Anda di halaman 1dari 46

TRACEABILITY DAN PROSPEK PENERAPANNYA UNTUK

PERIKANAN UDANG DI CILACAP

RISAH PALEVI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Traceability dan
Prospek Penerapannya untuk Perikanan Udang di Cilacap adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, Desember 2018

Risah Palevi
NIM C44140014
ABSTRAK
RISAH PALEVI. Traceability dan Prospek Penerapannya untuk Perikanan Udang
di Cilacap. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan PRIHATIN IKA
WAHYUNINGRUM.

Cilacap adalah salah satu daerah pengekspor udang. Udang yang diekspor
dari Cilacap adalah udang yang berasal dari budidaya dan penangkapan. Namun
di Cilacap, traceability untuk penangkapan udang belum diterapkan karena masih
rumit dalam hal informasi mengenai daerah penangkapan udang dan data hasil
tangkapan dari supplier udang. Perikanan udang di Cilacap merupakan perikanan
skala kecil, sehingga tidak bisa menerbitkan sertifikat hasil tangkapan ikan yang
dapat mempengaruhi kelancaran kegiatan perdagangan internasional. Berdasarkan
hal tersebut maka perlu dilakukan kajian mengenai kesiapan penerapan
traceability dan merumuskan strategi yang tepat untuk perikanan udang di Cilacap
sebagai titik awal pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang lebih baik dan
upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan udang. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesiapan penerapan traceability dan
merumuskan strategi untuk mendukung penerapan traceability di Cilacap di masa
depan. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu metode purposive sampling
dan accidental sampling. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif,
analisis isi dan gap, dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan kesiapan
dalam penerapan traceability di Cilacap masih dalam tahap persiapan konsep.
Nilai standar penanganan dan pengolahan udang sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia. Fasilitas yang mendukung traceability berfungsi dengan baik.
Penerapan sistem intervensi enumerasi di Cilacap dapat digunakan untuk
mendukung penerapan traceability pada perikanan skala kecil. Strategi untuk
menerapkan traceability di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap yaitu
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan udang dan melakukan
pengembangan perikanan udang dengan sistem traceability.

Kata kunci: Cilacap, perikanan udang, prospek penerapan traceability


ABSTRACT

RISAH PALEVI. Traceability and its Implementation Prospects for Shrimp


Fisheries in Cilacap. Supervised by BUDY WIRYAWAN and PRIHATIN IKA
WAHYUNINGRUM.

Cilacap in one of that shrimp exporter area in Indonesia. The exported


shrimp from this area mostly dominated from aquaculture and followed by capture
fisheries. The prospect of shrimp catch traceability has not been applied because it
is still complicated in term of information about the fishing ground of shrimp and
shrimp catch data from supplier and lack of governance. Shrimp fisheries in
Cilacap dominated by small-scale fisheries that usually not been certified and
therefore, may affected by international commerce. Based on that explanation, it
is important to conduct a study about shrimp traceability readiness in Cilacap and
determine a strategy to support the traceability implementation in the future. A
purposive sampling and accidental sampling method was used in this research
accompanied by descriptive, content analysis, and SWOT analysis. The result
shows that the readiness of Cilacap shrimp fisheries is still in the stage of concept
preparation. The standard value of handling and processing shrimp according to
Indonesian National Standard. Facilities that support the traceability system
function properly. Enumeration intervention may be used to support a proper
small-scale fisheries traceability in Cilacap. A strategy to apply traceability in
Cilacap Fishery Port is to optimize the shrimp utilization and develop it through
traceability system, supported by good fisheries governance.

Keywords: Cilacap district, shrimp fisheries, traceability implementation


prospects
TRACEABILITY DAN PROSPEK PENERAPANNYA UNTUK
PERIKANAN UDANG DI CILACAP

RISAH PALEVI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Traceability dan Prospek
Penerapannya untuk Perikanan Udang di Cilacap” berhasil diselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Waslim Waskito, Ibu Winarni, Achmad Saefudin, Fahri Tri Al-soleh,
Febri Wahyu Maghfirohtika, Surya Purnama Sari, dan Hartono, serta seluruh
keluarga besar yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya.
2) Dr Ir Budy Wiryawan, MSc dan Prihatin Ika Wahyuningrum, SPi MSi selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama
pengerjaan tugas akhir ini.
3) Dr Sulaeman Martasuganda, BfishSc MSc selaku penguji pada sidang skripsi.
4) Dr Mochammad Riyanto, SPi MSi selaku Komisi Pendidikan (Komdik)
Departemen PSP.
5) Dr Ir Gondo Puspito, MSc sebagai pembimbing akademik.
6) Bapak Pariman dan Ibu Eko yang telah membantu pelaksanaan penelitian di
PPS Cilacap.
7) Bapak Zulfa dan Ibu Fina yang telah membantu administrasi sampai tahap
penyelesaian studi.
8) Mimah Cholifah, Tyas Putri Jayanti, Mira Handayani, Mega Kusuma, Dewi
Yulianti, Yulia Darojatul Ulya, Nugrah Mistyani, Norvita Handayani, Devy
Ani Nurmeiana, Almh. Okta Indah Lestari, dan Park Jimin (BTS) yang telah
memberikan bantuan, semangat dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.
9) Kemenristekdikti yang telah memberikan bantuan dana pendidikan selama
kuliah.
10) Seluruh keluarga PSP 51 yang memberikan semangat dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.

Bogor, Desember 2018

Risah Palevi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Lokasi dan Waktu Penelitian 3
Batasan Penelitian 4
Bahan dan Alat 4
Metode Pengumpulan, Jenis dan Sumber Data 4
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Kesiapan dan Prospek Penerapan Traceability untuk Perikanan Udang di
PPS Cilacap 8
Perumusan Strategi untuk Mendukung Penerapan Traceability untuk
Perikanan Udang di PPS Cilacap 23
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
RIWAYAT HIDUP 37
DAFTAR TABEL
1 Tujuan, data, teknik pengumpulan, dan analisis data 5
2 Penilaian bobot faktor-faktor strategi 6
3 Skala banding pada matriks berpasang 7
4 Model matriks analisis SWOT 8
5 Nilai kesenjangan penanganan udang di atas kapal 16
6 Nilai kesenjangan penanganan dan pengolahan udang beku berdasarkan
SNI 01-2705.3-2006 17
7 Manfaat data enumerasi bagi stakeholder 23
8 Matriks internal factor evaluation (IFE) 25
9 Matriks external factor evaluation (EFE) 26
10 Perumusan strategi untuk penerapan traceability di PPS Cilacap 27

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 3
2 Proses penangkapan udang menggunakan trammel net di Cilacap 10
3 Peta daerah penangkapan udang di Perairan Cilacap 12
4 Grafik produksi udang penaeid di PPS Cilacap Tahun 2013-2017 13
5 Alur distribusi udang di PPS Cilacap 14
6 Grafik volume ekspor udang di PPS Cilacap tahun 2013-2017 15
7 Harga udang penaeid di PPS Cilacap tahun 2013-2017 15
8 Nilai tukar rupiah terhadap dollar 15
9 Status prospek penerapan traceability di PPS Cilacap 28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daerah penangkapan udang di Perairan Cilacap 34
2 Unit penangkapan udang di PPS Cilacap 35
3 Udang hasil tangkapan trammel net 36
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udang memberikan konstribusi devisa yang cukup besar. Selain digunakan


untuk kebutuhan domestik, udang merupakan salah satu komoditas ekspor
andalan bagi Indonesia. Komoditas udang yang diekspor yaitu udang beku, udang
segar, dan udang olahan. Menurut KKP (2017), nilai ekspor udang mencapai
US$ 1,1746 juta pada tahun 2017, nilai tersebut naik 10,40% dibandingkan
dengan tahun 2016. Negara pengimpor utama udang dengan volume terbanyak
yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Eropa. Sedangkan,
negara-negara yang menjadi pesaing dalam ekspor udang adalah India, Vietnam,
Ekuador, Tiongkok, Thailand, dan Argentina (Yos 2017). Udang sebagai
komoditas ekspor harus patuh terhadap persyaratan ekspor produk perikanan
seperti HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan traceability
(Pramono et al. 2015).
Traceability merupakan kemampuan dari suatu sistem untuk menelusuri
produk dan riwayatnya melalui seluruh/sebagian dari rantai produksi, mulai dari
pemanenan hingga pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi
(Sudibyo 2012). Tujuan dari sistem traceability yaitu untuk mencatat dan
mendokumentasikan suatu produk mulai dari proses produksi hingga distribusi
(Asensio, et al. 2008). Peran traceability dalam perikanan tangkap yaitu sebagai
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan pencegahan IUU Fishing (Hosch
dan Blaha 2017). Informasi traceability dapat berkontribusi dalam meningkatkan
peraturan pemerintah melalui sistem consumer facing traceability (CFT) secara
transparan memberikan informasi mengenai sumber, metode produksi dan kualitas
produk untuk mengelola produk perikanan secara berkelanjutan (Bailey et al.
2016). Selain itu, dengan dilakukannya penelusuran yang baik, mewajibkan
pendataan hasil tangkapan yang nantinya digunakan untuk pendugaan stok ikan,
dan membayar ikan dengan harga tinggi dalam sistem fair trade dapat
meningkatkan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan nelayan terutama nelayan
skala kecil (Prianto 2018).
Persyaratan traceability semakin ketat dalam kegiatan perdagangan produk
perikanan internasional. Masalah terkait dengan identitas produk, mutu dan
keamanan, penipuan, dan IUU Fishing telah menyebabkan peningkatan pada
sistem traceability yang ditujukan untuk memberikan informasi mengenai
identitas dan sumber produk perikanan (Bailey et al. 2016). Uni Eropa
memberlakukan ketentuan penerapan catch certificate yang didasarkan pada
Council Regulation (EC) 1005/2008. Sedangkan pemerintah Amerika Serikat
telah menetapkan ketentuan baru U.S. Seafood traceability program. The U.S.
Agency for International Development Oceans and Fisheries Patnership (USAID
Oceans) menggunakan CDT (Catch Documentation and Traceability) untuk
mendokumentasikan dan menelusuri produk perikanan tangkap secara elektronik
sebagai upaya untuk memerangi IUU Fishing (KKP 2016).
Indonesia telah menerapkan catch certificate/ SHTI (Sertifikasi Hasil
Tangkapan Ikan) sejak tahun 2010 dan telah memberikan kontribusi besar dalam
mendukung kelancaran ekspor produk perikanan (KKP 2016). Menurut Peraturan
2

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/2012


SHTI bertujuan untuk memperlancar kegiatan perdagangan hasil tangkapan yang
dipasarkan ke luar negeri, membantu upaya dalam memberantas IUU Fishing,
traceability hasil tangkapan, dan melaksanakan ketentuan konservasi dan
pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Selain itu, dalam
peraturan tersebut juga menjelaskan SHTI diterbitkan untuk hasil tangkapan ikan
yang berasal dari kapal penangkap ikan dengan ukuran di atas 20 GT.
Salah satu daerah pengekspor udang adalah Cilacap. Komoditas udang yang
diekspor berupa udang beku. Udang yang diekspor dari Cilacap adalah udang
yang berasal dari budidaya dan penangkapan. Menurut data statistik perikanan di
Cilacap, ekspor udang mencapai 1.517,54 ton tahun 2017, naik 150,92%
dibandingkan dengan tahun 2016. Namun di perusahaan pengekspor udang,
traceability hanya diterapkan pada perikanan budidaya. Sedangkan untuk
perikanan tangkap belum diterapkan. Udang di Cilacap ditangkap menggunakan
trammel net yang dioperasikan menggunakan kapal yang berukuran 3-6 GT yang
termasuk ke dalam perikanan skala kecil. Sehingga, tidak bisa menerbitkan SHTI.
Hal tersebut dapat mempengaruhi kelancaran kegiatan perdagangan internasional.
Traceability perikanan udang pada penangkapan belum diterapkan di
perusahaan pengekspor udang karena masih terlalu rumit dalam hal informasi
mengenai daerah penangkapan dan data hasil tangkapan dari supplier udang.
Menyadari hal tersebut, para pelaku swasta, termasuk industri dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), telah mengembangkan program pemantauan yang
menyediakan data tentang perikanan skala kecil (Bush et al. 2017). Ada tiga
intervensi pemantauan untuk meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil yaitu,
dengan adanya enumerasi, logbook perikanan, dan spot trace yang dapat menjadi
alat yang kuat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang data
penangkapan udang. Peningkatan kualitas pencatatan data dan kebenaran dari data
tersebut, dapat digunakan untuk mendukung penerapan traceability terkait
persyaratan ekspor udang ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Mengetahui permasalahan tentang pentingnya peranan traceability dalam
pencegahan tindakan IUU Fishing, maka perlu dilakukan kajian mengenai
kesiapan penerapan traceability dan merumuskan strategi yang tepat untuk
perikanan udang di Cilacap. Kajian tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi
titik awal pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang lebih baik. Selain itu,
penerapan traceability dapat digunakan sebagai upaya pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan udang.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu:


1) Mendeskripsikan kesiapan dan prospek penerapan traceability untuk
perikanan udang di Cilacap.
2) Merumuskan strategi untuk mendukung penerapan traceability di Cilacap di
masa depan.
3

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:


1) Salah satu masukan bagi perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan ekspor
udang.
2) Evaluasi dan bahan pertimbangan bagi nelayan guna meningkatkan nilai
ekonomis hasil tangkapan.
3) Salah satu masukan bagi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap yang lebih baik.
4) Peneliti dapat mengetahui persepsi nelayan, perusahaan, dan pemerintah
terhadap adanya penerapan traceability.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap,


Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Peta lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 5 Maret sampai 23 Maret
2018 untuk pengambilan data primer.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian


4

Batasan Penelitian

Penerapan traceability dalam rantai produksi produk perikanan terdiri dari


tiga komponen yaitu: supplier traceability, process traceability, dan customer
traceability. Supplier traceability adalah mengidentifikasi sumber bahan
baku/bahan tambahan yang terdapat pada dokumenn dan rekaman yang ada.
Process traceability adalah mengidentifikasi semua bahan baku/bahan tambahan
yang digunakan untuk setiap produk yang dihasilkan suatu pabrik. Customer
traceability adalah pelanggan yang menerima produk dapat mengidentifikasi
rekaman/dokumen (Rosihun 2017). Pembatasan dalam penelitian ini yaitu ruang
lingkup meliputi informasi mengenai penerapan traceability pada supplier
traceability, dan process traceability.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner, data
literatur pendukung penelitian, dan data sekunder jumlah kapal trammel net. Alat
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, alat dokumentasi (kamera
digital), dan Software Microsoft Excel 2013 untuk mengolah data.

Metode Pengumpulan, Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan metode survey untuk metode pengumpulan data.


Survey adalah metode penelitian yang pengumpulan datanya diperoleh dengan
cara pengambilan sampel dari suatu populasi yang biasanya menggunakan
kuisioner (Singarimbun dan Effendi 1989). Survey yang dilakukan pada penelitian
ini difokuskan pada prospek penerapan traceability untuk perikanan udang di
Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada nelayan, pihak
perusahaan, dan pegawai PPS Cilacap. Sedangkan, data sekunder diperoleh dari
data statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dan Jurnal ilmiah. Data yang
dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Data yang dikumpulkan dilakukan dengan menggunakan metode purposive
sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono 2011). Pengambilan sampel dalam hal ini
terbatas pada jenis orang tertentu yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh
peneliti (Suharso 2009). Penentuan responden akan dipilih sesuai dengan tujuan
penelitian. Selain itu, peneliti menggunakan teknik wawancara accidental
sampling untuk wawancara kepada nelayan. Accidental sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan atas dasar seandainya saja, direncanakan dapat
memenuhi keperluan informasi yang dibutuhkan peneliti (Nasution 2003).
Responden yang diambil dalam penelitian ini yaitu nelayan penangkap
udang, 3 enumerator pelabuhan, dan satu perusahaan ekspor udang yang ada di
Cilacap. Jumlah armada penangkapan udang di PPS Cilacap sebanyak 110
armada. Sedangkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 armada. Menurut
Gay dan Diehl (1992) dalam Ngingi dan Odiyo (2017), semakin besar jumlah
sampel yang diambil, maka semakin mempresentasikan bentuk dan karakter
5

populasi. Selain itu, penelitian yang bersifat deskriptif memerlukan sampel


sekurang-kurangnya 10% dari jumlah populasi.

Tabel 1 Tujuan, data, teknik pengumpulan, dan analisis data


Tujuan Data Teknik Pengumpulan Analisis Data
Mendeskripsikan - Data statistik perikanan PPS Studi literatur Analisis
kesiapan dan Cilacap dari tahun 2013-2017 Deskriptif
prospek penerapan (jumlah kapal trammel net,
traceability untuk jumlah nelayan trammel net,
perikanan udang di produksi udang, trip
PPS Cilacap. penangkapan, volume dan nilai
udang ekspor)
- Kondisi perikanan udang di PPS Wawancara dan
Cilacap kuisioner
- Kondisi lingkungan di PPS Pengamatan oleh
Cilacap, fasilitas pelabuhan yang peneliti, wawancara
mendukung traceability dan kuisioner
- Aplikasi traceability di PPS Studi literature
Cilacap
Merumuskan - Faktor-faktor eksternal mencakup Wawancara, Analisis
strategi yang tepat aspek politik, ekonomi, sosial kuisioner, SWOT
untuk mendukung budaya, dan teknologi terkait pengamatan secara
penerapan penerapan traceability langsung, dan studi
traceability di - Faktor-faktor internal yang literatur
Cilacap. mencakup aspek-aspek
fungsional

Analisis Data

Kesiapan dan Prospek Penerapan Traceability di PPS Cilacap

1) Analisis deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk
mendeskripsikan hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang dijumpai
langsung di lapangan mengenai sesuatu yang diteliti. Analisis deskriptif
digunakan untuk mendeskripsikan aspek-aspek fungsional, antara lain: kondisi
perikanan di PPS Cilacap, kondisi lingkungan di PPS cilacap (fasilitas pelabuhan
yang mendukung traceability), dan aplikasi traceability. Selain itu, analisis
deskriptif juga digunakan untuk menginterpretasikan hasil analisis data sehingga
memudahkan penulis dalam menarik kesimpulan.

2) Analisis Isi dan GAP


Analisis isi digunakan untuk menganalisis informasi mengenai standar
penanganan dan pengolahan udang, serta membuat kesimpulan tentang informasi
tersebut. Analisis GAP digunakan untuk mengetahui kesiapan penerapan
traceability untuk perikanan udang di PPS Cilacap. Analisis GAP dilakukan
dengan cara membandingkan standar penanganan dan pengolahan udang
berdasarkan SNI dengan penanganan udang yang dilakukan di Cilacap. Nilai gap
1 menunjukan bahwa nilai standar penanganan dan pengolahan udang berdasarkan
SNI belum sesuai dengan penanganan yang dilakukan, sedangkan nilai gap 0
6

menunjukan bahwa nilai penanganan dan pengolahan udang sesuai dengan standar
SNI. Menurut Ihsan (2017), kesenjangan dapat dihitung dengan rumus:
Kesenjangan (gap) = Y-X
Aturan Tercapai = (∑X ∕ ∑Y) x 100%
Keterangan:
X : Nilai standar penanganan saat ini
Y : Nilai standar penanganan yang dibutuhkan

Analisis Strategi untuk Mendukung Penerapan Traceability

Analisis strategi merupakan pola atau rencana dalam pengambilan


keputusan atau tindakan untuk mencapai tujuan. Proses analisis strategi dilakukan
dengan cara merumuskan dan mengevaluasi faktor-faktor yang ada. Analisis
SWOT adalah cara untuk merumuskan strategi dengan cara mengidentifikasi
berbagai faktor secara sistematis. Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan
untuk merumuskan strategi yang tepat untuk menerapkan traceability di PPS
Cilacap dengan memperhitungkan faktor internal dan faktor eksternal yang ada di
PPS Cilacap. Menurut Rangkuti (2006) ada tiga tahap dalam proses perumusan
strategi, yaitu:
1) Tahap pengumpulan data untuk mengklasifikasi faktor-faktor strategi
Pengumpulan data merupakan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengevaluasi tentang kondisi faktor
internal, yaitu dengan cara melakukan analisis fungsional terhadap kekuatan dan
kelemahan yang terdapat di PPS Cilacap yang mempengaruhi penerapan
traceability. Faktor eksternal dilakukan dengan cara melakukan analisis faktor-
faktor politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi yang dapat memanfaatkan
peluang dan menghindari ancaman dalam penerapan traceability.
2) Tahap analisis faktor eksternal dan internal strategi
Tahap analisis dilakukan dengan cara memanfaatkan semua data informasi
yang telah dikumpulkan dalam model-model kuantitatif perumusan strategi.
Model yang dipergunakan yaitu matriks internal eksternal. Matriks ini digunakan
untuk menyusun faktor-faktor strategis yang digambarkan dengan peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi, disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya setelah dilakukan pembobotan, peratingan, dan penilaian.
Pembobotan ditentukan dengan menyusun matriks banding bepasangan. Penilaian
bobot faktor-faktor strategi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Penilaian bobot faktor-faktor strategi


Faktor-faktor Matriks
1 2 3 4 5 Bobot
strategi dinormalisasi
1 X
2 X
3 X
4 X
5 X

Menurut Rangkuti (2006) matriks banding berpasangan berfungsi untuk


mengetahui kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap
7

kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya. Setelah matriks


pembanding berpasangan antar elemen dibuat, langkah selanjutnya adalah
dilakukan pembanding berpasangan setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap
elemen pada baris ke-j. Jika elemen kolom ke-i lebih mendominasi atau
mempengaruhi elemen baris ke-j, maka elemen kolom ke-i akan mendapat satu
angka dan barik ke-j memiliki nilai kebalikannya.
Skala banding yang digunakan untuk mengisi matriks banding berpasangan,
tertera pada Tabel 3. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif
pentingnya suatu elemen faktor strategi dibandingkan dengan elemen faktor
strategi lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks
hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah.
Pemberian rating pada masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya
terhadap perumusan strategi penerapan traceability di PPS Cilacap. Rating
dilakukan dengan cara pemberian nilai skor 1-4 yang digunakan untuk
menunjukan seberapa kuat/lemah/berpeluang/mengancam elemen tersebut dalam
mempengaruhi penerapan traceability. Semakin tinggi skor kekuatan dan peluang,
maka menunjukan besarnya pengaruh elemen tersebut pada penerapan
traceabiliity. Semakin rendahnya skor kelemahan dan ancaman, maka
menunjukan besarnya pengaruh elemen tersebut pada penerapan traceability.

Tabel 3 Skala banding pada matriks berpasang


Intensitas
Definisi Penjelasan
Pentingnya
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat
itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan sedikit
penting daripada elemen yang menyokong satu elemen atas elemen yang
lainnya lainnya
5 Elemen yang satu sangat penting Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat
daripada elemen yang lainnya menyokong satu elemen atas elemen yang
lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong dan
daripada elemen yang lainnya dominannya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen yang satu atas
dari pada elemen lainnya yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang
tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua Kompromi diperhatikan diantara dua
pertimbangan yang berdekatan pertimbangan
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j,
maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1993) dalam Sipahelut (2010)

3) Tahap pengambilan keputusan


Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara perumusan strategi umum
dalam bentuk matriks SWOT. Tujuan merumuskan strategi umum tersebut adalah
mengembangkan usaha dengan memanfaatkan hasil analisis SWOT kedalam
suatu format dengan memilih beberapa faktor utama pada setiap kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman. Matriks SWOT menggambarkan peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi, dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set
kemungkinan alternatif strategis (Rangkuti 2006). Model matriks analisis SWOT
dapat dilihat pada Tabel 4.
8

Tabel 4 Model matriks analisis SWOT


IFAS STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
Faktor-faktor kekuatan Faktor-faktor kelemahan
internal internal
EFAS - Analisis fungsional - Analisis fungsional
OPPORTUNIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO
Faktor-faktor peluang Menciptakan strategi yang Menciptakan strategi yang
eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
- Analisis politik, ekonomi, untuk memeanfaatkan untuk memanfaatkan peluang
sosial budaya, teknologi peluang
TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
Faktor-faktor ancaman Menciptakan strategi yang Menciptakan strategi yang
eksternal menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan dan
- Analisis politik, ekonomi, mengatasi ancaman menghindari ancaman
sosial budaya, teknologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesiapan dan Prospek Penerapan Traceability untuk Perikanan Udang di


PPS Cilacap

Perikanan Udang di PPS Cilacap

1) Unit penangkapan udang


Unit penangkapan ikan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi
penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal penangkapan ikan, nelayan, dan alat
penangkap ikan yang dapat dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan
(Fachrussyah 2017). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang
penaeid adalah trammel net. Trammel net merupakan alat tangkap berbentuk
jaring yang terdiri dari dua lembar bagian luar (outer net) dan satu lembar bagian
dalam (inner net). Ukuran mata jaring bagian luar lebih besar dibandingkan
dengan bagian dalam. Jaring inner net lebih tinggi daripada jaring outer net
(Martasuganda 2008).
Trammel net yang terdapat di PPS Cilacap berupa jaring yang berbentuk
segi empat yang terdiri dari tiga lapis. Lapisan bagian dalam memiliki ukuran
mata jaring lebih kecil daripada lapisan bagian luar. Bagian-bagian alat tangkap
trammel net terdiri dari badan jaring, tali ris atas, tali ris bawah, tali pelampung,
pelampung, pemberat, tali selambar, dan pelampung tanda. Badan jaring trammel
net berukuran panjang 6-15 piece dengan panjang satu piece sebesar 18 m dan
memiliki ukuran mata jaring sebesar 5-7 inch. Sedangkan lebar jaring sebesar 1,5
m dengan ukuran mata jaring sebesar 2 inch. Badan jaring terbuat dari benang
poly amide monofilament (PA). Tali ris atas dan tali ris bawah terbuat dari benang
poly ethylene (PE). Pelampung terbuat dari plastik sinteteis yang berbentuk
silinder, sedangkan pemberat kecil terbuat dari timah dan pemberat besar terbuat
dari batu. Konstruksi jaring trammel net dapat dilihat pada Lampiran 2.
Trammel net dioperasikan menggunakan kapal yang berukuran <10 GT dan
memiliki dimensi ukuran rata-rata panjang 6-12 meter, lebar 1-3 meter, dan dalam
1-2 meter. Kapal trammel net menggunakan mesin motor tempel. Kapal terbuat
9

dari bahan kayu dan fiber. Mesin yang digunakan memiliki kekuatan sebesar 30
PK untuk kapal kayu dan 15-18 PK untuk kapal fiber. Jumlah kapal trammel net
yang terdapat di PPS Cilacap sebanyak 110 buah. Berdasarkan Undang-undang
No.7 tahun 2016, nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan beroperasi tanpa atau dengan perahu nelayan dibawah
10 GT merupakan nelayan skala kecil. Kapal trammel net yang ada di PPS
Cilacap dapat dilihat pada Lampiran 2.
Satu kapal trammel net terdiri dari 3-5 nelayan, terdiri dari satu juru mudi
yang bertugas sebagai pengendali kapal (nahkoda) dan ABK sebagai pelaksana
teknis seperti pengoperasian alat tangkap. Berdasarkan data statistik di PPS
Cilacap pada tahun 2017, nelayan trammel net di PPS Cilacap sebanyak 9,78%
atau 550 nelayan dari total nelayan yang ada di PPS Cilacap. Sebagian besar
nelayan trammel net merupakan penduduk lokal yang tinggal di sekitar PPS
Cilacap. Tingkat pendidikan nelayan yang ada di PPS Cilacap sebagian besar
hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Nelayan di Cilacap merupakan pekerjaan
informal tanpa persyaratan. Pengetahuan nelayan mengenai unit penangkapan
udang masih minim. Selain itu, kebanyakan nelayan trammel net masih memiliki
keterkaitan dengan pengumpul (bakul) dalam penjualan hasil tangkapan.

2) Metode pengoperasian penangkapan udang


Penangkapan udang di perairan Cilacap dilakukan selama satu hari (one day
fishing). Nelayan berangkat dari fishing base sekitar pukul 08.00 WIB dan pulang
sekitar pukul 16.30 WIB. Gambar 2 menjelaskan bahwa proses penangkapan
udang yang dilakukan oleh nelayan di PPS Cilacap terdiri dari persiapan, setting,
soaking time, dan hauling.
Persiapan sebelum melakukan pengoperasian alat tangkap yaitu mengecek
alat tangkap, kondisi kapal, mesin, dan membeli perbekalan yang meliputi bahan
bakar, es, dan makanan. Setelah selesai melakukan persiapan, nelayan akan
berangkat menuju fishing ground. Setting dilakukan setelah nelayan menemukan
fishing ground dengan cara menurunkan pelampung tanda dan jangkar pada jaring
trammel net, kemudian jaring diturunkan ke dasar perairan dan direntangkan.
Setting dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam satu kali trip penangkapan udang
dengan tempat yang berbeda. Soaking time atau rentang waktu tunggu sekitar 1-3
jam disesuaikan dengan keadaan. Penampakan alat tangkap saat dioperasikan
diperairan dapat dilihat pada Lampiran 2. Hauling atau penarikan jaring dilakukan
dengan menarik tali selambar yang terhubung dengan kapal secara perlahan
sampai ke pelampung tanda yang terdapat pada ujung jaring. Selanjutnya, hasil
tangkapan dilepaskan dari jaring dan dimasukan ke dalam wadah. Untuk menjaga
kualitas hasil tangkapan, nelayan memasukan es curah ke dalam wadah. Hasil
tangkapan utama adalah udang penaeid, sedangkan hasil tangkapan sampingannya
adalah ikan demersal.
10

Gambar 2 Proses penangkapan udang menggunakan trammel net di Cilacap


11

3) Daerah dan musim penangkapan udang


Daerah penangkapan udang adalah lokasi geografis daerah penangkapan
ikan (udang) atau biasa disebut dengan fishing ground udang. Fishing ground atau
daerah penangkapan ikan (DPI) merupakan suatu wilayah perairan yang
digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan.
Distribusi atau daerah penyebaran udang penaeid menurut Garcia and Le Reste
(1981) berhubungan dengan kondisi lingkungan dan pada umumnya banyak
berkonsentrasi pada sedimen yang lembek atau lunak dengan kandungan lumpur
dan sisa-sisa organik, serta berhubungan dan bertoleransi dengan kondisi
hidrologi, khususnya bertolerensi dengan variasi salinitas atau faktor-faktor
hidrologi lainnya. Untuk daerah penyebaran udang penaeid muda banyak terdapat
dan terkosentrasi di sekitar pantai dan untuk udang penaeid dewasa terdapat dan
terkosentrasi di perairan yang lebih dalam pada kedalaman 15-40 m.
Kapal yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap udang merupakan
kapal kecil, sehingga penangkapan hanya dilakukan selama satu hari atau one day
fishing di sepanjang garis pantai di sekitar perairan Cilacap. Perairan tersebut
meliputi daerah PLTU, Srandil, Widarapayung, Gombong, THR (Taman Hiburan
Rakyat). Jarak daerah penangkapan udang dari pantai yaitu 1,5 – 3 km. Daerah
penangkapan udang di PPS Cilacap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Pangesti (2017), berdasarkan Gambar 3 daerah penangkapan udang
di perairan Cilacap dibagi menjadi 2 lokasi, yaitu area Teluk Penyu yaitu wilayah
perairan dengan bentangan ke arah timur dari sebelah selatan muara Sungai
Serayu dan Sungai Tipar, memanjang sampai perairan sebelah selatan Gunung
Srandil sampai ke arah timur sampai wilayah selatan Jetis, dan Bentangan ke arah
perairan Samudera Hindia sampai dengan batas perairan teluk, sebelum perairan
dalam. Area ini terletak di antara 109o09’15”-109o20’13” BT dan 7o42’43”-
7o48’01” LS. Area Pulau Nusakambangan yaitu wilayah perairan dengan
bentangan sepanjang sebelah selatan sepanjang Pulau Nusakambangan sampai
dengan bentangan ke arah Samudera Hindia sampai sedikit melampaui perairan
dalam. Area ini terletak di antara 108o46’39”-109o02’33” BT dan 7o44’56”-
7o49’28” LS.
Musim penangkapan udang di perairan Cilacap terjadi pada bulan Juni
sampai dengan Desember (Pangesti 2017). Menurut Nontji (1987), pola musim
yang berlangsung di suatu perairan dipengaruhi oleh pola arus serta interaksi yang
cukup erat antara udara dengan laut yang menyebabkan perubahan cuaca.
Perubahan cuaca yang mempengaruhi kondisi laut antara lain adalah angin yang
dapat menentukan terjadinya gelombang, arus di permukaan serta curah hujan
yang dapat menurunkan kadar salinitas air laut. Arus permukaan di Indonesia
akan berubah tiap setengah tahun akibat adanya perubahan arah angin di setiap
musimnya.
12

Daerah Penangkapan Udang


Hasil Wawancara

Gambar 3 Peta daerah penangkapan udang di Perairan Cilacap


Sumber: Pangesti (2017)
13

4) Sumberdaya udang di PPS Cilacap


Jenis-jenis udang yang ditemukan di perairan Cilacap, yaitu udang penaeid,
udang lobster, dan udang rebon. Udang penaeid merupakan udang yang ditangkap
menggunakan trammel net. Jenis udang penaeid dari hasil tangkapan yaitu udang
barat (Metapenaeus dobsoni), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang dogol
(Metapenaeus endevouri), udang krosok (Parapenaeopsis sculptitis), dan udang
tiger (Penaeus monodon).
Berdasarkan Gambar 4, grafik produksi udang hasil tangkapan trammel net
di PPS Cilacap tahun 2013-2017 membentuk grafik yang fluktuatif. Pada grafik
tersebut menunjukan naik turunnya produksi udang antara tahun 2013-2017.
Jumlah produksi tertinggi pada udang penaeid terjadi pada tahun 2013 sebesar
1.567,07 ton. Sedangkan produksi udang penaeid terendah terjadi pada tahun 2017
sebesar 285,9 ton. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu, jenis alat tangkap
dan kapal yang digunakan dan daerah penangkapan (Aji et al. 2013). Faktor lain
yang mempengaruhi hasil tangkapan yaitu upaya penangkapan (trip), musim, dan
kondisi oseanografi (Furqon 2017). Semakin tinggi upaya penangkapan yang
dilakukan, maka hasil tangkapan akan meningkat. Namun, peningkatan upaya
penangkapan secara terus-menerus dapat menurunkan produksi hasil tangkapan
(Zulbainarni 2012).
600

500
Produksi (Ton)

400

300

200

100

0
2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
Udang Tiger Udang Krosok Udang Jerbung
Udang Dogol Udang Barat

Gambar 4 Grafik produksi udang penaeid di PPS Cilacap Tahun 2013-2017


Status pemanfaatan sumberdaya udang di Perairan Cilacap sudah
mengalami overfishing, baik biological overfishing maupun economical
overfishing. Tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di Perairan Cilacap telah
melampaui jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan produksi lestarinya.
Sehingga, hal tersebut dapat mengancam kelestarian sumberdaya udang dan
secara ekonomi berpeluang menjadi tidak berkelanjutan (Pangesti 2017).

5) Distribusi udang
Pasar udang dalam negeri semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
14

protein ikan dan meningkatnya kemampuan serta gaya hidup masyarakat (Ashari
2016). Udang yang didaratkan di PPS Cilacap, oleh nelayan langsung dijual ke
pengumpul jika hasil tangkapan yang diperoleh sedikit. Jika hasil tangkapannya
banyak, maka udang akan dilelang di TPI. Pedagang eceran dan konsumen akhir
membeli udang dari pengumpul. Pelelangan di TPI akan masuk ke perusahaan
untuk diolah dan di ekspor. Jenis udang yang diekspor yaitu udang jerbung, udang
dogol, dan udang tiger. Udang tersebut diolah menjadi udang beku (frozen
shrimp) yang nantinya akan diekspor ke Jepang.
Distribusi udang di PPS Cilacap tergantung pada kualitas udang. Udang
yang memiliki kualitas yang bagus didistribusikan ke pasar ekspor. Sedangkan
udang yang memiliki kualitas kurang bagus dipasarkan ke konsumen lokal. Aliran
distribusi udang di PPS Cilacap dapat dilihat pada Gambar 5.

Pengumpul Konsumen

Pengecer

Nelayan

Supplier Unit Ekspor


pengolahan
udang
TPI

Gambar 5 Alur distribusi udang di PPS Cilacap

Berdasarkan data statistik perikanan di PPS Cilacap, volume ekspor udang


di PPS Cilacap meningkat pada tahun 2017 seperti yang tertera pada Gambar 6.
Namun, pada tahun 2017 nilai ekspor menurun. Pergerakan volume ekspor udang
tersebut karena dipengaruhi oleh jumlah produksi dan kualitas udang yang
berdampak pada harga udang di pasar dunia. Selain itu, adanya tingkat persaingan
dengan negara eksportir udang lainnya dan penetapan standar negara pengimpor
terhadap kualitas udang juga mempengaruhi pergerakan volume ekspor
(Aristiyani 2017). Persaingan antar eksportir udang terus berlangsung terutama
sesama negara di Asia, yaitu Thailand, Vietnam, China, dan India yang
diuntungkan dengan keunggulan geografis negaranya masing-masing (Ashari
2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor udang Indonesia ke
negara tujuan utama yaitu, harga ekspor Indonesia dan negara pesaing, produksi
udang Indonesia, perubahan Produk Domestik Bruto (GDP) negara tujuan ekspor,
nilai tukar riil (Ashari et al. 2016).
15

1600 14000000
1400 12000000

Volume (ton)
1200 10000000
1000 8000000
800

Nilai
600 6000000
400 4000000
200 2000000
0 0
2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
Volume ekspor Nilai ekspor
Gambar 6 Grafik volume ekspor udang di PPS Cilacap tahun 2013-2017
300,00
Harga per ton (juta Rp)

250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
-
2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
udang barat udang dogol udang jerbung
udang krosok udang tiger
Gambar 7 Harga udang penaeid di PPS Cilacap tahun 2013-2017
Berdasarkan Gambar 7, harga udang penaeid di PPS Cilacap membentuk
grafik yang fluktuatif. Jenis udang yang memiliki harga tertinggi yaitu udang tiger.
Harga udang tiger mencapai Rp 213.640,00 /Kg, harga udang jerbung Rp
212.220,00 /Kg, dan harga udang dogol 28.430,00/Kg.
16000
15000
Nilai tukar (rupiah)

14000
13000
12000
11000
10000
2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tahun
Gambar 8 Nilai tukar rupiah terhadap dollar
Berdasarkan Gambar 8, nilai tukar rupiah terhadap dollar dari tahun 2013-
2018 cenderung meningkat mencapai Rp 15.227,00 (Kemendag 2018). Faktor-
faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar yaitu tingkat suku
bunga deposito Indonesia, jumlah uang beredar Indonesia, dan PDB riil Indonesia
(Setyowati 2003). Menurut Muchlas et al. (2015), perubahan nilai tukar mata
16

uang dapat terjadi karena tingkat inflasi, suku bunga, jumlah uang yang beredar,
pendapatan nasional, posisi neraca pembayaran internasional Indonesia (BOP).
6) Penanganan udang hasil tangkapan
Udang merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk. Hal
ini dikarenakan adanya pembuluh darah dan kotoran di bagian kepala. Kecepatan
pembusukan udang setelah penangkapan sangat dipengaruhi oleh teknik
penangkapan, kondisi biologis udang, dan teknik penanganan dan penyimpanan di
atas kapal. Penanganan udang yang dilakukan dengan suhu tinggi dapat
menyebabkan terjadinya autolisis protein dan lemak yang sangat cepat, serta
timbul bercak hitam. Oleh karena itu, udang harus diberi penanganan yang baik
agar menghambat penurunan mutu pada udang tersebut. Cara penanganan yang
baik dan tepat akan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan tidak mudah
rusak dan aman untuk dikonsumsi (Zulfikar 2016). Penanganan udang di atas
kapal menurut Astawan (2008) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai kesenjangan penanganan udang di atas kapal


Standar penanganan Y X Gap
1) Udang yang telah diangkat ke atas dek kapal segera disemprot dengan air 1 1 0
laut bersih.
2) Hasil tangkapan udang segera dipisahkan dari tangkapan sampingan. 1 1 0
Udang disimpan ke dalam wadah peti atau keranjang bersih.
3) Udang tidak diinjak-injak dan tidak ditumpuk sampai tinggi di atas 1 1 0
geladak.
4) Tempat penanganan udang terlindung dari terik sinar matahari atau angin, 1 0,83 0,17
dengan menggunakan tenda atau peneduh.
5) Udang yang telah disortir dicuci kembali dengan air laut (yang bersih dan 1 0 1
telah didinginkan untuk menghilangkan endapan) dan dikelompokkan
berdasarkan ukurannya.
6) Bila pelayaran memakan waktu yang lama (lebih dari 2 hari), maka kepala - - -
udang dibuang untuk menghindari timbulnya bintik hitam (black spot)
serta kerusakan kimia lainnya.
7) Kalau tidak dimasak atau dimasak setengah matang, segera setelah 1 1 0
ditangkap udang harus didinginkan dengan cepat dalam es. Udang
didinginkan dengan menyimpan dalam peti atau palka berinsulasi
menggunakan es yang halus dan cukup jumlahnya, agar setiap ekor udang
terselimuti dengan es. Untuk penyimpanan yang memakan waktu lebih
lama, maka udang harus dibekukan.
8) Hasil udang tangkapan dipisahkan dan diberi tanda menurut waktu atau 1 0 1
hari penangkapan.
9) Pembongkaran dilakukan dengan hati-hati, tetapi tidak terlalu lama 1 1 0
berhubungan dengan udara luar.
10) Penanganan udang dilakukan secara hati-hati dan tidak melukai fisik 1 0,87 0,13
udang. Udang disimpan menggunakan es dengan perbandingan lapisan es
dan lapisan udang adalah 2:1.
11) Udang dibekukan dalam bentuk balok daripada sendiri-sendiri. 1 0 1
12) Bila komoditas udang tidak untuk dijual dalam bentuk segar, dan - - -
diperuntukkan sebagai bahan baku dalam industri pengalengan, maka
langkah perebusan udang dapat dilakukan di atas kapal, dengan syarat-
syarat sebagai berikut: perebusan harus dilakukan secara cepat; perebusan
dapat memperbaiki warna, aroma, serta tekstur; perebusan dilakukan
dalam waktu yang cukup singkat karena dapat mengurangi kepadatan
tekstur, flavor, dan berat.
Total 10 6,7 3,3
Keterangan: X: nilai standar penanganan saat ini, Y: nilai standar yang dibutuhkan
17

Berdasarkan Tabel 5, diperoleh nilai standar penanganan udang di atas kapal


saat ini sebesar 6.7, sehingga standar penanganan udang tercapai adalah sebesar
67%. Nilai kesenjangan tertinggi terjadi pada saat penyortiran udang. Nelayan
tidak melakukan penyortiran setelah selesai melakukan penangkapan. Penyortiran
udang dilakukan saat nelayan menjualnya ke pengumpul. Beberapa nelayan juga
tidak hati-hati saat melakukan penyortiran. Hal tersebut dapat merusak bagian
tubuh udang, sehingga menurunkan mutu udang (Astawan 2008). Selain itu,
penggunaan es saat penyimpanan udang dalam box terkadang tidak sesuai dengan
jumlah udang yang hendak disimpan. Udang yang sudah disortir kemudian
disimpan sementara dalam box yang sudah diberi es. Udang yang memiliki
kualitas bagus, akan masuk ke pabrik pengolahan udang untuk diekspor.
Penanganan dan pengolahan udang ekspor di Indonesia didasarkan pada
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berpedoman kepada Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 52A/KEPMEN-KP/2013
berisi tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada
proses produksi, pengolahan dan distribusi. SNI 01-2705.3-2006 menjabarkan
tentang standar penanganan udang terkait bahan baku udang, peralatan yang
digunakan untuk penanganan, teknik penanganan dan pengolahan, syarat
pengemasan, syarat penandaan, dan penyimpanan. Isi SNI 01-2705.3-2006 dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai kesenjangan penanganan dan pengolahan udang beku berdasarkan


SNI 01-2705.3-2006
Standar penanganan Y X Gap
A. Bahan
1) Bahan baku udang beku sesuai dengan persyaratan bahan baku 1 1 0
2) Air yang dipakai sebagai bahan penolong memenuhi persyaratan kualitas 1 1 0
air minum
3) Es yang digunakan terbuat dari air yang memenuhi persyaratan. Dalam 1 1 0
penggunaannya, es ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar
terhindar dari kontaminasi
A. Peralatan
1) Jenis peralatan yang dipakai berupa timbangan, keranjang plastik, meja 1 1 0
proses, pan pembeku, alat pembeku, dan alat lainnya
2) Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan 1 1 0
dan pengolahan udang beku mempunyai permukaan halus dan rata, tidak
mengelupas, idak berkarat, tidak merupakan sumber cemaran jasad renik,
tidak retak dan mudah dibersihkan
B. Teknik penanganan dan pengolahan
1) Penerimaan: Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara 1 1 0
organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian
ditangani secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan suhu produk
maksimal 5oC
2) Pencucian 1: Udang dimasukan kedalam keranjang lalu dicuci dengan air 1 1 0
dingin yang mengalir dan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter
untuk mempertahankan suhu produk maksimal 5 oC
3) Pemotongan kepala atau tanpa pemotongan kepala: bahan baku yang 1 1 0
diterima di unit pengolahandalam bentuk utuh dilakukan pemotongan
kepala. Pemotongan kepala dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan
saniter dengan suhu produk maksimal 5oC
4) Pencucian 2: Udang dimasukan kedalam keranjang lalu dicuci dengan air 1 1 0
dingin yang mengalir dan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter
untuk mempertahankan suhu produk maksimal 5 oC
18

Lanjutan Tabel 6 Nilai kesenjangan penanganan dan pengolahan udang beku


berdasarkan SNI 01-2705.3-2006
Standar Penanganan Y X Gap
5) Sortasi: udang dipisahkan berdasarkan mutu, dan ukuran. Sortasi mutu 1 1 0
dilakukan secara organoleptik. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat,
cermat, dan saniter dengan suhu produk maksimal 5oC
6) Penimbangan: udang dimasukan kedalam keranjang plastik dan kemudian 1 1 0
ditimbang sesuai dengan berat yang ditentukan. Penimbangan dilakukan
secara cepat, cermat dan saniter dengan suhu produk maksimal 5 oC
7) Pencucian 3: Udang dimasukan kedalam keranjang lalu dicuci dengan air 1 1 0
dingin yang mengalir dan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter
untuk mempertahankan suhu produk maksimal 5oC
8) Penyusunan: udang disusun dalam pan pembekuan satu per satu. Proses 1 1 0
penyusunan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu
produk maksimal 5oC
9) Pembekuan: udang yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan 1 1 0
dalam alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat mencapai maksimal -
18oC dalam waktu maksimal 4 jam
10) Penggelasan: udang yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air 1 1 0
dingin. Proses penggelasan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter
dengan mempertahan suhu pusa udang maksimal -18oC
11) Pengepakan: udang yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian 1 1 0
dimasukan ke dalam plastik dan inner karton yang telah diberi label.
Proses pengepakan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan
mempertahankan suhu pusat udang maksimal -18oC
C. Syarat Pengemasan
1) Bahan kemasan untuk udang beku bersih, tidak mencemari produk yang 1 1 0
dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi
produk udang beku
2) Teknik pengemasan: produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara 1 1 0
saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dlam kondisi yang dapat
mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk.
D. Syarat Penandaan 1 1 0
Setiap kemasan produk udang beku yang akan diperdagangkan diberi tanda
dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan
disertai keterangan sebagai berikut: jenis produk; berat bersih produk; nama
dan alamat unit pengolahan; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan
bahan tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; tanggal, bulan dan tahun
kadaluarsa.
E. Penyimpanan 1 1 0
Penyimpanan udang beku dalam gudang beku (cold storage)dengan suhu
maksimal -25oC dengan fluktuasi suhu kurang lebih 2oC. Penataan produk
dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi
udara dapat meratadan memudahkan pembongkaran.
Total 20 20 0
Keterangan: X: nilai standar penanganan saat ini, Y: nilai standar penanganan yang dibutuhkan

Berdasarkan Tabel 6, diperoleh nilai standar penanganan dan pengolahan


udang beku saat ini sebesar 20, sedangkan nilai standar yang dibutuhkan sebesar
20 sehingga nilai standar penanganan dan pengolahan udang beku tercapai sebesar
100%. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak ada kesenjangan antara standar
penanganan dan pengolahan udang beku berdasarkan SNI 01-2705.3-2006 dengan
stndar penanganan yang ada di perusahaan. Oleh karena itu, udang sudah
memenuhi standar ekspor yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 52A/KEPMEN-KP/2013.
19

Fasilitas di PPS Cilacap untuk Mendukung Traceability

PPS Cilacap merupakan pelabuhan perikanan kelas A. PPS Cilacap juga


memiliki fasilitas yang lengkap, baik fasilitas pokok, fungsional, dan fasilitas
penunjang. Fasilitas pokok di PPS Cilacap yaitu terdapat dermaga yang digunakan
untuk pendaratan hasil tangkapan, tambatan, dan pemeriksaan. Fasilitas
fungsional terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk pemasaran hasil
tangkapan, pabrik es dan cold storage yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
yang yang berada di sekitar pelabuhan. Sedangkan fasilitas penunjang yaitu,
terdapat kantor syahbandar dan kawasan industri. Terdapat industri ekspor untuk
pengolahan udang (PT. Toxindo Prima) dan industri pengolahan ikan laut (PT.
Juifa International Foods). Fasilitas pada umumnya berfungsi dengan baik.

Traceability Perikanan

1) Aplikasi traceability
Tujuan utama dari sistem traceability adalah mencatat dan
mendokumentasikan suatu produk (Sudibyo 2012). Sebuah produk perikanan
dinyatakan baik jika produk tersebut dapat dilacak asal-usulnya sejak mulai
penangkapan di laut sampai ke tangan konsumen. Pencatatan yang dilakukan
secara detail pada produk perikanan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyangkut
produk, seperti cara penangkapan, daerah penangkapan ikan, aktivitas kapal dan
alat tangkap yang digunakan, penanganan hasil tangkapan yang dapat
mempengaruhi mutu ikan, transportasi, penyimpanan, dan distribusi dapat
mencegah terjadinya praktek IUU Fishing.
IUU Fishing merupakan masalah global yang menyebabkan hilangnya ikan
karena praktek penangkapan yang ilegal, tidak dilaporkan, atau diatur. Hal
tersebut dapat menyebabkan kerugian perekonomian suatu negara. Penangkapan
yang ilegal dan tidak dilaporkan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak
daripada penangkapan yang legal. Penangkapan ikan yang ilegal juga dapat
menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang dapat mengancam
kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan (Lewis dan Boyle 2017).
Negara-negara mulai mengembangkan dan menerapkan peraturan tentang
traceability yang lebih terperinci pada produk perikanan yang masuk ke negara
tersebut terkait praktek IUU Fishing. Uni Eropa memberlakukan ketentuan
penerapan catch certificate yang didasarkan pada Council Regulation (EC)
1005/2008 untuk membangun comunity untuk mencegah IUU Fishing. Sedangkan
pemerintah Amerika Serikat telah menetapkan ketentuan baru U.S. Seafood
traceability program yang mengulas impor produk perikanan yang sesuai dengan
persayaratan pelaporan dan pencatatan untuk mencegah IUU Fishing (KKP 2016).
Indonesia juga telah menerapkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor. PER 13/MEN/2012 tentang Sertifikat Hasil
Tangkapan Ikan (SHTI). Peraturan ini diterapkan untuk memenuhi persyaratan
ekspor produk perikanan ke Uni Eropa dan untuk mencegah, mengurangi, dan
memberantas IUU Fishing.
Berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor PER.13/MEN/2012 pasal 5(1) menjelaskan bahwa SHTI diterbitkan untuk
hasil tangkapan ikan yang berasal dari kapal penangkap ikan dengan ukuran di
atas 20 GT. Pasal 10 menjelaskan bahwa syarat dan tata cara penerbitan SHTI
20

adalah nahkoda, pemilik kapal, atau yang ditunjuk oleh pemilik kapal untuk
mendapatkan SHTI-Lembar Awal, mengajukan permohonan kepada Otoritas
Kompeten Lokal dengan melampirkan persyaratan yaitu draft SHTI-Lembar Awal,
fotokopi identitas pemohon, fotokopi Surat Tanda Bukti Kedatangan Kapal,
fotokopi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), laporan hasil verifikasi pendaratan
ikan, dan Surat Keterangan Pendaratan Ikan (SKPI) bagi kapal penangkap ikan
yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada pelabuhan perikanan atau pelabuhan
umum yang tidak ditetapkan sebagai otoritas kompeten lokal. SKPI dapat
diterbitkan setelah dilakukan verifikasi terhadap: fotokopi identitas nahkoda,
pemilik kapal, atau yang ditunjuk oleh pemilik kapal, SIPI/surat pendaftaran kapal
bagi kapal yang dioperasikan oleh nelayan kecil, Logbook penangkapan ikan, dan
Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Jika ada syarat yang belum terpenuhi maka
SHTI tidak bisa diterbitkan.
Perikanan udang di PPS Cilacap, merupakan perikanan skala kecil. Kapal
penangkap udang yang digunakan nelayan di PPS Cilacap sebesar >10 GT.
Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan, Petani Ikan dan Petani Garam. Definisi nelayan skala
kecil menurut undang-undang ini yaitu nelayan yang melakukan penangkapan
ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan beroperasi tanpa atau dengan
perahu nelayan di bawah 10 GT. Pemberlakuan undang-undang tersebut bertujuan
untuk mensejahterakan rakyat, termasuk kebutuhan untuk melindungi dan
memberdayakan nelayan, pembudidaya ikan, dan petani garam dengan cara yang
terencana, terfokus, dan berkesinambungan. Perikanan skala kecil sering
dikeluarkan dari program pemantauan pemerintah. Perubahan definisi tersebut
telah meningkatkan jumlah kumulatif armada penangkapan ikan yang tidak diatur
di Indonesia pada tahun 2014 dari 917.115 GT menjadi 1.278.240 GT. Ini
bertentangan dengan kebijakan dan upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan
saat ini untuk memberantas Illegal, Unreported, dan Unregulated (IUU) fishing
(Halim, et al.2018).

2) Implementasi traceability untuk perikanan skala kecil


Indonesia telah mengembangkan sistem pengumpulan data I-fish untuk
perikanan skala kecil. I-fish telah dikembangkan untuk perikanan tuna pole and
line, madidihang handline, kepiting bakau, rajungan, kakap dan kerapu dengan
berbagai LSM bekerjasama secara spesifik pada setiap spesies. Sistem I-Fish
terdiri atas database daring (online) untuk data sampel pelabuhan, protokol
pengumpulan data khusus spesies dan alat tangkap ikan serta Komite Manajemen
Data provinsi untuk kolaborasi pemangku kepentingan (MDPI 2015).
Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) telah melakukan studi
kasus di Sulawesi Tenggara tentang traceability untuk perikanan rajungan skala
kecil. Studi ini adalah upaya pertama di Indonesia yang berfokus pada pelaporan
hasil tangkapan oleh stakeholder perikanan, menetapkan dasar administrasi
pengawasan dokumen dan sistem traceability yang kuat. Logbook yang dicatat
sendiri oleh nelayan merupakan titik untuk rantai pasokan, yang dapat membantu
dalam pengelolaan perikanan rajungan yang berkelanjutan di Sulawesi Tenggara.
Pengawasan dokumen jugua dapat mendukung implementasi terkait peraturan
tentang ukuran minimum hasil tangkapan yang diperbolehkan dan larangan
penggunaan alat tangkap tertentu (Madduppa et al. 2016).
21

MDPI mengembangkan Traceability Based Technology (TBT) dalam


proyek tentang ‘Inovasi Teknologi terhadap Keberlanjutan Perikanan Tuna di
Indonesia’ untuk rantai pasokan skala kecil. Proyek yang termasuk kedalam
pengembangan dan implementasi teknologi yaitu:
1) Spot trace
Spot trace adalah perangkat yang menyediakan lokasi yang dapat dilacak
satelit dari item yang ditandai, kapan saja dan dimana saja. MDPI melakukan
uji coba penerapan spot trace di Lombok untuk verifikasi data dan juga
menguji perangkat sebagai fitur keamanan bagi nelayan. Perangkat
didistribusikan kepada nelayan dan pemasok, sehingga pemasok dapat
memantau daerah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang dapat dilihat
secara online di situs web. Spot trace berpotensi menjadi alat yang berguna
untuk verifikasi data fishing ground. Selain itu, dengan menggunakan data
track dari sistem spot trace, sistem I-Fish dapat menggabungkan data
pencacahan I-Fish dan pelacakan spot trace. Cara ini dapat memverifikasi
daerah penangkapan ikan dengan lebih pasti serta memastikan bahwa kapal-
kapal menangkap ikan di daerah yang diperbolehkan. Hal tersebut merupakan
langkah besar untuk memastikan kepatuhan kapal yang berpartisipasi dalam
program MDPI dan bekerja untuk memerangi IUU Fishing (Baroqi 2016).
2) Dock Apps
Indonesia telah mengembangkan sistem pengumpulan data I-fish untuk
perikanan skala kecil. I-fish telah dikembangkan untuk perikanan tuna pole and
line, madidihang handline, kepiting bakau, rajungan, kakap dan kerapu dengan
berbagai LSM bekerjasama secara spesifik pada setiap spesies. Sistem I-Fish
terdiri atas database daring (online) untuk data sampel pelabuhan, protokol
pengumpulan data khusus spesies dan alat tangkap ikan serta Komite
Manajemen Data provinsi untuk kolaborasi pemangku kepentingan (MDPI
2015).
3) Tally-O
Sistem Tally-O terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras yang
mendigitalkan aktivitas penghitungan yang terhubung melalui jaringan area
lokal. Perangkat lunak ini adalah aplikasi web yang dapat dioperasikan di
Google Chrome pada Android atau Windows O sehingga tidak diperlukan
instalasi sebelumnya dan khusus pada perangkat. Dalam hal perangkat keras ini
terdiri dari server lokal, router, raspberry pi, timbangan digital, printer label,
scanner dan tablet atau laptop. Sistem ini memungkinkan pengguna untuk
secara digital mengatur banyak bahan baku dan spesifikasi produk, input data
produksi, label kemasan cetak, label scan dan menghasilkan laporan produksi
mentah dalam format CSV (Hizbulloh 2017).

3) Intervensi terhadap traceability


IUU Fishing merupakan masalah yang sering dihadapi oleh seluruh dunia,
terutama di negara-negara berkembang, perikanan skala kecil yang sering
dikeluarkan dari program pemantauan pemerintah. Menyadari hal tersebut para
pelaku swasta, termasuk Industri dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), telah
mengembangkan program pemantauan yang menyediakan data tentang perikanan
skala besar dan kecil (Bush et al., 2017). Menurut Doddema et al. (2018), terdapat
22

3 intervensi pemantauan untuk meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil,


yaitu:
1) Enumerasi
Enumerasi mulai diperkenalkan pada tahun 2014 untuk menghasilkan data
penangkapan, termasuk identitas kapal, lama trip penangkapan, daerah
penangkapan ikan, jenis ikan hasil tangkapan, aktivitas nelayan selama
penangkapan, termasuk interaksi dengan spesies yang terancam punah dan
dilindungi. Data yang dihasilkan dapat mendukung penilaian stok dan penilaian
dampak pada spesies yang terancam punah dan dilindungi.
2) Logbook perikanan
Logboook mulai diperkenalkan pada tahun 2015 untuk menghasilkan data hasil
penangkapan yang didaratkan untuk melengkapi data enumerasi.
3) Spot trace
Spot trace diperkenalkan pada tahun 2016 sebagai sistem pemantauan kapal,
untuk melacak pergerakan kapal dan memverifikasi lokasi penangkapan ikan
yang telah dilaporkan dalam enumerasi.
Intervensi di PPS Cilacap baru menerapkan enumerasi. Perikanan udang di
PPS Cilacap termasuk perikanan skala kecil sehingga belum diterapkan Logbook.
Berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 48/PERMEN-KP/2014 tentang Logbook Penangkapan Ikan pasal 2
menjelaskan bahwa kapal penangkap ikan yang berukuran >5 GT harus mengisi
logbook. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa nelayan belum memahami
manfaat dari pengisian logbook. Sedangkan, spot trace di Cilacap belum
diterapkan karena pengetahuan nelayan yang masih minim mengenai teknologi
tersebut. Selain itu, belum adanya program dari pemerintah terkait dengan
penerapan intervensi di PPS Cilacap. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan dan
program dari pemerintah dan LSM setempat untuk mengembangkan intervensi
yang belum diterapkan agar dapat meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil.
PPS Cilacap memiliki 3 petugas enumerator. Setiap kapal yang melakukan
pembongkaran hasil tangkapan di PPS tersebut, enumerator mencatat data hasil
tangkapan termasuk identitas kapal, trip unit penangkapan, daerah penangkapan
ikan, identifikasi spesies, dan lain-lain. Data tersebut, nantinya diolah dan
dimasukan ke dalam data statistik perikanan PPS Cilacap.
Data enumerasi membantu mengurangi IUU Fishing. Enumerator dapat
menjadi alat yang kuat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
tentang data penangkapan ikan. Data tersebut dapat membantu mengurangi
penangkapan ikan secara ilegal. Nelayan yang berpartisipasi dalam pengumpulan
data harus terdaftar dan memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/surat
pendaftaran kapal bagi kapal yang dioperasikan oleh nelayan kecil, karena
enumerator harus melaporkan yang bertanggung jawab atas tangkapan tersebut.
Nelayan juga harus melaporkan setiap interaksi dengan spesies yang terancam
punah dan dilindungi. Jika ada interaksi yang negatif, enumerator dapat memberi
peringatan untuk tidak melakukan tindakan seperti itu karena bertentangan dengan
hukum. Data dari enumerator juga dapat mengurangi penangkapan ikan yang
tidak dilaporkan. Data tersebut dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
tentang area yang sebelumnya tidak diketahui, yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan di wilayah tersebut (Starr 2016).
Manfaat data enumerasi dapat dilihat pada Tabel 7.
23

Tabel 7 Manfaat data enumerasi bagi stakeholder


Stakeholder Manfaat enumerasi
1) Nelayan (1) Komunikasi dengan para ilmuwan, regulator, dan LSM
(2) Berpotensi memenuhi persyaratan sertifikasi MSC dan Fairtrade
(3) Tersedia informasi yang dapat membantu untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi tentang kegiatan penangkapan ikan di masa
mendatang
2) Pengelola (1) Data dapat digunakan sebagai indikator pengelolaan perikanan terutama
untuk penilaian stok
(2) Penyertaan perikanan skala kecil memungkinkan keputusan yang lebih
tepat atas manfaat dan alokasi
3) Pemerintah (1) Data yang tersedia dapat dimasukkan ke dalam database nasional dan
regional
(2) Memberikan fasilitasi yang lebih baik untuk nelayan untuk memenuhi
peraturan IUU Fishing untuk pasar ekspor
(3) Peningkatan informasi tentang perdagangan dan perikanan terkait dengan
IUU Fishing
4) Konsumen Mengetahui informasi tentang asal usul daerah penangkapan udang
Sumber: Bush et al. (2017)

Peningkatan kualitas pencatatan data dan kebenaran dari data tersebut, dapat
digunakan untuk mendukung penerapan traceability terkait persyaratan ekspor
yang terbebas dari praktek IUU Fishing. Program enumerasi berguna untuk
mengumpulkan data bagi negara yang memiliki keterbatasan dalam hal akurasi
dan dapat digunakan sebagai persyaratan untuk memenuhi standar ekspor (Bush et
al. 2017). Selain itu, upaya pemerintah untuk mendata hasil tangkapan perikanan
skala kecil yang tidak didaratkan di PPS Cilacap dengan memasukan dalam
kerangka SHTI. SKPI adalah inisiatif pemerintah Indonesia untuk dimasukan
dalam skema SHTI sebagai bagian dari ketelusuran pendaratan ikan bagi ikan
yang di daratkan di luar pelabuhan perikanan yang telah ditunjuk sebagai otoritas
kompeten lokal/pemvalidasi SHTI, dikeluarkan Surat Keterangan Pendaratan Ikan.

Perumusan Strategi untuk Mendukung Penerapan Traceability untuk


Perikanan Udang di PPS Cilacap

Traceability memiliki peran penting untuk peningkatan daya saing produk


hingga ke tingkat global. Kegiatan perikanan tangkap udang di PPS Cilacap
memiliki prospek untuk menerapkan traceability. Analisis SWOT digunakan
untuk merumuskan beberapa strategi yang berhubungan dengan kesiapan
penerapan traceability untuk perikanan udang di PPS Cilacap. Oleh sebab itu,
obyek untuk faktor internal dalam penelitian ini mencakup aspek-aspek fungsional
yang ada di PPS Cilacap. Sedangkan aspek politik, ekonomi, sosial budidaya dan
teknologi terkait penerapan traceability di PPS Cilacap menjadi objek faktor
eksternal.

Faktor Internal

Faktor internal meliputi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).


Unsur kekuatan diidentifikasikan dengan tujuan untuk mengembangkan
traceability. Mengidentifikasi unsur kelemahan bertujuan untuk mengetahui
24

kelemahan-kelemahan yang ada di PPS Cilacap yang berkaitan dengan penerapan


traceability berdasarkan aspek fungsional yang dimiliki.
Faktor internal berupa kekuatan, antara lain:
1) Fasilitas yang ada di pelabuhan pada umumnya berfungsi dengan baik
Fasilitas di PPS Cilacap untuk mendukung penerapan traceability yaitu
terdapat dermaga yang digunakan untuk pendaratan hasil tangkapan, tambatan,
dan pemeriksaan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk pemasaran hasil tangkapan,
pabrik es dan cold storage yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang yang
berada di sekitar pelabuhan. Selain memberi kemudahan bagi nelayan untuk
melaut, fasilitas tersebut juga untuk memudahkan penanganan hasil tangakapan
yang telah didaratkan.
2) Terdapat industri pengolahan udang
Terdapat industri ekspor untuk pengolahan udang (PT. Toxindo Prima).
Lokasi industri masih berada di kawasan PPS Cilacap. Udang yang diperoleh dari
supplier akan diolah menjadi produk udang beku. Udang beku yang telah siap
dipasarkan akan diekspor ke Jepang.
3) Adanya enumerator di PPS Cilacap untuk mengumpulkan informasi tentang
data penangkapan ikan untuk perikanan skala kecil
Program enumerasi berguna untuk mengumpulkan data bagi negara yang
memiliki keterbatasan dalam hal akurasi dan dapat digunakan sebagai persyaratan
untuk memenuhi standar ekspor (Bush et al. 2017).
4) Penanganan dan pengolahan udang di perusahaan yang sudah memenuhi
standar ekspor
Penanganan dan pengolahan udang di PT. Toxindo Prima menjadi produk
udang beku sudah sesuai dengan SNI 01-2705.3-2006 tentang penanganan dan
pengolahan udang beku dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
Faktor internal berupa kelemahan, antara lain:
1) Belum adanya penerapan traceability udang untuk perikanan tangkap di
Cilacap
Penerapan traceability di PT. Toxindo Prima baru hanya untuk perikanan
udang budidaya. Berdasarkan wawancara, belum ada penerapan traceability untuk
udang hasil perikanan tangkap karena masih rumit.
2) Usaha perikanan udang masih tergolong skala kecil
Nelayan trammel net di PPS Cilacap menggunakan kapal berukuran
dibawah 10 GT dalam melakukan operasi penangkapan udang. Nelayan
melakukan penangkapan udang selama satu hari atau one day fishing dan hasil
tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Daerah penangkapan
udang juga masih di sepanjang garis pantai di perairan Cilacap.
3) Penanganan udang di atas kapal dan TPI yang belum baik
Ada beberapa kapal yang tidak menggunakan tenda atau peneduh untuk
tempat penanganan. Mutu udang akan cepat rusak jika terkena terik matahari
secara langsung. Penyortiran udang di pengumpul dilakukan dilantai tanpa
menggunakan alas. Hal tersebut dapat merusak bagian tubuh udang. Selain itu,
udang akan mudah terkontaminasi oleh bakteri yang ada di lantai yang dapat
menurunkan mutu udang.
4) Jumlah enumerator masih minim
25

Petugas enumerator yang ada di PPS Cilacap hanya berjumlah 3 orang.


Sedangkan di PPS Cilacap terdapat 3 dramaga. Kondisi tersebut dapat
memperlambat proses pencatatan data yang dilakukan ooleh enumerator.
5) Kualitas nelayan sebagian besar masih rendah
Sebagian besar latar belakang pendidikan nelayan di PPS Cilacap hanya
sampai Sekolah Dasar (SD). Pengetahuan nelayan mengenai unit penangkapan
udang masih minim.
6) Nelayan menjual udang hasil tangkapan ke bakul/tengkulak
Nelayan di PPS Cilacap masih memiliki keterkaitan dengan
bakul/pengumpul dalam hal penjualan hasil tangkapan.
Matriks internal menggambarkan kekuatan dan kelemahan untuk menyusun
faktor-faktor strategis dalam penerapan traceability. Berdasarkan pada Tabel 8
nilai subtotal S sebesar 1,82 dan nilai subtotal W sebesar 0,48. Sehingga hasil dari
S dikurangi W adalah (+)1,34.
Tabel 8 Matriks internal factor evaluation (IFE)
Faktor Internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
1) Fasilitas pada umumnya berfungsi dengan baik 0,09 3,00 0,47
2) Terdapat industri pengolahan udang 0,09 3,00 0,27
3) Adanya enumerator di PPS Cilacap untuk mengumpulkan informasi
tentang data penangkapan ikan untuk perikanan skala kecil 0,16 4,00 0,63
4) Penanganan dan pengolahan udang di perusahaan yang sudah
0,16 4,00 0,63
memenuhi standar ekspor
Kelemahan
1) Belum adanya penerapan traceability udang untuk perikanan tangkap
0,02 1,00 0,20
di PPS Cilacap
2) Usaha perikanan udang masih tergolong skala kecil 0,03 2,00 0,07
3) Penanganan udang yang belum baik 0,05 1,00 0,05
4) Jumlah enumerator masih minim 0,10 1,00 0,10
5) Kualitas nelayan sebagian besar masih rendah 0,06 1,00 0,06
6) Nelayan menjual udang hasil tangkapan ke bakul/tengkulak 0,05 2,00 0,11
Total 1,00 2,41

Faktor Eksternal

Faktor eksternal meliputi peluang (opportunities) dan ancaman (threaths).


Unsur peluang diidentifikasikan dengan tujuan untuk persiapan dalam
mengembangkan traceability. Mengidentifikasi unsur ancaman bertujuan untuk
meminimalkan ancaman-ancaman yang ada di PPS Cilacap yang berkaitan dengan
penerapan traceability, sehingga peluang yang telah diidentifikasi dapat
direalisasikan.
Faktor eksternal berupa peluang, antara lain:
1) Udang memiliki nilai ekonomis tinggi
Berdasarkan hasil wawancara nelayan, harga udang Dogol Rp 55.000, harga
udang Jerbung mencapai Rp 80.000. Udang Dogol dan udang Jerbung merupakan
udang yang diekspor oleh PT. Toxindo Prima.
2) Peluang pasar udang yang tinggi
Berdasarkan data statistik perikanan di PPS Cilacap, volume ekspor udang
di PPS Cilacap meningkat pada tahun 2017. Hal ini dikarenakan tingginya
26

permintaan konsumsi udang di pasar internasional terutama negara jepang yang


menjadi tujuan ekspor utama di Cilacap (Aristiyani 2017).
3) Meningkatkan devisa negara
Produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ekspor.
Meningkatnya produksi udang akan meningkatkan nilai ekspor udang dalam
jangka panjang. Selain itu, meningkatnya harga udang internasional
mempengaruhi peningkatan nilai ekspor udang Indonesia (Faiqoh 2012).
4) Dukungan dari pemerintah dan stakeholder untuk penerapan traceability
Pengetahuan tentang traceability yang dimiliki oleh stakeholder di PPS
Cilacap dapat membantu dalam mendukung penerapan traceability.
Faktor eksternal berupa ancaman, antara lain:
1) Pemanfaatan sumberdaya udang melebihi batas optimal
Tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di Perairan Cilacap telah
melampaui jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan produksi lestarinya.
Sehingga, hal tersebut dapat mengancam kelestarian sumberdaya udang dan
secara ekonomi berpeluang menjadi tidak berkelanjutan (Pangesti 2017).
2) Stok udang yang tidak menentu
Udang merupakan perikanan musiman. Musim penangkapan udang terjadi
mulai dari bulan Juni, September, Oktober, dan November (Nugraha 2018). Saat
tidak musim udang, hasil tangkapan nelayan hanya sedikit.
3) Persaingan pasar internasional
Menurut Ashari et al. (2016), faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
ekspor udang beku Indonesia adalah tingkat daya saing ekspor udang beku
Indonesia periode sebelumnya, harga ekspor udang beku, dan produksi udang
beku.
4) Penetapan peraturan yang mengharuskan adanya traceability oleh negara
pengimpor
Beberapa negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat mulai
mengembangkan dan menerapkan peraturan tentang traceability yang lebih
terperinci pada produk perikanan yang masuk ke negara tersebut terkait praktek
IUU Fishing (KKP 2016). Transparansi dalam traceability menjadi penting
karena konsumen semakin khawatir tentang keamanan, kualitas, dan asal produk
pangan (Ringsberg 2014).
Tabel 9 Matriks external factor evaluation (EFE)
Faktor eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
1) Udang memiliki nilai ekonomis tinggi 0,07 4,00 0,29
2) Peluang pasar udang yang tinggi 0,15 4,00 0,62
3) Meningkatkan devisa negara 0,04 3,00 0,12
4) Dukungan dari pemerintah untuk penerapan traceability 0,23 4,00 0,93
Ancaman
1) Pemanfaatan sumberdaya udang melebihi batas optimal 0,06 2,00 0,12
2) Stok udang yang tidak menentu 0,03 2,00 0,06
3) Persaingan pasar internasional 0,17 1,00 0,17
4) Penetapan peraturan yang mengharuskan adanya traceability
0,24 1,00 0,24
oleh negara pengimpor
Total 1,00 2,54
27

Matriks eksternal menggambarkan peluang dan ancaman untuk menyusun


faktor-faktor strategis dalam penerapan traceability. Berdasarkan pada Tabel 9
nilai subtotal O sebesar 1,96 dan nilai subtotal T sebesar 0,59. Sehingga hasil dari
O dikurangi T adalah (+)1,37.

Tabel 10 Perumusan strategi untuk penerapan traceability di PPS Cilacap


STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
1) Fasilitas pada umumnya 1) Belum adanya penerapan
berfungsi dengan baik traceability udang untuk
2) Terdapat industri perikanan tangkap di
pengolahan udang Cilacap
IFAS 3) Adanya enumerator di PPS 2) Usaha perikanan udang
Cilacap untuk masih tergolong skala kecil
mengumpulkan informasi 3) Penanganan udang yang
EFAS tentang data penangkapan belum baik
ikan untuk perikanan skala 4) Jumlah enumerator masih
kecil minim
4) Penanganan dan pengolahan 5) Kualitas nelayan sebagian
udang di perusahaan yang besar masih rendah
sudah memenuhi standar 6) Nelayan menjual udang
ekspor hasil tangkapan ke
bakul/pengumpul

OPPORTUNIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO


1) Udang memiliki nilai 1) Mengoptimalkan 1) Mengoptimalkan
ekonomis tinggi pemanfaatan sumberdaya pengelolaan perikanan
2) Peluang pasar udang perikanan udang udang
yang tinggi 2) Melakukan pengembangan 2) Sosialisasi dan pelatihan
3) Meningkatkan devisa perikanan udang dengan kepada nelayan terkait cara
negara sistem tracecability penanganan udang
4) Dukungan dari
pemerintah untuk
penerapan traceability
TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
1) Pemanfaatan 1) Peningkatan pemahaman 1) Membangun kerjasama
sumberdaya udang mengenai traceability dengan LSM untuk
melebihi batas optimal 2) Pengadaan catch sertificate keberhasilan penerapan
2) Stok udang yang tidak pada perikanan udang traceability.
menentu 2) Pengaturan dan penetapan
3) Persaingan pasar operasi penangkapan udang
internasional
4) Penetapan peraturan
yang mengharuskan
adanya traceability oleh
negara pengimpor

Berdasarkan matriks analisis strategi dalam penerapan traceability di PPS


Cilacap yang tertera pada Tabel 10, ada empat set alternatif strategi yang dapat
diterapkan di PPS Cilacap, antara lain yaitu:
1) Strategi SO
Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan udang. Kekuatan yang
dimiliki yaitu terdapat industri pengolahan udang ekspor di sekitar PPS Cilacap
dan fasilitas yang berfungsi dengan baik dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pemasaran udang di pasar internasional. Melakukan
pengembangan perikanan udang dengan sistem traceability. Hal ini dapat
28

dilakukan dengan memanfaatkan adanya enumerator untuk mencatat data


informasi tentang penangkapan ikan yang didaratkan oleh nelayan.
Pengembangan traceability dapat meningkatkan peluang pasar internasional.
2) Strategi WO
Mengoptimalkan pengelolaan perikanan udang. Perlu adanya pengurangan
jumlah unit penangkapan udang agar mampu mencapai produksi yang optimal.
Sosialisasi dan pelatihan kepada nelayan terkait penanganan udang dilakukan
agar mutu ikan tetap terjaga, sehingga dapat meningkatkan pemasaran udang.
3) Strategi ST
Peningkatan pemahaman mengenai traceability dapat dilakukan dengan cara
mengadakan sosialisasi dari pihak KKP kepada para pelaku yang berkaitan
dengan kegiatan perikanan seperti nelayan, pegawai pelabuhan, pengumpul.
Adanya catch sertificate pada perikanan udang dapat memperluas pasar ekspor.
Penerapan catch sertificate/SHTI pada perikanan udang dapat mendukung
kelancaran ekspor ke pasar internasional. Melakukan koordinasi dibidang
ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional dan pengembangan produk
membantu meningkatkan daya saing dengan negara lain. Selain itu, dapat
memberikan kontribusi positif bagi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan,
dan dapat mengantisipasi terjadinya hambatan ekspor ke pasar internasional.
4) Strategi WT
Membangun kerjasama dengan LSM untuk keberhasilan penerapan traceability.
Kerjasama dilakukan guna membantu dalam mengembangkan teknologi
traceability yang bisa diadopsi oleh nelayan udang skala kecil di PPS Cilacap.
Pengaturan dan penetapan operasi penangkapan udang dapat dilakukan dengan
cara menentukan batas maksimal hasil penangkapan udang pada setiap trip
penangkapan udang.

Gambar 9 Status prospek penerapan traceability di PPS Cilacap


Berdasarkan Gambar 9, kedua tabel tersebut menujukan bahwa status
prospek penerapan traceability terdapat pada kuadran I yaitu kuadran tumbuh. Hal
ini menunjukan bahwa strategi yang tepat dapat dirumuskan dengan menggunakan
29

unsur kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Penyusunan strategi


sangat penting dilakukan untuk mendukung penerapan traceability di PPS Cilacap.
Strategi yang sesuai dan menjadi alternatif untuk di terapkan di PPS Cilacap
adalah strategi SO yaitu Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan
udang dan melakukan pengembangan perikanan udang dengan sistem traceability.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1) Kesiapan dalam penerapan traceability di PPS Cilacap masih dalam tahap


persiapan konsep. Nilai standar penanganan udang hasil tangkapan di atas
kapal berdasarkan SNI mencapai 67%. Sedangkan, nilai standar penanganan
dan pengolahan udang beku berdasarkan SNI mencapai 100%. Fasilitas di PPS
Cilacap pendukung traceability berfungsi dengan baik. Penerapan sistem
intervensi enumerasi di PPS Cilacap dapat digunakan untuk mendukung
penerapan traceability pada perikanan skala kecil terkait persyaratan ekspor
yang terbebas dari praktek IUU Fishing. Nelayan dan stakeholder pelabuhan
mendukung adanya penerapan traceability di PPS Cilacap.
2) Strategi untuk menerapkan traceability di PPS Cilacap berada pada kuadran I,
yaitu kuadran tumbuh. Hal ini menunjukan bahwa strategi yang tepat dapat
dirumuskan dengan menggunakan unsur kekuatan untuk memanfaatkan
peluang yang ada. Strategi yang sesuai dan menjadi alternatif untuk di terapkan
di PPS Cilacap yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan
udang dan melakukan pengembangan perikanan udang dengan sistem
traceability.

Saran

Peran pemerintah, swasta dan LSM sangat dibutuhkan untuk mendukung


strategi pengembangan traceability guna meningkatkan kesejahteraan nelayan
udang. Perlunya pengadaan sosialisasi dan penyuluhan secara berkelanjutan
kepada nelayan dan pelaku perikanan agar mengetahui informasi terbaru yang
berkaitan dengan perikanan udang.
30

DAFTAR PUSTAKA

Aji IN, Wibowo BA, Asriyanto. 2013. Analisis faktor produksi hasil tangkapan
alat tangkap cantrang di Pangkalan Pendaratan Ikan Bulu Kabupaten Tuban.
Fisheries Resources Utilization Management and Technology. 2(4): 50-58.
Aristiyani R. 2017. Analisis daya saing udang Indonesia di pasar internasional
[skripsi]. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung.
Asensio L, Gonzalez I, Gracia T, Martin R. 2008. Determination of food
authenticity by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Food
Control. 19(2008): 1-8.
Ashari U, Sahara, Hartoyo S. 2016. Daya saing udang segar dan udang beku
Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Jurnal Manajemen dan Agribisnis.
13(1): 1-13.
Ashari U. 2016. Integrasi pasar dan daya saing udang Indonesia di pasar
internasional [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Astawan M. 2008. Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Tangerang
Selatan (ID): Universitas Terbuka.
Bailey M, Bush SR, Miller A, Kochen M. 2016. The role of traceability in
transforming seafood governance in the global South. Current Opinion in
Environmental Sustainability. 18:25-32.
Baroqi R. 2016. Spot tracer as a verification tool for fishing ground data. MDPI
[Internet]. [diunduh 2018 Nov 27]. Tersedia pada: http://mdpi.or.id/spot-
tracer-as-a-verification-tool-for-fishing-ground-data/
Bush SR, Bailey M, Zwieten P, Kochen M, Wiryawan B, Doddema A,
Mangunsong SC. 2017. Private provision of public information in tuna
fisheries. Marine Policy. 77(2017): 130-135.
Doddema M, Spaargaren G, Wiryawan B, Simon RB. 2018. Fisher responses to
private monitoring interventions in an Indonesian tuna handline fishery.
Fisheries Research. 208(2018):49-57.
Fachrussyah ZC. 2017. Dasar-Dasar Penangkapan Ikan. Gorontalo (ID):
Universitas Negeri Gorontalo Press.
Faiqoh U. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor udang Jawa
Tengah tahun 1985-2010. Economics Development Analysis Journal.
1(2):1-8.
Furqon MN. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pada alat
tangkap jaring milinium di unit Pengelola Pelabuhan Perikanan (PPP)
Lekok Kabupaten Pasuruan Jawa Timur [tesis]. Malang (ID): Universitas
Brawijaya.
Garcia S, Reste LL. 1981. Life Cycles, Dynamic, Exploitation and Management of
Coastal Penaeid Shrimp Stocks. Rome (IT): FAO Fish Technical Papers
(203). 215 p.
Halim, A, Wiryawan B, Lorenagan NR, Hordyk A, Sondita M, White AT,
Koeshendrajana S, Ruchimat T, Pomeroy RS, Yuni C. 2018. Developing a
funcitonal definition of small-scale fisheries in support of marine capture
fisheries management in Indonesia. Marine Policy (in prep).
Hizbulloh L. 2017. Internal traceability system for small and medium sized tuna
processor: tally-o. MDPI [Internet]. [diunduh 2018 Nov 27]. Tersedia pada:
31

http://mdpi.or.id/internal-traceability-system-for-small-and-medium-sized-
tuna-processor-tally-o/
Hosch G, Blaha F. 2017. Seafood traceability for fisheries compliance: country-
level support for catch documentation schemes. FAO Fisheries and
Aquaculture Technical Paper. 619.
Ihsan MK. 2017. Kebutuhan kompetensi nelayan kapal rawai tuna yang berbasis
di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap Jawa Tengah [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2016. SHTI jadi ‘pagar’ hasil laut
Indonesia. [Internet]. [diunduh 2018 Jul 24]. Tersedia pada:
http://www.djpt.kkp.go.id/read/shti-jadi-pagar-hasil-laut-indonesia
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2017. Produktivitas perikanan
Indonesia [Internet]. [diunduh 2018 Okt 3]. Tersedia pada:
https://kkp.go.id/wp-content/uploads/2018/01/KKP-Dirjen-PDSPKP-FMB-
Kominfo-19-Januari-2018.pdf
Lewis SG, Boyle M. 2017. The expanding role of traceability in seafood: tools
and key initiatives. Jurnal of food science. 82: 13-21.
Martasuganda S. 2008. Jaring Insang (Gill net). Bogor (ID): IPB Press.
Madduppa H, Zairion, Nurani S, Nugroho K, Nugraha BA. 2016. Setting up
traceability tools for the Indonesian blue swimming crab fishery: A case
study in Southeast Sulawesi. Fisheries and Aquaculture in the Modern
World. 7:143-157.
[MDPI] Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia. 2015. Laporan Tahunan
MDPI 2015 [Internet]. [diunduh 2018 Nov 12]. Tersedia pada:
http://mdpi.or.id/images/pdf_list/annualreport/MDPI_Annual_Report_2015
_INDONESIAN_ONLINE.pdf
Muchlas Z, Alamsyah AR. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah
terhadap dolar Amerika pasca krisis (2000-2010). Jurnal JIBEKA. 9(1):76-
86.
Nasution R. 2003. Teknik Sampling. Sumatera(ID): USU Digital Library.
Ngingi LN, Odiyo W. 2017. The influence of strategy implementation on the
performance of micro enterprises in Ruiru sub county, Kiambu county,
Kenya. Management and Sustainability. 6(1):1-7.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djembatan.
Nugraha A. 2018. Adaptasi nelayan trammel net di Pelabuhan Perikanan
Samudera Cilacap terhadap perubahan musim [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Pramono YE, Fathoni M, Marpaung H, Wiropurnomo H, Hanifah T, Robiyanto S,
Aida N. 2015. Pedoman Ekspor Perikanan ke Negara Mitra (Belanda,
Thailand dan Jepang). Jakarta (ID): KKP.
Prianto T. 2018. Perikanan tuna handline skala kecil dan persepsi nelayan
terhadap penerapan program fair trade di Parigi, Maluku Tengah [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):
PT Gramedia Pustaka Utama.
Ringsberg H. 2014. Prespectives on food traceability: a systematic literature
review. Supply Chain Management. 19: 558-576.
32

Rosihun M. 2017. Peran traceability pada rantai produksi hasil perikanan.


[Internet]. [diunduh 2018 Nov 07]. Tersedia pada: http://www.bppp-
tegal.com/web/index.php/2017-08-26-04-36-53/pengolahan-hasil-
perikanan/524-peran-traceability-pada-rantai-produksi-hasil-perikanan
Setyowati E. 2003. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika dengan model koreksi kesalahan engle-granger (pendekatan
moneter). Jurnal Ekonomi Pembangunan. 4(2): 162-186.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Pustaka
LP3ES Indonesia.
Sipahelut M. 2010. Analisis pemberdayaan masyarakat nelayan di Kecamatan
Tobelo Kabupaten Halmahera Utara [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Starr LE. 2016. Blowing it out of the water: How breaking down illegal, unreported,
and unregulated (IUU) fishing can contribute to its effective management in
Indonesia using an area based approach [Internet]. [diunduh 2018 Agt 14].
Tersedia pada:
http://dalspace.library.dal.ca/bitstream/handle/10222/72682/Starr_L_MMM
GraduateProject.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Sudibyo A. 2012. Sistem ketelusuran pada industri pangan dan produk hasil
pertanian. Jurnal of Agro-Based Industry. 29(2): 43-62.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta
Suharso P. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi
dan Praktis. Jakarta (ID): PT Indeks.
Pangesti TP. 2017. Strategi pengelolaan perikanan udang di Kabupaten Cilacap
Provinsi Jawa Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yos, M. 2017. Jenis udang komoditas ekspor terunggul Indonesia [Internet].
[diunduh 2017 Des 10]. Tersedia pada: http://www.isw.co.id/single-
post/2017/02/04/3-Jenis-Udang-Komoditas-Ekspor-Terunggul-Indonesia
Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor (ID): IPB Press.
Zulfikar R. 2016. Cara penanganan yang baik pengolahan produk hasil perikanan
berupa udang. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 5(2): 29-30.
33

LAMPIRAN
34

Lampiran 1 Daerah penangkapan udang di Perairan Cilacap

Ukuran Kapal (cm)


Nama Responden DPI
P L D
Parono 12 2 2 Widara Payung
Erbit 9 2 1,7 PLTU
Anto 12 3 2,5 Srandil
Maidin 13 2,6 2,3 Widara Payung
Buwang 12 1,7 1,5 THR
Paidi 6 2 1,5 PLTU
Saiman 12 3 2,5 Srandil
Sumardi 10 3 2,3 THR
Darman 10 2,5 2 Srandil
Kisman 9 2,5 2 Widara Payung
Wagiman 4 1 0,7 Widara Payung
Yudi 12 2,5 2 Srandil
Aji 12 3 2,5 Widara Payung
Danang 10 2,8 2,5 Widara Payung
Dalimin 12 3 2,3 Srandil
Paijo 8 2,5 2 Gombong
Narso 12 2,8 2,5 Widara Payung
Sutarman 12 2,6 2,3 THR
Dikin 13 2,5 2,3 Srandil
Mugi 10 2 1,7 Widara Payung
Junedi 10 2 1,7 Srandil
Agus 12 3,6 2,5 Widara Payung
Kasiman 11 2,8 2,3 Widara Payung
Jasiman 10 2,5 2 Srandil
Sudimin 11 2,6 2,3 Widara Payung
Parman 12 2,6 2,3 THR
Mugianto 12 2,6 2,2 Srandil
Samino 11 2,6 2,3 Widara Payung
Wahyudi 7 2,5 2 Srandil
Tarno 12 3,6 2,3 Gombong
35

Lampiran 2 Unit penangkapan udang di PPS Cilacap

Konstruksi alat tangkap trammel net

Kapal kayu trammel net yang ada di Kapal fiber trammel net yang ada di
PPS Cilacap PPS Cilacap

Metode pengoperasian alat tangkap trammel net


36

Lampiran 3 Udang hasil tangkapan trammel net

Udang Tiger (Penaeus monodon) Udang Jerbung (Penaeus merguensis)

Udang Dogol (Metapenaeus endevouri) Udang Krosok (Parapenaeopsis


sculptitis)
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Cilacap, 05 Agustus 1996.


Merupakan anak kedua dari pasangan Waslim Waskito dan
Winarni. Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di
SDN Panisihan 03 Maos, Cilacap, Jawa Tengah tahun
2008, melanjutkan pendidikan di SMPN 03 Maos, Cilacap,
Jawa Tengah tahun 2011 dan lulus dari SMAN 1 Sampang,
Cilacap, Jawa Tengah tahun 2014. Penulis melanjutkan
pendidikannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) tahun 2014 dan menempuh pendidikan di
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi
(Himpro) sebagai anggota Pengembangan dan Keprofesian (Pengprof) Himpunan
Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) pada tahun 2016-
2017. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, antara lain
sebagai anggota divisi logistik dan transportasi (Logstran) Gema Perikanan dan
Kelautan 2016, anggota divisi konsumsi C-Day 2016, dan sekretaris divisi acara
One Day Fishing tahun 2016. Penulis sebagai asisten praktikum mata kuliah
Metode Statistika tahun 2015-2016, asisten praktikum mata kuliah Teknologi Alat
Penangkapan Ikan pada tahun 2017-2018, dan asisten praktikum mata kuliah
Navigasi pada tahun 2017-2018. Penulis pernah memperoleh hibah dikti dalam
program PKM (Pekan Kreatifitas Mahasiswa) bidang pengabdian masyarakat
dengan judul KELAP “Kreasi Limbah Alat Tangkap” pada tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai