SURYAKENCANA BOGOR
Naftalie C. K. Luchsinger
NIM A44110029
ABSTRAK
NAFTALIE CLAUDIA KRISTIANI LUCHSINGER. Revitalisasi Lanskap
Kawasan Pecinan Suryakencana Bogor. Dibimbing oleh NURHAYATI.
ABSTRACT
NAFTALIE CLAUDIA KRISTIANI LUCHSINGER. Revitalization of Bogor
Suryakencana Chinatown Landscape. Supervised by NURHAYATI.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia dan berkat-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul Revitalisasi Lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana, Bogor dan
berlangsung selama enam bulan dari bulan Maret 2015 hingga Agustus 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Ibu Nurhayati selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing
saya dalam menyelesaikan skripsi ini
2. Bapak Qodarian dan Bapak Aris selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran dalam penyelesaian skripsi ini
3. Kedua orangtua saya dan kedua adik saya yang sudah mendukung saya
selama menjalani pendidikan di Institut Pertanian Bogor
4. Ghea, Pea, dan Uum sebagai teman satu bimbingan skripsi
5. Inces yang sudah sangat mendukung saya dalam menjalani penelitian ini.
6. Teman – teman Arsitektur Lanskap 48 yang selalu ada dalam suka
maupun duka selama perkuliahan.
7. Pak Mardi Lim selaku narasumber ahli dan tokoh masyarakat di Pecinan
Suryakencana
8. Mas Reza, Mba Uti, dan Pak Nazar selaku narasumber dari Komunitas
Kampoeng Bogor dan P4W
9. Pak Noval, Pak Haris, dan Ibu Feby selaku narasumber dari BAPPEDA
Kota Bogor
10. Pak Rusli dan Pak Kismiyadi selaku narasumber dari Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Bogor
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 2
2 Kawasan pusaka di Kota Bogor 8
3 Lokasi penelitian 10
4 Peta zonasi lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana 14
5 Kawasan Pecinan Suryakencana tahun 1898-1899 16
6 Kawasan Pecinan Suryakencana tahun 1920 16
7 Kawasan Pecinan Suryakencana tahun 1946 17
8 Pedagang kaki lima (PKL) di depan ruko 18
9 Beberapa bangunan tua yang dijual pemiliknya 18
10 Ilustrasi Jalan Suryakencana 20
11 Ilustrasi Jalan Siliwangi 20
12 Dragon Spine pada Pecinan Suryakencana tahun 1920 – 1930 21
13 Tipe atap hsuan shan pada vihara 22
14 Bentukan ornamen khas Tionghoa 22
15 Warna pada Vihara Dhanagun 23
16 Bangunan berarsitektur Indis 23
17 Deretan ruko di Kawasan Pecinan Suryakencana 25
18 Rumah arsitektur Tionghoa dan arsitektur Indis 26
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Contoh perhitungan nilai signifikansi lanskap Kawasan Pecinan 65
Suryakencana hasil kuesioner
2 Kuesioner persepsi masyarakat 66
3 Kuesioner penilaian lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana 69
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan proses perkembangan suatu kota, dapat terlihat perubahan
terhadap wajah dan karakteristik kota tersebut. Saat ini, pembangunan kota-kota di
Indonesia cenderung tidak terkendali, tidak terarah, serta memiliki karakteristik
yang hampir serupa sehingga membuat identitas kota melemah. Jenis vegetasi,
model rumah, dan pola ruang saat ini mengikuti tren yang populer di kalangan
masyarakat. Sesungguhnya, dengan beragamnya sejarah dan budaya di Indonesia,
kawasan-kawasan yang terdapat di suatu kota dapat berkembang dan memiliki
identitas serta kekhasan yang berbeda, sehingga menjadikan kota tersebut berbeda
dengan kota lainnya. Kota yang memiliki bermacam-macam bagian akan lebih
menyenangkan daripada yang homogen atau menyerupai kota lain (Attoe, 1988).
Kota Bogor yang menjadi penyangga ibukota negara membuat
perkembangan kota ini berjalan cukup pesat. Namun, hal ini tidak berdampak
positif bagi nilai sejarah dan budaya yang terdapat di kota ini. Kota Bogor memiliki
sejarah dan keragaman budaya yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari berbagai etnis
masyarakat, adat budaya, dan peninggalan-peninggalan fisik berupa artefak
maupun bangunan yang terdapat di Kota Bogor. Salah satu keragaman tersebut
dapat terlihat di Kawasan Pecinan Suryakencana. Kawasan Pecinan Suryakencana
merupakan salah satu dari enam kawasan pusaka yang terdapat di Kota Bogor. Pada
mulanya, kawasan pecinan terbentuk akibat adanya peraturan wijkenstelsel yang
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda sehingga terbentuk pemukiman-pemukiman
berdasarkan etnis, salah satunya adalah Pecinan Suryakencana. Kemudian,
kawasan ini berkembang sebagai kawasan perdagangan dikarenakan mayoritas
masyarakat Tionghoa pada saat itu berprofesi sebagai pedagang. Hingga saat ini
Kawasan Pecinan Suryakencana dikenal sebagai pusat perdagangan Kota Bogor.
Selain itu di kawasan ini terdapat berbagai bangunan kuno yang memiliki nilai
sejarah, sebagian besar berupa ruko yang merupakan tempat berdagang dan tempat
tinggal masyarakat pada saat itu. Selain dalam bentuk fisik, terdapat juga berbagai
aktivitas kebudayaan dan tradisi Tionghoa yang rutin dilakukan, seperti Imlek dan
Cap Go Meh.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang mengikuti program Kota
Pusaka dan saat ini pemkot mulai memberikan perhatian lebih terhadap
peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Kota Bogor. Sebagai salah
satu kawasan pusaka Kota Bogor, Pecinan Suryakencana merupakan salah satu
kawasan yang menjadi perhatian. Pemerintah Kota Bogor mulai melihat potensi
yang terdapat di kawasan ini dan membuat rencana untuk memperkuat identitas
lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana, karena seiring dengan berjalannya waktu,
identitas kawasan ini semakin melemah akibat komersialisasi kawasan yang tidak
terkendali.
Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk menyelamatkan lanskap
Kawasan Pecinan Suryakencana bernilai sejarah dan budaya yang tinggi ini agar
tetap lestari. Revitalisasi diperlukan untuk meningkatkan idententitas serta
mengembalikan vitalitas kawasan yang mengalami penurunan, sehingga
produktivitas ekonomi, sosial, dan budaya di kawasan ini dapat terjaga serta
bermakna bagi keberlanjutan Kota Bogor.
2
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. mengidentifikasi karakter dan kondisi lanskap Kawasan Pecinan
Suryakencana
2. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap
Kawasan Pecinan Suryakencana
3. mengusulkan rekomendasi tindakan revitalisasi lanskap Kawasan Pecinan
Suryakencana
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah menjadi bahan informasi dan
rekomendasi bagi pemerintah Kota Bogor terhadap program revitalisasi lanskap
Kawasan Pecinan Suryakencana yang merupakan salah satu kawasan pusaka Kota
Bogor.
Kota Bogor
.
Pengumpulan Data
Identifikasi dan Deskripsi
Analisis Data
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Sejarah
Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat
dinikmati oleh seluruh indera manusia. Pada suatu lanskap karakter harus menyatu
secara harmonis dan alami untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Lanskap
menurut Simonds (1983) merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik
tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana suatu lanskap
dikatakan alami jika area atau kawasan tersebut memiliki keharmonisan dan
kesatuan antar elemen-elemen pembentuk lanskap sehingga indera manusia
memegang peranan yang penting dalam merasakan suatu lanskap.
Lanskap sejarah berperan penting dalam membentuk berbagai tradisi budaya
dan etnikal dalam suatu masyarakat. Harris dan Dines (1988) menjelaskan bahwa
lanskap sejarah merupakan lanskap yang berasal dari masa lampau dan terdapat
bukti fisik tentang keberadaan manusia di dalamnya. Pada lanskap sejarah, manusia
dapat menggali sejarah perkembangannya dan sekaligus melihat diri mereka sendiri
dalam konteks sejarah yang lebih luas. Attoe (1988) menyatakan bahwa nilai
sejarah dari suatu kota selain pada penampakan bangunannya juga terdapat pada
lingkungan sekitarnya yang mencakup kawasan alamiah yang berhubungan dengan
kota tersebut seperti wajah jalan, lokasi-lokasi bersejarah, taman-taman, serta muka
bangunan yang merupakan unsur penting dari bentuk dan sifat kota tersebut.
Menurut Siti Nurisjah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah (historical
landscape) merupakan bagian dari suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi
waktu di dalamnya.
Menurut Goodchild (1990) sebuah lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah
apabila di dalamya memuat satu atau beberapa kondisi lanskap berikut :
1. merupakan contoh yang menarik dari sebuah tipe lanskap sejarah
2. memuat bukti yang menarik untuk dipelajari terkait dengan sejarah tata
guna lahan, lanskap dan taman, atau sikap budaya terhadap lanskap dan
taman
3. memiliki keterkaitan dengan seseorang, masyarakat, atau peristiwa yang
penting dalam sejarah
4. memiliki nilai-nilai sejarah dengan bangunan atau monumen sejarah.
Salah satu tipe lanskap sejarah menurut Goodchild (1990) adalah lanskap
perkotaan yang mencirikan karakter kota pada periode waktu tertentu pada masa
lalu.
Pelestarian Lanskap Sejarah
Menurut Goodchild (1990) pelestarian adalah perlindungan dan
pengelolaan terhadap sumberdaya yang bernilai penting. Tujuan utama dari
konservasi terhadap benda cagar budaya adalah untuk melindungi, memelihara, dan
meningkatkannya agar terus berkelanjutan. Alasan untuk melestarikan lanskap
sejarah antara lain:
1. lanskap bersejarah merupakan sesuatu yang penting dan bagian integral
dari warisan budaya. Keberadaannya dapat membantu dalam
mendefinisikan karakteristik dari warisan budaya, sebagai suatu referensi
atau landmark yang bisa dimengerti dan juga memberi nilai penting.
4
Revitalisasi Kawasan
Berikut beberapa pengertian untuk istilah revitalisasi :
1. upaya untuk menghidupkan kembali distrik atau kawasan kota yang telah
mengalami degradasi lingkungan, baik dalam lingkup ekonomi, sosial
budaya, makna dan citra kawasan hingga tampilan visual, sehingga untuk
menghidupkan kembali kawasan tersebut perlu dilakukan kegiatan melalui
intervensi yang bersifat fisik dan non fisik (Martokusumo, 2001)
2. upaya menghidupkan dan menggiatkan kembali faktor-faktor bangunan
(tanah, tenaga kerja, modal, ketrampilan, kewirausahaan, kelembagaan
keuangan, birokrasi serta dukungan prasarana dan sarana fisik) dan para
6
3. Kelangkaan
Kelangkaan ini dicapai dari potensi sumber daya alam yang mungkin
tidak terdapat di daearah atau kawasan yang lain
4. Peranan sejarah
Secara tidak langsung kondisi ini menjadi ikatan simbolis antara masa
lalu dan kondisi sekarang
5. Memperkuat citra kawasan di dekatnya
Pengembangan kawasan untuk fungsi-fungsi tertentu yang memiliki
motivasi ekonomi untuk dapat dijual ke luar wilayah atau kawasan, secara
tidak langsung berdampak terhadap perkembangan wilayah di sekitarnya,
terutama terhadap peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan nilai
ekonomi setempat.
6. Keistimewaan
Wilayah kawasan yang direvitalisasi selain memiliki keunikan dan
keistimewaan tertentu, juga menjadi tumpuan hidup masyarakat di
sekitarnya.
di Kota Bogor, terdapat enam kawasan yang disepakati menjadi kawasan pusaka di
Kota Bogor, yaitu:
1. Sub Kawasan Kebun Raya dan Istana Bogor
2. Sub Kawasan Empang
3. Sub Kawasan Pecinan
4. Sub Kawasan Pemukiman Eropa
5. Sub Kawasan Pemekaran Barat
6. Sub Kawasan Karsten Plan
Penetapan delineasi kawasan dan situs bersejarah Kota Pusaka Bogor
dilakukan berdasarkan kajian sejarah yang sudah dilakukan. Pada Gambar 2
merupakan delineasi kawasan pusaka di Kota Bogor. Sebagai Kota Pusaka, pada
dasarnya Kota Bogor telah menjadi bagian dari kebijakan pengembangan kota oleh
Pemerintah Daerah Kota Bogor. Beberapa program dan kegiatan yang dilakukan
oleh Pemda Kota Bogor telah diarahkan pada upaya pelestarian kawasan-kawasan
bersejarah di Kota Bogor.
Istilah Pecinan
Ensiklopedia Nasional Indonesia mengatakan bahwa istilah Cina berasal
dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama
lebih dari dua ribu tahun sampai pada tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan
peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia. Pada
abad ketujuh bangsa Chin mulai masuk ke Indonesia dan kemudian berdiam di
beberapa kawasan, terutama di pesisir timur Sumatera dan di Kalimantan Barat.
9
Road of Never Sleeping Road merupakan julukan yang cocok untuk Jl.
Suryakencana. Roda kehidupan seakan tidak pernah berhenti. Namun sayangnya
seiring dengan berjalannya waktu kondisi di sepanjang jalan ini semakin terkikis
kemajuan zaman.
METODE
Metode penelitian
Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap komponen artefak fisik, non
fisik, dan nilai (values) pada kawasan pecinan Suryakencana. Kemudian dilakukan
assessment terhadap artefak fisik, non fisik, dan nilai untuk mengetahui nilai
keaslian dan keunikan kawasan pecinan Suryakencana.
Analisis
Metode yang digunakan dalam tahap analisis meliputi metode deskriptif,
kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan karakter lanskap pada tapak penelitian secara sistematis, faktual
dan akurat yang meliputi fakta dan sifat fisik maupun sosial pada tapak (Suryabrata,
1992). Analisis deskriptif digunakan dalam mengidentifikasi komponen artefak
12
fisik yang terdiri dari pola permukiman, komponen non fisik meliputi kegiatan
tradisi dan kebudayaan dan kegiatan ekonomi di Kawasan Pecinan Suryakencana.
Analisis yang dilakukan berupa analisis fisik dan fungsi untuk menentukan
pembagian zona di Kawasan Pecinan Suryakencana dan assessment lanskap untuk
mengetahui nilai signifikansi setiap zona tersebut. Hasil analisis fisik membagi
Kawasan Pecinan Suryakencana menjadi empat zona sesuai fungsinya. Pembagian
zona secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4. Untuk mengetahui nilai penting
setiap zona dilakukan penilaian dengan komponen penilaian terbagi atas penilaian
keaslian dan keunikan lanskap kawasan dan akan menunjukkan zona dengan
kategori tinggi, sedang, dan rendah. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Responden kuesioner terdiri dari 15 orang narasumber/tenaga ahli, baik
dari dinas maupun komunitas, dan warga yang sudah lama bermukim di kawasan
ini. Pada Tabel 3 dan 4 merupakan kriteria yang digunakan dalam penilaian
keaslian dan keunikan lanskap kawasan Pecinan Suryakencana dengan
menggunakan beberapa aspek penting yang telah dipaparkan oleh Harris dan Dines
(1988). Hasil dari analisis merupakan dasar pada tahap penyusunan rekomendasi
revitalisasi lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana.
4
15
Tahun 1920
Pada peta tahun 1920 Kawasan Pecinan mulai meluas dan berkembang.
Lahan permukiman mulai berkembang menempati lahan-lahan kosong di sebelah
timur. Jalan-jalan yang terdapat di dalam Pecinan Suryakencana antara lain Jalan
Pedati dan jalan setapak, sedangkan pada sisi barat Pecinan terdapat Goedang,
Lawangseketeng dan Bintaoe.
Di sebelah utara pecinan terdapat dua gedung pemerintahan (dibangun
tahun 1905 dan 1912) dan rumah pegadaian. Pada sisi timur halaman klenteng
dibuat jalan setapak yang menuju daerah utara. Lahan kosong di sebelah selatan
klenteng dalam peta ini telah berubah menjadi pasar yang terbentuk sejak
ditetapkannya sistem perdagangan pasar (1872) yang dipusatkan di sekitar kawasan
asrama kavaleri (saat ini menjadi Pasar Bogor). Bangunan pasar terdiri dari dua
bangunan yang terpisah. Bangunan terkonsentrasi di bagian utara pecinan, yaitu di
sekitar klenteng. Selain itu, pada sisi kiri dan kanan Jalan Roda telah berdiri
bangunan-bangunan yang jarak antara satu dengan yang lain berjauhan. Di Pulo
Geulis bangunan yang dapat diketahui yaitu berupa klenteng dan beberapa rumah
yang sangat berjauhan. Selain itu, yang dapat dilihat hanya berupa lahan kosong
dan kebun. Pada Gambar 6 Kawasan Pecinan Suryakencana Tahun 1920.
Tahun 1946
Pada peta tahun 1946 Pecinan telah berkembang ke bagian barat dan timur
serta menempati lahan-lahan kosong di bagian selatan. Selain itu, perubahan yang
cukup terlihat ialah pada bagian utara Pecinan Suryakencana terdapat akses jalan
baru yaitu terusan Jalan Juanda menuju Baranangsiang, yaitu Treubweg (sekarang
Jalan Otto Iskandardinata). Sedangkan untuk jalan-jalan lainnya yang ada di
Pecinan, masih tetap sama. Perubahan juga terlihat di Pulo Geulis yaitu lahan-lahan
yang sebelumnya kosong telah padat oleh pemukiman warga.
Pada awal abad ke-20, akibat pengaruh peraturan Wijkenstelsel yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, menimbulkan adanya pembagian
sub kawasan sehingga masyarakat Tionghoa hidup terkotak-kotak sesuai kelas
sosial mereka. Golongan pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor sedangkan
golongan bawah (mayoritas Tionghoa peranakan) menghuni ruko-ruko sewa dan
rumah-rumah petak di balik ruko. Golongan elit/atas cenderung menghuni bagian
selatan pecinan dan rumah mereka biasanya mencirikan gaya hidup yang kebarat-
baratan dan rumah tipe villa dengan pengaruh arsitektur kolonial Belanda. Pada
Gambar 7 merupakan gambaran Kawasan Pecinan Suryakencana Tahun 1946.
Pola Ruang
Pecinan atau Perkampungan Cina merupakan suatu wilayah di dalam kota
yang warganya didominasi oleh etnis Tionghoa. Jadi, tidak mengherankan jika
terdapat perbedaan pada penataan kawasan ini bila dibandingkan dengan kawasan
lain. Umumnya, kawasan pecinan memiliki kepadatan penduduk yang didominasi
oleh etnis Tionghoa serta merupakan salah satu pusat perniagaan di kota tersebut.
Tata letak bangunan di Kawasan Pecinan Suryakencana dikembangkan berdasarkan
konsep “Punggung Naga”, dengan Vihara Dhanagun yang terletak di utara
dilambangkan sebagai kepala naga dan Jalan Suryakencana hingga Jalan Siliwangi
sebagai punggung naga atau jalur naga.
Orientasi untuk bangunan kelenteng umumnya berada pada arah utara atau
selatan. Vihara Dhanagun terletak di sebelah utara kawasan Pecinan yang dianggap
sebagai dudukan, karena naga bersemayam di utara, sementara selatan dianggap
sebagai samudera, sumber air dan sumber kehidupan. Ada anggapan juga bahwa
bangunan yang menghadap ke barat laut dan tenggara adalah arah yang menghadap
ke pintu kejahatan. Oleh karena itu, kelenteng/vihara dibangun dengan menghadap
arah pecinan (selatan). Selain itu, menurut masyarakat setempat dengan menghadap
pecinan, dewa-dewi yang berada di kelenteng akan senantiasa melindungi kawasan
pecinan dari segala mara bahaya.
21
Arsitektur
Dari segi arsitektur, terdapat dua jenis arsitektur bangunan di Kawasan
Pecinan Suryakencana, yaitu arsitektur Tionghoa dan arsitektur Indis.
1. Arsitektur Tionghoa
Pada kawasan Pecinan Suryakecna, bangunan dengan arsitektur Tionghoa
banyak terdapat di bagian utara, yaitu di sekitar Vihara Dhanagun, Jalan
Suryakencana, dan juga Jalan Roda. Menurut David G. Khol (1984) mengenai
arsitektur khas Tionghoa, terdapat beberapa ciri khas bangunan berarsitektur
Tionghoa, khususnya yang berada di kawasan Asia Tenggara, diantaranya:
22
b. Elemen-elemen struktural
Orang Tionghoa terkenal dengan kemampuannya dalam kerajinan
ragam hias dan konstruksi kayu. Detail-detail konstruktif pada bangunan
menjadi ciri khas tersendiri yang maknanya lebih dari sekedar estetika. Pada
Gambar 14 merupakan contoh elemen struktural khas Tionghoa.
seperti kuning, biru, putih, merah, dan hitam yang selalu dikaitkan dengan
unsur-unsur alam yaitu kayu, api, logam, dan tanah. Pada Gambar 15
merupakan contoh warna yang digunakan pada Vihara Dhanagun di
Kawasan Pecinan Suryakencana.
2. Arsitektur Indis
Arsitektur Indis di Kawasan Pecinan Suryakencana umumnya dapat dilihat
pada bangunan yang terdapat di Jalan Siliwangi. Sebutan Indis sebenarnya
berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa
Indonesia. Secara umum bangunan berarsitektur Indis terletak di lahan yang
cukup besar dengan sisa lahan digunakan sebagai halaman yang ditanami
berbagai tanaman. Bangunan memiliki ukuran yang cukup besar menyerupai
villa dengan jendela kaca berukuran besar. Pada Gambar 16 merupakan contoh
bangunan berarsitektur Indis di Kawasan Pecinan Suryakencana.
Bangunan
Bangunan di Kawasan Pecinan Suryakencana didominasi oleh ruko yang
terdapat di sepanjang Jalan Suryakencana, bangunan dengan fungsi sebagai tempat
tinggal, tempat beribadah, dan lainnya.
1. Klenteng atau Vihara
Klenteng dan vihara sesungguhnya merupakan dua hal yang berbeda.
Perbedaan antara Klenteng dan vihara menjadi rancu karena peristiwa G30S
pada 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa
termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru,
sehingga klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Lalu
muncul ajaran Tridharma yang bertujuan agar aset-aset budaya Tionghoa tidak
24
ditutup oleh pemerintah. Karena itu, banyak klenteng yang mencatatkan surat
izin dalam naungan agama Buddha, walaupun sebenarnya merupakan tempat
ibadah bagi penganut kepercayaan Tionghoa (Konghucu) dan mendaftarkan
nama klenteng yang ada sebagai vihara agar tetap diperbolehkan keadaannya.
Baru pada era pemerintahan Gus Dur, etnis Tionghoa diperbolehkan untuk
melakukan tradisi kebudayaan maupun kepercayaan secara bebas. Terdapat tiga
vihara di Kawasan Pecinan Suryakencana, yaitu Vihara Dharmakaya (Klenteng
Hok Tek Bio) yang terletak di Jalan Suryakencana, Vihara Mahabrahma
(Klenteng Pan Kho) yang terletak di Pulo Geulis, dan Vihara Dharmakaya yang
terletak di Jalan Siliwangi.
Tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, ketiga vihara ini pun
dianggap masyarakat sebagai landmark (penanda) di kawasan Pecinan
Suryakencana. Landmark merupakan salah satu unsur pembentuk karakter
kawasan. Secara umum, landmark dapat diartikan sebagai penanda. Menurut
Wikipedia, landmark adalah sesuatu objek geografis yang digunakan oleh para
pengelana sebagai penanda untuk bisa kembali ke suatu area. Landmark dapat
berupa bentuk alam seperti bukit, gunung, danau, lembah, maupun berupa karya
manuasia diantaranya gedung, monument, sculpture, dan sebagainya. Pada
Tabel 7 merupakan bangunan yang merupakan landmark Kawasan Pecinan
Suryakencana.
Klenteng Pan Kho Klenteng ini sudah ada sebelum Klenteng Hok
(Vihara Mahabrahma) Tek Bio dibangun. Berbeda dengan Klenteng
Hok Tek Bio yang terletak di pinggir jalan,
Klenteng Pan Kho terletak di tengah-tengah
pemukiman di Pulo Geulis, dan telah mengalami
akulturasi budaya. Letak yang kurang strategis
mengakibatkan kurangnya masyarakat yang
mengetahui keberadaan Klenteng Pan Kho. yaitu
makam Eyang Jayaningrat, Embah Sakee,
Embah Imam dan Raden Mangun Jaya yang
25
3. Rumah Tinggal
Pada zaman dahulu, masyarakat di kawasan ini hidup terkotak-kotak
berdasarkan kelas sosial dan hal ini berpengaruh terhadap bentuk rumah tinggal.
Di bagian utara, yaitu bangunan berarsitektur Tionghoa umumnya ditinggali
oleh masyarakat bermata pencaharian sebagai pedagang, sedangkan pada
bagian selatan merupakan kelas elit/atas yang mayoritas berpendidikan serta
merupakan tuan-tuan tanah perkebunan. Perbedaan ini mengakibatkan adanya
perbedaan dari segi arsitektur bangunan, baik rumah tinggal maupun
vihara/klenteng. Pada Gambar 18 merupakan contoh rumah dengan arsitektur
Tionghoa dan Indis.
Jalan
Terdapat beberapa Jalan di Kawasan Pecinan Suryakencana yang memiliki
peranan terhadap berkembangnya kawasan ini pada zamannya.
1. Jalan Suryakencana
Jalan Suryakencana adalah jalan utama pada Kawasan Pecinan
Suryakencana. Pada jalan ini masih terdapat ruko-ruko dengan arsitektur khas
khas Tionghoa yang berdempetan di sepanjang jalan. Sampai saat ini Jalan
Suryakencana ini merupakan jalan yang dilewati saat perayaan Cap Go Meh
setiap tahunnya. Awalnya, Jalan Suryakencana bernama Handelstraat atau
Jalan Perniagaan (handel= niaga, straat= jalan), nama ini sesuai dengan
fungsinya sebagai pusat perdagangan, terutama pada jaman kolonial.
Saat ini kondisi Jalan Suryakencana masih cukup baik. Di bagian depan
jalan masuk ke Jalan Suryakencana terdapat pasar, seringkali angkot yang
sembarangan menurunkan dan menaikkan penumpang di daerah ini
menyebabkan kemacetan. Di kanan-kiri jalan terdapat trotoar dengan ukuran ±
1.5 – 2 meter, namun sering digunakan untuk berjualan oleh pedagang kaki lima
sehingga walaupun sudah pernah diperbaiki oleh pemerintah kondisi trotoar
tidak terlalu optimal untuk digunakan oleh pejalan kaki. Berbeda dengan Jalan
Siliwangi, pada Jalan Suryakencana hampir tidak ditemukan ruang untuk
tanaman karena hampir seluruh lahan yang ada merupakan lahan terbangun.
Gambar 19 merupakan contoh lanskap Jalan Suryakencana.
27
2. Jalan Roda
Dinamakan Jalan Roda karena dulu jalan ini merupakan jalur bagi kereta
kuda dan hingga saat ini tetap bernama Jalan Roda walaupun sudah tidak dilalui
lagi oleh kereta kuda. Jalan Roda merupakan jalan sekunder di kawasan
pecinan. Karena merupakan jalan sekunder, aktivitas di Jalan Roda tidak
seramai Jalan Suryakencana. Bangunan-bangunan yang ada di Jalan Roda
berarsitektur Tionghoa dan merupakan kawasan pemukiman warga Tinghoa
walaupun saat ini tidak hanya dihuni oleh warga Tionghoa saja. Pada Gambar
20 merupakan contoh lanskap Jalan Roda.
3. Jalan Siliwangi
Jalan Siliwangi merupakan salah satu jalan utama di Kawasan Pecinan
Suryakencana. Jalan Siliwangi juga merupakan wilayah untuk pemukiman
Tionghoa namun karena mereka lebih menggunakan gaya arsitektur Indis,
banyak orang yang tidak menyadari Jalan Siliwangi masih termasuk ke dalam
kawasan pecinan. Pengaruh arsitektur tersebut tidak terlepas dari hubungan
warga Tionghoa pada masa itu dengan pemerintahan Belanda. Mereka yang
berpendidikan dan dekat dengan pemerintah kolonial cenderung mengikuti
gaya hidup mereka. Terdapat salah satu peninggalan sejarah yang menjadi bukti
keberadaan warga Tionghoa di Jalan Siliwangi yang juga menjadi salah satu
landark dari kawasan pecinan, yaitu Vihara Dharmakaya. Pada Gambar 21
merupakan lanskap Jalan Siliwangi.
28
Elemen Sejarah
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bogor pada tahun 2015, terdapat 69 elemen sejarah yang tersebar
di Kawasan Pecinan Suryakencana. Dari 69 elemen yang teridentifikasi, 30
diantaranya sudah ditetapkan sebagai BCB. Data dan persebaran elemen sejarah di
kawasan ini dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 22. Dari hasil identifikasi
tersebut diketahui bahwa sebagian besar berfungsi sebagai rumah tinggal dan ruko,
serta terdapat juga vihara atau klenteng sebagai sarana peribadatan warga Tionghoa.
Dilihat dari segi pengelolaan masih dikelola secara pribadi oleh pemilik dan ada
beberapa yang dikelola oleh yayasan pemilik bangunan. Karena pengelolaan masih
dipegang oleh pemilik dapat dilihat bahwa kondisi setiap elemen berbeda satu sama
lain, ada yang sangat terawat dan bahkan ada yang terlihat tidak terawat sama
sekali.
Tabel 8 Elemen sejarah di Kawasan Pecinan Suryakencana
No Bangunan Lokasi Fungsi Status Pengelola
1 Toko Sumber Jaya Jl. Pasar Toko Belum Pemilik
Bogor No. BCB
14
4 Toko Haji Abas Toys Jl. Pasar Bogor Toko Belum BCB Pemilik
No. 38
5 Toko Sinar Surya Jl. Pasar Bogor Toko Belum BCB Pemilik
No. 46
Kegiatan Perekonomian
Sebagai kawasan perniagaan, di kawasan ini terdapat berbagai jenis
aktivitas perekonomian, baik barang maupun jasa. Ruko-ruko yang terdapat di
sepanjang Jalan Suryakencana dan juga terdapat Pasar Bogor dan Plaza Bogor di
bagian depan kawasan yang menjadikan kawasan ini daya tarik bagi warga
pendatang untuk berdagang. Di Pasar Bogor dan Plaza Bogor dapat ditemukan
kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur-sayuran, daging, dan lain-lain. Ruko-
ruko yang berderet di sepanjang Jalan Suryakencana menjual berbagai barang
maupun jasa, mulai dari swalayan, toko mas, toko baju, stationary, apotik, dan salah
satu yang terkenal dari Pecinan Suryakencana adalah kulinernya.
Berbagai rumah makan dan gerobak menawarkan jajanan pasar, makanan
ringan, makanan khas Bogor, hingga makanan khas Tionghoa. Karena hal ini lah
Kawasan Pecinan Suryakencana merupakan salah satu lokasi kuliner favorit pecinta
kuliner khususnya pada hari libur dan weekend. Pada akhir pekan atau hari libur
banyak warga dari sekitar Jabodetabek yang datang untuk menikmati kuliner di sini,
baik makanan khas Tionghoa, seperti ngohiang, maupun makanan khas Bogor,
seperti soto, asinan, dan lumpia, selain itu ada juga jajanan seperti combro dan
pisang goreng yang terkenal dari daerah ini. Pada Gambar 23 merupakan contoh
kegiatan perekonomian di Kawasan Pecinan Suryakecana.
tahun baru Imlek, salah satunya adalah penyalaan lilin. Lilin merupakan simbol
penerangan menuju awal baru atau dengan kata lain memiliki makna supaya
tahun baru lebih terang atau lebih bagus dibandingkan tahun yang lama. Lilin
yang dipasang harus sepasang karena melambangkan Yin dan Yang atau
lambang keseimbangan dalam kehidupan. Penyalaan lilin yang dilakukan di
kelenteng atau vihara biasanya menggunakan lilin dengan ukuran yang besar,
bahkan ada yang mencapai 2 meter. Besar kecilnya lilin tidak dipersoalkan,
yang penting dilandasi dengan keikhlasan. Penyalaan lilin ini biasanya
dilakukan selama dua minggu dan terus dijaga agar terus menyala. Pada
Gambar 24 merupakan penyalaan lilin yang dilakukan di Vihara Dhanagun.
2. Cap Go Meh
Cap Go Meh adalah hari ke-15 setelah Imlek di Tahun Baru Cina. Cap Go
Meh merupakan puncak dari segala kemeriahan dan penutupan dari seluruh
rangkaian perayaan tahun baru Imlek. Nama resmi dari perayaan ini adalah
Goan Siau atau Malam (Purnama) Pertama.
Perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor sudah berlangsung sejak etnis
Tionghoa membangun klenteng. Pada awalnya, pemerintah Belanda merangkul
tokoh-tokoh Tionghoa pesisir untuk membangun dan mendukung
perekonomian. Karena kawasan ini secara kontur tanah paling stabil dan rata,
Belanda merencanakan kawasan ini untuk pembangunan jalan dan sebagai
poros ekonomi, lalu para tokoh Tionghoa tersebut ditempatkan Belanda di sini.
Orang Tionghoa adalah seorang yang religius, sehingga saat menetap di tempat
yang baru hal pertama yang mereka lakukan adalah worship, yaitu bersyukur
dan berdoa, dan membangun altar pada dewa bumi. Setelah itu dibentuklah
suatu kongsi atau ikatan kekerabatan yang diorganisasikan, untuk
mengumpulkan dana sehingga dibangun Klenteng Hok Tek Bio. Jika altar
tersebut kemudian bisa terbangun menjadi sebuah klenteng, hal ini menandakan
jika tatanan masyarakat di sekitarnya sudah mapan. Karena, untuk membangun
sebuah klenteng pada masanya harus menggunakan tenaga ahli dan bahan-
bahan dengan kualitas terbaik. Saat klenteng yang megah sudah jadi, akhirnya
mereka membawa pemuka-pemuka Buddhist dari Tiongkok untuk memberi
wejangan spiritual dan lainnya. Seiring berjalannya waktu kemudian mulai
masuklah tradisi-tradisi Tionghoa, salah satunya Cap Go Meh. Menurut Bapak
Mardi Lim, ada catatan yang mengatakan bahwa Cap Go Meh sudah diadakan
sejak tahun 1800an dan merupakan pesta Tionghoa terbesar di Kota Bogor.
43
Pada awalnya rute Cap Gomeh adalah keluar dari Klenteng Hok Tek Bio
kemudian masuk ke kawasan utama perniagaan suryakencana, masuk ke Jalan
Roda, Lawang Seketeng, dan terakhir kembali ke klenteng melalui Jalan Pedati.
Pada tahun 2003 jalur diperpanjang sampai ke Jalan Batutulis, yaitu ke Vihara
Buddhasena, yang merupakan salah satu kantong komunitas Tionghoa setelah
klenteng dan kebudayaan Tionghoa dilarang pada masa orde baru, jadi vihara
ini memegang peran penting sebagai savior atau penyelamat etnis Tinghoa.
Perpanjangan jalur ini juga untuk menghormati salah satu vihara tertua yaitu
Vihara Mahabrahma. Seiring dengan dijadikannya sebagai festival kota, jalur
Cap Go Meh sering mengalami modifikasi, namun untuk jalur ritual itu sendiri
tetap mempertahankan seperti sebelum-sebelumnya dan tidak mengikuti jalur
festival kota, yang seperti pada tahun 2015 sampai ke Jalan Pajajaran. Karena
untuk jalur ritual harus didoakan terlebih dahulu dan sesuai dengan keinginan
dewa. Pada Gambar 23 merupakan peta rute perayaan Cap Go Meh sekaligus
Pesta Rakyat Kota Bogor 2015. Jalur berwarna biru merupakan jalur untuk
festival dan jalur berwarna merah merupakan kalur tradisi Cap Go Meh.
3. Cheng Beng
Cheng Beng yang juga dikenal dengan Hari Penghormatan leluhur biasanya
jatuh pada tanggal 4 atau 5 April menurut kalender Masehi. Kegiatan yang
dilakukan biasanya dengan membersihkan kuburan leluhur, sembahyang untuk
memberikan penghormatan. Sampai saat ini Cheng Beng masih dilakukan oleh
warga Tionghoa di Kawasan Pecinan Suryakencana dengan upacara
penghormatan dilakukan di krematorium atau di rumah anggota keluarganya.
45
4. Peh Cun
Peh Cun merupakan dialek Hokkian untuk kata pachuan yang artinya
mendayung perahu dan dilakukan setiap tanggal 5 bulan 5 berdasarkan
penanggalan Imlek. Dulu, warga Tionghoa di Bogor untuk merayakan festival
ini adalah dengan melakukan adu perahu naga di Katulampa namun kegiatan
ini sudah tidak lagi dilakukan. Saat ini festival Peh Cun diperingati cukup
dengan sembahyang ke vihara atau klenteng dan makan bakcang bersama
keluarga.
5. Bulan Purnama
Perayaan ini dilakukan setiap tanggal 15 bulan kedelapan berdasarkan
penaggalan Tionghoa. Perayaan ini dilakukan dengan upacara bulan purnama
yang disebut Zhong Qiu Jie dan menggunakan kue bulan sebagai persembahan
upacara. Walaupun sudah jarang dilakukan, tradisi ini masih dilakukan oleh
sebagian masyarakat dengan sembahyang ke klenteng atau vihara.
6. Ciamsi
Ciamsi merupakan tradisi peramalan yang berakar pada Taoisme. Ciamsi
dilakukan setelah selesai berdoa pada seluruh dewa-dewi di klenteng. Cara
melakukannya adalah dengan mengocok tabung bambu yang di dalamnya
terdapat nomor ramalan yang tertera pada bilah kecil bambu. Nomor tersebut
akan ditukarkan dengan kertas yang berisi jawaban berupa kata-kata atau syair
dan dianggap sebagai jawaban dari dewa atau dewi atas doa dari dewa atau dewi
atas doa yang dipanjatkan. Kegiatan ini masih dilakukan di Klenteng Hok Tek
Bio.
Komunitas Masyarakat
Kawasan Pecinan Suryakencana memiliki berbagai komunitas di dalamnya.
Komunitas-komunitas tersebut terbentuk karena ketertarikan dan kesamaan antar
anggotanya dalam hal-hal tertentu. Misalnya saja komunitas alumni sekolah. Pada
waktu itu, terdapat dua sekolah Tionghoa yang terkenal, yaitu sekolah Tionghoa
Huakung dan sekolah Tionghoa Chen Chung. Walaupun keduanya merupakan
sekolah Tionghoa, namun kiblatnya berbeda. Sekolah Tionghoa Huakung berkiblat
ke Tiongkok sedangkan sekolah Tionghoa Chen Chung berkiblat ke Taiwan. Selain
komunitas alumni sekolah, terdapat juga komunitas marga. Komunitas ini dibentuk
sekitar tiga tahun terakhir. Melihat komunitas alumni sekolah Huakung dan Chen
Chung berdiri, komunitas marga seakan tidak mau kalah untuk membentuk
komunitas juga. Komunitas marga terbagi sesuai dengan marganya masing-masing.
Pada umumnya, baik komunitas alumni sekolah maupun komunitas marga
beranggotakan orang-orang sepuh atau orang tua.
Bagi anak-anak muda yang umumnya lebih kreatif dan kritis belum
terwadahi secara optimal, namun mereka umumnya bergabung dengan komunitas-
komunitas keagamaan, baik komunitas klenteng, komunitas vihara, atau komunitas
gereja. Komunitas keagamaan sering mengadakan berbagai kegiatan, namun
kegiatan tersebut masih sebatas religius sentris dan belum terlihat dampak secara
langsung pada lingkungan.
46
Ada sebuah komunitas yang cukup terlibat aktif dan peduli terhadap budaya,
seni, preservasi, dan revitalisasi kawasan yang menamakan dirinya SEPAKAT
(Sekretariat Pagoejoeban Kampoeng Tengah). SEPAKAT merupakan kumpulan
dari beberapa orang yang peduli terhadapat keberlanjutan Kawasan Pecinan
Suryakencana atau mereka sebut dengan kampoeng Tionghoa. Salah satu
penggagas berdirinya komunitas ini adalah Bapak Mardi Lim, yang merupakan
salah satu tokoh masyarakat di kawasan ini. Hingga saat ini mungkin belum banyak
kegiatan yang secara langsung dilakukan komunitas ini, namun SEPAKAT sudah
menjadi salah satu partner pemerintah Kota Bogor dan menjadi jembatan atau
media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat di kawasan ini. SEPAKAT
juga bersedia untuk mengawal tindakan yang dilakukan pemerintah agar hasilnya
tidak melenceng dari yang seharusnya.
2. Zona 2
Berdasarkan hasil kuesioner nilai signifikansi lanskap Kawasan Pecinan
Suryakencana Bogor, zona 2 termasuk dalam kategori nilai signifikansi tinggi.
Hasil pengamatan lapang terhadap zona 2 dapat dilihat pada Tabel 11.
3. Zona 3
Berdasarkan hasil kuesioner nilai signifikansi lanskap Kawasan Pecinan
Suryakencana Bogor, zona 3 termasuk dalam kategori nilai signifikansi rendah.
Hasil pengamatan lapang terhadap zona 3 dapat dilihat pada Tabel 12.
50
4. Zona 4
Berdasarkan hasil kuesioner nilai signifikansi lanskap Kawasan Pecinan
Suryakencana Bogor, zona 4 termasuk dalam kategori nilai signifikansi rendah.
Hasil pengamatan lapang terhadap zona 3 dapat dilihat pada Tabel 13.
6.7
6.7
Vihara
Lainnya
93.3
yang saat ini sedang dalam tahap awal pembuatannya, seperti yang terdapat pada
Gambar 30. Gerbang ini diberi nama “Gerbang Rejeki dan Kebajikan Kampung
Tengah – Buitenzorg Dayeuh Bogor”. Dalam proses perancangan dan perencanaan
gerbang, melibatkan konsultan yang ditunjuk langsung oleh Kementrian Pekerjaan
Umum dan bekerja sama dengan komunitas atau tokoh masyarakat agar seusai
dengan karakter Kawasan Pecinan Suryakencana. Gerbang ini terletak di jalan
masuk menuju kawasan ini, akan lebih baik jika nantinya dibuat juga gerbang
diujung kawasan ini sebagai penanda batas kawasan. Selain itu ada rencana
mengenai perubahan jalur bagi kendaraan yang berada di sekitar kebun raya, hal ini
juga akan berpengaruh terhadap kawasan ini. Pemerintah juga masih mencari solusi
untuk mengatasi masalah kemacetan di Jalan Suryakencana, ada beberapa hal yang
pernah dicetuskan, seperti pelarangan kendaraan untuk masuk, seperti pada
beberapa pecinan, namun hal ini kurang cocok diterapkan pada Pecinan
Suryakencana, karena terdapat fasilitas pendidikan, gereja, perkantoran, dan pasar
yang membutuhkan mobilisasi kendaraan, mungkin alternatif lain adapat dilakukan
dengan memanfaatkan jalan-jalan sekunder di kawasan, namun terlebih dulu
diperbaiki infrastrukturnya.
Pasal 22 ayat 1-3 pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, diatur
mengenai insentif bagi pemilik Cagar Budaya, yaitu berupa pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan dan/atau pajak penghasilan. Jika hal ini diterapkan tentunya
akan sangat membantu para pemilik Cagar Budaya di kawasan Pecinan
Suryakencana, karena sebagai salah satu kawasan perekonomian, PBB di kawasan
ini cukup tinggi. Beberapa waktu lalu hal ini pernah diterapkan, namun kemudian
dicabut sehingga masyarakat kembali tidak mendapatkan bantuan yang berarti.
Komitmen pemerintah untuk menjaga dan melestarikan pusaka di Kota
Bogor diwujudkan melalui Peraturan Walikota yang disusun bersama dengan
komunitas yang ada di Kota Bogor. Diterbitkannya Perwali ini agar adanya payung
hokum untuk kegiatan mengenai pelestarian pusaka. Kota Bogor menjadi satu-
satunya kota yang sudah memiliki Perda khusus mengenai pelestarian pusaka di
antara kota-kota lain yang tergabung di dalam program Kota Pusaka.
Berdasarkan analisis dengan melihat hasil assessment dan potensi yang ada
pada lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana, serta beberapa program yang telah
dibuat pemerintah dan saran dari masyarakat, tindakan pelestarian yang dapat
dilakukan adalah revitalisasi. Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan
untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan
menyesuaikan fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian
dan nilai budaya masyarakat. Kegiatan revitalisasi atau pelestarian untuk
peningkatan kualitas kota pusaka tidak hanya tertuju pada bentuk fisik lingkungan
tetapi juga kehidupan yang hidup di dalam kota, kehidupan yang ada perlu dijaga
(Pedoman OWHC, 2003). Di dalam dasar-dasar penataan dan pelestarian kota
pusaka di Indonesia, menyebutkan bahwa pemanfaatan pusaka harus dapat
membawa kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kehidupan yang berkualitas.
Penguatan fisik, ekonomi, dan sosial budaya harus berjalan selaras.
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara
bertahap, dan berfungsi untuk memperkuat karakteristik kawasan. Revitalisasi yang
diawali dengan proses perbaikan artefak fisik harus mendukung proses kegiatan
ekonomi. Perbaikan fisik kawasan diharapkan dapat mengakomodasi kegatan
ekonomi di Kawasan Pecinan Suryakencana sehingga mampu memberikan nilai
tambah bagi kawasan, serta tetap berpedoman kepada aspek sosial budaya yang ada
pada kawasan agar terjadi keseimbangan dan dapat berlangsung berkelanjutan dan
dapat memberikan dampak positif terhadap kehindupan masyarakat.
Zona 1
Zona 1, yaitu zona vihara dan sekitarnya, memiliki nilai signifikansi tinggi.
Hal yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sekitar vihara. Pada Vihara
Dhanagun, di sekitarnya terdapat banyak pedagang yang berjualan, florist di
bagian depan, di sisi kanan dan kiri terdapat Plaza Bogor, Pasar Bogor, dan penjual
kerajinan. Hampir seluruhnya merupakan lapak permanen. Pada Vihara
Mahabrahma lingkungan sekitar merupakan pemukiman padat penduduk dan akses
jalan cukup rumit karena harus melalui jalan-jalan kecil, serta tidak ada penanda
57
(signage) yang jelas untuk menuju ke vihara ini. Pada Vihara Dharmakaya
lingkungan tidak terlalu mengganggu, hanya saja mungkin akan lebih baik bila
menambahkan ornamen-ornamen khas Tionghoa di sekitar vihara ini. Pada Tabel
15 merupakan rekomendasi revitalisasi untuk zona 1.
Zona 2
Zona 2, yaitu zona komersial dan pemukiman non elit I, memiliki nilai
signifikansi sedang. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai komersialisasi
kawasan, hal ini termasuk penataan pedagang dan melindungi peralihan fungsi dan
bentuk bangunan kuno di zona ini. Sebagai kawasan perniagaan, Kawasan Pecinan
Suryakencana merupakan tempat yang menarik perhatian para pedagang. Mayoritas
pedagang di kawasan ini adalah para warga pendatang yang berasal dari kota-kota
di sekitar Kota Bogor. Mereka umumnya berdagang di ruas-ruas jalan dan di depan
ruko sehingga mengganggu aktivitas di ruko dan juga di jalan maupun trotoar. Ruko
sendiri merupakan ciri khas di Kawasan Pecinan Suryakencana dan banyak terdapat
di zona 2, yaitu pada Jalan Suryakencana, Jalan Lawang Seketeng, dan Jalan Pedati.
Tabel 16 merupakan rekomendasi revitalisasi untuk zona 2 dan Gambar 31
merupakan contoh penggunaan lampion di zona 1.
Zona 3
Zona 3, yaitu zona komersial dan pemukiman non elit II, memiliki nilai
signifikansi rendah. Pada zona ini, zona komersial berada di bagian depan yaitu di
sekitar belakang Pasar Bogor hingga Hotel Pasar Baru. Pada area ini dikenal dengan
area perdagangan lama, yaitu berada di Jalan Klenteng, Jalan Pasar Bogor, dan
59
sebagian kecil Jalan Roda. Pada area ini terdapat ruko-ruko dengan arsitektur khas
Tionghoa, namun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pada area pemukiman masih
terdapat rumah-rumah dengan arsitektur khas Tionghoa. Tabel 17 merupakan
rekomendasi revitalisasi untuk zona 3.
Zona 4
Zona 4, yaitu zona pemukiman elit dan peralihannya, memiliki nilai signifikansi
rendah. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai komersialisasi kawasan dan
memperkuat identitas pecinan. Di zona ini masih terdapat elemen-elemen
bersejarah, namun sudah banyak yang beralih fungsi untuk komersial. Tabel 18
merupakan rekomendasi revitalisasi untuk zona 4.
jh
61
62
Simpulan
Kawasan Pecinan Suryakencana merupakan salah satu kawasan pusaka di
Kota Bogor. Elemen pembentuk kawasan pecinan, seperti elemen fisik dan non
fisik berpengaruh pada keberlanjutan kawasan ini. Kawasan ini dikenal sebagai
kawasan pemukiman masyarakat Tionghoa dan kawasan perdagangan yang
memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, maka terdapat banyak peninggalan
bersejarah, salah satunya berupa bangunan. Hasil identifikasi menunjukkan, saat ini
terdapat 69 elemen bersejarah dengan 30 diantaranya sudah ditetapkan sebagai
Benda Cagar Budaya Kota Bogor, dan sebagian besar berfungsi sebagai tempat
tinggal dan ruko. Namun, banyak elemen bersejarah yang berada dalam keadaan
rusak, tidak terawat, atau bahkan beralih fungsi. Tidak hanya aspek fisik, terdapat
juga aspek non fisik yang berpengaruh terhadap keberlanjutan lanskap Kawasan
Pecinan Suryakencana. Aktivitas tradisi dan budaya Tionghoa di kawasan ini masih
sering dilakukan, seperti Imlek dan Cap Go Meh, yang sudah dilakukan sejak
masyarakat Tionghoa menetap di kawasan ini. Karena karakteristik lanskap
Kawasan Pecinan Suryakencana semakin mengalami degradasi, perlu dilakukan
upaya untuk melestarikannya kembali. Melalui analisis nilai signifikansi kawasan,
potensi, dan kondisi lanskap kawasan pecinan dibentuk rekomendasi revitalisasi
Kawasan Pecinan Suryakencana. Konsep revitalisasi yang direkomendasikan yaitu
intervensi secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya dan diharapkan dapat berlangsung
secara berkelanjutan.
Saran
Penyusunan program revitalisasi lanskap Kawasan Pecinan Suryakencana
untuk penguatan Bogor sebagai kota pusaka tidak terlepas dari keterlibatan
pemerintah, komunitas, masyarakat lokal, dan stake holder terkait. Upaya
revitalisasi juga menjadi tanggung jawab bersama agar dapat terwujud sesuai
dengan yang diharapkan. Sebaiknya dalam penyusunan program melibatkan
komunitas dan masyarakat untuk mengetahui dan menampung aspirasi akan apa
yang sebenarnya menjadi prioritas kebutuhan kawasan ini. Sosialisasi kegiatan dan
rencana pemerintah terhadap kawasan khususnya yang terkait dengan pelestarian
dan kota pusaka ada baiknya dilakukan dengan lebih gencar, karena banyak
diantara masyarakat sendiri yang tidak mengetahuinya. Dukungan Pemkot Bogor
terhadap kawasan dan aktivitas budaya yang ada saat ini diharapkan tetap konsisten
agar Kawasan Pecinan Suryakencana dapat semakin lebih baik.
63
DAFTAR PUSTAKA
Allindani. 2007. Studi Potensi Lanskap Bersejarah Untuk Pengembangan Wisata
Sejarah di Kota Mataram. [skripsi]. Bogor : Departemen Arsitektur
Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Attoe, W. O. 1988. Perlindungan Benda Bersejarah. Di dalam : A. J. Catanese dan
J. C. Snyder, editor. Pengantar Perencanaan Kota. Jakarta : Erlangga
[BAPPEDA]. 2007. Evaluasi RDTR Kecamatan Bogor Tengah, Bogor Barat dan
Bogor Timur. Bogor: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota
Bogor.
[BAPPEDA]. 2014. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor Tahun 2011-2031:
Peta Penetapan Kawasan Strategis Kota Bogor. Bogor: Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah Kota Bogor.
[DPR-RI]. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tentang Cagar
Budaya
Budiharjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan
[Disbudpar]. 2015. Rekapitulasi Benda Cagar Budaya di Kota Bogor. Bogor: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor
Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. New York: McGraw-Hill Book Co. N
Goodchild, P. H. 1990. Some Principles For the Conservation of Historic
Landscapes. Canada: ICOMOS (UK) Historic Gardens and Landscapes
Committee.
Harris C W dan Dines N T. 1988. Time Saver Standarss for Landscape
Architecture : Design and Construction Data. United States of America :
McGraw-Hill Co, Inc.
[JKPI]. 2009. Kota Jakarta Pusat [Internet] Diakses pada 10 Desember 2014.
Tersedia dalam http://www.indonesia-heritage.net/kota-jakarta-pusat/:
Jaringan Kota Pusaka Indonesia.
Khol, David G. 1984. Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western
Malaya: Temples, Kongsis and Houses. Kuala Lupur: Heineman Asia
Landis, J.R. & Koch, G.G. (1977). The Measurement of Observer Agreement for
Categorical Data. Biometrical, 33 (1), 159 – 174.
Martokusumo, Widjaja. 2001. Heritage and urban conservation: some notions on
post-colonial urbanism in search for cultural identity, in: Proceeding of
International Seminar on Urbanization in the Information Age: New
Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pacific
Rim, Faculty of Engineering, University of Indonesia (August 22-23).
Depok.
Nurisjah, S dan Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian
Lanskap dan Taman Sejarah. Bogor : Fakultas Pertanian, IPB (tidak
dipublikasikan).
[P3KP]. 2013. Buku Inventarisasi Aset Pusaka Kota Bogor. Bogor: Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka.
[PU]. 2012. Mewujudkan Kota Pusaka Sebagai Warisan Bangsa [Internet] Diakses
pada 10 Desember 2014: Kementrian Pekerjaan Umum.
Simonds, J. O. 1983. Landscape Architecture. New York : McGraw-Hill Book Co.,
Inc.
64
Soelaeman, Eman. 2003. Asal Mula Nama Tempat TOPONIMI Kota Bogor,
Kabupaten Bogor, dan Kota Depok. Bogor: Yayasan Budaya Hanjuang
Bodas
Sopandi, S. (2007, Januari 27). The Dragon Spine Story: A Brief Architectural
History of Bogor ChineseQuarter. Cap Go Meh 2559 ‘Festival Budaya
Pemersatu Warga Bogor’ Dialog Kebudayaan 27 Januari 2007
Suryabrata, S. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta (ID): CV. Rajawali.
Tunggal, HS. 1997. Peraturan Perundang-undangan Tentang Benda Cagar Budaya.
Jakarta: Harvarindo
Wikipedia Indonesia. 2014. Pecinan. http://id.wikipedia.org/wiki/Pecinan. [13
November 2014]
65
LAMPIRAN
Kategori Tinggi
= (SMi + 2IK + 1) sampai SMa
= (161 + 2(11) + 1) sampai 225
= 184 sampai 225
Kategori Sedang
= (SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2IK)
= (161 + 11 + 1) sampai (161 + 2 (11))
=173 sampai 183
Kategori Rendah
= SMi sampai (SMi + IK)
= 161 sampai (161 + 11)
= 161 sampai 172
66
Data Responden
1. Jenis Kelamin : P/L
2. Umur
a. 18 – 20 tahun
b. 21 – 30 tahun
c. 31 – 40 tahun
d. 41 – 50 tahun
e. 51 – 60 tahun
f. > 60 tahun
3. Pekerjaan
a. Pelajar
b. Mahasiswa
c. Karyawan Swasta
d. PNS
e. Wiraswasta
f. Lainnya …….
4. Etnik
a. Sunda
b. Jawa
c. Tionghoa
d. Arab
e. Eropa
5. Pendidikan terakhir
a. Tidak sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Akademi
f. Sarjana (S1/S2/S3)
Pertanyaan
1. Apa Anda mengetahui mengenai program Kota pusaka?
a. Ya
b. Tidak
2. Apa Anda mengetahui bahwa Kota Bogor merupakan salah satu kota yang
tergabung dalam program Kota Pusaka?
67
a. Ya
b. Tidak
3. Apa Anda mengetahui bahwa Kawasan Pecinan Suryakencana Bogor
merupakan salah satu dari 6 kawasan pusakan di Kota Bogor?
a. Ya
b. Tidak
4. Jika Ya, dari mana Anda mengetahuinya?
a. Media (TV/Koran/Radio/Internet)
b. Teman/kerabat
c. Keluarga
d. Pemerintah
e. Lainnya ………………
5. Apa Anda mengetahui sejarah kawasan ini?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika tahu, dari mana Anda mengetahui sejarah kawasan ini?
a. Media (TV/Koran?Radio?Internet)
b. Teman/kerabat
c. Keluarga
d. Pemerintah
e. Lainnya ………………
7. Apakah Anda mengetahui fungsi kawasan ini di masa lalu?
a. Ya
b. Tidak
8. Jika ya, apa fungsinya?
a. Pemukiman Eropa
b. Pemukiman Tionghoa
c. Pemukiman Sunda
d. Perdagangan
e. Lainnya …………..
9. Menurut Anda, bagaimana citra kawasan ini saat ini? (Coret satu jawaban pada
setiap option yang ada)
a. Indah/Tidak indah
b. Unik/Tidak unik
c. Teduh/Tidak teduh
d. Teratur/Semrawut
e. Memiliki konsep tata kota yang baik/Tidak baik
f. Direncanakan dengan baik/Tidak baik
g. Memperhatikan kepentingan warga/Tidak memperhatikan
h. Aman/Tidak aman
i. Membanggakan/Tidak membanggakan
j. Bernilai sejarah/Tidak bernilai sejarah
k. Bernilai penting/Tidak penting
10. Apakah kawasan ini mengalami perubahan sejak pertama kali Anda tinggal
di sini?
68
a. Ya
b. Tidak
11. Bagaimanakah perubahan ini menurut Anda?
a. Menjadi sangat nyaman
b. Menjadi sedikit nyaman
c. Menjadi tidak nyaman
12. Jika mengalami perubahan, perubahan apa yang paling menonjol?
a. Jumlah bangunan
b. Jumlah penduduk
c. Berkurangnya bangunan kuno
d. Sarana transportasi
e. Fasilitas
f. Lainnya ………….
13. Pilihlah salah satu bangunan yang Anda anggap sebagai landmark/penanda di
kawasan Pecinan Suryakencana!
a. Vihara (Vihara Dhanagun, Vihara Dharmakaya, Vihara Mahabrahma)
b. Bekas Hotel Pasar Baru
c. Rumah Kematian Pulasara
d. Lainnya …………
14. Apakah kawasan ini perlu untuk direvitalisasi?
a. Ya
b. Tidak
15. Jika perlu, tindakan dan/atau kegiatan apa yang perlu dilakukan?
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
69
Beri tanda pada salah satu kolom skor (1/2/3) yang tersedia. Untuk
penilaian dapat melihat gambar yang tersedia. Terima kasih
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 3 Desember 1993 dari
pasangan Claudius Rudolf Luchsinger dan Milka Cahyaningsih. Penulis merupakan
anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Baptis Bogor
pada tahun 1997 dan pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan di SD
Kesatuan Bogor. Pada periode 2005-2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMP
Budi Mulia Bogor. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Budi Mulia Bogor dan pada
tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap IPB melalui
jalur undangan (jalur tanpa tes).
Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif di organisasi PMK
(Persekutuan Mahasiswa Kristen) dan HIMASKAP (Himpunan Mahasiswa
Arsitektur Lanskap). Di PMK penulis pernah menjabat sebagai sekretaris Komisi
Kesenian periode tahun 2013-2014, sekretaris Festival Musik PMK IPB 2013,
ketua Divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi retreat Komisi Kesenian 2014,
dan ketua Divisi Dekorasi Natal Civa IPB 2014. Di HIMASKAP penulis menjadi
anggota Divisi Eksternal pada tahun 2014, penanggung jawab kegiatan studi
banding HIMASKAP 2014, Liaision Officer (LO) ILASW 2014, dan menjadi
anggota di berbagai kepanitiaan yang diadakan departemen. Selain aktif di
organisasi dan kepanitiaan, penulis juga menjadi asisten untuk mata kuliah
Pengantar Seni dan Arsitektur tahun 2015 dan Sejarah Perkembangan Arsitektur
Lanskap tahun 2015.