGLE = -0.001
SUN_AZIMUTH = 115.83933512
SUN_ELEVATION = 65.08346181
EARTH_SUN_DISTANCE = 0.9966035
GROUND_CONTROL_POINTS_MODEL = 138
GEOMETRIC_RMSE_MODEL = 8.922
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_Y = 6.364
GEOMETRIC_RMSE_MODEL_X = 6.252
END_GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES
GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 765.25220
RADIANCE_MINIMUM_BAND_1 = -63.19477
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 783.62756
RADIANCE_MINIMUM_BAND_2 = -64.71222
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 722.10614
85

RADIANCE_MINIMUM_BAND_3 = -59.63176
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 608.92059
RADIANCE_MINIMUM_BAND_4 = -50.28486
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 372.62903
RADIANCE_MINIMUM_BAND_5 = -30.77183
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 92.66945
RADIANCE_MINIMUM_BAND_6 = -7.65267
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 31.23457
RADIANCE_MINIMUM_BAND_7 = -2.57936
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 689.13049
RADIANCE_MINIMUM_BAND_8 = -56.90862
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 145.63187
RADIANCE_MINIMUM_BAND_9 = -12.02633
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_10 = 22.00180
RADIANCE_MINIMUM_BAND_10 = 0.10033
RADIANCE_MAXIMUM_BAND_11 = 22.00180
RADIANCE_MINIMUM_BAND_11 = 0.10033
END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE
GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_1 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_2 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_3 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_4 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_5 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_6 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_7 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_8 = -0.099980
REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 1.210700
REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_9 = -0.099980
END_GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE
GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_1 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_1 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_2 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_2 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_3 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_3 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_4 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_4 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_5 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_5 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_6 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_6 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_7 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_7 = 1
86

QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_8 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_8 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_9 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_9 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_10 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_10 = 1
QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_11 = 65535
QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_11 = 1
END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE
GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
RADIANCE_MULT_BAND_1 = 1.2641E-02
RADIANCE_MULT_BAND_2 = 1.2945E-02
RADIANCE_MULT_BAND_3 = 1.1929E-02
RADIANCE_MULT_BAND_4 = 1.0059E-02
RADIANCE_MULT_BAND_5 = 6.1556E-03
RADIANCE_MULT_BAND_6 = 1.5308E-03
RADIANCE_MULT_BAND_7 = 5.1598E-04
RADIANCE_MULT_BAND_8 = 1.1384E-02
RADIANCE_MULT_BAND_9 = 2.4057E-03
RADIANCE_MULT_BAND_10 = 3.3420E-04
RADIANCE_MULT_BAND_11 = 3.3420E-04
RADIANCE_ADD_BAND_1 = -63.20742
RADIANCE_ADD_BAND_2 = -64.72517
RADIANCE_ADD_BAND_3 = -59.64369
RADIANCE_ADD_BAND_4 = -50.29492
RADIANCE_ADD_BAND_5 = -30.77798
RADIANCE_ADD_BAND_6 = -7.65420
RADIANCE_ADD_BAND_7 = -2.57988
RADIANCE_ADD_BAND_8 = -56.92000
RADIANCE_ADD_BAND_9 = -12.02873
RADIANCE_ADD_BAND_10 = 0.10000
RADIANCE_ADD_BAND_11 = 0.10000
REFLECTANCE_MULT_BAND_1 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_2 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_3 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_4 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_5 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_6 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_7 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_8 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_MULT_BAND_9 = 2.0000E-05
REFLECTANCE_ADD_BAND_1 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_2 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_3 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_4 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_5 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_6 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_7 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_8 = -0.100000
REFLECTANCE_ADD_BAND_9 = -0.100000
END_GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING
GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS
K1_CONSTANT_BAND_10 = 774.89
87

K1_CONSTANT_BAND_11 = 480.89
K2_CONSTANT_BAND_10 = 1321.08
K2_CONSTANT_BAND_11 = 1201.14
END_GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS
GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
MAP_PROJECTION = "UTM"
DATUM = "WGS84"
ELLIPSOID = "WGS84"
UTM_ZONE = 52
GRID_CELL_SIZE_PANCHROMATIC = 15.00
GRID_CELL_SIZE_REFLECTIVE = 30.00
GRID_CELL_SIZE_THERMAL = 30.00
ORIENTATION = "NORTH_UP"
RESAMPLING_OPTION = "CUBIC_CONVOLUTION"
END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS
END_GROUP = L1_METADATA_FILE
END
88

-Lampiran 2 Meta data citra Orbview


Data Set Attribute Attribute Value
USGS Entity ID 3V070302M0001614031A520001900262M_001655948
Acquisition Date 2007/03/02
Cloud Cover 2
NW Corner 2°17'38.39"N, 128°11'23.87"E
NE Corner 2°18'04.96"N, 128°16'36.19"E
SW Corner 2°00'26.65"N, 128°11'24.19"E
SE Corner 2°00'54.07"N, 128°16'32.12"E
Center Coordinates 2°09'16.02"N, 128°13'59.10"E
Platform ORBVIEW-3
Sensor MS
Sun Elevation 57.92
Sun Azimuth 107.89
Vendor GeoEye Inc.
Vendor Scene ID 3v070302m0001614031a520001900262m_001655948
Map Projection GEOGRAPHIC
Processing Level BASIC ENHANCED
Datum WGS84
File Format TIFF
Pixel Size X 4.8049071
Pixel Size Y 4.3421331
Date Entered 2011/11/07
Data Set Attribute Attribute Value
USGS Entity ID 3V060620M0001254631A520002200282M_001658218
Acquisition Date 2006/06/20
Cloud Cover 4
NW Corner 2°15'25.17"N, 128°07'58.48"E
NE Corner 2°15'23.64"N, 128°12'12.33"E
SW Corner 2°01'21.28"N, 128°07'58.72"E
SE Corner 2°01'20.05"N, 128°12'12.13"E
Center Coordinates 2°08'22.53"N, 128°10'05.41"E
Platform ORBVIEW-3
Sensor MS
Sun Elevation 58.46
Sun Azimuth 45.84
Vendor GeoEye Inc.
Vendor Scene ID 3v060620m0001254631a520002200282m_001658218
Map Projection GEOGRAPHIC
Processing Level BASIC ENHANCED
Datum WGS84
File Format TIFF
Pixel Size X 3.9485561
Pixel Size Y 3.9625991
Date Entered 2011/11/09

Anda mungkin juga menyukai